DI KABUPATEN SUKOHARJO( Kasus Pada Paguyuban Pedagang Kaki Lima Alun-Alun Sukoharjo)

DI KABUPATEN SUKOHARJO ( Kasus Pada Paguyuban Pedagang Kaki Lima Alun-Alun Sukoharjo )

oleh : TAUFIQ FAJAR NUGROHO D0105139

Skripsi Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu Jurusan Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

BAB IV DESKRIPSI LOKASI ..................................................................... 55

4.1 Paguyuban PKL Alun-Alun Sukoharjo (PPKLS)................................ 55 4.2 Struktur Organisasi, Kedudukan Tugas Pokok dan Fungsi Dinas

Terkait Dengan PKL .........................................................................

4.3.1 Susunan Organisasi, Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Perindustrian, Perdagangan …………...…………..................

57 4.3.2 Susunan Organisasi Kedudukan Tugas Pokok dan Fungsi Satuan Polisi Pamong Praja .................................................... 59

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .............................

5.1 Hubungan antara Pemerintah dengan Kelompok PKL.......................

62 5.1.1 Penerapan Perda tentang PKL .................................................

63 5.1.2 Diskresi Kebijakan …………………………........................... 67 5.1.3 Penarikan Retribusi PKL ……………………………………. 74 5.1.4 Partisipasi PKL dalam Pengambilan Keputusan……………. 77 5.1.5 Kepedulian Pemerintah Terhadap PKL ……………………..

5.2 Hubungan antar Anggota dalam Paguyuban......................................

5.3 Hubungan antara Paguyuban PKL dengan Stakeholders

Non-Government ...............................................................................

92 5.3.1 Kepedulian Sektor Swasta …………………………………...

92 5.3.2 Kerjasama dan Gotong-royong dengan Masyarakat Sekitar…

BAB VI PENUTUP .....................................................................................

6.1 Kesimpulan ........................................................................................

97 6.2 Saran ................................................................................................... 100 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................

102 LAMPIRAN

KAKI LIMA DI KABUPATEN SUKOHARJO (KASUS PAGUYUPAN PEDAGANG KAKI LIMA ALUN-ALUN SUKOHARJO), JURUSAN ILMU

ADMINISTRASI, FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK, UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA, 2011.

Dalam upaya pemecahan masalah PKL, dimungkinkan governance yang dilakukan PKL mampu menjadi alternatif pemecahan masalah dikarenakan pemerintah sendiri tidak mampu mengatasi permasalahan tersebut.

Untuk mendapatkan hasil penelitian yang komprehensif, maka diperlukan penelitian yang menganalisis suatu permasalahan dari berbagai sudut. Sehingga penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan berlokasi di Alun-alun Sukoharjo. Sumber data yang diolah adalah data primer dan data sekunder. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling dan snowball sampling. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan wawancara mendalam (in-dept interview),observasi langsung, menggali dan menganalisa dokumen yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam penelitian termasuk dokumen pemerintah, LSM, data statistik. Validitas data menggunakan teknik trianggulasi data dan untuk memperkuat validitasnya menggunakan intersubjektive trianggulasi. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data model interaktif.

Dalam penelitian ini, governance Pedagang Kaki Lima (PKL) mencakup tiga bentuk interaksi yaitu: hubungan antara Pemerintah daerah dengan PKL, hubungan antara PKL dalam paguyuban, dan hubungan antara paguyuban PKL dengan stakeholders lainnya non-government. Penelitian ini menunjukkan bahwa didalam hubungan antara pemerintah daerah dengan PKL sudah terjalin komunikasi yang baik, masih adanya diskresi dalam penerapan aturan yang mengakomodasi kepentingan PKL, kurangnya transparansi dalam penarikan retribusi yang dilakukan oleh pemegang otoritas, dan partisipasi PKL dalam pengambilan keputusan yang hanyalah sebagai window dressing. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa dalam hubungan antara PKL didalam paguyuban terdapat kerja sama diantara mereka, musyawarah rutin dalam penyelesaian konflik internal paguyuban, dan kegiatan sosial dalam pengadaan dana sosial bagi anggota yang terkena musibah. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa hubungan antara paguyuban PKL dengan stakeholders lainnya non-government yaitu adanya kepedulian sektor swasta menjadi sponsor pada event-event tertentu yang memberikan keuntungan finansial bagi PKL, kerja sama dengan masyarakat sekitar berupa kegiatan sosial seperti kerja bakti dan membangun tempat ibadah serta memanfaatkan tenaga keamanan informal (atau kadang ada yang menyebut preman / gali) untuk tujuan positif yakni kenyamanan pelayanan customer.

Kata kunci: Pedagang Kaki Lima, governance

VENDORS IN SUKOHARJO DISTRICT (CASE STUDY OF STREET VENDORS ASSOCIATION IN SUKOHARJO SQUARE), DEPARTMENT

OF PUBLIC ADMINISTRATION, FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE, SEBELAS MARET UNIVERSITY, SURAKARTA, 2011.

As an effort to solve problems associated with street vendors, probably governance carried by street vendors can be an alternative solution, because the government is not capable of addressing the issue.

To obtain the results of comprehensive research, it would require research that analyzes a problem from different angles. Therefore, this research used qualitative research approach and conducted in Sukoharjo square. The source of data used in this research was the primary data and secondary data. Purposive and snowball sampling were used in this research as sampling technique. The method used in this research was by in-depth interviews, direct observation, as well as explore and analyze documents which can be used as reference in the research, including documents from government, social community association, and statistical data. The data validity techniques used in this research was data triangulation techniques and this research used inter-subjective triangulation to strengthen the data validity. Meanwhile, the technique of analyzing data used in this research was an interactive model of data analysis techniques.

In this study, governance of street vendors includes three forms of interaction, namely: (1) the relationship between local governments with street vendors, (2) the relationship between street vendors in the community, and (3) the relationship between street vendors association with other non-government stakeholders. This research shows that there is a positive correlation between local governments with street vendors, as follows: (1) it has been established a good communication, (2) there is still discretion in applying rules that accommodate the interests of street vendors, (3) the lack of transparency in the withdrawal of retribution by the authorities, and (4) the participation of street vendors in taking decisions is only as window dressing. This research also shows that there is a positive correlation between street vendors in the community, as follows: (1) there is cooperation between them, (2) regular meetings are done in the community to solve internal conflicts, and (3) social activities carried out in the earning of social funds for members who are in disaster. In addition, this research also shows that there is a positive correlation between the community of street vendors with other non-government stakeholders, as follows: (1) there is awareness from private sector to be a sponsor on certain events that provide financial benefits for street vendors, (2) there is cooperation with surrounding communities in the form of social activities such as community service and building places of worship, and (3) the utilize of informal security personnel for the convenience of customer service.

Key words: street vendors, governance

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Era reformasi yang diawali dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan, mengakibatkan banyaknya pengangguran. Di samping mereka yang sulit mencari pekerjaan, sampai kepada buruh atau karyawan yang terpaksa berhenti kerja karena mengalami PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dari perusahaan tempat mereka bekerja. Perusahaan-perusahan banyak yang mengurangi tenaga kerjanya, karena produksi berkurang dan aktivitas perusahaan menurun.¹

Selain adanya krisis ekonomi, dengan perkembangan teknologi yang canggih dan dampak dari globalisasi ekonomi menimbulkan suatu masalah masalah yang komplek dan takterduga. Apalagi didukung dengan bertambahya penduduk, menimbulkan angka pengangguran bertambah. Pemerintah sendiri kurang mampu menyediakan lapangan pekerjaan di sektor formal, banyak perusahaanpun tak mampu menyerap tenaga kerja. Karena semakin sulitnya lapangan pekerjaan membuat masyarakat berfikir hemat, untuk dapat sekedar mencari makan dan menyambung hidup. Karena itulah banyak sekali bermunculan pedagang-pedagang kecil (pedagang informal) atau Pedagang Kaki Lima. Pedagang Kaki Lima sering muncul terutama di daerah perkotaan. Usaha informal ini merupakan salah satu alternatif lapangan pekerjaan yang lebih mudah, dengan modal kecil dapat Selain adanya krisis ekonomi, dengan perkembangan teknologi yang canggih dan dampak dari globalisasi ekonomi menimbulkan suatu masalah masalah yang komplek dan takterduga. Apalagi didukung dengan bertambahya penduduk, menimbulkan angka pengangguran bertambah. Pemerintah sendiri kurang mampu menyediakan lapangan pekerjaan di sektor formal, banyak perusahaanpun tak mampu menyerap tenaga kerja. Karena semakin sulitnya lapangan pekerjaan membuat masyarakat berfikir hemat, untuk dapat sekedar mencari makan dan menyambung hidup. Karena itulah banyak sekali bermunculan pedagang-pedagang kecil (pedagang informal) atau Pedagang Kaki Lima. Pedagang Kaki Lima sering muncul terutama di daerah perkotaan. Usaha informal ini merupakan salah satu alternatif lapangan pekerjaan yang lebih mudah, dengan modal kecil dapat

PKL atau dalam bahasa inggris disebut street hawker atau street trader selalu dimasukkan dalam sektor informal. Keberadaan munculnya PKL ini sering diabaikan, dikesampingkan bahkan tidak didukung oleh pemerintah. Inilah merupakan suatu celah sehingga masyarakat lebih leluasa untuk melakukan usaha ini. Namun hal ini memang tidak dapat diprediksikan sebelumnya. PKL ini berfragmentasi atau menyebar dengan cepat didaerah perkotaan yang keberadaanya dirasa mengganggu lingkungan. Dalam perkembangannya, keberadaan PKL sering dipandang ilegal dan sebagai kelompok marginal (pinggiran) di perkotaan yang sering menimbulkan berbagai persoalan, seringkali kita jumpai masalah-masalah yang terkait dengan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat. Kesan kumuh, liar, merusak keindahan, seakan sudah menjadi label paten yang melekat pada usaha mikro ini. Mereka berjualan di trotoar jalan, di taman- taman kota, di jembatan penyebrangan, bahkan di badan jalan. Pemerintah kota/kab berulangkali menertibkan mereka yang ditengarai menjadi penyebab kemacetan lalu lintas ataupun merusak keindahan kota. PKL dipandang sebagai bagian dari masalah (part of problem). Upaya penertiban, sebagaimana sering diekspose oleh media televisi acapkali berakhir dengan bentrokan dan mendapat perlawanan fisik dari PKL sendiri. Bersama

melakukan unjuk rasa. Tetapi kadang-kadang keberadaan sektor informal ini juga diperlukan oleh sebagian masyarakat. Dengan alasan harga yang ditawarkan jauh lebih rendah dibandingkan yang ditawarkan oleh sektor formal pada barang yang sama Fakta menunjukkan bahwa PKL juga memberikan peranan dalam menyerap lapangan pekerjaan serta sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah karena PKL memberikan kontribusi finansial melalui retribusi yang dibayarkan pada pemerintah.

Dengan demikian ada dua sisi yang saling bertentangan, PKL dapat mendatangkan kontribusi positif maupun negatif. untuk mensikapi keberadaan sektor informal ini. Peran pemerintah sangat diperlukan untuk mengatasi permasalahan ini, karena pemerintah yang mempunyai kewenangan untuk mengatur masyarakatnya.

Dalam bukunya berjudul The Microfinance Revolution: Sustainable Finance for the Poor (2001) Robinson mengatakan bahwa munculnya pedagang kecil informal merupakan konsekuensi dari disfungsi kebijakan ekonomi. Mengacu pada pendapat ini maka permasalahan PKL akan hilang dengan sendirinya jika program pembangunan ekonomi pemerintah mampu menghidupkan dinamika usaha kecil dan menegah sekaligus menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih luas. Jadi jelaslah bahwa yang semestinya paling bertanggung jawab atas hal ini adalah pemerintah.²

Sekarang ini pemerintah dihadapkan dengan berbagai masalah yang begitu rumit. Persoalan-persoalan tak kunjung terselesaikan. Kemiskinan, penganguran, kesehatan maupun pendidikan menjadi fokus permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah. Berbagai kebijakan telah dijalankan, begitu besar dana telah dikeluarkan, namun hasilnya negara masih dihadapkan permasalahan tak kunjung teratasi.

Namun dengan begitu kompleksnya masalah yang dihadapi, pemerintah tidak dapat mengatasinya sendiri. Bahkan para pemimpin yang dianggap begitu kuat (powerful) pun didunia yang mengadopsi teori dan praktek birokrasi rasional Weber yang sudah lazim di Negara Barat, yang dianggapnya mampu mencipakan kehidupan yang efisienpun, gagal untuk meredam persoalan dunia yang unpredictable (tidak dapat diprediksi) dan semakin sulit untuk diatasi. Teori tersebut bukanlah alat yang tepat dan bahkan tidak mampu mengatsasi masalah kompleks karena ia hanya tepat untuk kondisi lingkungan yang sangat stabil dan predictable (dapat diprediksi). Dunia sekarang ini yang semakin unpredictable dan tidak menentu (uncertain), kompleks, dinamik dan berubah dengan cepat, dan bahkan telah terjadi fragmentasi komunitas dunia dan institusi-institusi governance , maka jelas tidak bisa diatasi hanya dengan aplikasi birokrasi dalam kehidupan modern seperti sekarang ini. Cara kerja teori birokrasi yang mirip seperti mesin dengan sendirinya selalu memprediksikan output tertentu yang diharapkan; dan ini jelas bahwa ia tidak menjawab Namun dengan begitu kompleksnya masalah yang dihadapi, pemerintah tidak dapat mengatasinya sendiri. Bahkan para pemimpin yang dianggap begitu kuat (powerful) pun didunia yang mengadopsi teori dan praktek birokrasi rasional Weber yang sudah lazim di Negara Barat, yang dianggapnya mampu mencipakan kehidupan yang efisienpun, gagal untuk meredam persoalan dunia yang unpredictable (tidak dapat diprediksi) dan semakin sulit untuk diatasi. Teori tersebut bukanlah alat yang tepat dan bahkan tidak mampu mengatsasi masalah kompleks karena ia hanya tepat untuk kondisi lingkungan yang sangat stabil dan predictable (dapat diprediksi). Dunia sekarang ini yang semakin unpredictable dan tidak menentu (uncertain), kompleks, dinamik dan berubah dengan cepat, dan bahkan telah terjadi fragmentasi komunitas dunia dan institusi-institusi governance , maka jelas tidak bisa diatasi hanya dengan aplikasi birokrasi dalam kehidupan modern seperti sekarang ini. Cara kerja teori birokrasi yang mirip seperti mesin dengan sendirinya selalu memprediksikan output tertentu yang diharapkan; dan ini jelas bahwa ia tidak menjawab

Dalam permasalahan PKL Pemerintah (state) sendiri seolah-olah kuwalahan dalam menghadapi masalah tersebut, sehingga terkesan mengabaikan ataupun kurang memperhatikannya, walaupun sebetulnya PKL juga berperan dalam perekonomian di perkotaan. Masalah penanganan PKL. sebenarnya bukan saja menjadi urusan Pemerintah, akan tetapi merupakan urusan semua komponen yang ada, seperti akademisi, pengusaha, LSM, organisasi sosial (LSM), parpol dan PKL itu sendiri. Keterlibatan semua komponen sebagaimana disebutkan di atas disebabkan masalah PKL merupakan permasalahan yang menyangkut tentang kehidupan masyarakat secara umum. Mereka yang terlibat dalam kegiatan PKL umumnya memiliki modal kecil dan tujuannya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, sehingga kehadiran PKL merupakan tanggung jawab semua pihak yang perlu ditangani dengan bijaksana.

Para akademi perlu mencari jalan terbaik dalam mencari solusi pemecahannya, para politisi perlu menanggapi masalah PKL lebih menekankan pada pemberdayaan masyarakat bukan untuk kepentingan kelompoknya. Para pengusaha perlu memberikan bantuan serta kesempatan yang luas kepada PKL untuk berusaha yaitu dengan menyiapkan tempat- Para akademi perlu mencari jalan terbaik dalam mencari solusi pemecahannya, para politisi perlu menanggapi masalah PKL lebih menekankan pada pemberdayaan masyarakat bukan untuk kepentingan kelompoknya. Para pengusaha perlu memberikan bantuan serta kesempatan yang luas kepada PKL untuk berusaha yaitu dengan menyiapkan tempat-

Urusan PKL pada dasarnya merupakan persoalan internal masing- masing daerah dan bukan merupakan urusan pemerintah pusat; hanya ada 5 bidang urusan publik yang menjadi otoritas nasional yaitu; urusan hubungan luar negeri, pertahanan, kebijakan keuangan, agama, dan peradilan, selebihnya termasuk urusan PKL adalah persoalan otonomi daerah (Pratikno 2005 : 61). Terkait dengan penelitian ini maka governance PKL merupakan otoritas daerah beserta masyarakatnya.

Di wilayah Kabupaten Sukoharjo para PKL tersebar diberbagai daerah, hampir disemua tempat atau pusat-pusat keramaian di Kabupaten Sukoharjo digunakan oleh PKL untuk melakukan usaha dagangannya. Akibat dari kegiatan yang tidak tertata ini lingkungan kota semakin kumuh, menimbulkan bau busuk, berantakan dan mengganggu keindahan kota serta mengganggu lalu lintas dan mematikan saluran pembuangan air . Kondisi ini dapat dilihat dengan semakin banyaknya PKL yang berjualan ditempat- tempat yang bukan mestinya untuk berjualan, seperti trotoar, maupun ditepi- tepi jalan sehingga bersifat liar dan sulit dikendalikan. Kemudian pemerintah Sukoharjo memiliki inisiatif untuk memindahkan mereka dari pinggir-pinggir jalan dan khususnya mereka yang menempati areal di sekitar

tergabung dalam kelompok ini mempunyai nama PPKLS (Paguyuban Pedagang Kaki Lima Alun-Alun Sukoharjo. Kelompok ini memiliki anggota sekitar 68 anggota. Dalam kesehariannya, mereka menjalankan aktivitasnya pada jam 16.00 sampai dengan jam 11 malam. Namun ada sebagian kecil dari anggota kelompok tersebut yang masih berjualan sampai dini hari. Paguyuban ini cenderung tertib dengan aturan yang ada, membentuk suatu kekuatan serta norma-norma yang disepakati bersama sehingga lebih legitimate (kuat karena sah menurut undang-undang) dan memiliki wadah serta kekuatan dalam menyampaikan suatu masukan kepada pemerintah maupun menolak terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan mereka. Dalam upaya mengatasi permasalahan yang dihadapi PKL maupun upaya dalam pengembangan usaha PKL, mereka tidak dapat berdiri sendiri, perlu adanya kolaborasi diantara stake holder. Hal ini dilakukan melalui jaringan atau network antar stakeholders. Yaitu dengan pemerintah maupun dengan masyarkat sekitar.

Dalam pemikiran inilah diperlukan adanya penelitian tentang Governance Pedagang Kaki Lima. Karena penelitian ini ingin menelusuri apa yang dilakukan oleh PKL diluar kapasitas yang dimiliki pemerintah. Sehingga lebih ditekankan pada local governance di dalam komunitas PKL. Melalui penelitian ini ingin mengetahui bagaimana governance pedagang kaki lima di Kabupaten Sukoharjo dengan lokasi di wilayah Alun-alun Sukoharjo.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana governance

pedagang kaki lima di alun-alun Kabupaten Sukoharjo.

Hal ini dirinci dalam sub-sub perumusan masalah sebagai berikut: 1) Hubungan antara Pedagang Kaki Lima dengan Pemerintah 2) Hubungan antar anggota dalam Paguyuban 3) Hubungan paguyuban PKL dengan stakeholders non-government.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian tentang governance Pedagang Kaki Lima di Kabupaten Sukoharjo memiliki tujuan sebagai berikut: 1. Mengetahui sejauh mana hubungan antara PKL, pemerintah dan stakeholders non-government dalam pemecahan masalah-masalah publik. 2. Mengetahui sikap yang dilakukan pemerintah selama ini terhadap PKL khususnya di Alun-alun kota Kabupaten Sukoharjo.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi atau sejumlah manfaat, meliputi: 1. Tersedianya informasi tentang governance pedagang kaki lima (PKL) di Kabupaten Sukoharjo.

hasil permasalahan yang terjadi, demi mewujudkan alternatif pemecahan masalah yang timbul karena keberadaan PKL 3. Pada akhirnya penelitian ini tidak semata-mata diorientasikan pada kepentingan akademik, namun juga diorientasikan kepada kepentingan praktis bagi peningkatan hubungan antara PKL, pemerintah dan stakeholders terkait. 4. Diharapkan bisa memberikan peluang bagi penelitian yang lebih lanjut. 5. Digunakan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

KAJIAN TEORI

2.1. Pendahuluan

Pada suatu kesempatan, sering kita mendengar kata ”penataan”, ”pembinaan” sebagaimana yang diucapkan atau dinyatakan oleh aparat pemerintah ketika mereka berurusan dengan Pedagang Kaki Lima (PKL). Namun seiring dengan pernyataan-pernyataan tersebut kita juga melihat realita bahwa penggusuran terhadap PKL dilakukan. Kita juga melihat di sejumlah lokasi pemerintah mengharuskan PKL menggunakan tenda seragam/uniform agar kelihatan bersih atau tertata rapi. Fenomena-fenomena dimana PKL diwajibkan mengikuti peraturan atau instruksi pemerintah setempat, PKL menurut atau menentang, ada partisipasi dalam pembuatan keputusan bersama atau hanya sekedar top-down approach dalam memformulasikan alternatif pemecahan masalah terkait dengan keberadaan PKL, ada dialog atau konflik yang mungkin terus berkepanjangan atau hanya beberapa saat saja, ada penarikan retribusi atau tidak, ada penyelewengan keuangan hasil pengumpulan retribusi atau bersih dari tindak penyelewengan, semua fenomena-fenomena ini pada dasarnya merupakan symptom (tanda-tanda) bahwa di lokasi tersebut terdapat governance PKL. Tentu saja proses dan tanda- tanda adanya governance PKL di suatu tempat berbeda dengan proses governance PKL ditempat (daerah) lain.

Untuk memahami lebih rinci, bab ini mereview konsep governance dan sejumlah literature yang relevan atau merupakan bagian atau implikasi dari governance. Termasuk Untuk memahami lebih rinci, bab ini mereview konsep governance dan sejumlah literature yang relevan atau merupakan bagian atau implikasi dari governance. Termasuk

2.1.1. Definisi Governance

Dalam pengertian yang paling umum Davis and Keating (dalam Sudarmo 2011: 72) mendefiniskan governance sebagai the process by which institutions, both state and non-state interact to manage a nation’s affairs ” (suatu proses interaksi institusi-institusi mencakup isntitusi-institusi negera dan institusi-institusi non-negara untuk mengelola persoalan bangsa). Di antara banyaknya difinisi governance yang ada, yang paling tepat menurut sudut pandang The United Nation Development Programme (UNDP) (dalam Abdellatif, 2003 : 4) :

Governance is “the exercise of economic, political and administrative authority to manage a country’s affairs at all levels. It comprises mechanisms, processes and institutions through which citizens and groups articulate their interests, exercise their legal rights, meet their obligations and mediate their differences.”

Stoker merinci konsep governance ke dalam lima proposisi. Pertama, governance mengacu pada serangkaian institusi dan aktor yang berasal dari dalam pemerintah maupun di luar pemerintah. Kedua, governance mengidentifikasikan kekaburan batas-batas dan tanggung jawab untuk menangani isu-isu ekonomi dan sosial. Ketiga, governance mengidentifikasikan ketergantungan kekuasaan yang terlibat dalam hubungan antara institusi yang terlibat dalam tindakan kolektif (collecticve action). Keempat, governance adalah tentang jaringan-jaringan Stoker merinci konsep governance ke dalam lima proposisi. Pertama, governance mengacu pada serangkaian institusi dan aktor yang berasal dari dalam pemerintah maupun di luar pemerintah. Kedua, governance mengidentifikasikan kekaburan batas-batas dan tanggung jawab untuk menangani isu-isu ekonomi dan sosial. Ketiga, governance mengidentifikasikan ketergantungan kekuasaan yang terlibat dalam hubungan antara institusi yang terlibat dalam tindakan kolektif (collecticve action). Keempat, governance adalah tentang jaringan-jaringan

Apa yang diungkapkan stoker, walaupun terdapat kategorisasi tentang makna governance , adalah konsep governance dalam arti yang sangat luas dan seoalah-olah merupakan tipe ideal governance karena dalam realita lapangan tidaklah selalu dan selamanya dan tidak sepenuhnya konsepsi governance memenuhi ciri-ciri seperti yang diuraikannya. Mungkin yang paling tepat adalah bahwa konsep governance yang dipaparkan adalah kecenderungan kearah tipe-ideal tersebut (Sudarmo 2011 : 73). Dalam banyak hal, tidak menutup kemungkinan proses governace sering ditunjukan dengan munculnya peran secara dominan oleh pemerintah dan elit lain seperti elit bangsawan, ketua paguyuban dan bisnis formal sedangkan stakeholder lemah cenderung kurang memiliki power untuk berkiprah dalam pengambilan keputusan karena sikap dan tindakannya cenderung dikontrol oleh elit kuat tersebut dan kadang menjadi korban akibat dominasi elit tersebut.

Dalam pengertian sempit, ‘governance’ biasanya mengacu pada “the capacity of the government to make policy and put into effect” ( kapasitas pemerintah untuk membuat kebijakan dan mengimplementasikannya) (Pierre and Peters, dalam Sudarmo 2011 : 73). Pengertian ini merupakan pandangan tradisional yang melihat pemerintah sebagai stakeholder utama yang dipandang paling memiliki otoritas untuk mebuat kebijakan/keputusan tanpa campur tangan stakeholder lainnya termasuk masyarakat yang terkena kebijakan. Pandangan

bernegara yang kurang mengembangkan nilai-nilai demokrasi. Tetapi di sebagian masayarakat tertentu, proses formulasi kebjakan tidak lagi hanya di mainkan dan didominasi oleh Negara atau pemerintah yang berkuasa saja (Denhardt and Denhardt dalam Sudarmo 20101 : 73); dan bahkan ada kecenderungan diterimanya sebuah pemikiran bahwa governance mencakup “participants from outside government recognized as stakeholders who have rights to be involved should be engaged in deciding what should be done and possibly carrying it out. ” (partisipan dari luar pemerintah yang dikenal sebagai stakeholder, yaitu pihak-pihak yang memiliki hak untuk harus dilibatkan dalam menentukan apa yang seharusnya dilakukan dan termasuk kemungkinan untuk melaksanakan keputusan tersebut.) (Colebatch dalam Sudarmo 2011 : 73). Partisipasi bisa didefinisikan sebagai “broad forms of engagement by citizens in policy formulation and decision making in key arenas which affect their lives.” (berbagai bentuk keterlibatan warganegara dalam formulasi kebijakan dan pembuatan keputusan pada wilayah-wilayah penting yang memperngaruhi hidup mereka) (Gaventa and Valderrama, dalam sudarmo 2011 : 74). Ini berarti bahwa tindakan-tindakan atau aktivitas-aktivitas dari kelompok yang terkena kebijakan bisa saja melakukan negosiasi, dialog atau diskusi untuk menemukan titik temu yang bisa disepakati bersama; namun demikian tidak menutup kemungkinan partisipasi yang mereka ungkapkan bisa dalam bentuk yang lebih keras atau kasar seperti protes-protes dengan kata-kata atau pernyataan sikap akibat ketidakpuasan atau bahkan bentuk kekerasan fisik lainnya termasuk adu fisik dan atau pengrusakan sebagai bentuk pressure terhadap pihak penguasa atau pembuat kebijakan agar didengar dan diakomodasi

dengan perlawanan secara terbuka kepada pihak penguasa. Definisi dari Davis walaupun terlalu luas tetapi memberikan fleksibilitas yang tinggi bagi para analis atau peneliti ketika akan menguraikan atau menanalisis konsepesi governance seiring dengan kasus atau fenomena yang tengah ditangani pada situasi dan lokasi tertentu. Boleh jadi sebuah konsep atau teori yang diadopsi dari hasil generaliasasi tidak sesuai ketika diterapkan pada kasus tertentu walaupun masih dalam ranah konspensi governance karena analisis tentang governance kadang sifatnya kasusistik dan spesifik serta unik. Dengan demikian dalam kasus yang berbeda meskipun masih dalam domain governance, cakupan analisis serta hal-hal apa saja yang yang terkait yang akan dianalisis tentu berbeda-beda. Oleh karena itu, konsepsi governace dalam tulisan ini, disamping memanfaatkan sejumlah literatur yang ada termasuk hasil-hasil penelitian di luar negeri dan berbagai pengalaman praktek governance tingkat nasional sebagai dasar kajian dalam tulisan ini, juga tidak lepas dari pengalaman-pengalaman penelitian penulis selama ini terkait dengan governance PKL di Solo dan daerah lain di Solo Raya serta pengalaman pengabdian kepada masyarakat di sekitar Solo .

Dengan mengacu pada pengertian governance yang mencakup state dan non state, maka konsepsi state dalam realitanya bisa mencakup pemerintah, dewan perwakilan rayat, polisi, militer, kelompok kaum bangsawan yang memiliki otoritas untuk mengatur kehidupan orang banyak dan atau kelompok kepentingan lainnya yang berafiliasi ke pemerintah dan memiliki otoritas untuk mengatur kelompok masyarakat lainnya; sedangkan non-state bisa mencakup (1) kelompok bisnis (biasanya bisnis formal yang bisa mencakup pengusaha-pengusaha bertaraf internasional, nasional maupun lokal), dan (2) society seperti kelompok-kelompok

kelompok-kelompok kepentingan yang ingin memperjuangkan hak-haknya kepada pemerintah (atau kekuatan yang berafiliasi ke pemerintah yang diberi otoritas oleh pemerintah atau pihak yang berwenang), kelompok masyarakat yang terkena dampak kebijakan (Sudarmo 2011 : 75). Namun demikian, stakeholder mana saja yang terlibat dalam struktur governance, tergantung isu yang menjadi fokus kajian. Berbeda isu sangat mungkin berbeda stakeholder yang terlibat atau harus dilibatkan; demikian pula bagaimana proses governance itu berlangsung tergantung pada seberapa besar kekuatan partisipasi masing-masing stakeholder dalam proses pembuatan keputusan karena sangat dimungkinkan stakeholder kuat dan dominan akan menjadi kekuatan besar dalam pengambilan keputusan sedangkan stakeholder yang lemah hanya akan mengikuti apa keputusan dari stakeholder dominan.

Betapapun partisipasi sering dipandang sebagai perwujudan nilai-nilai demokrasi di sejumlah mayarakat tertentu, implementasi kebijakan kadang atau bahkan sering berada di bawah personal rule untuk mencapai tujuan dari kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh penguasa.. Pengertian “personal rule” sering digunakan secara bergantian dengan konsep “neopatrimonialism .” (Acemoglu dalam Sudarmo 2011 : 75)

According to Jackson and Rosberg: “Personal rule is a system of relations linking rulers…with patrons, clients, supporters, and rivals,

who constitute the ‘system’. If personal rulers are restrained, it is by the limits of their personal authority and power and by the authority and power of patrons, associates, clients, supporters, and –of course –rivals. The system is ‘structured’…not by institutions, but by the politicians themselves.” (Personal rule merupakan sebuah system relasi yang menghubungan para penguasa dengan para patron, klien dan musuh-musuhnya, yang membentuk sebuah sitem. Jika personal rule itu dikendalikan, maka pengendalian tersebut terjadi karena batas-batas otoritas dan kekuasaan dari para patronnya, para temannya, para kliennya, dan tentu saja para musuhnya.

Rosberg dalam Sudarmo 2011 : 75).

Personal rules dekat dengan praktek korupsi yang dilakukan secara berjamaah, terselubung melalui undang-undang formal yang dimanipulasi untuk kepentingan dirinya dan kelompoknya, sistematis melalui jaringan yang disusun rapi yang memungkinkan dilibatkannya orang-orang kunci yang memiliki kekuasaan dan otoritas dalam pengambilan keputusan di lingkungan birokrasi pemerintah. Jaringan yang dibangun sering sedemikian luas dan mengakar sehingga sulit dan memerlukan waktu lama untuk diberantas. Bahkan dalam jaringan tersebut, tidak jarang para penegak hukum dan keamaanan termasuk jaksa, hakim, polisi, tentara, dan para pejabat pelayan publik serta penyelengara Negara termasuk menteri, birokrat, wakil-wakil rakyat di lembaga legislatif, ikut terlibat didalamnya sehingga pihak pengusut kewalahan dan tidak jarang mengalami kendala yang sangat signifikan. Terlebih jika jaringan tersebut menyangkut kepentingan presiden.

Indonesia masih merepresentasikan masyarakat politik yang merepresentasikan ciri-ciri patrimonial yang memenuhi definisi sistem personal rule. (Webber dalam Sudarmo 2011 : 76). Crouch memperlihatkan bahwa selama masa masa “Demokrasi Terpimpin” di era Sukarno dan “Orde Baru” di era Suharto banyak ciri-ciri sistem politik pasca era-era tersebut justru kembali pada politik patrimonial sebagaimana pada masa kekaisaran jawa pra kolonial. (Crouch dalam Sudarmo 2011 : 76)

Menurut Crouch, terdapat sejumlah alasan mengapa neopatrimonialism masih tetap bercokol: “(a) kekuasaan penguasa tergantung pada kapasitas diri penguasa tersebut untuk menang dan penguasa masih tetap mempertahankan loyalitas bagian-bagian elit politik kunci

dengan cara memuaskan aspirasi-aspirasi para pendukungnya yang memiliki kepentingan material melalui barter/pertukaran dimana para pendukungnya menerima suap dan kemanfaatan-kemanfaatan yang bisa dinikmati sedangkan penguasa menerima penghormatan dan loyalitas dari para pendukungnya, terutama dilakukan ketika penguasa tersebut sudah tidak memiliki lagi kapasitas yang memadai untuk memaksakan aturan yang ingin diterapkan; (c) pemerintah mampu mengatur sesuai dengan kepentingan-kepentingan para elit tanpa terlalu banyak memperhitungkan kepentingan publik karena publik dipandang terbelakang secara sosial dan secara politik pasif, dan tetap dalam pengawasan kekuatan regim militer.” (Crouch dalam Sudarmo 2011 : 76)

Apa yang dikemukakan oleh Crouch masih relevan dengan kondisi di Indonesia, bukan hanya pada era orde lama maupun orde baru, tetapi juga pada era reformasi yang notabene mengagung-agungkan praktek demokrasi dan meniadakan praktek neopatriomonialisme, meskipun sistem pemilihan langsung kepala daerah telah dimulai. Pada era reformasi justru pasangan calon bupati/walikota dan wakilnya tidak jarang terlibat praktek aliansi dengan para pendukungnya yang memberikan suaranya secara sukarela dan loyalis dengan cara memberikan materi atau uang melalui sebuah tim yang dibayarnya untuk memfasilitasi kesuksesan pasangan calon tersebut. Bahkan ketika mereka berhasil menuju kesuksesan, tidak jarang mereka menggunakan kebijakan melalui kekuatan pemaksa yang didasari oleh kekuatan hukum yang dibuatnya tanpa partisipasi kelompok yang menjadi sasaran dari penegakan hukum tersebut, sehingga ketika hukum atau aturan yang mereka buat itu diimplementasikan terasa parasitis terhadap aktivitas ekonomi informal. Aktivitas pedagang kaki lima sebagai

situasi kota terlihat bersih dan teratur. Dengan demikian, betapapun mereka itu dibutuhkan untuk memenangkan pasangan calonan bupati/walikota dengan janji atau imbalan tertentu pada masa kampanye pemilihan, maka ketika pasangan tersebut berkuasa, mereka akan segera melakukan tindakan tegas ketika para PKL yang dulunya pernah mendukung pencalonannya karena dipandang bertentangan dengan kebijakan pasangan bupati/walikota dan wakilnya saat ini yang memenangkan pemilihan tersebut. Bahkan, penguasa ini tidak segan-segan mengerahkan dukungan pasukan satuan polisi pamong praja setempat untuk mengamankan kebijakan yang diimplementasikannya dengan menggusur PKL tersebut (Sudarmo 2011 : 77).

Crouch menandaskan bahwa walaupun Indonesia mengalami perubahan sosial, ekonomi dan politik yang begitu luas terutama setelah Negara ini memperoleh kemerdekaannnya, Indonesia masih memperlihatkan patrimonial governance. Ia lebih jauh menyatakan bahwa ciri-ciri patrimonial masih tetap bercokol, namun demikian ciri-ciri sekarang yang terlihat sangat berbeda dari aslinya yang pernah muncul pada waktu lalu. Ini untuk menggarisbawahi bahwa walaupun Indonesia telah mengalami era reformasi yang mencerminkan pergeseran sistem politik dari otoriter ke demokrasi, tidak ada jaminan bahwa patrimonialisme dengan sendirinya dibersihkan dan bahkan ciri-ciri patrimolialisme masih terus berlangsung meskipun dengan bentuk yang lain dan variatif namun tetap saja memenuhi ciri-ciri patrimonialisme. Patrimonialisme di era reformasi bisa terjadi di setiap wilayah administrasi di negeri ini, terlebih di era otonomi daerah. Patrimonial governance bisa mengambil bentuk yang berbeda-beda namun masih memenuhi karakteristik dari patrimonilaisme itu sendiri, dan dimungkinkan muncul dari setiap implikasi praktek implementasi kebijakan publik.

ascribed to a person rather than to an office, despite the official existence of a written constitution. ” (hak untuk memerintah rejim patrimonial lebih mendasarkan pada pribadi orangnya ketimbang aturan yang ada di kantornya, meskipun terdapat terdapat konstitusi tertulis yang harus menjadi rujukannya) (Bratton and Walle dalam Sudarmo 2011 : 78). Untuk mengamankan loyalitas patrimonial, pihak penguasa (yang memiliki otoritas atau pembuat kebijakan, memberikan “the distribution of opportunities for personal profits.” (distribusi kesempatan bagi keuntungan-keuntungan pribadi) (Crouch dalam Sudarmo 2011 : 78). Keuntungan ini bisa berupa materi, financial maupun posisi-posisi tertentu yang bisa memberikan kemanfaatan bagi pribadi yang menerimanya dari pihak yang memiliki otoritas atau pembuat kebijakan atau bahkan oknum tertentu yang seolah-olah memiliki otoritas. Keberhasilan penguasa/pihak yang memiliki otoritas dalam mengimplementasikan kebijakannya, sebagian tergantung pada kemampuan menggunakan startegi memecah belah. (Acemoglu dalam Sudarmo 2011 : 78). Strategi memecah belah ini merupakan metode yang digunakan oleh pembuat kebijakan atau penguasa untuk memepertahankan kekuasaannya melawan tantangan-tantangan, (Acemoglu dalam Sudarmo 2011 : 78) yang bisa dilakukan dengan memberikan insentif tertentu secara selektif dan hukuman dan mengeksploitasi kerapuhan kerjasama sosial dan ketika mereka menghadapi ancaman maka para penguasa atau pembuat kebijakan atau yang memiliki otoritas tersebut mengentinsifkan tindakan kolektif terhadap masalah dan menghancurkan koalisi yang menentang dirinya dengan memberikan sogokan kepada kelompok kunci. Strategi memecah belah ini ditujukan untuk mengamankan prioritas dari mereka yang powerful tetapi merugikan kelompok yang lemah (Chambers dalam ascribed to a person rather than to an office, despite the official existence of a written constitution. ” (hak untuk memerintah rejim patrimonial lebih mendasarkan pada pribadi orangnya ketimbang aturan yang ada di kantornya, meskipun terdapat terdapat konstitusi tertulis yang harus menjadi rujukannya) (Bratton and Walle dalam Sudarmo 2011 : 78). Untuk mengamankan loyalitas patrimonial, pihak penguasa (yang memiliki otoritas atau pembuat kebijakan, memberikan “the distribution of opportunities for personal profits.” (distribusi kesempatan bagi keuntungan-keuntungan pribadi) (Crouch dalam Sudarmo 2011 : 78). Keuntungan ini bisa berupa materi, financial maupun posisi-posisi tertentu yang bisa memberikan kemanfaatan bagi pribadi yang menerimanya dari pihak yang memiliki otoritas atau pembuat kebijakan atau bahkan oknum tertentu yang seolah-olah memiliki otoritas. Keberhasilan penguasa/pihak yang memiliki otoritas dalam mengimplementasikan kebijakannya, sebagian tergantung pada kemampuan menggunakan startegi memecah belah. (Acemoglu dalam Sudarmo 2011 : 78). Strategi memecah belah ini merupakan metode yang digunakan oleh pembuat kebijakan atau penguasa untuk memepertahankan kekuasaannya melawan tantangan-tantangan, (Acemoglu dalam Sudarmo 2011 : 78) yang bisa dilakukan dengan memberikan insentif tertentu secara selektif dan hukuman dan mengeksploitasi kerapuhan kerjasama sosial dan ketika mereka menghadapi ancaman maka para penguasa atau pembuat kebijakan atau yang memiliki otoritas tersebut mengentinsifkan tindakan kolektif terhadap masalah dan menghancurkan koalisi yang menentang dirinya dengan memberikan sogokan kepada kelompok kunci. Strategi memecah belah ini ditujukan untuk mengamankan prioritas dari mereka yang powerful tetapi merugikan kelompok yang lemah (Chambers dalam

2.1.2. Definisi Pedagang Kaki Lima

Pedagang kaki lima merupakan salah satu tipe sektor informal. Sektor informal mengacu pada aktivitas-aktivitas ekonomi yang berlangsung diluar norma-norma formal urusan ekonomi yang diakui oleh Negara dan bisnis. Sektor informal mencakup bisnis kecil yang menyebabkan individu atau keluarga mempekerjakan dirinya atau memberikan kesempatan kerja bagi mereka. Sektor informal mencakup “the production and exchange of legal goods and services ” (produksi dan pertukaran barang-barang dan pelayanan yang sah secara hukum) yang juga ditandai oleh “the lack of appropriate business permits, violation of zoning codes, failure to report tax liability, non-compliance with labour regulations governing contracts and work conditions, and/or the lack of legal guarantees in relations with suppliers and clients .” (tidak adanya ijin bisnis yang secara persis menjelaskan dengan tepat, tidak mengikuti zona yang diperbolehkan sehingga dianggap merusak tatanan areal yang diperbolehkan, tidak memiliki laporan pertanggungjawaban pembayaran pajak, tidak mengikuti aturan perburuhan yang mengatur kontrak dan kondisi pekerjaan, dan atau tidak

Sudarmo 2011 : 78). Justru karena cirinya yang yang begitu luas, maka secara konseptual, metodoligis dan teoritis, sulit mendefiniskan secara persis sifat, cakupan, dan signifikansinya. Kondisi ini mengakibatkan munculnya kritik terhadap konsep sektor informal karena tidak adanya kejelasan definisi ini. Namun begitu, sektor informal bisa diidentifikasi ciri-cirinya dan bentuk-bentuknya yang banyak terjadi di Negara-negara berkembang termasuk Indonesia dan tersebar di berbagai daerah di negeri ini. Beberapa bentuk sektor informal yang biasa ditemui sehari-hari misalnya perdagangan kaki lima (PKL), pijat, industri rumah tangga, dan perdagangan asongan, dan masih banyak lagi ragamnya.

Seperti halnya sektor informal, definisi pedagang kaki lima juga tidak memiliki definisi tunggal yang bisa diterima oleh semua pihak mengingat sektor ini memiliki ragam yang heterogen, dan sejumlah referensi juga mendefinisikan konsep ini dengan menyamakan seperti halnya definisi sektor informal padahal lingkup sektor iniformal jauh lebih luas dari pada lingkup pedagang kaki lima (Nurhanafiansyah, dalam Sudarmo 2011 : 80). Walaupun kadang terdapat overlapping antara definisi sektor informal dan definisi pedagang kaki lima, batasan pedagang kaki lima memerlukan definisi yang lebih sepesifik. Edi Suharto mendefiniskan pedagang kaki lima sebagai berikut:

“(1) mereka beroperasi di ruang publik yang tidak diperuntukkan bagi kepentingan bisnis, seperti di pinggir jalan, trotoar dan ruas-ruas jalan yang menghubungan tempat-tempat strategis seperti pasar, alun-alun, ruang hijau; (2) mereka memperdagangkan berbagaai item seperti makanan, barang-barang, atau pelayanan untuk keuntungan ekonomi yang mengandung transaksi pasar; (3) Mereka membentuk hubungan dengan sektor ekonomi lainnya, terutama hubungan dengan sektor ekonomi formal modern (misalnya banyak komoditas yang dijual oleh pedagang kaki lima yang notabene buatan industri perpabrikan); (4) Mereka pada umumnya tidak memiliki surat ijin tetapi tidak bisa dikateorikan sebagai kriminal menurut aturan hukum atau aturan pemerintah setempat; (5) Mereka tidak membayar pajak, tetapi

Bisnis mereka biasanya melibatkan anggota keluarga dalam hal kepemilikan dan sistem manajemen; (7) Perusahaan mereka kecil dan pada umumnya pemilik sekaligus merangkap sebagai pekerjanya atau mempekerjakan kurang dari lima orang buruh atau anggota keluarganya; (8). Kepegawaiannya dalam hal perolehan kemanfaatan tidak dilindungi oleh pemerintah misalnya seperti pelayanan sosial dan pensiun; maupun oleh serikat buruh misalnya dalam hal asuransi atau gaji tetap; (9). Tempat mangkal atau lapak mereka pada umumnya ditandai dengan infrastruktur dan teknologi yang sederhana dan modal ekonomi dan sumberdaya yang terbatas (Suharto dalam Sudarmo 2011 : 80-81).