Kebijakan Negara tentang Pendidikan Agama Bagi Penghayat Kepercayaan.

4 dan c persepsi dan harapan Sedulur Sikep tentang Pendidikan. Setelah itu akan disajikan pembahasan terhadap hasil-hasil penelitian tersebut.

2.1. Hasil Penelitian

2.1.1. Kebijakan Negara tentang Pendidikan Agama Bagi Penghayat Kepercayaan.

Pendidikan merupakan hak mendasar warga negara yang harus dipenuhi oleh negara. Hal ini sesuai dengan undang-undang yang mempunyai tugas untuk mencerdaskan kehidupan seluruh warganya. Pengertian ini tidak terkecuali bagi mereka yang tidak memiliki agama resmi, yaitu para penghayat kepercayaan di Indonesia yang selama ini memang tidak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya. Memang pendidikan agama adalah masalah yang rumit, hal ini sesuai dengan perkataan Ki Hadjar Dewantara “Agama di dalam pengajaran sekolah adalah soal lama dan terus menerus menjadi persoalan sulit” Dewantara: 1977; 188. Sehingga Ki Hadjar Dewantara ketika mendirikan Sekolah Taman Siswa pendidikan agama bagi muridnya dimasukkan dalam kategori ethik, pendidikan Budi Pekerti. Tidaklah mengherankan jika kebijakan publik dan implementasi kebijakan tentang pendidikan keagamaan melalui mata pelajaran agama di sekolah-sekolah Indonesia memiliki dinamika yang menarik. Menurut Sulasmono 2010 secara garis besar terdapat 3 tiga tahap perkembangan kebijakan tentang pendidikan agama di sekolah di Indonesia, yaitu era pra Orde Baru, era Orde Baru, dan era paska Orde Baru. Pada tahun 1949, ketika Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat BP KNIP membahas Rancangan Undang Undang RUU Pendidikan, masalah pendidikan agama menjadi bahan perdebatan di parlemen sementara yang dimiliki bangsa Indonesia tersebut. Dua pokok persoalan yang menjadi obyek pergumulan saat itu adalah a pendidikan agama dan b sekolah swasta. Perdebatan mengenai pendidikan agama menyita banyak waktu karena terjadi perbedaan tafsiran mengenai bagaimana pelaksanaannya di sekolah dan kedalaman dari pendidikan agama itu di dalam masyarakat Pancasila. Perdebatan sengit terjadi saat mereka hendak memutuskan apakah pendidikan agama diharuskan atau tidak di sekolah-sekolah pemerintah Tilaar, 1995. Dalam rapat tanggal 18 Oktober 1949, anggota BP KNIP Zainal Abidin Achmad menyampaikan Nota yang antara lain menyatakan bahwa : a pendidikan agama supaya dijadikan mata pelajaran yang diwajibkan, b dalam hal percampuran pemuda dan pemudi co-education hendaknya jangan sampai bertentangan dengan perasaaan agama dan kebiasaan setempat Sumatra. Hal itu berbeda dengan 5 pandangan Mr. Tambunan Tilaar, 1995 yang pada intinya mengingatkan akan pentingnya kebebasan beragama dalam masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Dalam Undang Undang No 4 tahun 1950 yang kemudian dihasilkan, akhirnya ditetapkan bahwa: a Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut; b Cara penyelenggaraan pelajaran agama di sekolah sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan bersama dengan Menteri Agama ps 20. Penjelasan pasal 20 tersebut antara lain menyatakan bahwa a apakah suatu jenis sekolah memberi pelajaran agama adalah bergantung kepada umur dan kecerdasan murid-muridnya, b murid-murid yang sudah dewasa boleh menetapkan ikut dan tidaknya pelajaran agama, c sifat pelajaran agama dan jumlah jam pelajaran ditetapkan dalam undang undang tentang jenis sekolahnya, d pelajaran agama tidak mempengaruhi kenaikan kelas anak. Implementasi ketentuan ini pada masa Demokrasi Parlementer diperkuat melalui Surat Keputusan Bersama SKB, Januari 1951, yang antara lain menetapkan: a Pendidikan agama diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat Sekolah Dasar; b Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat misalnya di Kalimantan, Sumatra dan lain-lain, maka pendidikan agama diberikan mulai kelas I SR dengan catatan bahwa mutu pengetahuan umumnya tidak boleh berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya diberikan mulai kelas IV; c Di sekolah lanjutan tingkat pertama dan tingkat atas umum dan kejuruan diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam seminggu; d Pendidikan agama diberikan kepada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan mendapat izin dari orang tuawalinya; e Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama dan materi pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama. Demikianlah, sejak awal-awal dekade 50-an sampai dengan tahun 1959, dunia pendidikan nasional dilaksanakan berdasarkan UU PP dan K 19501954 berdasarkan spirit UUD 1945. Dalam praktiknya, pada masa ini pendidikan agama dikelola sepenuhnya oleh Departemen Agama. Kurikulum dan pengajaran pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri dilaksanakan sangat longgar jam pelajaran relatif minim, mata pelajaran agama tidak menentukan kenaikan kelas. Sedangkan di sekolah-sekolah swasta, pelaksanaannya bervariasi tergantung dari sikap para penyelenggaranya. Lahirnya Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959, mendorong arah pendidikan nasional yang kian nasionalistik dan 6 sosialistik. Oleh karena itu pelajaran agama tetap menjadi mata pelajaran pilihan, bukan mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah negeri. Siswa diperbolehkan untuk tidak mengikuti mata pelajaran agama. Siswa yang tidak mengikuti mata pelajaran agama, diwajibkan mengikuti pendidikan budi pekerti. Pendidikan agama di SD terintegrasi dalam pelajaran budi pekerti. Di SMP, pendidikan agama menjadi kelompok pelajaran dasar bersama dengan budi pekerti. Di SMA, pendidikan agama menjadi bagian dari filsafat Manipol Usdek dan merupakan pelajaran pelengkap. Keadaan menjadi berubah ketika Indonesia masuk ke era Orde Baru. Dalam semangat membersihkan pengikut dan simpatisan G30SPKI, muncul kebijakan MPRS mengenai pendidikan agama. Di dalam Ketetapan MPRS No. XXIIMPRS 1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan pasal 1 dinyatakan bahwa ”Menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah mulai dari sekolah dasar sampai dengan universitas-universitas negeri ”. Kebijakan itu diikuti dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI tanggal 23 Oktober 1967, yang antara lain menetapkan bahwa di Kelas I-II SD diberikan mata pelajaran agama 2 jam perminggu, di kelas III 3 jam perminggu, dan di kelas IV – VI 4 jam perminggu. Hal itu berlaku juga bagi SMP dan SMA, sedangkan di perguruan tinggi 2 jam perminggu. Pada akhir tahun 1970, Menteri Agama mengajukan usulan perubahan kurikulum pengajaran agama. Dalam hal ini, diusulkan agar pelajaran agama di semua kelas SD dan SMP dilangsungkan selama 6 jam per minggu. Usulan ini tidak berhasil karena tidak disetujui oleh Departemen Pendidikan dan Pengajaran. Di sisi lain, pada awal tahun 1980- an, ada usul dari masyarakat agar pemerintah memasukkan kurikulum perbandingan agama bagi sekolah-sekolah lanjutan tingkat atas. Namun usul ini mendapat tentangan dari kalangan muslim, dengan alasan hal itu dapat merusak dan melemahkan iman para siswa Noer, 1983. Akhir tahun 70-an, Pemerintah mengeluarkan SK Menteri P K No. 0211U1978, yang memuat ketentuan bahwa bulan puasa sebagai waktu belajar dan larangan bagi siswi menggunakan jilbab di sekolah. Keputusan tersebut memunculkan kontroversi di masyarakat, karena pada masa sebelumnya bulan puasa adalah masa libur sebulan penuh. MUI menghimbau agar Departemen Pendidikan dan Kebudayaan meninjau ulang kebijakan tidak libur di bulan puasa itu. Namun, dalam forum rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Menteri P K Daoed Joesoef tetap berkukuh bahwa di dalam bulan puasa sekolah tetap harus melakukan kegiatan belajar-mengajar seperti biasa. Kasus – kasus di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan sikap di antara kedua instansi 7 pemerintah dalam memaknai dan menjabarkan kebijakan MPRS tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan. Departemen agama tampak amat berkepentingan dengan proses agamaisasi pendidikan, sedang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tidak. Melalui UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional kewajiban untuk memberikan matapelajaran agama diperluas berlakunya bukan saja hanya bagi sekolah negeri namun juga bagi sekolah swasta. Di samping itu dalam penjelasan pasal 28 UU ditentu kan „setiap anak didik wajib memperoleh pelajaran agama sesuai agamanya dan oleh pengajar yang seagama pula’. Keberatan yang diajukan oleh berbagai pihak terhadap ketentuan itu, membuat Presiden Soeharto menyatakan jaminan bahwa kewajiban semacam itu hanya berlaku di sekolah negeri. Sekolah-sekolah berciri khas keagamaan tertentu tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pendidikan agama lain, selain dari agama yang menjadi ciri khasnya. Jaminan itu lantas dikuatkan melalui Peraturan Pemerintah, No. 291990, yang secara eksplisit menyatakan bahwa sekolah-sekolah dengan ciri khas agama tertentu tidak diharuskan memberikan pelajaran agama yang berbeda dari agama yang menjadi ciri khas sekolah tersebut. Implementasi kebijakan semacam itu mengusik perhatian beberapa pihak dan memicu pro-kontra serta demonstrasi besar-besaran di berbagai penjuru tanah air seiring pembahasan RUU Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 yang dimaksudkan sebagai pengganti UU No. 2 tahun 1989. Pendidikan agama kembali mencuat ke permukaan dan menjadi perdebatan ketika RUU Sisdiknas itu hendak ditetapkan oleh pemerintah. Perdebatan terjadi karena sebagian kelompok memandang bahwa pendidikan agama adalah wilayah privat, sehingga negara tidak mempunyai hak untuk mengatur dan diserahkan ke orangtua masing-masing, sementara kelompok lainnya memandang bahwa pendidikan agama adalah wilayah publik, sehingga menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhi pendidikan agama di sekolah negeri. Ketika kemudian ditetapkan, dalam pasal 5 1 UU nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Kemudian dalam ayat 3 ditegaskan pula bahwa daerah yang terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan secara khusus. Bagi pemerintah, pasal 11 1 menetapkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa adanya diskriminasi. Sedang tentang pendidikan keagamaan yang mestinya 8 diperoleh para siswa di sekolah ditetapkan dalam pasal 12 1 bahwa “setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama; b. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya ”. Dalam hubungannya dengan layanan pendidikan keagamaan bagi para penghayat kepercayaan, dapatlah dikatakan bahwa Undang Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas telah mengatur pendidikan agama di sekolah bagi pemeluk agama yang diakui pemerintah, namun belum terdapat aturan yang mengatur tentang pendidikan agama bagi para penghayat kepercayaan. Oleh karena undang-undang tentang sistem pendidikan nasional hanya mengatur pendidikan agama bagi pemeluk agama resmi, maka berbagai peraturan perundangan yang menerjemahkan Undang-undang No. 20 tahun 2003 itu juga tindak menyentuh persoalan pendidikan keagamaan bagi penghayat kepercayaan. Pertama, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Secara kasat mata, PP ini sebenarnya sudah diskriminatif bagi agama suku ketika kita dengan teliti bahasan-bahasan eksplisitnya. Termasuk bahasa-bahasa serta simbol keagamaan yang digunakannya pun sudah sangat condong kepada agama-agama pemerintah. Contoh paling kentara adalah pada pasal 9 ayat 1 bahwa 1 Pendidikan keagamaan meliputi pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Model ini yang kemudian berimbas pada bahasan-bahasan dalam pasal berikutnya yang secara gamblang hanya membatasi pendidikan agama dan keagamaan pada enam agama. Kedua, Peraturan Menteri Agama Nomor 16 tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama di Sekolah. Dalam Pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa Pendidikan Agama terdiri dari: Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Agama Katolik, Pendidikan Agama Kristen, Pendidikan Agama Hindu, Pendidikan Agama Buddha dan Pendidikan Agama Khonghucu. Melihat teks ayat tersebut menjadi jelaslah bahwa penghayat kepercayaan tidak ada dalam domain Kementerian Agama. Ketiga, pada tahun 2009, pemerintah mengeluarkan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No 43 dan 41 tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME. Disebutkan di sana misalnya bahwa negara harus melayani pemakaman dan memfasilitasi pembangunan 9 sanggar atau sarasehan bagi kelompok penghayat. Tapi, dalam aturan ini tidak disinggung sama sekali ikhwal soal pendidikan bagi penghayat kepercayaan. Dari paparan di atas tampak bahwa pelaksanaan pendidikan agama bagi penghayat kepercayaan di sekolah formal sampai sekarang tidak memiliki payung hukum yang jelas. Hal ini terjadi karena berbagai aturan tentang pendidikan agama hanya mengatur pendidikan agama bagi pemeluk agama resmi yang diakui oleh negara di Indonesia.

2.1.2. Pelaksanaan Pendidikan Agama Bagi Penghayat Kepercayaan Sedulur Sikep