ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PEMILIK SITUS PORNO DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG TENTANG PORNOGRAFI DAN UNDANG-UNDANG TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

(1)

INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

SKRIPSI

Oleh

WENDY DESKY R

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(2)

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 9

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 10

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 11

E. Sistematika Penulisan... 19

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 21

B. Pertanggungjawaban Pidana... 31

C. Pornografi dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ... 33

D. Teori Pertanggungjawaban Pidana ... 37

E. Teori Penanggulangan Tindak Pidana... 39

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 43

B. Jenis dan Sumber Data ... 44

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 46

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data... 46

E. Analisis Data ... 47

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden ... 49

B. Pertanggungjawaban Pidana Yang Dapat Dijatuhkan Kepada Pemilik Situs Porno Ditinjau Dari Undang Pornografi dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik... 51


(3)

... 62 V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan... 67 B. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA


(4)

PORNO DITINJAU DARI TENTANG PORNOGRAFI DAN UU TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Oleh

WENDY DESKY R

Hadirnya media internet secara global menyebabkan siapa saja dapat mengakses situs-situs yang tersedia secara mudah. Ketentuan tentang pornografi dalam dunia maya tidak saja berupa tindak pidana penyebaran gambar-gambar yang dianggap tabu/porno untuk dipertontonkan kepada publik, melainkan juga dimanfaatkan sebagai media transaksi prostitusi secara online. Situs-situs porno tersebut juga menjual/menawarkan gambar-gambar bahkan cerita-cerita porno kepada setiap orang yang mengunjungi situs tersebut dengan pembayaran melalui transfer online. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pertanggungjawaban pidana yang dapat dijatuhkan kepada pemilik situs porno ditinjau dari Undang-Undang Pornografi dan Informasi dan Transaksi Elektronik? dan apakah faktor penghambat dalam pertanggungjawaban pidana yang dapat dijatuhkan kepada pemilik situs porno ditinjau dari Undang-Undang Pornografi dan Informasi dan Transaksi Elektronik?.

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, pendekatan analisis empiris karena penelitian ini berdasarkan jenisnya merupakan kombinasi antara penelitian normatif dengan empiris. Sedangkan berdasarkan sifat, bentuk dan tujuannya adalah penelitian deskriptif dan problem identification, yaitu dengan mengidentifikasi masalah yang muncul kemudian dijelaskan berdasarkan peraturan-peraturan atau perundang-undangan yang berlaku serta ditunjang dengan landasan teori yang berhubungan dengan penelitian. Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif, hal ini didasarkan pada teori bahwa penelitian normatif dimana perolehan datanya lebih dominan dengan studi kepustakaan/data sekunder (meliputi hukum primer, sekunder dan tersier) metode yang diterapkan lebih tepat analisis kualitatif, sedangkan data primer hasil pengamatan dan wawancara dikualitatifkan.

Hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa Dalam pelaksanaan penanganan terhadap kasus cyberpornini aparat menerapkan teknik penyelidikan dan penyidikan, yang terdiri dari beberapa tahapan. Dalam menangani kasus ini digunakan pasal 40 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1992 untuk menjerat pelaku, karena belum adanya UU yang secara khusu mengatur tentang cybercrime dan cyberporn. Selain digunakan UU baru yaitu UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk selanjutnya dilaksanakan dalam menangani kasus cyber crime. Faktor-faktor menjadi kendala dalam upaya penegakan hukum terhadap cybeporn antara lain: kurangnya kemampuan dan


(5)

keterampilan aparat selaku penyelidik dan penyidik di bidang komputer ini mengakibatkan teknis penyelidikan, penuntutan dan pemeriksaan terhadap suatu perkara akan sulit dikuasai apalagi saat di pengadilan, karena menyangkut sistem yang ada dalam komputer, dimana sistem dalam komputer yang digunakan oleh pelaku cyberporn juga harus dikuasai oleh aparat penegak hukum, polisi selaku penyidik.

Saran yang diberikan adalah perlunya peningkatan kapasitas kelembagaan, personil, peralatan (termasuk laboratorium forensic) sarana dan prasarana, serta pelatihan dalam pencegahan dan penanggulangan cybercrime dan cyberporn, terutama bagi aparatur penegak hukum terkait dengan di dukung oleh ahli-ahli setempat, sehingga bias membentuk kesatuan visi dan misi dan tidak terjadi perbedaan persepsi dalam setiap menangani perkara hukum. Pendekatan “self regulatory” di samping “legislasi” menjadi salah satu alternatif pendekatan dalam pencegahan dan penanggulangan cybercrime dan cyberporn dengan melibatkan berbagai kalangan, termasuk industri, dalam hal ini para pengusaha warnet sehingga tidak lagi berpikir egois dengan hanya semata-mata demi mencari keuntungan pribadi mereka rela berbuat kejahatan tanpa memikirkan akibatnya.


(6)

Ade Maman Suherman,Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, Jakarta,

Arief, Barda Nawawi, 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung.

Arikunto, Suharsimi, 1998. Prosedur Penelitian, SuatuPendekatan Praktik. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.

Didik M. Arief Mansur dan Alisatris Gultom, op.cit.

Ervina Lerry W.S., Iman dan 25 Drs. H. Sutarman, M.H. Op. cit.hlm. 66.

Leden Marpaung, S.H., Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.

Maleong, Lexy J, 2005,Metode Penelitian Sosial: Edisi Revisi, Bandung, Remaja Rosdakarya.

Mas Wigrantoro Roes Setiyadi dan Mirna Dian Avanti Siregar, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi, Global Internet PolicyInitiative-Indonesia bekerja sama dengan Indonesia Media Law and Policy Center, November, 2003,

Rumusan Sementara Seminar Cyber Crime dan Cyber Porn Dalam Perspektif Hukum Teknologi dan Hukum Pidana, Semarang, 6–7 Juni 2007, hlm 15-16.

Soekanto, Soerjono. 1986.Metode Penelitian Sosial. Bina Rupa Aksara. Jakarta. Stella K.R.,The World of Cyber Crimes: Carding,Bheta Versions, IKI-4000.) http://anggara.files.wordpress.com/2008/04/na_ruu_tipiti.pdf


(7)

Menuntut Ilmu Wajib Atas Tiap Muslim (Baik Muslimin Maupun

Muslimah).

(HR. Ibnu Majah)

Apa Yang Sedikit Tetapi Mencukupi Lebih Baik Daripada Banyak

Tetapi Tidak Puas .

(HR.Abu dawud)

Bertahanlah Dari Segala Tekanan, Dan Bersabarlah Dari Segala

Masalah. Temukan Jalan Keluar Dan jadikan Segalanya Agar Lebih

Baik Menjadi Manusia Yang Taat Kepada Allah SWT.

(penulis)


(8)

A. Latar Belakang

Peradaban manusia di penghujung abad 19 mulai mengalami perubahan drastis, hal ini dapat dilihat terutama dalam hal pergaulan luas tanpa batas di seluruh penjuru dunia yang difasilitasi media telekomunikasi, dan teknologi yang selalu mengalami perkembangan dari hari ke harilah yang memegang peran serta andil terjadinya perubahan drastis tersebut. Tidak ada lagi sekat atau batas antar belahan dunia, perbedaan budaya, ras, golongan dan warna kulit tidak lagi dipermasalahkan. Era globalisasi, itulah sebutan yang tepat digunakan untuk menggambarkan kondisi tersebut. Pesatnya perkembangan di bidang teknologi informasi saat ini merupakan dampak dari semakin kompleksnya kebutuhan manusia akan informasi itu sendiri.

Kedekatan hubungan antara informasi dan teknologi jaringan komunikasi telah menghasilkan dunia maya yang amat luas yang biasa disebut dengan teknologi cyberspace. Teknologi ini berisikan kumpulan informasi yang dapat diakses oleh semua orang dalam bentuk jaringan-jaringan komputer yang disebut jaringan internet. Sebagai media penyedia informasi internet juga merupakan sarana kegiatan komunitas komersial terbesar dan terpesat pertumbuhannya. Sistem jaringan memungkinkan setiap orang dapat mengetahui dan mengirimkan


(9)

informasi secara cepat dan menghilangkan batas-batas teritorial suatu wilayah negara.

Kepentingan yang ada bukan lagi sebatas kepentingan suatu bangsa semata, melainkan juga kepentingan regional bahkan internasional. Perkembangan teknologi informasi yang terjadi pada hampir setiap negara sudah merupakan ciri global yang mengakibatkan hilangnya batas-batas negara.Negara yang sudah mempunyai infrastruktur jaringan informasi yang lebih memadai tentu telah menikmati hasil pengembangan teknologi informasinya, negara yang sedang berkembang dalam pengembangannya akan merasakan kecenderungan timbulnya neo-kolonialisme (Teguh Arifiyadi, 2008).

Hal tersebut menunjukan adanya pergeseran paradigma dimana jaringan informasi merupakan infrastruktur bagi perkembangan suatu negara. Setiap negara harus menghadapi kenyataan bahwa informasi dunia saat ini dibangun berdasarkan suatu jaringan yang ditawarkaan oleh kemajuan bidang teknologi. Salah satu cara berpikir yang produktif adalah mendirikan usaha untuk menyediakan suatu infrastruktur informasi yang baik di dalam negeri, yang kemudian dihubungkan dengan jaringan informasi global.

Kecenderungan mengglobalnya karakteristik teknologi informasi yang semakin akrab dengan masyarakat, akhirnya menjadikan Indonesia harus mengikuti pola tersebut. Karena teknologi informasi (khususnya dalam dimensicyber) tidak akan mengkotak-kotak dan membentuk signifikasi karakter. Namun selalu ada gejala negatif dari setiap fenomena teknologi, salah satunya adalah aktifitas kejahatan. Bentuk kejahatan (crime) secara otomatis akan mengikuti untuk kemudian


(10)

beradaptasi pada tingkat perkembangan teknologi. Salah satu contoh terbesar saat ini adalah kejahatan maya atau biasa disebut cyber crime, yang merupakan bentuk fenomena baru dalam kejahatan sebagai dampak langsung dari perkembangan teknologi informasi (Teguh Arifiyadi, 2008).

Kejahatan cyber secara hukum bukanlah kejahatan sederhana karena tidak menggunakan sarana konvensional, tetapi menggunakan komputer dan internet, di tengah kemajuan di bidang teknologi informasi yang dilakukan negara-negara tetangga, kondisi negeri ini memang cukup memprihatinkan. Setidaknya sebagaimna dipaparkan oleh pakar multimedia dan pengamat telematika R.M. Roy Suryo pada sebuah seminar tentang komunikasi mayantara (cyber communication) di Bandung, “Dalam hal penggunaan internet, Indonesia sebetulnya masuk dalam kategori rendah. Artinya, jumlah pengguna internet dibandingkan jumlah penduduk masih sangat sedikit. Dari sekitar 240 juta penduduknya, hanya sekitar 3-4 juta warga Indonesia yang menggunakan internet” (Pikiran Rakyat, 7 November 2003).

Ironisnya, di tengah rendahnya penggunaan internet itu, Indonesia justru menjadi negara kedua tebesar kejahatan siber (cyber crime) di dunia, setelah Ukraina. Dua modus kejahatan dunia maya yang paling sering dilakukan adalah carding atau memalsukan nomor kartu kredit orang lain untuk bisa mandatangkan berbagai produk komersial yang diperjualbelikan lewat internet. Modus kedua adalah hacking atau merusak/mengacaukan jaringan komputer pihak lain (Abdul Wahib dan Mohammad Labib, 2005).


(11)

Pernyataan Roy Suryo tentang peringkat Indonesia dalam cyber crime tersebut sejalan dengan pernyataan Ade Ari Syam Indradi. Berdasarkan hasil penelusuran Ade Ari Syam Indradi tentang peringkat Indonesia dalam cyber crime dinyatakan bahwa Indonesia telah menggantikan posisi Ukraina yang sebelumnya menduduki peringkat pertama dalam persentase tertinggi di dunia maya. Data hasil penelitian Verisign, perusahaan yang memberikan pelayanan intelejen di dunia maya yang berpusat di California, Amerika Serikat, menempatkan Indonesia pada posisi tertinggi pelaku kejahatan di dunia maya, sementara peringkat kedua itempati oleh Nigeria dan peringkat ketiga oleh Pakistan (Sutarman, 2007)

Berdasarkan beberapa bahasan di atas mengenai teknologi informasi maka dapat kita ketahui bahwa jika kita dapat memanfaatkan teknologi tersebut maka kita akan memperoleh kemudahan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Namun satu hal yang harus kita ingat bahwa perkembangan teknologi tersebut bukannya tanpa ada efek sampingnya, karena justru Crime is product of society it self yang berarti bahwa semakin tinggi tingkat intelektualitas suatu masyarakat maka akan semakin canggih dan beraneka-ragam pulalah tingkat kejahatan yang dapat terjadi. Sebagai bukti nyata sekarang banyak negara yang dipusingkan oleh kejahatan melalui internet yang dikenal dengan istilah cyber crime. Oleh karena itulah maka kita sebagai bangsa yang masih baru dalam mengikuti perkembangan teknologi informasi haruslah pintar-pintar memilah dan memilih dalam penggunannya, karena alih-alih kita ingin memajukan bangsa dengan menjadikan teknologi informasi sebagai teknologi yang mencerahkan orang banyak (enlightening technology).


(12)

Namun justru yang terjadi malah sebaliknya, yaitu destructive technology. Umumnya suatu masyarakat yang mengalami perubahan akibat kemajuan teknologi, banyak melahirkan masalah-masalah sosial. Hal itu terjadi karena kondisi masyarakat itu sendiri yang belum siap menerima perubahan atau dapat pula karena nilai-nilai masyarakat yang telah berubah dalam dalam menilai kondisi lama sebagai kondisi yang tidak lagi dapat diterima (Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt, 1984).

Secara garis besar, kejahatan-kejahatan mayantara tersebut dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu kejahatan yang menjadikan komputer sebagai tujuan dan kejahatan yang menggunakan komputer atau internet sebagai sarana. Kejahatan yang menjadikan komputer sebagai tujuan contohnya adalah cracker. Cracker adalah seseorang atau sekelompok orang yang melakukan pengrusakan situs atau website milik orang lain. Sedangkan kejahatan yang menggunakan computer atau internet sebagai sarana contohnya adalah cyber gambling, cyber fraud, cyber narcotism, cyber smuggling, cyber attacks on critical infrastructure, cyber blackmail, cyber threatening, cyber terrorism dan cyber pornography/sex. Cyber pornography/sex adalah bentuk kejahatan kesusilaan yang menggunakan internet sebagai media utama dalam penyebaran segala sesuatu yang mengandung unsure porno dan seksual (Alfons Zakaria, 2008).

Salah satu jenis cyber crime adalah cyber pornography dalam hal ini yaitu kejahatan mayantara di bidang kesusilaan yang juga dikenal dengan cyber sex/cyber porn, sangat dikhawatirkan karena dalam situs internet dapat dengan mudah dicari apa saja tentang pornografi dan ini akan mempengaruhi orang-orang


(13)

yang mengaksesnya, apalagi bagi anak-anak di bawah umur, karena tidak ada halangan bagi mereka untuk menggunakan jasa warung internet (warnet) ini disebabkan tidak ada klasifikasi atau pembatasan usia yang diberikan oleh pengelola warnet, tentu saja itu tidak akan dilakukan para pengelola warnet tersebut demi kepentingan bisnis mereka, dengan demikian tidak ada pengawasan bagi anak-anak tersebut dan dengan bebas mereka bisa mengakses situs-situs porno, yang sangat ditakutkan apabila kemudian diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat maka akan terjadi perbuatan asusila, yang juga bisa memacu tingkat kriminalitas. Keadaan ini tidak dapat dibiarkan terus-menerus, karena dapat merusak moral bangsa. Setidak-tidaknya ada rambu-rambu khusus untuk mengatur hal ini, karena situs ini bergerak ke seluruh dunia tanpa ada batas. Apalagi jumlah warung internet (warnet) di Indonesia terus berkembang. Di akhir tahun 2008, jumlahnya diperkirakan bisa menembus angka 12 ribu di seluruh Indonesia. Menurut Ketua Asosiasi Warnet Indonesia (AWARI) Irwin Day memperkirakan, saat ini jumlah warnet yang ada di tanah air berjumlah sekitar 10 ribu warnet (Irwin Day, 2010).

Hadirnya media internet secara global menyebabkan siapa saja dapat untuk mengakses situs-situs yang tersedia secara mudah. Ketentuan tentang pornografi dalam dunia maya tidak saja hanya berupa tindak pidana penyebaran gambargambar yang dianggap tabu/porno untuk dipertontonkan kepada publik, melainkan juga dimanfaatkan sebagai media transaksi prostitusi secara online. Situs-situs porno tersebut juga menjual/menawarkan gambar-gambar bahkan cerita-cerita porno kepada setiap orang yang mengunjungi situs tersebut dengan pembayaran melaluitransfer online. Kehadiran situs-situs porno jelas tidak sesuai


(14)

dengan budaya Indonesia. Gambar-gambar cyberporn telah memberikan dampak yang luar biasa pada tingkat individu, keluarga, komunitas, masyarakat-bangsa, bahkan umat manusia secara keseluruhan. Khususnya, cyberporn memberikan dampak yang besar pada dunia kebudayaan dan keberagamaan pada umumnya. Dengan adanya kenyataan tersebut, aparat kepolisian sebagai aparat penegak hukum tentu saja tidak bisa tinggal diam, oleh karenanya harus dilaksanakan operasi atau razia terhadap warnet-warnet ‘nakal’ yang kini semakin merebak. Sukses merazia warnet yang menggunakan software bajakan pada awal 2007 lalu, Kamis (27/12) kemarin Polwil Malang kembali merazia warnet. Dalam razia yang berlangsung mulai pukul 11.00 hingga pukul 12.00 ini, petugas menyita sebanyak 116 unit personal computer (PC) dari empat warnet, yakni X-trem di Jl MT Haryono, Wardot di Jl Danau Toba, Lilo Magnet yang berada di Ruko Dinoyo Permai. Hingga kemarin, Reskrim Polwil Malang masih menuntaskan penyidikan terhadap 12 saksi dari karyawan, konsumen dan teknisi pada warnet itu. Kasubag Reskrim Polwil Malang AKP Jamaludin Farti mengatakan, razia ini berawal dari penyelidikan yang pernah dilakukan seminggu sebelumnya. Ditemukan banyak film yang di-copy dari internet, satu komputer kami temukan sekitar lima film. Dari hasil penyelidikan diketahui, warnet-wanet ini dikenal memang kerap menyediakan film-film porno yang bisa dengan mudah menikmatinya tanpa harus men-download terlebih dahulu dari situs yang menyediakannya. Jamaludin menduga ada kesengajaan yang dilakukan pengelola untuk men-copy film tanpa sensor (http://www.detikinet.com, di akses pada 22 Juli 2011).

Tujuannya sebagai daya tarik agar warnet bisa banyak menjaring konsumen, yang lebih memprihatinkan pada saat kejahatan mayantara (cybercrime) semakin


(15)

meningkat jumlahnya, ternyata masih banyak pelaku yang tidak dapat diadili akibat ketiadaan undang-undang. Akibatnya, sangat wajar apabila kejahatan mayantara (cybercrime) semakin meningkat dari waktu ke waktu. Ketiadaan undang-undang yang menjadi penyebab tidak dapat dibiarkan berlarut-larut, karena apabila hal ini tidak segera diselesaikan akan menimbulkan keresahan di masyarakat dan pada akhirnya hukum akan kehilangan wibawanya (Didik M. Arief Mansur dan Alisatris Gultom, 2005).

Seiring berjalannya waktu melihat fenomena semakin merebaknya kejahatan mayantara (cybercrime) mengingat selain menggunakan piranti canggih, modus cybercrime juga tergolong rapi, dan semakin banyak pihak yang dirugikan dari kejahatan ini, yang kemudian memunculkan reaksi dari dari seluruh elemen masyarakat untuk mengajak pemerintah agar segera bertindak mengatasi permasalahan ini. Karena seperti diketahui bahwa sistem pembuktian kita terutama yang menyangkut elemen penting dari alat bukti (Pasal 184 KUHAP ayat (1) huruf c) masih belum mengakui data komputer sebagai bagiannya karena sifatnya yang digital, padahal dalam kasus cyber crime data elektronik sering kali menjadi barang bukti yang ada, karenanya sangat realistis jika data elektronik dijadikan sebagai bagian dari alat bukti yang sah. Oleh karena itu dibutuhkan perangkat hukum tentang dunia maya/siber (cyberlaw) yang dapat secara langsung menangani kejahatan mayantara. Maka dibuatlah berbagai rancangan undang-undang yang bersangkutan dalam rangka menanggulangi cyber crime, dan baru-baru RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dipilih untuk disahkan menjadi UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Oleh karena itu, penanggulangan cybercrime dilakukan dengan


(16)

pencegahan dan penegakan hukum, demi tercapainya supremasi hukum. Sebab, apabila dibiarkan terus-menerus, tidak menutup kemungkinan dapat mengganggu keamanan dalam negeri. Sesungguhnya cyber crime sudah mengganggu keamanan dalam negeri. Sehingga diperlukan langkah strategis aparat penegak hukum untuk menanggulanginya.

Berdasarkan tersebut di atas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul: Analisis Pertanggungjawaban Pidana Pemilik Situs Porno ditinjau dari Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana yang dapat dijatuhkan kepada pemilik situs porno ditinjau dari Undang-Undang Pornografi dan Informasi dan Transaksi Elektronik?

b. Apakah faktor penghambat dalam pertanggungjawaban pidana yang dapat dijatuhkan kepada pemilik situs porno ditinjau dari Undang-Undang Pornografi dan Informasi dan Transaksi Elektronik?

2. Ruang Lingkup

Penulis membatasi ruang lingkup dalam penelitian terbatas pada kajian hukum pidana yang meliputi: sebagai tempat penelitian adalah Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang dan permasalahan yang dibahas adalah


(17)

pertanggungjawaban pidana yang dapat dijatuhkan kepada pemilik situs porno ditinjau dari Undang-Undang Pornografi dan Informasi dan Transaksi Elektronik.

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana yang dapat dijatuhkan kepada pemilik situs porno ditinjau dari Undang-Undang Pornografi dan Informasi dan Transaksi Elektronik.

2. Untuk mengetahui faktor penghambat dalam pertanggungjawaban pidana yang dapat dijatuhkan kepada pemilik situs porno ditinjau dari Undang-Undang Pornografi dan Informasi dan Transaksi Elektronik

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini meliputi kegunaan teoritis dan praktis, yaitu : 1. Kegunaan teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan ilmu hukum dan dapat memperluas daya berfikir, dapat mengembangkan kemampuan berkarya ilmiah dengan daya nalar dan sebagai sumber informasi bagi mereka yang memerlukan dan dapat menjadi salah satu referensi, khususnya mengenai putusan pengadilan tentang pemilik situs porno ditinjau dari Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.


(18)

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak yang berkepentingan khususnya bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam menindak tindak pidana pemilik situs porno.

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

a. Unsur Tindak Pidana

Suatu tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada umumnya memiliki dua unsur yakni unsur subjektif yaitu unsur yang melekat pada diri si pelaku dan unsur objektif yaitu unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan (Lamintang, 1981:193).

Menurut Lamintang (1981:193) unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah:

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolusatauculpa) 2. Maksud atauvoornemenpada suatu percobaan

3. Macam-macam maksud atauoogmerk

4. Merencanakan terlebih dahulu atauvoorbedachte raad 5. Perasaan takut atauvress

Unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah : 1. Sifat melanggar hukum

2. Kualitas dari si pelaku

3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

b. Pertanggungjawaban pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang


(19)

terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak (Saifudien, 2001).

Dipidananya si pelaku disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggung jawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggung jawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan.

Sebagai seorang hakim dalam memberikan putusan kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti pengaruh dari faktor agama, kebudayaan, pendidikan, nilai, norma dan sebagainya. Sehingga dapat dimungkinkan adanya perbedaan putusan atas kasus yang sama. Dan pada dasarnya hal tersebut lebih disebabkan oleh adanya perbedaan cara pandang sehingga mempengaruhi pertimbangan hakim dalam memberikan putusan.

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, adalah merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Dan kemampuan


(20)

untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat dipertanggung jawabkan.

Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggung jawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggung jawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggung jawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.

Masalah kemampuan bertanggung jawab dalam KUHP ini terdapat dalam Pasal 44 Ayat 1 yang berbunyi : “Barangsiapa melakukan perbuatan yang


(21)

tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana.”

Tidak dipertanggungjawabkan perbuatan disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat dikenakan.apabila hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat sebagai berikut :

1) Syarat Psychiartris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus.

2) Syarat Psychologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman.

c. Pertimbangan Hakim

Kekuasaan kehakiman diatur dalam UU No. 48 Tahun 2009 yang menggantikan UU No.4 Tahun 2004. Pasal 1 UU No. 48 Tahun 2009 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggarannya Negara Hukum RI. Ini berarti bahwa hakim itu bebas dari pihak ekstra yudisiil dan bebas menemukan hukum dan keadilannnya. Akan tetapi kebebasannya tidak mutlak , tidak ada


(22)

batas, melainkan dibatasi dari segi makro dan mikro. Dari segi makro dibatasi oleh sistem pemerintahan, sistem politik, sistem ekonomi dan sebagainya, sedangkan dari segi mikro kebebasaan hakim dibatasi atau diawasi oleh Pancasila, UUD, UU, kesusilaan dan ketertiban umum. Dibatasinya kebebasan hakim tidaklah tanpa alasan, karena hakim adalah manusia yang yang tidak luput dari kekhilafan. Untuk mengurangi kekeliruan dalam menjatuhkan putusan maka kebebasan hakim perlu dibatasi dan putusannya perlu dikoreksi. Oleh karena itu asas peradilan yang baik (principle of good judicature) antara lain ialah adanya pengawasan dalam bentuk upaya hukum.

Pasal 2 UU No. 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Kostitusi. Pasal 11 UU No. 48 Tahun 2009 mengatakan bahwa MA merupakan pengadilan tertinggi dari keempat lingkungan peradilan, sedangkan Pasal 12 berbunyi bahwa MK mengadili pada tingkat pertama dan terakhir. Dengan demikian sesudah Tahun 2006 kita tidak lagi mempunyai pengadilan yang tertinggi. Kecuali oleh karena MK mengadili pada tingkat pertama dan terakhir maka tidak ada upaya hukum sama sekali. Semua lingkungan peradilan dibawah MA tersedia upaya hukum, sehingga putusan pengadilan di tingkat pertama dan kedua di lingkungan di bawah MA dimungkinkan untuk dikoreksi oleh pengadilan yang lebih tinggi, Dengan tidak adanya pengawasan maka kekuasaan MK adalah mutlak. Sistem ini tidak memenuhi principle of good judicature. Pasal 19 UU No. 48 Tahun 2009 Ayat 3 mengatakan bahwa rapat musyawarah hakim adalah bersifat rahasia, yang berarti bahwa tidak boleh diketahui oleh umum atau diluar yang ikut musyawarah, sedang Ayat 5 mengatakan bahwa dalam sidang


(23)

permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan (dissenting opinion).

d. Faktor penghambat dalam pertanggungjawaban pidana yang dapat dijatuhkan kepada pemilik situs porno

Menurut Didik M. Arief Mansur dan Alisatris Gultom (2007) terdapat beberapa faktor penghambat dalam upaya penegakan hukum terhadap cybeporn antara lain seperti:

a. Lemahnya Penguasaan Komputer. Kurangnya kemampuan dan keterampilan aparat selaku penyelidik dan penyidik di bidang komputer ini mengakibatkan teknis penyelidikan, penuntutan dan pemeriksaan terhadap suatu perkara akan sulit dikuasai apalagi saat di pengadilan, karena menyangkut sistem yang ada dalam komputer, dimana sistem dalam komputer yang digunakan oleh pelaku cyberporn juga harus dikuasai oleh aparat penegak hukum, polisi selaku penyidik.

b. Bukti Elektris. Persoalan yang muncul adalah belum diakuinya data komputer yang merupakan alat bukti elektris sebagai salah satu alat bukti yang sah dipengadilan, karena sifatnya digital, atau dalam istilah kepolisian dikenal dengan digital forensik. Mengingat bukti dalam bentuk elektris tersebut tidak riil, mudah di ubah atau di copy, dihapus maupun dipindah. Dikhawatirkan pada saat diperlukan saat persidangan di pengadilan kondisi bukti elektris tersebut sudah tidak sesuai seperti saat kejadian.

c. Perbedaan persepsi. Perbedaan persepsi antara pihak penyidik dan kejaksaan, dimana pihak kejaksaan menilai bahwa tersangka dalam kasus ini belum dapat dikatakan telah melakukan kejahatan, dengan alasan karena tidak adanya saksi


(24)

yang secara langsung melihat tersangka melakukan download film porno melalui internet. Hal ini akan menghambat proses hukum dalam penanganan suatu kasus. Karena dalam rangka penegakan hukum terhadap kejahatan maupun tindak pidana apapun jenisnya, diperlukan kerjasama yang solid dari seluruh instansi terkait, jadi seharusnya pihak jaksa penuntut umum dalam hal ini bisa lebih menghargai usaha yang telah dilakukan oleh aparat Polwil Lampung, selaku penyidik, serta lebih bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugasnya sebagai bagian dari aparat penegak hukum.

d. Kepercayaan masyarakat. Tidak adanya kepercayaan dari masyarakat yang diberikan kepada Polri dalam mengemban tugas, juga menjadi kendala. Hal ini bisa dilihat dari komentar masyarakat melalui internet yang banyak memberi kesan negatif terhadap usaha yang dilakukan dengan melakukan razia sejumlah warnet di Lampung tersebut. Dampaknya seperti yang bisa dilihat, bahwa setelah dilakukannya razia warnet tersebut ternyata tidak membuat jera para pemilik warnet, karena hanya beberapa waktu saja setelah razia tersebut warnet-warnet tersebut tertib dan patuh pada peraturan, namun kini sudah bermunculan kembali praktek pornografi tersebut

e. Instrumen Hukum. Belum adanya cyber law di Indonesia untuk menanggulangi cyber crime. Peraturan perundang-undangan yang juga harus diformulasikan dengan tepat dan sebaik-baiknya agar bisa dilaksanakan dengan efektif dan efisien. Karena peluang semakin meningkatnya cyber crimeini di masa yang akan datang sangat besar.


(25)

2. Konseptual

a. Analisis merupakan kajian ilmiah terhadap suatu masalah yang muncul yang memerlukan penyelesaian berdasarkan fakta dan dasar-dasar teori yang ada (www.e-psikologi.co.id, 2009).

b. Pertanggungjawaban pidana adalah tindakan yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak (Saifudien, 2001)

c. Website atau situs porno dapat diartikan sebagai kumpulan halaman-halaman yang digunakan untuk menampilkan informasi teks, gambar diam atau gerak, animasi, suara, dan atau gabungan dari hal yang berbau pornografi baik yang bersifat statis maupun dinamis yang membentuk satu rangkaian bangunan yang saling terkait dimana masing-masing dihubungkan dengan jaringan-jaringan halaman (hyperlink) (Sutarman, 2007)

d. Berdasarkan Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, situs porno adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya (Muhammad Nuh, 2008)


(26)

F. Sistematika Penulisan

Upaya memudahkan maksud dari penelitian ini serta dapat dipahami, maka penulis membaginya ke dalam 5 (lima) bab secara berurutan dan saling berkaitan hubungannya yaitu sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang Latar Belakang tentang Putusan Pengadilan dalam memutuskan pelaku tindak pidana pornografi yang selanjutnya merumuskan masalah dalam menentukan Ruang Lingkup Penelitian, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Konseptual dan Sistematika Penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang teori-teori yang dapat dijadikan sebagai dasar atau teori dalam menjawab masalah yang terdiri dari Pengertian Tindak pidana dan Jenis-Jenis Tindak pidana, Bentuk-Bentuk Tindak pidana pornografi, Sebab-sebab Terjadinya Tindak pidana, serta Dasar Hukum Pemberantasan Tindak pidana pornografi.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan langkah-langkah atau cara yang dilakukan dalam penelitian meliputi Pendekatan Masalah, Sumber dan Jenis Data, Pengumpulan Data dan Pengolahan Data serta Analisa Data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat pembahasan berdasarkan hasil penelitian dari pokok permasalahan tentang: dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan pelaku


(27)

tindak pidana pornografi dan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pornografi.

V. PENUTUP

Bab ini dibahas mengenai kesimpulan terhadap jawaban permasalahan dari hasil penelitian dan saran dari penulis yang merupakan alternatif penyelesaian permasalahan yang ada guna perbaikan di masa mendatang.


(28)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahib dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Refika Aditama, Bandung, 2005

Alfons Zakaria, Proposal Penelitian Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pengaturan Website Yang Bermuatan Pornografi di Indonesia. 2007 Didik M. Arief Mansur dan Alisatris Gultom,Cyber Law-Aspek Hukum Teknologi

Informasi, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm.12.

Drs. H. Sutarman, M.H.Cyber Crime,Modus Operandi dan Penanggulangannya. LaksBang Pressindo. Yogyakarta. 2007

Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt,Sosiologi, Erlangga, Jakarta, 1984

Teguh Arifiyadi, SH (Inspektorat Jenderal Depkominfo),Cyber Crime dan Upaya Antisipasinya Secara Yuridis (I), dikutip dari: http://www.google.com (22 Maret 2008)

http://www.detikinet.com/index.php/detik.read/tahun/2008/bulan/01/tgl/28/time/1 21533/idnews/885338/idkanal/319, di akses pada 22 Mei 2008.


(29)

A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Pidana memiliki pengertian perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan (KUHP).

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar (Barda Nawawi Arief, 1996:152-153).

Konstelasi negara modern hukum dapat difungsikan sebagai sarana rekayasa sosial (law as a tool ofsosialengineering). Roscoe Pound (1992: 43) menekankan arti pentingnya hukum sebagai sarana rekayasa sosial ini, terutama melalui


(30)

mekanisme penyelesaian kasus oleh badan-badan peradilan yang akan menghasilkan jurisprudensi.

Konteks sosial teori ini adalah masyarakat dan badan peradilan di Amerika Serikat. Dalam konteks ke Indonesiaan, fungsi hukum demikian itu, oleh Mochtar Kusumaatmadja (1978: 11) diartikan sebagai sarana pendorong pembaharuan masyarakat.

Sebagai sarana untuk mendorong pembaharuan masyarakat, penekanannya terletak pada pembentukan peraturan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang dimaksudkan untuk menggagas konstruksi masyarakat baru yang ingin diwujudkan di masa depan melalui pemberlakuan peraturan perundang-undangan itu.

Penegakan hukum, sebagaimana dirumuskan secara sederhana oleh Satjipto Rahardjo, merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan (Satjipto Rahardjo, 1983: 24).

Keinginan-keinginan hukum yang dimaksudkan di sini yaitu yang merupakan pikiran-pikiran badan pembentuk undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum, turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. Dengan demikian pada gilirannya, proses penegakan hukum itu memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri. Dari keadaan ini, dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa keberhasilan ataupun kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan


(31)

tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan itu dibuat (Soerjono Soekanto, 1983: 15).

Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto (1983:15), dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-undangan. Pertama, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam peroses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat,faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Sementara itu Satjipto Rahardjo (1983: 23-24), membedakan berbagai unsur yang berpengaruh dalam proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses, yakni yang agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan kriteria kedekatan tersebut, maka Satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang terlibat dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan undang-undang cq. lembaga legislatif. Pertama, unsur penegakan hukum cq. polisi, jaksa dan hakim. Dan Ketiga,unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial. Pada sisi lain, Jerome Frank (1991: 121), juga berbicara tentang berbagai faktor yang turut terlibat dalam proses penegakan hukum. Beberapa faktor ini selain faktor kaidah-kaidah hukumnya, juga meliputi prasangka politik, ekonomi, moral serta simpati dan antipati pribadi.


(32)

Lawrence M. Friedman (1977, 6-7) melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure), komponen substansi hukum (legal substance) dan komponen budaya hukum (legal culture). Struktur hukum (legal structure) merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem. Substansi hukum (legal substance) aturan-aturan dan norma-norma actual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam sistem. Adapun kultur atau budaya hukum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum.

Friedman (1977, 16) menambahkan pula komponen yang Keempat, yang disebutnya komponen dampak hukum (legal impact). Dengan komponen dampak hukum ini yang dimaksudkan adalah dampak dari suatu keputusan hukum yang menjadi objek kajian peneliti.

Berkaitan dengan budaya hukum (legal culture) ini, menurut Roger Cotterrell, konsep budaya hukum itu menjelaskan keanekaragaman ide tentang hukum yang ada dalam berbagai masyarakat dan posisinya dalam tatanan sosial. Ide-ide ini menjelaskan tentang praktik-praktik hukum, sikap warga Negara terhadap hukum dan kemauan dan ketidakmauannya untuk mengajukan perkara, dan signifikansi hukum yang relatif, dalam menjelaskan pemikiran dan perilaku yang lebih luas di luar praktik dan bentuk diskursus khusus yang terkait dengan lembaga hukum. Dengan demikian, variasi budaya hukum mungkin mampu menjelaskan banyak tentang perbedaan-perbedaan cara di mana lembaga hukum yang nampak sama dapat berfungsi pada masyarakat yang berbeda (Roger Cotterrell, 1984:25).

Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundang-undangan, telah diterima sebagai instrumen resmi yang memeproleh aspirasi untuk dikembangkan, yang diorientasikan secara pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang kontemporer. Hukum dengan karakter yang demikian itu lebih dikenal dengan konsep hukum law as a tool of sosial engineering dari Roscoe Pound (1989: 51), atau yang di dalam terminologi Mochtar Kusumaatmadja (1986:11)


(33)

disebutkan sebagai hukum yang berfungsi sebagai sarana untuk membantu perubahan masyarakat.

Karakter keberpihakan hukum yang responsif ini, sering disebutkan sebagai hukum yang emansipatif. Hukum yang emansipatif mengindikasikan sifat demokratis dan egaliter, yakni hukum yang memberikan perhatian pada upaya memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dan peluang yang lebih besar kepada warga masyarakat yang lemah secara sosial, ekonomi dan politis untuk dapat mengambil peran partisipatif dalam semua bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dikatakan bahwa hukum yang responsif terdapat di dalam masyarakat yang menjunjung tinggi semangat demokrasi. Hukum responsif menampakkan ciri bahwa hukum ada bukan demi hukum itu sendiri, bukan demi kepentingan praktisi hukum, juga bukan untuk membuat pemerintah senang, melainkan hukum ada demi kepentingan rakyat di dalam masyarakat (Max Weber, 1988: 483 ).

Berkaitan dengan karakter dasar hukum positif ini, Sunaryati Hartono melihat bahwa Undang-Undang Dasar 1945 disusun dengan lebih berpegang pada konsep hukum sebagai sarana rekayasa sosial (Sunaryati Hartono, 1991 53).

Karakter hukum positif dalam wujudnya sebagai peraturan peraturan perundang-undangan, di samping ditentukan oleh suasana atau konfigurasi politik momentum pembuatannya, juga berkaitan erat dengan komitmen moral serta profesional dari para anggota legislatif itu sendiri. Oleh karena semangat hukum (spirit of law) yang dibangun berkaitan erat dengan visi pembentuk undang-undang, maka dalam konteks membangun hukum yang demokratis, tinjauan tentang peran pembentuk


(34)

undang-undang penting dilakukan. Dikemukakan oleh Gardiner bahwa pemben-tuk undang-undang tidak semata-mata berkekewajiban to adapt the law to this changed society, melainkan juga memiliki kesempatan untuk memberikan sumbangan terhadap pembentukan perubahan masyarakat itu sendiri. Pembentuk undang-undang, dengan demikian, tidak lagi semata-mata mengikuti perubahan masyarakat, akan tetapi justru mendahului perubahan masyarakat itu. Dalam kaitan ini Saleh, Roeslan menegaskan bahwa masyarakat yang adil dan makmur serta modern yang merupakan tujuan pembangunan bangsa, justru sesungguhnya merupakan kreasi tidak langsung dari pembentuk undang-undang (Roeslan Saleh, 1979: 12).

Arti terpenting dari adanya hukum pidana sebagai bagian dari sistem hukum yang berlaku di dalam suatu negara terletak pada tujuan hukum pidana itu sendiri yakni menciptakan tata tertib di dalam masyarakat sehingga kehidupan masyarakat dapat berlangsung dengan damai dan tenteram. Tujuan hukum pidana secara umum demikian ini, sebenarnya tidak banyak berbeda dengan tujuan yang ingin dicapai oleh bidang-bidang hukum lainnya. Perbedaannya terletak pada cara kerja hukum pidana dalam mencapai tujuannya, yaitu bahwa upaya untuk mewujudkan tata tertib dan suasana damai ini oleh hukum pidana ditempuh melalui apa yang di dalam ilmu hukum pidana dikenal dengan istilah pemidanaan atau pemberian pidana.

Cara kerja hukum pidana dengan melakukan pemidanaan atau pemberian pidana ini mempunyai pengertian yang luas. Pemidanaan atau pemberian pidana mempunyai pengertian yang luas dalam arti bisa dibedakan menjadi dua


(35)

pengertian, yakni (1) pemidanaan dalam arti abstrak (pemidanaan in abstracto), dan (2) pemidanaan dalam arti kongkrit (pemidanaanin concreto). Hukum pidana menciptakan tata tertib di dalam masyarakat melalui pemberian pidana secara abstrak, artinya dengan ditetapkannya di dalam undang-undang perbuatan-perbuatan tertentu sebagai perbuatan-perbuatan yang dilarang disertai ancaman pidana, atau dengan ditetapkannya perbuatan-perbuatan tertentu sebagai tindak pidana di dalam undang-undang, maka diharapkan warga masyarakat akan mengerti dan menyesuaikan diri sehingga tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang telah dilarang dan diancam pidana itu. Dengan demikian, dengan diberlakukannya suatu undang-undang pidana yang baru di dalam masyarakat, diharapkan akan tercipta ketertiban di dalam masyarakat.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Suatu tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada umumnya memiliki dua unsur yakni unsur subjektif yaitu unsur yang melekat pada diri si pelaku dan unsur objektif yaitu unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan (Lamintang, 1981:193).

Menurut Lamintang (1981:193) unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah: 1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolusatauculpa)

2. Maksud atauvoornemenpada suatu percobaan 3. Macam-macam maksud atauoogmerk

4. Merencanakan terlebih dahulu atauvoorbedachte raad 5. Perasaan takut atauvress

Unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah : 1. Sifat melanggar hukum

2. Kualitas dari si pelaku

3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.


(36)

Menurut Marpaung (2001: 25-26) unsur tindak pidana yang terdiri dari dua unsur pokok, yakni :

Unsur pokok subjektif : 1. Sengaja (dolus) 2. Kealpaan (culpa)

Unsur pokok objektif : 1. Perbuatan manusia

2. Akibat (result) perbuatan manusia 3. Keadaan-keadaan

4. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum (Abdul Hakim, 1994: 295). Kesalahan pelaku tindak pidana berupa dua macam yakni :

1. Kesengajaan (Opzet)

Sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet. Kesengajaan ini mempunyai tiga macam jenis yaitu :

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan (Oogmerk)

Dapat dikatakan bahwa si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakan ancaman hukuman pidana. b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian (Opzet Bij

Zekerheids-Bewustzinj)

Kesengajaan semacam ini ada apbila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delict, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan (Opzet Bij Mogelijkheids-Bewustzijn)

Lain halnya dengan kesengajaan yang terang-terangan tidak disertai bayingan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, tetapi hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.

2. Culpa

Arti kata culpa adalah “kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi (Wirjono Prodjodikoro, 1996:. 65-72.).


(37)

Berdasarkan uraian di atas penulis berpendapat bahwa semua unsur tersebut merupakan satu kesatuan dalam suatu tindak pidana, satu unsur saja tidak ada akan menyebabkan tersangka tidak dapat dihukum. Sehingga penyidik harus cermat dalam meneliti tentang adanya unsur-unsur tindak pidana tersebut.

Pasal 1 angka (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (untuk selanjutnya disingkat KUHAP), penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berdasarkan Pasal 1 angka (2) KUHAP dapat disimpulkan penyidikan baru dimulai jika terdapat bukti permulaan yang cukup tentang telah terjadinya suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui penyidikan dilakukan oleh Pejabat Polisi Negara dan Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyidikan dilakukan guna mengumpulkan bukti-bukti sehingga membuat terang Tindak Pidana yang terjadi. Hukum pidana menciptakan tata tertib atau ketertiban melalui pemidanaan dalam arti kongkrit, yakni bilamana setelah suatu undang-undang pidana dibuat dan diberlakukan ternyata ada orang yang melanggarnya, maka melalui proses peradilan pidana orang tersebut dijatuhi pidana. Tujuan penjatuhan pidana atau pemberian pidana itu sendiri bermacam-macam bergantung pada teori-teori yang dianut di dalam sistem hukum pidana di suatu masa. Kendati demikian, tujuan akhir dari penjatuhan pidana atau pemberian pidana itu tetap di dalam koridor atau


(38)

kerangka untuk mewujudkan tujuan hukum pidana. Ini berarti bahwa penjatuhan pidana atau pemberian pidana sebenarnya merupakan sarana untuk mencapai tujuan hukum pidana.

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa kurang dapat ditanggulanginya masalah kejahatan karena hal-hal berikut:

1. Timbulnya jenis-jenis kejahatan dalam dimensi baru yang mengangkat dan berkembang sesual dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Jenis-jenis kejahatan tersebut tidak seluruhnya dapat terjangkau oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan produk peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

2. Meningkatnya kualitas kejahatan baik dari segi pelaku dan modus operandi yang menggunakan peralatan dan teknologi canggih sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Padahal kemampuan aparat penegak hukum (khususnya Polri) terbatas baik dan segi kualitas sumber daya manusia, pembiayaan, serta sarana dan prasarananya, sehingga kurang dapat menanggulangi kejahatan secara intensif.

Kebijakan untuk menanggulang masalah-masalah kejahatan di atas dilakukan dengan mengadakan peraturan perundang-undangan di luar KUHP baik dalam bentuk undang-undang pidana maupun undang-undang administratif yang bersanksi pidana, sehingga di dalam merumuskan istilah kejahatan dikenal adanya istilah tindak pidana umum, tindak pidana khusus, dan tindak pidana tertentu. Sesuai dengan ketentuan Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang


(39)

Hukum Acara Pidana (KUHAP) penanganan masing tindak pidana tersebut diselenggarakan oleh penyidik yang berbeda dengan hukum acara pidananya masing-masing.

Tindak pidana umum adalah tindak pidana kejahatan dan pelanggaran yang diatur di dalam KUHP yang penyidikannya dilakukan oleh Polri dengan menggunakan ketentuan yang terdapat dalam KUHAP. Tindak pidana khusus adalah tindak pidana di luar KUHP seperti Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Undang-Undang Bea Cukai, Undang-Undang-Undang-Undang Terorisme dan sebagainya yang penyidikannya dilakukan oleh Polri, kejaksaan, dan pejabat penyidik lain sesuai dengan ketentuan-ketentuan khusus hukum acara pidana bersangkutan. Sementara itu, tindak pidana tertentu adalah tindak pidana di luar KUHP yang tidak termasuk dalam tindak pidana khusus, seperti Undang-Undang Hak Cipta, Undang-Undang Keimigrasian, Peraturan Daerah, dan sebagainya.

B. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban berasal dari kata tanggung jawab dimana menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah, keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Sehingga bertanggung jawab menurut kamus umum bahasa Indonesia adalah berkewajiban menanggung, memikul jawab, menanggung segala sesuatunya, atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak di sengaja. Tangung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001: 591).


(40)

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak (Saifudien, 2001).

Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggung jawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggung jawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggung jawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Dalam KUHP masalah kemampuan bertanggungjawab ini terdapat dalam Pasal 44 ayat 1 yang berbunyi : “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidakdipidana.” (Saifudien, 2001)

Pertanggungjawaban yang akan dibahas adalah menyangkut tindak pidana yang pada umumnya sudah dirumuskan oleh si pembuat undang-undang untuk tindak pidana yang bersangkutan. Namun dalam kenyataannya memastikan siapa si


(41)

pembuatnya tidak mudah karena untuk menentukan siapakah yang bersalah harus sesuai dengan proses yang ada, yaitu sistem peradilan ,pidan berdasarkan KUHP.

C. Pornografi dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

1. Pengertian Pornografi

Pornografi merupakan salah satu bentuk dari sekian banyak kejahatan terhadap kesusilaan. Kata “kesusilaan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, diterbitkan Balai Pustaka 1989, dimuat artinya “perihal susila” kata “susila” dimuat arti sebagai berikut:

1) baik budi bahasanya, beradab, sopan, tertib;

2) adat istiadat yang baik, sopan santun, kesopanan, keadaban: 3) pengetahuan tentang adat.

Kata “susila” dalam bahasa Inggris adalah moral, ethics, decent. Kata-kata tersebut biasa diterjemahkan berbeda. Kata moral diterjemahkan dengan moril, kesopanan, sedang ethics diterjemahkan dengan kesusilaan, dan decent diterjemahkan dengankepatutan(Leden Marpaung, 2004).

Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dicantumkan arti pornografi adalah sebagai berikut

1. Penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi: mereka mengumandangkan argumentasi bahwa………….merendahkan kaum wanita;


(42)

2. Bahan yang dirancang dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks.

Pornografi juga merupakaan sebuah istilah yang mempunyai pengertian jamak dan cenderung tak jelas batas-batasnya. Beberapa pengertian pornografi adalah sebagai berikut :

a. Di dalam The Fontana Dictionary of Modern Thought, ‘pornografi’ didefinisikan sebagai bentuk “representasi (dalam literatur, filem, video, seni rupa, internet) yang tujuannya adalah untuk menghasilkankepuasan seksual. b. Pornografi’ didefinisikan pula sebagai “. . .penggunaan representasi

perempuan (tulisan, gambar, foto, video, filem) dalam rangka manipulasi hasrat (desire) orang yang melihat, yang di dalamnya berlangsung proses degradasi perempuan dalam statusnya sebagai ‘obyek seksual’ laki-laki”. c. Jon Huer mendefinisikan ‘pornografi’ sebagai “. . .setiap obyek yang

diproduksi dan didistribusikan dengan tujuan memasarkannya untuk memperoleh keuntungan, dengan merangsanggairah seksual kita”.

Bahwa pengertian-pengertian di atas, terdapat perbedaan penekanan pada tiga definisi tersebut: yang satu berdasarkan kacamata umum, yang kedua feminis, dan yang ketiga ekonomi.

Delik pornografi dalam KUHP yang berkaitan dengan pornografi diatur dalam Pasal 282 KUHP, yang bunyinya sebagai berikut :

(1) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan, gambaran atau benda, yang diketahui isinya dan melanggar kesusilaan, atau barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka


(43)

umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukkan ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau mempunyai dalam persediaan, ataupun barangsiapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannva atau menunjukkannya sebagai bisa didapat. Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau denda paling tinggi tiga ribu rupiah.

(2) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan atau barangsiapa dengan maksud" untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikinnya, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskan, mengeluarkannya dan negeri atau mempunyai dalam persediaan, atau barangsiapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan atau menunjukkan sebagai bisa didapat, diancam jika ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambaran atau benda itu melanggar kesusilaan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

Kalau yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut dalam ayat pertama, sebagai pencaharian atau kebiasaan, dapat dijatuhi pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak lima ribu rupiah. Perbuatan-perbuatan yang diancam hukuman, baik dalam ayat (1) maupun ayat (2) dari pasal tersebut ada tiga macam, yakni :

a. Menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan dengan terangterangan tulisan dan sebagainya;


(44)

b. Membuat, memasukkan ke dalam negeri, mengirim langsung ke dalam negeri, mengirim langsung ke luar negeri, membawa ke luar ataumenyediakan tulisan dan sebagainya untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan dengan terang-terangan;

c. Dengan terang-terangan atau dengan sengaja menyiarkan suatu tulisan menawarkan dengan tidak diminta atau menunjukkan, bahwa tulisan dan sebagainya itu boleh didapat.

Arti “menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan dengan terangterangan” yakni;

a. Yang dapat disiarkan adalah misalnya; surat kabar, majalah, buku, surat selebaran atau lainnya, yang dibuat dalam jumlah banyak.

b. “Mempertunjukkan” berarti memperlihatkan kepada orang banyak.

c. “Menempelkan” berarti melekatkan disuatu tempat yang mudah diketahui oleh orang banyak.

Internet sendiri termasuk klasifikasi tempat yang mudah diketehui oleh orang banyak dan termasuk sarana/tempat “penyiaran”.

2. Rumusan Pornografi dalam UU No. 8 Tahun 1992

Pasal 40 huruf c UU. RI No 8 Tahun 1992 tentang Perfilman yang menyebutkan : Barang siapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, nempertunjukkan dan/atau menayangkan film yang tidak disensor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1). Sensor film tersebut yang termasuk didalamnya adalah bagian film yang mengandung muatan pornografi.


(45)

3. Rumusan Pornografi dalam UU No. 11 Tahun 2008

Dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, pornografi diatur dalam Bab VII tentang Perbuatan yang Dilarang,Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

Sanksi terhadap pelanggaran pasal 27 ayat (1) tersebut diatur dalam Bab XI tentang Ketentuan Pidana Pasal 45 ayat (1), yang berbunyi: Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

D. Teori Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah telah ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang, ia akan diminta pertanggungjawaban apabila perbutan tersebut melanggar hukum. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban (Saifudien, 2001).


(46)

Pada umumnya seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab dapat dilihat dari beberapa hal yaitu:

Keadaan Jiwanya

a. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara. b. Tidak cacat dalam pertumbuhan (Gage, Idiot, gila dan sebagainya)

c. Tidak terganggu karena terkejut (Hipnotisme, amarah yang meluap dan sebagainya).

Kemampuan Jiwanya :

a. Dapat menginsyafi hakekat dari perbuatannya.

b. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah dilaksanakan atau tidak.

c. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.

Adapun menurut Van Hamel (2001), sate (1) seseorang baru bisa diminta pertanggungjawabannya apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Orang tersebut harus menginsafi bahwa perbuatannya itu menurut tata cara kemasyarakatan adalah dilarang.

b. Orang tersebut harus dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya tersebut. Selain itu menurut, doktriner untuk menentukan kemampuan bertanggungjawab harus ada dua hal yaitu Adanya kemampuan untuk membedakan perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang bertentangan dengan hak. Adanya kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafannya tentang baik buruknya perbuatan yang dilakukan.


(47)

Sementara itu berkaitan dengan masalah kemampuan bertanggung jawab KUHP tidak memberikan batasan, KUHP hanya merumuskannya secara Negative yaitu mempersyaratkan kapan seseorang dianggap tidak mampu mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukan.

Menurut ketentuan Pasal 44 ayat (1) seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya atas suatu perbuatan karena dua alas an yaitu : 1.Jiwanya carat dalam pertumbuhannya. 2.Jiwanya terganggu karena penyakit. Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, oleh karena itu untuk membuktikan unsur kesalahan tersebut, maka unsur pertanggung jawaban harus juga dibuktikan, namun demikian untuk membuktikan adanya unsur kemampuan bertanggungjawab itu sangat sulit dan membutuhkan waktu dan biaya, maka dalam praktek dipakai faksi yaitu bahwa setiap orang dianggap mampu bertanggungjawaban kecuali ada tanda-tanda yang menunjukkan lain. Maka dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian pertanggung jawaban pidana yaitu kemampuan seseorang untuk menerima resiko dari perbuatan yang diperbuatnya sesuai dengan undang-undang.

E. Teori Penanggulangan Tindak Pidana

Kejahatan yang dilakukan seseorang dapat mengakibatkan terjadinya kegoncangan, ketidak-harmonisan dalam masyarakat yang menginginkan kehidupan yang tentram dan sejahtera. Hukum pidana dengan salah satu sarananya berupa pidana, merupakan alternatif, salah satu bagian, untuk menanggulangi kejahatan dan mengembalikan kejahatan dan mengembalikan kehidupan masyarakat supaya tertib dan tentram kembali.


(48)

Kejahatan merupakan gejala universal, artinya tidak hanya menjadi masalah nasional tetapi juga menjadi masalah yang ada dimana-mana. Karena kejahatan mendatangkan kerugian di dalam kehidupan masyarakat, maka terhadap pelaku kejahatan perlu dilakukan pemberian sanksi atau hukuman yang setimpal, dan untuk itu perlu suatu proses untuk menetapkan bahwa suatu perbuatan itu adalah kejahatan oleh suatu lembaga yang berwenang dengan menjatuhkan sanksi pidana.

Barda Nawawi Arief (2001) yang mengambil pendapat Gene Kassebaum menyatakan bahwa penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Adapula yang menyebutnya sebagai “older philosophy of crime control”. Herbert L. Packer juga mengemukakan bahwa pengendalian perbuatan anti sosial dengan menggunakan pidana pada seseorang yang bersalah merupakan suatu problem sosial yang mempunyai dimensi hukum yang penting.

Selanjutnya Barda Nawawi Arief (2001) mengemukakan bahwa : “meningkatnya kejahatan dapat mengganggu kebijakan perencanaan kesejahteraan masyarakat yang ingin dicapai. Oleh karena itu kebijakan perencanaan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial harus pula dibarengi dengan kebijakan perencanaan perlindungan sosial. Malahan sebenarnya di dalam menetapkan kebijakan sosial, yaitu usaha-usaha yang rasional untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, di dalamnya harus sudah tercakup juga kebijakan mengenai perencanaan perlindungan masyarakat (social defence planning)”.


(49)

Lebih lanjut dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief : “salah satu bentuk dari perencanaan perlindungan sosial adalah usaha-usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan yang biasa disebut dengan “politik kriminal”. Tujuan akhir dari kebijakan kriminal adalah “perlindungan masyarakat” untuk mencapai tujuan utama yang sering disebut dengan istilah, misalnya “kebahagiaan warga masyarakat” (happines of the citizens), “kehidupan kultural yang sehat dan menyegarkan” (a wholesome and cultural living), “kesejahteraan masyarakat” (social welfare) atau untuk mencapai “keseimbangan” (equalitiy). Dengan demikian politik kriminal yang merupakan bagian dari perencanaan perlindungan masyarakat merupakan bagian pula darikeseluruhan kebijakan sosial”.

Sehubungan dengan konsep pemikiran yang demikian itu, maka Sudarto (2004) mengemukakan bahwa apabila hukum pidana hendak dilibatkan dalam usaha-usaha mengatasi segi negatif dari perkembangan masyarakat, maka hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal atau social defence planning. Dikemukan pula selanjutnya, bahwa social defence planning ini pun harus merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional.

Politik kriminal menurut Sudarto (2001) mempunyai tiga arti, yaitu : a. “dalam arti sempit”, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; b. dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja pengadilan dan polisi; c. dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen) ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan


(50)

dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat”.

Sedangkan menurut G.P. Hoefnagels (2001) upaya penanggulangan kejahatan (Politik Kriminal) dapat ditempuh dengan :

a. Penerapan hukum pidana (criminal law aplication);

b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);

c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment / mass media)”.

Dengan demikian upaya penanggulangan kejahatan (politik kriminal) secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu lewat jalur “penal” (hukum pidana) dan lewat jalur “non-penal” (bukan/di luar hukum pidana). Dalam pembagian di atas, upaya-upaya yang disebut dalam butir (a) merupakan upaya “penal, sedangkan upaya-upaya yang disebut dalam butir (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya “non penal”.

Kebijakan atau politik hukum pidana merupakan bagian dari politik penanggulangan kejahatan (politik kriminal). Dengan perkataan lain politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Kebijakan atau politik hukum pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pdana), sehingga dapat dikatakan bahwa politik atau kebijakan hokum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).


(51)

DAFTAR PUSTAKA

Ade Maman Suherman,Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, Jakarta,

Arief, Barda Nawawi, 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung.

Didik M. Arief Mansur dan Alisatris Gultom, op.cit.

Ervina Lerry W.S., Iman dan 25 Drs. H. Sutarman, M.H. Op. cit.hlm. 66. http://anggara.files.wordpress.com/2008/04/na_ruu_tipiti.pdf

http://www.wikipedia.org/wiki/internet. di akses pada 22 Juli 2011.

Leden Marpaung, S.H., Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.

Mas Wigrantoro Roes Setiyadi dan Mirna Dian Avanti Siregar, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi, Global Internet PolicyInitiative-Indonesia bekerja sama dengan Indonesia Media Law and Policy Center, November, 2003,

Rumusan Sementara Seminar Cyber Crime dan Cyber Porn Dalam Perspektif Hukum Teknologi dan Hukum Pidana, Semarang, 6 –7 Juni 2007, hlm 15-16.


(52)

A. Pendekatan Masalah

Berdasarkan klasifikasi penelitian hukum baik yang bersifat normatif maupun yang bersifat empiris serta ciri-cirinya, maka pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Pendekatan Yuridis Normatif (Library Research)

Pendekatan yuridis normatif dilakukan melalui studi kepustakaan, dengan cara mempelajari buku-buku, bahan-bahan bacaan literatur peraturan perundang-undangan yang menunjang dan berhubungan sebagai penelaahan hukum terhadap kaedah yang dianggap sesuai dengan penelitian hukum tertulis. Penelitian normatif terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, dasar hukum dan konsep-konsep hukum.

Pendekatan ini dilaksanakan dengan mempelajari norma atau kaidah hukum yaitu Undang-Undang tindak pidana pornografi dan peraturan-peraturan lainnya serta literatur-literatur yang berhubungan dengan pidana pornografi.

2. Pendekatan Yuridis Empiris

Pendekatan yuridis empiris adalah menelaah hukum terhadap objek penelitian sebagai pola perilaku yang nyata dalam masyarakat yang ditujukan kepada penerapan hukum yang berkaitan dengan penyelesaian hukum yang dapat


(53)

dilakukan pengadilan dalam mengadili tindak pidana pornografi pada Pengadilan Negeri dan identifikasi permasalahannya.

Dipergunakannya pendekatan normatif dan pendekatan empiris karena penelitian ini berdasarkan jenisnya merupakan kombinasi antara penelitian normatif dengan empiris. Sedangkan berdasarkan sifat, bentuk dan tujuannya adalah penelitian deskriptif danproblem identification, yaitu dengan mengidentifikasi masalah yang muncul kemudian dijelaskan berdasarkan peraturan-peraturan atau perundang-undangan yang berlaku serta ditunjang dengan landasan teori yang berhubungan dengan penelitian Maleong (2005: 60).

B. Jenis dan Sumber Data

1. Jenis Data

Menurut Maleong (2005: 65) Sumber data yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah bersumber pada:

a. Data Sekunder, adalah data yang diperoleh dengan jalan menelaah bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang sesuai dengan masalah yang dibahas.

b. Data Primer, adalah data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti dari masyarakat. Dalam hal ini mengenai tugas dan wewenang Pengadilan Negeri sebagai penyelenggara peradilan di masyarakat dalam mengadili tindak pidana pornografi.


(54)

2. Sumber Data

Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan (Library Research) dengan cara membaca, mengutip, menyalin dan menganalisis berbagai literatur. Data sekunder yang terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum yaitu:

a. Bahan hukum primer yaitu antara lain meliputi:

1) Undang-Undang No 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

4) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi

5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

b. Bahan Hukum sekunder yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer seperti buku-buku, literatur dan karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan, yaitu:

1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP.

2) Rancangan KUHP dan Rancangan KUHAP

c. Bahan hukum tersier merupakan data pendukung yang berasal dari informasi dari buku-buku, literatur, media massa, kamus maupun data-data lainnya.


(55)

C. Penentuan Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi merupakan kumpulan unsur-unsur atau elemen-elemen yang menjadi objek kajian penelitian, atau jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diperkirakan (Suharsimi Arikunto, 1998: 32)

Populasi dalam penelitian ini berjumlah 6 orang, yaitu Hakim di Pengadilan Negeri Kelas I Tanjung Karang, 2 orang Jaksa di Kejaksaan Tinggi Bandar Lampung dan Dosen Hukum Pidana Universitas Lampung sebanyak 2 orang.

2. Sampel

Sampel merupakan sebagian dari populasi yang diambil secara proporsional untuk dinikmati dalam suatu penelitian. Dengan rincian sampel adalah sebagai berikut: 1. Hakim di Pengadilan Negeri Kelas I Tanjung Karang 2 orang

2. Jaksa di Kejaksaan Tinggi Bandar Lampung 2 orang

3. Dosen 2 orang

Jumlah 6 orang

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:

a. Studi dokumentasi dan Studi Pustaka, studi dokumentasi dan pustaka ini dilakukan dengan jalan membaca teori-teori dan peraturan


(56)

perundang-undangan yang berlaku (bahan hukum primer, sekunder dan bahan buku tertier). Kemudian menginventarisir serta mensistematisirnya.

b. Wawancara, wawancara ini dipergunakan untuk mengumpulkan data primer yaitu dengan cara wawancara terarah atau directive interview. Dalam pelaksanaan wawancara terlebih dahulu menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada Kepala Pengadilan.

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data yang telah diperoleh maka penulis melakukan kegiatan-kegiatan antara lain:

a. Editing yaitu memeriksa kembali mengenai kelengkapan, kejalasan dan kebenaran data yang telah diterima serta relevansinya dalam penelitian

b. Klasifikasi data adalah suatu kumpulan data yang diperoleh perlu disusun dalam bentuk logis dan ringkas, kemudian disempurnakan lagi menurut ciri-ciri data dan kebutuhan penelitian yang diklasifikasikan sesuai jenisnya. c. Sistematika data yaitu melakukan penyusunan data secara sistematis sesuai

dengan jenis dan pokok bahasan dengan maksud memudahkan dalam menganalisa data tersebut.

E. Analisis Data

Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian yang bersifat sosial adalah analisis secara kualitatif. Pengertian analisis kualitatif adalah tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan perilaku yang nyata. Sedangkan yang dimaksud


(57)

dengan analisis kualitatif adalah penyorotan upaya-upaya yang banyak didasarkan pada pengukuran yang memecahkan objek-objek penelitian ke dalam unsur-unsur tertentu, untuk kemudian ditarik generalisasinya yang seluas mungkin terhadap ruang lingkup yang telah ditetapkan (Soerjono Soekanto. 1986: 35).

Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif, hal ini didasarkan pada teori bahwa penelitian normatif dimana perolehan datanya lebih dominan dengan studi kepustakaan/data sekunder (meliputi hukum primer, sekunder dan tersier) metode yang diterapkan lebih tepat analisis kuantitatif, sedangkan data primer hasil pengamatan dan wawancara dikualitatifkan.


(58)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi, 1998. Prosedur Penelitian, SuatuPendekatan Praktik. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.

Maleong, Lexy J, 2005,Metode Penelitian Sosial: Edisi Revisi, Bandung, Remaja Rosdakarya.


(1)

PERSEMBAHAN

Semua yang telah Kucapai ini adalah atas berkah dan Rahmat ALLAH SWT dan Junjungan besar Nabi Muhammad SAW dan hasil kerja keras ku selama ini.

Kupersembahkan Karya ku ini Kepada :

Ayah dan Ibu tercinta, yang selalu mencurahkan kasih sayang dan tidak henti-hentinya mendoakan keberhasilan

ku dalam setiap sujudnya.

Adikku dan keluarga besarku yang selalu memberikan dukungan dan doa kepadaku.

Terima Kasih untuk Seseorang yang telah memberi semangat dan mewarnai hariku dan cintanya

Dan untuk semua teman-temanku yang telah memberikan dorongan, saran dan bantuan sehingga skripsi ini dapat


(2)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Karang, Bandar Lampung pada tanggal 31 Desember 1988, putra pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Murdan,S.Sos., M.M dan Nur’Aini, S.pd.

Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanal-Kanak (TK) Kartika Tanjung Karang Bandar Lampung pada tahun 1994, Sekolah Dasar Negeri (SD.N) 1 Langkapura Tanjung Karang Bandar Lampung pada tahun 2001, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTP) 25 Tanjung Karang Bandar Lampung tahun 2004, kemudian dilanjutkan Sekolah Menengah Tingkat Atas (SLTA) AL-Kautsar Bandar Lampung tahun 2007.

Pada tahun 2007 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur penerimaan Non Reguler. Penulis mengikuti Praktek Kerja Lapangan pada tahun 2010 di Malang-Bali-Yogyakarta. Kemudian pada tahun 2012 penulis menyelesaikan skripsi sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung.


(3)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PEMILIK SITUS PORNO DITINAJU DARI UNDANG-UNDANG TENTANG

PORNOGRAFI DAN UNDANG-UNDANG TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Oleh:

Wendy Desky R

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(4)

SANWACANA

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah Swt karena atas Rahmat dan Hidayahnya lah Skripsi yang berjudul “Analisis Pertanggungjawaban Pidana Pemilik Situs Porno Ditinjau Dari Undang-Undang Tentang Pornografi dan Undang-Undang Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik” ini dapat terselesaikan.

Pada penulisan skripsi ini penulis mendapatkan bimbingan, arahan serta dukungan dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat berjalan dengan baik. Pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya terhadap :

1. Bapak Dr. Heriyandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana dan selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan arahan, bimbingan dan masukan sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

3. Ibu Firganefi, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dengan penuh perhatian dan kesabaran sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas I yang telah memberikan kritik dan saran serta masukan dalam penulisan skripsi ini.


(5)

5. Bapak Ahmad Irzal, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas II yang telah memberikan kritik dan saran serta masukan dalam penulisan skripsi ini.

6. Ibu Upik Umaidah, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis selama ini dalam perkuliahan.

7. Seluruh Dosen Pengajar, Staf dan Karyawan di Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.

8. Ibu Adriana,S.H selaku hakim Pengadilam Negeri 1 Tanjung Karang yang telah memberikan saran dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

9. Bapak Itong isnaini, S.H., M.H. selaku Hakim di Pengadilan Negeri Tanjung Karang yang telah memberikan saran dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

10. Ibu Diah Aprilia, S.H. selaku Jaksa di Kejaksaan Negeri Tanjung Karang yang telah memberikan saran dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

11. Bapak Husein Mubaraq, S.H. selaku Jaksa di Kejaksaan Negeri Tanjung Karang yang telah memberikan saran dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

12. Ayah dan Ibuku Murdan, S.Sos., M.M. dan Nur’Aini S.pd. dan Adik-adik ku Wiwin Ade Apriliantara, Wirvan Despana Putra, Mutiara Despana Putri dan Bang Win serta seluruh keluarga besarku yang selalu memberikan doa, kesetiaan dan kesabaran yang tiada henti, terima kasih atas cinta dan kasih sayang serta perhatiannya selama ini.

13. P.A.P Remi Falado Aan Bakre, Heru Ardiansyah, Yogi Indra, Ivan Novtiyas, dan Tri Susilo terima kasih atas semangat yang tetap terjaga.


(6)

14. Sahabat- sahabat Unila Gerry, Ijul, Nay, Aldi, Oky, Naw, Achsan, Abdul, Bajir, Andre Bli, Fajar, Irham, Febriantoni, Khafi, Agung, Nopen, Nopan, Nobrian, Serli Merina, Juwita, Caroline, Nadia Lody, Bang Yoga, Mbooool, Otto, Beri Mbe, rekan-rekan angkatan 07 Non Reg maupun Senior dan Junior Hukum yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Kebersamaan kita merupakan kisah klasik sepanjang hidup.

15. Semua yang telah ku anggap saudara, Wo Tanty, Aa Yoga, Odo Yakub, Putra, Ncik Em, Adik Raffi, Uncu, Bang Romy, Tuan, Ayah dan Ibu. Terima kasih atas semangatnya selama ini.

Akhir kata, atas bantuan, dukungan serta doa dan semangat dari kalian penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Tak ada manusia yang sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT, begitu juga penulis yang hanya mampu mengucapkan mohon maaf apabila ada yang salah dalam penulisan skripsi ini dengan harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan keilmuwan pada umumnya dan ilmu hukum khususnya hukum pidana.

Bandar Lampung, Mei 2012

Penulis