Eksklusi Sosial Masyarakat Adat dan Loka

Eksklusi Sosial Masyarakat Adat dan
Lokal1
Oleh
Nurul Firmansyah

1. Pemaknaan Masyarakat Adat atau Lokal
Makalah ini diawali dari pemaknaan masyarakat adat dan lokal dalam dinamikanya
secara sosial, politik, ekonomi, budaya dan hukum. Memahami pemaknaan masyarakat adat atau
lokal dalam pemaknaan tersebut berguna untuk melihat karakter dan pola eksklusi sosial yang
terjadi terhadap kelompok-kelompok masyarakat ini. Selain itu, diharapkan juga makalah ini
mampu menjelaskan kebutuhan-kebutuhan mendasar untuk memecahkan masalah-masalah
eksklusi sosial masyarakat adat dan lokal, sehingga tindakan-tindakan untuk menghadapi
persoalan-persoalan tersebut tepat guna dan efektif.
Tentang pemahaman pemaknaan masyarakat adat dan lokal berawal dari konstruksi
sosiologis tentang masyarakat, yaitu masyarakat adat atau lokal adalah bagian dari masyarakat
(Society) yang lebih luas, mempunyai kriteria-kriteria tertentu dalam relasi sosial, maupun
ikatannya dengan tradisi yang turun temurun dan ruang (wilayah atau dalam pengertian lain
sumber daya alam). Definisi masyarakat sendiri oleh Safitri dalam Cotterrell (2012)
diasosiasikan dengan empat konteks interaksi ideal dan keterlibatan kolektif, yaitu :
1) Tipe masyarakat tradisional, yang seringkali dirujuk sebagai masyarakat lokal. Masyarakat
lokal berdasarkan definisi ini adalah masyarakat yang hidup secara berdampingan dalam

suatu ruang yang ditentukan secara geografis, misalnya masyarakat pedesaan dan masyarakat
adat.
1

Makalah ini ditulis oleh Penulis pada Juni 2014 untuk Program Inklusi Sosial PNPM Peduli Fase 2, Kemitraan.
Makalah ini juga berdasarkan hasil diskusi terfokus yang melibatkan Ade Siti Barokah, M. Yasir Sani, Agus
Affianto, Yaury Tetanel (Kemitraan), Lies Marcoes, Frans Siahaan, Laurel MacLaren, Adi Dananto, Bambang
Ertanto (The Asia Foundation), dan telah diterjemahkan dalam bahasa inggris dengan judul : “Social Exclusion of
Indigenous and Isolated Local Communities Dependent on Natural Resources”

1

2) Tipe masyarakat instrumental atau masyarakat dengan kepentingan bersama tertentu.
3) Tipe masyarakat keyakinan, yaitu kelompok masyarakat yang terbentuk berdasarkan
kepercayaan

atau

nilai-nilai


yang

menekankan

solidaritas

dan

hubungan

saling

ketergantungan yang dianut bersama-sama.
4) Tipe masyarakat dan kesatuan di antara individu-individu yang disebabkan oleh kasih sayang
atau kepedulian terhadap satu sama lain; oleh karena itu disebut sebagai masyarakat afektif
atau masyarakat dengan kepedulian bersama.
Dengan melihat tipe-tipe masyarakat diatas, maka berfokus pada masyarakat adat
danlokal adalah masyarakat yang terikat dalam ruang geografis tertentu. Ikatan pada ruang atau
wilayah tertentu memperlihatkan hubungan yang erat antara masyarakat lokal dengan wilayah
dan sumber daya alamnya. Masyarakat lokal yang bersifat tradisional merupakan bangunan

masyarakat yang terbentuk oleh tradisi yang diwariskan secara turun temurun, warisan tersebut
termanifestasi dalam budaya, politik lokal tradisional, sosial dan ekonomi masyarakat lokal,
(Soekanto; 2006, Koentjaraningrat; 2009). Ikatan masyarakat lokal terhadap ruang atau wilayah
menjadi hal pokok terhadap eksistensi masyarakat lokal yang berbasis tradisi tersebut.
Tradisi atau disebut juga dengan adat (hukum adat) merupakan ikatan tradisional yang
berkembang, berubah dan berdinamika dalam dimensi politik, budaya, dan ekonomi. Dinamika
tersebut juga melahirkan dinamika pemaknaan masyarakat lokal. Pendefinisian masyarakat lokal
yang paling berkembang adalah pemaknaan masyarakat lokal dalam definisi masyarakat adat.
1.1. Pemaknaan Politik Masyarakat Adat dan lokal
Awalnya, Istilah masyarakat adat adalah penamaan politik sebagai respon kolonialisasi.
Konstruksi masyarakat adat lahir dari dikotomi bangsa ―Eropa‖ dengan ―Pribumi‖ terutama
dalam pengistilahan adatrecht (Wignosoebroto, 2014). Selanjutnya Burns dalam D‘Andrea
(2013) mengistilahkan pribumi sebagai kelompok-kelompok masyarakat Indonesia yang hidup
sebelum lahirnya kolonialisasi eropa. Selanjutnya, D‘Andrea (2013) mengkategorikan istilah
―adat‖ dalam dua bentuk, yaitu Pertama, Adat dalam pengertian hukum sebagai hukum adat
(adatrecht). dan kedua, Adat dalam pengertian tradisi nenek moyang yang diwariskan
atau―kebiasaan.‖

2


Dalam pendekatan hukum adat (adatrecht), istilah adat untuk menjelaskan perbedaan
hukum eropa dengan hukum-hukum lokal (hukum adat) pribumi. Perbedaan paling mencolok
antar dua hukum tersebut adalah tentang hak-hak atas tanah dan sumber daya alam dan
kewenangan-kewenangan masyarakat adat dalam mengatur wilayahnya.

Perbedaan hukum

(dualisme hukum) berpengaruh pada pemaknaan tentang hak, antara hak adat dengan hak barat
(Eropa), dimana hak-hak adat atas tanah dan sumber daya alam mengalami diskriminasi oleh
sistem hukum Negara (Modern) yang mengadopsi sistem hak barat.
Sedangkan adat sebagai tradisi, tidak hanya dilihat dari aspek hukum, namun meliputi
berbagai sisi kehidupan masyarakat adat, baik secara sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Dalam konteks ini, Burns dalam D‘ Andrea (2013) : menggambarkan adat, sebagai ―mitos‖
nasional yang terjalin dari detil etnografik dari para antropolog kolonial Belanda dan secara luas
merujuk pada tradisi, nilai dan kebudayaan asli. Adat sebagai mitos berkembang sebagai sesuatu
yang dikonstruksi oleh Negara. Kemudian, D‘Andrea (2013), menyebutkan secara detil
bagaimana mitos itu dibangun, yaitu ; Pertama, mitos tanah adat secara tradisional dimiliki
bersama (komunal) dan adat bersifat statis; yang pada kenyataannya, tanah adat tidak selalu
bersifat komunal, tapi juga dimiliki keluarga dan digarap secara individual. Persepsi bahwa
semua tanah adat bersifat komunal menjadi basis pengambilan tanah-tanah adat oleh Negara

sebagai bentuk pengorbanan diri komunitas adat demi kepentingan nasional (Dove 1985b).
Selanjutnya, mitos adat statis menjadi basis oleh negara untuk menilai pengelolaan tradisional
sumber daya alam pada penilaian ekologis atau tidak. Nyatanya, adat adalah dinamis dan
berubah (Berry 1993, Burns 1989, Tsing 1993; Li 1999). Bahkan dalam situasi tertentu, adat
digunakan secara inovatif untuk melegitimasi klaim tanah di satu sisi dan akumulasi di sisi lain
(D‘ Andrea; 2013).
Kedua, mitos adat selalu mempertahankan ekonomi subsisten. Persepsi ini berangkat dari
pandangan bahwa seutuhnya masyarakat adat adalah petani subsisten. Berpadu pada persepsi
komunalisme dan pertanian subsistensi ini menjadi legitimasi pemerintah untuk merelokasi
masyarakat adat dari tanah mereka dan atau merubah praktek pengelolaan tradisional mereka,
mereka dianggap sebagai orang miskin, terbelakang, terkucil, tanpa ada kaitan dengan jaringan
komersial dan perniagaan yang lebih luas (Dove 1985). Kenyataannya, masyarakat adat telah
lama mengenal perdagangan sebagai aktifitas ekonomi, walaupun tidak menjual semua hasil
3

panen ketika surplus dan memang sebagian besar masyarakat adat di dataran tinggi
menggunakan hasil panen sebagai bahan pangan. Aktifitas perdagangan tersebut dihasilkan dari
hasil tanah-tanah adat yang telah ada sejak zaman kolonial sampai sekarang, petani-petani
masyarakat adat telah memproduksi rotan, merica, kopi, kelapa, tembakau, karet, dan getah yang
secara signifikan menambah nilai eksport nasional, yaitu ditaksir 70 persen dari jumlah total

produksi karet Negara, setidaknya 80 persen produksi getah damar, sekitar 80 sampai 90 persen
beragam buah-buahan (De Foresta dan Michon 1997; Fay, Sirait dan Kusworo 2003). Artinya,
adat meliputi subsisten maupun nilai pasar, (D‘ Andrea, 2013).
Ketiga, mitos adat adalah sebuah proses demokratis. Banyak aktivis pendukung
masyarakat adat percaya bahwa adat bersifat demokratis dan egaliter, padahal banyak adat
berakar pada budaya patriarki, memaksakan sistem kasta dan bahkan melegitimasi perbudakan.
Adat tidak melulu sebagai proses pengambilan keputusan demokratik, adat lebih merupakan cara
untuk mengatur dan menegakkan aturan tentang perbatasan, hak milik, penggunaaan sumber
daya alam, tata kerama sosial dan tata cara pemujaan terhadap nenek moyang. Pada konteks
terkini, adat sering kali kehilangan banyak aspek feodal tersebut, namun karakter patriarkinya
masih banyak bertahan.
Selanjutnya, dalam hubungannya dengan Negara, masyarakat adat ternyata berdinamika,
(Tsing 1993; Pemberton 1994; Aragon 2000; Schrauwers 2000; Peluso dan Harwell 2001).
Dalam konteks Indonesia misalnya, sejak kemerdekaan Indonesia, Negara memanipulasi ―adat‖
dengan sejumlah cara untuk menekan identitas etnis dan mempromosikan ―Bhinneka Tunggal
Ika.‖ (Pemberton; 1994), keragaman etnik hanya diterima dalam bentuk yang mempromosikan
kesatuan dan stabilitas nasional. Upaya sistematis untuk menghilangkan struktur kekuasaan adat
dilakukan melalui UU Pemerintah Desa no.5/1979 dengan melakukan tindakan-tindakan yang
memperbesar kewenangan pemerintah sampai ke desa dan memangkas dasar-dasar kekuasaan
politik adat. Tindakan-tindakan tersebut adalah marjinalisasi masyarakat adat dengan pemaksaan

identitas nasional atas adat dan pengingkaran hak-hak adat atas tanah yang mencapai puncaknya
pada masa orde baru itu.
Seiring waktu, gerakan-gerakan global Indigenous Peoples lahir pada dekade-dekade
terakhir abad ke-20 sebagai respon terhadap marjinalisasi politik, kultural dan ekonomi
Indigenous Peoples di seluruh dunia (D‘Andrea, 2013). Colchester (1999) telah menemukan
4

bahwa berbagai perjuangan masyarakat adat terkait hak tanah dan sumber daya alam sebagai
perjuangan bagi ―keberlanjutan‖ lingkungan yang termanifestasi dalam perlawanan ―Indigenous
Peoples‖ pada proses pembangunan yang merusak lingkungan. Argumennya adalah : ―Sistem –
sistem pengelolaan tanah secara adat tradisional telah terbukti jauh lebih cocok, lebih bertahan
lama dan lebih kompleks dibandingkan dengan apa yang semula diperkirakan orang luar…‖
dan bahwa cara hidup tersebut dikacaukan dengan proyek-proyek pembangunan. Alasan tersebut
digunakan bagi banyak aktivis untuk menunjukkan pentingnya pengakuan hak-hak adat untuk
melindungi lingkungan dan menemukan alasan historis tentang keabsahan masyarakat adat.
Dalam perkembangannya, gerakan – gerakan masyarakat adat di Indonesia terhubung
dengan gerakan global Indigenous Peoples tersebut. Keterhubungan tersebut berakibat pada
pengembangan pemaknaan masyarakat adat secara politik, yang kemudian terkonstruksi dalam
ranah hukum.
1.2. Pemaknaan Hukum Masyarakat Adat dan Lokal dan Hak-Haknya

Perkembangan hukum internasional tentang Indigenous Peoples dimulai dengan
dilahirkannya konvensi ILO 107 tahun 1957 yang memuat norma tentang identifikasi Indigenous
Peoples. Konvensi ini mendefinisikan Indigenous Peoples sebagai kelompok terbelakang yang
harus dimodernkan. Pada tahun 1982, perjuangan pengakuan indigenous peoples berlanjut
dengan dibentuknya kelompok kerja PBB untuk populasi masyarakat adat (The UN Working
Group on Indigenous Population), (Alfons; 2012). Working Group berhasil mendorong PBB
untuk mengeluarkan Konvensi ILO 169 tahun 1989 tentang suku dan Indigenous Peoples di
Negara-negara merdeka. Konvensi ILO 169 dianggap lebih baik dibandingkan konvensi ILO
107, karena memuat norma tentang ―Self Identification‖ atau hak identifikasi diri yang
merupakan dasar eksistensi masyarakat adat di depan hukum.
Puncak perkembangan hukum internasional Indigenous Peoples terjadi sejak di sahkannya
United Nations Declaration of the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) dan Indonesia
menandatanganinya pada tahun 2007. UNDRIP adalah instrumen hak asasi manusia
internasional yang menetapkan standar minimum untuk kelangsungan hidup, martabat, dan
kesejahteraan masyarakat adat secara global. UNDRIP berisi tentang hak untuk mendefinisikan
diri sendiri ―Self Identification‖ sebagai masyarakat adat; hak untuk menentukan nasib sendiri;
5

hak atas tanah, wilayah dan sumber daya; hak memberikan persetujuan tanpa paksaan atas
kegiatan pembangunan di tanah dan wilayah mereka (Free Prior Informed Consent); dan hakhak yang tercantum dalam instrumen-instrumen HAM lainnya. UNDRIP menjadi landasan moral

yang kuat bagi Negara-negara dunia terkait implementasi hak-hak masyarakat adat tersebut.
Seiring dengan itu, ahli hukum dan antropolog berdebat mengenai istilah Indigenous
Peoples—yang dibuat dalam kerangka kolonialisme—apakah cocok dengan situasi Asia yang
telah membentuk Negara-Negara nasional. Debat tentang penautan gerakan Indigenous Peoples
dengan gerakan agraria dan lingkungan hidup melahirkan dua pandangan besar. Pandangan
pertama yang menautkan gerakan indigenous peoples dengan gerakan agraria dan lingkungan
hidup sebagai penekanan definisi dari ―keaslian‖ (Indigenousness). Penautan tersebut muncul
dan berubah sejalan dengan wacana internasional, kebijakan nasional, dan dinamika lokal, istilah
itu seharusnya dianggap sebagai suatu yang dibentuk secara sosial (Constructivist) (Kingsburry;
1998). Sedangkan, pandangan kedua menyebutkan bahwa istilah indigenous peoples tidak
memiliki cukup keterpautan di Asia, perjuangan ―masyarakat adat‖ menandakan adanya suatu
proses perjuangan melawan dominasi nasionalisme yang dianut Negara dan penduduk mayoritas,
sesuatu yang dialami oleh jutaan orang di Asia yang terpinggirkan, (Acciaoli ; 2000).
Sejalan dengan itu, perjuangan pengakuan hukum masyarakat adat di level nasional
memang terkait dengan relasi masyarakat adat dengan struktur Negara. Wignosoebroto (2014)
menyebutkan sebagai institusionalisasi (Strukturisasi) masyarakat adat melalui kebijakan dan
hukum yang telah ada sejak zaman kolonial sampai dengan sekarang. Institusionalisasi itu
melahirkan berbagai persoalan-persoalan hukum terkait dengan jaminan keberadaan masyarakat
adat (pengakuan hukum masyarakat adat), jaminan hak-haknya yang bersifat spesifik (hak-hak
adat), dan jaminan-jaminan terhadap identititas-identitasnya, termasuk tentang pengakuan

agama-agama adat.
Dalam konteks tersebut, pengakuan masyarakat adat sebagai subjek hukum menjadi
krusial. Pengakuan masyarakat adat sebagai subjek hukum terkait dengan kapasitas hukum untuk
menjamin pelbagai hak-hak masyarakat adat. Pengistilahan masyarakat adat dalam ranah hukum
menjadi perdebatan untuk memastikan ruang lingkup masyarakat adat dan hak-haknya.
Wiratraman (2014) menyebutkan bahwa Berdasarkan UUD 1945 sebagai basis konstitusional
masyarakat adat di Indonesia terdapat dalam pasal 18 B ayat (2) dan 28i ayat (3) serta berbagai
6

peraturan perundang-undangan

yang mengatur masyarakat adat. Pengaturan tersebut

mengisaratkan bahwa :
Pertama, Pengakuan dan penghormatan masyarakat adat tidak bersifat individual, melainkan
pengakuan atas suatu kolektiva, yang disebut ‗kesatuan masyarakat hukum adat,‘
Kedua, Kolektiva itu berkaitan dengan :
a. Unit sosial ‗kesatuan masyarakat hukum adat‘
b. Hak-hak tradisional dari unit sosial tersebut.
Perdebatan kemudian muncul tentang pemaknaan unit sosial masyarakat adat (kesatuan

masyarakat hukum adat). Sejumlah argumentasi menyebutkan bahwa unit sosial itu adalah
‗desa‘, atau sebutan lainnya, seperti nagari di Sumatera Barat, Ohoi di Maluku Tenggara, dan
lain-lain. Sebahagian lain, belum sepenuhnya sependapat dengan hal tersebut, terutama terkait
dengan kesatuan masyarakat hukum adat bisa jadi tak selaras dengan konteks dan realitas yang
terjadi di lapangan. Sebagai contoh, ada komunitas masyarakat adat yang tak secara turun
temurun bermukim di wilayah geografis tertentu, namun memiliki ikatan pada asal usul
leluhurnya, (Wiratraman; 2014).
Selanjutnya, Wiratraman (2014) menjelaskan perlindungan hukum terhadap masyarakat
adat tak semata bersumber atau membaca soal hak atas tanah atas unit sosial tertentu, hak ulayat,
hak atas sumber daya alam, melainkan menjangkau hak-hak lainnya yang diberikan
jaminanannya dalam konstitusi. Misalnya, hak atas jaminan kesehatan, hak atas pendidikan, hak
untuk mengembangkan kehidupan dan budayanya, hak untuk setara di muka hukum dan
pemerintahan, dan hak-hak asasi manusia lainnya. Selain hak-hak tersebut telah dirumuskan
dalam konstitusi juga telah diperkuat oleh instrument hukum internasional, Konvensi ILO 169
dan UNDRIP adalah basis moral hukumnya. Pengaruh moral hukum internasional tentang
pengakuan hak-hak masyarakat adat mencapai puncak pengaruhnya dalam wacana-wacana
pembentukan hukum tentang perlindungan hak-hak masyarakat adat di level nasional pada akhirakhir ini.
2. Eksklusi Sosial Masyarakat Adat dan Lokal

7

Eksklusi sosial masyarakat adat dan lokal berawal dari marjinalisasi kelompok-kelompok
ini dalam proses pembangunan berbasis lahan dan ekstraktif sumber daya alam. Pola
pembangunan tersebut menjadi ancaman serius terhadap eksistensi dan hak-hak masyarakat adat
dan lokal. Ancaman muncul akibat lemahnya jaminan hukum terhadap hak-hak masyarakat adat
dan lokal terhadap tanah dan sumber daya alamnya dalam sistem hukum nasional.
Ketidakpastian hak-hak masyarakat adat dan lokal terhadap tanah dan sumber daya alam
berakibat pada konflik tanah dan sumber daya alam yang menahun. Konflik-konflik tersebut
pada derajat tertentu menjelma menjadi konflik sosial yang kompleks dan serius.
Secara umum, ketidakpastian hak-hak masyarakat adat dan lokal diakibatkan oleh dua
hal, yaitu ; Pertama, pengambilan tanah-tanah adat dan masyarakat lokal dengan dalil hak
menguasai Negara dan kepentingan umum. Pengambilan tanah-tanah adat yang paling besar
adalah pada wilayah kawasan hutan, yaitu seluas sebesar 99,6 juta hektar atau 52,3% luas
wilayah Indonesia (Buku Statistik Kehutanan Indonesia Kemenhut; 2011) atau lebih kurang 70
persen dari luas daratan Indonesia. Kawasan hutan bertumpang tindih dengan tanah-tanah adat
dan desa, sehingga konflik tidak bisa terhindari, terutama setelah kawasan-kawasan hutan
tersebut diberikan kepada pihak swasta melalui konsesi-konsesi kehutanan, Kedua,
penghancuran unit-unit sosial masyarakat adat dan lokal melalui penyeragaman desa. Unit-unit
sosial yang telah hidup seperti nagari, huta, marga dan lain-lain dipangkas hak dan kewenangankewenangan tradisionalnya, terutama dalam penguasaan tanah dan sumber daya alam.
Akibatnya, unit-unit sosial ini tidak lagi mempunyai kapasitas sebagai subjek hukum penguasaan
tanah dan sumber daya alam, seiring dengan hancurnya sistem sosial dan budaya mereka.
Perpaduan pembangunan berbasis lahan dan ekstraktif sumber daya alam dengan
ketidakpastian hak-hak masyarakat adat dan lokal melahirkan kondisi kerentanan bagi
masyarakat adat dan lokal, bahkan pada unit yang lebih kecil, yaitu keluarga dan individu.
Banyak kasus-kasus memperlihatkan bagaimana penghancuran sistem sosial masyarakat adat
dan lokal mempercepat proses pelepasan tanah-tanah adat oleh elit masyarakat adat dan lokal
kepada sektor swasta tanpa persetujuan seluruh anggota masyarakat adat dan lokal.
Perampasan hak-hak masyarakat adat dan lokal atas tanah dan sumber daya alamnya
secara sistemik dan struktural ini merembet pada pelanggaran hak-hak asasi masyarakat adat dan

8

lokal secara luas, yaitu terkait dengan pengabaian identitas masyarakat adat dan pengabaian
terhadap hak sosial dan ekonomi masyarakat adat.
Kondisi rentan Masyarakat adat sebagai unit sosial, unit keluarga dan individu juga
terjadi dalam proses-proses pengambilan keputusan dalam pemerintahan. Otoritas yang besar
pemerintah dan pemerintah daerah yang sentralistik melalui kelembagaan desa meruntuhkan
otonomi masyarakat adat. kelembagaan tradisional secara perlahan namun pasti disingkirkan
secara sistematis oleh kelembagaan modern desa yang administratif, akibatnya keputusankeputusan tentang pemerintahan tidak lagi mempertimbangkan keberagaman budaya dan tradisi
lokal. Keputusan-keputusan tentang pemerintahan yang bersandar pada hukum formal yang
rabun terhadap adat, tradisi dan keberagaman lokal mempertahankan kondisi tersebut terus
berlangsung.
Kerentanan paling besar terjadi pada masyarakat adat yang secara geografis terpencil.
Layanan – layanan dasar masyarakat adat tidak mudah diakses oleh kelompok-kelompok ini.
Posisi tawar mereka yang lemah dalam pengambilan keputusan pada setiap level pemerintahan
semakin dalam pada masyarakat adat terpencil, bahkan dalam situasi tertentu, unit-unit sosial
masyarakat adat yang terisolir ini di abaikan dan disederhanakan dalam unit pemerintahan desa
dan kecamatan, pelayanan dasar kemudian ditumpukan pada unit-unit pemerintahan ini, tanpa
memperhatikan kebutuhan-kebutuhan spesifik masyarakat adat. Kasus marjinalisasi suku anak
dalam di Provinsi Jambi, masyarakat adat kajang di Provinsi Sulawesi Selatan, kesatuan
masyarakat adat lipu di Sumawesi Tengah dan lain-lain menunjukkan hal tersebut.
3. Gerakan Masyarakat Adat dan Lokal
Gerakan masyarakat adat di Indonesia awalnya adalah gerakan lokal menghadapi
dominasi struktural politik, ekonomi dan budaya yang berada dalam tubuh Negara dan modal.
Kolonialisme eropa adalah awal benih-benih gerakan masyarakat adat, yang dalam konteks
tersebut merupakan kontestasi antara ―Pribumi‖ dengan ―Eropa.‖ Politik dualisme sosial,
ekonomi dan politik di masa pemerintahan colonial belanda menjadi basis marjinalisasi
masyarakat adat.
Dengan lahirnya Negara-negara bangsa (Nasionalisme) termasuk Indonesia paska
kolonialisme eropa; dualisme sosial, ekonomi dan politik kolonial tidak sepenuhnya berakhir.
9

Format nasionalisme sempit dan dominasi etnis mayoritas tertentu mengikuti pola marjinalisasi
masyarakat adat yang diwariskan pemerintahan Kolonial belanda. Perampasan-perampasan
tanah-tanah adat dengan dalil hak menguasai Negara dan kepentingan umum melalui hukum dan
kebijakan Negara adalah contoh proses marjinalisasi tersebut. Dikotomi tanah adat versus tanah
Negara, kepentingan umum versus kepentingan masyarakat adat, adalah kelanjutan konsep
dualisme tersebut.
Memang betul, bahwa gerakan-gerakan lokal masyarakat adat paling banyak
termanifestasi pada gerakan agraria dan lingkungan. Gerakan ini mengkritik dominasi Negara
dan modal yang menjalankan pembangunan berbasis lahan dan ektraktif sumber daya alam.
Keadilan agraria dan lingkungan yang berbasis hak-hak adat menjadi basis klaim gerakan lokal.
Protes-protes penguasaan tanah dan hutan oleh Negara dan pihak swasta terjadi, konflik-konflik
menahun dan tidak sedikit diringi dengan represifitas Negara untuk meredam gerakan-gerakan
tersebut, masa orde baru adalah masa paling represif dalam menghadapi gerakan-gerakan lokal
masyarakat adat tersebut.
Seiring dengan itu, gerakan-gerakan lokal masyarakat adat mengalami perkembangan
yang masif pada dua dekade terakhir. Perubahan politik Indonesia paska runtuhnya rezim orde
baru dan berkembangnya gerakan Indigenous peoples yang berkolaborasi dengan gerakan
agrarian dan lingkungan hidup dengan gerakan-gerakan lokal di Indonesia melahirkan gerakan
masyarakat adat berskala nasional. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang lahir
tahun 1999 adalah fenomena perkembangan skala gerakan masyarakat adat Indonesia. AMAN
telah berhasil mengkonsolidasi gerakan masyarakat adat, agraria dan lingkungan hidup dalam
suatu visi gerakan nasional yang terhubung dengan gerakan internasional Indigenous Peoples.
Saat ini, gerakan masyarakat adat berkembang tidak hanya melalu pada perjuangan hakhak atas tanah dan sumber daya alam serta lingkungan. Gerakan masyarakat adat di Indonesia
menjadi gerakan yang lebih luas tentang hak-hak asasi manusia masyarakat adat. Gerakan
masyarakat adat menjadi kritik terhadap marjinalisasi masyarakat adat akibat proses
pembangunan yang berbasis lahan dan ekstraktif sumber daya alam yang abai terhadap
perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia masyarakat adat.

10

Perlindungan hukum hak-hak masyarakat adat dan pengakuan status legal masyarakat
adat (unit sosial masyarakat adat) menjadi isu krusial terkait upaya mendorong implementasi hak
asasi manusia masyarakat adat tersebut. Kemudian, problem-problem perlindungan dan
pengakuan unit sosial masyarakat adat muncul dalam wacan terkini masyarakat adat
(Wiratraman, 2014) , yaitu :
1) Masalah rezim pengakuan bersyarat bagi masyarakat adat sebagai subjek hukum. Pengakuan
bersyarat masyarakat adat menjadi dalil pengabaian posisi, tersubordinasi dari kekuatan
politik lokal, dan termarjinalkan. Dalam konteks ini, ‗otonomi‘ masyarakat adat perlu
ditegaskan.
2) ‗Otonomi‘ saja tidaklah cukup, karena bekerjanya sistem kapitalisme terhadap masyarakat
adat yang bekerja melalui kekuatan elit daerah, desa dan elit adat, berakibat pada
perampasan-perampasan hak-hak masyarakat adat. misalnya, penjualan-penjualan asset
masyarakat adat terjadi melalui kekuatan-kekuatan elit tersebut, maka dalam konteks
tersebut, hukum Negara dan hukum adat diupayakan bisa berinteraksi untuk mencegah
perampasan-perampasan hak-hak masyarakat adat tersebut.
3) Penghancuran sistem sosial budaya. Dalam konteks politik hukum seringkali subordinasi
pemerintahan lokal dan sistem masyarakat adat terjadi, yang sekaligus merupakan bentuk
pengabaian identitas politik kewargaan di tingkat lokal. Misalnya pemberlakukan UU Desa
di masa Orde Baru menghancurkan system politik, sosial dan budaya masyarakat adat
dengan penyeragaman desa sehingga system pemerintahan adat yang bekerja secara turun
temurun dihilangkan secara sistematik.
Dalam perkembangannya, gerakan masyarakat adat di Indonesia bersentuhan dengan
relasi hubungan masyarakat adat dengan Negara dan kritik terhadap pola pembangunan yang
memarjinalkan masyarakat adat. Dalam hal relasi hubungan Negara dan masyarakat adat,
gerakan masyarakat adat menjadi gerakan untuk pembaruan hukum dengan mendorong
implementasi hak asasi manusia dan perlindungan konstitusi hak-hak masyarakat adat. Gerakan
masyarakat adat ingin mendorong upaya pembaruan hukum yang menjamin hak-hak masyarakat
adat tersebut, tidak lagi pada upaya dikotomis Negara versus masyarakat adat, akibatnya
penggunaan institusi formil Negara yaitu; legislatif dan peradilan jamak dilakukan oleh gerakan
masyarakat adat ini. Putusan Mahkamah Konstitusi No.35 tahun 2012 tentang pengakuan hutan
11

adat adalah bentuk keberhasilan gerakan masyarakat adat untuk mendorong perlindungan dan
pengakuan hukum masyarakat adat dan hak-haknya melalui jalur-jalur formal negara.
Di sisi lain, keterbatasan gerakan masyarakat adat dalam memperjuangkan hak-haknya
adalah kebimbangan untuk memecahkan persoalan mendasar masyarakat adat, yaitu tentang
identifikasi unit sosial masyarakat adat yang tepat untuk dilindungi oleh hukum. Dalam konteks
konteks tersebut, kejelasan unit sosial masyarakat adat, terutama yang berbasis geneologis mesti
dipecahkan untuk menghilangkan kekhawatiran gerakan masyarakat adat menjadi gerakan
etnisitas atau dalam terma politik sebagai gerakan separatis. Kejelasan menentukan unit sosial
juga berhubungan dengan model apa yang paling tepat tentang relasi masyarakat adat dengan
Negara, atau disebut dengan otonomi masyarakat adat dalam struktur Negara.
4. Respon Negara dan Kelompok Bisnis terhadap Masalah-Masalah Eksklusi Sosial
Masyarakat Adat dan Lokal
Respon Negara dalam mengatasi persoalan mendasar terhadap masalah-masalah eksklusi
sosial masyarakat adat dan lokal belum menyeluruh. Persoalan mendasar tentang perlindungan
dan pengakuan masyarakat adat dan lokal dan hak-haknya terutama hak-hak atas tanah dan
sumber daya alam belum maksimal dilaksanakan. Politik hukum dan kebijakan Negara terhadap
persoalan agraria dan sumber daya alam masih bertumpu pada penguasaan dominan Negara.
Penguasaan dominan Negara tersebut dilaksanakan melalui penetapan kawasan hutan dan
penetapan tanah-tanah Negara. Persoalan kawasan hutan dan tanah-tanah Negara yang
bertumpang tindih dengan tanah-tanah masyarakat adat dan lokal tidak menjadi prioritas
mendasar untuk diselesaikan, indikatornya adalah ; Pertama, belum adanya mekanisme
penetapan status tanah-tanah masyarakat adat dan lokal yang kuat. Kedua, pengurusan sumber
daya alam yang sektoral berbasis komoditi minim pada perlindungan hak-hak masyarakat adat
serta lokal. Ketiga, belum adanya kebijakan yang kuat untuk mengembangkan kelembagaan
masyarakat adat dan lokal dalam mengelola sumber daya alam berdasarkan adat dan nilai-nilai
tradisi.
Seiring dengan itu, gerakan sosial telah mampu menerobos kebuntuan hukum dan
kebijakan terkait perlindungan hak-hak masyarakat adat dan lokal atas sumber daya alam melalui
upaya legislasi dan peradilan. Putusan Mahakamah Konstitusi No.35 tentang Pengakuan Hutan
12

Adat dan Pengaturan Desa Adat dalam UU Desa adalah hasil dari upaya-upaya tersebut. Namun
hal tersebut tidak dibarengi dengan implementasi kebijakan yang bersifat operasional, akibatnya
perlindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat dan lokal atas sumber daya alam masih
belum mampu dipenuhi secara utuh.
Disisi lain, kelompok bisnis atau swasta telah mulai memperhatikan persoalan hak-hak
masyarakat adat dan lokal sebagai sesuatu yang penting dalam investasi berbasis sumber daya
alam. Kelompok bisnis bersama dengan gerakan sosial mulai mengembangkan forum-forum
multi pihak seperti Rountable Sustainable Palm Oil (RSPO) yang salah satu fungsinya adalah
memecahkan konflik sumber daya alam. Upaya-upaya tersebut adalah sinyal untuk
mengembangkan adopsi hak asasi manusia terutama hak-hak masyarakat adat dan lokal dalam
bisnis. Sayangnya, inisiatif kelompok bisnis dan gerakan sosial pendukung masyarakat adat atau
lokal tidak direspon dengan baik oleh Negara dengan memperkuat pengaturan perlindungan hakhak masyarakat adat atau lokal, akibatnya pelanggaran hak-hak masih terjadi.
Dalam konteks yang lebih luas, kerentanan hak-hak masyarakat adat dan lokal atas tanah
dan sumber daya alam menempatkan masyarakat adat dan lokal pada kerentanan menghadapi
struktur Negara dan modal. Hilangnya hak-hak tersebut diringi dengan hilangnya hak-hak asasi
masyarakat adat, baik secara kolektif maupun pada unit yang lebih kecil, yaitu keluarga dan
individu, seperti hak-hak atas pangan, pekerjaan dan lahan.
***

13

REFERENSI :
Ahmad Sodiki (2013), Politik Hukum Agraria, Konstitusi Press, Jakarta.
Claudia D‘ Andrea (2013) Kopi, Adat dan Modal : Teritorialisasi dan identitas adat di Taman
Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah, SAINS, Bogor.
Herman Hidayat (2008) Politik Lingungan : Pengelolaan hutan masa orde baru dan reformasi,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Hariadi Kartodihardjo, ed (2013) Kembali Ke Jalan Lurus : Kritik penggunaan ilmu praktek
kehutanan Indonesia, Forci dan Tanah Air Beta, Yogyakarta.
HuMa dan Epistema Institute (2013) Prosiding Simposium Masyarakat Adat : Masyarakat Adat
Sebagai Subjek Hukum, HuMa dan Epistema Institute, Jakarta.
Ida Aju Pradnya Resosudarmo dan Carol J. Pierce Colfer (2003), Ke Mana Harus Melangkah :
Masyarakat, Hutan Dan Permusuan Kebijakan di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta.
Koesmadi Hardjosoemantri (2006) Ekologi, Manusia dan Kebudayaan : Kumpulan tulisan
terpilih Prof. Dr. Koesmadi Hardjosoemantri, SH, M.L, HuMa, Fakultas Hukum UGM,
Yogyakarta.
Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono, ed (2010) Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia
: Studi tentang tanah, kekayaan alam, dan ruang di masa colonial dan desentralisasi,
HuMa dan Van Vollenhoven Institute, Jakarta.
Rikardo Simarmata, ed (2013) Pluralisme Hukum : Sebuah Pendekatan Interdisiplin, HuMa ,
Jakarta.
Nurhasan Ismail, (2007) Perkembangan Hukum Pertanahan : Pendekatan ekonomi politik, HuMa
dan Magister Hukum UGM, Jakarta.
Tania Murray Li (2012), The Will to Improve : Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di
Indonesia, Marjin Kiri, Tangerang Selatan

14

Warman K, Sardi I, Andiko, Galudra G. 2012. Studi Kebijakan Penguatan Tenurial Masyarakat
Dalam Penguasaan Hutan. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA
Regional Office and Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum yang Berbasiskan
Masyarakat dan Ekologis (HuMa).

15