B AB 2 T I NJ AUAN PUST AK

BAB 2
T I NJ A UA N PUST A K A
2.1. A natomi G injal
Ginjal terselubungi oleh suatu lapis jaringan fibrosa yang disebut hilum
yang tampak halus akan tetapi kuat. Lapisan ini menyelubungi ginjal dengan
sangat ketat, tetapi dapat terbuka dengan mudah. Di bawah lapisan tersebut maka
dapat terlihat ginjal dengan permukaannya yang halus dan berwarna merah tua. Di
Tengah-tengah ginjal terdapat rongga yang disebut sinus; rongga tersebut juga
terlapisi oleh hilum (Gray, 1995).
Segala benda seperti pembuluh darah dan duktus ekskretorik akan
memasuki ginjal melalui fisura tersebut. Duktus ekskretorik ginjal, ureter setelah
masuk ke dalam ginjal akan melebar seperti sebuah kerucut, struktur ini
dinamakan pelvis. Pelvis akan bercabang menjadi dua atau tiga percabangan yang
akan memisah lagi yang disebut dengan calices atau infundibula; semua struktur
tersebut berada di dalam rongga ginjal (Gray, 1995).
Bagian korteks dari ginjal berwarna merah muda, lunak, granular, dan
mudah terlaserasi. Bagian yang memisah sisi-sisi dari dua piramid dimana arteri
dan nervus masuk, dan dimana vena dan kelenjar limfe keluar dari ginjal disebut
cortical coloumn atau columna Bertini; sementara porsi yang menghubungkan
antara satu cortical coloumn dengan yang lainnya disebut cortical arch dengan
kedalaman yang bervariasi dari 0,8-1,3 cm (Gray, 1995).

Bagian medulla dari ginjal, seperti yang telah ditulis sebelumnya,
berwarna merah, striated, dan memiliki massa berbentuk kerucut, pyramids of
Malpighi; jumlahnya bervariasi dari 8-18 bergantung pada pembentukan lobus
organ pada masa embrional (Gray, 1995).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1 Ginjal, parenkim dan pelvis ginjal terpapar (Netter, 2003 hal. 334)

Tubuli uriniferi yang membentuk sebagian besar dari ginjal mulai dari
korteks ginjal, lalu membentuk suatu sirkuit melalui korteks dan medulla, dan
akhirnya berakhir di apeks Malpighian pyramids dimana cairan yang berada di
dalam tubulus tersebut mengalir ke kaliks yang berada di dalam sinus ginjal. Bila
permukaan dari salah satu papila diamati, maka dapat terlihat bahwa permukaan
papila tersebut bertaburkan dengan depresi-depresi yang berjumlah 16-20, dan
bila sediaan ginjal yang segar diberi tekanan maka dapat terlihat cairan yang
terpancarkan dari depresi-depresi tersebut. Depresi-depresi tersebut bermula di
korteks sebagai Malphigian bodies, Badan-badan tersebut hanya terdapat pada
bagian korteks ginjal. Setiap badan tersebut terbagi atas dua bagian: suatu
gumpalan pembuluh darah, Malphigian tuft; dan suatu membran pembungkus,

Malphigian capsule, atau capsule of Bowman (Gray, 1995).

Universitas Sumatera Utara

Tubuli

uriniferi

yang

bermula

pada

Malphigian bodies

dalam

perjalanannya melewati korteks dan medulla dari ginjal. Setelah melewati
Malphigian capsule akan ada suatu penyempitan yang disebut neck atau leher dari

tubulus tersebut. Setelah itu maka tubulus akan berbelit pada bagian korteks
membentuk proximal convoluted tubule. Dalam perjalanannya ke daerah medulla
tubulus membentuk suatu spiral yang disebut spiral tube of Schachowa. Pada
daerah medulla, tubulus tiba-tiba mengecil dan melandai ke dalam piramid
dengan kedalaman yang bervariasi membentuk descending limb of Henle’ s loop;
lalu tubulus akan melengkung naik (loop of Henle), membesar membentuk
ascending limb of Henle’ s loop dan kembali memasuki ke korteks. Ascending
limb of Henle lalu membentuk distal convoluted tubule yang menyerupai
proximal convoluted tubule; ini akan berakhir dengan suatu lengkungan yang
memasuki collecting tube (Gray, 1995).

2.2. Penyakit G injal K ronik
2.2.1. Gambaran Umum
Hilangnya fungsi ginjal secara progresif. Pada awalnya ginjal akan
mengkompensasi kerusakan yang telah terjadi dengan cara hiperfiltrasi dengan
nefron-nefron yang tersisa. Seiring dengan waktu, hal ini sendiri dapat
menyebabkan kehilangan fungsi ginjal.
Hilangnya fungsi ginjal secara kronis menyebabkan atropi dan membentuk
jaringan parut secara progresif pada seluruh ginjal. Akan tetapi, gejala-gejala
gagal ginjal hanya akan timbul setelah rusaknya 70% dari total fungsi kedua belah

ginjal (Swierzewski, 2011).

2.2.2. Etiologi
Beberapa kelainan telah dihubungkan dengan penyakit ginjal kronis.
Penyakit ginjal primer (contoh: glomerulonephritis, pyelonephritis, congenital
hypoplasia) atau penyakit sekunder (Contoh: penyakit sistemik seperti diabetes
melitus atau lupus erythematosus) dapat menyebabkan penyakit ginjal kronis.
Selain daripada itu, sekarang dianggap hiperfiltrasi pada nefron yang normal

Universitas Sumatera Utara

memberi beban lebih dan kerusakan pada jaringan ginjal yang tersisa. Selain
daripada itu, perubahan fisiologi sekunder dari dehidrasi, infeksi, uropati
obstruktif, atau hipertensi dapat menyebabkan penderita borderline menjadi
uremia kronik tidak terkompensasi (Amend & Vincenti, 2008).

2.2.3. Klasifikasi
Pada tahun 2003, Perazella dan Reilly menetapkan suatu klasifikasi dari
penyakit ginjal kronis berdasarkan laju filtrasi glomerulus. Dengan adanya suatu
sistem klasifikasi ini, maka diharapkan faktor-faktor yang mempercepat progresi

dari penyakit ginjal kronis, pengobatan yang akan diberikan, efek yang tidak
diinginkan dapat diketahui dan ditetapkan dengan lebih mudah. Selain itu, suatu
klasifikasi juga dapat digunakan untuk pedoman klinis, dan program peningkatan
kualitas (Perazella & Reilly, 2003).
Tabel 2.1. Klasifikasi dan Perencanaan Tindakan Penyakit Ginjal

Sumber: Perazella dan Reilly, 2003.

Universitas Sumatera Utara

2.2.4. Gambaran Klinis
Pada penyakit ginjal kronis (PGK) yang ringan, terkadang tidak dapat
ditemukan gejala apapun. Gejala seperti pruritus, malaise, kejenuhan, mudah lupa,
berkurangnya libido, mual, dan mudah lelah merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada penderita PGK. Gagal tumbuh merupakan keluhan utama pada
penderita pra-remaja. Gejala kelainan multi-sistem seperti systemic lupus
erythematosus juga secara kebetulan dapat terlihat. Kebayakan penderita PGK
memiliki tekanan darah yang tinggi yang disebabkan oleh overload cairan atau
hiperreninemia. Akan tetapi beberapa penderita memiliki tekanan darah yang
normal atau rendah; hal ini dapat terjadi bila penderita memiliki kecenderungan

hilagnya garam pada ginjal seperti pada medullary cystic disease. Denyut nadi dan
laju nafas cepat akibat dari anemia dan asidosis metabolik. Pada penderita PGK
stadium V dapat terlihat adanya uremic fetor, pericarditis, asterixis, perubahan
pemikiran, dan neuropati perifer. Apabila ginjal dapat diraba, maka diduga
polycystic disease. Pemeriksaan dengan oftalmoskop dapat menunjukkan adanya
retinopati hipertensif atau diabetik retinopati. Perubahan pada kornea biasanya
dihubungkan dengan penyakit metabolik seperti F abry disease, cystinosis, dan
Alport hereditary nephritis (Amend & Vincenti, 2008).

2.2.5. Penatalaksanaan
Berdasarkan penelitian terbaru beberapa obat dapat memperlambat
kemajuan PGK. Pendekatan ini meliput penggunaan angiotensin-converting
enzyme inhibitors (ACE-inhibitor), angiotensin receptor blocker (ARB), lipidlowering agents, dan aldosterone antagonist. Pasien harus diobservasi dengan
cermat untuk mencegah terjadinya hiperkalemia (Amend & Vincenti, 2008).
Secara umum, manajemen dari PGK harusnya secara konservatif hingga
penderita sudah tidak dapat menjalankan gaya hidup normalnya. Pembatasan diet
protein (0,5 g/kg/hari), kalium, dan fosfor dianjurkan. Sama halnya dengan
keseimbangan natrium dalam diet, sehingga penderita tidak mengalami kelebihan
atau kekurangan natrium; hal ini sebaiknya dilakukan dengan pemantauan berat
badan penderita secara akurat dan sering. Penggunaan bikarbonat secara oral


Universitas Sumatera Utara

dapat membantu pada kasus asidemia sedang. Sedangkan anemia dapat ditangani
dengan pemberian erythropoietin rekombinan secara subkutan (Amend &
Vincenti, 2008).
Bila kegagalan ginjal sudah terjadi maka dapat dilakukan beberapa hal,
seperti dialisis peritoneal kronik, hemodialisis kronik, dan pencangkokkan ginjal.
Pilihan utama dalam renal replacement therapy ini adalah hemodialisis kronik
yang menggunakan membran dialisis semi-permeable. Dialisis peritoneal hanya
akan dilakukan bila pasien memilihnya atau bila tidak ditemukannya akses
vaskular untuk menjalankan hemodialisis. Pencangkokkan ginjal merupakan
pilihan yang relatif karena banyak efek samping yang dapat terjadi.
Pencangkokkan dapat memberi resiko onkogenik dan efek-efek samping dari
obat-obatan yang diberi untuk mengatasi reaksi penolakan tersebut; seperti efek
immunosuppressant yang menyebabkan kerentanan terhadap infeksi dan adanya
supresi sumsum tulang (Amend & Vincenti, 2008).

2.3. H emodialisis
Pelaksanaan HD dilaksanakan bila penderita telah mencapai PGK stadium 5

atau gagal ginjal. Bila laju filtrasi glomerulus (LFG) penderita berkurang hingga
30 atau telah mencapai stadium 4 PGK, maka sebagai seorang dokter harus
menjelaskan pilihan-pilihan terapi untuk PGK (National Kidney Foundation,
2007).
HD akan dapat membantu penderita dengan mempermudah kerja ginjal.
Mengekskresi zat-zat sisa, garam, dan cairan yang berlebih agar tidak
terakumulasi dalam sirkulasi tubuh; menjaga beberapa zat kimia dalam kadar
yang aman bagi tubuh. Selain itu, proses HD juga akan meregulasi tekanan darah
pasien (National Kidney Foundation, 2007).
Mesin dialisis memiliki suatu filter yang disebut dialyser, atau ginjal
artifisial. Untuk dapat menyaring darah melalui dialyser maka harus dibuat suatu
akses pada pembuluh darah; hal ini dapat dilakukan dengan bedah minor,
biasanya pada lengan penderita (National Kidney Foundation, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Akses dapat dilakukan dengan tiga cara: fistula, graft, atau kateter. Fistula
merupakan pilihan pertama karena tidak komplikasinya sedikit dan dapat bertahan
lebih lama. Pembuatan akses fistula harus dilakukan sedikitnya enam bulan
sebelum HD dimulai agar lokasi akses dapat sembuh dengan sempurna. Fistula

dibuat dengan cara menghubungkan arteri dengan vena yang ada di bawah kulit.
Bila fistula tidak dapat dilakukan, maka akan dilakukan proses graft; akses ini
mirip dengan fistula, tetapi arteri dan vena dihubungkan oleh tabung sintetis yang
lembut yang akan diletakkan di bawah kulit (National Kidney Foundation, 2007).
Setelah fistula atau graft sembuh, maka HD dapat dilaksanakan. Dalam
proses HD akan digunakan dua jarum; satu dimasukkan ke sisi arteri dan yang
lainnya di sisi vena pada tempat akses. Kedua jarum tersebut akan disambung ke
tabung plastik dimana satu jarum akan mengalirkan darah ke dialyser dan yang
satunya lagi mengalirkan darah kembali ke tubuh (National Kidney Foundation,
2007).
Cara akses yang terakhir disebut kateter. Kateter ini diinsersi pada vena
leher atau dada. Akses ini biasanya digunakan hanya untuk sementara; dapat juga
digunakan secara permanen tetapi hanya bila fistula dan graft tidak dapat
dilakukan. Kateter dapat langsung disambungkan ke alat dialisis tanpa
penggunaan jarum-jarum (National Kidney Foundation, 2007).
Dialyser terbagi atas dua bagian, darah dan cairan pembersih yang disebut
dialysate dengan suatu membran semi permeabel yang memisahkannya. Sel-sel,
protein dan zat-zat penting lainnya tetap berada dalam darah sedangkan zat-zat
sisa dan semua produk toksik lainnya seperti urea, kreatinin dan cairan yang
berlebih dibuang. Dialysate dapat dibuat sesuai dengan kondisi penderita

(National Kidney Foundation, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3 - Diagram hemodialisis (National Kidney Foundation, 2007)

2.4. I ndeks M assa T ubuh
Indeks massa tubuh (IMT) merupakan suatu satuan penilaian status nutrisi
seseorang. IMT dapat dihitung dari pengukuran berat badan (BB) dalam satuan
kilogram dan tinggi badan (TB) dalam satuan meter dengan rumus BB/TB².
Berdasarkan IMT maka status seseorang dibagi atas empat kelompok yaitu,
underweight (30)
(NHLBI, 2011). PGK dapat menyebabkan penurunan pada status IMT seseorang.
Hal ini dapat terjadi akibat adanya penurunan kemampuan sel-sel tubuh dalam
mengambil glukosa (Liu & Chertow, 2008).
Proses HD sendiri dapat berpengaruh dalam perubahan IMT penderita PGK
karena HD dapat menyebabkan rasa mual, disorientasi dan kegelisahan. Hal
tersebut juga dapat mengurangi nafsu makan (anoreksia), yang akan berakhir
dengan malnutrisi pada penderita yang menjalani HD. Efek-efek samping dari HD
dapat terjadi akibat hipotensi, reaksi alergi, infeksi, dialysis disequilibrium,


Universitas Sumatera Utara

anemia dan dialisis asetat yang dapat terjadi pascaHD. Bila seorang penderita
ternyata mengalami penurunan berat badan melebihi berat kering (berat yang
diprediksi pascaHD), penderita tersebut juga dapat mengalami rasa mual dan lelah
(AAKP, 2011 & Shankar, 2008).
Perbaikan status IMT pada penderita yang menjalani HD terbukti sangat
penting. Dalam suatu penelitian telah disebutkan bahwa penderita PGK yang
menjalani HD dengan status IMT overweight dan obese terbukti memiliki resiko
mortalitas yang lebih rendah. Salahudeen pada tahun 2003 melakukan penelitian
kohort pada 1300 penderita yang menjalani HD dan mendapatkan hasil bahwa
penderita yang overweight dan obese mempunyai 12-month survival yang lebih
baik dibandingkan dengan penderita underweight dan normoweight. Data yang
didapati dalam penelitian itu juga menyatakan bahwa setiap kenaikan unit IMT
mengurangi resiko relatif mortalitas penderita sebanyak 10% (Salahudeen, 2003).

Universitas Sumatera Utara