Identifikasi Perubahan Tutupan Lahan Menggunakan Landsat 7 dan Landsat 8 (Studi Kasus di Asosiasi Petani Hutan Rakyat Wonosobo)

IDENTIFIKASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN
MENGGUNAKAN LANDSAT 7 DAN LANDSAT 8
(Studi Kasus di Asosiasi Petani Hutan Rakyat Wonosobo)

MUHAMMAD ROMADHON

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Identifikasi Perubahan
Tutupan Lahan Menggunakan Landsat 7 dan Landsat 8 (Studi Kasus di Asosiasi
Petani Hutan Rakyat Wonosobo) adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2015
Muhammad Romadhon
NIM E14100130

ABSTRAK
MUHAMMAD ROMADHON. Identifikasi Perubahan Tutupan Lahan
Menggunakan Landsat 7 dan Landsat 8 (Studi Kasus di Asosiasi Petani Hutan
Rakyat Wonosobo). Dibimbing oleh Dr. Ir. Muhamad Buce Saleh, MS.
Hutan rakyat merupakan hutan yang tumbuh di lahan milik masyarakat.
Hutan rakyat mengalami pertumbuhan yang pesat terutama di pulau Jawa. Alih
fungsi tutupan lahan juga meningkat seiring dengan meningkatnya hutan rakyat.
Perubahan tutupan lahan di Asosiasi Petani Hutan Rakyat (APHR) Wonosobo ini
dapat diketahui menggunakan penginderaan jarak jauh. Penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi dan menghitung perubahan tutupan lahan yang terjadi di
APHR Wonosobo pada tahun 2003 hingga tahun 2014. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu metode interpretasi visual. Terdapat 8 kelas tutupan
lahan hasil dari interpretasi visual citra yaitu hutan tanaman pinus, pemukiman,
badan air, pertanian lahan kering, sawah, semak/belukar, tanah terbuka dan kebun

campuran. Besar perubahan tutupan lahan ke arah positif seluas 449.24 ha
(31.5%) dan perubahan yang ke arah negatif seluas 122.18 ha (8.6%).
Kata kunci: APHR Wonosobo, perubahan tutupan lahan, Interpretasi Visual

ABSTRACT
MUHAMMAD ROMADHON. Land Cover Change Identification by Use
Landsat 7 and Landsat 8. Supervised by Dr. Ir. Muhamad Buce Saleh, MS.
Community forest is a forest that grow on public land. Community forest is
growing fast especially in Java. Land cover change is also increasing along with
comunity forest growth. Land cover change in APHR Wonosobo can be identified
using remote sensing. The aim of this research are to identify and calculate the
land cover change in APHR Wonosobo from 2003 to 2014. The method used in
this research is visual interpretation method. The land covers of the study area
were classified into pine forest, settlement, water, dryland farming, rice field,
shrub-bush, bare land and mixed vegetation. The land cover change in a positive
direction is 449.24 ha (31.5%) and in a negative direction is 122.18 ha (8.6%).
Keywords : APHR Wonosobo, land cover change, Visual Interpretation

IDENTIFIKASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN
MENGGUNAKAN LANDSAT 7 DAN LANDSAT 8

(Studi Kasus di Asosiasi Petani Hutan Rakyat Wonosobo)

MUHAMMAD ROMADHON

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Manajemen Hutan

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi : Identifikasi Perubahan Tutupan Lahan Menggunakan Landsat 7 dan
Landsat 8 (Studi Kasus di Asosiasi Petani Hutan Rakyat
Wonosobo)
Nama

: Muhammad Romadhon
NIM
: E14100130

Disetujui oleh

Dr. Ir. Muhamad Buce Saleh, MS
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Ahmad Budiaman, M.Sc F.Trop
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Segala puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa
memberikan berkat dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Identifikasi Perubahan Tutupan Lahan

Menggunakan Landsat 7 dan Landsat 8 (Studi Kasus di Asosiasi Petani
Hutan Rakyat Wonosobo)” dengan sebaik-baiknya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Muhamad Buce Saleh,
MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan
dengan baik dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga ingin mengucapkan
terima kasih kepada kedua orang tua, teman-teman, dan seluruh pihak atas doa
dan dukungan yang telah diberikan.
Penulis sangat mengharapkan kritik, saran, dan perbaikan untuk
penyempurnaan skripsi ini, mengingat bahwa penelitian ini masih banyak
kekurangan karena keterbatasan yang dimiliki. Semoga penelitian ini memberikan
pengetahuan dan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, April 2015
Muhammad Romadhon

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi


DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan

1


Manfaat Penelitian

1

METODOLOGI

2

Waktu dan Tempat

2

Alat dan Bahan

2

Metode Penelitian

2


HASIL DAN PEMBAHASAN

5

Citra Fusi

5

Objek di Lapangan

7

Kunci Interpretasi

9

Interpretasi dan Digitasi Citra

10


Analisis Perubahan Tutupan Lahan

12

SIMPULAN DAN SARAN

16

DAFTAR PUSTAKA

17

RIWAYAT HIDUP

18

DAFTAR TABEL
1
2
3

4
5
6
7

Jenis tutupan lahan di APHR Wonosobo
Deskripsi tutupan lahan di APHR Wonosobo
Deskripsi kunci interpretasi tutupan lahan di APHR Wonosobo.
Luas tutupan lahan di APHR Wonosobo tahun 2014
Luas tutupan lahan di APHR Wonosobo tahun 2003
Luas tutupan lahan di APHR Wonosobo tahun 2003–2014
Luas tutupan lahan di APHR Wonosobo tahun 2003–2014

7
8
10
10
11
13
14


DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Peta sebaran titik pengamatan lapang di APHR Wonosobo
Kerangka penelitian
Citra original Landsat 8 band 6-5-4
Hasil metode IHS
Hasil metode Brovey
Hasil metode Wavelet
Hasil metode Multiplicative
Hasil metode Principal Component
Peta sebaran tutupan lahan APHR Wonosobo tahun 2014
Peta sebaran tutupan lahan APHR Wonosobo tahun 2003
Peta pola perubahan tutupan lahan APHR Wonosobo tahun 2003–2014
yang telah dikoreksi

3
4
5
5
6
6
6
6
11
12
14

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan rakyat merupakan hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan luas
minimal 0.25 ha. Penutupan tajuk didominasi oleh tanaman perkayuan dan atau
tanaman tahun pertama dengan minimal 500 batang (Dephutbun 1999). Hutan
rakyat biasanya menggunakan sistem tumpang sari atau agroforestry. Sistem
agroforestry yaitu percampuran antara tanaman berkayu dengan tanaman palawija
dan buah-buahan yang bertujuan agar pendapatan masyarakat lebih meningkat.
Hutan rakyat mengalami perkembangan yang pesat terutama di pulau Jawa
dalam 20 tahun terakhir. Keberadaan hutan rakyat secara indikatif di pulau Jawa
(tersebar dalam 6 klas penutupan lahan) dari tahun 1990 sampai tahun 2008 telah
meningkat sebesar 35.99% (selama 18 tahun), atau meningkat sebesar 1.99%
(dibulatkan 2%) per tahun (BPKH Yogyakarta 2009). Penyebab meningkatnya
area hutan rakyat di antaranya yaitu perawatan dan pengelolaan pohon tidak
terlalu sulit, selain itu masyarakat juga mendapat kepastian akan hak kepemilikan
dan pengelolaan lahan sehingga tidak takut hasil tanaman mereka bermasalah
karena pohon membutuhkan waktu pertumbuhan bertahun-tahun agar bisa
dipanen. Meningkatnya hutan rakyat berarti juga meningkatnya kebutuhan akan
lahan. Alih fungsi lahan merupakan salah satu langkah yang digunakan
masyarakat untuk menyiasati peningkatan kebutuhan lahan tersebut.
Dinamika perubahan penggunaan lahan yang lebih ke arah positif ini
menarik untuk diamati. Perubahan penggunaan lahan dapat diketahui dengan
menggunakan penginderaan jarak jauh. Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni
untuk memperoleh informasi mengenai suatu obyek, daerah atau fenomena
melalui analisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa adanya
kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan
Kiefer 1990). Perubahan penggunaan lahan ini dapat diamati menggunakan citra
Landsat 7 dan Landsat 8.

Tujuan
Mengidentifikasi tutupan lahan dan menghitung laju perubahan tutupan
lahan di areal APHR Wonosobo menggunakan citra Landsat 7 dan Landsat 8
dengan metode Interpretasi Visual.

Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan pemerintah
dalam melakukan pengelolaan lahan khususnya di APHR Wonosobo.

2

METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei–November 2014 di Asosiasi
Pemilih Hutan Rakyat (APHR) Wonosobo Kabupaten Wonosobo yang terdiri dari
4 desa yaitu Durensawit, Jonggolsari, Kalimendong dan Manggis. Pengambilan
data dilakukan pada bulan Mei 2014. Pengolahan data dilakukan pada bulan JuniNovember 2014.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat tulis, tally sheet, kamera,
Global Positioning System (GPS Receiver) Garmin 62st dan laptop yang
dilengkapi dengan software ERDAS IMAGINE 9.3, ArcGIS 9.3. Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Citra Landsat 8 path 120 dan row 65
perekaman Maret 2014, Landsat 7 path 120 dan row 65 perekaman Mei 2003,
Peta Rupa Bumi Kabupaten Wonosobo skala 1 : 50.000.

Metode Penelitian
Pra-pengolahan citra
Pemilihan band komposit citra yang akan digunakan. Kombinasi band
komposit yang digunakan pada penelitian ini mengikuti Kementrian Kehutanan
yaitu kombinasi band 5, 4 dan 3 untuk Landsat 7. Band yang digunakan adalah
band 5,4, dan 3 untuk mengerjakan penafsiran citra dan penyajian data penutupan
lahan khususnya, seperti yang digunakan Departemen Kehutanan untuk
keseragaman, konsistensi, dan akurasi sehingga memudahkan dalam tukar
menukar informasi penutupan lahan antar instansi baik pusat maupun daerah (Jaya
2010). Citra Landsat 8 menggunakan kombinasi band 6, 5 dan 4 karena
kenampakannya serupa dengan kombinasi 5, 4 dan 3 pada Landsat 7.
Fusi citra yaitu proses menggabungkan antara band resolusi tinggi dengan
band multispektral dengan tujuan untuk membuat citra multispektral yang
memiliki resolusi tinggi. Interpretasi visual klasifikasi tutupan lahan pada citra
Landsat 8 cukup sulit untuk dilakukan karena sulit untuk membedakan antara
pertanian lahan kering (PLK) dan kebun campuran sehingga perlu dilakukan fusi
citra. Fusi citra bisa dilakukan dengan beberapa metode yaitu metode Principal
Component, Multiplicative, Brovey, Intensity Hue Saturation (IHS) dan Wavelet.
Salah satu citra dari hasil penggunaan ketiga metode tersebut akan dipilih
berdasarkan kemiripan dengan citra aslinya dan dapat memberikan informasi yang
lebih banyak.
Penetapan titik pengecekan lapangan
Titik-titik pengecekan lapangan ditentukan berdasarkan interpretasi awal
yang memperhatikan warna/tampilan citra komposit dari hasil kombinasi band.
Selain itu, titik pengecekan juga berdasarkan jenis-jenis tutupan lahan yang

3
diperoleh dari hasil diskusi dengan pihak APHR dan pemerintah setempat. Setiap
kelas tutupan lahan dilakukan pengecekan minimal satu titik dan juga
memperhatikan aksesibilitas, oleh karena itu peta rupa bumi diperlukan agar
penentuan titik lebih mudah. Data yang diambil di setiap titik pengamatan yaitu
koordinat tutupan lahan (menggunakan GPS), kondisi tutupan lahan, topografi
dan foto yang bisa mendeskripsikan tutupan lahan tersebut. Jumlah titik
pengecekan lapangan semua jenis tutupan lahan yaitu sebanyak 83 dan jumlah
titik masing-masing tutupan lahan bisa berbeda tergantung luas tutupan lahan
tersebut.

Gambar 1 Peta sebaran titik pengamatan lapang di APHR Wonosobo

Analisis data
Tahap awal analisis data yaitu menyusun kunci interpretasi untuk masingmasing jenis tutupan lahan yang dapat dikenali dari citra. Kunci interpretasi dibuat
berdasarkan faktor-faktor interpretasi visual yaitu rona, warna, bentuk, ukuran,
tekstur, letak dan asosisai dari objek yang diamati. Setelah kunci interpretasi
masing-masing jenis tutupan lahan didapat, proses selanjutnya yaitu melakukan
interpretasi visual mengenai jenis tutupan lahan yang ada lalu deliniasi setiap jenis
tutupan lahan pada citra tahun 2014 dan citra tahun 2003. Setelah citra tahun 2003
dan tahun 2014 dideliniasi masing-masing jenis tutupan lahannya, lakukan
overlay antara citra tahun 2003 dan tahun 2014.

4
Hasil dari overlay citra tahun 2003 dan tahun 2014 yaitu berupa citra
perubahan lahan dan matriks perubahan penggunaan lahan. Matriks tersebut
memiliki informasi pola perubahan setiap jenis tutupan lahan ke jenis tutupan
lahan lain. Perubahan setiap jenis tutupan lahan tersebut dianalisis apakah
perubahan penggunaan lahan yang terjadi masuk akal atau tidak. Pola perubahan
tutupan lahan yang tidak masuk akal akan dianalisis lebih lanjut dan dicari sumber
kesalahannya. Citra tahun 2003 atau tahun 2014 yang terdapat kesalahan
interpretasi akan dilakukan koreksi dan perbaikan. Proses selanjutnya yaitu
overlay kembali citra yang telah dikoreksi dan hasil overlaynya dilakukan analisis
kembali.
Klasifikasi tutupan lahan yaitu proses pengelompokan tutupan lahan
berdasarkan faktor-faktor interpretasi visual yang telah dilakukan dalam proses
sebelumnya. Klasifikasi tutupan lahan dilakukan dengan proses deliniasi manual
(on-screen digitation). Metode ini memaksimalkan pengetahuan dari interpreter
sehingga hasil klasifikasinya lebih akurat daripada metode klasifikasi digital. Data
yang didapat dari groundcheck kemudian dicocokkan dengan data interpretasi
visual.
Analisis perubahan penutupan lahan dapat dilakukan pada setidaknya dua
peta klasifikasi yang diperoleh pada dua waktu berbeda. Agar dapat melakukan
analisis ini diperlukan data citra yang diproses dengan cara yang sama, agar tidak
terjadi interpretasi yang salah (Sunderlin 1997). Metode yang digunakan dalam
menganalisis perubahan tutupan lahan yaitu dengan memisahkan klasifikasi
tutupan lahan pada setiap tahunnya. Luas yang didapat dari hasil deliniasi manual
kemudian dianalisis perubahannya. Berikut adalah diagram alur penelitian ini.

Gambar 2 Kerangka penelitian

5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Citra Fusi
Citra resolusi tinggi dibutuhkan untuk proses interpretasi agar memudahkan
dalam deliniasi dan hasilnya lebih akurat. Fusi citra merupakan proses
penggabungan dua data citra (pankromatik dan multispektral) dengan tanggal
perekaman yang sama untuk memperoleh citra berwarna dengan resolusi spasial
yang sama dengan kanal pankromatiknya. Tujuan dari fusi citra adalah penajaman
citra, meningkatkan ketelitian registrasi citra, klasifikasi dan menutupi informasi
yang hilang (Rudianto 2010). Citra resolusi tinggi diperoleh dengan beberapa cara,
salah satunya yaitu dengan metode fusi citra. Ada beberapa metode untuk
melakukan fusi citra di antaranya yaitu metode Brovey, metode Principal
Component, metode Multiplicative, metode Intensity Hue Saturation (IHS) dan
metode Wavelet. Berikut adalah hasil dari fusi citra dengan berbagai metode.

Gambar 3 Citra original Landsat 8 band 6-5-4

Gambar 4 Hasil metode IHS

6

Gambar 5 Hasil metode Brovey

Gambar 6 Hasil metode Wavelet

Gambar 7 Hasil metode Multiplicative

Gambar 8 Hasil metode Principal Component

7
Berdasarkan hasil pengamatan setiap citra fusi, metode Principal
Component (gambar 8), metode Brovey (gambar 5), metode Wavelet (gambar 6)
dan metode multiplicative (gambar 7) memiliki kenampakan yang mirip dengan
citra asli. Metode IHS (gambar 2) tidak memiliki warna yang bervariasi, hasil dari
metode IHS hanya bisa membedakan antara tiga jenis tutupan lahan yaitu
pemukiman, kebun campuran dan hutan tanaman pinus/badan air. Sulit untuk
membedakan antara tutupan lahan hutan tanaman pinus dengan tutupan lahan
badan air karena warnanya cenderung serupa pada metode IHS.
Hasil citra metode Principal Component memiliki warna yang lebih
beragam daripada metode Brovey, metode Multiplicative dan metode Wavelet.
Citra dari hasil metode Brovey dan Wavelet dapat membedakan antara tutupan
lahan pemukiman, badan air dan hutan tanaman pinus tetapi sulit untuk
membedakan antara kebun campuran dengan pertanian lahan kering. Citra hasil
metode Principal Component dapat membedakan antara tutupan lahan pertanian
lahan kering (kuning) dengan tutupan lahan kebun campuran (hijau muda-hijau
tua). Berdasarkan kenampakan citra tersebut, citra hasil metode Principal
Component dipilih untuk digunakan pada proses analisis selanjutnya karena hasil
citra dapat memberikan informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan
metode fusi yang lain.
Objek di Lapangan
Pengamatan lapangan dilakukan untuk mengetahui jenis tutupan lahan yang
telah diidentifikasi sebelumnya melalui citra Landsat 8. Data yang diambil dari
proses pengamatan lapang yaitu koordinat yang dapat dari GPS dan foto di sekitar
lokasi tersebut. Pengambilan data dilakukan di Desa Durensawit, Jonggolsari,
Kalimendong dan Manggis Kabupaten Wonosobo. Berikut adalah data hasil
pengamatan lapangan.
Tabel 1 Jenis tutupan lahan di APHR Wonosobo
No

Titik pengamatan
1
Pemukiman
2
Badan air
3
Lapangan
4
Kebun campuran
5
Kebun salak
6
Kebun singkong/PLK
7
Pinus
8
Sawah
9
Semak
10
Sengon nanas*
11
Sengon kakao*
12
Sengon kopi*
13
Sengon salak
*tidak ada pada tahun 2003

Jumlah titik
10
3
2
15
2
4
2
7
1
2
6
8
20

Berdasarkan tabel 1, data yang didapat dari hasil pengamatan lapangan yaitu
13 jenis tutupan lahan yang kemudian dikelompokkan sesuai dengan hasil
interpretasi sebelumnya yaitu 8 jenis tutupan lahan. Jumlah titik yang diamati
yaitu sebanyak 83 titik. Kelompok tutupan lahan kebun campuran menjadi

8
tutupan lahan yang banyak ditemui di lapangan. Berdasarkan data tersebut,
kedelapan jenis tutupan lahan tersebut telah tewakili dalam proses pengamatan
lapang dan dapat dijadikan landasan untuk proses berikutnya yaitu analisis data.
Berikut adalah deskripsi tutupan lahan yang ada di APHR Wonosobo
Tabel 2 Deskripsi tutupan lahan di APHR Wonosobo
Kelas tutupan
dan
penggunaan
lahan

Kebun
Campuran

Deskripsi

Lahan yang
ditumbuhi
tanaman
campuran

Salak

Lahan yang
ditanami
salak

Sawah

Lahan yang
ditanami
padi

Pemukiman

Lahan
terbangun
yang
terdapat
rumah dan
jalan

Semak

Pertanian
lahan kering

Penampakan citra
Landsat 7 Band 5-4-3
(R-G-B)
tahun 2003

Lahan yang
ditumbuhi
tumbuhan
bawah

Lahan yang
ditanami
palawija

Lahan yang
tidak
Lahan terbuka
ditumbuhi
vegetasi

Tidak ada

Penampakan citra
Landsat 8 Band 6-5-4
(R-G-B)
tahun 2014

Foto lapang

9
Kelas tutupan
dan
penggunaan
lahan

Deskripsi

Penampakan citra
Landsat 7 Band 5-4-3
(R-G-B)
tahun 2003

Penampakan citra
Landsat 8 Band 6-5-4
(R-G-B)
tahun 2014

Foto lapang

Lahan yang
Hutan tanaman ditanami
tumbuhan
pinus
pinus

Badan air

Daerah
yang dialiri
atau
digenangi
oleh air

Sengon dan
nanas

Lahan yang
ditanami
sengon dan
nanas

Tidak ada

Sengon dan
kakao

Lahan yang
ditanami
sengon dan
kakao

Tidak ada

Sengon dan
kopi

Lahan yang
ditanami
sengon dan
kopi

Tidak ada

Sengon dan
salak

Lahan yang
ditanami
sengon dan
salak

Kunci Interpretasi
Proses selanjutnya yaitu membuat kunci interpretasi citra berdasarkan data
dari Tabel 2. Kunci interpretasi dibuat dengan memperhatikan faktor-faktor
interpretasi visual yaitu rona, warna, bentuk, ukuran, tekstur, letak dan asosisai
dari objek yang diamati. Berikut adalah kunci interpretasi setiap jenis tutupan
lahan.

10
Tabel 3 Deskripsi kunci interpretasi tutupan lahan di APHR Wonosobo
No

Jenis tutupan lahan

1

Pemukiman

2

Badan air

3

Tanah terbuka/lapangan

4

Kebun campuran

5

Kebun singkong/PLK

6

Hutan tanaman pinus

7

Sawah

8

Semak/belukar

Kunci interpretasi
Berwarna ungu hingga merah muda, teksturnya
kasar, ukurannya besar
Berwarna biru, teksturnya halus hingga agak kasar,
letaknya mengikuti daerah aliran sungai
Berwarna krem dan ungu keputihan, tekstrunya
halus hingga agak kasar
Berwarna hijau muda hingga hijau tua, teksturnya
kasar, letaknya tersebar/tidak beraturan
Berwarna kuning terang dan kecoklatan, tekstur
halus hingga agak kasar
Berwarna hijau gelap hingga hitam, tekstur halus
hingga agak kasar, terletak di lahan kritis das
Berwarna biru keunguan, tekstur kasar, umumnya
terletak di sekitar aliran sungai
Berwarna coklat muda hingga coklat tua, tekstur
kasar

Berdasarkan tabel 3, jenis tutupan lahan kebun campuran memiliki kunci
interpretasi sebagai berikut; berwarna hijau muda hingga hijau tua, teksturnya
kasar dan letaknya tersebar/tidak beraturan. Berdasarkan kunci interpretasi jenis
tutupan lahan kebun campuran tersebut, dilakukan pengelompokkan pada
beberapa jenis tutupan lahan yang ditemukan di lapangan karena memiliki kunci
interpretasi yang sama dengan kebun campuran. Jenis tutupan lahan tersebut
adalah sengon dengan kopi, sengon dengan nanas, sengon dengan kakao, sengon
dengan salak dan kebun salak. Berdasarkan pengelompokkan tutupan lahan kebun
campuran, jumlah jenis tutupan lahan yang ada menjadi 8 yaitu pemukiman,
badan air, tanah terbuka, kebun campuran, pertanian lahan kering, hutan tanaman
pinus, sawah dan semak belukar.
Interprtasi dan Digitasi Citra
Setelah kunci interpretasi dibuat, proses selanjutnya yaitu interpretasi dan
digitasi citra berdasarkan kunci interpretasi tersebut. Citra fusi dari tahun 2003
dan tahun 2014 diinterpretasi tutupan lahannya, lalu dilakukan digitasi untuk
mengelompokkan setiap jenis tutupan lahan. Hasil dari digitasi tersebut
selanjutnya digunakan untuk menghitung luas setiap jenis tutupan lahan. Berikut
adalah data hasil interpretasi dan digitasi citra.
Tabel 4 Luas tutupan lahan di APHR Wonosobo tahun 2014
No
1
2
3
4
5
6
7
8

Jenis tutupan lahan
Badan Air
Hutan Tanaman/Pinus
Kebun Campuran
Pemukiman
Pertanian Lahan Kering
Sawah
Semak/Belukar
Tanah Terbuka

Luas (ha)
3.56
85.62
1062.53
122.64
86.38
49.33
2.90
13.10

11

Gambar 9 Peta sebaran tutupan lahan APHR Wonosobo tahun 2014

Berdasarkan hasil interpretasi dan deliniasi citra 2014 pada tabel 4, tutupan
lahan yang paling dominan yaitu kebun campuran dan pemukiman. Tutupan lahan
kebun campuran memiliki luas sebesar 1062.53 ha atau sebesar 74.51% dari total
luas daerah penelitian 1426.07 ha. Kebun campuran di APHR Wonosobo
kebanyakan berupa hutan rakyat dengan tanaman pohon sengon (Paraserianthes
falcataria) dan tanaman campuran berupa salak, kopi, kako dan nanas. Tutupan
lahan kebun campuran tersebar di seluruh area penelitian. Tutupan lahan yang
dominan berikutnya yaitu pemukiman yang memiliki luas sebesar 122.64 ha.
Letak tutupan lahan pemukiman tersebar di area penelitan.
Tabel 5 Luas tutupan lahan di APHR Wonosobo tahun 2003
No
1
2
3
4
5
6
7
8

Jenis tutupan lahan
Badan Air
Hutan Tanaman/Pinus
Kebun Campuran
Pemukiman
Pertanian Lahan Kering
Sawah
Semak/Belukar
Tanah Terbuka

Luas (ha)
12.27
54.12
718.69
110.96
244.67
249.97
0.00
35.38

12

Gambar 10 Peta sebaran tutupan lahan APHR Wonosobo tahun 2003

Hasil dari interpretasi dan deliniasi citra tahun 2003 pada tabel 5
menunjukkan bahwa tutupan lahan di APHR Wonosobo didominasi oleh kebun
campuran, pertanian lahan kering dan sawah. Kebun campuran memiliki luas
sebesar 718.69 ha atau sebesar 50.40% dari total luas area penelitian. Jenis
tutupan lahan pertanian lahan kering memiliki luas sebesar 244.67 ha dan tutupan
lahan sawah sebesar 249.97 ha. Berdasarkan data luas sawah dan pertanian lahan
kering, masyarakat APHR Wonosobo mengandalkan pertanian sebagai sumber
pendapatan mereka.
Analisis Perubahan Tutupan Lahan
Setelah data tutupan lahan tahun 2003 dan 2014 didapat, proses selanjutnya
yaitu overlay tutupan lahan tersebut untuk mendapatkan informasi pola perubahan
yang terjadi dalam jangka waktu tahun 2003 hingga tahun 2014. Tutupan lahan
yang berubah merupakan piksel-piksel pada kedua citra klasifikasi di lokasi yang
sama namun memiliki perbedaan atribut klasifikasi, sedangkan tutupan yang tidak
berubah merupakan piksel dengan lokasi dan atribut klasifikasi yang sama pada
kedua citra (Kosasih 2002). Metode overlay yang digunakan yaitu metode
intersect, dimana atribut dari masing-masing digitasi citra digabung agar

13
menghasilkan irisan dari fitur kedua citra tersebut. Irisan tersebut akan
menghasilkan fitur baru yang berisikan informasi dari kedua digitasi citra. Berikut
adalah hasil dari overlay citra tahun 2003 dengan tahun 2014.
Tabel 6 Luas tutupan lahan di APHR Wonosobo tahun 2003–2014
Tahun 2014

Tahun 2003

Badan HT
Kebun
Pemukiair
Pinus campuran
man (ha)
(ha)
(ha) (ha)

PLK
(ha)

Semak Tanah
Sawah
belukar terbuka
(ha)
(ha)
(ha)

Badan air (ha)

1.73

2.33

7.51

0.00

0.30

0.13

0.27

0.00

HT pinus (ha)

0.28 42.46

10.09

0.00

0.80

0.00

0.50

0.00

Kebun campuran
(ha)

0.70 25.58

625.94

16.20

29.13

17.68

0.68

2.79

Pemukiman (ha)

0.00

0.00

13.30

96.28

0.76

0.62

0.00

0.00

PLK (ha)

0.01

8.70

196.85

4.93

26.73

5.00

0.22

2.24

Sawah (ha)

0.85

4.68

185.68

4.48

22.75

25.77

0.00

5.77

Semak belukar
(ha)

0.00

0.00

0.00

0.00

0.00

0.00

0.00

0.00

Tanah terbuka (ha)

0.00

1.88

23.16

0.76

5.91

0.12

1.24

2.31

Data overlay perubahan tutupan lahan dianalisis bila terdapat kesalahan
interpretasi. Berdasarkan data overlay, terdapat perubahan tutupan lahan yang
tidak masuk akal. Perubahan tersebut diantaranya yaitu; perubahan badan air
menjadi hutan tanaman pinus dan kebun campuran; perubahan hutan tanaman
pinus menjadi badan air, kebun campuran dan pertanian lahan kering; perubahan
pemukiman menjadi kebun campuran, pertanian lahan kering dan sawah.
Perubahan tutupan lahan tersebut secara teoritis seharusnya tidak dapat terjadi,
walaupun dalam jangka waktu 10 tahun.
Kesalahan yang paling mencolok yaitu perubahan badan air dan hutan
tanaman pinus. Hutan tanaman pinus merupakan area yang dilindungi dan tidak
boleh dialihfungsikan karena dapat mengganggu stabilitas ekosistem. Badan air
tidak mungkin berubah menjadi kebun campuran, tidak mungkin untuk menanam
sengon dan salak di tempat yang mengalir/tergenang air karena akan mati jika
akarnya tidak bisa bernapas dengan baik. Pemukiman juga tidak mungkin berubah
karena biasanya pemukiman bersifat permanen.
Sumber kesalahan interpretasi visual citra secara garis besar terbagi menjadi
dua yaitu kesalahan geometrik dan kesalahan interpreter (orang yang melakukan
interpretasi). Kesalahan geometrik citra tergolong sangat kecil/tidak ada karena
citra yang digunakan telah dikoreksi dan sumber citra berasal dari sumber yang
sama yaitu NASA (Landsat). Karena kesalahan bukan berasal dari kesalahan
geometrik, sumber kesalahan pada analisis visual citra penelitian ini berasal dari
kesalahan interpreter. Kesalahan yang umumnya terjadi yaitu salah
mengeinterpretasikan tutupan lahan. Kesalahan interpretasi tersebut kemudian
dicari sumber kesalahannya apakah terdapat pada interpretasi tahun 2003, tahun
2014 atau keduanya. Kesalahan interpretasi pada citra kemudian dikoreksi untuk
dilakukan overlay ulang.

14

*5001 Badan air; 2006 Hutan tanaman/pinus; 2010 Kebun campuran; 2012 Pemukiman; 20091 Pertanian lahan kering;
20093 Sawah; 2007 Semak/belukar; 2014 Tanah terbuka.

Gambar 11 Peta pola perubahan tutupan lahan APHR Wonosobo tahun 2003 –2014 yang telah
dikoreksi
Tabel 7 Luas tutupan lahan di APHR Wonosobo tahun 2003–2014
Tahun 2014

Tahun 2003

Badan HT
Kebun
Pemukiair
Pinus campuran
man (ha)
(ha)
(ha) (ha)

PLK
(ha)

Semak Tanah
Sawah
belukar terbuka
(ha)
(ha)
(ha)

Badan air (ha)

7.16

0.00

0.76

0.00

0.00

0.13

0.00

0.00

HT pinus (ha)

0.00 52.79

0.00

0.00

0.00

0.00

0.00

0.00

Kebun campuran
(ha)

0.39 25.86

633.47

16.20

29.44

17.77

1.04

2.79

Pemukiman (ha)

0.00

0.00

0.00

104.75

0.00

0.00

0.00

0.00

PLK (ha)

0.01

8.70

196.85

4.93

26.99

5.00

0.22

2.24

Sawah (ha)

0.85

4.68

186.86

4.48

22.76

26.30

0.00

5.77

Semak belukar
(ha)

0.00

0.00

0.19

0.00

0.00

0.00

0.00

0.00

Tanah terbuka (ha)

0.00

2.10

24.00

0.76

5.91

0.12

1.51

2.31

Berdasarkan Tabel 6, tutupan lahan yang paling banyak mengalami
kesalahan interpretasi yaitu pada perubahan pemukiman menjadi kebun campuran,
hutan tanaman menjadi kebun campuran dan badan air menjadi kebun campuran.
Kesalahan interpretasi terjadi pada kedua citra. Setelah dilakukan koreksi, tidak

15
ada perubahan tutupan lahan yang tidak masuk akal pada pemukiman dan hutan
tanaman, tetapi masih terdapat perubahan tutupan lahan dari badan air menjadi
kebun campuran dan sebaliknya. APHR Wonosobo terletak di dataran tinggi yang
merupakan daerah hulu das sehingga sungai yang terdapat disana didominasi oleh
sungai musiman. Citra tahun 2014 diambil pada bulan Maret atau ketika musim
penghujan sehingga ada sungai musiman yang terekam oleh sensor Landsat. Citra
tahun 2003 diambil pada bulan Mei ketika musim kering dimulai sehingga sungai
musiman tidak terekam sensor Landsat.
Pada tahun 2014 tutupan lahan kebun campuran mengalami kenaikan
sebesar 343.84 ha dari tahun 2003. Hal ini terjadi karena dalam 10 tahun yang
terakhir masyarakat mulai mengembangkan hutan rakyat dengan campuran antara
pohon sengon dan salak. Seiring berjalannya waktu, masyarakat mulai
mengembangkan pola tanaman hutan rakyat yang lain seperti nanas, kakao dan
kopi. Masyarakat mengalihfungsikan lahannya untuk memperluas hutan rakyat
mereka. Berdasarkan data overlay, lahan yang dialihfungsikan menjadi kebun
campuran kebanyakan berasal dari tutupan lahan pertanian lahan kering dan
sawah. Kebun campuran yang berasal dari pertanian lahan kering yaitu sebesar
196.85 ha dan yang berasal dari sawah sebesar 186.86 ha.
Perubahan tutupan lahan dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu positif
dan negatif menurut perspektif lingkungan untuk memudahkan pemberian
informasi perubahan tutupan lahan. Pengelompokkan ini didasari ada atau
tidaknya penambahan tegakan pohon. Perubahan ke arah positif berarti lahan
tersebut bertambah pohonnya. Perubahan yang positif yaitu perubahan menjadi
kebun campuran dan hutan tanaman pinus, sedangkan perubahan yang negatif
yaitu perubahan menjadi pertanian lahan kering, tanah terbuka, pemukiman,
semak, sawah dan badan air. Luas perubahan lahan yang ke arah positif seluas
449.24 ha dan perubahan yang ke arah negatif seluas 122.18 ha. Rasio antara
perubahan positif dan negatif yaitu 3.7 : 1, sedangkan persentase perubahan
terhadap luas penelitian yaitu 31.5% untuk perubahan positif, 8.6% untuk
perubahan negatif dan 59.99% untuk lahan yang tidak mengalami perubahan.
Faktor yang menyebabkan terjadinya kesalahan interpretasi pada perubahan
tutupan lahan pemukiman menjadi kebun campuran yaitu warna pixel di
perbatasan antara pemukiman sulit untuk dibedakan. Pemukiman di APHR
Wonosobo berbatasan langsung dengan kebun/hutan rakyat mereka.Warna pixel
pada perbatasan tutupan lahan cenderung bercampur sehingga sulit untuk
membedakan tutupan lahan tersebut. Kesalahan interpretasi pada perubahan
tutupan lahan hutan tanaman pinus menjadi kebun campuran yaitu warna kedua
tutupan lahan tersebut hampir serupa yaitu berwarna hijau, yang membedakan
hanya kecerahannya.
Secara garis besar, kesalahan interpretasi citra dikarenakan sulit untuk
membedakan tutupan lahan pada perbatasan tutupan lahan tersebut. Kesalahan
interpretasi pada ketiga perubahan tutupan lahan yang tidak masuk akal yaitu
seluas 30.9 ha. Luas tersebut hanya sebesar 2.17% dari total keseluruhan area
penelitian. Pengalaman dan pengamatan interpreter berpengaruh besar dalam
kesalahan interpretasi ini. Kesalahan interpretasi seperti ini bisa dicegah dengan
menggunakan citra yang memiliki resolusi lebih tinggi sehingga lebih mudah
dalam melakukan interpretasi tutupan lahan.

16
Berdasarkan data hasil interpretasi, pola perubahan tutupan lahan di APHR
Wonosobo menunjukkan pola perubahan ke arah yang positif. Luas tutupan lahan
kebun campuran telah bertambah dalam jangka tahun 2003 hingga tahun 2014.
Masyarakat di APHR Wonosobo lebih memilih untuk merubah lahan sawahnya
menjadi kebun campuran karena perawatannya tidak sulit dan tidak terpengaruh
oleh kondisi kesulitan air, selain itu nilai ekonomi kebun campuran cukup tinggi.
Berdasarkan sudut pandang ekologi, kelas tutupan lahan kebun campuran
memiliki tingkat erosi yang lebih kecil dibandingkan dengan kelas tutupan lahan
sawah karena kebun campuran memiliki tutupan tajuk yang luas untuk mencegah
terjadinya erosi, selain itu kebun campuran lebih meningkatkan kesuburan tanah
melalui serasah yang ditinggalkannya.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Terdapat 8 kelas tutupan lahan hasil dari interpretasi visual citra yaitu
hutan tanaman pinus, pemukiman, badan air, pertanian lahan kering, sawah,
semak/belukar, tanah terbuka dan kebun campuran. Diantara 8 kelas tutupan lahan
tersebut, kebun campuran dan sawah menjadi kelas tutupan lahan yang paling
banyak berubah luasnya. Perubahan tutupan lahan dapat dimonitor melalui teknik
interpretasi visual citra. Besar perubahan tutupan lahan ke arah positif seluas
449.24 ha dan perubahan yang ke arah negatif seluas 122.18 ha.

Saran
Penafsiran citra dengan menggunakan teknik visual lebih baik dengan
menafsir salah satu citra terlebih dahulu lalu hasilnya digunakan sebagai acuan
(overlay) untuk penafsiran citra berikutnya.

17

DAFTAR PUSTAKA
BPKH XI Jawa-Madura. 2009. Strategi Pengembangan Pengelolaan dan Arahan
Kebijakan Hutan Rakyat di Pulau Jawa. Hasil kerjasama BPKH XI JawaMadura dengan MFP II.
Dephutbun. 1999. Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan Melalui Pola
Kehutanan Kemasyarakatan. Jakarta: Departemen Kehutanan dan
Perkebunan.
Jaya NS. 2010. Analisis Citra Digital Perspektif Penginderaan Jauh untuk
Pengelolaan Sumberdaya Alam. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor.
Kosasih D. 2002. Monitoring perubahan lahan menggunakan citra satelit
multiwaktu di DAS Citarum Hulu, Jawa Barat. [skripsi]. Bogor (ID):
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Lillesand TM, Kiefer RW. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi
Citra.Dulbahri, Suharsono P, Hartono, Suharyadi, penerjemah; Sutanto,
editor. Yogyakarta: 47 Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari:
Remote Sensing and Image Interpretation.
Rudianto B. 2010. Jurnal Rekayasa. Analisis Ketelitian Objek pada Peta Citra
Quickbird RS 0,68 m dan Ikonos RS 1,0 m. Institut Teknologi Nasional.
Sunderlin WD dan Ida Aju PR. 1997. Laju dan Penyebab Deforestasi di
Indonesia; Penelaahan Kerancuan dan Penyelesaiannya. Bogor (ID):
CIFOR.

18

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 4 Maret 1993 dari pasangan Bapak
Hibar Sobari dan Ibu Darliana. Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara.
Penulis menjalani pendidikan di SDN Gunung Batu 2 Bogor tahun 1998–2004,
SMPN 7 Bogor tahun 2004–2007, SMAN 9 Bogor tahun 2007–2010 dan pada
tahun 2010 diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan diterima di Departemen
Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai anggota Kelompok Studi
Perencanaan Forest Management Student’s Club (FMSC) tahun 2011–2013.
Selain itu penulis juga aktif menjadi anggota divisi Informasi dan Komunikasi
Pengurus Cabang Sylva Indonesia tahun 2011–2012, Sekretaris Departemen
Informasi dan Komunikasi Pengurus Pusat Sylva Indonesia tahun 2012–2014.
Penulis pernah melakukan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di
Indramayu-Ciremai Jawa Barat tahun 2012, Praktik Pengelolaan Hutan (PPH) di
Hutan Pendidikan Gunung Walat tahun 2013, serta Praktik Kerja Lapang (PKL)
di Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) PT.
Bina Multi Alam Lestari, Kalimantan Tengah pada bulan Februari–April 2014.