penelitian, nilai, cara kerja, dan validitas dari ilmu pendidikan. Paradigma pendidikan itu membentuk kerangka keyakinan, yang merupakan komitmen,
konsensus, yang diteladani dan digunakan oleh komunitas ilmuwan bidang
pendidikan serta berfungsi sebagai dasar, acuan, kiblat, atau pedoman, dan menentukan cara untuk melihat persoalan pendidikan dan bagaimana
menyelesaikannya.
3. Karakteristik Paradigma Baru Pendidikan
Para ahli pendidikan menggunakan kriteria yang berbeda-beda dalam menjelaskan karakteristik paradigma baru pendidikan. Surakhmad 1999,
menggunakan lima kriteria. Dari segi manajemen, paradigma baru berbasis pada kekuatan masyarakat dan mengutamakan kemandirian. Dari segi orientasi
pendidikan, dalam paradigma baru digalakkan nilai demokrasi, keteraturan dan kepastian hukum, serta mengutamakan kemajuan. Sedangkan dari segi sikap dan
pandangan kependidikan, karakteristiknya adalah menghargai keberagaman, hak- hak asasi manusia, pendidikan yang motivatif, merangsang dan menghargai
kreativitas dan inovasi, serta merangsang kerjasama secara terbuka dan fleksibel. Dari segi metodologi, paradigma baru menekankan pada pengembangan dan
pemanfaatan iptek. Sedangkan dari segi program kurikuler, paradigma baru menggunakan program kurikuler yang dinamis, riel dan kontekstual.
Sementara itu, Tilaar 2004:63 mengkonstruksi paradigma baru pendidikan dengan bertolak dari empat kriteria. Dari segi popularisasi pendidikan,
karakteristik paradigma baru pendidikan adalah: a bahwa pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang dibutuhkan rakyat banyak; b partisipasi
keluarga dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan semakin ditingkatkan; serta c investasi pendidikan sektor pemerintah ditingkatkan dan
dijadikan komitmen politik. Dari sudut sistematisasi pendidikan, karakteristiknya meliputi: a pengembangan dan pemantapan sisdiknas diprioritaskan kepada
pemberdayaan lembaga dengan memberi otonomi yang luas; dan b mengembangkan sisdiknas yang terbuka bagi keragaman dalam pelaksanaan.
Sementara dari segi proliferasi pendidikan, karakteristiknya adalah: a proliferasi “delivery system” pendidikan yang semakin kompleks dalam dunia
yang terbuka memerlukan kebijakan yang terintegrasi dalam berbagai program;
5
dan b pendidikan dan pelatihan tenaga-tenaga profesional dalam berbagai tingkat diorientasikan terutama pada kebutuhan daerah dan kebutuhan pasar kerja
di daerah. Sedangkan dari segi politisasi pendidikan, karakteristik paradigma baru, meliputi: a pendidikan nasional ikut serta dalam mendidik manusia
Indonesia sebagai insan politik yang demokratis, yang sadar akan hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang bertanggung jawab; dan b masyarakat,
termasuk keluarga, bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan. Pendapat lain menyatakan bahwa paradigma baru menekankan pada
penerapan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Sementara,
Jalal Supriadi 2001:5 menyatakan bahwa perubahan paradigma pendidikan, meliputi perubahan: 1 dari sentralistik ke desentralistik; 2 dari kebijakan top
down ke kebijakan bottom up; 3 dari orientasi pengembangan parsial ke orientasi pengembangan holistik; 4 dari peran pemerintah sangat dominan ke
meningkatnya peranserta masyarakat; serta 5 dari lemahnya peran institusi non sekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat.
Agak berbeda dengan itu, dalam buku Depdiknas 2002:10, selain hal tersebut, juga ditegaskan tiga paradigma baru pendidikan lainnya, yaitu dari
“birokrasi berlebihan” ke “debirokratisasi”, dari “manajemen tertutup” closed management ke “manajemen terbuka” open management, dan pengembangan
pendidikan, yang semula biayanya terbesar menjadi tanggung jawab pemerintah, berubah ke sebagian besar menjadi tanggung jawab orang tua peserta didik dan
masyarakat stakeholders”. Bila pendapat Jalal Supriadi digabungkan dengan yang tercantum dalam
buku Depdiknas, maka karakteristik paradigma baru pendidikan meliputi: pertama, desentralisasi pendidikan. Dalam era reformasi, cara pandang yang
sentralistik berubah ke desentralistik. Menurut Kotter 1996, lembaga yang terdesentralisasi memiliki beberapa keunggulan, antara lain: 1 lebih fleksibel,
dapat memberikan respon dengan cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan yang selalu berubah; 2 lebih efektif; 3 lebih inovatif; dan 4 menghasilkan
semangat kerja yang lebih tinggi, lebih komitmen dan lebih produktif. Sedangkan Budiono, Irfan Andi 1998:216 menyatakan bahwa dengan pengambilan
6
keputusan oleh organisasi tingkat yang lebih rendah maka akan cenderung memperoleh keputusan yang lebih baik.
Kedua, kebijakan bottom up. Di era
otonomi, sebagian besar pengembangan pendidikan dilakukan dengan pendekatan “dari bawah ke atas”
bottom up approach secara partisipatif, yang dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak dan memperhatikan dinamika, prakarsa dan kebutuhan masyarakat
setempat. Oleh karena itu, dalam penyusunan perencanaan pembangunan, diperlukan koordinasi antar instansi Pemerintah dan partisipasi seluruh pelaku
pembangunan, melalui forum Musrenbang tingkat kelurahan, kecamatan, dan kota, serta forum Satuan Kerja Perangkat Daerah.
Ketiga, orientasi pengembangan holistik. Setelah reformasi, orientasi pengembangan pendidikan bersifat holistik. Pendidikan diarahkan untuk
pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif, dan
kesadaran hukum Jalal Supriadi, 2001:5. Menurut Suparno 2003:100, pendidikan holistik dipengaruhi oleh pandangan filsafat holisme, yang cirinya
adalah keterkaitan connectedness, keutuhan wholeness, dan proses menjadi being.
Keempat, meningkatnya peranserta masyarakat. Sesudah otonomi, ada perluasan peluang bagi peran serta masyarakat dalam pendidikan baik secara
kualitatif maupun kuantitatif. Oleh karena itu, untuk mendorong partisipasi masyarakat, di tingkat KabupatenKota dibentuk Dewan Pendidikan, sedangkan di
tingkat sekolah dibentuk Komite Sekolah. Kelima, pemberdayaan peran institusi masyarakat. Dalam era otonomi, masyarakat diberdayakan dengan segenap
institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang berfungsi mendidik masyarakat. Berbagai institusi kemasyarakatan ditingkatkan wawasan, sikap,
kemampuan, dan komitmennya sehingga dapat berperan secara aktif dan bertanggung jawab dalam pendidikan.
Keenam, debirokratisasi. Dalam era reformasi, terjadi proses debirokratisasi dengan memperpendek jalur birokrasi dalam penyelesaian
masalah-masalah pendidikan secara profesional. Hal ini sesuai dengan prinsip profesionalisme dalam pendidikan, dan juga pelimpahan wewenang dan tanggung
7
jawab dalam desentralisasi. Di samping itu juga dilakukan deregulasi, dalam arti pengurangan aturan-aturan kebijakan pendidikan yang tidak sesuai dengan
kondisi, potensi, prospek sekolah, dan kepentingan masyarakat stakeholders untuk berpartisipasi terhadap sekolah, dalam bentuk gagasan penyempurnaan
kurikulum, peningkatan mutu guru, dana dan sarana serta prasarana sekolah. Ketujuh, manajemen terbuka. Dalam era reformasi, diterapkan manajemen
terbuka mulai dari pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan sampai pada evaluasi, bahkan perbaikan kebijakan. Seluruh sumber daya yang digunakan
dalam pendidikan dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada seluruh kelompok masyarakat stakeholders, dan selanjutnya terbuka untuk menerima
kritikan perbaikan apabila ditemukan hal-hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Ke delapan, pengembangan pendidikan sebagian besar menjadi tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat stakeholders. Kemajuan pendidikan
tingkat KabupatenKota akan banyak bergantung pada partisipasi orang tua siswa dan masyarakat serta pemerintah KabupatenKota masing-masing, di samping
proyek-proyek khusus, dan juga kemudahan dan pengendalian mutu dan hal-hal kepentingan nasional lainnya dari Depdiknas, dan dari Dinas Provinsi.
Sementara itu, dari segi pendidikan, paradigma baru terkait dengan banyak aspek. Pada aspek kurikulum, paradigma baru menuntut kurikulum yang dapat
mengakomodasi keragaman. Sistem pengembangan kurikulum menjadi lebih demokratis melalui diversifikasi kurikulum untuk melayani peserta didik dan
potensi daerah yang beragam. Satuan pendidikan memiliki kebebasan untuk mengembangkan kurikulumnya sendiri sesuai ciri satuan pendidikan dan
karakteristik lingkungannya masing-masing, sepanjang kurikulum itu memenuhi standar isi dan standar kompetensi lulusan Depdiknas, 2007.
Aspek orientasi pendidikan, berkenaan dengan tujuan pendidikan. John Dewey menyatakan bahwa pendidikan harus berorientasi pada nilai demokrasi.
Ide pokok demokrasi adalah pandangan hidup yang menekankan perlunya partisipasi dari setiap warga yang sudah dewasa dalam membentuk nilai-nilai
yang mengatur kehidupan bersama. Bagi Dewey, ”school is not preparation for life but life itself”. Ia memandang sekolah sebagai sebuah kehidupan dan
8
lingkungan belajar yang demokratis di mana setiap orang berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan, sebagai latihan dan persiapan untuk berpartisipasi
dalam kehidupan masyarakat yang lebih besar Knight, 1982:68. Sementara, Suyanto 2006:126 menyatakan bahwa dalam paradigma baru
pendidikan berorientasi pada pengembangan belahan otak kanan dan kiri secara seimbang. Sementara, Armstrong 2006, mengemukakan bahwa dalam upaya
perbaikan sekolah, mestinya orientasi pengembangan prestasi akademik dengan orientasi pengembangan kemanusiaan perlu diperhatikan secara seimbang. Dalam
orientasi pengembangan prestasi akademik, tujuan utama pendidikan sekolah adalah sekedar untuk melatih siswa agar lulus tes dan memperoleh peringkat yang
baik, bukan agar mereka menerima dan mengolah gagasan-gagasan yang diterimanya, sehingga bermakna untuk kehidupan.
Sementara itu, orientasi pengembangan kemanusiaan mempunyai perspektif yang secara substansi lebih luas daripada wacana pengembangan
prestasi akademik Armstrong, 2006:36. Asumsi yang diyakini, antara lain: a menjadi manusia utuh adalah aspek belajar yang penting; b proses yang penuh
makna, terus menerus dan bersifat kualitatif; c kurikulum yang luwes; d berorientasi individu; e memberi pilihan-pilihan yang bermakna pada siswa; f
menghargai masa lalu, kini dan masa depan setiap siswa; dan g mendasarkan validitas pada kekayaan pengalaman manusia.
Dari aspek orientasi pembelajaran, paradigma baru menekankan pada pembelajaran yang berpusat pada peserta didik White,2010:17; Fennimore,
1995:215. Dengan demikian, berkembangnya potensi peserta didik secara optimal merupakan sasaran utama pendidikan. Optimal, menurut Muhadjir
2003:34 menunjuk pada perkembangan yang disesuaikan dengan kemampuan subyek masing-masing, bukan penyesuaian dengan tujuan atau target yang hendak
dicapai. Pendidikan yang berorientasi pada peserta didik mempunyai tiga arti, yaitu a peserta didik diperlakukan sebagai subyek; b pendidikan
diselenggarakan sesuai dengan perkembangan dan kemampuan peserta didik; dan c pendidikan itu mengembangkan peserta didik secara utuh Suparno, 2002:24.
Dengan demikian, karakteristik paradigma baru lebih
bersifat konstruktivistik Suparno, 1997:18. Dalam paradigma konstruktivistik, manusia
9
dipandang sebagai makhluk sadar, yang mampu mengalami, berfikir, mengambil keputusan dan bertindak. Manusia dipandang sebagai makhluk yang mempunyai
potensi, tujuan hidup, nilai-nilai, pilihan, persepsi terhadap dirinya sendiri dan orang lain, serta tanggung jawab. Cara pandang semacam ini akan berdampak
pada pandangan tentang belajar, desain pembelajaran, mengajar, pembelajaran, maupun evaluasi hasil belajar.
Dalam paradigma konstruktivistik, belajar adalah proses pengkonstruksian atau pembentukan pengetahuan yang bermakna pada diri masing-masing peserta
didik. Tujuan belajar adalah pengembangan konsep dan pemahaman yang mendalam tentang obyek belajar tertentu. Hal itu dilakukan melalui proses
penataan materi belajar sendiri dan pengembangan struktur konseptual melalui refleksi dan abstraksi. Jadi, yang utama adalah bagaimana siswa menghasilkan
pemahaman dan makna sendiri tentang segala sesuatu yang mereka pelajari. Guru bukan lagi sebagai ”mesin pemindah pengetahuan”, tetapi lebih sebagai fasilitator
yang membantu pemahaman peserta didik.
Demikianlah berbagai karakteristik paradigma baru pendidikan, baik dari
segi manajemen maupun pendidikannya. Dalam perkembangannya, jiwa dan semangat paradigma baru pendidikan tersebut tercermin dalam UU Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Dalam UU tersebut, dikemukakan prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan, meliputi:
1 Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
2 Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan
sistem terbuka dan multimakna. 3
Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
4 Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun
kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
5 Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca,
menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. 6
Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian
mutu layanan pendidikan.
Dari berbagai prinsip ini, demokratisasi pendidikan dapat dikembangkan, baik dalam ranah konseptualisasi maupun praksisnya. Dari prinsip ini jelas terlihat
10
bahwa prinsip penyelenggaraan pendidikan jauh lebih demokratis dan berorientasi pada teori, sistem dan praksis pendidikan yang semakin
mengedepankan nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai global-universal. Implikasinya, dalam hubungannya dengan pendidikan prinsip-prinsip tersebut
akan berdampak pada kandungan, proses dan manajemen sistem pendidikan, menyangkut semua komponen sistem pendidikan.
4. Implikasi Berlakunya Paradigma baru Pendidikan