Tabel 1 Kriteria dan Indikator LEI untuk kelestarian fungsi sosial
Dimensi Dimensi Hasil
Kelestarian Fungsi Sosial
Kejelasan tentang hak penguasaan
dan pengelolaan lahan atau areal
hutan yang dipergunakan
Terjaminnya pengembangan
dan ketahanan ekonomi
komunitas Terbangun
pola hubungan sosial yang
setara dalam proses produksi
Keadilan manfaat
menurut kepentingan
komunitas
1. MANAJEMEN KAWASAN
1.1. Pemantapan Kawasan
1.2. Penataan Kawasan S1.1
S1.2 S1.3
2. MANAJEMEN HUTAN
2.1. Kelola Produksi 2.2. Kelola Lingkungan
2.3. Kelola Sosial S1.4
S2.1 S2.2
- S2.3
S3.1 -
- -
- S4.1
S4.2 3. PENATAAN
KELEMBAGAAN 3.1. Akuntabilitas Publik
3.2. Penataan Organisasi 3.3. Peningkatan SDM
3.4. Manajemen keuangan
- S3.2
- -
S4.3 -
- -
Sumber: Diadaptasi dari LEI 2004.
Tabel 2 Kriteria dan Indikator LEI untuk kelestarian fungsi produksi
Dimensi Manajemen
Dimensi Hasil Kelestarian Fungsi Produksi
Kelestarian Sumberdaya
Kelestarian Hasil
Kelestarian Usaha
1. MANAJEMEN KAWASAN
1.1. Pemantapan Kawasan 1.2. Penataan Kawasan
P1.1 P1.2
- P2.1
2. MANAJEMEN HUTAN
2.3. Kelola Produksi 2.2. Kelola Lingkungan
2.3. Kelola Sosial P1.3
- P1.4
P2.2 P2.6
P2.3 P2.7
P3.1 -
P3.2 3. PENATAAN KELEMBAGAAN
3.1. Akuntabilitas Publik 3.2. Penataan Organisasi
3.3. Peningkatan SDM 3.4. Manajemen Keuangan
P2.4 P2.5
- -
P3.6 P3.3
P3.4 P3.5
Sumber: Diadaptasi dari LEI 2004.
Tabel 3 Kriteria dan Indikator LEI untuk kelestarian fungsi ekologi
Dimensi Manajemen Dimensi Hasil
Kelestarian Fungsi Lingkungan
Stabilitas ekosistem Sintasan spesies
langkaendemik dilindungi
1. MANAJEMEN KAWASAN
1.3. Pemantapan Kawasan 1.4. Penataan Kawasan
E1.1 -
E2.1 -
2. MANAJEMEN HUTAN
2.2. Kelola Produksi 2.2. Kelola Lingkungan
2.3. Kelola Sosial E1.2
E1.3 E1.4
- -
- E2.2
- 3. PENATAAN KELEMBAGAAN
3.1. Akuntabilitas Publik 3.2. Penataan Organisasi
3.3. Peningkatan SDM Sumber: Diadaptasi dari LEI 2004.
Tiap-tiap indikator diukur skala intensitasnya, yang terdiri atas 3 kategori; nilai 5 baik; nilai 3 cukup; dan nilai 1 jelek. Untuk menetapkan nilai yang
akan diberikan didasarkan pada verifer verifier yang dapat diterapkan apply. Verifer dimaksud dapat dilihat pada Tabel 4 - Tabel 12.
Fungsi Sosial
Tabel 4 Uraian rasionalisasi penilaian kriteria kejelasan hak penguasaan dan
pengelolaan lahan atau areal
Indikator Nilai
Uraian 1
Pengelola dan
hak pengelolaan
tidak terdefenisikan dengan jelas.
3 Pengelola hutan adalah masyarakat Toro, namun
hak pengelolaan dan pemanfaatan belum terdefenisikan dengan jelas
1.1.1 Pengelola hutan adalah warga komunitas
5 Pengelola hutan adalah masyarakat Toro, dan
hak pengelolaan
dan pemanfaatan
telah terdefenisikan dengan jelas
1 Belum ada pengakuan pihak lain terhadap
wilayah kelola adat Toro.
3 telah ada konsensus dan legalitas, namun belum
memiliki aturan main yang jelas. 1.1.2 Status lahan tidak
dalam sengketa dengan warga Toro
dan desa lain
5 telah ada konsensus dan legalitas serta telah
dimiliki aturan main yang jelas.
1 Tidak terdapat bukti fisik dan non fisik di
lapangan, dan
masyarakat tidak
mampu membedakan tiap tipologi lahan
3
Tidak terdapat bukti fisik di lapangan, namun masyarakat dapat mengenali batas-batas tipologi
lahan adat Toro 1.1.3 Kejelasan batas-batas
areal hutan yang dpergunakan
5 Adatidak ada bukti fisik, namun ada peta
partisipatif dan masyarakat dapat membedakan tiap-tiap tipologi lahan di lapangan
1 Tidak
terdapat mekanisme
penyelesaian sengketa dan masyarakat merasa diperlakukan
tidak adil
3 Terdapat mekanisme penyelesaian sengketa,
namun masih didapati keluhan masyarakat terhadap mekanisme pengambilan keputusan.
1.1.4 Digunakan tata cara atau mekanisme
penyelesaian sengketa yang berkeadilan
terhadap klaim atau sengketa yang terjadi
5 Terdapat mekanisme penyelesaian sengketa,
dan pada umumnya masyarakat merasakan keadilan dalam pengambilan keputusan.
Tabel 5 Uraian rasionalisasi penilaian kriteria keterjaminan terhadap pengembangan
dan ketahanan ekonomi komunitas
Indikator Nilai
Uraian 1
Masyarakat tidak
diperkenankan me-
manfaatkan lahan dan hasil hutan pada wilayah kelola adat
3 Masyarakat dapat memanfaatkan lahan dan
hasil hutan,
pendapatan masyarakat
bertambah, namun tidak ada jaminan terhadap keberlanjutan pemanfaatannya
1.2.1 Sumber-sumber ekonomi komunitas
terjaga dan mampu mendukung
kelangsungan hidup komunitas dalam
lintas generasi
5 Pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan
mampu meningkatkan pendapatan masyarakat serta keberlanjutan pemanfaat-annya lebih
terjamin.
1 Tidak
ada kelembagaan
sosial dalam
mengintegrasikan aktivitas ekonomi komunitas dalam kawasan hutan.
3 Terdapat
kelembagaan sosial
dalam mengintegrasikan aktivitas ekonomi komunitas
dalam kawasan hutan, namun tidak ada jaminan terhadap keberlangsungan aktivitas
sosial budaya, religius , dan non ekonomis. 1.2.2 Terjaganya integrasi
kegiatan ekonomi dengan kegiatan non
ekonomi di dalam kawasan hutan
5 Terdapat
kelembagaan sosial
dalam mengintegrasikan aktivitas ekonomi komunitas
dalam kawasan hutan, dan jaminan terhadap keberlangsungan aktivitas
sosial budaya, religius , dan non ekonomis tetap terjaga.
1 Tingkat pengangguran di desa bertambah,
serta keterlibatan kaum perempuan dibatasi dalam pengelolaan hutan.
3 Tingkat pengangguran relatif berkurang namun
keterlibatan kaum perempuan dibatasi dalam kegiatan pengelolaan hutan.
1.2.3 Penerapan teknologi produksi dan sistem
pengelolaan dapat mempertahankan
tingkat penyerapan tenaga kerja, laki-laki
maupun perempuan
5 Tingkat pengangguran relatif berkurang dan
keterlibatan aktif kaum perempuan lebih terjamin.
Tabel 6 Uraian rasionalisasi penilaian kriteria terbangun pola hubungan sosial yang
setara dalam proses produksi
Indikator Nilai
Uraian 1
Terdapat diskriminasi hak dalam pemanfaatan sumberdaya hutan antara etnis asli dan
pendatang
3
Tidak terdapat diskriminasi hak antar etnis, namun masih dijumpai adanya keluhan etnis
tertentu terhadap kesetaraan akses terhadap sumberdaya lahan dan hutan
1.3.1 Pola hubungan sosial yang terbangun antara
berbagai pihak dalam pengelolaan
merupakan hubungan sosial yang relatif
sejajar
5 Tidak terdapat diskriminasi hak antar etnis,
serta tidak dijumpai keluhan etnis tertentu terhadap
kesetaraan akses
terhadap sumberdaya lahan dan hutan
1 Tidak
dimiliki kesepakatan
dan aturan
mengenai pembangian tugas dan wewenang dalam pengelolaan hutan
3
Dimiliki kesepakatan dan aturan mengenai pembangain tugas dan wewenang dalam
pengelolaan hutan, namun belum berjalan dengan baik
1.3.2 Pembagian kewenangan jelas dan
demokratis dalam kelembagaan
pengelolaan SDH
5 Dimiliki kesepakatan dan aturan mengenai
pembagian tugas dan wewenang telah dijalankan
Tabel 7 Uraian rasionalisasi penilaian kriteria keadilan manfaat menurut kepentingan
komunitas
Indikator Nilai
Uraian 1
Tidak ada aturan tentang kompensasi bagi warga masyarakat Toro dan masyarakat lain
yang terkena dampak aktifitas pemanfaatan hutan di Toro
3 Tidak ada aturan yang secara khusus
mengatur mengenai kompensasi, namun telah ada bentuk lain dari kompensasi yang
disepakati terhadap dampak yang timbulkan oleh aktifitas pemanfaatan hutan
1.4.1 Ada kompensasi atas kerugian yang diderita
komunitas secara keseluruhan akibat
pengelolaan hutan oleh kelompok dan
disepakati seluruh warga komunitas
5 Telah ada aturan yang secara khusus
mengatur tentang bentuk kompensasi yang akan diberikan, yang disusun secara partisipatif
dan telah diterapkan.
1 Warga
komunitas dan
publik tidak
diperkenankan memanfaatkan sumberdaya hutan di dalam wilayah kelola adat Toro
3 Warga
komunitas diperkenankan
untuk memanfaatkan sumberdaya hutan di wilayah
kelola adat Toro, namun untuk publik dibatasi 1.4.2 Seluruh warga
komunitas dan publik terbuka untuk terlibat
dalam penyeleng- garaan pengelolaan
SDH
5 Baik
warga komunitas
maupun publik
diperkenankan memanfaatkan sumberdaya hutan di wilayah kelola adat Toro memiliki hak
yang berimbang
1 Tidak dimiliki mekanisme pertangungjawaban
publik terhadap pengelolaan sumberdaya hutan oleh lembaga adat
3 Tidak
terdapat mekanisme
pertangung- jawaban
publik, namun
masyarakat mendapatkan informasi tentang pengelolaan
sumberdaya hutan di Toro 1.4.3 Ada mekanisme
pertanggungjawaban publik dari pengelola
terhadap komunitas
5 Terdapat mekanisme pertanggung-jawaban
publik dan masyarakat mendapatkan informasi rutin perkembangan pengelolaan hutan oleh
lembaga adat
Fungsi Produksi
Tabel 8 Uraian rasionalisasi penilaian kriteria kelestarian sumberdaya
Indikator Nilai
Uraian 1
Tidak ada dokumen status lahan yang disahkan oleh pemerintah atau lembaga adat
yang berlaku
3 Tidak ada dokumen status lahan yang
disahkan, namun mendapatkan pengakuan dari lembaga adat, pemerintah desa, dan
penguasa lahan di sekitarnya 2.1.1 Status dan batas lahan
jelas
5 Dimilikinya dokumen status lahan yang
disahkan oleh pemerintah atau lembaga adat, serta diakui oleh penguasa lahan yang
berbatasan langsung
1 Sering terjadi kebakaran lahan, baik akibat
bencana alam
maupun akibat
aktifitas pembukaan lahan, dan terjadi peningkatan
erosi
3 Jarang terjadi kebakaran lahan, namun tetap
terjadi perubahan struktur dan komposisi tegakan hutan.
2.1.2 Perubahan luas lahan yang ditumbuhi
tanaman, terutama yang diakibatkan
gangguan alam maupun manusia
5 Laju perubahan struktur dan komposisi
tegakan hutan cenderung berkurang, terutama pasca revitalisasi
1 Tidak terdapat mekanisme dan aturan adat
tentang pemeliharaan hutan.
3 Tidak terdapat mekanisme dan aturan adat
khusus tentang manajemen pemeliharaan hutan, namun masyarakat secara tradisional
telah menerapkan pada setiap aktifitas pemanfaatan lahan dan hutan
2.1.3 Manajemen pemeliharaan hutan
5 Terdapat mekanisme dan aturan adat yang
mengatur secara khusus tentang manajemen pemeliharaan hutan, dan telah diterapkan oleh
warganya.
1 Masyarakat tidak memiliki sistem silvikultur
tradisional yang khas dalam memanfaatkan sumberdaya hutan, terutama kayu, dan tidak
secara khusus mempertimbangkan alat yang digunakan, kemiringan dan kepekaan lahan
terhadap erosi.
3 Tidak terdapat sistem silvikultur khas, namun
masyarakat mempertimbangkan alat yang digunakan,
kemiringan dan
kepekaan terhadap erosi.
2.1.4 Sistem silvikultur sesuai dengan daya
dukung hutan
5 Terdapat
sistem silvikultur
khas, dan
masyarakat telah mempertimbangkan alat yang digunakan, kemiringan dan kepekaan
terhadap erosi.
Tabel 9 Uraian rasionalisasi penilaian kriteria kelestarian hasil
Indikator Nilai
Uraian 1
Tidak dilakukan penataan areal, dan tidak dimiliki data identitas pengelola.
3 Telah dilakukan penatan areal dan batas
wilayah, namun lokasi hasil hutan non kayu belum diklasifikasikan secara khusus.
2.2.1 Penataan areal pengelolaan hutan
5 Telah dilakukan penatan areal dan batas
wilayah serta lokasi hasil hutan non kayu telah diklasifikasikan secara khusus.
1 Tidak dimiliki data potensi kayu yang dapat
dipanen secara lestari, serta tidak diupayakan untuk melakukan pemeliharaan anakan dan
tegakan tinggal.
3 Tidak dimiliki data potensi, namun jenis-jenis
kayu yang
dapat dan
tidak dapat
dimanfaatkan diketahui, serta telah dilakukan upaya pemeliharaan terhadap anakan dan
tegakan tinggal 2.2.2 Kepastian adanya
potensi produksi untuk dipanen lestari
5 Telah dimiliki data potensi, jenis-jenis kayu
yang dapat dan tidak dapat dimanfaatkan, serta telah dilakukan upaya pemeliharaan
terhadap anakan dan tegakan tinggal
1 Pemanfaatan tidak mempertimbangkan tata
letak pohon dan waktu yang tepat untuk berporduksi
3 Pemanfaatan mempertimbangkan tata letak
pohon, namun belum mempertimbangkan waktu yang tepat untuk berproduksi
2.2.3 Pengaturan Hasil
5 Pemanfaatan mempertimbangkan tata letak
pohon, dan
waktu yang
tepat untuk
berproduksi
1 Banyak
dijumpai limbah-limbah
sisa penebangan yang tidak termanfaatkan, serta
beberapa tonggak kayu yang rusak akibat cara menebang yang salah
3 Jarang didapati limbah sisa penebangan,
namun dijumpai tonggak-tonggak kayu yang rusak akibat cara menebang yang salah
2.1.4 Efisiensi pemanfaatan hutan
5 Jarang didapati limbah sisa penebangan dan
tonggak-tonggak kayu yang rusak
1 Tidak tersedia data dan informasi tentang
jumlah, letak, dan jenis pohon yang dipanen.
3 Tersedia data dan informasi tentang jumlah,
namun letak dan jenis pohon yang dipanen tidak tersedia
2.2.5 Keabsahan
sistem lacak balak dalam
hutan
5 Tersedia data dan informasi tentang jumlah,
namun letak dan jenis pohon yang dipanen tidak tersedia
Lanjutan
Indikator Nilai
Uraian 1
Tidak ada pengaturan tentang pemanfaatan hasil dan mekanisme penyelesaian konflik
pemanfaatan yang terjadi
3 Ada pengaturan pemanfaatan hasil hutan dan
mekanisme penyelesaian
konflik pemanfaatan, namun belum diterapkan
2.1.6 Pengaturan manfaat hasil
5 Ada pengaturan pemanfaatan hasil hutan dan
mekanisme penyelesaian
konflik pemanfaatan, dan telah diterapkan dengan
baik
1 Tidak tersedia jaringan jalan di dalam hutan
3 Tersedia jaringan jalan, namun masih sulit
untuk digunakan sebagai sarana untuk mengangkut produksi yang dihasilkan.
2.1.7 Prasarana pengelolaan hutan
5 Tersedia jaringan jalan, namun masih sulit
untuk digunakan sebagai sarana untuk mengangkut produksi yang dihasilkan.
Tabel 10 Uraian rasionalisasi penilaian kriteria kelestarian usaha
Indikator Nilai
Uraian 1
Tidak ada kesinambungan dalam kegiatan pemanfaatan
penanaman, pemeliharaan,
penebangan, dan pemasaran
3 Terdapat
kesinambungan dalam
kegiatan penanaman, pemeliharaan, dan penebangan
namun kesinambungan
pemasaran tidak
terjamin 2.3.1 Kesehatan usaha
5
Terdapat kesinambungan
dalam kegiatan
penanaman, pemeliharaan, penebangan dan pemasaran
1
Produksi yang dihasilkan hanya dijual untuk lingkup lokal
3
Produksi yang dihasilkan telah dipasarkan untuk skala luar desa Toro, namun kuantitasnya
terbatas 2.3.2 Kemampuan akses
pasar
5
Produksi yang dihasilkan telah dipasarkan untuk skala luar desa Toro sesuai jumlah
pesanan
1
tidak tersedianya file arsip kegiatan pengelolaan
3 file arsip kegiatan pengelolaan tersedia namun
tidak lengkap 2.3.3 Sistem informasi
manajemen
5
file arsip kegiatan pengelolaan telah tersedia dengan lengkap
1 Tidak pernah dilakukan pelatihan maupun
diutus untuk mengikuti pelatihan dan pendidikan tentang pemanfaatan hutan secara baik dan
benar
3 Jarang dilakukan pelatihan, dan tidak pernah
diutus oleh desa untuk mengikuti pelatihan dan pendidikan tentang pemanfaatan sumberdaya
hutan yang baik dan benar 2.3.4 Ketersedian Tenaga
Terampil
5 Sering dilakukan pelatihan, dan peneriman
utusan dalam
mengikuti pelatihan
dan pendidikan tentang pemanfaatan sumberdaya
hutan yang baik dan benar
1 Tidak Terdapat alokasi dana khusus untuk
perencanaan, pengelolaan, perlindungan dan pembinaan hutan
3 Terdapat alokasi khusus, namun bersifat
insidentil 2.3.5
Investasi dan
reinventasi pengelolaan hutan
5
Terdapat alokasi dana khusus, dan bersifat simultan sumber dana jelas
1 Tingkat
pelibatan masyarakat
dalam pengelolaan hutan sangat rendah, serta
dampak negatif lingkungan terus meningkat
3 Tingkat
pelibatan masyarakat
dalam pengelolaan tinggi, namun dampak negatif
terhadap lingkungan terus bertambah 2.3.6 Kontribusi terhadap
peningkatan kondisi sosial ekonomi
masyarakat
5 Tingkat
pelibatan masyarakat
dalam pengelolaan
tinggi, dan
dampak negatif
terhadap lingkungan cenderung berkurang
Fungsi Ekologis
Tabel 11 Uraian rasionalisasi penilaian kriteria stabilitas ekosistem hutan dapat dipelihara
dan gangguan terhadapnya dapat diminimalisir dan dikelola
Indikator Nilai
Uraian 1
Tidak terdapat tanda batas yang jelas, tidak ada pengakuan dari pihak lain, serta tidak terdapat
rencana pengelolaan terhadap kawasan yang dilindungi dalam areal
3
Memiliki rencana
pengelolaan terhadap
kawasan yang dilindungi, ada pengakuan dari pihak BTNLL, namun batas-batasnya tidak jelas
di lapangan 3.1.1 Adanya tata batas dan
upaya pengelolaan kawasan-kawasan
yang seharusnya dilindungi dalam areal
5 Memiliki
rencana pengelolaan
terhadap kawasan yang dilindungi, ada pengakuan dari
pihak BTNLL, dan batas-batasnya jelas di lapangan
1 Tidak tersedia aturan kelola produksi yang
mampu meminimasi kemungkinan gangguan terhadap lingkungan alam dan manusia
3 Tersedia aturan kelola produksi yang mampu
meminimasi kemungkinan gangguan terhadap lingkungan alam dan manusia namun belum
berjalan dengan baik 3.1.2 Tersedianya aturan
kelola produksi yang meminimasi gangguan
terhadap integritas lingkungan alam
maupun manusia
5 Tersedia aturan kelola produksi yang mampu
meminimasi kemungkinan gangguan terhadap lingkungan alam dan manusia, dan telah
berjalan dengan baik
1
Tidak terdapat informasi tingkat keterbukaan hutan bagi masyarakat, termasuk kualitas air,
mata air, dan struktur komposisi tegakan
3
Tidak terdapat informasi tingkat keterbukaan hutan bagi masyarakat, termasuk kualitas air,
mata air, dan struktur komposisi tegakan, namun
tengah diupayakan
pemenuhan informasi tersebut
2.1.3 Ketesediaan informasi dan dokumen dampak
kegiatan
5 Telah terdapat informasi tingkat keterbukaan
hutan bagi masyarakat, termasuk kualitas air, mata air, dan struktur komposisi tegakan
1 Tidak
terdapat rencana
kegiatan kelola
lingkungan oleh lembaga adat
3 Tidak
terdapat rencana
kegitan kelola
lingkungan, namun telah dilakukan upaya pencegahan oleh lembaga adat
2.1.4 Adanya kegiatan kelola lingkungan yang efektif
5 Terdapat rencana kegiatan kelola lingkungan,
dan dilakukan
pula upaya
antisipatif pencegahan
kerusakan lingkungan
oleh lembaga adat
Tabel 12 Uraian rasionalisasi penilaian kriteria sintasan spesies endemik dilindungi
dan dipertahankan, serta gangguannya dapat diminimalisir
Indikator Nilai
Uraian 1
Tidak diketahuinya
informasi keberadaan
spesies-spesies endemic tumbuhan dan hewan endemicdilindungi dalam areal
3
Diketahui informasi
keberadaan spesies-
spesies endemic
tumbuhan dan
hewan endemicdilindungi
dalam areal,
namun agihannya tidak diketahui
3.2.1 Tersedianya informasi mengenai spesies
endemiklangka dilindungi dan agihan
habitanya yang penting dalam kawasan
5 Diketahui informasi keberadaan dan agihan
habitat spesies-spesies endemic tumbuhan dan hewan endemicdilindungi dalam areal
1 Tidak ada informasi dampak kegiatan produks
terhadap habitat spesies langkaendemik dilindungi
3 Tidak dan informasi dampak kegiatan produks
terhadap habitat spesies lankgaendemic dilindungi, namun ada aturan yang melarang
untuk melakukan produksi pada wilayah yang dijumpa adanya spesies dilindungi
3.1.2 Adanya upaya meminimumkan
dampak kelola produksi terhadap spesies
5 Ada informasi tentang dampak kegiatan
produks terhadap
habitat spesies
lankgaendemicdilindungi, dan aturan yang melarang untuk melakukan produksi pada
wilayah yang dijumpa adanya spesies dilindungi
Kecederungan terhadap kelestarian ditentukan berdasarkan skala intensitas indikator dari masing-masing kriteria. Karena pada setiap prinsip
kelestarian sosial budaya, produksi, dan ekologi, kriteria, dan indikator memiliki bobot yang sama, maka nilai total pencapaian kelestarian diperoleh melalui total
penjumlahan dari seluruh nilai indikator yang digunakan LEI 2004. Adapun penentuan kecenderungan kelestarian pengelolaan hutan adalah sebagai
berikut: - Jumlah nilai baik :
B 3.68 – 5.00
- Jumlah nilai cukup : C
2.34 – 3.67 - Jumlah nilai jelek
: J
1.00 – 2.33
Pemberian kategori “baik” bilamana kelembagaan adat telah memenuhi persyaratan minimum pencapaian kelestarian hutan, yaitu apabila:
Pemberian kategori “sedang” bilamana kelembagaan adat belum memenuhi persyaratan minimum pencapaian kelestarian hutan, yaitu apabila:
Pemberian kategori “jelek” bilamana kelembagaan adat tidak memenuhi persyaratan minimum pencapaian kelestarian hutan, yaitu apabila:
Analisis Perbandingan Comparative Analysis
Metode ini secara khusus digunakan untuk membandingkan hasil penilaian perspektif etik dan emik terhadap performansi kelembagaan adat, serta implikasi
yang dihasilkan terhadap kelestarian hutan. Analisis ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara penilaian yang menggunakan perspektif
emik dan etik. Secara skematis, bagan alir penelitian disajikan pada Gambar 6.
B 50 x n C 25 x n
J 25 x n
B 25 x n C 25 x n
J 50 x n B 25 x n
C 50 x n J 25 x n
Keterangan: n = Jumlah indikator
Keterangan: n = Jumlah indikator
Keterangan: n = Jumlah indikator
Keterangan gambar:
:
Respon : Pengaruh
:
Konsep dan Teori
:
Analisis yang digunakan
Perubahan Lingkungan
- Intervensi ekonomi - Tekanan penduduk
- Intervensi politik
Perubahan Kelembagaan
Performansi kelembagaan
Kecenderungan terhadap Kelestarian Sumberdaya Hutan
Revitalisasi Kelembagaan adat
- aturan main - struktur
kelembagaan
Konsep Kelestarian
Teori Adaptasi
Gambar 6 Bagan alir penelitian.
Konsep Ostrom
- Analisis Sejarah - Analisis Kausal
-
Analisis kriteria Ostrom - Analisis Perbandingan
- Analisis K I LEI
TORO DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN
Pada bab ini diuraikan tentang perubahan lingkungan yang terjadi di Toro, dengan fokus kajian terhadap perubahan tekanan penduduk, intervensi ekonomi
pasar, dan politik. Uraian tentang perubahan lingkungan di Toro dikaitkan dengan sejarah Toro, kondisi geografis dan kependudukan, mata pencaharian,
struktur sosial kemasyarakatan, tata guna lahan, tekanan penduduk, intervensi ekonomi pasar, dan dinamika politik.
Selintas Sejarah Toro
Dalam bahasa Kulawi, Toro berarti “sisa”. Terminologi ini mengacu pada suatu wilayah yang telah ditinggal pergi oleh penduduknya dalam waktu yang
cukup lama, sehingga menjadi hutan belantara. Diperkirakan sekitar 500 tahun yang silam, terjadi perpindahan penduduk dari Malino ke Toro. Perpindahan
tersebut terjadi akibat terdesak peperangan dengan suku lain. Keluarga yang terdesak dan sempat mengungsi saat itu sebanyak 7 rumahtangga, di bawah
pimpinan Mpone Shohibuddin 2003. Sebelum akhirnya mendiami daerah Toro, kelompok pimpinan ini transit di
beberapa tempat. Mulanya mereka tinggal di Balinggi yaitu wilayah bagian Parigi yang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Parimo. Di Balinggi mereka
berkembang menjadi 11 rumahtangga. Setelah itu, mereka pindah ke tempat transit kedua yaitu Kulawi melalui Paboya Palu, Bora Sigi Biromaru, Tuwa,
dan kemudian Namo. Atas perkenaan Balu, seorang bangsawan Kulawi, mereka ditempatkan di Kauawu, yang saat itu masih berupa hutan, dengan harapan
mereka dapat mengelola untuk menopang hidupnya. Di tempat transit kedua inipun tidak berlangsung lama. Ternyata setelah mereka berhasil, mereka
mengalami tekanan-tekanan berupa kewajiban membayar pajak untuk setiap lahan yang dikelolanya pada orang Kulawi. Keadaan yang tidak menguntungkan
ini mendorong orang asal Malino tersebut untuk mencari tempat baru. Melihat gelagat ini, Balu, orang pertama yang menempatkan mereka di
Kauawu mengambil kebijakan dengan menawarkan alternatif lain. Balu menawarkan lokasi perburuan miliknya agar dibeli dan terjadilah kesepakatan
jual beli antara Balu dengan orang asal Malino. Tempat dilaksanakannya kesepakatan tersebut disebut “kaputua” yang artinya keputusan akhir jual beli
tanah wilayah perburuan Balu. Kawasan perburuan tersebut dihargai setara dengan tujuh biji emas, masing-masing sebesar burung pipit. Sejak saat itu
hingga sekarang, orang asal Malino ini mendiami wilayah yang dinamai Toro. Sejarah asal usul ini penting karena berimplikasi terhadap eksistensi mereka dan
terdapat kejelasan atas perolehan status wilayah dan lahan-lahan milik leluhur mereka.
Kondisi Geografis dan Kependudukan Letak dan Luas
Toro terletak sekitar 120
o
1’ BT - 120
o
3’30’’ BT dan 1
o
29’30’’ LS - 1
o
32’ LS, dengan luas wilayah ± 229.5 km
2
22.950 ha dan ketinggian rata-rata 800 m di atas permukaan laut dpl. Topografi Toro termasuk dalam kategori pegunungan,
dimana pemukiman dan pertanian umumnya terkonsentrasi di lembah dan lereng yang dikelilingi oleh gunung-gunung seperti: Kalabui, Kaumuku, Toworo, Onco,
Tawaeli, Topolo, Potaka Jara, dan Powibia. Di sebelah Utara, wilayahnya berbatasan dengan desa Mataue dan Lindu
nama batas alam Bulu Taweki, sebelah Timur berbatasan dengan Kaduwa nama batas alam Bulu Padoroa dan Katu nama batas alam Ue Biro dan Ue
Hawuraga, sebelah Selatan berbatasan dengan Oo Parese nama batas alam Mahue dan Lawua nama batas alam Potowo Noa, dan sebelah Barat
berbatasan dengan Sungku nama batas alam Bulu Tobengi dan Winatu nama batas alam Ue Halua. Di wilayah ini mengalir beberapa sungai besar di
antaranya: S. Sopu, Biro, Pangemoa, Alumiu, Leangko, Pono, Bola dan Kedundu.
Secara administratif, Toro berada dalam wilayah kecamatan Kulawi, Donggala, Sulawesi Tengah. Dari ibukota kecamatan di Bolapapu, Toro berjarak
lebih kurang 15 km, dapat ditempuh dalam waktu setengah jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Dari ibu kota
propinsi di Palu, berjarak lebih kurang 86 km, dapat ditempuh lebih kurang 3 jam perjalanan, dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat.
Gambar 7. Letak lokasi penelitian.
Sumber : STORMA 2005.
Sumber: Sensus penduduk STORMA 2004.
Iklim
Berdasarkan catatan stasiun pengamatan cuaca di Kulawi, rata-rata curah hujan tahunan di wilayah ini berkisar antara 200-3500 mm per-tahun pada
periode 1997-2004, kelembaban relatif 85.17, dengan rata-rata temperatur bulanan sebesar 23,40
C. Curah hujan terbesar terjadi pada bulan April dan Mei Gerold et al. 2002. Data curah hujan harian dapat dilihat pada lampiran 7.
Penggunaan Lahan Land Use
Dari total luas lahan di Toro 22.500 ha, hanya sekitar 1000 ha dari luasan itu yang diusahakan secara permanen. Selebihnya merupakan lahan hutan dan
bagian dari kawasan TNLL. Sekitar 475 ha dari lahan pertanian permanen merupakan sawah, sedangkan sisanya seluas 525 ha telah ditanami palawija
atau kakao dan kopi Sitorus 2006. Dari sekitar 540 rumahtangga yang ada di Toro, 534 99 di antaranya memiliki lahan pertanian sendiri, dan hanya sekitar
7 0.1 yang tidak memiliki lahan pertanian, baik sawah, ladang, maupun kebun STORMA 2004. Pemilikan tanah di Toro relatif terdistribusi merata.
Sekitar 80 rumahtangga di Toro menguasai tanah kurang dari 0.5 ha. Selebihnya 20 menguasai lebih dari 5.0 ha, termasuk di dalamnya
penguasaan sawah seluas 2.0 ha. Gambaran umum jenis-jenis lahan yang dikuasai oleh tiap-tiap rumahtangga di Toro disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13 Jenis-jenis lahan yang dikuasai rumahtangga di Toro Tahun 2004
Tata guna lahan Jumlah
unit Persentase
Komulatif
1. Pekarangan 2. Sawah dengan irigasi sederhana
3. Sawah dengan irigasi semi teknis 4. Sawah dengan teknik irigasi
5. Tanaman kopi 6. Kakao di bawah pohon hutan alami
7. Kakao dibawah pohon pelindung campuran 8. Kakao dibawah pohon pelindung mayoritas
berasal dari satu jenis 9. Padang rumput
10. Ladang 11. Tanah kosong
12. Lain-lain 20
417 9
14 37
156 242
251 1
19 24
8 1.7
34.8 0.8
1.2 3.1
13.0 20.2
21.0 0.1
1.6 2.0
0.7 1.7
36.5 37.2
38.4 41.5
54.5 74.7
95.7 95.7
97.3 99.3
100.0
Jumlah 1.198
100.0
Masyarakat di Toro menguasai lahan pertanian lebih dari 1 unit, baik berupa sawah, kebun, maupun ladang. Sebanyak 38.5 masyarakat menguasai
lahan garapan sebanyak 2 dua unit. Sementara yang tidak memilik lahan hanya sebesar 0.1 saja. Hal ini mengindikasikan bahwa ketersediaan lahan masih
memadai dalam mendukung aktifitas usaha tani di Toro. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Rata-rata jumlah lokasi lahan masyarakat di Toro
Sumber: Sensus penduduk
STORMA 2004.
Saat ini lahan-lahan pertanian masyarakat sebagian besar ditanami kakao. Meskipun tanaman ini telah lama dikenal di Toro, tepatnya sejak tahun 1960-an,
namun jenis ini baru diminati dan dibudidayakan secara merata pada tahun 1990-an. Sejak saat itulah terjadi perubahan yang signifikan terhadap tataguna
lahan di Toro. perubahan tata guna lahan mencapai puncaknya pada periode tahun 1990 – 2000 sebesar 41.6. Hal ini terkait erat dengan periode dimana
tanaman kakao menjadi komoditas andalan dalam meningkatkan pendapatan masyarakat. Fenomena ini terjadi bukan saja di Toro, namun hampir merata di
seluruh dataran Sulawesi Kief 2001. Konversi lahan menjadi lokasi penanaman kakao di Toro disajikan pada Gambar 9.
0.1 11.2
38.5
22.7 12.4
9 4.4
1.8
5 10
15 20
25 30
35 40
1 2
3 4
5 6
6
jumlah penguasaan lahan
0.1 11.2
38.5
22.7 12.4
9 4.4
1.8
5 10
15 20
25 30
35 40
1 2
3 4
5 6
6
jumlah penguasaan lahan
Jumlah Lokasi Lahan
Gambar 9
Periodesasi pengkonversian menjadi lahan yang ditanami kakao di Toro sumber: Sensus penduduk,
STORMA 2004.
Kependudukan Komposisi penduduk
Di tahun 2004, Toro berpenduduk 2.133 jiwa atau 540 rumahtangga, terdiri atas 1.121 52.6 pria dan 1.012 47.4 wanita, yang bermukim di tujuh dusun
boya, di antaranya: Bola, Lempe, Kinta, Lengkaue, Bulukuku, Raupa, dan Nente Baru. Komposisi umur penduduk di Toro tergolong ”penduduk muda”, di
mana penduduk yang berumur di bawah 30 tahun berjumlah 130 jiwa 59, sedangkan yang berusia di atas 65 tahun kelompok usia tua berjumlah 73 jiwa
3.4. Komposisi umur penduduk di Toro disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14 Jumlah penduduk di Toro menurut kelompok umur
Tahun 2004
No Kelompok Umur
Tahun Jumlah jiwa
Persentase
1 2
3 4
0 – 15 16 – 30
31 – 50 51 – 65
65 684
616 585
248
73 32.1
28.9 27.5
8.12 3.43
Jumlah 2.133
100,0
Sumber: STORMA 2004.
2.2 5.2
7 13.8
41.6 30.2
5 10
15 20
25 30
35 40
45
Tahun
2.2 5.2
7 13.8
41.6 30.2
5 10
15 20
25 30
35 40
45
Tahun
1960 1960-1970 1970–1980 1980-1990 1990–2000 2000– sekarang
Tahun
Melalui data tersebut di atas diketahui bahwa penduduk yang masuk dalam kategori tenaga kerja
8
manpower adalah penduduk yang berusia 16-65 tahun, yaitu sebesar 1.449 jiwa 67.9. Sedangkan penduduk yang masuk dalam
kategori bukan tenaga kerja sebesar 684 jiwa 32.1. Sementara itu, mata pencaharian masyarakat di Toro dikelompokkan
menjadi dua; mata pencaharian utama dan sampingan. Pada umumnya mata pencaharian utama dan sampingan rumahtangga di Toro bertumpu pada sektor
pertanian, wanatani, dan pengumpulan hasil hutan, antara lain berburu dan mengumpul kayu, rotan, dan getah damar Sitorus 2006. Secara keseluruhan,
struktur mata pencaharian masyarakat di Toro disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15 Rasio jumlah penduduk Toro berdasarkan mata pencaharian
Sumber: Sensus penduduk STORMA 2004.
Data di atas menunjukkan bahwa usaha tani on-farm di Toro, sebagai mata pencaharian utama, mendominasi sebesar 51.3 terhadap sektor usaha lainnya.
Masyarakat yang menjadikan usaha tani sebagai mata pencaharian sampingan sebesar 24.61. Sementara itu, tingkat partisipasi angkatan kerja labor force
participation di Toro tergolong tinggi yaitu sebesar 77.36. Angka ini
8
Tenaga kerja adalah jumlah seluruh penduduk yang dapat memproduksi barang dan jasa jika ada permintaan terhadap tenaga mereka, dan jika mereka mau berpartisiasi dalam aktivitas tersebut
Kusmosuwidho 2004
No Mata pencaharian
Utama Sampingan
Jumlah Orang
Jumlah Orang
1 On-farm
A Bertani 1.086
51.13 141
24.61
2 Off-farm
A Buruh Tani 7
0.33 123
21.47 B Peternak
1 0.05
3 0.52
C Penebang pohon 1
0.05 2
0.35 D Pengumpul Rotan
1 0.05
28 4.89
E Pedagang hasil bumi 4
0.19 6
1.05 F Meubeler, pertukangan
16 0.75
6 1.05
3 Non-farm
A PNS Pegawai pemerintah 5
0.24 0.00
B Ibu Rumah Tangga 222
10.45 258
45.03 C PelajarMahasiswa
83 3.91
1 0.17
d Lain-lain 698
32.86 5
0.87
Jumlah 2.124
100 573
100
menggambarkan tingkat partisipasi total seluruh penduduk di Toro dalam usia kerja tingkat aktivitas umum
9
. Berdasarkan laporan Shohibudin 2003 diketahui bahwa masyarakat Toro
terbentuk dari beberapa etnis, di antaranya: etnis Moma, Uma serta etnis Rampi. Selain ketiga etnis tersebut, terdapat pula beberapa etnis lain di antaranya: etnis
Kaili, Napu, Behoa, Manado, Minahasa, Poso, Pamona, Mori, Bugis, Makassar, Toraja, Jawa, dan Bali. Heterogenitas etnis telah terjadi sejak pra-kolonial,
dimana salah satu pemimpin Toro saat itu, Balawo, mempersunting dan memboyong istri beserta pengikut-pengikutnya yang berasal dari Rampi, sebuah
kampung yang berada di wilayah propinsi Sulawesi Selatan, untuk menetap di Toro. Sejak saat itu mulai berdatangan kerabat-kerabat lainnya yang berasal dari
Rampi untuk ikut menetap di Toro. Kedatangan etnis Rampi selanjutnya terjadi akibat pergolakan politik yang
terjadi di Sulawesi Selatan pasca-kemerdekaan, yakni peristiwa DITII dan PRRIPermesta. Pergolakan ini telah memaksa etnis Rampi untuk mengungsi
dan menyebar ke mana-mana, salah satunya adalah desa Toro. Gelombang pengungsian orang Rampi ke Toro terjadi melalui dua tahap, yaitu periode tahun
1952-1953 dan periode tahun 1959-1960. Setibanya di Toro semua pengungsi dibagikan lahan oleh Kadera, yang menjabat sebagai kepala kampung saat itu.
Awalnya etnis Rampi membangun pemukiman di wilayah lereng bukit, yang kemudian dipindahkan di sisi-sisi jalan yang menuju ke Kulawi. Pemukiman
tersebut sekarang dikenal dengan nama Dusun V Roupa. Pengungsian tahap kedua terjadi tidak lama setelahnya, yaitu pada tahun
1959-1960. Seperti pengungsian sebelumnya, mereka juga mendapat pembagian lahan dari kepala kampung Toro. Saat ini, wilayah tempat mereka
bermukim dikenal sebagai Dusun IV Lengkoue. Di tahun 1968, desa ini kembali didatangi oleh etnis Uma yang berasal dari Kulawi bagian Barat. Kedatangan
etnis ini sebagian bersifat spontan dan sebagian lagi merupakan rangkaian dari program resettlement. Oleh pemerintah Toro mereka ditempatkan pada bagian
ujung Tenggara Toro, yang kini telah menjadi Dusun VI Nente Baru. Selain lahan pemukiman, mereka juga disediakan lokasi untuk bercocok
tanam. Pembagian lahan untuk etnis Uma dilakukan oleh Pateke Tohuwu kepala kampung saat itu. Berbeda dengan kasus-kasus migrasi sebelumnya,
9
Tingkat aktivitas umum adalah tingkat aktivitas activity rate untuk seluruh penduduk dalam usia kerja 16-65 tahun Kusumosuwidho 2004.
pembagian lahan oleh Pateke Tohuwu ini dilakukan melalui transaksi jual beli, meski dengan harga seadanya, dan tidak lagi melalui pemberian cuma-cuma.
Komposisi etnis yang mendiami Toro, serta periodesasi kedatangan pendatang ke Toro disajikan pada Gambar 10 dan Gambar 11.
Keragaman etnis secara tidak langsung menciptakan struktur pemukiman yang terdistribusi berdasarkan garis etnis, sehingga menciptakan dusun-dusun
dengan komposisi penduduk yang relatif homogen. Hal tersebut terkait erat dengan gelombang migrasi penduduk, yang pada setiap tahap hanya melibatkan
kelompok etnis tertentu saja, serta adanya kebijakan setiap pimpinan Toro saat
Gambar 10 Komposisi etnis di Toro
Sumber: Sensus penduduk STORMA 2004, diolah.
58 10
20 12
etnis Moma etnis Uma
etnis Rampi etnis lainnya
5 36
34 25
Gambar 11 Periodesasi kedatangan penduduk di Toro
Sumber: Sensus penduduk STORMA 2004, diolah.
T a hun 19 9 1 - 2 0 0 0 T a hun 19 7 1 - 19 9 0
T a hun 19 5 1 - 19 7 0 T a hun 19 5 0
A s li P e nda t a ng
58 42
Dusun I
Dusun II
Dusun IV Dusun III
Dusun VII
D u
su n
V
Dusun VI
Gambar 12 Peta penyebaran dusun di Toro STORMA 2003.
itu yang mengalokasikan lahan secara khusus untuk tiap-tiap etnis, seperti disajikan pada Gambar 12.
Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan di Toro masih tergolong rendah, dimana sebagian besar dari total penduduknya tidak menamatkan SD. Bila dikaitkan dengan
program wajib belajar 9 sembilan tahun, maka hanya 13.1 saja dari total penduduk yang berhasil menamatkan hingga jenjang SLTP. Lebih rinci dapat
dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16
Tingkat pendidikan penduduk Toro Tahun 2004
Tingkat Pendidikan Jumlah jiwa
persentase
Tidak sekolahBelum tamat SD Tamat SD
Tamat SLTP Tamat SLTA
Perguruan tinggi diplomaS1 902
792 279
141 19
42.2 37.2
13.1 6.6
0.9
Jumlah 2.133
100
Sumber: STORMA 2004, diolah.
Struktur Sosial dan Kelembagaan
Struktur sosial merupakan jaringan unsur-unsur sosial yang pokok, meliputi kelompok sosial, kebudayaan, lembaga sosial, pelapisan sosial,
kekuasan, dan wewenang Soekanto 1982. Dengan demikian, struktur sosial dapat diterminologikan sebagai tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat,
yang di dalamnya terkandung hubungan timbal balik antara status dan peranan. Hubungan timbal balik tersebut dibatasi oleh perangkat unsur-unsur sosial, yang
menunjuk pada suatu keteraturan perilaku yang mencirikan kelembagaan masyarakat.
Pelapisan Sosial
Dalam sistem sosial masyarakat adat Toro, dahulu dikenal tiga pelapisan atau tingkat sosial yang bersifat hierarkis, yaitu Maradika atau kelompok
bangsawan, Todea atau rakyat biasa dan Batua atau budak. Status kebangsawanan Maradika, diperoleh melalui hubungan keturunan dengan
pendiri dan pemukim pertama di Toro yaitu Mpone. Menurut pendapat Soekanto 1982, setiap masyarakat memilikinya karena selama dalam suatu masyarakat
ada sesuatu yang dihargai maka stratifikasi sosial akan tercipta. Demikian halnya Soedjito 1986 menyatakan bahwa sistem pelapisan sosial dalam satu
masyarakat merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat. Bagi siapa yang memiliki sesuatu yang dihargai atau dibanggakan dalam jumlah yang
lebih dari yang lainnya, maka statusnya akan lebih tinggi dari lainnya. Sistem tersebut memposisikan Mpone beserta keturunannya, sebagai
kelompok bangsawan di Toro. Selain itu terdapat kaum bangsawan lain yang berasal dari keturunan keluarga-keluarga bangsawan di desa-desa sekitarnya
seperti Bolapapu, Mataue, dan Sungku. Mereka menetap di Toro melalui hubungan kekerabatan yang erat dari hasil kawin-mawin yang telah berlangsung
lama, sehingga dikategorikan sama dengan kelompok bangsawan yang pertama. Lapisan sosial kedua adalah Todea atau orang biasa. Lapisan ini terdiri
atas orang-orang bebas dan tidak terikat pada beban tugas atau kewajiban yang sifatnya menetap, serta tidak memiliki hak yang bersifat istimewa atas kelompok
lainnya. Todea memiliki kewajiban membantu keluarga Maradika, terlibat dalam kegiatan sosial di desa, berpartisipasi dalam upacara-upacara keagamaan, dan
festival adat pada umumnya. Partisipasi kelompok Todea dalam semua kegiatan tersebut didasarkan pada prinsip kesukarelaan, bukan karena dibebani
kewajiban yang sifatnya permanen seperti pada kelompok Batua. Lapisan sosial paling bawah yaitu Batua yang merupakan kelompok
masyarakat pengabdi, dan tidak memiliki hak apapun selain kewajiban mengabdi. Kelompok ini hidup dan bekerja untuk orang lain. Terdapat dua
golongan Batua yang penyebab terbentuknya kelompok ini berbeda. Golongan pertama berasal dari anggota suku itu sendiri asli, namun martabatnya turun ke
lapisan paling bawah setelah melakukan pelanggaran terhadap aturan adat dan ia tidak mampu memulihkannya secara adat ritus dan denda. Pemberlakuan
sanksi adat dilakukan oleh seseorang Maradika sehingga konsekuensi yang diterima adalah orang Batua tersebut menjadi budak dari Maradika
pelindungnya. Golongan kedua berasal dari suku lain dari desa sekutu yang memberikan budak sebagai tanda persahabatan. Bisa juga ia merupakan
tawanan perang dari anggota kelompok suku lain yang kalah dalam peperangan antar-suku yang akhirnya dijadikan budak.
Satu-satunya hak yang dimiliki oleh Batua adalah adanya peluang mereka untuk mengusahakan ”montolo woto” yaitu ”membayar kebebasannya”.
Pembebasan ini dilakukan dengan menebus kembali denda yang pernah
dibayarkan oleh Maradika pelindungnya atau dengan melakukan serangkaian ritual tertentu. Meskipun perbudakan saat ini telah dihapuskan, namun dalam
kehidupan sehari-hari perbedaan masih bisa diidentifikasi melalui silsilah keturunan atau dapat juga dilihat dari jumlah mahar yang harus dibayarkan
dalam upacara perkawinan adat. Perbedaan lapisan sosial mempengaruhi pula kesempatan untuk
memperoleh ”posisi dan peran tertentu” dalam sistem sosial kemasyarakatan, seperti kesempatan menduduki posisi-posisi penting di desa, yang umumnya
dikuasai oleh lapisan atas. Dengan demikian fakta tersebut mendukung pendapat Bernar 1957 yang dikutif dalam Soedjito 1991 bahwa
”penggolongan masyarakat sebenarnya tidak lain dari pembagian masyarakat dalam pelbagai lapisan menurut pengaruh dari kekuasaan golongan itu.
Sehingga, struktur masyarakat mencerminkan perbedaan antar kekuasaan dan pengaruh dari warga masyarakat yang bersangkutan. Siapa yang menduduki
tempat yang tinggi di dalam struktur masyarakat itu, dia pulalah yang mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang besar dalam kelembagaan adat.
Kelembagaan Adat
Sistem kepemimpinan
Dalam kajian kelembagaan masyarakat, kepemimpinan menunjuk pada “kelompok orang”. Selain itu, kepemimpinan dapat pula dipandang sebagai suatu
proses kelompok di mana berbagai peranan seperti perwakilan, pengambilan keputusan, dan pengendalian operasional dalam suatu lembaga Esman 1986.
Dengan demikian, dalam kajian ini kepemimpinan dipandang sebagai suatu proses kolektif di mana berbagai peranan dibagi di antara angota-anggota dari
suatu kelompok kepemimpinan. Garang 1985 yang diacu dalam Shohibuddin 2003 menjelaskan bahwa
masyarakat Kulawi pra-kolonial pada dasarnya hanya mengenal dua lembaga kepemimpinan tradisional, yaitu Totua Ngata dan Maradika. Totua Ngata adalah
dewan para totua kampung yang menjalankan “kepemimpinan kolektif” atas segenap urusan pemerintahan desa. Dewan ini menangani mulai dari urusan
dalam desa irara ngata seperti masalah pertanian, rencana pembukaan lahan, penyelenggaraan upacara-upacara adat, hingga urusan luar desa hawaliku
ngata, seperti hubungan kerja sama dan perdamaian antar desa. Selain itu, dewan ini berperan pula sebagai majelis peradilan yang memutuskan kasus-
kasus pelanggaran adat, serta melakukan proses arbitrase dan rekonsiliasi atas
kasus-kasus sengketa dan konflik.
Anggota dewan totua kampung berasal dari keturunan bangsawan maupun kalangan biasa. Mereka adalah, yang karena perilaku, pengetahuan, dan
kearifannya dijadikan panutan dan pedoman bagi masyarakat dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi. Oleh karena itu, keanggotan
dewan ini tidaklah terbentuk melalui proses pemilihan atau penunjukan oleh pihak manapun, melainkan hampir-hampir terbentuk secara alamiah melalui
proses pengakuan dari masyarakat luas. Terdapat karakteristik yang unik dalam keanggotaan dewan totua kampung
yaitu pada setiap forum pengambilan keputusan mensyaratkan kehadiran atau wakil dari tokoh-tokoh perempuan yang disebut “Tina ngata”. Mereka yang
dianggap sebagai Tina ngata yang secara harfiah berarti ibu kampung—juga bukan berasal dari pilihan atau penunjukan, melainkan terbentuk atas dasar
pengakuan dari masyarakat. Keharusan keterlibatan kaum perempuan ini tidak terlepas dari pandangan budaya Kulawi yang menempatkan perempuan dalam
kedudukan tinggi. Perempuan dianggap memiliki otoritas untuk pengelolaan harta warisan orang tua tua tambi dan penyimpan adat pobolia ada. Dalam
perkawinan masyarakat Kulawi harus dilaksanakan menurut tata cara adat pihak pengantin perempuan.
Dalam peradilan adat, kesaksian perempuan lebih diutamakan dan mendapat prioritas. Kaum perempuan juga diakui sebagai peredam dan pemutus
akhir untuk kasus-kasus yang sangat sensitif atau yang dapat mempertaruhkan kehidupan individu atau komunitas. Kasus yang sensitif akan bertambah runyam
kalau diserahkan sepenuhnya kepada kaum laki-laki. Demikian halnya dalam pembagian kerja tradisional di bidang pertanian, perempuan mempunyai
tanggung jawab penuh. Merekalah yang memahami ilmu perbintangan yang digunakan dalam menentukan kapan saatnya menaburmenanam bibit dan
kapan harus menyelenggarakan ritus-ritus produksi. Jenis kepemimpinan kedua adalah Maradika yang merupakan lembaga
kepemimpinan yang bersifat individual. Maradika adalah keturunan bangsawan yang dipilih oleh Totua Ngata dan berperan sebagai kepala suku dari masyarakat
bersangkutan. Selain faktor keturunan dan kepiawaian dalam memimpin, faktor kekayaan dan penguasaan atas aset-aset ekonomi menjadi salah satu kriteria
dalam mengakumulasikan aset ekonomi desa dan kewajibannya untuk
meredistribusikan aset tersebut kepada anggota masyarakatnya. Oleh karena itu, Maradika-lah yang berwenang untuk mengambil kebijakan mengenai
pengembangan kawasan pertanian dan ia berhak memobilisasi anggota masyarakat dalam pembukaan hutan, utamanya pangale untuk dijadikan lahan
pertanian. Secara adat Maradika menguasai sebagian besar lahan-lahan hasil
pembukaan pangale dengan disertai kewajiban untuk mengalokasikan sumberdaya itu sebagai cadangan tetulemori bagi kepentingan masyarakat
apabila sewaktu-waktu dibutuhkan. Cadangan ini juga berguna bagi kedudukan Maradika sebagai tempat perlindungan hukum asylum bagi mereka yang
melanggar adat dan tidak mampu memenuhi sanksi yang mestinya ia tanggung. Dalam kondisi ini, Maradika dituntut untuk mengambil alih tanggung jawab orang
tadi dengan memberi ganti rugi kepada pihak yang merasa dihina atau dirugikan, yang tanpa perlindungannya orang bersalah tadi bisa dibunuh atau diusir.
Walaupun secara langsung pemerintahan sehari-hari dilaksanakan oleh Totua Ngata, namun Maradika selalu dimintai masukan atas setiap keputusan
yang akan diambil. Pendapat Maradika ini akan menjadi bahan pertimbangan yang sangat menentukan dalam rapat Totua Ngata untuk menetapkan bentuk
akhir dari keputusan yang diambil. Oleh karena itu, kehadiran Maradika selalu dipersyaratkan dalam setiap forum pengambilan keputusan.
Sejarah kepemimpinan masyarakat Toro terdokumentasi cukup rapi. Berdasarkan tulisan Shohibuddin 2003, bangsawan yang menjalankan peran
kepemimpinan sebagai Maradika berturut-turut adalah Mpone, Ntomatu, dan Balawo yang memerintah pada masa pra-kolonial dan Tomamba 1908-1916,
Pekea 1916-1920, Takeo 1920-1925, Palemba 925-1930, Poteli 1930- 1934 pada masa penjajahan, dan Kadera 1934-1960 pada masa penjajahan
dan kemerdekaan kolonial. Mananca adalah Maradika pertama yang merangkap sebagai kepala kampung, yaitu jabatan administratif yang diperkenalkan Belanda
sejak menaklukan Kulawi pada tahun 1905
10
. Kadera adalah orang terakhir yang menjalankan fungsi dan peranan sebagai Maradika.
Sepeninggalan Kadera kedudukan Maradika dianggap sudah tidak mungkin lagi dijalankan. Para penerus Kadera selanjutnya hanya menjalankan urusan
pemerintahan saja, baik sebagai kepala kampung maupun kepala desa. Mereka
10
Sejak kolonial Belanda memperkenalkan sistem pemerintahan administratif, peran totua ngata mulai memudar, dan sebagian besar tugasnya, seperti pengaturan mekanisme pemanfaatan
lahan, dan pembukaan hutan diambil alih oleh Maradika.
ini secara berturut-turut adalah Pateke 1960-1970, CH. Towaha 1971-1972, P.Toheke 1972-1987, Ace Lagimpu 1988-1995, dan Naftali B. Porentjo 1996-
sekarang. Saat ini, struktur pemerintahan di Toro terdiri atas lembaga pemerintahan ngata dan lembaga kemasyarakatan. Lembaga pemerintahan
terdiri atas: Lembaga Pemerintah Ngata dan Lembaga Perwakilan Ngata LPN. Sedangkan lembaga kemasyarakatan terdiri atas: Lembaga Masyarakat Adat
LMA dan Organisasi Perempuan Adat Ngata Toro OPANT.
Kelembagaan pengelolaan hutan dan lahan
Sumberdaya alam di antaranya adalah hutan dan lahan. Bagi komunitas adat Toro, hutan dipandang sebagai salah satu sumberdaya alam, yang di
dalamnya diperoleh bahan baku untuk kebutuhan hidup dan dapat dikelola sebagai tempat untuk melakukan aktifitas perladangan. Sedangkan sumberdaya
lahan dipandang sebagai “teritorial” guna mengekspresikan keberadaan atau eksistensi, penguasaan, status, dan sekaligus harta.
Sistem kategorisasi lahan secara tradisional telah dikenal oleh masyarakat Toro sejak dahulu. Sistem Kategorisasi menentukan bentuk-bentuk akses atas
lahan dan hasil hutan di Toro. Ada kategori lahan hutan yang sama sekali tidak bisa dikelola dan hanya bisa dimanfaatkan hasil hutannya. Ada pula kategori
lahan hutan yang dapat dikelola, biasanya yang belum ada hak penguasaan di dalamnya. Selain itu ada pula kategori lahan hutan dan jenis-jenis hasil hutan
yang sudah ada hak penguasaan, sehingga tidak bisa diakses oleh sembarang orang tanpa seijin pemiliknya.
Menurut asal-usulnya, masyarakat Toro membagi kawasan hutan di wilayah adatnya ke dalam 6 kategori yaitu: Lagimpu 2002
a.
Wana Ngkiki, merupakan kawasan hutan yang berada di puncak-puncak gunung, jauh dari pemukiman penduduk, merupakan kawasan inti yang
sangat penting karena dianggap sebagai sumber udara segar winara. Kawasan hutan ini tidak dibebani hak kepemilikan individu dodoha dan
tidak dapat dikelola. Secara tradisional, mereka mencirikan kawasan hutan ini dengan pohon-pohon yang tidak terlalu besar, tidak banyak rerumputan,
namun banyak dijumpai lumut pada lantai hutan dan batang-batang pohon hingga ke dahan pohon, serta hawanya dingin dan merupakan habitat
beberapa jenis burung. Berdasarkan hasil pemetaan partisipatif luas
kawasan wana ngkiki ini sekitar 2.300 Ha, dengan ketinggian di atas 1000 m dpl.
b.
Wana, merupakan kawasan hutan rimba, di mana tidak dijumpai adanya aktivitas pertanian di dalamnya. Bagi masyarakat adat Toro, wana
merupakan habitat tumbuhan dan berkembangbiaknya hewan langka seperti, Anoa Lupu, Babi rusa dolodo, serta berfungsi sebagai penyangga
kandungan air sumber air. Selama ini, wana hanya dimanfaatkan untuk mengambil hasil hutan non kayu seperti: getah damar, obat-obatan, rotan
serta bahan wewangian. Kepemilikan pribadi dodoha di dalam kawasan ini hanya berlaku terhadap pohon damar yang tumbuh di dalamnya, di mana
kepemilikannya tergantung pada siapa yang pertama kali mengolahnya. Selebihnya merupakan hak penguasaan kolektif, sebagai bagian ruang hidup
dan wilayah kelola tradisional masyarakat huaka. Kawasan wana ini merupakan kawasan hutan yang terluas di wilayah adat ngata
11
Toro 11. 290 Ha.
c. Pangale, merupakan kawasan hutan yang terletak di pegunungan dan
dataran, serta termasuk kategori kawasan peralihan antara hutan primer dan sekunder. Sebagian dari lahan kawasan hutan ini pernah diolah oleh
generasi pendahulu mereka dan kini telah mengalami suksesi secara alamiah. Masyarakat Toro menganggap pangale sebagai lahan cadangan,
yang dipersiapkan untuk kebun pada daerah berlereng dan sawah pada daerah yang datar. Atas izin dari lembaga adat atau pemerintah desa,
masyarakat dapat memanfaatkan kawasan ini untuk mengambil kayu, rotan, damar, dan wewangian yang sebatas digunakan untuk keperluan rumah
tangga. Kawasan ini memiliki luas 2.950 Ha.
d.
Pahawa Pongko, termasuk dalam kategori kawasan pangale, merupakan hutan bekas kebun yang telah ditinggalkan lebih dari 25 tahun sehingga
hampir menyerupai hutan sekunder. Pohon-pohonnya sudah tumbuh besar dan bila ingin menebangnya harus menggunakan “pongko”. Pongko adalah
tempat pijakan kaki yang terbuat dari kayu, diletakkan agak tinggi dari tanah agar dapat menebang batang pohon dengan leluasa. Hal yang menarik
adalah dengan tonggak bekas tebangan yang agak tinggi ini diharapkan
11
Ngata adalah sebutan untuk desa sebagai istilah asli untuk menunjuk kesatuan masyarakat hukum di Toro yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat Toro berdasarkan asal-usul, adat istiadat dan karakteristik sosial-budaya setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di kabupaten Donggala Draft
Perdes Toro.
tunggulnya dapat bertrubus dan tumbuh tunas baru. Sedangkan pahawa berarti mengganti atau ganti. Kawasan ini tidak termasuk dalam hak
kepemilikan pribadi, terkecuali pohon damar yang ada di dalamnya.
e.
Oma, merupakan lahan bekas kebun yang sering diolah dan banyak dimanfaatkan untuk tanaman kopi, kakao, dan tanaman tahunan lainnya.
Dalam kawasan ini sudah melekat hak kepemilikan pribadi dodoha dan tidak bisa diklaim sebagai kepemilikan kolektif huaka. Oma diklasifikasikan
berdasarkan usia pemanfaatannya yang terdiri atas 3 tiga jenis yaitu : −−−−
Oma ntua, berarti bekas lahan kebun tua yang telah ditinggalkan selama 16 - 25 tahun. Usia suksesinya tergolong tua sehingga tingkat
kesuburan tanahnya sudah pulih kembali. Oma ntua telah siap dan dapat diolah kembali menjadi kebun.
−−−− Oma Ngura, berarti bekas lahan kebun muda yang telah ditinggalkan
selama 3 – 15 tahun. Tingkatan suksesinya masih merupakan tipe hutan yang lebih muda dibandingkan dengan oma ntua. Pohon-
pohonnya belum tumbuh besar dan masih dapat ditebas hanya dengan parang. Oma ngura masih merupakan belukar dan dicirikan dengan
masih banyaknya rerumputan. −−−−
Oma Ngkuku, merupakan lahan bekas kebun yang usianya 1 - 2 tahun dan dicirikan oleh adanya dominasi tumbuhan rerumputan.
f.
Balingkea, adalah lahan bekas kebun yang usianya 6 bulan –1 tahun, sehingga tingkat kesuburan tanahnya sudah berkurang. Namun lahan ini
masih sering aktif diolah kesuburan tanahnya cukup untuk ditanami jenis palawija seperti jagung, ubi kayu, kacang-kacangan, rica, dan sayur-sayuran.
Kategori lahan oma dan balingkea sudah termasuk dalam hak kepemilikan pribadi dodoha.
Terdapat dua kategori adat terkait dengan hak penguasaan kepemilikan terhadap sumberdaya alam di Toro, yaitu:
1 Hak kepemilikan bersamakolektif–komunal Nanu Hangkani. Lahan dan segala sumberdaya alam yang ada di wilayah adat huaka, adalah milik
bersama seluruh masyarakat adat ngata Toro. Milik bersama ini mencakup kawasan hutan wana ngkiki, wana, dan pangale dengan segala
yang ada di dalamnya, kecuali pohon damar yang sudah diolah oleh orang pertama. Hak komunal ini tidak diperkenankan untuk diperjualbelikan,
disewakan dikontrak kepada siapapun juga, terutama pihak-pihak luar
yang bukan masyarakat adat ngata Toro. Hak kepemilikan kolektifkomunal terbatas pada pemanfaatan yang diatur dan ditetapkan oleh Lembaga Adat
Ngata Toro. 2 Hak kepemilikan pribadi individu Nanu Hadua. Tanah dan segala
sumberdaya alam dapat menjadi milik pribadiindividu apabila sudah dikelola yang dihitung mulai pembukaan lahan hutan pertama kali yang
disebut popangalea. Semua tanahhutan yang dikuasai melalui popangalea di sebut “dodoha”.
Masyarakat Toro dalam membuka lahan baru mempunyai proses, keteraturan, dan aturan yang diberlakukan. Terdapat sejumlah nilai dan norma
sosial yang dianut serta dilaksanakan sebelum melakukan aktifitas pembukaan lahan di luar dan di dalam kawasan hutan, baik untuk berladang, berkebun,
maupun tujuan lainnya. Norma dan nilai tersebut adalah: •
Melakukan konfirmasi sosial “mepekune, mopahibali”, yang artinya menanyakan apakah areal itu sudah menjadi milik orang lain ataukah belum.
Hal tersebut dilakukan guna menghindari terjadinya sengketa dikemudian hari. Jika ternyata areal itu belum ada yang memiliki, maka ia dapat
mengajukan permohonan untuk membuka lahan tersebut kepada lembaga adat, “Mampekune pade mopahi bali hi Totua Ngata bonanemo maria to
pokamaro“. •
Mematuhi kebijakan adat dalam memanfaatkan sumberdaya hutan. Ketentuan normanya dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu Toipopalia
dan Toipetagi. Toipopalia adalah larangan menebang kayu yang ada pada palungan sungai, atau kali-kali kecil yang ada di dalam hutan, yang alirannya
melewati pemukiman penduduk. Larangan untuk menebang pohon juga diberlakukan untuk pohon yang mempunyai khasiat obat-obatan tradisional.
Toipopalia juga berarti larangan membuka hutan yang di dalamnya ada pohon damar, dan larangan membuka hutan sampai pada puncak gunung
“nemo mobone maratai pongku bulu“. Sedangkan Toipetagi merupakan pantangan yang bersifat mutlak maupun tidak mutlak. Salah satu contoh
adalah “tidak diperkenankan membuka dan mengolah lahan hutan di mana pada lokasi tersebut terdapat mata air “ue ntumu mata ue bohe”.
Lahan hutan yang telah dibuka oleh seseorang secara otomatis menjadi hak miliknya, dan terus berlaku untuk diwariskan kepada keturunannya.
Meskipun lahan tersebut tidak lagi digarap oleh pemiliknya, namun status kepemilikan yang melekat padanya tidak akan berubah.
Lahan yang telah dibuka
12
dan produktif disebut bone atau ladang. Lahan ini biasanya ditanami padi, jagung, atau tanaman pangan musiman lainnya.
Setelah beberapa daur tanam, kesuburannya akan menurun. Lahan yang menurun kesuburannya akan diberakan oleh pemiliknya. Kategori lahan yang
diberakan oleh pemiliknya disebut balingkea. Meski demikian, lahan ini masih bisa dimanfaatkan sesekali untuk menanam sayuran atau tanaman pangan
lainnya. Proses pemanfaatannya disebut mo’balingkea. Lahan yang tidak dimanfaatkan atau diistirahatkan, sering dimanfaatkan sebagai lahan
penggembalaan ternak. Balingkea yang telah diistirahatkan lebih dari satu tahun, dan ditandai oleh
tumbuhnya semak disebut oma. Kategori ini dibedakan menjadi 3, berdasarkan lamanya masa istirahat yaitu: oma ngkuku sekitar 1-2 tahun, oma ngura
diistirahatkan sekitar 3-5 tahun, dan oma ntua diistirahatkan selama 16-25 tahun. Oma ntua oleh sebagian masyarakat disebut pahawa pongko Gambar
13. Di luar kategori tersebut terdapat pula lahan pekarangan atau kebun, yakni lahan dekat pemukiman yang intensif diolah sepanjang tahun pampa. Oleh
pemiliknya lahan ini ditanami dengan sayur-manyur dan tanaman semusim lainnya. Berbeda dengan lahan bone, balingkea, dan oma, pada lahan pampa
tidak dikenal praktek pinjam garap.
12
Pembukaan lahan diawali dengan pelaksanaan upacara rituil. Setelah itu, diikuti dengan kegiatan memaras mantalu, menebang pohon-pohon kecil mampeanai, menebang kayu-kayu besar
motowo kau-kau tobohe, mencincang dahan kayu yang telah ditebang morona, mengeringkan mopokara selama lebih kurang satu bulan, yang dilanjutkan dengan membakar
mohuwe, kemudian lahan telah siap untuk ditanami.
Gambar 13
Siklus pengolahan dan pemanfaatan lahan bergilir Diadaptasi dari Sohibuddin 2005.
Selain melalui pembukaan hutan primer mopangalea, di Toro dikenal pula bentuk penguasaan lahan melalui pewarisan motira atau pembagian harta di
antara keturunan. Sistem pewarisan dibedakan antara lahan yang secara aktual telah dibagikan di antara ahli waris, dan telah menjadi hak milik keluarga-
keluarga individual, dengan hak akses atas lahan yang belum dibagikan di antara keluarga-keluarga individual dan masih dikuasai oleh keluarga besar.
Penguasaan harta oleh keluarga besar dibedakan ke dalam dua jenis penguasaan, yaitu hampupuka dan hampo ompia. Hampupuka adalah
penguasaan oleh rumpun keluarga setingkat marga atas lahan milik bersama disebut ataha, yaitu berupa lahan oma. Semua keluarga individual yang
termasuk dalam rumpun ini berhak menggarap lahan oma yang dimiliki bersama. Keluarga individual dapat membuka sebidang lahan pertanian dalam oma ini,
namun ia harus meminta ijin terlebih dulu kepada keluarga besarnya melalui keturunan yang paling dituakan. Sedangkan hampo ompia adalah penguasaan
harta oleh rumpun keluarga yang lebih kecil, yakni hanya menjangkau hubungan antar sepupu satu nenek. Rumpun keluarga ini menguasai harta bersama yang
disebut dodoha berupa harta dalam rumah seperti emas, dulang, dan mbesa. Bentuk akses terhadap lahan yang lain adalah melalui pola hubungan
penyakapan tenancy dan alih kepemilikan. Namun, khusus untuk alih kepemilikan lahan terbatas hanya bagi warga Toro, dan tidak berlaku bagi
pendatang atau orang luar. Meskipun pembatasan ini tidak diatur secara formal
Pangale Popangale
Bone Balingkea
Oma Mo’pangale
Mo’balingkea Mo’bone
Keterangan: :
Menunjukkan daur pengelolaan lahan
dalam sistem : Menunjukan
perubahan kategori lahan seiring daur
produksi
Pampa
melalui perdes, masyarakat umumnya mengetahui tentang pembatasan alih kepemilikan lahan di Toro. Secara ringkas bentuk-bentuk akses atas lahan yang
dikenal dewasa ini, dan keberlakuannya di antara ketiga etnis yang ada di Toro disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17 Bentuk-bentuk akses atas lahan komunitas adat Toro
Kelompok Etnis Moma
Uma Rampi
Pengertian Melume
Mebolo Pemalu
Meminjam garap atas lahan oma untuk dibuka dan diolah.
Mehabi Mesabi,
Mepulu Mesabi
Mohon ijin memakai, sifatnya umum, tidak cuma lahan. Istilah ini juga biasa dipakai
untuk pinjam garap lahan sawah. Catatan: praktik pinjam garap lahan ini tidak
berlaku untuk pampa, yaitu lahan kebun yang sudah ditanami tanaman tahunan.
Nahodi Lebih sering
memakai istilah Moma
Lebih sering memakai istilah
Moma Memberi ganti ala kadarnya untuk alih
kepemilikan lahan secara permanen harga kekeluargaan. Catatan: Penduduk
menolak menyebut transaksi ini sebagai jual beli, melainkan memakai istilah
“memberi ganti kecapekan” kepada orang yang telah membuka lahan.
Naadai Lebih sering
memakai istilah Moma
Lebih sering memakai istilah
Moma Alih kepemilikan lahan secara permanen
melalui transaksi jual beli dengan harga pasar yang berlaku.
Notagala Kakamu,
Pentoe Lebih sering
memakai istilah Moma atau
bahasa Indonesia gadai
Gadai alias penjaminan lahan untuk meminjam suatu barang atau uang.
Catatan: Untuk etnis Uma disebut kakamu kalau barang yang dipinjam itu benda mati
dan pentoe kalau berupa benda hidup. Ada ketentuan penjaminan yang berbeda
sesuai perbedaan barang yang dipinjam
Haipotiraka, Ahirara
Lebih sering memakai istilah
Moma Lebih sering
memakai istilah Moma
Pembagian lahan kepada orang lain karena kemurahan hati.
Raodo, Kuhaodi
Keodo Lebih sering
memakai istilah Moma
Bagi hasil
yang jumlahnya
tidak ditentukan berdasar kemurahan hati.
Gagu huma ngata
Lebih sering memakai istilah
Moma Lebih sering
memakai istilah Moma
Sumberdaya milik
bersama seluruh
anggota komunitas. Sumber: Diadaptasi dari Shohibuddin 2005
Nilai-nilai dan norma-norma sosial yang dipertahankan dan diadaptasikan sesuai perkembangan jaman, merupakan salah satu indikasi masih kuatnya
“modal sosial” social capital yang dimiliki komunitas adat Toro. Hal ini
merupakan akumulasi pola hubungan aktif antar individu dalam suatu komunitas, yang masih dilandasi oleh kepercayaan trust, dan saling memahami. Berbagai
nilai dan prilaku tersebut makin meningkatkan kehandalan aksi kolektif dalam komunitas di Toro Cohen dan Prusak 2001. Salah satu contoh modal sosial di
Toro adalah sistem nilai gotong-royong maromu. Semangat maromu nyata terlihat pada beberapa kegiatan pengolahan tanahhutan di Toro. Sistem ini
mengandung nilai saling membantu meringankan beban pekerjaan satu sama lain. Dari awal pengelolaan hingga panen, sistem maromu dilakukan secara
bergiliran dari satu keluargapribadi kepada yang lain. Namun demikian, saat ini telah terjadi perubahan pada sitem nilai maromu.
Sistem nilai yang saat ini dikenal dengan istilah persatuan, telah memiliki orientasi yang berbeda dengan konteks maromu pada masa lalu Gambar 14
15. Perbedaan yang dimaksud adalah adanya motivasi ekonomi yang melandasi pembentukan kelompok persatuan. Awalnya kelompok ini dibentuk oleh lembaga
gereja di Toro, yang ditujukan untuk menggalang dana pembangunana gereja. Dalam perjalanannya orientasi komersil kian mendominasi, ditandai dengan
banyaknya terbentuk kelompok-kelompok persatuan lainnya, yang khusus menyediakan jasa tenaga kerja bagi siapa saja yang membutuhkan, dengan
imbalan pembayaran upah kerja. Namun demikian, nilai-nilai dan semangat gotong-royong yang sesungguhya masih tetap ada di Toro, utamanya dalam
pelaksanaan pesta perkawinan, kematian, dan kegiatan adat lainnya.
Gambar 14 Kelompok maromu dalam
pengelolaan lahan sawah Foto: Helmy 2005.
Gambar 15 Kelompok
maromu dalam
kegiatan menanam padi di sawah Foto:
Golar 2005.
Tekanan Penduduk, Ekonomi Pasar, dan Dinamika Politik Pertumbuhan dan Tekanan Penduduk
Angka pertumbuhan penduduk menunjukan rata-rata pertambahan penduduk per tahun pada periodewaktu tertentu yang dinyatakan dalam
persen . Terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan untuk menghitung angka pertumbuhan penduduk, satu di antaranya adalah metode Pertumbuhan
Eksponensial
13
Yasin 2004. Berdasarkan metode ini diketahui bahwa tingkat pertumbuhan penduduk di Toro pada periode 1990 - 2004 adalah sebesar 2.1
per tahun, dan tergolong rendah
14
bila dibandingkan tingkat pertumbuhan penduduk di kecamatan Kulawi 2.51, Sigi Biromaru 3.54, Palolo 6.34,
dan Lore Utara 6.98. Pertumbuhan penduduk per lima tahun di Toro disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18
Tingkat rata-rata pertumbuhan penduduk di Toro 1978 - 2004
Sumber: TNC 2004 , diolah.
Tingkat pertumbuhan penduduk tertinggi terjadi pada periode 1995 -2000 sebesar 4.1. Angka tersebut jauh di atas rata-rata pertumbuhan penduduk
tahunan sebesar 1.80 per tahun. Lonjakan ini terkait erat dengan kerusuhan yang terjadi di Poso, di mana Toro menjadi salah satu lokasi penampungan
pengungsi. Keadaan ini berlangsung hingga pertengahan tahun 2001. Di tahun 2002 sebagian pengungsi kembali ke Poso dan selebihnya memilih untuk
menetap di Toro. Bagi yang menetap dipinjamkan lokasi oleh pemerintah desa
13
Dalam penelitian ini digunakan metode Pertumbuhan Eksponensial, dengan formulasi: P
t
= P
o
. e
r n
di mana
P
t
= banyaknya penduduk pada tahun terakhir,
P
o
= jumlah penduduk pada tahun awal, dan
e = angka eksponensial
2,71828.
14
Mengacu pada UU no. 561960 maka tingkat kepadatan penduduk dikategorikan menjadi tidak padat ≤ 50orangkm
2
, kurang padat 51-250 orang km
2
, cukup padat 251 – 400 orang km
2
, dan sangat padat ≥ 401 orang km
2
.
Tahun Jumlah Penduduk
jiwa Jumlah
rumahtangga Pertumbuhan
tahun Kepadatan
jiwakm
2
1980 1985
1990 1995
2000 2004
1.387 1.506
1.598 1.628
2.005 2.133
235 274
315 351
502 562
1.6 1.2
0.4 4.1
1.5 6.0
7.0 7.0
7.0 9.0
9.0
untuk tempat bermukim dan lahan-lahan yang dapat dikelola untuk bercocok tanam.
Kepadatan penduduk
15
Toro pada tahun 2004 adalah sebesar 9.3 orangkm
2
. Angka tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan kepadatan penduduk di kecamatan Kulawi maupun kecamatan lain di sekitar TNLL, di
antaranya Kecamatan Sigi Biromaru, Palolo, dan Lore Utara. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19 Karateristik demografi untuk tiap-tiap kecamatan di sekitar TNLL dan
Toro periode tahun 1980 - 2002
Klasifikasi Sigi
Biromaru Palolo
Kulawi Lore
Utara Toro
1. Kerapatan penduduk per km
2
86.49 42.96
10.35 9.95
9.30 2. Pertumbuhan penduduk tahunan
: a. 19851990
b. 19902004 2.49
3.54 2.01
6.34 1.27
2.51 3.10
6.98 0.92
2.1
Sumber: The Nature Conservancy 2004.
Dalam perspektif emik, tekanan penduduk belum dirasakan di Toro. Hal ini dibuktikan melalui jumlah lokasi lahan pertanian yang dikuasai oleh masyarakat,
yang rata-rata berjumlah lebih dari 2 lokasi Gambar 7. Selain itu, lahan cadangan masyarakat yang terletak di pangale hingga saat ini belum dikelola
oleh pemiliknya. Hal ini menurut masyarakat dikarenakan masih mencukupi kebutuhan mereka sehingga belum dibutuhkan lahan tambahan.
Intervensi Ekonomi Pasar
Intervensi ekonomi pasar telah berpengaruh terhadap laju konversi lahan, perubahan preverensi ekonomi masyarakat, dan diversifikasi usaha masyarakat.
Toro yang relatif terbuka dan didukung oleh jaringan jalan yang memadai membuat masyarakat dengan mudah menjangkau kota-kota atau pusat-pusat
pertumbuhan di daerah sekitarnya, serta memudahkan akses informasi dari dan ke dalam Toro. Keterbukaan Toro ditandai pula oleh ketersediaan fasilitas listrik
umum, meskipun masih terbatas. Kedua fasilitas tersebut merupakan sarana penting yang dapat mendukung berkembangnya penggunaan sarana
transportasi dan komunikasi di kalangan penduduk, yang menghubungkan mereka dengan masyarakat luas di luar Toro.
15
Kepadatan penduduk dihitung berdasarkan total luas wilayah Toro 229.50 Km
2
.
Ketersediaan sarana jalan raya mempermudah pedagang-pedagang untuk masuk ke Toro. Mulai dari pedagang yang bertujuan untuk menjual barang
kebutuhan sandang dan pangan, hingga pedagang-pedagang hasil bumi, yang bertujuan membeli hasil kebun dan sawah milik masyarakat Toro. Untuk menarik
minat masyarakat menjual hasil kebunnya kepada mereka, sebagian dari pedagang berani untuk memberikan panjar kepada masyarakat, meskipun lahan-
lahan mereka belum siap untuk di panen. Permintaan yang tinggi terhadap tanaman komersil, seperti kakao, kopi, dan vanila secara langsung berpengaruh
terhadap preferensi ekonomi masyarakat, yang berdampak pada perubahan struktur okupasi di Toro. Perubahan tersebut ditandai oleh peningkatan jumlah
lahan-lahan yang dikonversi oleh masyarakat untuk ditanami dengan tanaman komersil Gambar 16 17.
Berdasarkan data yang disajikan pada Gambar 9, diketahui bahwa laju konversi lahan tertinggi terjadi pada periode tahun 1990 – 2000 yang mencapai
400 ha 41.6. Laju konversi lahan yang tinggi disebabkan pula oleh faktor harga jual komoditas kakao yang terus meningkat di era 90-an, terlebih setelah
Indonesia mengalami krisis moneter di awal tahun 1997 Ruf 2004. Menurut masyarakat, diakhir tahun 1997 harga jual kakao mengalami kenaikan dari Rp
2.500.00 per kg menjadi Rp 5.000.00 per kg. Tak berselang lama, di awal tahun 1998 harga kakao kembali naik hingga mencapai harga Rp 14.000.00 per kg,
bahkan pernah mencapai harga Rp 20.000.00 per kg. Harga ini terus bertahan hingga awal tahun 2000.
Gambar 16 Tanaman kopi yang dibudidayakan
masyarakat di bawah tegakan hutan sekunder Foto: Golar 2005.
Gambar 17 Tanaman kakao yang dibudidayakan
masyarakat di bawah tegakan hutan sekunder Foto: Golar 2005.
Faktor yang juga turut memotivasi masyarakat untuk mengembangkan tanaman kakao di Toro adalah biaya investasi yang relatif murah. Hal tersebut
disebabkan karena sebagian besar masyarakat tidak menggunakan pupuk dan pestisida pada tanaman kakao. Menurut masyarakat, hal ini lebih disebabkan
kondisi tanah-tanah mereka yang subur sehingga tidak membutuhkan input pupuk. Perbandingan antara masyarakat yang menggunakan dan tidak
menggunakan pupuk untuk tanaman kakao disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20 Perbandingan antara masyarakat yang menggunakan
pupuk dengan yang tidak menggunakan pupuk pada tanaman kakao di Toro
Sumber: Sensus Penduduk STORMA 2004. Lain-lain = pupuk tablet
Tabel 20 menujukkan bahwa pada umumnya 88.2 masyarakat tidak menggunakan pupuk dalam bercocok tanam kakao. Hal ini lebih disebabkan
tingkat kesuburan tanah masyarakat yang baik. Kajian yang dilakukan Ruf 2004 pada dataran tinggi Sulawesi membuktikan bahwa produktifitas tanaman kakao
semakin ditingkatkan oleh kondisi tanah yang subur dan curah hujan yang tinggi. Tidak adanya musim kemarau yang sesunggunya, memungkinkan distribusi
pemetikan buah yang lebih baik, sehingga produktifitas kakao akan lebih tinggi. Selain pupuk, intensitas penggunaan pestisida pun tergolong rendah di
Toro. Hal tersebut disebabkan karena tanaman kakao yang mereka tanam, terutama yang ditanam di bawah tegakan hutan alam dan hutan sekunder, belum
pernah terserang hama yang berarti. Perbandingan jumlah masyarakat yang menggunakan dan tidak menggunakan pupuk disajikan pada Gambar 18.
Jenis pupuk Jumlah Penduduk
jiwa Persentase
Tidak menggunakan pupuk UREA
TSP KCL
UREA+ TSP UREA + KCL
UREA + TSP + KCL Pupuk Organis
Lain-lain 1.045
18 4
1 13
8 70
10 16
88.2 1.5
0.3 0.1
1.1 0.7
5.9 0.8
1.4
Jumlah 1.185
100
Gambar 18 menjelaskan bahwa sebagian besar 78 masyarakat Toro tidak menggunakan pestisida untuk tanaman kakao mereka. Salah seorang
informan kunci menjelaskan bahwa hal tersebut lebih disebakan pada keyakinan masyarakat bahwa bila menggunakan pestisida justru akan menimbulkan
kerugian yang lebih besar pada tanaman milik mereka, utamanya terhadap lahan persawahan yang letaknya di daerah bawah akan ikut terkena dampak racun
yang dihasilkan. Atas dasar pertimbangan itu, masyarakat lebih memilih untuk menanggulangi secara alamiah, yaitu dengan meningkatkan intensitas
pemeliharaan tanaman melalui penyiangan, pemangkasan, dan pembersihan. Respon lain yang ditunjukkan oleh masyarakat Toro dalam menghadapi
tekanan intervensi pasar adalah melalui pengembangan usaha berskala lokal, tenaga upahan, dan alternatif usaha lain; menjadi supir dan membuka warung
dan toko. Saat ini dijumpai sedikitnya 5 unit usaha pemanfaatan dan pengolahan hasil hutan kayu milik masyarakat di Toro, seperti usaha meubel dan kusen
Gambar 19 20. Usaha-saha tersebut mulai dikembangkan sejak tahun 2001. Motivasi awal yang mendorong untuk membuka usaha ini adalah meningkatnya
permintaan lokal terhadap meubel dan kusen. Hal tersebut di atas terkait erat dengan peningkatan pendapatan
masyarakat dari usaha pertanian, utamanya kakao. Peningkatan pendapatan atau income masyarakat dari hasil kebun yang dikelola memberi kekuatan untuk
membeli daya beli, dan mengkonsumsi barang maupun jasa yang diperlukannya, agar dia, dan mungkin keluarganya, dapat hidup layak. Bahkan
22
78 tanpa
pestisida menggunakan
pestisida 22
78 tanpa
pestisida menggunakan
pestisida
Gambar 18
Perbandingan penduduk yang menggunakan pestisida dengan yang tidak menggunakannya
pada tanaman kakao di Toro sumber: Sensus penduduk, STORMA 2004.
dari pendapatan itu pula dia dapat menabung untuk membina sumber-sumber pendapatan yang lebih besar Darusman 2002.
Motivasi lain masyarakat untuk mengembangkan usaha meubel adalah pendapatan yang diperoleh dari usaha ini lebih menjanjikan. Dalam setiap satu
meter kubik kayu yang diolah, sedikitnya diperoleh Rp 1.500.000.00. Nilai ini jauh lebih besar bila dibandingkan harga jual kayu log atau papan yang hanya
berkisar antara Rp 300.000.00 - Rp 700.000.00. Dalam setiap bulannya, unit usaha meubel dan kusen rata-rata membutuhkan 1 m
3
kayu, yang diperoleh dari hutan-hutan di sekitar Toro wilayah oma dan pangale
16
. Para pemilik usaha memesan kayu kepada warga yang berprofesi sebagai penebang chainsaw
man, setelah sebelumnya memperoleh izin dari pihak pemerintah dan lembaga adat. Proses perizinan dibebankan pada si pemilik usaha yang akan
memanfaatkan kayu tersebut. Pekerjaan sampingan rumah tangga di Toro adalah sebagai tenaga
upahan, baik dilakukan oleh kepala keluarga suami, isteri, maupun anak-anak mereka yang telah dewasa guna menambah pendapatan keluarga mereka.
Proporsi pekerjaan yang dilakukan pria lebih besar bila dibandingkan proporsi kaum perempuan Gambar 21, di mana sebagian besar 57 pekerjaan
sampingan dilakukan oleh pihak laki-laki kepala keluarga. Sedangkan pihak perempuan istri dan anak-anak mereka yang telah dewasa masing-masing
memiliki proporsi sebesar 20 dan 30.
16
Saat ini pemanfaatan kayu di wilayah pangale telah dibatasi oleh lembaga adat. Hal ini dimaksudkan agar fungsi utama lahan tersebut, sebagai lahan cadangan, dapat tetap terpelihara.
Gambar 19
Usaha Pembuatan kusen masyarakat Toro Foto: Golar 2005.
Gambar 20 Usaha Pembuatan meubel masyarakat
Toro Foto: Golar 2005.
57 20
23
57 20
23
Gambar 21 Persentase jumlah tenaga kerja upahan di Toro berdasarkan pembagian jenis kelamin STORMA
2004, diolah.
Sementara itu, ragam pekerjaan sampingan yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat di Toro disajikan pada Tabel 21 berikut.
Tabel 21 Ragam pekerjaan sampingan di Toro
Sumber: Sensus Penduduk STORMA 2004, diolah
Tabel 21 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar 80 masyarakat di Toro memperoleh penghasilan tambahan melalui kegiatan buruh tani
pengolahan lahan, penanaman, pemanenan, pembersihan lahan, membuat pondok-pondok. Sementara pekerjaan sampingan terbesar setelah buruh tani
adalah kegiatan mengumpulkan rotan dan penebangan pohon 10.9. Menurut informasi masyarakat bahwa kegiatan buruh tani dilakukan pada lahan-lahan
milik keluarga dan kerabat mereka, dan umumnya yang tinggal satu dusun dengan mereka. Meskipun demikian, mereka juga sering membatu kerabat
mereka yang berasal dari dusun lain di Toro. Bentuk upah yang diterima dapat berupa uang, persen bagi hasil, dan balasan tenaga. Namun, saat ini umumnya
Jenis pekerjaan Jumlah jiwa
Persentase
Buruh tani Pengolahan padi
Pedagang pengumpul Pencari rotan dan penebang pohon
Supir mobil Menjaga toko
Usaha kerajinan 295
2 5
40 3
4 18
80.4 0.5
1.4 10.9
0.8 1.1
4.9
Jumlah 362
100
Kepala keluarga Anak dewasa
Istri
mereka menerima upah dalam bentuk uang tunai. Situasi ini berlangsung terutama setelah terbentuknya kelompok persatuan di tiap-tiap dusun di Toro
yang dibentuk untuk menggalang dana dari pemilik lahan, baik untuk kepentingan kolektif perbaikan rumah ibadah, maupun kebutuhan tiap-tiap
individu yang terlibat di dalamnya. Kelompok ini dikoordinir di tiap-tiap dusun di Toro.
Selain usaha tersebut di atas, berkembang pula usaha warung dan toko yang melayani kebutuhan sehari-hari masyarakat. Motivasi yang mendorong
mereka membuka warung maupun toko di Toro adalah tingginya permintaan, utamanya setelah Toro menjadi salah satu lokasi penelitian STORMA dan
institusi lainnya. Dinamika Politik
1. Dinamika Internal
Ragam etnis yang ada di Toro menimbulkan persoalan-persoalan politik. Persoalan dimaksud terkait dengan sistem tenurial di Toro, yang meliputi
distribusi hak pemilikan dan penguasaan lahan yang tidak “berimbang” antara etnis asli Moma dan etnis pendatang Rampi dan Uma. Perbedaan terhadap
hak pemilikan dan penguasaan lahan sering memicu munculnya konflik internal di Toro, utamanya terkait dengan aktifitas pemanfaatan sumberdaya lahan dan
hutan. Hasil wawancara dengan salah seorang responden kunci di dusun VII, terungkap bahwa etnis pendatang, utamanya etnis Rampi hingga saat ini masih
ragu terhadap kejelasan status lahan-lahan yang dikuasainya saat ini. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh munculnya sejumlah konflik lahan antara etnis asli
dan pendatang Rampi dan Uma, seperti kasus berikut
17
. ....beberapa tahun yang lalu, salah seorang warga Toro dari etnis
Rampi mengelola lahan dan menanaminya dengan tanaman keras kakao. Setelah lahan itu berhasil ditanami muncul klaim dari
pihak etnis Moma, yang juga merasa memiliki lahan tersebut. Mereka mengatakan bahwa lahan tersebut adalah popangalea
orang tua mereka. Masalah ini kemudian diajukan kepada lembaga adat untuk diselesaikan, namun lembaga adat saat itu
tidak mengambil sikap tegas, dan terkesan berpihak pada etnis asli Moma...
Kasus tersebut menunjukkan bahwa kekhawatiran terhadap status lahan yang dialami etnis Rampi maupun etnis Uma tidak terlepas dari eksistensi
17
Wawancara dilakukan di Dusun VII pada tanggal 22 Juli 2005, pukul 16.20 WITA.
mereka sebagai etnis pendatang. Meskipun lembaga adat dan pemerintah desa telah memberikan jaminan dan pengakuan bahwa mereka adalah warga Toro,
etnis Rampi tetap merasa khawatir terutama terhadap kepastian hak penguasaan dan pemilikan lahan di Toro. Penjelasan terhadap kasus tersebut
disampaikan oleh salah seorang anggota lembaga adat di Toro, yang menyatakan bahwa hal tersebut erat kaitannya dengan latar sejarah kedatangan
dan proses perolehan lahan etnis Rampi dan Uma di Toro. Kedua etnis ini memperoleh lahan garapan melalui pemberian dan sebagian melalui pembelian
terutama etnis Uma, bukan melalui proses pembukaan lahan mo’pangale. Olehnya, kedua etnis ini tidak berhak terhadap lahan-lahan yang dahulunya telah
di buka oleh orang-orang tua etnis asli di Toro Oma dan Pangale. Di kedua tipe lahan ini umumnya telah memiliki status penguasaan yang jelas, meskipun
hingga saat ini lahan-lahan tersebut tidak atau belum dikelola masyarakat. Salah satu bentuk respon yang dilakukan oleh etnis pendatang untuk
memperoleh lahan adalah dengan cara pembelian kepada etnis asli. Dalam proses jual beli yang melibatkan etnis Rampi maupun Uma biasanya dilakukan di
kantor Desa. Inisiatif yang datang dari etnis Rampi maupun Uma merupakan salah satu upaya mereka untuk memperoleh jaminan atas transaksi jual beli
lahan yang mereka lakukan. Setelah itu mereka mengupayakan untuk segera memperoleh surat keterangan dari desa, baik itu berupa surat penyerahan,
maupun surat keterangan, yang intinya menyatakan bahwa tanah tersebut telah dibeli dan kini sah menjadi milik mereka.
2. Dinamika Eksternal Lembaga swadaya masyarakat dan dinamika sosial di Toro