Residu Imidacloprid Pada Tapak Bangunan Gedung Yang Mendapat Perlakuan Pengendalian Rayap Di Provinsi Dki Jakarta

RESIDU IMIDACLOPRID PADA TAPAK BANGUNAN GEDUNG
YANG MENDAPAT PERLAKUAN PENGENDALIAN RAYAP
DI PROVINSI DKI JAKARTA

HUSNUL KHOTIMAH

DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Residu Imidacloprid
pada Tapak Bangunan Gedung yang Mendapat Perlakuan Pengendalian Rayap di
Provinsi DKI Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Husnul Khotimah
NIM E24110079

ABSTRAK
HUSNUL KHOTIMAH. Residu Imidacloprid pada Tapak Bangunan Gedung
yang Mendapat Perlakuan Pengendalian Rayap di Provinsi DKI Jakarta.
Dibimbing oleh DODI NANDIKA.
Imidacloprid adalah salah satu termitisida yang saat ini banyak digunakan
dalam perlakuan pengendalian rayap terhadap tanah di Indonesia. Namun, sampai
saat ini belum ada standar kadar residu termitisida pada tanah yang telah
mendapat perlakuan pengendalian rayap. Penelitian bertujuan untuk menentukan
kadar residu imidacloprid yang dilakukan pada tapak bangunan gedung di tiga
lokasi yaitu Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Jakarta Selatan. Contoh tanah
diambil dari kedalaman 0-10 cm (Horizon A) satu minggu dan satu bulan setelah
aplikasi, kemudian dianalisis menggunakan Gas Chromatography (Varian 450).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar residu imidacloprid di Jakarta Timur,
Jakarta Utara, dan Jakarta Selatan satu minggu setelah aplikasi masing-masing

mencapai 4.068±0.882 ppm, 7.209±3.894 ppm, dan 15.137±6.160 ppm.
Sementara itu, residu imidacloprid satu bulan setelah aplikasi di tiga lokasi
masing-masing menurun menjadi 1.227±0.900 ppm, 4.390±1.977 ppm, dan
9.341±5.270 ppm. Selama periode satu minggu sampai satu bulan setelah aplikasi,
degradasi imidacloprid terendah terjadi di Jakarta Selatan (38.29%), disusul di
Jakarta Utara (39.11%), dan di Jakarta Timur (69.85%).
Kata kunci: imidacloprid, pengendalian rayap, perlakuan tanah, residu, termitisida

ABSTRACT
HUSNUL KHOTIMAH. Imidacloprid Residue In Building Sites After Termite
Control Application in Jakarta Province. Supervised by DODI NANDIKA.
Imidacloprid is one of termiticide that is currently widely used in termite
control practices in Indonesia. However, until now there is no standard residue of
the compound in the treated building site. The study was conducted to determine
imidacloprid residue in treated soil under simulated building floor at three
locations East Jakarta, North Jakarta, and South Jakarta. Soil samples were
collected from 0-10 cm depth (Horizon A) one week and one month after
termiticide application. The soil samples then analyzed using Gas
Chromatography (Varian 450). The results showed that imidacloprid residue in
East Jakarta, North Jakarta, and South Jakarta one week after aplication was

reached 4.068±0.882 ppm, 7.209±3.894 ppm, and 15.137±6.160 ppm
respectively. Meanwhile, the levels of residue one month after application in these
three locations decrease to be 1.227±0.900 ppm, 4.390±1.977 ppm, and
9.341±5.270 ppm respectively. During a period of one week to one month after
application, the lowest imidacloprid degradation was detected in South Jakarta
(38.29%), followed by North Jakarta (39.11%), and in East Jakarta (69.85%).
Keywords: imidacloprid, residue, soil treatment, termite control, termiticide

RESIDU IMIDACLOPRID PADA TAPAK BANGUNAN GEDUNG
YANG MENDAPAT PERLAKUAN PENGENDALIAN RAYAP
DI PROVINSI DKI JAKARTA

HUSNUL KHOTIMAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Hasil Hutan


DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2015 ini ialah residu
termitisida, dengan judul Residu Imidacloprid pada Tapak Bangunan Gedung
yang Mendapat Perlakuan Pengendalian Rayap di Provinsi DKI Jakarta.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Dodi Nandika, MS
selaku pembimbing dan Bapak Irsan Alipraja, MS yang telah banyak memberi
saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr Asep
Nugraha Ardiwinata dan staf dari Laboratorium Residu Bahan Agrokimia, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian-Kementerian Pertanian yang telah
membantu operasional Gas Chromatography, serta Bapak Satimo, Direktur
Utama PT. Larosa yang telah membantu proses aplikasi di lapangan. Ungkapan
terimakasih juga disampaikan kepada ayah (almarhum), ibu, kakak, seluruh

keluarga, sahabat, dan teman-teman atas segala doa, perhatian, dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2015
Husnul Khotimah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

3

Manfaat Penelitian

3


Ruang Lingkup Penelitian

3

METODE

3

Bahan

3

Alat

3

Prosedur Penelitian

4


HASIL DAN PEMBAHASAN
SIMPULAN DAN SARAN

8
13

Simpulan

13

Saran

13

DAFTAR PUSTAKA

13

LAMPIRAN


16

RIWAYAT HIDUP

29

DAFTAR TABEL
1 Karakteristik fisik dan kimia tanah di tiga lokasi percobaan
2 Suhu udara rata-rata dan curah hujan bulanan di tiga lokasi percobaan

9
11

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Penampang melintang (a) dan penampang vertikal (b) satuan percobaan

Satuan percobaan yang telah mendapat injeksi termitisida
Larutan ekstrak imidacloprid yang telah siap dianalisis kadar residunya
Kadar residu imidacloprid di Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Jakarta
Selatan satu minggu dan satu bulan setelah aplikasi

4
5
6
8

DAFTAR LAMPIRAN
1 Sebaran lokasi pemasangan satuan percobaan di Jakarta Timur, Jakarta
Utara, dan Jakarta Selatan
2 Kromatogram residu imidacloprid pada tanah satu minggu setelah
aplikasi termitisida
3 Kromatogram residu imidacloprid pada tanah satu bulan setelah aplikasi
termitisida
4 Uji beda kadar residu imidacloprid pada tanah satu minggu setelah
aplikasi termitisida
5 Uji beda kadar residu imidacloprid pada tanah satu bulan setelah

aplikasi termitisida
6 Uji beda kadar residu imidacloprid pada tanah satu minggu dan satu
bulan setelah aplikasi termitisida

16
17
20
23
25
27

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rayap merupakan serangga kecil pemakan kayu dan hidup berkoloni yang
keberadaannya sangat penting di alam karena dapat menghancurkan kayu dan
mengembalikan nutrien tanah. Rayap akan menjadi masalah hanya ketika
menyerang rumah dan bangunan kita (Su et al. 2007). Sebanyak 2700 spesies
rayap yang diketahui di dunia, 80 spesies di antaranya telah diketahui sebagai
hama (Lee dan Chung 2003) dan rayap tanah berjumlah sebanyak 38 spesies,
dengan genus Coptotermes yang terdiri dari sejumlah besar spesies Macrotermes,
Reticulitermes, dan Odontotermes (Rust dan Su 2012). Rayap tanah, Coptotermes
spp., adalah hama yang sangat penting dalam menyebabkan kerugian secara
ekonomis di negara-negara Asia (tropis dan subtropis) (Kuswanto et al. 2015) dan
dapat menyebabkan masalah di bidang pertanian, kehutanan, dan perumahan
(Qasim et al. 2013). Koloni rayap tanah dapat menyebabkan kerugian sebanyak
ratusan juta atau bahkan milyaran dolar setiap tahunnya (Kuswanto et al. 2015).
Jenis serangga ini diketahui telah menyebabkan banyak kerusakan dan kerugian
ekonomis yang sangat besar di berbagai negara terutama Indonesia.
Kerugian secara global yang disebabkan oleh rayap diperkirakan sebesar
US$ 22 milyar sampai US$ 40 milyar di seluruh dunia (Su 2002; Rust dan Su
2012) dan di Asia tenggara sendiri diperkirakan sekitar US$ 400 juta per tahun
(Lee 2007). Rakhmawati (1995) menyatakan bahwa kerugian ekonomis akibat
serangan rayap pada bangunan perumahan di Indonesia pada tahun 2005
diperkirakan mencapai Rp 1.67 triliyun. Lee (2002) dalam Qasim et al. (2013)
juga melaporkan bahwa 50% pendapatan industri pengendali hama di Malaysia
berasal dari pengendalian rayap tanah, yaitu sebesar US$ 8-10 juta. Lebih lanjut,
Rust dan Su (2012) melaporkan bahwa rayap tanah menyebabkan kerugian
ekonomis yang diperkirakan sebesar 32 milyar dolar pada tahun 2012 di seluruh
dunia untuk pengendalian dan perbaikan akibat serangan rayap. Rayap tanah
menyerang sebesar 90% dari total kerugian ekonomis dan sekitar 70% berasal dari
kerusakan bangunan. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Nandika dan
Tambunan (1987) yang mengemukakan bahwa dari sekian banyak jenis rayap,
ternyata yang paling banyak menimbulkan kerusakan adalah golongan rayap tanah
(subterranean termites), yaitu anggota dari famili Rhinotermitidae serta sebagian
anggota famili Termitidae. Rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren
memiliki daya jelajah yang luas dengan wilayah jelajah 480 m2, jarak jelajah
maksimum 51 m, dan ukuran populasi 1 685 295±149 105 ekor (Nandika dan
Rismayadi 1999). Selain itu, Kalshoven (1981) juga menyatakan bahwa
Coptotermes termasuk jenis rayap yang dapat menyesuaikan diri dengan cepat
terhadap keadaan yang berbeda dengan habitat sebelumnya. Nandika et al. (2003)
juga menegaskan bahwa kondisi iklim dan tanah termasuk banyaknya ragam jenis
tumbuhan di Indonesia sangat mendukung kehidupan rayap. Oleh karena itu, lebih
dari 80% daratan Indonesia merupakan habitat yang baik bagi kehidupan berbagai
jenis serangga ini.
Sejumlah pengendalian rayap digunakan untuk mencegah serangan rayap
pada bangunan baik secara fisik, kimia, dan biologi. Secara umum metode

2
pengendalian rayap yang dapat diterapkan selama bertahun-tahun adalah
menggunakan pestisida kimiawi (Kuswanto et al. 2015). Salah satu metode
pengendalian rayap tanah pada bangunan gedung yang saat ini banyak dilakukan
di Indonesia adalah perlakuan tanah (soil treatment). Nandika dan Tambunan
(1987) mendefinisikan perlakuan tanah adalah proses peracunan tanah di sekitar
pondasi bangunan gedung dengan menggunakan termitisida untuk melindungi
bangunan tersebut dari serangan rayap tanah. Dengan cara ini, maka suatu
penghalang kimiawi (chemical barrier) akan terbentuk di sekeliling pondasi
bangunan yang akan menghalangi naiknya rayap ke dalam bangunan. Metode ini
dapat diterapkan pada tapak bangunan yang akan dibangun (perlakuan tanah pra
konstruksi) maupun pada bangunan gedung yang telah berdiri (perlakuan tanah
pasca konstruksi). Secara teknis, aplikasi perlakuan tanah pra konstruksi mengacu
pada SNI-03-2404-2000, sedangkan perlakuan tanah pasca konstruksi mengacu
pada SNI-03-2405-2000.
Senyawa termitisida yang saat ini banyak digunakan dalam perlakuan
pengendalian rayap terhadap tanah maupun bangunan struktural di Indonesia
adalah yang berbahan aktif imidacloprid. Imidacloprid adalah insektisida sistemik
yang paling banyak digunakan di dunia (Bonmatin et al. 2003), memiliki
persistensi yang sedang (Broznic et al. 2011), bersifat non-repellent dan bereaksi
lambat (Potter dan Hillery 2003), memiliki kemampuan “transfer effect” (Hafiz
dan Ahmad 2006), dan nilai efikasi yang tinggi untuk membunuh serangga,
namun relatif cukup aman dengan toksisitas yang rendah terhadap mamalia
(Mullins 1993). Tomlin (2006) dalam NPIC (2010) menyebutkan bahwa
imidacloprid termasuk dalam golongan kimia neonicotinoids atau chloronicotinyl
nitroguanidine menurut International Union of Pure and Applied Chemistry
(IUPAC)
bernama
1-(6-chloro-3-pyridylmethyl)-N-nitroimidazolidin-2ylideneamine yang memiliki bobot molekul sebesar 255.7 g mol-1, dan memiliki
LD50 oral sebesar 450 mg kg-1 dan dermal >5.000 mg kg-1. Kelompok senyawa
neonicotinoids memiliki insektisiditas yang tinggi dan toksisitas yang rendah
terhadap lingkungan (Maienfisch et al. 2001). Sasaran kinerja imidacloprid adalah
sebagai inhibitor kompetitif pada reseptor nikotinik asetilkolin yang berada pada
sistem saraf pusat serangga (Wang et al. 2008). Menurut US EPA (1998)
imidacloprid digolongkan ke dalam kelas toksik pertisida golongan II dan III
(pada skala I-IV, kelas I adalah yang paling toksik). Walaupun senyawa tersebut
banyak digunakan di Indonesia, namun sampai saat ini belum ada standar kadar
residu termitisida pada tanah yang telah mendapat perlakuan pengendalian rayap.
Akibatnya tidak ada tolok ukur bagi masyarakat dalam penilaian kualitas
pekerjaan pengendalian rayap. Selain itu, dengan tidak adanya standar tersebut
maka kurang mendukung pengembangan teknologi terhadap perlakuan tanah di
Indonesia.

Perumusan Masalah
Imidacloprid merupakan salah satu bahan aktif yang saat ini paling banyak
digunakan dalam perlakuan pengendalian rayap di Indonesia. Akan tetapi,
pengukuran kualitas kinerja soil treatment dengan bahan aktif tersebut belum
pernah dilaporkan secara ilmiah, terutama menyangkut kadar residu dalam tanah

3
setelah dilakukan aplikasi. Padahal hal tersebut menjadi sangat penting untuk
dapat melindungi konsumen dan memberikan masukan kepada pihak aplikator
atau perusahaan pengendalian rayap untuk meningkatkan kinerjanya. Dengan
demikian, belum terdapat tolok ukur yang baik bagi masyarakat untuk mengetahui
kadar residu tersebut, sehingga masyarakat yang telah melakukan pengendalian
rayap dengan perlakuan terhadap tanah belum terjamin. Di samping itu, sangat
disadari bahwa kadar residu senyawa tersebut dalam tanah sangat bergantung
pada banyak faktor, seperti kandungan C-organik dan tekstur tanah, serta suhu
udara dan curah hujan juga turut berpengaruh dalam proses degradasi termitisida.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kadar residu imidacloprid dalam
tanah pada tapak bangunan gedung yang telah mendapat perlakuan pengendalian
rayap soil treatment satu minggu dan satu bulan setelah aplikasi.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
rancangan standar residu dan pengembangan teknik pengendalian kualitas hasil
pekerjaan perlakuan tanah dengan termitisida berbahan aktif imidacloprid.

Ruang Lingkup Penelitian
Kegiatan utama penelitian ini adalah analisis residu imidacloprid pada
contoh tanah yang diambil di Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Jakarta Selatan
satu minggu dan satu bulan setelah aplikasi. Di samping itu, dilakukan pula
analisis karakteristik kimia dan fisik tanah, serta pengambilan data suhu udara dan
curah hujan di tiga lokasi.

METODE
Bahan
Bahan yang diigunakan dalam penelitian ini adalah termitisida berbahan
aktif imidacloprid, air destilata, contoh tanah, larutan standar imidacloprid, aseton,
MgSO4 anhidrat, dan NaCl.

Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah satuan percobaan tapak
bangunan (mortel), injektor termitisida, ring sample, Gas Chromatography
(Varian 450) dengan kolom kapiler VF 1701 pesticide (30 m  0.32 mm  0.25

4
m) untuk menganalisis senyawa imidacloprid, aluminium foil, plastik resealable, mortar, saringan 50 mesh, timbangan, oven, tabung reaksi, corong,
kertas saring, shaker, dan pipet.

Prosedur Penelitian
Pembangunan Satuan Percobaan
Tapak bangunan gedung disimulasikan dengan menggunakan satuan
percobaan berdasarkan standar konstruksi beton K 150 berupa lantai mortel yang
terbuat dari campuran semen, pasir, dan kerikil dengan perbandingan 1:3:5 dan
berbentuk kubus berukuran 52 (p) x 52 (l) x 6 (t) cm seperti pada Gambar 1. Pada
bagian tengah lantai mortel tersebut dibuat lubang vertikal yang dimasukkan pipa
PVC berdiameter 10 cm. Tiga satuan percobaan diletakkan pada permukaan tanah
di masing-masing lokasi penelitian.
52 cm
Lantai mortel
Pipa PVC (Ø10 cm)
52 cm

Lubang injeksi termitisida

(a)

Lubang injeksi
Pipa PVC
Lantai mortel
Permukaan tanah

3 cm
6 cm

3 cm

. . ..
. .. . . .
. . . ..
. . . ..
. . .

.. .
. .
.. .
. .

.. ... . . . . .. . ..
. ... . . . . . . .
. . .. . ..
. .. . . .
. . . . .. . . .
(b)

Gambar 1

Penampang melintang (a) dan penampang vertikal (b) satuan
percobaan

5
Pembuatan Larutan Termitisida
Termitisida berbahan aktif imidacloprid berformulasi 200 SL diemulsikan
dalam air destilata dengan konsentrasi formulasi 0.25% (2.5 ml L-1 air) setara
dengan 0.05% bahan aktif.
Aplikasi Termitisida
Larutan termitisida diinjeksikan ke dalam lubang aplikasi pada tiga satuan
percobaan di setiap lokasi dengan dosis aplikasi berdasarkan SNI-03-2405-2000
dan dosis rekomendasi label kemasan yaitu 2 liter/lubang. Aplikasi termitisida
dilakukan dengan alat injektor dengan spesifikasi tekanan injeksi sebesar 10-30
psi, jumlah lubang pada nozzle empat lubang, dan kapasitas tangki sebanyak 10 L.
Setelah penginjeksian selesai, seluruh lubang aplikasi ditutup dengan penutup
pipa PVC (Gambar 2).

Gambar 2 Satuan percobaan yang telah mendapat injeksi termitisida
Pengambilan Contoh Tanah
a. Contoh tanah untuk analisis karakteristik tanah
Contoh tanah sebelum mendapat aplikasi termitisida diambil dari tiga
lokasi masing-masing sebanyak ±500 g untuk dianalisis karakteristik kimia
tanahnya, sedangkan untuk menganalisis karakteristik fisik tanah dilakukan
dengan menggunakan ring sample berdiameter 8.2 cm pada kedalaman 0-10
cm.
b. Contoh tanah untuk analisis residu termitisida
Satu minggu dan satu bulan setelah aplikasi termitisida pada satuan
percobaan dari masing-masing lubang aplikasi diambil sebanyak ±50 g contoh
tanah pada kedalaman 0-10 cm (Horizon A) dari permukaan tanah. Contoh

6
tanah dari masing-masing lubang aplikasi dibungkus rapat dengan
menggunakan aluminium foil, kemudian dimasukan ke dalam plastik resealable secara terpisah. Contoh tanah tersebut kemudian dibawa ke
Laboratorium Residu Bahan Agrokimia, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian-Kementerian Pertanian, untuk dianalisis.
Recovery Test dan Ekstraksi Termitisida
Sebelum dilakukan ekstraksi contoh tanah, terlebih dahulu dilakukan
recovery test yang bertujuan untuk menjamin kesesuaian metode yang akan
digunakan dalam proses ekstraksi contoh tanah.1 Metode yang dilakukan adalah
metode QuEChERS (Quick, Easy, Cheap, Effective, Rugged, and Safe) yang
disesuaikan dengan kondisi alat di Laboratorium Residu Bahan Agrokimia, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian-Kementerian Pertanian, yaitu dengan
mengekstrak sebanyak 10 g contoh tanah yang telah homogen dan dimasukkan ke
dalam tabung reaksi berukuran 100 ml. Selanjutnya, sebanyak 20 ml aseton
ditambahkan dan campuran dikocok dengan menggunakan shaker selama 1 menit.
Sebanyak 4 g magnesium sulfat (MgSO4) anhidrat dan 1 g sodium klorida (NaCl)
ditambahkan dan campuran dikocok kembali selama 2 menit. Kemudian,
campuran diamkan sekitar 15 menit agar mengendap. Setelah mengendap,
supernatan dipindahkan dengan pipet dan disaring menggunakan kertas saring
yang mengandung MgSO4 anhidrat sebanyak 1 g. Setelah itu, ekstrak siap untuk
dianalisis menggunakan Gas Chromatography (GC) seperti pada Gambar 3.

Gambar 3 Larutan ekstrak imidacloprid yang telah siap dianalisis kadar residunya
Analisis Residu Imidacloprid
Sebanyak 2 l larutan ekstrak diinjeksikan kedalam Gas Chromatography
(GC) varian 450 dengan gas pembawa nitrogen (N2) yang memiliki kecepatan alir
28 ml/menit dan menggunakan kolom kapiler VF 1701 pesticide (30 m  0.32 mm
1

Persentase contoh tanah di tiga lokasi pada recovery test adalah (102.3±22.5)%
menunjukkan bahwa metode yang digunakan telah sesuai

7
 0.25 m) serta dilengkapi dengan Electron Capture Detector (ECD). Suhu oven,
injektor, dan detektor masing-masing sebesar 150 ºC, 250 ºC, dan 300 ºC. Saat
kondisi tersebut, kromatogram yang memuat waktu retensi (TR) dan area dari
senyawa imidacloprid akan diketahui dan direkam oleh komputer.
Analisis Karakteristik Tanah
Contoh tanah dari ketiga lokasi dibawa ke Laboratorium Kesuburan Tanah
dan Laboratorium Konservasi Tanah dan Air, Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB, untuk dianalisis karakteristik fisik
dan kimia tanahnya yang meliputi pH, kandungan C-organik, kadar air, dan
tekstur.
Pengambilan Data Suhu Udara dan Curah Hujan
Data suhu udara dan curah hujan pada bulan April hingga Mei 2015 di tiga
lokasi diperoleh dari Stasiun Klimatologi Pondok Betung-Tangerang, Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, dan Stasiun Meteorologi Landasan Udara
Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.
Analisis Data
Hasil analisis residu termitisida menggunakan alat Gas Chromatography
(GC) adalah berupa kromatogram yang memuat waktu retensi dan area senyawa
imidacloprid. Perhitungan kadar residu pestisida (R) yang dinyatakan dalam ppm
dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

keterangan:
R
Sx
Ss
Cs
Ev
W

= Residu pestisida (ppm)
= Area contoh
= Area standar
= Konsentrasi standar (ppm)
= Volume ekstrak (ml)
= Berat sampel yang diekstraksi (gram)

Uji beda statistik kadar residu pada contoh tanah di tiga lokasi
menggunakan software XLSTAT Microsoft Excel 2010.

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar residu imidacloprid satu minggu
setelah aplikasi di Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Jakarta Selatan masingmasing mencapai 4.068±0.882 ppm, 7.209±3.894 ppm, dan 15.137±6.160 ppm,
sedangkan satu bulan setelah aplikasi menurun menjadi 1.227±0.900 ppm,
4.390±1.977 ppm, dan 9.341±5.270 ppm (Gambar 4). Berdasarkan hasil uji beda
statistik yang dilakukan, kadar residu imidacloprid di tiga lokasi tersebut pada
satu minggu setelah aplikasi antara Jakarta Timur dengan Jakarta Utara dan
Jakarta Utara dengan Jakarta Selatan tidak berbeda nyata (P>0.05), sedangkan
antara Jakarta Timur dengan Jakarta Selatan berbeda nyata (P