BHP Ditolak, BLU Jalan Terus

BHP Ditolak, BLU Jalan Terus?

Sebagian kecil mahasiswa yang peduli dan sejumlah elemen yang bahu membahu
memperjuangkan penolakan terhadap Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), patut
bersyukur karena satu tahap perjuangan sudah membuahkan hasil. Putusan Mahkamah Konstitusi
pada tanggal 31 Maret 2010, menolak keberadaan UU BHP. Sebuah keputusan
yang cukup memenuhi rasa keadilan dan berpihak pada rakyat. Alasan utama ditolaknya UU BHP
bukan hanya karena banyaknya pasal-pasal yang bermasalah, melinkan UU BHP pun bertentangan
dengan amanah konstitusi UUD 1945.

Penolakan UU BHP oleh MK memunculkan beragam reaksi. Semisal PTN yang telah
mempersiapkan diri untuk merubah status menjadi BHP lewat Badan Layanan Umum (BLU). PTN
yang sudah ber-BLU tetap keukeh u tuk ber eta orfosis e jadi BLU. Padahal, Logika ya
ketika BHP di tolak maka sudah seharusnya BLU juga tidak diteruskan.

Argumen yang sering dikemukakan, dengan BLU pihak PTN akan lebih mudah mengelola
keuangan yang masuk, tanpa harus masuk ke kas negara. PTN dapat mengelola uang
pendapatannya untuk keperluan operasional secara langsung, tanpa harus membuat proposal
pengajuan terlebih dahulu. Fleksibilitas dan otonomi keuangan PTN. persoalannya apakah solusi
masalah pendidikan hanya bermuara pada masalah keuangan saja. Bisa jadi dengan BLU menjadi
akar munculnya masalah-masalah baru di perguruan tinggi negeri.


Badan Layanan Umum (BLU): Kontradiktif dengan Undang-Undang Lainnya

Sebelum membahas lebih jauh barangkali kita perlu melihat apa sebenarnya yang
dimaksud dengan BLU. Definisi BLU dapat ditemukan dalam (Pasal 68 UU No. 1/2004 tentang
Perbendaharaan Negara). BLU adalah Instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual
tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada
prinsip efisiensi dan produktivitas.

BLU memiliki sejumlah kriteria diantaranya dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan
produktivitas ala korporasi; berperan sebagai agen dari menteri/pimpinan lembaga induknya.
Selain itu untuk dapat menyelenggarakan BLU memerlukan sejumlah persyaratan salah satunya
adalah persyaratan administratif di dalamnya ada keharusan membuat

Rencana Strategis Bisnis. Peluang ini secara khusus disediakan bagi satuan kerja pemerintah yang
melaksanakan tugas operasional pelayanan publik. Menilik penjelasan di atas maka konsep BLU
lebih cocok diterapkan di Rumah Sakit Pemerintah, Jasa angkutan seperti Trans Jakarta, dan
layanan publik yang lain. Dengan kata lain BLU adalah upaya mewiraswastakan pemerintah
(enterprising government).


BLU sendiri memiliki sejumlah kelemahan sebagaimana ditulis oleh Wirawan Purwa Yuwana yang
mengemukakan 3 rencana dosa yang berkaitan dengan BLU. Pertama, pola pengelolaan kas BLU
menghambat proses pembentukan Treasury Single Account sebagai mana diamanatkan UU
Perbendaharaan Negara. Sesuai dengan pasal 16 PP 23 tahun 2005 BLU menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan pengelolaan kas.

Aturan ini menjadi kelihatan tidak beres setelah dibandingkan dengan pasal 12 ayat (2) dan pasal
13 ayat (2) UU Perbendaharaan Negara. Ketentuan perbendaharaan negara menyebutkan bahwa
semua penerimaan dan pengeluaran negara/daerah dilakukan melalui Rekening Kas Umum
Negara/Daerah. BLU yang diberi kewenangan untuk memperoleh pendapatan selain dari
APBN/APBD yaitu sehubungan dengan jasa layanan, hibah dan sumbangan. Suryohadi Djulianto,
penasehat KPK, dengan tegas menyatakan bahwa apapun alasannya perbuatan menghimpun dana
non budgeter adalah perbuatan melawan hukum. Demikian juga BLU yang menghimpun dana di
luar APBN dan APBD serta tidak mencantumkan dalam rencana kerja telah melanggar UU
Perbendaharaan Negara.

Kedua, BLU dapat menggunakan surplus anggarannya untuk kepentingan BLU tersebut. Hal ini
dengan gamblang disebutkan dalam pasal 29 PP 23 tahun 2005, yaitu Surplus anggaran BLU dapat
digunakan dalam tahun anggaran berikutnya kecuali atas perintah Menteri

Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, disetorkan sebagian atau
seluruhnya ke Kas Umum Negara/Daerah dengan mempertimbangkan posisi likuiditas BLU.

Jika dibandingkan dengan pasal 3 UU Keuangan Negara, maka aturan mengenai surplus BLU
tersebut telah menganakemaskan BLU sehingga tidak tercermin adanya keadilan. Pasal 3 ayat (7)
UU Keuangan Negara menyebutkan bahwa: Surplus penerimaan/negara dapat digunakan untuk
membiayai pengeluaran negara/daerah tahun anggaran berikutnya. Selanjutnya pada ayat
berikutnya dijelaskan Penggunaan surplus penerimaan negara/daerah untuk membentuk dana
cadangan atau penyertaan Perusahaan Negara/Daerah harus memperoleh persetujuan terlebih
dahulu dari DPR/DPRD.

Perbandingan kedua aturan yang mengatur surplus angaran ini menunjukkan bahwa BLU memiliki
daya tawar keuangan yang lebih tinggi dibandingkan Perusahaan Negara/Daerah.

Ketiga, keberadaan BLU sebagai bukan subjek pajak telah melanggar Undang-undang Nomor 7
tahun 1983 stdtd Undang-undang Nomor 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Pada
pasal 14 PP 23 tahun 2005 dijelaskan bahwa pendapatan BLU dilaporkan sebagai pendapatan
negara bukan pajak kementrian/lembaga atau pendapatan negara bukan pajak pemerintah
daerah.


BLU Universitas Negeri: Wajah Setengah Hati Negara

Perguruan Tinggi Negeri (PTN) baik yang berstatus BHMN maupun yang berstatus Universitas
Negeri agaknya akan ramai-ramai menjadi BLU. Sebuah pilihan yang ironis, sebuah lembaga
pendidikan yang secara hukum tidak berpijak pada UU pendidikan tapi UU perbendaharaan negara
yang secara substansial berlawanan dengan Undang-undang yang lainnya sebagaimana dijelaskan
di atas.

Persoalannya adalah ketika Universitas Negeri menjadi BLU apakah sesuai dengan ruh
pendidikan nasional? Dalam konsepsi pendidikan nasional sebagaimana terdapat dalam UUD 1945
dan UU Sisdiknas 2003 bahwa negara memiliki tanggungjawab khusus atas penyelenggaraan
pendidikan nasional, wujud konkrit dari tanggungjawab khusus tersebut adalah antara lain adanya
Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan sekolah-sekolah negeri. Jika Universitas Negeri menjadi BLU
maka status negeri itu menjadi tidak utuh, negara melepaskan sebagian tanggungjawabnya
terhadap dunia pendidikan. Dalam bahasa lain BLU adalah wajah setengah hati Negara dalam
berpihak pada dunia pendidikan.

Efek lanjut dari status BLU Universitas adalah keleluasaan Universitas mengelola keuangan
(otonomi keuangan). Ketika otonomi keuangan ini dijalankan, secara otomatis kebijakan
pendapatan seutuhnya dilakukan kampus. Upaya memperoleh pendapatan kampus yang paling

mudah adalah dari SPP mahasiswa, karenanya kenaikan SPP dengan persentase yang besar adalah
keniscayaan.

Di sisi lain BLU bertanggungjawab untuk menyajikan layanan yang diminta, dengan kata lain PTN
yang menjadi BLU akan mengelola pendidikan layaknya seperti perusahaan. Hal ini bermakna BLU
adalah upaya mewiraswastakan pemerintah (enterprising government).

Meskipun BLU dibentuk tidak untuk mencari keuntungan, akan tetapi letak enterprising-nya dapat
dilihat pada pasal 69 ayat (6) bahwa pendapatan BLU dapat digunakan langsung untuk membiayai
belanja BLU yang bersangkutan.

Pendapatan yang dimaksud itu dapat diperoleh dari hibah, sumbangan, atau sehubungan dengan
jasa layanan yang diberikan. Ketika lembaga pendidikan sudah berubah fungsi menjadi
perusahaa i i berte ta ga de ga ko sepsi pe didika ya g dike ukaka oleh bapak
pendidikan kita Ki Hajar Dewantara.

Pendidikan merupakan usaha kebudayaan (-bukan perusahaan komersil-) yang
bermaksud membimbing hidup dan tumbuh kembangnya jiwa raga anak didik agar melalui garis
kodrat pribadinya dan pengaruh lingkungannya, peserta didik mengalami kemajuan lahir dan
batin. Dengan perubahan lembaga pendidikan menjadi BLU maka tugas lembaga pendidikan

untuk mendidik dan menanamkan nilai-nilai agar menghasilkan manusia yang berbudaya akan
mengalami hambatan serius karena terkontaminasi kepentingan modal perusahaan.

Otonomi Pendidikan: Bukan Otonomi Keuangan

Banyak jalan menuju otonomi, langkah tergesa-gesa banyaknya lembaga pendidikan tinggi untuk
menuju fully otonom, agak mengkhawatirkan. Jika yang dimaksud adalah otonomi akademik maka
kita selaku masyarakat kampus sangat mendukung penuh, namun jika yang dimaksud otonomi
keuangan di mana kampus harus mencari dana sendiri padahal kampus negeri ini adalah amanah
konstitusi sebagai tanggungjawab khusus negara, maka otonomi ini kehilangan akar historis dan
akar konstitusinya. Ada semacam bias ontologis dari identitas universitas negeri.

Otonomi pendidikan dimaknai pemerintah sebagai upaya negara untuk memberi kebebasan pada
instansi pendidikan, agar lebih mudah dalam mengatur manajeman, baik keuangan maupun
akademik. Makna otonomi yang demikian itu bisa e jadi bo era g ketika le baga pe didika
negeri juga disibukkan untuk mencari dana layaknya sebuah perusahaan.

Otonomi pendidikan PTN seharusnya dimaknai sebagai otonomi akademik, otonomi research,
otonomi pemikiran, otonomi gagasan dan otonomi pengelolaan yang pada akhirnya memberi


manfaat besar bagi pendidikan dan bangsa Indonesia secara lebih luas, sehingga tidak kehilangan
ruh pendidikan nasionalnya.

Soal keuangan biarlah sebagian besar ditanggung negara sebagian kecil ditanggung masyarakat
melalui SPP mahasiswa karena PTN adalah milik negara apalagi jelas-jelas menyebutkan
identitasnya sebagai Universitas Negeri. Pertanyaan kita dengan anggaran pendidikan 20 % Berapa
banyak sih PTN negeri di Indonesia yang dapat dibiayai?? Lebih khusus lagi berapa banyak PTN
yang ada di Ibukota Negara sehingga Pemerintah begitu berat mengeluarkan dana untuk anakanak bangsa yang ingin mengenyam pendidikan tinggi di negeri ini?