Strategi Penguatan Modal Sosial Pedagang Kaki Lima Di Kawasan Alun-Alun Taliwang Di Kabupaten Sumbawa Barat.

STRATEGI PENGUATAN MODAL SOSIAL
PEDAGANG KAKI LIMA
DI KAWASAN ALUN-ALUN TALIWANG

WIHARTI MEIRIANA SARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Penguatan
Modal Sosial Pedagang Kaki Lima di Kawasan Alun-Alun Taliwang adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informai yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhira tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2015

Wiharti Meiriana Sari
NRP I354120275

RINGKASAN
WIHARTI MEIRIANA SARI. Strategi Penguatan Modal Sosial Pedagang Kaki
Lima di Kawasan Alun-Alun Taliwang di Kabupaten Sumbawa Barat. Dibimbing
oleh SOERYO ADIWIBOWO dan SARWITITI S. AGUNG
Timbulnya sektor informal di perkotaan tidak lain sebagai akibat adanya
ketimpangan dalam pasar tenaga kerja. Jumlah angkatan kerja yang terus
bertambah sebagai akibat adanya urbanisasi dan ketidakmampuan memenuhi
tuntutan pekerjaan sektor formal yang mengharuskan memiliki kualifikasi
pendidikan dan keterampilan memadai, akhirnya mendorong angkatan kerja harus
masuk ke sektor informal untuk bisa terus bertahan hidup di perkotaan. Sektor
informal memiliki berbagai wujud, namun wajah utama sektor informal perkotaan adalah
Pedagang Kaki Lima (PKL). Aktivitas perdagangan dikalangan PKL merupakan
„arena‟ dimana relasi antarmanusia berlangsung intensif. Dalam relasi atau proses

sosial tersebut dapat dikatakan senantiasa terlibat aspek modal sosial (social
capital) Syahyuti (2008). Bahkan menurut Schiff (2000) di era modern ini, dimana

terjadi perdagagan bebas (free trade) dan migrasi bebas (free migration), modal
sosial justru semakin dibutuhkan kehadirannya.
Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Kuang Kecamatan Taliwang. Sebagian
besar fasilitas umum dan perkantoran berada di Kelurahan Kuang dan sekitarnya. Salah
satunya adalah Alun-Alun Kota Taliwang. PKL di Taliwang dapat dikatakan belum
sebanyak di kota-kota besar lain, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa jika
keberadaan PKL di Taliwang tidak ditata dari awal maka PKL di Taliwang akan
berkembang tidak beraturan dan mengundang masalah-masalah sosial. Tujuan

penelitian ini adalah untuk, pertama, menganalisis modal sosial, kegiatan produksi
dan tingkat pendapatan Pedagang Kaki Lima (PKL) di kawasan Alun-Alun Kota
Taliwang. Kedua, merumuskan strategi pemberdayaan PKL berdasarkan kondisi
modal sosial, kegiatan produksi, dan tingkat pendapatan PKL dimaksud.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (metode survey dengan
wawancara menggunakan kuesioner terstruktur), dan didukung dengan
pengumpulan data secara kuantitatif dan kualitatif (wawancara mendalam dan
observasi). Populasi penelitian ini adalah seluruh PKL yang berjualan di Kawasan

Alun-Alun Kota Taliwang yang pada saat penelitian ini dilakukan berjumlah 11
orang.
Hasil penelitian menujukkan bahwa, Pertama, seluruh PKL di Kawasan
Alun-Alun Taliwang ini menjual makanan cepat saji dan minuman ringan mulai
pukul 08.00 – 24.00. Modal sosial PKL yang diukur dalam lima variabel yakni
jaringan, aksi bersama, solidaritas, kepercayaan dan kerjasama, serta resolusi
konflik; masih tergolong rendah. Pendapatan PKL rata-rata per bulan mencapai
antara Rp.2.5 juta sampai 3 juta, tergantung pada waktu usaha (siang/malam) dan
hari kerja/libur. Kedua, berdasarkan hasil penelitian yang pertama dan analisis
SWOT yang telah dilakukan, dirumuskan strategi penguatan modal sosial PKL
yang dipandang tepat yaitu: (1) peningkatan kapasitas modal sosial PKL, (2)
pengembangan kelembagaan PKL, dan (3) penguatan jaringan PKL.
Kata kunci: Pemberdayaan, modal sosial, pendapatan, pedagang kaki lima.

SUMMARY
Wiharti Meiriana Sari, Strengthening the Social Capital Strategy of Street
Vendors in TaliwangTown Square. Supervised by Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS
and Dr Ir Sarwititi S. Agung, MS
The emergence of the informal sector in urban areas is as a result of the
imbalance in the labor market . The amount of the labor force continues to grow

as a result of urbanization and the inability to meet the demands of jobin formal
sector that requires having adequate educational qualifications and skills ,
eventually pushing the labor force should go into the informal sector to be able to
survive in urban areas. The informal sector has many forms , but the main face of
the urban informal sector are street vendors ( PKL ). Trading activity among
street vendors is the ' arena ' in which human relations intensified . In relation or
social processes can be said to be constantly involved in aspects of social capital
Syahyuti (2008). In fact, according to Schiff (2000) in this modern era , where
there is free trade in (free trade ) and migration -free ( free migration ), social
capital is even more needed presence .
The aims of this study are, first, to analyze the social capital of the street
vendors (Pedagang Kaki Lima, PKL). Second, to analyse production activities
and income level of those mentioned street vendors in Taliwang Town Square.
This study applied a qualiitative approach (method with interviews using a
structured questionnaire), and supported by quantitative and qualitative data
collections as well (in-depth interviews and observations). During the study, the
amount of the street vendors reached as much as 11 vendors.
The results showed that, first, all street vendors began their daily activities
from 8.00 am to 24.00 pm by selling fast food and soft drinks. The level of the
social capital of the vendors that measured in terms of networks, collective

actions, solidarity, trust and cooperation, and conflict resolution; are regarded as
low. The average revenue of vendor reaches around Rp.2.5million to 3 million per
month. Secondly, based on the profile of the social capital mentioned above and
the SWOT analysis done, such empowerment strategyare formulatedas follows,
(1) increase the social capital capacity of the street vendors;(2) develop the street
vendor institution; and(3) strengthening the network of street vendors.
Keywords: social capital, empowerment, income, street vendors (Pedagang Kali
Lima, PKL).

©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karyailmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

STRATEGI PENGUATAN MODAL SOSIAL

PEDAGANG KAKI LIMA
DI KAWASAN ALUN-ALUN TALIWANG

WIHARTI MEIRIANA SARI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesional Pengembangan Masyarakat pada
Program Studi Pengembangan Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar pada Ujian Tesis: Dr Ir Rilus A. Kinseng, MA

Judul Kajian : Stategi Penguatan Modal Sosial Pedagang Kaki Lima di Kawasan
Alun-Alun Taliwang
Nama

: Wiharti Meiriana Sari
NIM
: I354120275

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Soeryo Adiwibowo, MS
Ketua

Dr. Ir. Sarwititi. S.Agung, MS
Anggota

Diketahui oleh
Koordinator Program Studi
Pengembangan Masyarakat

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS


Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 23 September 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulisan kajian ini berhasil diselesaikan. Tema
yang dipilih dalam kajian ini ialah Strategi Penguatan Modal Sosial Pedagang
Kaki Lima di Kawasan Alun-Alun Taliwang. Terima kasih penulis ucapkan
kepada :
1. Bapak Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS dan Ibu Dr Ir Sarwititi S. Agung, MS.
selaku Komisi Pembimbing;
2. Bapak Dr Ir Lala M. Kolopaking, MS dan Bapak Ir. Fredian Toni Nasdian
selaku Koordinator Program Studi Pengembangan Masyarakat;
3. Pengelola Program Studi MPM SPs IPB serta para staf PS MPM SPs IPB.
4. Bupati Sumbawa Barat Bapak Dr Zulkifli Muhadli, SH MH atas kesempatan
tugas belajar yang telah diberikan kepada penulis,

5. Kepala Bappeda Kabupaten Sumbawa Barat Bapak Dr Ir H. Amry Rahman
selaku pembimbing lapangan;
6. Kedua orang tua, bapak Kartono dan ibu Khoriyatun Sari, bapak Hery
Susanto, S.Pd dan ibu Nurintan, S,Pd serta seluruh keluarga besar, atas segala
do‟a dan kasih sayangnya;
7. Suami, Hendra Perdana Surya S.IP serta anak-anakku Favian Afkar Lauda dan
Fayyola Arsyfa Mallika atas do‟a, dukungan dan semangatnya kepada penulis
dalam menyelesaikan tulisan ini;
8. Rekan-rekan MPM IPB kelas Kabupaten Sumbawa Barat.
Semoga tesis yang penulis selesaikan ini bermanfaat.

Taliwang, September 2015
Wiharti Meiriana Sari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang

Perumusan Masalah
Tujuan Kajian
Kegunaan Kajian
Ruang Lingkup Kajian
2 PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Strategi
Pemberdayaan
Pemberdayaan sebagai proses
Modal Sosial
Pendapatan
Pedagang Kaki Lima
Pemberdayaan PKL
Kerangka pemikiran
3 METODE KAJIAN
Lokasi dan Waktu Kajian
Metode dan Pendekatan Penelitian
Metode Pemilihan Populasi, Sampel dan Informan
Pengumpulan Data
Pengolahan dan Analisis Data

Perancangan Strategi
Metode Perancangan
Partisipan Perancangan
Proses Perancangan
4 PROFIL KOMUNITAS KELURAHAN KUANG
Letak Geografis
Kependudukan
Jumlah dan Komposisi Penduduk
Kepadatan Geografis dan Agraris
Pertumbuhan Penduduk
Struktur Sosial
Stratifikasi Sosial
Kelembagaan Sosial
Jejaring Sosial
Kelembagaan Ekonomi
Kelompok Usaha Produktif
Aksessibilitas terhadap Kebijakan dan Sumberdaya
Jaringan Bisnis
Tokoh Bisnis
Pola-Pola Kebudayaan
Sistem Norma dan Nilai

xiii
xiii
xiii
1
1
2
4
4
4
7
7
7
7
11
11
14
14
18
18
21
21
21
22
22
22
23
23
23
23
25
25
25
25
26
26
27
27
27
27
28
28
28
30
30
30
30

Orientasi Nilai Budaya
Pola Bersikap, Bertindak, dan Sarana
Pola-Pola Adaptasi Ekologi
Basis Ekologi dan Perubahannya
Matapencaharian Utama
Strategi Penghidupan
Masalah-masalah Sosial
Deskripsi Masalah Sosial
Dampak Masalah Sosial
Faktor-faktor Penyebab
Solusi yang Pernah Dilakukan
5 EVALUASI PROGRAM DAN KEBIJAKAN
Evaluasi Kebijakan Pemberdayaan
Evaluasi Program Pemberdayaan
6 ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Profil PKL
Aktivitas Produksi dan Ekonomi PKL
Modal Sosial PKL
Jaringan dan Dukungan Organisasi
Aksi Bersama (Collective Actions)
Solidaritas
Kepercayaan dan Kerjasama
Resolusi Konflik
7 PERANCANGAN STRATEGI
Strategi Penguatan Modal Sosial
Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal
Menentukan Strategi Alternatif
Strategi Prioritas
8 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA

31
31
32
32
32
33
33
33
34
34
34
35
35
36
39
39
43
44
44
46
48
48
49
51
51
51
52
53
59
59
59
61

DAFTAR TABEL
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Tabel 7

Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Sex Ratio
Tahun
Kepadatan Penduduk Kelurahan Kuang Tahun 2009-2011
Jumlah penduduk pindah datang Kelurahan Kuang Tahun
2009-2011
Jumlah Kelahiran dan Kematian Kelurahan Kuang Tahun 20092011
Jumlah lembaga ekonomi di Kelurahan Kuang Tahun 2011
Jumlah Anggota Menurut Jenis Koperasi Lingkungan Kuang
Tahun 2012
Jumlah Kepala Keluarga Menurut Lapangan Pekerjaan Utama

26
26
27
27
29
30
32

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3
Gambar 4
Gambar 5
Gambar 6

Kerangka Pemikiran Kajian
Grafik persentase jenis dagangan PKL
Grafik persentase rata-rata usia PKL
Diagram jumlah tenaga kerja PKL
Jawaban PKL tentang pengganti koordinator jika tidak ada di
tempat
Jawaban PKL tentang penyelasaian masalah di Alun-Alun
Taliwang

19
40
41
42
44
45

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Analisis SWOT Pedagang Kaki Lima
Lampiran 2 Perancangan strategi (program aksi) Penguatan Modal Sosial
Pedagang Kaki Lima
Lampiran 3 Kuesioner

63
65
67

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peningkatan jumlah angkatan kerja di Indonesia terjadi setiap tahunnya
seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Isu penting dari peningkatan
jumlah angkatan kerja ini adalah penciptaan lapangan kerja, Upaya penciptaan
lapangan kerja telah dilakukan melalui berbagai sektor pembangunan namun
masih belum mencukupi. Terbatasnya daya serap usaha sektor formal menjadi
penyebab terjadinya pengangguran. Alternatif usaha yang ditempuh oleh tenaga
kerja yang tidak terserap di sektor formal adalah membuka usaha kecil-kecilan
dengan modal, keterampilan dan keuntungan yang terbatas. Usaha ini kemudian
dikenal dengan istilah usaha sektor informal. Jumlah pekerja sektor informal ini
di Indonesia mencapai lebih dari 60 persen (BPS 2012) dan sebagian besar berada
di perkotaan.
Timbulnya sektor informal di perkotaan tidak lain sebagai akibat adanya
ketimpangan dalam pasar tenaga kerja. Jumlah angkatan kerja yang terus
bertambah sebagai akibat adanya urbanisasi dan ketidakmampuan memenuhi
tuntutan pekerjaan sektor formal yang mengharuskan memiliki kualifikasi
pendidikan dan keterampilan memadai, akhirnya mendorong angkatan kerja harus
masuk ke sektor informal untuk bisa terus bertahan hidup di perkotaan. Pada
kondisi ini, sektor informal memiliki peran strategis sebagai katup pengaman
pengangguran dan mendorong pertumbuhan ekonomi perkotaan.
Pada umumnya sektor informal didefinisikan sebagai segala jenis
pekerjaan yang tidak menghasilkan pendapatan yang tetap, tidak memiliki
keamanan tempat bekerja dan berusaha (no job security), tempat bekerja dan
berusaha tidak memiliki status tetap/permanen dan tidak berbadan hukum,
menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial dan fasilitas umum. Selain itu,
kegiatan sektor informal memiliki ciri-ciri mengarah ke persaingan sempurna
seperti setiap orang dapat kapan saja masuk ke jenis usaha informal ini,
memanfaatkan sumber daya lokal, biasanya usaha milik keluarga, berskala kecil,
pekerja kasar, padat karya, kemampuan manajerial rendah, keterampilan diperoleh
dari luar sistem formal sekolah dan tidak diatur. Wujud kegiatan sektor informal
antara lain pedagang kaki lima (PKL), ojeg, penata parkir, pengamen dan anak
jalanan, pedagang pasar, buruh tani dan lainnya.
Walaupun sektor informal memiliki berbagai wujud, wajah utama sektor
informal perkotaan adalah Pedagang Kaki Lima (PKL). Pertumbuhan PKL di
perkotaan memiliki dua sisi yang berbeda. Pada sisi positif, PKL mampu menjadi
katup penyelamat ekonomi melalui kontribusinya dalam penyerapan tenaga kerja
dan bila dikelola dengan baik dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap
pendapatan asli daerah. Pada sisi lain, keberadaannya di ruang publik seperti
membuka lapak di badan-badan jalan dan trotoar dan tidak menyisakan cukup
ruang bagi pejalan kaki, menciptakan masalah kemacetan dan menghambat
pergerakan pedestrian, dan menciptakan lingkungan kotor dan kurang sehat
disekitar fasilitas umum, karena sisa pembuangan sampah yang dibuang di
sembarang tempat. Situasi ini menciptakan masalah dalam pengelolaan
pembangunan dan merusak keindahan kota. Kedua sisi ini seharusnya dapat
dikelola oleh pemerintah sehingga PKL dapat diakomodasi dan tidak bertentangan
dengan konsep tata ruang kota bagi seluruh warga.

2
Aktivitas perdagangan dikalangan PKL merupakan „arena‟ dimana relasi
antarmanusia berlangsung intensif. Dalam relasi atau proses sosial tersebut dapat
dikatakan senantiasa terlibat aspek modal sosial (social capital) Syahyuti (2008).
Bahkan menurut Schiff (2000) di era modern ini, dimana terjadi perdagagan bebas
(free trade) dan migrasi bebas (free migration), modal sosial justru semakin
dibutuhkan kehadirannya. Lebih jauh Brata (2004) mengungkapkan bahwa
belakangan ini modal sosial merupakan isu menarik yang banyak dibicarakan dan
dikaji. Bank Dunia dalam laporan tahunannya yang berjudul Entering the 21st
Century,mengungkapkan bahwa modal sosial memiliki dampak yang signifikan
terhadap proses-proses pembangunan (World Bank 2000).
Kegiatan
pembangunan akan lebih mudah dicapai dan biayanya akan lebih kecil jika
terdapat modal sosial yang besar (Narayan dan Prittchett 1997; Grootaert dan Van
Bastelaer 2001)
Menurut Tonkiss (2000), modal sosial barulah bernilai ekonomis kalau
dapat membantu individu atau kelompok misalnya untuk mengakses sumber
keuangan, memperoleh informasi, pekerjaan, merintis usaha, dan meminimilkan
biaya transaksi. Pada kenyataannya jaringan sosial, sebagai bagian dari modal
sosial, tidaklah cukup karena belum mampu menciptakan modal fisik dan modal
finansial yang juga dibutuhkan.
Kecamatan Taliwang adalah kecamatan yang menjadi letak ibukota dari
Kabupaten Sumbawa Barat sehingga orang menyebutnya Taliwang adalah
“Kota”nya Kabupaten Sumbawa Barat. Sedangkan Ibukota Kecamatan Taliwang
itu sendiri berada di Kelurahan Kuang. Sebagian besar fasilitas umum dan
perkantoran berada di Kelurahan Kuang dan sekitarnya. Salah satunya adalah
fasilitas umum Alun-Alun Kota Taliwang. Taliwang yang memiliki ciri ekonomi
perkotaan yang sedang tumbuh dan berkembang juga menghadapi persoalanpersoalan serupa sebagaimana dikemukakan di atas khususnya keberadaan PKL
yang menempati ruang publik. Keberadaan PKL disini memang belum sebanyak
di kota-kota besar lainnya, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa jika
keberadaan PKL di Taliwang tidak ditata dari awal maka PKL di Taliwang akan
berkembang semaunya sendiri. Keberadaan PKL ini memerlukan penataan dan
pemberdayaan untuk meningkatkan dan mengembangkan usahaanya sebagaimana
amanah dari Perpres No. 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan
Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Bagaimana dapat mensinergikan sumber
daya stakeholder yang ada dan modal sosial yang dimiliki oleh para PKL menjadi
sebuah tatanan PKL yang banyak memiliki fungsi, seperti fungsi konsumsi
(pemenuhan kebutuhan makan dan minum), fungsi rekreasi, fungsi hiburan, dan
tentunya fungsi pemberdayaan masyarakat.
Perumusan Masalah
Alun-Alun Kota Taliwang adalah menjadi salah satu tempat area terbuka
bagi masyarakat Kabupaten Sumbawa Barat. Tidak dapat dipungkiri keberadaan
Alun-Alun Kota Taliwang menjadi sebuah media sosialisasi warga masyarakat
Kabupaten Sumbawa Barat. Aktivitas di sekitar Alun-Alun Kota Taliwang
berjalan cukup dinamis, dimulai dari pagi hari hingga malam hari. Alun-Alun
Kota Taliwang menjadi salah satu pusat keramaian di Kota Taliwang. Aktivitas
yang ditunjukkan oleh PKL di kawasan Alun-Alun Kota Taliwang menunjukkan

3

perputaran roda ekonomi di sekitar kawasan Alun-Alun, sehingga diharapkan
adanya peningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan.
Data World Bank dalam Thee (2004) dalam Vipriyanti (2011) bahwa
kesenjangan distribusi pendapatan tetap konstan. Kesenjangan tersebut dirasakan
sebagai ketidakadilan yang kemudian akan mengurangi tingkat kepercayaan
masyarakat kepada pemerintahan terutama ketidakpercayaan pada kemauan baik
dan kemampuan pemerintah dalam mengelola sumber daya alam untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat dan menciptakan pembangunan yang merata.
Padahal kepercayaan, sebagai salah satu komponen modal sosial, merupakan
faktor yang tidak dapat diabaikan lagi dalam upaya mencapai keberhasilan
pembangunan ekonomi wilayah. Rasa saling percaya berperan penting untuk
menciptakan pembangunan ekonomi yang sehat dan menekan biaya transaksi
(Rao 2001) sedangkan komponen lain dari modal sosial yaitu kerapatan organisasi
dan partisipasi masyarakat akan meningkatkan akses masyarakat kepada sumbersumber kesejahteraan seperti akses untuk memperoleh modal usaha, lapangan
pekerjaan dan lainnya (Grootaert 2001).
Determinasi modal sosial sesungguhnya tidak terbatas pada dimensi
kognitif saja seperti rasa percaya dan norma lokal, tetapi juga faktor struktural
yang meliputi jaringan kerja dan institusional (Grootaert dan Van Bastelaer 2002).
Sehingga dalam penelitian kali ini diharapkan dapat menganalisis kedua dimensi
modal sosial tersebut secara komprehensif. Dimensi struktural yaitu yang
berkaitan dengan keanggotaan dalam kelompok. Untuk mengetahui dan
menganalisis pertanyaan utama yang telah dibahas di atas, maka dapat ditarik
beberapa pertanyaan spesifik dalam penelitian ini. Pertama, adalah bagaimana
kondisi modal sosial PKL di Kawasan Alun-Alun Kota Taliwang ?
. Pemberdayan PKL di Kawasan Alun-Alun Kota Taliwang merupakan
salah satu langkah pemberdayaan masyarakat dalam mewujudkan kemandirian
ekonomi masyarakat Sumbawa Barat khususnya masyarakat kaum marjinal.
Hayami (2000) dalam Vipriyanti (2011) menegaskan bahwa pertumbuhan
ekonomi tidak dapat direalisasikan tanpa perubahan dalam organisasi sosial dan
sistem nilai karena produktivitas dari suatu sistem ekonomi dikondisikan oleh
budaya dan kelembagaan yang ada dalam masyarakat tersebut dimana akumulasi
rasa percaya (trust) yang terjadi melalui interaksi personal dalam suatu komunitas
akan meningkatkan efisiensi dan menekan biaya. Oleh karena itu, pengukuran
pertumbuhan ekonomi tidak cukup hanya melalui peningkatan produk regional
bruto maupun pendapatan perkapita saja.
Dalam penelitiannya di Indonesia (Grootaer 2001) menemukan fakta
bahwa kontribusi modal sosial dalam peningkatan pendapatan rumah tangga di
Jambi, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Timur sebanding dengan kontribusi
modal manusia. Selain itu, modal sosial juga membantu rumah tangga mengatasi
resiko akibat fluktuasi pendapatan atau dengan kata lain, modal sosial menjadi
salah satu alternatif untuk mengatasi masalah kemiskinan rumah tangga.
Berdasarkan uraian tersebut, maka pertanyaan spesifik selanjutnya adalah
bagaimana kondisi kegiatan ekonomi perdagangan PKL di Alun-Alun Kota
Taliwang dapat meningkatkan pendapatan PKL?
Proses pemberdayaan masyarakat diyakini dapat mempertahankan dan
meningkatkan keberhasilan program pengembangan dan pemberdayaan ekonomi

4

masyarakat secara berkelanjutan. Keberadaan PKL menjadi sebuah dilema
tersendiri bagi pemerintah. Di satu sisi PKL sering mengganggu tata ruang kota,
di sisi lain PKL menjalankan peran sebagai “Shadow Economy”. Kontribusi yang
diberikan PKL sangat besar bagi semua kalangan masyarakat. Keberadaannya
sangat membantu masyarakat terutama saat-saat kondisi tertentu. Oleh karena itu,
pemberdayaan PKL mungkin menjadi salah satu jalan untuk meningkatkan
ekonomi masyarakat. Masalah pokok yang sering dialami oleh para PKL adalah
terjadi penggusuran terhadap keberadaan PKL. Tempat atau lokasi PKL yang
selalu berpindah-pindah dan tidak menetap mengancam keberlangsungan usaha
para PKL. Pertanyaan spesifik selanjutnya adalah, bagaimana strategi penguatan
modal sosial PKL yang ada dapat diterapkan di Kawasan Alun-Alun Kota
Taliwang?
Tujuan Kajian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dipaparkan di atas. Maka tujuan
diadakan kajian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu tujuan utama dan tujuan
spesifik. Tujuan utama kajian ini adalah merumuskan strategi penguatan modal
sosial berdasarkan kondisi modal sosial dan kegiatan ekonomi perdagangan PKL
di Kawasan Alun-Alun Kota Taliwang.
Berdasarkan tujuan utama tersebut di atas, maka tujuan spesifik penelitian
ini adalah:
1. Menganalisis modal sosial PKL di Kawasan Alun-Alun Kota Taliwang;
2. Menganalisis kegiatan ekonomi perdagangan PKL di Kawasan Alun-Alun
Kota Taliwang;
3. Merumuskan strategi penguatan modal sosial PKL di Kawasan Alun-Alun
Kota Taliwang.
Kegunaan Kajian
Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih yang
bermanfaat bagi berbagai pihak yang berminat maupun yang terkait dengan
masalah Keberadaan PKL di Kawasan Alun-Alun Kota Taliwang, khususnya
kepada:
1. Peneliti yang ingin mengkaji lebih jauh mengenai PKL.
2. Kalangan akademisi, dapat menambah literatur dalam mengkaji PKL
3. Kalangan non-akademisi, pemerintah dan swasta dapat bermanfaat sebagai
sebuah bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan tentang PKL.
Ruang Lingkup Kajian
Kajian dimaksudkan untuk merumuskan strategi pemberdayaan PKL
berdasarkan kondisi modal sosial , kegiatan produksi dan ekonomi (tingkat
pendapatan) PKL di Kawasan Alun-Alun Kota Taliwang. Untuk mencapai tujuan
tersebut akan di lakukan kajian faktor-faktor modal sosial yang ada di PKL
Kawasan Alun-Alun Kota Taliwang, menganalisis peranan modal sosial terhadap
proses pemberdayaan guna meningkatkan pendapatan PKL, dan penyusunan
strategi pemberdayaan PKL berdasarkan kondisi modal sosial dan kegiatan

5

produksi PKL di Kawasan Alun-Alun Kota Taliwang. Cakupan wilayah studi
adalah Kabupaten Sumbawa Barat dengan Lokasi Kajian di Kelurahan Kuang
Kecamatan Taliwang Kabupaten Sumbawa Barat. Tujuan pembatasan ruang
lingkup penelitian ini adalah agar pembahasan tesis ini sesuai dan fokus dengan
cakupan judul dan tidak terlalu melebar.

6

2 PENDEKATAN TEORITIS
Bab ini akan membahas memaparkan tinjauan pustaka dan kerangka
pemikiran. Tinjauan pustaka berisi tentang strategi, pemberdayaan, modal sosial,
pendapatan, dan pedagang kaki lima (PKL) yang dituangkan dalam bentuk
kerangka pemikiran kajian. Kerangka pemikiran konseptual akan dibahas tentang
kerangka (frame) yang menjadi alur pikir dan prosedur serta alat analisis yang
digunakan. Dari kerangka pemikiran konseptual akan dihasilkan suatu bagan alir
dari penelitian.
Tinjauan Pustaka
Strategi
Menurut wikipedia strategi adalah pendekatan secara keseluruhan yang
berkaitan dengan pelaksanaan gagasan, perencanaan, dan eksekusi sebuah
aktivitas dalam kurun waktu tertentu. Di dalam strategi yang baik terdapat
koordinasi tim kerja, memiliki tema, mengidentifikasi faktor pendukung yang
sesuai dengan prinsip-prinsip pelaksanaan gagasan secara rasional, efisien dalam
pendanaan, dan memiliki taktik untuk mencapai tujuan secara efektif. Strategi
dibedakan dengan taktik yang memiliki ruang lingkup yang lebih sempit dan
waktu yang lebih singkat, walaupun pada umumnya orang sering kali
mencampuradukkan ke dua kata tersebut.
Selanjutnya Siagian (2004) menyatakan bahwa strategi adalah serangkaian
keputusan dan tindakan mendasar yang dibuat oleh manajemen puncak dan
diimplementasikan oleh seluruh jajaran suatu organisasi dalam rangka pencapaian
tujuan organisasi tersebut. Pengertian strategi lainnya seperti yang diutarakan
Craig & Grant (1996) adalah strategi merupakan penetapan sasaran dan tujuan
jangka panjang sebuah perusahaan dan arah tindakan serta alokasi sumberdaya
yang diperlukan untuk mencapai sasaran dan tujuan.
Menurut Stephanie K. Marrus, pengertian strategi adalah suatu proses
penentuan rencana para pemimpin puncak yang berfokus pada tujuan jangka
panjang organisasi, disertai penyusunan suatu cara atau upaya bagaimana agar
tujuan tersebut dapat dicapai. Selain definisi-definisi strategi yang sifatnya umum
tersebut, ada juga pengertian strategi yang lebih khusus, seperti yang diungkapkan
oleh dua pakar strategi, Hamel dan Prahalad strategi adalah tindakan yang bersifat
incremental (senantiasa meningkat) dan terus-menerus, serta dilakukan
berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pelanggan di
masa depan.
Pemberdayaan
Proses pemberdayaan masyarakat diyakini dapat mempertahankan dan
meningkatkan keberhasilan program pengembangan dan pemberdayaan ekonomi
masyarakat secara berkelanjutan. Mardikanto, T dan Poerwoko Soebiato (2013)
mengutip pendapat Robbins, Chatterjee, & Canda, 1998 yang mengemukakan
bahwa :
“Empowerment-“ process by which individuals and groups gain
power, access to resources and control over their own lives. In doing

8

so, they gain the ability to achieve their highest personal and
collective aspirations and goals “
Menurut definisinya, pemberdayaan diartikan sebagai upaya untuk memberikan
daya (empowerment) atau penguatan (strengthening) kepada masyarakat
(Mas‟oed, 1990). Keberdayaan masyarakat oleh Sumodiningrat (1997) diartikan
sebagai kemampuan individu yang bersenyawa dengan masyarakat dalam
membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan.
Karena itu,
pemberdayaan dapat disamakan dengan perolehan kekuatan dan akses terhadap
sumberdaya untuk mencari nafkah (Pranaka, 1996 dalam Mardikanto, T dan
Poerwoko Soebiato, 2013).
“The empowerment approach, which is fundamental to an alternative
development, places the emphasis an autonomy in the decision
marking of territorially organized communities, local self-relience (bt
not autarchy), direct (participatory) democracy, and experiential
social learning”.
Hal tersebut sejalan dengan definisi makna pemberdayaan yang disampaikan oleh
(Dharmawan,2000 dalam Mardikanto, T dan Poerwoko Subiato, 2013) yaitu
sebagai :
“ A process of having enough energy enabling people to expand their
capabilities, to have greater bargaining power, to make their own
decisions, and to more easily access to a source of better living”.
Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan
dan lemah, untuk :
a. memiliki akses terhadap sumber-sumber produktif yang memungkinkan
mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang
dan jasa-jasa yang mereka perlukan;
b. berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang
mempengaruhi mereka. Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian
kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan Levin,
1987)
Istilah pemberdayaan, juga dapat diartikan sebagai upaya memenuhi
kebutuhan yang diinginkan oleh individu, kelompok dan masyarakat luas agar
mereka memiliki kemampuan untuk melakukan pilihan dan mengontrol
lingkungannya agar dapat memenuhi keinginan-keinginannya, termasuk
aksesibilitasnya terhadap sumberdaya yang terkait dengan pekerjaannya, aktivitas
sosialnya, dll.
Karena itu, World Bank (2001) mengartikan pemberdayaan sebagai upaya
untuk memberikan kesempatan dan kemampuan kepada kelompok masyarakat
(miskin) untuk mampu dan berani bersuara (voice) atau menyuarakan pendapat,
ide, atau gagasan-gagasannya, serta kemampuan dan keberanian untuk memilih
(choice) suatu (konsep, metoda, produk, tindakan, dll.) yang terbaik bagi pribadi,
keluarga, dan masyarakatnya. Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat
merupakan proses meningkatkan kemampuan dan sikap kemandirian masyarakat.
Ife (1995) mengemukakan bahwa “empowerment means providing people
with the resources, opportunities, knowledge, and skill to increase their capacity
to determine their own future, and to participate in and effect of their

9
community”. Pemberdayaan berarti menyediakan sumber daya, kesempatan,
pengetahuan dan ketrampilan untuk meningkatkan kapasitas mereka demi
mewujudkan masa depan mereka dan untuk berpartisipasi dalam mempengaruhi
komunitas mereka.
Pemberdayaan adalah sebuah proses agar setiap orang menjadi cukup kuat
untuk berpartisipasi dalam berbagai pengontrolan, dan mempengaruhi, kejadiankejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya.
Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan,
pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan
kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parson, et.al., 1994).
Dalam upaya memberdayakan masyarakat tersebut dapat dilihat dari tiga
sisi, yaitu : Pertama, mencipatakan suasana atau iklim yang memungkinkan
potensi masyarakat berkembang (enabling). Titik tolaknya adalah pengenalan
bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat
dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya,
karena jika demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk
membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasikan, dan membangkitkan
kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk
mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki
masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlakukan langkah-langkah lebih
positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi
langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan, serta
pembukaan akses ke dalam berbagai peluang yang akan membuat masyarakat
menjadi berdaya. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi.
Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah
lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh
karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar
sifatnya dalam konsep pemberdayaan. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau
menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan
melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk
mencegah terjadinya persaingan yang tdak seimbang, serta eksploitasi yang kuat
atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi
makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity).
Subejo dan Narimo (2004) dalam Mardikanto, T dan Poerwoko (2013)
mengartikan proses pemberdayaan masyarakt merupakan upaya yang disengaja
untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan dan
mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki melelui collective action dan
networking sehingga pada akhirnya mereka memiliki kemmpuan dan kemandirian
secara ekonomi, ekologi, dan sosial.
Dalam dunia bisnis, pengertian power dikaitkan dengan kemampuan atau
produktivitas. Karena itu, pemberdayaan atau empowerment diartikan sebagai
proses peningkatan optimasi kempuan atau produktivitas, individu, organisasi
ataupun sistem. Di pihak lain, power juga dapat diartikansebagai keunggulan
bersaing atau posisi-tawar (bargaining position). Karena itu, pemberdayaan juga
dapat diartikansebagai penguatan atau peningkatan keunggulan bersaing atau
posisi tawar.
Pemberdayaan merupakan upaya pemberian kesempatan dan atau
memfasilitasi kelompok miskin agar mereka memiliki aksessibilitas terhadap

10

sumberdaya, yang berupa : modal, teknologi, informasi, jaminan pemasaran, dll.
Agar mereka mampu memajukan dan mengembangkan usahanya, sehingga
memperoleh perbaikan pendapatan serta perluasan kesempatan kerja demi
perbaikan kehidupan dan kesejahteraannya (Sumodiningrat 2003)
Menurut Sumodiningrat dalam Mardikanto dan Poerwoko (2013), bahwa
pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat
lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Adapun
pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling
terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang
menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan. Sehingga
memungkinkan terjadinya inisiasi berasal dari luar komunitas.
Menurut Mardikanto, T dan Poerwoko (2013) pendekatan utama dalam
konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan obyek dari
berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subyek dari upaya
pembangunannya sendiri. Berdasarkan konsep demikian, maka pemberdayaan
masyarakat harus mengikuti pendekatan sebagai berikut :
a. Upaya itu harus terarah. Ini yang secara populer disebut pemihakan, upaya ini
ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan program yang dirancang
untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya;
b. Program ini harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh
masyarakat yang menjadi sasaran. Tujuannya, yakni agar bantuan tersebut
efektif karena sesuai dengan kehendak dan mengenali kemampuan serta
kebutuhan mereka.
Selain itu, sekaligus meningkatkan kemampuan
masyarakat dengan pengalaman dalam merancang, melaksanakan, mengelola,
dan mempertanggungjawabkan uaya peningkatan diri dan ekonominya;
c. Menggunakan pendekatan kelompok, karena secara sendiri-sendiri masyarakat
miskin sulit dapat memecahkan maslah-masalah yang dihadapinya. Juga
lingkup bantuan menjadi terlalu luas jika penanganannya dilakukan secara
individu. Pendekatan kelompok ini paling efektif dan dilihat dari penggunaan
sumber daya juga lebih efisien.
Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu sendiri, dengan
mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang
dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Selanjutnya, upaya
tersebut diikuti dengan memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh
masyarakat itu sendiri. (Kartasasmita dalam Mardikanto dan Poerwoko, 2013)
sedangkan menurut Suharto dalam Anwas (2013) Indikator pemberdayaan paling
tidak memiliki empat hal, yaitu : merupakan kegiatan yang terencana dan kolektif,
memperbaiki kehidupan masyarakat, prioritas bagi kelompok lemah atau kurang
beruntung, serta dilakukan melalui program peningkatan kapasitas.
Dalam rangka pembangunan dengan pendekatan pemberdayaan
masyarakat, penyempurnaan mekanisme pembangunan perlu dilakukan mulai dari
tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian, dengan tahapan sebagai
berikut :
a. Penajaman sasaran pembangunan dengan pengertian bahwa investasi
pemerintah melalui bantuan dana, prasarana dan sarana benar-benar mencapai
kelompok sasaran yang paling memerlukan sehingga meningkatkan kegiatan
sosial ekonomi masyarakat secara berkesinambungan;

11

b. Kelancaran dan kecepatan dalam penyalurann dana serta pembangunan
prasarana dan sarana sehingga dapat segera digunakan sepenuhnya oleh
kelompok masyarakat tepat jumlah dan tepat waktu sesuai dengan jangka
waktu yang disediakan;
c. Membangun kesiapan masyarakat dalam menerima dan mendayagunakan
dana, prasarana, dan sarana;
d. Masyarakat harus diberi kepercayaan untuk memilih kegiatan usahanya dan
diberi bimbingan berupa pendampingan supaya berhasil. Misalnya, dalam
rangka pembangunan prasarana di perdesaan, harus juga sejauh mungkin
dilaksankan oleh masyarakat, sekurang-kurangnya masyarakat ikut serta
didalamnya;
e. Kemampuan masyarakat bersama aparat untuk meningkatkan nilai tambah
dari investasi tersebut dan menciptakan akumulasi modal;
f. Kelengkapan pencatatan sebagai dasar pengendalian dan penyusunan
informasi dasar yang lengkap, operasional dan bermanfaat bagi evaluasi dan
penyempurnaan program yang akan datang.
Karena pembangunan di tingkat perdesaan dan pemberdayaan masyarakat
menyangkut banyak sektor, maka koordinasi amat penting untuk menyatukan
berbagai upaya agar menghasilkan sinergi, serta untuk menghindari tumpang
tindih sehingga dapat dijamin efisiensi dalam upaya mencapai hasil yang optimal.
Pemberdayaan sebagai proses
Pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat dan atau
mengoptimalkan keberdayaan. Pemberdayaan sebagai proses perubahan,
mensyaratkan fasilitator yang kompeten dan memiliki integritas tinggi terhadap
perbaikan mutu-hidup masyarakat yang akan difasilitasi. Fasilitator ini, dapat
terdiri dari aparat pemerintah (PNS), aktivis LSM, atau tokoh masyarakat/warga
setempat.
Untuk itu, pemberdayaan juga memerlukan fasilitator yang akan berperan
atau bertindak sebagai agen perubahan (agen of change) yang berkewajiban untuk
memotivasi, memfasilitasi, dan melakukan advokasi demi mewujudkan
perubahan-perubahan yang diperlukan. Pemberdayaan sebagai proses adalah
sebagai berikut :
1. Pemberdayaan sebagai proses pembelajaran
2. Pemberdayaan sebagai proses pengutan kapasitas
3. Pemberdayaan sebagai proses perubahan sosial
4. Pemberdayaan sebagai proses pembangunan masyarakat
5. Pemberdayaan sebagai proses pengembangan partisipasi masyarakat.
Modal Sosial
Modal sosial adalah sumber daya yang dapat dipandang sebagai investasi
untuk mendapatkan sumber daya baru. Seperti diketahui bahwa sesuatu
yang disebut sumber daya (resources) adalah sesuatu yang dapat
dipergunakan untuk dikonsumsi, disimpan dan diinvestasikan. Sumber daya
yang digunakan untuk investasi disebut sebagai modal. Dimensi modal sosial
cukup luas dan kompleks. Modal sosial berbeda dengan istilah populer lainnya
yaitu modal manusia (human capital). Pada modal manusia segala sesuatunya
lebih merujuk ke dimensi individu yaitu daya dan keahlian yang dimiliki oleh
seorang individu. Pada modal sosial lebih menekankan pada potensi kelompok

12

dan antar kelompok dengan ruang perhatian pada jaringan sosial, norma, nilai,
dan kepercayaan antar sesama yang lahir dari anggota kelompok dan menjadi
norma kelompok (Rahmawati, 2011).
Modal sosial (social capital) seringkali diartikan secara berbeda. Beberapa
periset menyatakan modal sosial merupakan community-level attribute, meskipun
periset lain memperlakukan modal sosial sebagai pendekatan yang
berorientasi pada individu. Keberagaman definisi modal sosial muncul dari
perbedaan tingkat analisis yang menjadi fokus para periset. Narayan dan
Cassidy (2001) yang memiliki fokus pada tingkat analisis makro, membagi
modal sosial menjadi beberapa dimensi yang meliputi: 1) Karakteristik
kelompok (group characteristics); 2) Norma yang mengikat (generalized norms);
3) Kebersamaan (togetherness); 4) Pergaulan sehari-hari (everyday sociability);
5) Hubungan dalam network (network connections); 6) Kesukarelaan
(volunteerism), dan kepercayaan (trust).
Secara lebih komperehensif Burt (1992) mendefinisikan, modal sosial
adalah kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi satu sama lain dan
selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat penting bukan hanya bagi
kehidupan ekonomi akan tetapi juga setiap aspek eksistensi sosial yang lain.
Sedangkan Putnam (1993) mendefinisikan modal sosial adalah sejenis perekat
sosial yang memfasilitasi tindakan di tingkat masyarakat yang pada
gilirannya, memungkinkan berbagai manfaat bagi kegiatan sosial kemasyarakatan.
Fukuyama (1995) dalam Rahmawati (2011) mendefinisikan modal sosial
sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki
bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan
terjalinnya kerjasama diantara mereka. Modal sosial merupakan hubunganhubungan yang tercipta dan norma-norma yang membentuk kualitas dan
kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu
sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan anggota
kelompok secara bersama-sama. Modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai
atau norma-norma yang diwujudkan dalam perilaku yang dapat mendorong
kemampuan dan kapabilitas untuk bekerjasama dan berkoordinasi untuk
menghasilkan kontribusi besar terhadap keberlanjutan produktivitas.
Adler dan Kwon (2002) dalam Rahmawati (2011) melakukan sintesis atas
konsep modal sosial yang berasal dari berbagai perspektif dan memberikan tiga
hal yang ditekankan dalam definisi modal sosial, yaitu:
1. Modal sosial melekat pada individu ataupun kelompok.
2. Sumber modal sosial terletak pada hubungan sosial yang dimiliki oleh
individu maupun kelompok.
3. Efek modal sosial berkaitan dengan informasi, pengaruh, dan solidaritas
yang dimiliki individu atau kelompok yang memungkinkan individu atau
kelompok tersebut mendapat keunggulan tertentu dan dapat berkinerja
dengan baik.
Konsep modal sosial juga muncul dari pemikiran bahwa anggota
masyarakat tidak mungkin dapat secara individu mengatasi berbagai masalah
yang dihadapi. Diperlukan adanya kebersamaan dan kerja sama yang baik
dari segenap anggota masyarakat yang berkepentingan untuk mengatasi
masalah tersebut. Pemikiran seperti inilah yang pada awal abad ke 20
mengilhami seorang pendidik di Amerika Serikat bernama Lyda Judson

13

Hanifan untuk memperkenalkan konsep modal sosial (social capital) pertama
kalinya. Dalam tulisannya berjudul The Rural School Community Centre
tahun 1916 mengatakan, modal sosial bukanlah modal dalam arti biasa seperti
harta kekayaan atau uang, tetapi lebih mengandung arti kiasan, namun
merupakan aset atau modal nyata yang penting dalam hidup bermasyarakat.
Menurut Hanifan, dalam modal sosial termasuk kemauan baik, rasa bersahabat,
saling simpati, serta hubungan sosial dan kerjasama yang erat antara individu
dan keluarga yang membentuk suatu kelompok sosial (Syabra, 2003) dalam
Maulana (2009). Sekalipun Hanifan telah menggunakan istilah modal sosial
hampir seabad yang lalu, istilah tersebut baru mulai dikenal di dunia akademis
sejak akhir tahun 1980-an. Pierre Bourdieu, seorang sosiolog
Perancis
kenamaan, dalam sebuah tulisan yang berjudul "The Forms of Capital"
tahun 1986. Sehingga dapat dipahami struktur dan cara berfungsinya dunia
sosial, perlu dibahas modal dalam segala bentuknya, tidak cukup hanya
membahas modal seperti yang dikenal dalam teori ekonomi. Penting juga
diketahui bentuk transaksi yang dalam teori ekonomi dianggap sebagai nonekonomi, karena tidak dapat secara langsung memaksimalkan keuntungan
material. Padahal sebenarnya dalam setiap transaksi modal ekonomi selalu
disertai oleh modal immaterial berbentuk modal budaya dan modal sosial.
Syabra (2003) dalam Maulana (2009) menjelaskan perbedaan antara
modal ekonomi, modal budaya dan modal sosial, dan menggambarkan bagaimana
ketiganya dapat dibedakan antara satu sama lain dilihat dari tingkat
kemudahannya untuk dikonversikan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
modal sosial (social capital) merupakan fasilitator penting dalam pembangunan
ekonomi. Modal sosial yang dibentuk berdasarkan kegiatan ekonomi dan
sosial di masa lalu dipandang sebagai faktor yang dapat meningkatkan dan jika
digunakan secara tepat mampu memperkuat efektivitas
pembangunan.
Tjondronegoro (2005) dalam Maulana (2009) menjelaskan bahwa modal sosial
dapat menjadi unsur pendukung keberhasilan pembangunan, termasuk pula
dinamika pembangunan pedesaan dan pertanian di Indonesia. Sehingga
dalam menjalankan program pembangunan, khususnya pertanian dan pedesaan
bentuk-bentuk modal sosial tersebut sebaiknya di perhatikan dan dimanfaatkan.
Modal sosial adalah jaringan kerjasama di antara warga masyarakat yang
memfasilitasi pencarian solusi dari permasalahan yang dihadapi.
Definisi lain dikemukakan oleh Pennar seperti dikutip Maulana (2009)
dalam menjelaskan bahwa modal sosial adalah kumpulan dari hubungan yang
aktif di antara manusia: rasa percaya, saling pengertian dan kesamaan nilai dan
perilaku yang mengikat anggota dalam sebuah jaringan kerja dan komunitas yang
memungkinkan adanya kerja sama. Di dalam masyarakat kita, modal sosial ini
menjadi suatu alternatif pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
Mengingat sebenarnya masyarakat kita sangatlah komunal dan mereka
mempunyai banyak sekali nilai-nilai yang sebenarnya sangat mendukung
pengembangan dan penguatan modal sosial itu sendiri. Pasalnya modal sosial
memberikan pencerahan tentang makna kepercayaan, kebersamaan, toleransi
dan partisipasi sebagai pilar penting pembangunan masyarakat sekaligus pilar
bagi demokrasi dan good governance (tata pemerintahan yang baik) yang sedang
marak dipromosikan.

14

Pendapatan
Menurut wikipedia pendapatan adalah jumlah uang yang diterima oleh
perusahaan dari aktivitasnya, kebanyakan dari penjualan produk dan/atau jasa
kepada pelanggan. Bagi investor, pendapatan kurang penting dibanding
keuntungan, yang merupakan jumlah uang yang diterima setelah dikurangi
pengeluaran.
Menurut Standar Akuntansi Keuangan (2004), kata “income diartikan
sebagai penghasilan dan kata revenue sebagai pendapatan, penghasilan (income)
meliputi baik pendapatan (revenue) maupun keuntungan (gain”). Pendapatan
adalah penghasilan yang timbul dari aktivitas perusahaan yang dikenal dengan
sebutan yang berbeda seperti penjualan, penghasilan jasa (fees), bunga, dividen,
royalti dan sewa.” Definisi tersebut memberikan pengertian yang berbeda dimana
income memberikan pengertian pendapatan yang lebih luas, income meliputi
pendapatan yang berasal dari kegiatan operasi normal perusahaan maupun yang
berasal dari luar operasi normalnya. Sedangkan revenue merupakan penghasil dari
penjualan produk, barang dagangan, jasa dan perolehan dari setiap transaksi yang
terjadi.
Pedagang Kaki Lima
Pengertian Pedagang Kaki Lima sesuai dengan Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2012 Tentang Koordinasi Penataan dan
Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima Pedagang Kaki Lima yang selanjutnya
disingkat PKL adalah pelaku usaha yang melakukan usaha per-dagangan dengan
menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan
prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan dan bangunan milik
pemerintah dan/atau swasta yang bersifat sementara/tidak menetap.
Menurut Karakteristik aktivitas PKL dapat ditinjau baik dari sarana fisik,
pola penyebaran dan pola pelayanan dalam ruang perkotaan. Karakteritrik dari
PKL dijabarkan oleh Simanjuntak (1989) sebagai berikut :
1. Aktivitas usaha yang relatif sederhana dan tidak memiliki sistem kerjasama
yang rumit dan pembagian kerja yang fleksibel.
2. Skala usaha relatif kecil dengan modal usaha, modal kerja dan pendapatan
yang umumnya relatif kecil.
3. Aktivitas yang tidak memilik izin usaha.
Sedangkan menurut McGee dan Yeung dalam (Surya, 2006) Karakteristik
PKL dilihat dari sarana fisik dan pola pelayanan.
1. Sarana Fisik
Umumnya PKL di Asia Tenggara mempunyai bentuk dan sarana fisik yang
sangat sederhana dan biasanya mudah untuk dipindah-pindah atau mudah
dibawa dari satu tempat ke tempat lainnya. Jenis sarana yang digunakan PKL
sesuai dengan jenis dagangan yang dijajakan. Sarana fisik PKL dijabarkan
menjadi jenis dagangan dan sarana usaha.
a. Jenis Dagangan
Jenis dagangan PKL sangat dipengaruhi oleh aktivitas yang ada di
sekitar kawasan dimana PKL tersebut beraktivitas. Sebagai contoh di
kawasan perdagangan, maka jenis dagangannya beraneka ragam seperti
makanan atau minuman, kelontong, pakaian dan lain-lain. Adapun jenis
dagangan yang dijual oleh PKL secara umum dapat dibagi menjadi :

15

1. Bahan mentah makanan dan makanan setengah jadi (unprocessed and
semiprocessed food). Termasuk pada jenis dagangan ini adalah bahan
mentah makanan seperti daging, buah dan sayuran. Selain itu juga
dapat berupa barang-barang setengah jadi seperti beras;
2. Makanan siap saji (prepared food). Termasuk dalam jenis barang
dagangan ini berupa makanan dan minuman yang telah dimasak dan
langsung disajikan ditempat maupun dibawa pulang. Penyebaran fisik
PKL ini biasanya cenderung mengelompok dan homogen dengan
kelompok mereka;
3. Bukan makanan (non food). Termasuk jenis barang dagangan yang
tidak berupa makanan contohnya adalah mulai dari tekstil sampai
dengan obat-obatan;
4. Jasa pelayanan (services). Jasa pelayanan yang diperdagangkan adalah
jasa perorangan, sep