Strategi Adaptasi Masyarakat Adat Toro Kajian Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan dan Permanfaatan Sumberdaya Hutan di Taman Nasional Lore Lindu Propinsi Sulawesi Tenga

(1)

Kajian Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan dan

Pemanfaatan Sumberdaya Hutan di Taman Nasional

Lore Lindu Propinsi Sulawesi Tengah

Golar

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Strategi Adaptasi Masyarakat Adat Toro: Kajian Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan dan Permanfaatan Sumberdaya Hutan di Taman Nasional Lore Lindu Propinsi Sulawesi Tengah adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Mei 2007

G o l a r


(3)

Strengthening for Managing and Utilizing forest resources in Lore Lindu National Park (LLNP). Under the Supervision of DUDUNG DARUSMAN, DIDIK SUHARJITO, and SAMBAS BASUNI.

This research aims to explain how the local community manages interaction with the forest resources. The study presents a qualitative analysis, applied to better understanding the Toro’s institution strengthening, and analyze the strategy applied by the community in adaptation to environmental changes.

This case study shows that Toro’s has developed real effort which addressed problems met in her interaction with forest resources, namely Lore Lindu National Park (LLNP). In these cases, Toro has revitalized the institution concerning the natural resources management. The Institution Revitalization is one of the Toro’s adaptive strategies to response the environmental changes (market intervention and politic influences). The adaptive strategy is realized in among others solving the problem of the areas boundaries arrangement among Toro and LLNP, to secure forest resources property right. As a whole the Toro institution has proved its adequate ability in managing and utilizing forest resource sustainably.

This study recommends that the government could adopt the local institution as part of her policies concerning forest resources governance.


(4)

dalam mengelola dan mempertahankan kelestarian sumberdaya hutan. Kajian-kajian tersebut menunjukkan adanya perdebatan tentang kemampuan atau ketidakmampuan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Hal tersebut dipandang oleh sebagian peneliti sebagai masalah adaptasi, yang terkait dengan kemampuan respon masyarakat terhadap perubahan lingkungan, yang disebabkan oleh tekanan penduduk, intervensi ekonomi pasar, dan dinamika politik (Alland 1975; Bennett 1967; Agrawal et al. 1997; Berkers et al. 2001; Suharjito 2002; Marks et al. 2005; Flint et al. 2005).

Fokus penelitian ini menjelaskan tentang wujud respon masyarakat adat Toro terhadap perubahan lingkungan melalui revitalisasi kelembagaan adat, khususnya dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Secara khusus bertujuan: (1) menjelaskan wujud revitalisasi kelembagaan adat yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan; (2) Menjelaskan performansi kelembagaan adat yang direvitalisasi; dan (3) Menjelaskan implikasi revitalisasi kelembagaan adat terhadap kelestarian sumberdaya hutan, utamanya terhadap integritas ekosistem dan kesejahteraan masyarakat.

Konsep adaptasi dari Bennett (1967), digunakan sebagai kerangka teori utama dalam disertasi ini. Teori ini memandang adaptasi sebagai perilaku responsif masyarakat terhadap perubahan-perubahan lingkungan, agar dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada. Selain Teori Bennett, Secara operasional di lapangan digunakan pula konsep lain di antaranya: Turnbull (1992) dan Ostrom (1994), utamanya dalam menganalisis performansi kelembagaan terhadap kelestarian sumberdaya hutan.

Penetapan lokasi penelitian dilakukan berdasarkan penelusuran hasil-hasil penelitian terdahulu, baik yang dilakukan oleh tim STORMA, maupun peneliti-peneliti perorangan. Selain itu, dilakukan pula diskusi intensif dengan staf Balai Taman Nasional Lore Lindu. Melalui hasil penelusuran awal tersebut ditetapkan secara purposive Desa Toro sebagai lokasi penelitian. Penelitian berlangsung selama 10 (sepuluh) bulan, yang dimulai pada awal bulan Mei 2005 dan diselesaikan pada bulan Maret 2006. Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, yang menggunakan metodologi studi kasus. Metode analisis yang digunakan terdiri atas: analisis sejarah (historical analysis); analisis hubungan sebab-akibat (causal relation analysis); analisis penilaian subjektif dan analisis perbandingan (comparative analysis).

Intervensi ekonomi pasar berdampak langsung terhadap intensitas pemanfaatan lahan di Toro. Hal tersebut mulai dirasakan sejak tanaman kakao diminati dan mulai dikembangkan secara merata di Toro serta hadirnya pedagang-pedagang hasil bumi di Toro. Situasi tersebut berpengaruh terhadap perubahan preferensi ekonomi masyarakat, terutama terhadap keinginan untuk meningkatkan taraf hidupnya. Keinginan tersebut sedikit-banyak telah mempengaruhi masyarakat untuk “berpacu” meningkatkan produktifitas lahan, dengan menanami jenis-jenis komersil. Banyak lahan garapan yang dikonversi, untuk ditanami kakao, kopi, dan vanilli. Selain berpengaruh terhadap sektor pertanian, situasi tersebut berpengaruh pula terhadap sektor usaha non-pertanian, yang diindikasikan oleh munculnya ragam usaha masyarakat di Toro yang berorientasi komersil. Situasi tersebut mendorong meningkatnya laju konversi terhadap TNLL, dan berdampak terhadap kerusakan sumberdaya hutan.


(5)

lemahnya fungsi dan peran lembaga adat di dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Dominansi pihak otoritas TNLL terhadap pengelolaan sumberdaya hutan, termasuk di dalamnya wilayah adat Toro, menjadi salah satu penyebabnya. Dengan demikian fungsi kontrol lembaga adat terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan semakin lemah, dan memicu munculnya pelanggaran-pelangaran terhadap aturan yang ditetapkan pemerintah, sebagai wujud protes terhadap kondisi “ketidak-seimbangan” yang dirasakan oleh masyarakat Toro.

Perusakan-perusakan lingkungan tersebut direspon dalam bentuk revitalisasi kelembagaan. Revitalisasi kelembagaan adat di Toro diawali oleh proses-proses pendokumentasian terhadap sistem nilai, norma sosial, hukum adat, dan sejumlah pengetahuan lokal yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Dari proses awal tersebut, berhasil dibuat peta partisipatif wilayah hukum adat Toro. Melalui peta ini masyarakat Toro memberikan penegasan kembali prihal asal-usul hak terhadap wilayah hukum adat mereka, yang selama ini diklaim sebagai wilayah TNLL. Pasca pengakuan yang diberikan pihak TNLL terhadap wilayah hukum adat di Toro, masyarakat merevitalisasi struktur dan hubungan kerja antar lembaga yang selama ini dinilai belum berjalan baik di Toro, serta menyusun sejumlah aturan formal terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam di Toro. Dengan jelasnya struktur dan hubungan kerja antar lembaga serta adanya aturan main pengelolaan sumberdaya alam, maka semakin jelas pula fungsi dan peran lembaga yang ada di Toro, utamanya dalam mengatur pola pemanfaatan sumberdaya hutan dan mengendalikan perilaku menyimpang masyarakat, serta menghambat munculnya perilaku oportunistik, yang dapat merugikan ekosistem sumberdaya alam di Toro.

Revitalisasi yang berlangsung di Toro tidak lepas dari peran kepemimpinan lokal. Dalam hal ini, peran kepala desa amat menentukan utamanya dalam mengadaptasikan aspek-aspek tradisi dan kelembagan tradisional ke dalam kondisi saat ini. Para totua ngata dan tokoh-tokoh pemuda juga berperan dalam proses penggalian aspek-aspek pengetahuan tradisional, utamanya terkait dengan pengetahuan ekologis pemanfaatan sumberdaya hutan. Demikian halnya dengan tokoh-tokoh perempuan, yang turut berjuang dalam menggali kembali fungsi dan peran perempuan adat Toro (tina ngata) dalam konteks kekinian.

Hal penting yang dihasilkan melalui proses revitalisasi kelembagaan adat adalah sejumlah aturan-aturan tertulis, yang juga memuat sanksi-sanksi terhadap pelanggaran yang bersifat spesifik, di mana bentuk dan nilai dari sanksi atas pelanggaran ditetapkan menurut hukum adat dan melalui mekanisme musyawarah adat. Dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan, Toro memiliki mekanisme pengawasan yang telah ada jauh sebelum Lore Lindu ditetapkan sebagai taman nasional. Salah satu faktor yang turut mendukung keberhasilan dalam menjaga kelestarian hutan di wilayah hukum adat adalah tingginya kepedulian dan komitmen masyarakat dalam membantu tugas tondo ngata. Perilaku yang ditunjukkan oleh masyarakat tersebut merupakan cerminan bahwa kontrol sosial di Toro masih berjalan dengan baik.

Meskipun demikian, dalam perspektif emik terungkap bahwa kinerja kelembagaan adat yang direvitalisasi belum sepenuhnya baik, utamanya dalam hal pengaturan tentang kejelasan hak penguasaan lahan. Namun, secara umum kinerja kelembagaan adat Toro telah dinilai baik oleh masyarakat, khususnya dalam hal mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di Toro.


(6)

adat memiliki kecenderungan mampu dalam mempertahankan kelestarian sumberdaya hutan di wilayah kelola adatnya. Beberapa hal yang mencirikan di antaranya: telah dilakukan penataan wilayah kelola adat; status dan batas lahan yang jelas; hak pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan yang telah didefenisikan; dimilikinya mekanisme resolusi konflik yang efektif; serta mekanisme pemantauan sumberdaya alam yang telah berjalan. Sementara itu, terkait dengan dimensi manajemen hutan utamanya pada komponen kelola produksi, masih dijumpai kelemahan di antaranya: tidak tersedianya informasi dan dokumentasi yang memadai terhadap dampak kegiatan produksi yang telah dilakukan; tidak tersedianya data potensi hutan yang dapat dipanen secara lestari; tidak jelasnya mekanisme pertangung-jawaban publik; rendahnya efisiensi pemanfaatan hasil hutan; belum tersedianya sistem informasi manajemen pengelolaan hutan; dan kurangnya tenaga terampil dan teknologi yang mampu memanfaatkan sumberdaya hutan secara efisien dan terkendali.

Sementara itu, dimensi penataan kelembagaan (akuntabilitas publik, penatan organisasi, peningkatan sumberdaya manusia, dan manajemen keuangan), yang merupakan “syarat perlu” bagi pencapaian pengelolaan hutan yang lestari, belum dipenuhi oleh kelembagaan di Toro. Beberapa indikator dimaksud di antaranya: (a) tidak jelasnya mekanisme pertangung-jawaban publik, (b) rendahnya efisiensi pemanfatan hasil hutan, (c) belum tersedianya sistem informasi manajemen pengelolaan hutan; dan (d) masih kurangnya tenaga terampil, yang mampu memanfaatkan sumberdaya hutan secara efisien dan terkendali. Namun demikian, kekurangan-kekurangan tersebut terus diupayakan perbaikannya oleh masyarakat Toro. Hal ini nampak melalui usaha pemerintah desa dan lembaga adat di Toro untuk meningkatkan kemampuan manajerial melalui peningkatan intensitas kerjasama dengan pihak LSM, lembaga penelitian dalam dan luar negeri, serta peningkatan kemampuan sumberdaya manusianya melalui keikutsertaan dalam berbagai pelatihan dan pertemuan di tingkat regional, nasional, bahkan internasional.

Secara menyeluruh, masyarakat Toro telah melakukan adaptasi terhadap perubahan lingkungan dalam bentuk penguatan kelembagaan. perubahan preferensi ekonomi masyarakat serta dinamika politik berimplikasi terhadap kestabilan sumberdaya hutan. Di satu sisi, eksisistensi sumberdaya hutan bagi masyarakat Toro sangat penting untuk dipertahankan. Hutan tidak saja menjadi sumber matapencaharian bagi masyarakat Toro, namun lebih jauh merupakan simbol harmonisasi hubungan antara masyarakat dan lingkungannya, yang tercermin pada nilai-nilai dan falsafah hidup mereka: “Mahintuwu mampanimpu katuwua toiboli Topehoi” (Melindungi kehidupan dan sumberdaya lingkungan yang telah dianugerahkan kepada kami oleh Tuhan YME). Hal tersebut menjadi salah satu alasan mengapa mereka memilih untuk melakukan revitalisasi terhadap kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam di Toro. Dengan demikian, revitalisasi merupakan wujud adaptasi mereka dalam mengimbangi perubahan lingkungan, dan sebagai upaya mempertahankan kelestarian hutan.


(7)

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.


(8)

Kajian Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan dan

Pemanfaatan Sumberdaya Hutan di Taman Nasional

Lore LinduPropinsi Sulawesi Tengah

Golar

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(9)

Sulawesi Tengah Nama : Golar

NIM : E061030081

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof Dr.Ir. Dudung Darusman, MA Ketua

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS.

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Kehutanan


(10)

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kesempatan dan kesehatan sehingga saya dapat merampungkan disertasi ini. Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu saya selama perkuliahan dan penyusunan disertasi ini.

Ucapan terima kasih yang amat sangat saya haturkan kepada yang terhormat Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA selaku pembimbing utama, Dr. Ir. Didik Suharjito, MS dan Dr. Ir. Sambas Basuni, MS selaku pembimbing anggota. Beliau-beliau telah mengarahkan, membukakan pikiran, dan meluangkan waktunya untuk membimbing saya melalui pertanyaan-pertanyaan kritis dan saran-saran yang diajukan kepada saya. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada yang terhormat Dr. Satyawan Sunito, yang telah bersedia sebagai dosen penguji pada ujian tertutup saya dan Dr. Ir. Yetty Rusli, M.Sc dan Prof.Dr. Hadi Sukadi Alikodra, MS., selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka saya, melalui saran-saran yang diajukan, telah memperkaya saya dengan konsep dan teori sehingga saya dapat menyusun disertasi ini lebih baik.

Terimakasih saya kepada Rektor, Dekan Fakultas Pertanian, dan Ketua Jurusan Manajemen Hutan Universitas Tadulako, atas izin dan dorongannya sehingga saya dapat melanjutkan studi pada program doktor di IPB. Kepada Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi melalui beasiswa yang diberikan, Management Board program BMZ-STORMA atas bantuan dana penyelesaian studi, saya ucapkan banyak terimakasih.

Kepada Keluarga besar komunitas adat Toro, Naftali B. Porentjo (kepala Ngata Toro), Tokoh Masyarakat Adat Toro; CH. Towaha, Ace Lagimpu, Andreas Lagimpu, Rukmini Rizal, Pdt. Ferdy Lumba, Sahid Tohola (Tondo Ngata Toro), dan Berwin P. Toheke (tokoh pemuda Toro) atas segala bantuannya selama penelitian ini dilakukan diucapkan banyak terimakasih. Demikian halnya dengan rekan-rekan yang saya tidak dapat sebutkan satu per satu, dan kepada semua pihak atas segala bantuan dan kerjasamanya yang telah diberikan kepada saya selama ini.

Terakhir, ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus saya haturkan kepada ayahanda saya Baso AP dan ibunda saya Hj. Sitti Arifah (Alm), yang semasa hidupnya tak putus-putusnya selalu memanjatkan doa untuk kebahagian saya, dan berharap agar saya dapat menyelesaikan pendidikan ini dengan baik.


(11)

saya Misykah Aulia Golar dan Ahmad Fadlan Golar, yang selalu mendampingi dalam suka dan duka, dan memberikan semangat kepada saya saat menempuh studi ini. Semoga Allah SWT membalasnya lebih baik. Saya berharap disertasi ini merupakan amalan sholeh, amin.

Bogor, Mei 2007 G o l a r


(12)

Sekolah dasar hingga Sekolah Lanjutan Tingkat atas (SLTA) diselesaikan di Jakarta. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin, lulus pada tahun 1996. Pada tahun 1997, penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) pada Program Pascasarjana di universitas yang sama atas bantuan beasiswa pendidikan yang diperoleh dari program URGE-DIKTI, dan menamatkannya pada tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Institutut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2003, melalui bantuan beasiswa BPPS-DIKTI dan BMZ-STROMA.

Penulis bekerja sebagai Staf Pengajar pada Program Studi Manajemen Hutan pada Jurusan Kehutanan di Universitas Tadulako-Palu sejak tahun 1999. Sebelumnya, penulis diperbantukan pada Pusat Kajian Perhutanan Sosial pada Lembaga Pusat Penelitian (LPM) UNHAS (periode 1997-1999).

Selama mengikuti program S3, penulis pernah menerima Piagam Man and Biosphere Indonesia dari LIPI-UNESCO pada tahun 2005, dengan karya Ilmiah yang berjudul Adaptasi Sosio-Kultural Komunitas Adat Toro dalam Mempertahankan Kelestarian Hutan, dan telah diterbitkan sebagai bagian dari buku yang berjudul Kearifan Tradisional dan Cagar Biosfer di Indonesia, tahun 2006 oleh LIPI dan bekerja sama dengan komite MAB-UNESCO. Selain itu, artikel yang berjudul Performansi Pengelolaan Hutan oleh Lembaga Adat di Sekitar Taman Nasional Lore Lindu telah diterbitkan pada jurnal nasional terakreditasi ”AGROLAND” pada volume 13 N0. 4: Desember 2006. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.


(13)

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Pertanyaan Penelitian ... 4

Tujuan Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat (Community Forest Management) ... 6

Konsep Pengelolaan Sumberdaya Alam Milik Bersama ... 9

Konsep Pengelolaan Hutan yang Berkelanjutan ... 11

Konsep Adaptasi ... 13

METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Teori ... 18

Pendekatan Penelitian ... 21

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22

Pengumpulan Data ... 23

Metode Analisis ... 26

TORO DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN Selintas Sejarah Toro ... 43

Kondisi Geografis dan Kependudukan ... 44

Struktur Sosial dan Kelembagaan ... 53

Tekanan Penduduk, Ekonomi Pasar, dan Dinamika Politik ... 66

Ringkasan ... 80

REVITALISASI KELEMBAGAAN ADAT DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM Dinamika Kolektif Komunitas Toro ... 82

Performansi Kelembagaan Adat ... 100

Ringkasan ... 110

IMPLIKASI REVITALISASI KELEMBAGAAN ADAT TERHADAP KELESTARIAN SUMBERDAYA HUTAN Tipologi Hutan di Toro ... 113

Kelestarian Fungsi Sosial ... 116

Kelestarian Fungsi Produksi ... 127

Kelestarian Fungsi Ekologis ... 134

Penilaian terhadap Tingkat Kelestarian Hutan ... 139


(14)

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 145

DAFTAR PUSTAKA ... 150


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kriteria dan indikator LEI untuk kelestarian fungsi sosial ... 29

2 Kriteria dan indikator LEI untuk kelestarian fungsi produksi ... 29

3 Kriteria dan indikator LEI untuk kelestarian fungsi ekologi ... 30

4 Uraian rasionalisasi penilaian kriteria kejelasan hak penguasaan dan pengelolaan lahan atau areal ... 31

5 Uraian rasionalisasi penilaian kriteria keterjaminan terhadap pengembangan dan ketahanan ekonomi Komunitas ... 32

6 Uraian rasionalisasi penilaian kriteria terbangun pola hubungan sosial yang setara dalam proses produksi ... 33

7 Uraian rasionalisasi penilaian kriteria keadilan manfaat menurut kepentingan komunitas ... 34

8 Uraian rasionalisasi penilaian kriteria kelestarian sumberdaya ... 35

9 Uraian rasionalisasi penilaian kriteria kelestarian hasil ... 36

10 Uraian rasionalisasi penilaian kriteria kelestarian usaha ... 38

11 Uraian rasionalisasi penilaian kriteria stabilitas ekosistem hutan dapat dipelihara dan gangguan terhadapnya dapat diminimalisir dan dikelola ... 39

12 Uraian rasionalisasi penilaian kriteria sintasan spesies endemik dilindungi dan dipertahankan, serta gangguannya dapat diminimumkan... 40

13 Jenis-jenis lahan yang dikuasai rumahtangga di Toro (tahun 2004)... 46

14 Jumlah penduduk di Toro menurut kelompok umur (tahun 2004)... 48

15 Rasio jumlah penduduk Toro berdasarkan mata pencaharian ... 49

16 Tingkat pendidikan penduduk Toro tahun 2004 ... 53

17 Bentuk-bentuk akses atas lahan komunitas adat Toro ... 64

18 Tingkat rata-rata pertumbuhan penduduk di Toro 1978 – 2004 ... 66

19 Karateristik demografi untuk tiap-tiap kecamatan di sekitar TNLL dan Toro periode tahun 1980 – 2002... 67

20 Perbandingan antara masyarakat yang menggunakan pupuk dengan yang tidak menggunakan pupuk pada tanaman kakao di Toro ... 69

21 Ragam pekerjaan sampingan di Toro ... 72

22 Komponen biaya pemanfaatan sumberdaya alam di Toro ... 96

23 Penetapan kriteria umum dalam menilai kinerja kelembagaan adat dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di Toro ... 105


(16)

24 Penilaian sikap pesponden terhadap kinerja kelembagaan adat dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di

Toro ... 106

25 Skor kriteria kejelasan hak penguasaan dan pengelolaan lahan atau areal hutan ... 117

26 Skor kriteria keterjaminan terhadap pengembangan dan ketahanan ekonomi komunitas ... 119

27 Data pemilikan asset ekonomi keluarga di Toro tahun 2004 ... 122

28 Skor kriteria terbangunnya pola hubungan sosial yang setara dalam proses produksi ... 124

29 Skor kriteria keadilan manfaat menurut kepentingan komunitas ... 126

30 Skor kriteria kelestarian sumberdaya ... 127

31 Skor kriteria kelestarian hasil ... 130

32 Skor kriteria kelestarian usaha ... 132

33 Skor kriteria stabilitas ekosistem hutan dapat dipelihara dan gangguan terhadapnya dapat diminimalisir dan dikelola ... 135

34 Skor kriteria sintasan spesies endemik dilindungi dan dipertahankan, serta gangguannya dapat diminimumkan ... 137

35 Skor kriteria dan indikator LEI untuk kelestarian fungsi sosial ... 140

36 Skor kriteria dan indikator LEI untuk kelestarian fungsi produksi... 140

37 Kriteria dan indikator LEI untuk kelestarian fungsi ekologi ... 141


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Struktur prinsip dan kriteria kelestarian hutan (LEI 2004) ... 12

2 Bagan alir kerangka pikir penelitian ... 20

3 Transisi antara fenomena dan pengamatan yang berbeda ... 22

4 Bagan alir tahapan metode analisis hubungan sebab-akibat ... 26

5 Bagan alir tahapan penilaian internal terhadap performansi kelembagaan adat ... 27

6 Bagan alir penelitian ... 42

7 Letak lokasi penelitian ... 45

8 Rata-rata jumlah lokasi lahan masyarakat di Toro ... 47

9 Periodesasi pengkonversian menjadi lahan yang ditanami kakao di Toro ... 48

10 Komposisi etnis di Toro ... 51

11 Periodesasi kedatangan penduduk di Toro ... 51

12 Peta penyebaran dusun di Toro ... 52

13 Siklus pengolahan dan pemanfaatan lahan bergilir ... 63

14 Kelompok maromu dalam pengelolaan lahan sawah ... 65

15 Kelompok maromu dalam kegiatan menenam padi di sawah ... 65

16 Tanaman kopi masyarakat di bawah tegakan hutan ... 68

17 Tanaman kakao masyarakat di bawah tegakan hutan ... 68

18 Perbandingan penduduk yang menggunakan pestisida dengan yang tidak menggunakannya pada tanaman kakao di Toro ... 70

19 Usaha pembuatan kusen masyarakat Toro ... 71

20 Usaha pembuatan meubel masyarakat Toro ... 71

21 Persentase jumlah tenaga kerja upahan di Toro berdasarkan pembagian jenis kelamin ... 72

22 Lobo, bangunan adat Toro ... 83

23 Peta partisipatif wilayah adat Toro ... 85

24 Keselarasan sistem zonasi TNLL dan kategorisasi lahan adat Toro 86 25 Salah seorang anggota Totua Ngata menyerahkan piagam kesepakatan kepada Kepala Balai TNLL ... 87

26 Masyarakat Adat Toro berpose bersama di sekeliling prasasti pengakuan ... 87

27 Struktur hubungan antar lembaga hasil musyawarah I, tahun 2001 ... 89

28 Struktur hubungan antar lembaga hasil musyawarah tahun 2005 ... 93

29 Skema mekanisme penjatuhan sanksi atas pelanggaran pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan di Toro ... 98

30 Anggota Tondo ngata melakukan persiapan sebelum menjalankan tugasnya ... 102 31 Anggota Tondo ngata berangkat ke dalam hutan ... 102


(18)

32 Diagram perbandingan antara nilai rata-rata belief dan evaluation ... 107 33 Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan Propinsi Sulawesi Tengah

(1998), (Dishut 2000) ... 115

34 Rapat penyelesaian sengketa lahan antar masyarakat Toro ... 118 35 Makan bersama sebagai simbolisasi selesainya sengketa di antara

mereka ...

118 36 Peluang akses masyarakat terhadap sumberdaya lahan dan hutan pasca

revitalisasi ...

119

37 Bagan alir proses perizinan pemanfaatan kayu di Toro ... 125 38 Limbah kayu yang dihasilkan dalam proses penebangan pohon di Toro ... 131 39 Alat yang digunakan dalam melakukan kegiatan penebangan pohon di

Toro ... 131 40 Perbandingan tingkat temuan jejak kotoran Anoa dan babi liar Sulawesi


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Piagam kesepakatan konservasi sumberdaya alam masyarakat adat

Ngata Toro ... 162 2 Surat pernyataan Balai Taman Nasional Lore Lindu ... 163 3 Darft peraturan Desa Toro Kabupaten Donggala, Propinsi Sulawesi

Tengah ... 165 4 Aturan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Toro ... 175 5 Inisiatif dan aktifitas yang dilakukan komunitas adat Toro, phase

perjuangan, pengakuan, dan diseminasi ... 181 6 Peta kawasan penyanggah Taman Nasional Lore Lindu ... 184 7 Curah hujan harian Kecamatan Kulawi 2003 ... 185


(20)

Latar Belakang

Di beberapa kawasan konservasi, utamanya taman nasional, interaksi antara masyarakat lokal dengan sumberdaya alam masih sangat kuat. Bahkan di beberapa lokasi, pola interaksi yang terjalin memberikan kecenderungan positif terhadap kelestarian hutan (Wiratno et al. 2004; Dear & Meyers 2005; Kameri-Mbote 2006). Walaupun demikian, konflik atas sumberdaya hutan dan masyarakat di taman nasional juga telah terjadi di banyak tempat.

Di Indonesia, konflik antara masyarakat lokal dengan taman nasional terjadi di TN Komodo, TN Siberut, TN Tanjung Puting, TN Lauser; dan TN Boganani Nani Wartabone (Iskandar 1992; Soekmadi 2002; Wiratno et al. 2004). Di manca negara dapat dijumpai pada TN Waza (Bauer 2003), TN Alaskan (Dear & Meyers 2005), dan TN Virunga (Kameri-Mbote 2006). Pada umumnya konflik tersebut berakar pada permasalahan kelembagaan, utamanya menyangkut hak penguasaan (property right) dan pengelolaan sumberdaya alam (resources management), antara pemerintah dan masyarakat lokal (bdk. Sunito 2004; Pagde et al. 2006; Telfer & Garde 2006).

Situasi tersebut terjadi pula di Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), Sulawesi Tengah. Hilangnya hak pemilikan dan penguasaan lahan masyarakat lokal menjadi pemicu utama terjadinya konflik, menyusul ditetapkannya kawasan tersebut sebagai kawasan konservasi1. Sebagian besar tanah-tanah yang dikelola oleh masyarakat diklaim pemerintah sebagai bagian dari kawasan konservasi. Bersama itu pula, akses masyarakat lokal terhadap sumberdaya lahan dan hutan menjadi terbatas. Kondisi ini dirasakan pula oleh masyarakat adat Toro, salah satu komunitas lokal yang hidup dan berinteraksi dengan sumberdaya hutan secara turun-temurun2.

Toro menghadapi persoalan sosial-ekonomi yang harus dipenuhi dan cenderung meningkat. Di sisi lain, pemerintah menerapkan konsep taman nasional, yang pada prinsipnya memiliki perbedaan dengan konsep pengelolaan sumberdaya alam di Toro. Perbedaan pertama terletak pada sistem kategorisasi

1 TNLL ditunjuk berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 593/kpts-II/1993 tanggal 5 Oktober 1993

dengan luas 229.000 Ha. Setelah dilakukan tata batas definitif hingga temu gelang, maka dilakukan pengukuhan melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 464/Kpts-II/1999 tanggal 23 Juni 1999 dengan luas 217.991,98 ha.

2

Dalam berinteraksi dengan sumberdaya alam, Toro memiliki tatanan kelembagaan, yang berfungsi mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah kelola adatnya.


(21)

pemanfaatan lahan tradisional Toro dengan konsep zonasi taman nasional. Perbedaan kedua terletak pada definisi tentang hak penguasaan (property right), yang menyebabkan lebih dari 80% wilayah kelola adat Toro3 ditetapkan oleh pemerintah sebagai bagian dari kawasan TNLL. Hal tersebut memicu terjadinya situasi konflik (conflicting situation) di Toro, yang diindikasikan oleh maraknya kegiatan penebangan liar dan perambahan hutan, sebagai wujud protes masyarakat terhadap kebijakan pemerintah.

Terdapat sejumlah kajian terdahulu tentang kelembagaan lokal, yang memiliki fokus dan tujuan beragam. Wade (1988); Ostrom (1990); Rasmussen & Meinzen-Dick (1995); Balland & Platteau (1996); Campbell (2003); Ghate (2004); Badstue et al. (2006:249-273); Murray et al. (2006) telah mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mendukung keberhasilan pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat lokal, di antaranya: property right yang jelas, dimilikinya aturan main tentang pengelolaan sumberdaya hutan, serta berfungsinya dengan baik sistem kelembagaan lokal, yang meliputi norma (norm), sanksi (sanction), nilai (value), dan kepercayaan (belief), yang mengakar dan diterima secara luas oleh masyarakat.

Demikian halnya terhadap kajian yang dilakukan McKean (1992); Basuni (2003); Flint & Luloff (2005); Pagdee et al. (2006), menjelaskan bahwa aturan-aturan lokal yang disepakati, diimplementasikan dengan baik, serta didukung oleh identitas komunal yang kuat, terbukti mampu menunjang kelestarian fungsi hutan. Kejelasan akses dan kontrol masyarakat terhadap sumberdaya alam, terutama yang merupakan milik umum (common-property resources) merupakan insentif penting bagi kelestarian pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam (Basurto 2005; Marks et al. 2005). Sementara itu, kajian terhadap komunitas adat Baduy yang dilakukan Iskandar (1992) membuktikan pula bahwa unsur-unsur kelembagaan, yang direpresentasikan melalui sistem pengaturan tata ruang lahan tradisional, terbukti mampu mengkonservasi sumberdaya hutan dengan lebih baik. Hal tersebut sejalan dengan kajian yang dilakukan Widjono (1998), yang membuktikan pula kemampuan masyarakat dayak Benuaq dalam mempertahankan kelestarian hutan melalui sistem kategorisasi lahan tradisional. Selain kajian-kajian tersebut di atas, terdapat pula kajian yang memperdebatkan perihal kemampuan masyarakat lokal dalam mengelola dan mempertahankan kelestarian sumberdaya alam. Maertens et al. (2002) melalui

3


(22)

kajiannya menjelaskan bahwa faktor tekanan penduduk (laju imigrasi) dan intervensi ekonomi pasar menyebabkan terjadinya perluasan kebun-kebun coklat yang berlangsung cepat di dalam kawasan hutan. Hal tersebut diakibatkan oleh terjadinya perubahan mendasar pada struktur sosial masyarakat, di mana penduduk asli menjual lahan miliknya kepada pendatang dan kemudian mereka kembali merambah hutan dalam memecahkan masalah keterjaminan sosial ekonominya (lihat a.l. Faust et al. 2003; Sitorus 2004).

Lebih jauh Burkard (2002) menjelaskan bahwa intervensi ekonomi pasar, melalui masuknya pedagang pengumpul hasil bumi, telah menyebabkan terjadinya perubahan terhadap sistem pertanian dan tanaman masyarakat lokal yang cenderung komersil. Hal tersebut berdampak terhadap melemahnya struktur kelembagaan tradisional, yang selama ini tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, dan berdampak langsung terhadap meningkatnya laju degradasi hutan.

Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan adanya perdebatan tentang kemampuan atau ketidakmampuan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Kemampuan maupun ketidakmampuan masyarakat lokal dalam mempertahankan kelestarian sumberdaya hutan, dipandang oleh sebagian peneliti sebagai masalah adaptasi. Hal tersebut terkait dengan kemampuan respon masyarakat terhadap perubahan lingkungan, yang disebabkan tekanan penduduk, intervensi ekonomi pasar, dan dinamika politik (Alland 1975; Bennett 1967; Agrawal et al. 1997; Berkers et al. 2001; Suharjito 2002; Marks et al. 2005; Flint et al. 2005). Hal yang sama dikemukakan oleh Bohensky et al. (2005), bahwa faktor-faktor yang mencirikan efektifitas respon yang dimiliki masyarakat adalah kemampuan dalam mempertahankan resiliensi ekologi dan sosial, serta kemampuan dalam melawan perubahan yang terjadi dalam suatu sistem yang kompleks.

Fokus penelitian ini mengkaji kembali kemampuan masyarakat dalam beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Lebih jauh penelitian ini juga menjelaskan bagaimana implikasi yang dihasilkan dari proses adaptasi yang dilakukan masyarakat terhadap kelestarian sumberdaya hutan. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan konsep-konsep adaptasi untuk membahas kasus Toro, utamanya menyangkut respon kolektif masyarakat terhadap tekanan penduduk, intervensi ekonomi pasar, dan dinamika politik yang terjadi di Toro, serta implikasi yang dihasilkan terhadap kelestarian sumberdaya hutan di TNLL.


(23)

Pertanyaan Penelitian

Bertitik tolak dari uraian latar belakang, penelitian ini bermaksud menjelaskan wujud respon masyarakat Toro terhadap perubahan lingkungan, dan implikasinya terhadap kelestarian sumberdaya hutan. Pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah:

(a) mengapa revitalisasi kelembagaan adat menjadi pilihan masyarakat dalam merespon perubahan lingkungan;

(b) bagaimana kelembagaan adat mengatur tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan, utamanya dalam merespon tekanan penduduk, intervensi ekonomi pasar, dan dinamika politik; dan

(c) bagaimana implikasi revitalisasi kelembagaan adat terhadap kelestarian sumberdaya hutan.

Revitalisasi kelembagaan didefinisikan sebagai bentuk respon masyarakat Toro melalui perubahan aturan main dan struktur lembaga adat, yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Sementara itu, kelembagaan didefinisikan sebagai seperangkat norma, perilaku, struktur, dan peranan-peranan yang beradaptasi dari waktu-kewaktu, dan memenuhi kebutuhan kolektif yang diakui dan diterima oleh masyarakat Toro. Dengan demikian, kelembagaan memiliki aspek kultural berupa norma-norma dan nilai-nilai, dan aspek struktural berupa peranan-peranan sosial. Sementara itu, adaptasi didefinisikan sebagai perilaku responsive masyarakat Toro terhadap perubahan-perubahan lingkungan agar dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada. Dengan demikian, adaptasi merupakan suatu strategi yang digunakan oleh masyarakat Toro dalam merespon perubahan lingkungan (intervensi ekonomi pasar dan tekanan politik).

Performansi kelembagaan adat didefinisikan sebagai kinerja kelembagaan yang telah direvitalisasi dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Performansi diukur melalui implikasi yang dihasilkan dari pengelolaan terhadap kelestarian sumberdaya hutan.

Tujuan Penelitian Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini ingin mengidentifikasi dan menjelaskan wujud adaptasi masyarakat adat Toro terhadap perubahan lingkungan (tekanan penduduk, intervensi ekonomi pasar, dan dinamika politik).


(24)

Tujuan Khusus

1. Menjelaskan wujud revitalisasi kelembagaan adat yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan. Hal ini akan menjawab permasalahan tentang unsur-unsur kelembagaan adat (aturan main dan struktur kelembagaan) yang berubah, terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan.

2. Menjelaskan performansi kelembagaan adat yang direvitalisasi. Hal ini akan menjawab apakah revitalisasi yang dilakukan terhadap kelembagaan adat akan memperkuat, atau sebaliknya memperlemah kinerja kelembagaan adat di dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan.

3. Menjelaskan implikasi revitalisasi kelembagaan adat terhadap kelestarian sumberdaya hutan. Hal ini akan menjawab pertanyaan tentang bagaimana, dan sejauhmana revitalisasi kelembagaan yang dilakukan berdampak terhadap integritas ekosistem dan kesejahteraan masyarakat.


(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat (Community Forest

Management)

Konsep Community Forest Management (CFM) telah diterima dan diakui sejak dua dekade yang lalu, sebagai salah satu pendekatan potensial dalam mencapai kelestarian hutan (Pagde et al. 2006; Murray et al. 2006; Telfer & Garde 2006). Pendekatan tersebut difokuskan terhadap upaya-upaya penyediaan mata pencaharian dan peningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal dalam rangka mempertahankan konservasi sumberdaya hutan. Pemikiran tersebut didasarkan pada sejumlah fakta bahwa masyarakat lokal terbukti mampu mengatur pembagian peran di antara mereka, memberi jaminan keadilan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hutan, serta tanggung-jawab dalam mempertahankan kelestarian sumberdaya hutan (Borrini-Feyerabend et al. 2000). Keberhasilan masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan tergantung pada tingkat keeratan hubungan antara masyarakat dan sumberdaya hutan. Keeratan hubungan dapat dibangun melalui kejelasan hak milik (property right) dan aturan-aturan lokal, yang sesuai dengan harapan dan tuntutan masyarakat terhadap sumberdaya hutan (Bromley 1989).

Kajian-kajian tentang masyarakat lokal menjadi penting tidak hanya dalam memahami bagaimana komunitas lokal memperlakukan sumberdaya alam di sekitarnya, namun juga bagaimana ”memanfaatkan” berbagai hal positif darinya untuk kepentingan generasi mendatang. Disamping itu, diketahuinya pola-pola interaksi antara komunitas masyarakat lokal dengan hutan akan teridentifikasi sejumlah kebutuhan, yang dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam memformulasi rencana pengelolaan sumberdaya hutan, dengan menempatkan peran aktif dan akses masyarakat melalui kombinasi manajemen dan teknik-teknik modern dengan konsep, pola, dan teknik-teknik-teknik-teknik tradisional berdasarkan karakteristik yang dimiliki tiap-tiap komunitas (Wibowo 1993: 27-38; Sardjono 2004; Cundill et al. 2006).

Aspek penting terkait dengan eksistensi masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan sumberdaya hutan adalah fenomena pengetahuan indegenous (indigenous knowledge). Pengetahuan indigenous dalam sudut pandang yang lebih luas dapat dikategorikan sebagai kebudayaan, yang melibatkan aspek sosial, politik, ekonomi, dan spiritual dalam tata-cara


(26)

kehidupan masyarakat lokal. Sejak ratusan tahun yang lalu, masyarakat lokal mengembangkan praktek-praktek pengelolaan dan perlindungan sumberdaya hutan yang bervariasi, sebagai upaya dalam mempertahankan kelestarian sumberdaya hutan (Atran et al. 1999; Berkers 2001). Sistem-sistem pengelolaan dan perlindungan sumberdaya hutan yang dimiliki oleh masyarakat lokal tidak selamanya berasal dari tradisi atau pengetahuan tradisional yang dimiliki, namun dapat pula berasal dari respon-respon adaptif yang dilakukan dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya (Berkes 2004).

Masyarakat lokal mempunyai pandangan yang holistik tentang ekosistem dalam sistem sosialnya. Pandangan yang seharusnya benar ini sering dianggap utopia, dan pengetahuan tradisional yang tepat-guna ini hanyalah romantisme ahli ekologi manusia dan antropologi belaka. Sebenarnya, ekosistem alami tidak dapat dimengerti, dikonservasi, dan dikelola secara lestari tanpa memahami budaya manusia yang membentuknya. Keanekaragaman budaya dan keanekaragaman hayati saling tergantung dan mempengaruhi. Inilah kunci untuk menjamin ketahanan sistem sosial dan ekologi (Soedjito & Sukara 2006). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Pandey (1993); Li (2000) bahwa masyarakat lokal pada dasarnya memiliki harmonisasi dengan sumberdaya alam, dan pada hakekatnya pengetahuan indigenous bersifat konservatif, serta menunjukkan suatu struktur sosial dan ekonomi yang adil.

Masyarakat indigenous mampu dan telah mengakumulasikan pengetahuan empirik yang berharga dari pengalaman mereka berinteraksi dengan lingkungan dan sumberdaya alam. Kearifan ini berdasarkan pemahaman yang dalam, bahwa manusia dan alam membentuk kesatuan yang tak terpisahkan sehingga harus hidup selaras dengan alam. Pandangan ekologi-sentris ini secara umum direfleksikan dalam sikap mereka terhadap tumbuhan, binatang, dan lingkungan alamnya (Adimihardja 1999; Legawa 1999; Purwanto 2004).

Sumberdaya alam dapat dikelola secara lestari bila persepsi masyarakat lokaldiintegrasikan ke dalam strategi pengelolaan yang adaptif, tentunya dengan jaminan adanya partisipasi aktif masyarakat di dalamnya (Ramakrishnan 2003; Campbel 2003; Colfer 2005). Namun demikian, pengetahuan indigenous juga memiliki sejumlah keterbatasan dan kelemahan. Klaim pengetahuan tradisional sebagai satu-satunya jawaban atas krisis lingkungan seringkali kurang didasari atas telaah ilmiah (Ellen 1997). Ada cukup bukti yang sifatnya historis maupun hasil kajian baru yang menunjukkan sisi lemah pengetahuan indigenous. Pada


(27)

kasus di mana masyarakat indigenous merupakan pendatang baru pada zona ekologi yang berbeda, di mana mereka belum memiliki banyak pengetahuan yang relevan dengan lingkungan yang baru, menyebabkan beberapa pengetahuan indegenous bawaan mereka menimbulkan masalah terhadap lingkungan yang baru (Flint & Luloff 2005).

Pada kasus yang lain dijelaskan bahwa pengetahuan indigenous yang telah beradaptasi dengan baik dan efektif untuk mempertahankan kehidupan mereka, dalam kondisi tertentu menjadi tidak sesuai lagi di bawah kondisi lingkungan yang telah terdegradasi (Thrupp 1989). Meskipun pada dasarnya pengetahuan indigenous memiliki kemampuan beradaptasi dengan perubahan ekologis, tetapi jika perubahan tersebut drastis dan cepat, pengetahuan yang berkaitan dengan perubahan ekologis tersebut menjadi tidak sesuai lagi. Bahkan penerapan pengetahuan lama yang tidak sesuai akan memperparah kerusakan lingkungan (Grenier 1998).

Dalam kasus yang lain, Turnbull (2002) menjelaskan bahwa adanya pengaruh modernisasi terhadap pengetahuan indigenous menyebabkan perubahan yang bersifat radikal. Perubahan tersebut sering dipicu oleh adanya pengaruh yang datang dari kelompok luar, baik untuk tujuan berdagang, pengembangan usaha, maupun kolonialisasi. Greiner (1998); Li (2000) menjelaskan bahwa terancamnya pengetahuan indigenous dipengaruhi pula oleh globalisasi, yang mau tidak mau akan memaksa masyarakat indigenous untuk menjadi bagian dari masyarakat global dengan tatanan baru. Hal ini menyebabkan pengatahuan indigenous yang dimiliki menjadi tidak relevan. Di samping itu, kekuatan ekonomi dan sosial secara perlahan dan pasti seringkali menghancurkan struktur sosial, yang mampu menciptakan pengetahuan dan praktek indigenous tersebut (Sunito 1999, 2004).

Perubahan yang disebabkan oleh intervensi politik terhadap komunitas indigenous, yang terbiasa dengan pola berburu dan meramu (hunting and food gathering), hidup tidak menetap dan mengikuti irama alam, diperhadapkan kondisi di mana mereka dituntut untuk mengubah pola hidupnya menjadi pola menetap dan bercocok tanam, Hal ini menimbulkan respon berbeda di antara tiap-tiap kelompok masyarakat. Sebagian besar dari mereka tetap memilih pola lama, dan sebagian lagi mengikuti pemerintah untuk bermukim menetap, dan melakukan kegiatan bercocok tanam. Selain itu, dengan dibangunya jalan-jalan hutan oleh perusahaan-perusahaan swasta perkayuan hingga ke


(28)

pelosok-pelosok hutan, termasuk di dalamnya lokasi-lokasi berburu mereka, menyebabkan kemampuan dalam mengontrol sumberdaya alam semakin lemah (Turnbull 2002: 140-147).

Konsep Pengelolaan Sumberdaya Alam Milik Bersama

Sumberdaya alam milik bersama (common property resources) sering diartikan secara beragam. Arnold (1998) mendefinisikan commond property resources (CPR)“...used to refer both to land or resources available to all and consequently not owned or managed by anyone, and also to situations where access is limited to a specific groups that holds rights in common”. Dalam penerapannya, Istilah CPR sering digunakan secara bergantian, yakni untuk menjelaskan sifat sumberdaya alamnya, dan terkadang pula digunakan untuk menjelaskan sistem kolektif terhadap pengelolaan sumberdaya hutan. McKean et al. (1995) mendefinisikan common property resources lebih kepada situasi di mana sumberdaya alam tersebut dikelola sebagai sumberdaya milik bersama.

Terdapat dua wacana penting yang saling bertentangan terkait pengelolaan common property resources. Wacana pertama berpendapat bahwa pemanfaatan sumberdaya alam secara kolektif tidak akan mampu memberikan insentif terhadap pengelolaan sumberdaya yang lestari. Pandangan yang mendasari wacana tersebut adalah munculnya anggapan bahwa peluang akses dan penguasaan sumberdaya alam secara kolektif, dengan pola pengelolaan yang terbuka, menyebabkan minimnya insentif masyarakat terhadap kelestarian lingkungan (Nemarundwe 2001). Pandangan ini mendukung teori Hardin (1968) tentang “Tragedy of the Commons”. Teori ini menegaskan bahwa jika banyak individu memanfaatkan sumberdaya terbatas secara bersama-sama, maka dapat dipastikan akan berakhir dengan kerusakan lingkungan. Dalam kondisi ini tidak ada satupun yang bertanggung jawab atas pengelolaan sumberdaya alam, sehingga laju kerusakannya berlangsung cepat (Rasmussen 1995).

Wacana kedua didasari oleh pandangan bahwa kegagalan untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan tidak disebabkan oleh sifat sumberdaya alamnya, namun lebih pada fokus pengelolaan yang bersifat neglectif terhadap kerangka kelembagaan4 di lokasi pengelolaan. Hal ini lebih

4

Istilah kelembagaan digunakan untuk merujuk pada organisasi atau otoritas pengelolaan sumberdaya, sebagai struktur tata kelola yang dikembangkan untuk mengelola interaksi manusia dengan sumberdaya alam. Sementara itu, aturan main dan peratuan diberlakukan sebagai unsur penyusun kelembagaan (North 1990).


(29)

disebabkan oleh tidak jelasnya property right5, sehingga penggunaan sumberdaya menjadi bersifat open access (Bromley 1992).

Sejalan dengan wacana pertama, kajian yang dilakukan Sitorus (2002) memberikan gambaran tentang perubahan cepat yang mendasar pada ekologi pedesaan, sebagai akibat dari perluasan perkebunan kakao yang berlangsung cepat. Hal ini mengindikasikan telah terjadi perubahan radikal bentukan sosial setempat, yang telah memudahkan peralihan sistem kepemilikan tanah dari jenis kolektif (common resources) menjadi jenis kepemilikan pribadi, di mana distribusi lahan tunduk pada kekuatan pasar (pasaran tanah). Situasi ini memungkinkan penduduk asli secara khusus memperoleh sumberdaya tanah dan menjualnya pada pendatang, sehingga menyebabkan perubahan mendasar pada struktur agraria lokal, di mana penduduk asli telah diturunkan tingkatannya dari “bertanah” menjadi “tak bertanah”, sementara pendatang diangkat tingkatnya dari “tak bertanah” menjadi “bertanah”. Perubahan dalam struktur agraria tersebut menandakan penurunan keterjaminan sosial ekonomi penduduk asli dan sebaliknya peningkatan keterjaminan bagi pendatang. Kondisi ini menyebabkan penduduk asli mencoba memecahkan masalah ketidak-terjaminan sosial ekonomi dengan cara merambah kawasan hutan.

Sementara itu, pendapat lain yang mendukung wacana kedua dikemukakan oleh Ostrom (1990); Parlee et al. (2006); Murray et al. (2006), menyatakan bahwa keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam milik bersama sangat ditentukan oleh keeratan hubungan antara masyarakat dan sumberdaya alamnya. Hal ini dapat terwujud bilamana kelembagaan lokal berjalan dengan baik, sehingga mampu membentuk perilaku arif manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Aturan main dan peraturan yang digunakan oleh masyarakat dapat menentukan siapa yang memiliki akses pada sumberdaya bersama, berapa ukuran penggunaan yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat yang berhak, kapan dan siapa yang akan memonitor dan menegakkan aturan ini. Dengan demikian, tindakan-tindakan opportunistik dapat diredam melalui penataan kelembagaan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam.

5

Gibbs dan Bromley (1989) mendefinisikan property sebagai “a right in the sense of an enforceable

claim to some use or benefit of something”. Sementara itu, Tietenberg (1992) mendefinisikan property sebagai”…a bundle of entitlements defining the owner’s right, privileges, and limitations for use of resources”. Berdasarkan kedua definisi tersebut, Suhardjito (1999) menyimpulkan

bahwa property right tidak menunjuk hubungan antara orang dengan barang atau benda, namun


(30)

Berfungsinya kelembagaan lokal diharapkan mampu meredam tekanan faktor internal maupun eksternal seperti: pertambahan jumlah penduduk (Wade 1988), heterogenitas sosial dan ekonomi (Baland dan Platteu 1996), struktur penguasaan lahan (Hanna et al. 1995; Ostrom 1999; Smith et al. 2000), dan faktor eksternal seperti: interpensi kebijakan nasional (Wade 1988; Ostrom 1999), dan tekanan pasar dan teknologi (Wade 1988).

Konsep Pengelolaan Hutan yang Berkelanjutan

Pada berbagai kajian kelembagaan dan kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan, seringkali disebutkan bahwa untuk mencapai pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dibutuhkan sinergi yang baik antara fungsi ekonomi, ekologi, dan sosial (Hanna et al. 1995; Sardjono 2004; Bohensky 2005). Hal tersebut sejalan dengan konsep kelestarian atau keberlanjutan, sebagaimana yang dimaksudkan oleh International Tropical Timber Organization (ITTO 1998), sebagai suatu proses mengelola hutan untuk mencapai satu atau lebih tujuan pengelolaan tertentu dalam menghasilkan barang dan jasa hutan, yang diperlukan secara berkelanjutan tanpa adanya pengurangan terhadap nilai dan produktivitas hutan di masa yang akan datang, dan tanpa adanya dampak yang tidak diharapkan terhadap lingkungan fisik dan sosial.

Demikian halnya dengan hasil UNCED (Rio de Janeiro 19920), yang mendefinisikan “...sustainable forest management is the practice of meeting the forest resources needs and values of the present with out compromising the similar capability of future generations..”. Dari batasan tersebut, pemanfaatan hasil dan nilai-nilai yang dapat diperoleh dari hutan untuk generasi kini, tidak boleh mengorbankan kamampuan hutan tersebut untuk memberikan hasil dan nilai yang sama dengan generasi yang akan datang. Hal tersebut hanya dapat terwujud apabila kualitas, fungsi, dan produktivitas hutan pada saat ini, setidak-tidaknya sama dengan kualitas, fungsi, dan produktifitas hutan pada masa yang akan datang secara berkelanjutan. Dari uraian tersebut, nampak bahwa konsep Sustainable Forest Management secara eksplisit mensyaratkan perlunya diperoleh manfaat terhadap fungsi-fungsi ekonomis (produksi), ekologis (lingkungan), dan sosial hutan secara optimal dan lestari (Suhendang 2004).

Untuk menjamin agar pelaksanaan pengelolaan hutan sesuai dengan prinsip pengelolaan hutan lestari, diperlukan standar baku mutu kinerja pengelolaan hutan, yang dinyatakan dalam kriteria (criteria) dan indikator


(31)

(indicator) pengelolaan hutan. Olehnya, disertasi ini mengadaptasi perangkat kriteria dan indikator kelestarian sumberdaya hutan yang dikembangkan oleh LEI (2004), yang terdiri atas prinsip, kriteria, dan indikator, serta verifer. Keberadaan C&I pengelolaan hutan lestari mutlak diperlukan dalam kegiatan pengelolaan hutan, agar kegiatan pengelolaan yang dilakukan dapat diukur secara relatif terhadap berbagai tujuan dan persyaratan lain yang telah ditetapkan lebih dahulu (Suhendang 2004). Untuk jelasnya, dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Struktur prinsip dan kriteria kelestarian hutan (LEI 2004).

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari Tipologi PHBML Kelestarian Fungsi Produksi Kelestarian Fungsi Sosial Kelestarian Fungsi Ekologis Ke le s ta ri a n Su m b e rd a y a K e le st a ri a n H a si l Ke le s ta ri a n U s a h a Ke je la s a n h a k p e n g u a s a a n l a h a n d a n H u ta n y a n g d ip e rg u n a k a n T e rj a m in n y a p e n g e m b a n g a n & k e ta h a n a n e k o n o m i k o m u n it a s T e rb a n g u n n y a h u b u n g a n s o s ia l y a n g s e ta ra d lm p ro s e s p ro d u k s i Ke a d ila n m a n fa a t m e n u ru t k e p e n ti n g a n k o m u n it a s S ta b ili ta s e k o s is te m h u ta n d a p a t d ip e lih a ra n & g a n g g u a n d a p a t d im in im a lis ir d a n d ik e lo la Si n ta s a n e k o s is te m l a n g k a d a p a t d ip e rt a h a n k a n & g a n g g u a n te rh a d a p n y a d a p a t d im in im a lis ir


(32)

Di dalam naskah akademik LEI dijelaskan bahwa, untuk melakukan penilaian perlu ditetapkan lebih awal variabel-variabel penting di antaranya: fungsi kawasan, status penguasaan lahan, orientasi usaha, dan jenis hasil hutan yang dihasilkan. Keempat Variabel tersebut digunakan untuk melihat keberagaman praktek pengelolaan hutan secara lebih spesifik, dan tentunya bermanfaat dalam memposisikan sumberdaya hutan yang dijadikan objek penelitian. Variabel fungsi kawasan dibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu: kawasan budidaya kehutanan (KBK), kawasan budidaya non kehutanan (KBNK), dan kawasan yang dilindungi (KD). Variabel ini akan menentukan otoritas, hak, dan kewajiban bagi pemegang hak penguasaan lahan. Variabel orientasi usaha, dibedakan menjadi orientasi usaha yang bersifat komersial dan subsisten. Variabel jenis produk, membedakan produk utama yang hendak dikelola, kayu dan atau non kayu dari hutan.

Prinsip dalam konteks pengelolaan hutan lestari diperlakukan sebagai kerangka primer bagi terwujudnya pengelolaan hutan yang lestari. Selain itu, prinsip berfungsi untuk memberikan landasan pemikiran pada kriteria, indikator, dan pengukur. Kriteria didefinisikan sebagai sejumlah aspek yang dianggap penting untuk menilai kinerja pengelolaan hutan lestari, di mana sebuah kriterium dicirikan atau dilengkapi dengan sekumpulan indikator yang dapat diukur secara kuantitatif maupun kualitatif, atau dinyatakan secara deskriptif, yang apabila diukur atau dipantau secara periodik, dapat memberikan petunjuk arah perubahan (Suhendang 2004).

Konsep Adaptasi

Dari perspektif yang telah dikemukakan di atas mengarahkan perhatian kita pada persoalan bagaimana hubungan antara masyarakat dan pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari. Sebagian ahli memandang hal tersebut sebagai bagian dari persoalan adaptasi. Bennett (1976); Pandey (1993) memandang adaptasi sebagai suatu perilaku responsive manusia terhadap perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi. Perilaku responsive tersebut memungkinkan mereka dapat menata sistem-sistem tertentu bagi tindakan atau tingkah lakunya, agar dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada. Perilaku tersebut di atas berkaitan dengan kebutuhan hidup, setelah sebelumnya melewati keadaan-keadaan tertentu dan kemudian membangun suatu strategi serta keputusan tertentu untuk menghadapi keadaan-keadaan selanjutnya.


(33)

Dengan demikian, adaptasi merupakan suatu strategi yang digunakan oleh manusia dalam masa hidupnya guna mengantisipasi perubahan lingkungan baik fisik maupun sosial (Alland 1975; Barlett: 1980 551-553).

Sebagai suatu proses perubahan, adaptasi dapat berakhir dengan sesuatu yang diharapkan atau tidak diharapkan. Olehnya, adaptasi merupakan suatu sistem interaksi yang berlangsung terus antara manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan ekosistemnya. Dengan demikian, tingkah laku manusia dapat mengubah suatu lingkungan dan sebaliknya, lingkungan yang berubah memerlukan suatu adaptasi yang selalu dapat diperbaharui agar manusia dapat bertahan dan melangsungkan kehidupan di lingkungan tempat tinggalnya (Bennett 1976: 247).

Beberapa contoh kajian tentang respon masyarakat terhadap perubahan lingkungan di antaranya: Pranowo (1985), yang menjelaskan tentang terjadinya perubahan sistem pertanian masyarakat lereng gunung Merapi akibat intervensi politik pemerintah kolonial Belanda, melalui penetapan program konservasi kawasan hutan. Mereka yang awalnya hidup dalam hutan dan menerapkan pola usaha tani sistem bero, kemudian dimukimkan ke lereng bawah. Kehidupan di lereng bawah bagi mereka merupakan hal yang sangat sulit karena sebagian besar tanah yang subur sebelumnya telah dikerjakan oleh penduduk di daerah tersebut. Kesempatan mereka untuk memperoleh tanah yang luas dan subur, terutama untuk dijadikan daerah pertanian tidak memungkinkan lagi. Hal ini memaksa mereka untuk mempraktekkan sistem pertanian yang intensif melalui teknik tegalan. Di samping itu, terjadi perubahan sistem bero panjang yang khas untuk daerah lereng Merapi ke dalam penggunaan pupuk kandang. Meskipun demikian, perubahan sistem ini terhadap pola umum kehidupan ekonomi masyarakat amatlah kecil. Masuknya pelbagai jenis tanaman tumpang sari ke dalam sistem tegalan tidak banyak mengubah struktur esensial. Tanaman tumpang sari yang jumlahnya semakin banyak hanya untuk menyesuaikan kebutuhan hidup keluarga. Hal ini disebabkan oleh semakin terbatasnya penguasaan dan pemilikan lahan.

Hal yang sama dijelaskan oleh Soetrisno (1989) bahwa adanya intervensi politik melalui pemberian izin konsesi HPH kepada perusahaan perkayuan, yang berdampak terhadap berkurangnya luas hutan-hutan primer. Kondisi tersebut menyebabkan terdesaknya suku Kubu. Masyarakat Kubu merespon dengan cara berpindah lebih jauh masuk ke dalam hutan belantara, guna membuka lahan


(34)

baru. Selain itu, mereka juga menduduki lahan-lahan eks-HPH yang telah ditinggalkan oleh perusahaan, dan sebagian dari mereka terpaksa mencuri kayu atau dalam istilah mereka adalah berbalok.

Kajian lain tentang respon masyarakat terhadap intervensi ekonomi pasar ditunjukkan oleh Levine (1999) dalam Suharjito (2002). Berdasarkan kasus masyarakat peternak nomaden, suku bangsa Tibet, Sichuan-Cina, dijelaskan bahwa perubahan kebijakan terhadap sistem penguasaan ternak, dari penguasaan kolektif menjadi individu, telah direspon oleh masing-masing keluarga dengan cara meningkatkan produksi hasil ternaknya. Hal tersebut membawa implikasi terhadap perubahan struktur sosial, yakni terbentuknya klas-klas sosial, perbedaan status sosial, dan gaya hidup.

Meskipun demikian, nilai religi tetap tertanam dan tak mampu diubah oleh faktor lingkungan. Kajian ini menjelaskan adaptasi sosial-kultural yang terjadi pada tingkat komunitas (interaktif antar keluarga/rumahtangga) dalam bentuk perubahan struktur sosial. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa perubahan dapat terjadi pada salah satu unsur budaya (orientasi produksi, status sosial, dan gaya hidup), sedangkan unsur budaya lainnya dapat bertahan atau tidak mengalami perubahan (Suharjito 2002).

Ayoola (1998) mengkaji respon penduduk desa Igalas, Nigeria Tengah, terhadap kelangkaan lahan akibat tekanan penduduk. Mereka merespon dengan cara pengaturan pola tanam campuran (mix cropping) pada lahan-lahan milik maupun lahan komunal. Demikian halnya dengan Gomes (1993), yang mengkaji strategi adaptasi suku asli Semai, Malaysia, terhadap resiko kegagalan produksi lahan melalui penganekaragaman aktivitas produksi. Penganekaragaman tersebut memberikan proteksi yang besar terhadap kegagalan-kegagalan ekonomi. Bilamana terjadi hasil yang kurang baik dalam produksi buah-buahan, mereka dapat berpaling kepada salah satu di antara aktivitas-aktivitas lain yang menghasilkan uang, seperti menyadap karet, mengumpulkan hasil hutan, serta berburu.

Hal yang sama dilakukan Kieft (2001), yang mengkaji respon komunitas lokal dalam mengatasi permasalahan kelangkaan lahan di dalam menjamin ketersediaan pangan, melalui pola “berlapis”. Melalui pola ini, masyarakat memiliki tiga penyangga bagi ketersediaan pangan. Penyangga pertama adalah usaha tani ladang (jagung, ketela pohon, dan kacang-kacangan) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bila penyangga


(35)

pertama gagal (karena ada paceklik) maka mereka masih memiliki penyangga kedua yaitu ternak besar (terutama sapi, kerbau, dan kuda). Mereka akan menjual ternaknya untuk memperoleh kebutuhan pangan. Bila penyangga kedua masih tidak berhasil, maka mereka masih memiliki peyanggah ketiga, yaitu tanaman pangan yang tersedia di hutan (non budidaya–liar) seperti: ubi hutan, talas liar, dan lain-lain. Bentuk respon yang dilakukan oleh komunitas lokal tersebut menjelaskan wujud adaptasi terhadap perubahan lingkungan (intervensi ekonomi pasar dan tekanan penduduk). Hal tersebut sesuai dengan konsep strategi adaptasi yang dinyatakan oleh Bennett, sebagai suatu tindakan spesifik yang dipilih oleh individu atau masyarakat di dalam proses pengambilan keputusan, dengan suatu derajat keberhasilan yang dapat diprediksi (predictible).

Konsep strategi adaptasi sosial-kultural dari Bennett (1976) digunakan pula oleh Suharjito (2002) untuk menjelaskan bagaimana keluarga/rumahtangga mengembangkan sistem agroforestry kebun-talun, dalam menghadapi tekanan penduduk dan intervensi ekonomi pasar. Dijelaskan bahwa pasar telah mendorong keluarga/rumahtangga, yang sebelumnya subsisten, untuk mengkonsumsi barang-barang pasar yang tidak diproduksi sendiri, sehingga petani dipaksa untuk menghasilkan surplus produksi yang akan digunakan membeli barang-barang tersebut. Di sisi yang lain, tekanan terhadap lahan meningkat, baik karena jumlah atau rasio penduduk-lahan yang terus bertambah, maupun disebabkan oleh kebutuhan hidup yang terus meningkat.

Kajian lain dilakukan oleh Ngo (1999) tentang keterkaitan keanekaragaman latar budaya (cultural setting) dan struktur sosial (social structure) terhadap cara-cara adaptasi dalam berproduksi (modes of production) sejumlah komunitas Dayak di Kalimantan. Komunitas Punan dan Bukat, yang memiliki corak mata pencaharian berburu dan mengumpulkan hasil hutan non kayu, menuntut mobilitas yang tinggi guna memenuhi berbagai keperluan pokok. Hal tersebut mempengaruhi bentuk-bentuk pemukiman dan tipe keluarga yang kecil agar memudahkan berusaha dari satu tempat ke tempat lain. Sementara itu, pada komunitas Iban dan Kantu, yang umumnya bermata pencarian berladang gilir balik lahan kering dan perbukitan, yang terikat dengan rumah panjang (rumah panjai), serta mengutamakan kekompakkan kelompok (gerempung penemu). Kajian tersebut menunjukkan bahwa, bentuk-bentuk matapencaharian menuntut mereka untuk melakukan adaptasi terhadap bentuk pemukiman, kekerabatan, dan pola kepemimpinan.


(36)

Dalam disertasi ini konsep adaptasi dari Bennett (1976) digunakan untuk menjelaskan respon kolektif masyarakat Toro melalui revitalisasi kelembagaan adat dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Revitalisasi kelembagaan adat yang dimaksud berupa perubahan norma-norma sosial serta struktur kelembagaan, yang meliputi: aturan main terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan, pembagian peran di antara lembaga-lembaga yang ada di Toro, wewenang yang dimiliki, dan pola interaksi antara satu lembaga dengan lembaga sosial yang ada di Toro, sebagai wujud respon terhadap perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan yang dimaksudkan terdiri atas intervensi ekonomi pasar dan tekanan politik.


(37)

METODOLOGI PENELITIAN

Kerangka Teori

Bennett memandang adaptasi sebagai perilaku adaptif manusia terhadap perubahan-perubahan lingkungannya, agar dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada. Perilaku adaptif dapat dilihat sebagai inovatif, mencari perubahan, atau sebaliknya konservatif (Bennett 1976). Secara operasional, Turnbull (1992) menjelaskan bahwa faktor-faktor lingkungan yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan antara lain: intervensi ekonomi pasar, tekanan penduduk, dan politik. Perubahan-perubahan tersebut direspon dalam bentuk yang beragam.

Lebih jauh dijelaskan bahwa di dalam peradaban tradisional, pemenuhan kebutuhan merupakan urusan unit-unit kekerabatan (production is located in kinship units), di mana peradaban-peradaban tersebut pada umumnya tidak memerlukan sistem pasar dan penggunaan uang dalam mendorong produksi barang dan jasa. Menjaga suplai makanan, melestarikan keturunan, menyebarkan ilmu, hiburan dan sebagainya, merupakan bagian kegiatan kekerabatan tradisional. Namun demikian, pengaruh faktor eksternal seperti intervensi pasar”, menyebabkan terjadinya perubahan sosial. Perubahan tersebut mendorong respon masyarakat untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian (adaptasi) terhadap pola-pola interaksi dalam sistem sosial. Perilaku tersebut menurut Bennett terkait erat dengan kebutuhan hidup, setelah sebelumnya melalui keadaan-keadaan tertentu, dan kemudian membangun suatu strategi untuk menghadapi keadaan-keadaan yang akan datang.

Konsep adaptasi Bennett memiliki tiga tataran: fisik/biologis; kultural; dan pola hubungan/perilaku (behavior). Namun, dalam penelitian ini konsep yang digunakan adalah pada tataran kultural (kelembagaan) dan perilaku. Konsep-konsep kunci dalam kajian adaptasi sosio-kultural adalah perilaku adaptif (adaptif behavior), tindakan strategis (strategic action), dan strategi adaptif (adaptive strategy). Perilaku adaptif merupakan bentuk perilaku yang menyesuaikan cara-cara pada tujuan, mencapai kepuasan, melakukan pilihan-pilihan secara-cara aktif maupun pasif. Tindakan strategis lebih khusus menunjuk pada perilaku aktif tindakan-tindakan spesifik yang dirancang untuk mencapai tujuan. Sedangkan strategi adaptif menunjuk pada tindakan spesifik yang dipilih dalam proses


(38)

pengambilan keputusan dengan suatu derajat keberhasilan yang dapat diperkirakan (Bennett 1976: 271-272).

Untuk tujuan analisis terdapat dua model pendekatan terhadap perilaku adaptif. Pertama, memfokuskan perhatian pada tindakan-tindakan individu atau keluarga yang terpisah dari individu atau keluarga lainnya. Kedua, memfokuskan perhatian pada perilaku interaktif atau transaksional (interactive or transactional behavior) individu dengan individu lain dalam kelompok. Perilaku ini biasanya diarahkan oleh aturan-aturan (rules), dan komponen-komponen nilai normatif (normative value) yang beragam. Penelitian ini menggunakan model ke dua, yang hanya memperhatikan tindakan interaktif yang menghubungkan satu individu/rumahtangga dengan individu/rumahtangga lain.

Untuk mengetahui apakah revitalisasi kelembagaan adat telah memberikan performansi yang lebih baik dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan digunakan rancangan kriteria dari Ostrom (1994). Melalui rancangan tersebut akan dianalisis sejauhmana kelembagaan yang direvitalisasi mampu memenuhi kriteria-kriteria tersebut. Untuk itu, informasi mengenai cakupan aturan-aturan main yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan, terutama sebelum dilakukan revitalisasi terhadap kelembagaan adat akan dikaji, sebagai pembanding aturan-aturan bentukan revitalisasi.

Dalam konsep Ostrom diuraikan delapan prinsip rancangan, yang jika terpenuhi akan mengarah kepada kelembagaan pengelolaan yang efektif terhadap sumberdaya alam lokal milik bersama (common property), di antaranya: (1) Batas wilayah kelola - tata batas wilayah kelola masyarakat, hak-hak yang

diakui, dan mekanisme pembagian hasil hutan dirumuskan dengan jelas serta disepakati bersama.

(2) Mekanisme pemanfaatan sumberdaya hutan yang spesifik dan sesuai dengan kondisi lokal - masyarakat melalui kelembagaannya mampu secara mandiri memanfaatkan, memelihara, melindungi, dan memulihkan sumberdaya alam setempat.

(3) Modifikasi kebijakan dilakukan secara partisipatif dan dikelola secara lokal -proses pengambilan keputusan selalu ditempuh melalui mekanisme musyawarah, yang difasilitasi baik oleh lembaga adat maupun lembaga pemerintahan.


(1)

Munggoro DW. 1998. Sejarah dan Evolusi Pemikiran Komuniti Forerstri. Di dalam: Seri kajian Komuniti Forestri; Menguak Evolusi Pemikiran Komuniti Forestri; Seri 1 Tahun 1 Maret 1998.

Murray G, Neis B, Johnsen JP. 2006. Lessons Learned from Reconstructing Interactions Between Local Ecological Knowledge, Fisheries Science, and Fisheries Management in the Commercial Fisheries of Newfoundland and Labrador, Canada. Di dalam: Human Ecology. Vol 34. N0 2. hlm: 549-571.

Nababan A. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat Adat: Tantangan dan Peluang. Di Dalam: Makalah Pelatihan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah. PPLH-IPB. 5 Juli 2002: hlm 1-5.

Nemarundwe N. 2001. Kolaborasi Kelembagaan dan Share Learning untuk Pengelolaan Hutan di Distrik Chivi, Zimbabwe. LATIN, penerjemah. Bogor; Pustaka Latin. Terjemahan dari: Institutional collaboration dan share learning on Forest Management in Chivi Distric, Zimbabwe. Ngo M. 1999. Profil Komunitas Desa/Hutan di Kalimantan dan Implikasinya:

Sebuah Pengantar Diskusi tentang Strategi IPARR. Di dalam: Suharjito D, editor. Hak-hak Penguasaan Atas Hutan di Indonesia . Bogor P3KM. hlm 19 – 47.

Nabli MK, JB. Nugent 1989. The New Institutional Economics and Economic Development: An Intruduction. Nabli and Nugent, editor. The New Institutional Economics and Development: Theory and Application to Tunisia, Amsterdam, The Netherlands: Elsvier Science Publishers. North D. 1990. Institutions, Institutional Changes and Economic Performance.

Cabridge: Cambridge University Press.

Oakley, P. 1991. Project with People: The Practice of Participation in Rural Development, ILO, Geneva.

Ostrom E. 1990. Governing the Common: The Evolution of Institutions for Collective Action. New York: Cambridge University Press.

Ostrom E. 1994. Neither Market nor State: Governance of Common-pool Resources in the Twenty-first Century. Washington, DC: International Food Policy Research Institute.

Pagde A, Kim Y, Daugherty PJ. 2006. What Makes Community Forest Management Successful: A Meta-Study From Community Forests Throughout the World. Society and Natural Resources, 19: hlm: 33–52 Pakpahan A. 1989. Kerangka Analitik Untuk Penelitian Rekayasa Sosial:

Perspektif Ekonomi Institusi. Di Dalam Pasandaran et.al. (ed) 1989. Evolusi Kelembagaan Pedesaan di Tengah Perkembangan Teknologi Pertanian. Bogor: Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Pandey DN. 1993. Wildlife, National Park, and People. Indian Forester 119: 521-529.

Parlee B, Berkes F. 2006. Indigenous Knowledge of Ecological Variability and Commons Management: A Case Study on Berry Harvesting from Northern Canada Human Ecology hlm. 34: 515–528.


(2)

Pawennari H. 2004. TALUTN TANAQ; Sistem Pengetahuan Lokal Komunitas Dayak Benuaq dalam Aktivitas Perladangan di Desa Melapen Baru kabupaten Kutai Barat kalimantan Timur [Disertasi]. Makassar: Program Pasca Sarjana, Universitas Hasanuddin.

Potter L, S. Badcock. 2000. The Effect of Indonesia’s Decentralization on Forests and Estate Crops: Case Study of Riau Province, the Original Districts of Kampar and Indragiri Hulu. Bogor, Indonesia: CIFOR.

Prabhu R, CJP. Colfer, R.G. Dudley. 1999. Guidelines for Developing, Testing, and Selecting Criteria and Indicators for Sustainable Management: A C & I Developer’s eference. CIFOR C & I Toolbox Series 1. Bogor, Indonesia: CIFOR.

Pranowo. 1985. Manusia dan Hutan; Proses Perubahan Ekologi di Lereng Gunung Merapi. Jogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Purwanto Y. 2004. Etnobotani Masyarakat Tanimbar-kei, Maluku Tenggara: Sistem Pengetahuan dan Pemanfaatan Keanekaragaman Jenis Tumbuhan. Perhimpunan Masyarakat Etnobotani Indonesia- Bogor: Pusata Penelitian Biologi LIPI.

Ramakrishnan PS. 2003. Biodiversity Conservation: Lesson from the Budhist Demajong Landscape in Sikkim, India Di Dalam: Soedjito. H. 2006. Kearifan Tradisional dan Cagar Biosfer di Indonesia. Prosiding Piagam MAB 2005 Untuk Peneliti Muda dan Praktisi Lingkungan di Indonesia. Komite Nasional MAB-Indonesia-LIPI; Bogor, 24-27 Agustus 2005. Jakarta: Komite MAB Nasional Indonesia-LIPI Press.

Rasmussen L N and Meinen-Dick R. 1995. Local Organizations for Natural Resource Management: Lesson from Theoretical and Empirical Literature. Http://www.ifpri.org/divs/eptd/dp/paper/eptdpll.pdf (Diakses tanggal 5 oktober 2003)

Ritchie B, McDOugall C, Haggith M, de Oliveira NB. 2000. Criteria and Indicator of Sustainability Managed Forest Landscapes. Bogor-Indonesia: CIFOR Richards M. 1997. Common Property Resource Institutions and Forest

Management in Latin America. Development and Change 28: 435-465. Institute of Social Studies.

Rodgers G. 1994. Workers, Institutions and Economic Growth in Asia. Geneva. Switzerland: International Institute for Labour Studies.

Ruf F. 2005. Faktor Harga dan Non Harga dalan Revolusi Hijau : Di Dalam: Ruf F dan Lancon (ed). 2005. Dari Sistem Tebas dan Bakar ke Peremajaan Kembali: Revolusi Hijau di Dataran Tinggi Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.

Ruttan VW, Hayami Y. 1984 Toward a Theory if Induced Institutional Innovation. Journal of Development Studies. Vol. 20: 203-22.

Sahlins MD. 1968. “Culture and Environment: The Study of Cultural Ecology”. Di dalam: Robert A. Manners dan David Kaplan, editor. Theory in Anthropology: A Source Book. Chicago: Aldine. hlm 367-73.

Sallatang A. 1999 . Masyarakat, Budaya, dan Lingkungan. Makassar: Materi Diklat TMPP Angkatan XXI UNHAS.


(3)

Sangaji A. 2001. Konflik Agraria di Taman Nasional Lora Lindu: Tersungkurnya Komunitas-Komunitas Asli. Paper Disajikan pada Dialog Politik tentang Pengetahuan dan Hak-Hak Masyarakat Adat di Sekitar TNLL. Palu: YTM dan NRM/EPIQ.

Sangaji A. 2002 Politik Konservasi: Orang Katu di Behoa Kakau. Editor. San Afri Awang. Bogor: KpSHK.

Sardjono MA. 2004. Mosaik Sosiologi Kehutanan: masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian Sumberdaya. Jogyakarta: Debut press.

Sayer A. 1984. Method in Social Science: A Realist Approach. Australia: Hutchinson Publishing Group.

Schmid A 1987. Property, Power, and an Inquiry into Law and Economic. New York: Praeger.

Schneider ED. 1992. Monitoring for Ecological Integrity: The State of The Art. Di dalam: DH. McKenzie, DE. Hyatt dan JE. McDonald, editor. Ecological Indicators, London: Volume 2, h. 1403–1419. Elsevier Applied Science. Sevila CG. 1993. Pengantar Metode Penelitian, penerjemah Tuwu A dan Syah

A. Jakarta: UI-Press.

Shohibuddin M. 2003 Artikulasi Kearifan Tradisional dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam sebagai Proses Reproduksi Budaya (Studi Komunitas Toro di Pinggiran Kawasan Hutan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah[tesis]. IPB, Bogor.

Shohibuddin M. 2005. “Dimensi Etis dalam Revitalisasi Identitas Ngata Untuk Klaim atas Teritori dan Sumberdaya Lokal: Perjuangan Otonomi Desa di Sebuah Komunitas Tepi Hutan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah.” Paper disampaikan pada Seminar Internasional Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Etika, Politik & Demokrasi, Diselenggarakan oleh Percik Salatiga, 1-4 Agustus 2005.

Sirait E. 2005. Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Kemasyarakatan Melalui Revitalisasi dan Refungsionalisasi Kearifan Lokal (Studi Kasus Pengelolaan Sumberdaya Cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan Propinsi Nusa Tenggara Timur) [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Sitorus S. 2004 “Revolusi Coklat” Social Formation, Agrarian Structure, and Forest Margins in Upland Sulawesi, Indonesia, Di dalam: G. Gerold, M. Fremerey & E. Guhardja, Land Use, Nature Conservation and the Stability of Rainforest Margins is Southeast Asia, Berlin, Heidelberg & New York: Springer-Verlag.

Sitorus S. 2006. Reklaim Tanah Hutan. Jurnal Pembaruan Desa dan Agraria. Jogyakarta: LAPERA, Putaka Utama.

Smith, EA, M. Wishnie. 2000. Conservation and Subsistence in Small-Scale Societies. Annual. Review. Anthropology., No. 29: 493-524, 2000.

Soedjito. 1986. Transformasi Sosial Menuju Masyarakat Industri. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Soedjito H. (ed) 2004a. Pedoman Pengelolaan Cagar Biosfer di Indonesia. Panitia Nasional MAB Indonesia-Jakarta. LIPI.

Soedjito H. (ed) 2004b. Panduan Cagar Biosfer di Indonesia di Indonesia. Panitia Nasional MAB Indonesia-LIPI. Jakarta.


(4)

Soedjito H. 2005 Apo Kayan: Sebongkah Sorga di Tanah Kenyah. Bogor: Himpunan Ekologi Indonesia.

Soedjito H, Sukara E. 2006. Mengilmiahkan Pengetahuan Tradisional: Sumber Ilmu Masa Depan Indonesia. Di Dalam Soedjito. H. 2006. Kearifan Tradisional dan Cagar Biosfer di Indonesia. Prosiding Piagam MAB 2005 untuk Peneliti Muda dan Praktisi Lingkungan di Indonesia. Komite Nasional MAB-Indonesia-LIPI; Bogor, 24-27 Agustus 2005. Jakarta: Komite MAB Nasional Indonesia-LIPI Press. hlm.57-118.

Suharjito D. 1998. Kelembagaan Lokal Pemanfaatan Sumberdaya Alam: Studi Kasus pada Orang Mioko. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, Vol IV no. 1-2, Fakultas IPB.

Suharjito D. 1999. Common Property Sumberdaya Hutan di Indonesia: Tinjauan Antropologi. Dalam Hak-Hak Pengusahaan atas Hutan di Indonesia. Bogor: P3KM, Fakultas Kehutanan IPB.

Suharjito D. 2002. Kebun Talun: Strategi Adaptasi Sosial Kultural dan Ekologi Masyarakat Pertanian lahan Kering di Desa Buniwangi, Sukabumi, Jawa Barat (Disertasi) tidak Dipublikasikan. Depok: Universitas Indonesia. Suharjito D. 2003. Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Agroforestry. Bahan

Ajaran Agroforestry. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF): 5. Suharto E. 2005 Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian

Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosisal dan Pekerjaan Sosial. Jakarta: PT. Refika Aditama.

Soekanto S. 1981. Meninjau Hukum adat di Indonesia. Suatu Pengantar untuk mempelajari Hukum Adat. Jakarta: CV. Rajawali.

Soekanto S. 1983. Beberapa Teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat. Jakarta: CV. Rajawali.

Soekanto S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali. Soekanto S. 2004. Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi. Jakarta: CV. Rajawali. Soekotjo. 2006. Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan Departemen

Kehutanan Republik Indonesia.

Soekmadi R. 2002. National park Management in Indonesia, Focused on the Issues of Decentralization and Local Participation. Dissertation. Faculty of Forestry Science and Forest Ecology, Georg-August University og Goettingen.

Soemarwoto O. 2000. Atur-Diri-Sendiri Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Soentoro. 1989. Keragaan Hubungan dan Penguasaan Tanah pada Pasca Adopsi Teknologi (Kasus di Sulawesi Selatan). Di dalam: Pasandaran et al. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Soeprapto R. 2002. Interaksionisme Simbolik. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Southwold-Llewellyn S. 2006. Devolution of Forest Management: A Cautionary Case of Pukhtun Jirgas in Dispute Settlements. Di dalam: Human Ecology 34: hlm 637-653.

Subroto D. 1997. Sistem Pengelolaan Hutan Lindung Tradisional Tana’Ulen oleh Masyarakat Dayak Kenyah di Desa Batu Majang Kecamatan Long Bagun, Kabupaten Kutai. Fakultas Kehutanan Unmul. Samarinda. (Skripsi-tidak dipublikasikan).


(5)

Suhendang E. 2004. Kemelut Dalam Pengurusan Hutan: Sejarah Panjang Kesenjangan antara Konsepsi Pemikiran dan Kenyataan. Bogor: Fakultas Kehutanan Intitut Pertanian Bogor

Sunito S. 2004. Robo and the Water Buffalo: The Lost Souls of the Pekurehua of the Napu Valley. In: Gerhard Gerold, Michael Fremerey, Edi Guhardja (eds.) (2004) Land Use, Nature Conservation and the Stability of Rainforest Margins in Southeast Asia. Springer.

Sunito S, Mappatoba M, Saharia K, D.H. Hasan. 1999. Wuasa: Case-Study of a Village in Lore-Lindu region. Institut Pertanian Bogor, Universitas Tadulako, George-August Universitat Gottingen, University of Kassel. Taniguchi M. 1992. Participatory Development: A Key Element in Developmenet

Strategies for the 1990s. Di dalam: Kidrar Ue. (Ed.) 1992. Change: Threat or Opportunity for Human Progress? Vol. IV. Changes in the Human Dimension of Development, Ethics, and Values. United Nations. New York.

Telfer WR, Garde MJ. 2006. Indigenous Knowledge of Rock Kangaroo Ecology in Western Arnhem Land, Australia. Di dalam: Human Ecology, Vol 34. No 3. Hlm: 379-406

Thrupp LA. 1989. Legitimizing Local Knowledge: From Displacement to Empowerment for Third World People. Agricultire and Human Values. Summer Issue.

The Nature Consevancy (TNC). 2001. Survey Demografi: Pola Perubahan Populasi dan Pengaruhnya Terhadap manajemen Tanam Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah.

The Nature Consevancy (TNC). 2002: Lore Lindu National Park, Draft Management Plan 2002 – 2027, Volume l, Data and Analysis.

Turnbull CM. 2002. The Mbuti Pygmies: Change and Adaptation. Wadworth/Thomson Learning 10 Davis Drive Belmont, CA 94002-3098 USA.

Uphoff N. 1986. Local Institution Development: An Analytical Sourcebook with Cases. Kamurian Press.

Van Peursen CA. 1988. Strategi Kebudayaan. Hartoko D, penerjemah. Yogyakarta: Kanisius. Terjemahan dari: Starategie van de Cultuur.

Vayda AP. 1996. Methods and explanations in the Study of Human Actions and Their environmental Effets. Special Publications. Bogor, Indonesia: Center for International Forestry Rsearch

Yasin M. 2004. Arti dan Tujuan Demografi. Di dalam Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2004. Dasar-Dasar Demografi. Jakarta: Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Yin RK. 1997. Studi Kasus (Desain dan Metode). Rajawali Grafinfo Persada

Jakarta.

Wade R. 1988. Village republics: economic conditions for collective action in south India. Di dalam: Pagde A., Kim Y., Daugherty P.J. 2006. What Makes Community Forest Management Successful: A Meta-Study From Community Forests Throughout the World. Society and Natural Resources, 19.


(6)

Walhi. 2004 Kekerasan di Hutan: Pengelolaan Kawasan Konservasi Indonesia. http://www.walhi.or.id/kampanye/hutan/konservasi/ kekeras_ hut_konserv _li_210103 (Diakses 03 Juni 2005).

Walters BB, C. Sabogal, LK Snook, dan E Almeida. 2005. Constrain and Opportunities for Better Silvicultural Practice in Tropical Forestry: An Interdiciplinary Approach. Di dalam: Forest Ecology and Management, Vol 209 (1-2) April: hlm 3-18.

Waren DM. 1991. Using Indigenous Knowledge for Agricultural Development. World Bank Discussion Paper 127. Washington DC.

Wibowo AP. 1993. Pilihan Kelembagaan dalam Pembagunan Hutan yang Berkelanjutan Di dalam: Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial No. 4 tahun 1993. PAU Ilmu-Ilmu Sosial UI dan PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta. Hlm: 27-38.

Winarto Y. 1998. Pengetahuan Lokal dalam Wacana Kebijakan Pengelolaan Sumberdya Alam: Seri Kajian Komuniti Forestri Seri 1 Tahun 1 : 22-28. Wiratno, Indriyo D, Syarifudin A, Kartikasari A. 2004. Berkaca di Cermin Retak:

Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional. Jakarta: The Gibbon Foundation Indonesia, PILI-NGO Movement.

Wollenberg E. dan C.J. Pierce Colfer 1996. Social sustainability in the forest. ITTO Newsletter 6(2): 9–11.

Wrangham R. 2003. Diskursus Kebijakan yang Berubah dan Masyarakat Adat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.