Eksklusi Sosial dalam Anggaran Publik di Lamongan, Ngawi, dan Makasar

Eksklusi Sosial dalam Anggaran Publik
Studi Kasus di Ngawi,
Lamongan, dan Makasar
D z u r i y a t u n To y i b a h
Sosiologi FISIP Universitas Islam Negeri Jakarta
Email: dzuriyatun@yahoo..com

Abstract
The article aims to describe the process of social exclusion and
inclusion within local government budget (APBD) in Lamongan
and Ngawi East Java in 2006-2008, and Makasar South Sulawesi
in 2009. Social exclusion was indicated by the absent of public
participation in the decision making process. Social exclusion for
public local budget appeared in regulation level such as unclear
mechanism of public participation and the constraints to access
budget documents. Those lead to avoid civil society to understand
the real local budget. However, civil societies in three regions
made several strategies to reduce social exclusion. The process was
begun by the attempts to open public access for budget forums and
budget documents by developing cooperation with member of local
parliament. The next step of the process was inviting civil society

organizations to attend budget deliberation forums to analyze the
documents using a simple method to compare between public and
apparatus expenditure. The result of budget analysis showed that
public budget excluded public interest as the most important aspect
of social exclusion in public budget.
Kata kunci: eksklusi sosial, partisipasi, APBD, masyarakat sipil,
demokrasi

182 |

DZUR IYATUN TOY IBAH

PE N DA H U LUA N

Studi tentang partisipasi masyarakat dalam anggaran publik mulai
muncul di Porto Alegre Brazil. Salah satunya adalah studi yang
dilakukan oleh Santos S.B (1998) menggambarkan tentang proses
budget yang partisipatif, bagaimana proses tersebut dilaksanakan, serta
kondisi politik dan masyarakat di Porto Alegre. Adapun di Indonesia
kajian tentang anggaran daerah pada umumnya menggambarkan

peluang dan tantangan serta pengalaman mengadvokasi anggaran
oleh LSM (lihat Sucipto & Khadafi 2006; Mastuti 2007; Waidl
2009). Studi ini melengkapi studi sebelumnya tentang gambaran
proses eksklusi dan inovasi yang dilakukan oleh masyarakat sipil di
tingkat lokal untuk mendorong anggaran yang partisipatif (inklusif).
Pertanyaan yang diangkat dalam studi ini adalah bagaimana proses
eksklusi sosial dalam anggaran publik? Upaya apa saja yang dilakukan
kelompok masyarakat sipil untuk menguranginya? Tulisan berikut
akan menggambarkan bentuk-bentuk eksklusi dalam anggaran publik
dan pengalaman masyarakat sipil di Ngawi, Lamongan, dan Makasar
dalam melakukan proses inklusi anggaran melalui upaya-upaya akses
dokumen, serta analisis dan advokasi anggaran pendapatan belanja
daerah (APBD) yang lebih pro masyarakat miskin. Tulisan ini
merupakan hasil pendampingan penulis selama 2006-2008 sebagai
project officer program Participatory Budgetting and Expenditure
PP Lakpesdam NU dan NDI. Penulis mendapatkan data dengan
melakukan observasi dan analisis dokumen bersama LSM lokal
Jaringan Masyarakat Lamongan di Lamongan dan Pagar Madani
Ngawi di Ngawi. Sedangkan data dari Makasar didapatkan dari
sumber sekunder hasil analisis LSM lokal KOPEL Makasar.

E K SK LUSI DA N I N K LUSI S O SI A L
DA L A M A NG G A R A N PU BL I K

Salah satu definisi eksklusi sosial adalah sebagaimana dijelaskan
Byrne (2005) sebagai ketiadaan pemenuhan hak-hak sipil, politik,
dan hak-hak sosial.
The dynamic process of being shut out, fully or partially, from any of
the social, economic, political or cultural systems which determine the
social integration of a person in society. Social exclusion may, therefore,
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199

EKSLUSI SOSI A L DAN ANGGAR AN PUBLIK

| 183

be seen as the denial (or non-realisation) of the civil, political and social
rights of citizenship.

Sebelumnya, Mandanipour sebagaimana dikutip Byrne (2005)
menyatakan bahwa eksklusi sosial merupakan proses yang bersifat

multidimensi yang meliputi ketidakmampuan untuk berpartisipasi
dalam pembuatan keputusan dan politik, tidak hanya akses terhadap
pekerjaan dan sumber-sumber material, tetapi juga lemahnya integrasi
dalam proses-proses kultural. Jika fenomena tersebut terjadi secara
bersamaan, maka akan terjadi eksklusi yang sangat akut.
Social exclusion is defined as a multi-dimensional process, in which
various forms of exclusion are combined: participation in decision making
and political processes, access to employment and material resources, and
integration into common cultural processes. When combined, they create
acute forms of exclusion that find a spatial manifestation in particular
neighbourhoods.

Berkembangnya pemikiran eksklusi sosial Menurut Hilary Silver
dalam Rodger (1995) tidak bisa dilepaskan dari tiga paradigma yaitu
paradigma solidarity, specialization, dan monopoly yang masing-masing
memiliki cara pandang berbeda dalam melihat fenomena eksklusi
sosial. Dalam hal ini, eksklusi sosial selalu dihubungkan dengan
peran negara.
Paradigma solidarity menekankan eksklusi sosial sebagai
perpecahan ikatan sosial antara individu dan masyarakat. Dalam hal

ini, negara berkewajiban untuk melindungi masyarakat dari individu
untuk bertindak liberal dan melindungi individu sebagai bagian
masyarakat dari kemiskinan yang disebabkan sistem masyarakat
industrial.
Sebaliknya, paradigma spesialisasi melihat bahwa demokrasi dan
kesempatan yang sama merupakan mekanisme sosial yang menjamin
integrasi sosial. Eksklusi sosial terjadi karena kegagalan pasar
dan diskriminasi. Dengan kata lain, eksklusi sosial terjadi karena
kebebasan individu tidak terjadi, sehingga terdapat diskriminasi.
Untuk itu, paradigma ini menganggap pentingnya jaminan negara
terhadap kebebasan individual dan menghindarkan diskriminasi.
Sementara negara ditempatkan hanya membantu mereka yang benarbenar memerlukan dukungan.
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199

18 4 |

DZUR IYATUN TOY IBAH

Paradigma monopoli menganggap eksklusi sosial sebagai
konsekuensi ketertutupan secara sosial (social closure) yang dilakukan

oleh pihak yang menyisihkan. Hal ini terjadi karena ada satu
kelompok dengan kekuasaan yang lebih besar dapat memaksimalkan
sumber daya yang ada dengan membatasi akses orang lain atas
sumber-sumber tersebut. Bagi paradigma monopoli, social order
merupakan paksaan (coersive) yang dilakukan melalui relasi kekuasaan
yang hierarkis.
Aspek-aspek eksklusi sosial dalam anggaran publik pada tulisan
ini mencakup aspek-aspek kesulitan masyarakat sipil dalam proses
partisipasi dan kontrol kebijakan publik berbentuk APBD. Secara
umum terdapat tiga bentuk eksklusi yaitu eksklusi dari partisipasi
dalam proses perencanaan anggaran, eksklusi untuk mendapatkan
akses terhadap dokumen APBD, dan eksklusi kepentingan publik
dari alokasi APBD.
E k sk l u si d a r i Pa r t i sipa si
d a l a m Pr ose s Pe r e n ca n a a n An g ga r a n
Secara normatif partisipasi publik dianggap sebagai hal yang
sangat penting dalam proses demokrasi di Indonesia. Wacana
partisipasi dalam beberapa hal telah direspon dalam beberapa UU
di Indonesia. Misalnya pasal 53 Undang-Undang No. 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang

selanjutnya disebut UU 10/2004 menyatakan bahwa:
”masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis
dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undangundang dan rancangan peraturan daerah.”

Selain itu, dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang selanjutnya disebut UU 32/2004 pasal
27 ayat (2) juga ditegaskan bahwa sistem akuntabilitas dilaksanakan
dengan kewajiban kepala daerah untuk memberikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan dan memberikan laporan keterangan
pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Dalam Pasal 139 UU 32/2004 dinyatakan bahwa “masyarakat
berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199

EKSLUSI SOSI A L DAN ANGGAR AN PUBLIK

| 185

penyiapan atau pembahasan rancangan perda”. Undang-Undang No.

17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang selanjutnya disebut
UU 17/2003 pasal 3 ayat (3) menyebutkan “APBD, perubahan
APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun
ditetapkan dengan peraturan daerah.”
Namun demikian, UU tersebut masih menekankan bahwa
partisipasi masyarakat sangat terkait erat dengan peran DPR/DPRD.
Baik UU 10/2004 maupun UU 32/2004 tidak menjelaskan secara
terperinci mekanisme atau alat apa yang bisa digunakan sebagai
mekanisme partisipasi masyarakat. Meskipun demikian, UU 10/2004
mewajibkan DPR untuk mempromosikan, menghormati, melindungi,
dan memenuhi hak partisipasi masyarakat dalam proses legislasi yang
diturunkan dalam Peraturan Tata Tertib DPR RI tahun 2004-2005.
Dalam tata-tertib (tatib) tersebut disebutkan beberapa mekanisme
atau alat yang bisa digunakan yakni melalui pertemuan-pertemuan
seperti rapat dengar pendapat (hearing), pertemuan dengan pimpinan
alat kelengkapan DPR, dan pertemuan dengan tim penyiapan RUU.
Penyebaran draft RUU dilaksanakan dengan berbagai media seperti
media elektronik (televisi, radio, internet) dan media cetak atau surat
kabar.
Sementara itu, penyaluran aspirasi masyarakat kepada eksekutif

biasanya dilakukan dengan konsultasi publik. Konsultasi publik biasa
diartikan sebagai semua kegiatan mekanisme dan alat menghimpun
atau mengakomodasi masukan/aspirasi masyarakat yang diperoleh
melalui pertemuan/forum tatap muka, pernyataan tertulis, media
(elektronik dan cetak), dan media on-line (internet, email, webforum). Konsultasi publik juga secara sempit biasanya dimaknai
sebagai sebuah alat dengan teknik/cara tertentu yang disusun
berdasarkan panduan tertentu (Farhan dkk 2007).
Di tengah ketidakjelasan mekanisme partisipasi dalam UU
tentang perencanaan dan penganggaran daerah, masyarakat sipil
biasanya merujuk Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang selanjutnya
disebut UU 25/2004. Definisi SPPN menjelaskan dengan tegas bahwa
sistem perencanaan pembangunan nasional adalah satu kesatuan
tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencanarencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan
jangka pendek yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara
dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah. SPPN diselenggarakan
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199

18 6 |


DZUR IYATUN TOY IBAH

berdasarkan asas umum penyelenggaraan negara yakni asas
kepentingan umum, asas keterbukaan, dan asas akuntabilitas
(Suhirman 2006). Namum demikian, UU SPPN ini mengatur
hanya sebatas pada ranah proses perencanaan pembangunan, belum
menyentuh ranah penganggaran.
Proses eksklusi dalam anggaran publik tersebut dimulai dari
proses perencanaan APBD melalui Musrenbang. Proses ini kemudian
diramu dengan proses teknokratis dalam forum SKPD (Satuan
Kerja Perangkat Daerah) sehingga muncul RKPD (Rencana Kerja
Pemerintah Daerah). Sebagai proses ”partisipatif”, Musrenbang juga
biasanya tidak terbuka secara umum. Biasanya hanya kepala desa,
ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) dan ketua organisasi Pembinaan
Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang biasanya dijabat istri kepala
desa, yang terlibat dalam musyawarah perencanaan pembangunan
(Musrenbang). Hanya melalui upaya-upaya sistematis akhirnya publik
secara umum bisa mengaksesnya. Ketika masuk dalam perencanaan
anggaran dalam forum SKPD, akses publik menjadi semakin rumit.
Ketika hasil Musrenbang dan SKPD seharusnya diramu oleh Bapan

Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), publik semakin
sulit untuk memastikan berapa persentase usulan Musrenbang yang
bisa masuk dalam RKPD.
E k sk l u si pa d a L e v e l A k se s D ok um e n An g ga r a n
Anggaran biasanya menjadi isu sensitif, sehingga hanya kalangan
tertentu saja yang berhak tahu. Cara pandang bahwa anggaran adalah
hak prerogatif pemerintah ini sejak awal telah mengeksklusikan
masyarakat. Dalam hal ini, APBD hanya diketahui oleh pemerintah
yang diwakili oleh kalangan tertentu dan DPRD saja. Hal ini
diperkuat dengan fakta bahwa hal-hal yang terkait dengan APBD
(dokumen-dokumennya) terkesan sangat rumit, tebal, dan tidak
mudah untuk memahaminya.
Sampai sejauh ini asas keterbukaan dalam dokumen APBD
masih menjadi persoalan yang tidak mudah. peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah yang selanjutnya disebut Permendagri 13/2006
dan perubahannya dalam Permendagri 59/2007 menjamin akses
data anggaran dan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan
sampai penetapan. Pasal 4 Permendagri 13/2006 menyatakan
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199

EKSLUSI SOSI A L DAN ANGGAR AN PUBLIK

| 18 7

“Transparan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan prinsip
keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui
dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan
daerah.”
Akan tetapi, pasal 103 Permendagri 59/2007 menegaskan bahwa
sebelum diserahkan kepada DPRD pemerintah daerah melalui
sekretaris daerah sebagai ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah
(TPAD) harus menyosialisasikan raperda kepada masyarakat, tetapi
sosialisasi tersebut hanya bersifat memberikan informasi mengenai
hak dan kewajiban pemerintah dalam pelaksanaan APBD. Persoalan
ini sebenarnya masih bisa diatasi karena UU 17/2003 maupun UU
25/2004 telah menggariskan bahwa peraturan lebih lanjut mengenai
mekanisme Musrenbang (perencanaan) dan mengenai penyusunan
RK A-SKPD (penganggaran) diatur lebih lanjut oleh peraturan
daerah. Dengan pertimbangan bahwa anggaran negara (APBD/
APBN) merupakan dana publik, maka anggapan bahwa proses
perencanaan dan penganggaran sebagai hak prerogatif kalangan
tertentu menjadi hal yang bisa dianggap sebagai proses eksklusi
terhadap partisipasi publik.
E k sk l u si Publ ik d a l a m A l oka si An g ga r a n
Alokasi anggaran bisa dilihat dari dokumen Kebijakan Umum
APBD (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA) dan juga
RKA-SKPD, dan Daftar Perincian Anggaran (DPA). Pertanyaanpertanyaan krusial dalam inklusi dan eksklusi APBD adalah apakah
alokasi anggaran dalam dokumen-dokumen tersebut menggambarkan
kebutuhan masyarakat? Karena kesulitan akses terhadap dokumen
tersebut, dokumen ringkasan R APBD atau APBD seringkali
digunakan oleh kelompok civil society untuk mengetahui eksklusi
atau inklusi kepentingan masyarakat dalam anggaran publik.
Kepentingan masyarakat dalam APBD berkaitan dengan apakah
APBD memihak masyarakat miskin atau memihak aparatur. Selain
persoalan alokasi untuk sektor prioritas seperti pendidikan dan
kesehatan, hal yang perlu dilihat adalah dalam sektor-sektor tersebut,
siapa yang menjadi penerima manfaat (beneficiary)? Di sinilah
pentingnya analisis anggaran yang tidak hanya melihat persentase
alokasi anggaran per sektor tetapi sampai ke mana uang tersebut
dibelanjakan.
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199

18 8 |

DZUR IYATUN TOY IBAH

U PAYA AWA L M E N U J U A NG G A R A N YA NG I N K LUSI F

Aspek terpenting dari anggaran yang inklusif meliputi dua
hal pokok dalam penyusunan anggaran yaitu terkait proses serta
substansi/alokasi anggaran. Dua pokok masalah ini saling terkait satu
sama lain karena substansi sangat dipengaruhi oleh proses dan proses
tidak akan berarti jika keluar dari substansi.
Proses anggaran biasanya dimulai dengan Musrenbang yang
dilanjutkan dengan satu rangkaian kegiatan oleh Bappeda dan
Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD), yaitu mengompilasi
hasil Musrenbang yang melibatkan seluruh SKPD. Hasil kompilasi
Musrenbang ini disebut sebagai Rancangan Kerja Pembangunan
Daerah (RKPD).
Sementara itu, anggaran dikatakan inklusif apabila dari aspek
proses cukup partisipatif, sehingga dari aspek substansi, alokasi
belanjanya lebih banyak diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan
warga, terutama yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sebaliknya,
anggaran dikatakan buruk apabila terjadi gap yang sangat besar
antara alokasi belanja tidak langsung dan alokasi belanja langsung.
Pe n ga l a m a n Ma s y a r a ka t S ipil
d a l a m Me n ga k se s D ok um e n A PBD
Di Kabupaten Lamongan, persoalan transparansi, partisipasi,
dan akuntabilitas sudah diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten
Lamongan No. 7 Tahun 2005 tentang Transparansi Penyelenggaraan
Pemerintahan dan Partisipasi Masyarakat yang selanjutnya disebut
Perda Kab. Lamongan 7/2005. Perda ini memberikan hak kepada
setiap warga untuk memperoleh informasi terkait dengan kebijakan
publik; dari proses perencanaan pembangunan, penyusunan produk
hukum, rencana dan pelaksanaan kegiatan, pelayanan publik, agenda
rapat DPRD, pertanggungjawaban kepala daerah, hingga berhak
membantu melakukan pengawasan, serta monitoring dan evaluasi
terhadap pelaksanaan kebijakan publik atau program pembangunan
di daerah.
Ha k untuk berpartisipa si dila kuka n da la m bentuk
memberikan saran, pertimbangan, masukan, dan himbauan terhadap
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Kerja
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199

EKSLUSI SOSI A L DAN ANGGAR AN PUBLIK

| 189

Pemerintah Daerah (RKPD), Rencana Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (RAPBD), dan rencana perumusan kebijakan daerah
yang menyangkut pungutan daerah, Sumber Daya Alam (SDA)
dan Sumber Daya Manusia (SDM). Namun demikian, sejauh ini
akses publik terhadap dokumen RKPD, KUA PPAS, RKA-SKPD,
R APBD, APBD dan DPA masih tetap menjadi masalah. Dalam
kehidupan sehari-hari kelompok masyarakat sipil bisa berteman
dengan ketua BAPPEDA, dan anggota DPRD. Namun, jika terkait
dengan permintaan untuk bisa mendapatkan dokumen APBD,
mereka biasanya akan menghindar, tidak mau memberikan.
Paradigma penguasa yang belum reformis sangat kuat sehingga
cara-cara biasa untuk bisa mendapatkan dokumen-dokumen tersebut
hampir menjadi suatu hal yang tidak mungkin. Penguasa belum
memiliki pandangan bahwa dokumen APBD adalah dokumen
publik yang bisa diakses oleh masyarakat. Cara lain yang biasanya
ditempuh adalah dengan memiliki relasi pribadi dengan salah satu
anggota DPRD yang membutuhkan bantuan teknis untuk membaca
APBD. Hal ini mengingat bahwa masih banyak anggota DPRD yng
memiliki kemampuan terbatas dalam menjalankan fungsi-fungsinya
yakni fungsi agregasi (menyerap aspirasi masyarakat) untuk dibawa
menjadi fungsi legislasi (membuat peraturan perundangan) dan
fungsi budget (fungsi untuk menyusun dan mengalokasikan budget).
Kesulitan-kesulitan tersebut membuat proses advokasi APBD
yang lebih pro-poor, pro-masyarakat, serta efektif dan efisien
mengalami keterlambatan. Analisis anggaran seharusnya dilakukan
sebelum anggaran disahkan. Menurut jadwal yang ditetapkan dalam
Permendagri 11/2006, APBD seharusnya disahkan pada sekitar bulan
Desember, sehingga bisa diimplementasikan pada bulan Januari. Jika
hal itu bisa dilakukan, maka idealnya bisa diusulkan realokasi untuk
alokasi anggaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Namun demikian, dokumen ringkasan R APBD biasanya lebih
mudah didapatkan, sedangkan yang paling sulit adalah dokumen
RKA-SKPD dan dokumen Dokumen Pelaksanaan Anggaran Pejabat
Pengelola Keuangan Daerah (DPA-PPKD).
A N A L I SI S A PBD

Untuk menuju demokrasi anggaran publik, analisis anggaran yang
dilakukan oleh masyarakat menjadi hal yang sangat penting. Untuk
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199

19 0 |

DZUR IYATUN TOY IBAH

itu, selain ketersediaan informasi terhadap dokumen APBD juga
diperlukan keterampilan mengalisis. Sejauh ini berkembang beberapa
cara untuk menganalisis APBD. Jika dilihat dari pendekatannya,
terd apat pendek at a n a k adem is d a n pendek at a n popu l is.
Pendekatan akademis memfokuskan pada persoalan-persoalan
pertanggungjawaban ilmiah secara metodologi serta mensyaratkan
dokumen-dokumen yang lebih detail seperti RKA-SKPD dan DPA
SKPD yang jarang sekali bisa diakses publik. Sedangkan analisis
yang bersifat populis menekankan pada kesederhanaan metode agar
data apapun yang tersedia bisa digunakan untuk menunjukan apakah
APBD sudah pro-rakyat atau belum.
Cara yang biasa digunakan untuk menganalisis APBD di Ngawi,
Lamongan, dan Makasar adalah dengan membandingkan antara
belanja langsung dan tidak langsung. Kelompok belanja langsung
merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan
pelaksanaan program dan kegiatan . Belanja langsung dari suatu
kegiatan terdiri dari belanja barang dan jasa serta belanja modal.
Adapun belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan
tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan
kegiatan. Belanja tidak langsung meliputi: belanja pegawai, bunga,
subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan,
dan belanja tidak terduga (Permendagri 13/2006 pasal 36).
An a l i si s A PBD Nga w i
Dengan membandingkan belanja langsung dan tidak langsung
tampak bahwa APBD Kabupaten Ngawi 2008 disusun tanpa
memperhatikan proporsi keduanya. Menurut Pagar Madani (sebuah
jaringan perkumpulan LSM lokal di Ngawi), APBD Kabupaten
Ngawi tahun 2008 masih berpihak kepada aparatur karena jumlah
belanja tidak langsung mencapai 61,61% dan belanja langsung
kurang dari 39%.
Alokasi belanja sektor pendidikan di Ngawi tahun 2008 mencapai
hampir 40% dari total APBD.. Namun, dari jumlah tersebut alokasi
jumlah biaya pendidikan yang sampai ke masyarakat hanya 6,51%.
Angka ini didapatkan dari jumlah biaya langsung sektor pendidikan
47.249.926.168,63 dibagi jumlah belanja daerah 725.280.569.365,76
(Sumber: analisis R APBD Kabupaten Ngawi tahun 2008). Jika
komponen gaji guru dan karyawan dinas pendidikan tidak
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199

EKSLUSI SOSI A L DAN ANGGAR AN PUBLIK

| 191

dimasukkan, maka alokasi sektor pendidikan dalam APBD Ngawi
yang sampai kepada masyarakat hanya 6,51% tahun 2008, dan
4,83% pada tahun 2007. Sedangkan pada biaya langsung masih
banyak terdapat biaya-biaya yang manfaatnya hanya dirasakan oleh
aparat.
Gambar 1. Perbandingan Belanja APBD Ngawi tahun 2008
Perbandingan Belanja APBD Ngawi 2008

BELANJA LANGSUNG,
278,454,770,611.61, 38%

BELANJA TIDAK
LANGSUNG,
446,825,798,754.15, 62%

Sumber: Toyibah dkk 2008

Alokasi sektor kesehatan tahun 2007 masih 5,9 % dari total
APBD. Jika dilacak, persentase alokasi anggaran yang diterima
masyarakat hanya sebesar 2,5% dari belanja APBD.
tabel 1. Alokasi APBD Kab. Ngawi Sektor Pendidikan
Uraian

Jmulah

Perbandingan
dalam APBD

Belanja APBD 2008
Belanja DAERAH sektor
Pendidikan tahun 2008 non
aparatur
Belanja APBD 2007
Belanja DAERAH sektor
Pendidikan tahun 2007 non
aparatur

725,280,569,365.76
47,249,926,168.63

6.51%

588,238,249,732.29
28,409,442,300.00

4.83%

Sumber: Analisis APBD oleh Pagar Madani, Maret 2008 dalam Toyibah 2008

Adapun alokasi sektor pertanian dalam APBD 2007 hanya 1,8 %
dari jumlah APBD. Jumlah alokasi Rp 10,3 milyar ini lebih rendah
daripada APBD tahun 2005 sebesar Rp 15,5 milyar, meskipun visi
bupati melalui RPJMD adalah mewujudkan Kabupaten Ngawi yang
unggul di bidang agraris.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199

19 2 |

DZUR IYATUN TOY IBAH

tabel 2. Perbandingan Belanja Sektor Kesehatan
dengan Total APBD 2007 yang Diterima Masyarakat
Alokasi Belanja untuk Masyarakat Sektor
Kesehatan dalam APBD Ngawi 2007
Belanja APBD
Belanja untuk masyarakat langsung (belanja
modal plus belanja barang & jasa)

Jumlah
588,238,249,732.29
14,866,713,157.00

Persentase
100%
2.5%

Sumber: Hasil Analisis APBD oleh Pagar Madani, Maret 2008 (Toyibah, 2008)

Kecilnya alokasi anggaran sektor pertanian kemungkinan terkait
dengan Permendagri 13/2006 yang menempatkan pertanian sebagai
urusan pilihan saja. Sementara di sisi lain, sebagian besar masyarakat
Ngawi berprofesi sebagai petani. Visi bupati terpilih juga menjadikan
Ngawi sebagai daerah yang agraris dan agamis. Hal ini sangat
menarik karena ada inkonsistensi antara problem di masyarakat, visi
bupati, dan peraturan yang ada.
An a l i si s A PBD L a m on ga n
Jaringan Masyarakat Lamongan (JAMAL) melakukan analisis
dengan membandingkan APBD-P 2007 dan APBD 2008. Lamongan
merupakan salah satu dari tiga kabupaten yang pertama kali memiliki
perda yang mangatur transparansi. Keberadaan kelompok masyarakat
sipil yang melakukan upaya partisipasi dalam APBD ini sudah cukup
lama. Pejabat di lingkungan Pemda Lamongan juga sudah mafhum
akan tuntutan partisipasi dalam anggaran. Munculnya perda itu
menjadi indikator kemajuan Lamongan dalam menangkap wacana
partisipasi dalam anggaran dibandingkan dengan Ngawi atau daerah
lainnya. Pertanyaan mendasar adalah apakah kemajuan menangkap
wacana partisipasi anggaran sejalan dengan munculnya APBD yang
memihak masyarakat miskin?
Jika dilihat dari ringkasan APBD saja, persentase antara belanja
aparatur/belanja tidak langsung dan belanja belanja publik/belanja
langsung nampak cukup seimbang. Namun demikian, analisis dari
Jaringan Masyarakat Lamongan masih menunjukan adanya indikasi
inefisiensi. Hal ini terlihat dari adanya kenaikan anggaran Dinas
Kesehatan (Dinkes) sebesar Rp 6 milyar pada tahun 2007 (dari Rp
42 milyar pada 2006 menjadi sebesar Rp 48 milyar pada 2007).
Kenaikan yang cukup signifikan ternyata tidak dibarengi
dengan alokasi dana yang efektif. Hal ini karena sebelumnya untuk
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199

EKSLUSI SOSI A L DAN ANGGAR AN PUBLIK

| 193

mendapatkan investasi dari Bank Dunia dalam program P2TPD
sebesar Rp 6 milyar dilakukan persiapan selama tiga tahun (2002–
2005) dengan prasyarat harus membuat dokumen Strategi Rencana
Tindak Pengurangan Kemiskinan (SRTPK). Sedangkan kenaikan
anggaran Dinkes menurut aktifis JAMAL terjadi tanpa usaha dan
prasyarat yang ketat bisa langsung mendapat tambahan Rp 6 milyar.
Dari anggaran Rp 48 milyar tersebut, sekitar Rp 31,1 milyar
atau 65% dialokasikan untuk pegawai/birokrasi. Nampak bahwa
dalam setiap program untuk masyarakat selalu terdapat komponen
transport, ATK, dan perjalanan dinas yang jumlahnya cukup
signifikan, seperti terlihat dalam tabel berikut.
tabel 3. Analisis Alokasi Anggaran Dinas Kesehatan Kab.Lamongan Tahun 2008
Program
Imunisasi
Pencegahan penyakit
menular
Penyusunan standar
pelayanan
Pertolongan persalinan ibu
dari keluarga tidak mampu

Anggaran
60 juta
120 juta
25 juta
37 juta

Belanja Untuk Pegawai
30 juta
92 juta (perjalanan
dinas, ATK, dll)
24 juta (honor,
perjalanan dinas, dll)
35 juta (honor, cetak,
transportasi)

Sumber: Analisis JAMAL berdasarkan RKA-SKPD 2008 dalam Toyibah 2008

An a l i si s A PBD Ma ka sa r
Kecenderungan yang sama terjadi pula pada APBD Makasar tahun
2009 dengan biaya tidak langsung yang cukup besar, sebagaimana
muncul dari analisis KOPEL (sebuah kelompok masyarakat sipil di
Makasar). Tahun 2009, Pemerintah Kota Makasar memprogramkan
kesehatan gratis sebanyak Rp 17.410.875.996,00. Anggaran sebesar
ini tersebar ke seluruh kecamatan di 37 PKM (Pusat Kesehatan
Masyarakat) Kota Makasar pada pos biaya operasional dan
pemeliharaan kesehatan gratis.
Belanja kesehatan gratis tersebut, setelah ditelusuri dari dokumen
RAPBD menunjukan proporsi yang tidak seimbang antara dana yang
dialokasikan bagi masyarakat miskin dengan dana yang dialokasikan
untuk belanja tidak langsung yakni meliputi belanja pakaian dinas,
belanja bahan bangunan, dan belanja honorarium pelaksana kegiatan.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199

19 4 |

DZUR IYATUN TOY IBAH

tabel 4. Komponen Belanja Program Kesehatan Gratis
Komponen Belanja Kesehatan Gratis
Belanja pakaian dinas
Belanja bahan bangunan
Belanja honorarium pelaksana kegiatan
Belanja obat obatan
Lainnya
Total Anggaran

Jumlah Anggaran
436,650,000.00
488,509,109.00
7,268,455,620.00
1,964,419,854.00
7,252,841,413.00
17,410,875,996.00

Sumber: Hasil Analisis RAPBD 2009 Kota Makassar yang dilakukan oleh KOPEL

DE MOK R A SI R E PR E SE N TAT I F V S DE MOK R A SI
PA RT I SI PAT I F DA L A M A NG G A R A N

Salah satu persoalan penting menuju inklusifitas anggaran adalah
keterlibatan masyarakat sipil dalam proses penganggaran. Hal itu
tidak cukup dengan keterlibatan pada proses Musrenbang dan forum
SKPD tetapi juga pada ketersediaan dokumen anggaran mulai
dari RKPD, RKA-SKPD, RAPBD, APBD, dan DPA. Dokumendokumen tersebut adalah ‘harta karun’ untuk membuka tabir rahasia
siapa penerima anggaran. Sejauh ini, pendekatan kelembagaan dan
sistem yang memungkinkan dokumen anggaran dibuka untuk publik
masih menemui banyak hambatan. Selama ini, pemerintah berpegang
teguh pada pemikiran bahwa dokumen anggaran merupakan rahasia
negara, sehingga tidak dibenarkan ada intervensi dari pihak lain.
Dalam hal ini, terdapat empat model partisipasi dalam demokrasi
sebagaimana dijelaskan oleh Myra Marx Ferree dkk. (2002) yakni: (a)
siapa saja yang harus berpartisipasi? (b) bagaimana seharusnya bentuk
dan isi dari public discourse? (c) bagaimana para aktor berkomunikasi
satu sama lain? (d) apa hasil yang diharapkan jika prosesnya sudah
berjalan sebagaimana seharusnya?
Pertama, representative liberal theory yang menganggap otoritas
tertinggi dalam masyarakat adalah warga negara (citizenry). Warga
negara membutuhkan pembuat kebijakan yang bertanggung
jawab terhadap mereka, tetapi tidak butuh berpartisipasi langsung.
Kehidupan publik akan menjadi lebih baik tanpa partisipasi
masyarakat karena mereka hanya mendapatkan sedikit informasi
tentang masalah-masalah publik dan tidak memiliki perhatian
serius. Mereka cukup berpartisipasi dalam memilih pemimpin secara
periodik. Partisipasi dalam masalah kebijakan publik merupakan
tanggung jawab partai politik semata.
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199

EKSLUSI SOSI A L DAN ANGGAR AN PUBLIK

| 195

Kedua, participatory liberal theory yang menganggap penting
memaksimalkan partisipasi warga negara dalam pembuatan keputusan
publik yang memberi dampak dalam kehidupan mereka. Karena itu,
warga harus menjadi partisipan aktif dalam public sphere sebagaimana
dinyatakan Paul Hirst sebagai “associative democracy” dan Benjamin
Barber menyebutnya sebagai “strong democracy”. Namun demikian,
tidak mungkin semua warga bisa memberikan seluruh waktunya
untuk mendiskusikan masalah publik secara langsung. Menurut
teori ini, harus ada delegasi/perantara yang mengagregasikan dan
mengartikulasikan kepentingan warga dalam public sphere. Delegasi
tersebut adalah organisasi-organisasi yang memiliki anggota yang
berpartisipasi secara aktif dan kepemimpinan yang bertanggung
jawab terhadap anggota.
Ketiga, discursive theory. Model ini agak mirip dengan participatory
liberal theory, terutama dalam hal keterlibatan seluruh masyarakat
(popular inclusion), tetapi proses yang digagas bersifat deliberative.
Popular inclusion tidak semata-mata sebagai tujuan, tetapi merupakan
alat untuk discourse yang bersifat rasional. Teori ini merujuk pada
pemikiran Jurgen Habermas yang menganggap wajar ketika
keputusan masalah publik yang rutin hanya melibatkan politik pusat
(political center) seperti pejabat pemerintah, parlemen, pengadilan, dan
partai politik. Dalam beberapa persoalan, Habermas menganggap
penting keterlibatan aktor dari politik pinggiran (periphery) yang
terdiri dari civil society dan organisasi di tingkat grassroot.
Teori ini juga mengacu pada pemikiran C. Wright Mills,
Amy Gutman Dennis Thompsons dan Amitai Etzioni yang juga
menganggap penting apa yang disebut dengan proses deliberatif
yakni sebuah discourse (dialog) yang rasional dan beradab dengan
mengedepankan argumen yang valid tanpa harus membedakan siapa
yang mengusulkan opini tersebut. Seluruh peserta dialog tidak boleh
menganggap ada pihak yang pasti benar atau ada pihak yang pasti
salah.
Keempat, constructivist theory yang lebih bersifat kritis terhadap
gagasan-gagasan sebelumnya terutama terhadap discursive theory.
Model ini berakar dari pemikiran Michael Foucault, Nancy Fraser,
Seyla Benhabib, Iris Marion Young yang memulai premis dan
membangun teori sebagai kritik terhadap marginalisasi perempuan
dalam politik. Teori ini jelas menolak konsep expertise dan
menganggap penting keterlibatan semua pihak meskipun pemikiran
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199

19 6 |

DZUR IYATUN TOY IBAH

individu bersifat privat. Prinsip yang dikedepankan adalah prinsip
inklusi dan pengakuan (recognition) terhadap standpoint yang berbeda
dari para aktor (yang terlibat dalam public sphere). Mereka menolak
pemisahan antara privat dan publik. Hal-hal yang privat seperti
apa yang dibeli, dimakan, dipakai, atau yang digunakan dalam
perjalanan adalah persoalan privat dan pilihan politik sekaligus.
Constructivist theory menolak deliberation dan juga argumen formal
dalam diskursus. Mereka menganggap penting halaman belakang
(backyard politics). Mereka menganggap penting bentuk-bentuk nonexpert dalam politik karena pendapat kelompok yang tidak mampu
membuat argumen secara rasional juga perlu didengarkan. Mereka
menolak gagasan public sphere yang hanya melibatkan institusi formal
seperti parlemen atau pengadilan. Sebaliknya, discourse publik harus
bersifat seinklusif mungkin dengan melibatkan semua pihak.
PE N U T U P

Cara pandang aparat pemerintah yang mempertahankan
ketertutupan anggaran menunjukan bahwa kecenderungan model
representative liberal theory masih tinggi. Namun demikian,
kehidupan publik tidak menjadi lebih baik dengan minimnya
partisipasi masyarakat. Dengan dokumen yang tersedia, nampak
pada APBD 2007-2009 masih terdapat kecenderungan eksklusi sosial
yang diakibatkan oleh APBD yang hanya berpihak kepada aparat
pemerintah. Dari sini sangat masuk akal jika kemudian berkembang
suatu prejudice bahwa akar persoalan bukan pada rahasia negara
atau kekhawatiran untuk diintervensi oleh pihak-pihak asing. Alasan
tersebut hanya untuk menutupi agenda tersembunyi memasukkan
kepentingan-kepentingan aparat pemerintah untuk masuk dalam
alokasi anggaran. Oleh karena itu, sangat wajar jika penyusunan
APBD menjadi salah satu modus operandi korupsi autogenic, yaitu
korupsi yang dilakukan dengan didasarkan pada proses yang legal
untuk melakukan penyelewengan wewenang kekuasaan untuk
kepentingan aparat dengan merugikan kepentingan masyarakat.
Sementara itu, upaya yang dilakukan oleh masyarakat sipil masih
dalam batasan mendemistifikasi dokumen-dokumen APBD untuk
memberikan informasi bahwa terdapat indikasi proses dan alokasi
anggaran yang merugikan kepentingan masyarakat. Upaya ini
merupakan langkah awal untuk menunjukkan bahwa menjadikan
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199

EKSLUSI SOSI A L DAN ANGGAR AN PUBLIK

| 19 7

dokumen anggaran semata-mata sebagai rahasia negara yang tidak
bisa diakses oleh publik sebenarnya merupakan hal yang bertentangan
dengan prinsip demokrasi.
Dengan proses ini muncul sebuah pertanyaan, sejauh mana
masyarakat sipil bisa mengintervensi proses pembuatan kebijakan
anggaran? Apakah anggaran hanya bisa diintervensi oleh DPRD dan
pemerintah? Sejauh ini gerakan masyarakat sipil, meskipun berupaya
untuk menyuarakan persoalan tersebut melalui public hearing dengan
anggota DPRD dan media massa, masih menunjukan hasil yang
belum maksimal. Namun demikian, upaya tersebut menjadi sebuah
langkah yang positif untuk pendidikan politik warga, juga bagian
dari partisipasi politik yang bersifat kritis. Tidak bisa dinafikan
bahwa masih dibutuhkan strategi lain untuk mencapai tujuan
anggaran yang demokrastis secara proses dan efektif secara hasil.
Harus disadari bahwa partisipasi sebagai bentuk keterlibatan
warga dalam pengambilan keputusan publik, bukanlah hal yang
bisa bersifat instan. Banyak hal diperlukan untuk menumbuhkan
partisipasi seperti proses penyadaran, pengorganisasian, inisiasi dan
fasilitasi ruang-ruang publik. Selain itu, praktik partisipasi juga
membutuhkan warga negara yang aktif (active citizen), melalui proses
pengorganisasian dan pendampingan yang bersifat terus menerus,
ada keinginan politik (political will), dan kesadaran politik (political
awareness) dari institusi pemerintahan.
Konsep partisipasi kewargaan juga membalik paradigma yang
melihat warga sebagai pihak “yang harus diatur/diperintah”. Sebagai
pihak yang diperintah, warga negara yang baik diharapkan dapat
mematuhi peraturan dan memenuhi kewajibannya baik kepada warga
negara lain maupun kepada “pihak yang mengatur/memerintah”.
Sebaliknya, pihak yang memerintah berkewajiban untuk memberikan
perlindungan kepada warga. Asumsi ini ternyata tidak berjalan
dengan baik. Tanpa ada partisipasi masyarakat, sangat jarang
pemerintah bisa menjalankan kewajibannya. Sebaliknya pemerintah
seringkali memonopoli mandat yang diberikan kepadanya dan
cenderung korup.
Dalam konteks tiga daerah studi ini, masih jarang ditemukan
pemikiran dari aparat pemerintah bahwa partisipasi masyarakat
sebenarnya merupakan kebutuhan pemerintah. Jika partisipasi
masyarakat terjadi, seharusnya pemerintah akan diuntungkan karena
pembuatan dokumen anggaran menjadi lebih bersifat bottom up dan
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199

19 8 |

DZUR IYATUN TOY IBAH

diharapkan akan bisa berkontribusi secara maksimal terhadap
pemecahan masalah-masalah di daerah bersangkutan.
DA F TA R PUS TA K A

Bahagijo, Sugeng dan Rusdi Tagaroa ed. 2005. Orde Partisipasi:
Bunga Rampai Partisipasi dan Politik Anggaran, Jakarta:
Perkumpulan Prakarsa
Byrne, David. 2005. Social Exclusion. England, Open University
Press.
Break, Fridolin et.al. 2006. Kumpulan Modul Pendidikan Politik
Anggaran Bagi Warga, Bandung: BIGS dan TIFA Foundation
Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. 2006. Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2003. UndangUndang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
------. 2004a. Undang-Undang No. 10 Ta hun 20 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
------. 2004b. Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional.
------. 2004c. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Ferree, Myra Marx et.al. 2002. “Four Models of Public Sphere in
Modern Democracies.” Journal Theory and Society Vol. 31 No. 3.
Farhan, Yuna et.al. 2007. Memfasilitasi Konsultasi Publik: Refleksi
Pengalaman Penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang
Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Jakarta: Kemitraan
Partnership.
Farhan, Yuna. 2008. “Memetakan Perubahan Regulasi Keuangan
Daerah.” Makalah dipresentasikan dalam diskusi publik Implikasi
Revisi Kebijakan Keuangan Daerah, diselenggarakan oleh The Asia
Foundation dan CIDA.
Fozzard, Adrian. 2001. “The Basic Budgeting Problem: Approaches to
Resource Allocation in The Public Sector and Their Implication
for Pro Poor Budgeting.” CAPE-ODI Working Paper 147.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199

EKSLUSI SOSI A L DAN ANGGAR AN PUBLIK

| 19 9

Jaringan Masyarakat Lamongan. 2008. “Analisis RKA-SKPD Dinas
Kesehatan Kabupaten Lamongan tahun 2008.” Dokumen tidak
dipublikasikan.
KOPEL Makasar. 2009. “Hasil Analisis APBD Kota Makasar tahun
2009.” Dokumen tidak dipublikasikan.
Khadafi, Ucok Sky dan Sucipto Yenny. 2006. Membangun Gerakan
Pro-Poor Budget. Jakarta: Seknas FITRA DFID, TAF.
DPRD Kabupaten Ngawi. 2007. RAPBD Ngawi tahun 2007
DPRD Kabupaten Lamongan. 2008. RAPBD Lamongan tahun 2008
DPRD Kabupaten Makasar. 2009. RAPBD Makasar tahun 2009
Masturi, Sri. 2007. Anggaran Responsif Gender, Konsep dan Aplikasi.
Jakarta: CIBA, TAF, CIDA.
Pagar Madani. 2008. “Hasil analisis APBD Ngawi.” Dokumen tidak
dipublikasikan.
Rodger, Gerry. 1995. Social Exclusion: Rhetoric Reality Responses,
A Contribution To the World Summit For Social Development.
International Labour Organization.
Suhirman. 2006. “Perencanaan dan Penganggaran Yang ProPoor.” Hlm. 111-120 dalam Modul Participatory Budgeting and
Expenditure Tracking (PBET) Fase 1 dan 2, diedit oleh Amir,
Islamil, et.al. Bandung: FPPM, NDI, BIGS.
Sen, Amartya. 2000. Social Exclusion: Concept Application and
Scrutiny. Manila, Philippines: the Asian Development Bank.
Santos, S.B. 1998. Participatory Budgeting in Porto Alegre: Toward
A Redestributive Democracy. Diakses 3 Maret 2011 (http://www.
archonfung.net/docs/pal218/SantosPortoAlegre.pdf)
Taket, Ann et.al. 2005. Theorising Social Exclusion. London and New
York: Routledge.
Toyibah, Dzuriyatun, et.al. 2008. Merebut Anggaran Publik:
Jalan Panjang Demokratisasi Penganggaran Daerah. Jakarta: PP
Lakpesdam NU dan NDI.
Waidl, Abdul, Sakri, Diding, Farhan, dan Yuna. 2009. Anggaran
Pro-Kaum Miskin Sebuah Upaya Menyejahterakan Kaum Miskin.
Jakarta: Prakarsa dan LP3ES.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199