Kajian Adopsi Circle Hook dalam Perikanan Tuna Longline oleh Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) dan Indonesia.

KAJIAN ADOPSI CIRCLE HOOK DALAM PERIKANAN
TUNA LONGLINE OLEH COMMISSION FOR THE
CONSERVATION OF SOUTHERN BLUEFIN TUNA
(CCSBT) DAN INDONESIA

YUANNA LESTARI

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Adopsi Circle Hook
dalam Perikanan Tuna Longline oleh Commission for The Conservation of
Southern Bluefin Tuna (CCSBT) dan Indonesia adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam

teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2015
Yuanna Lestari
NIM C44110042

ABSTRAK
YUANNA LESTARI. Kajian Adopsi Circle Hook dalam Perikanan Tuna
Longline oleh Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna
(CCSBT) dan Indonesia. Dibimbing oleh MUHAMMAD FEDI ALFIADI
SONDITA dan AKHMAD SOLIHIN
Populasi tuna sirip biru selatan (southern bluefin tuna - SBT, Thunnus
maccoyii) dianggap telah mengalami eksploitasi yang berlebihan. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor, salah satu di antaranya adalah penggunaan alat
tangkap yang tidak ramah lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
kebijakan alat tangkap dalam aturan konvensi CCSBT, menganalisis proses
penerapan teknologi circle hook dalam penangkapan SBT, dan menentukan
strategi penerapan teknologi pancing circle hook dalam perikanan tuna Indonesia.
Pengumpulan data untuk penelitian ini dilakukan dengan cara mendapatkan
informasi langsung dari pihak-pihak yang berkaitan dengan upaya penerapan

circle hook di Indonesia, pencarian informasi pada situs-situs resmi (internet
surfing), dan studi pustaka. Jenis analisis data yang diterapkan adalah analisis
yuridis normatif dan pola strategi penerapan circle hook serta analisis SWOT.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konvensi CCSBT tidak mengatur jenis dan
penggunaan alat tangkap. CCSBT mengelola tuna SBT melalui aturan yang telah
ditetapkan dalam konvensi, yaitu penetapan jumlah kapal yang beroperasi dan
sistem kuota penangkapan. Migrasi tuna SBT yang berpindah-pindah setiap fase
pemijahannya, sehingga CCSBT menyerahkan aturan alat penangkapan ikan
kepada aturan nasional negara anggotanya sesuai dengan kriteria negara perairan
yang dilalui oleh proses migrasi ikan SBT. Teknologi circle hook mendapat
tanggapan baik dari CCSBT dan Indonesia, namun untuk aturan penerapannya
belum diratifikasi secara resmi oleh keduanya. Strategi yang diusulkan untuk
menerapkan circle hook dalam perikanan tuna Indonesia antara lain dengan (1)
mengoptimalkan hubungan kerja sama antara Pemerintah dengan WWF Indonesia
dalam mendukung pelestarian sumberdaya perikanan yang bertanggung jawab,
dan (2) memanfaatkan peluang kemitraan antara Pemerintah, WWF Indonesia,
dan pihak swasta untuk pengadaan circle hook.
Kata kunci: circle hook, konvensi CCSBT, strategi penerapan, tuna sirip biru
selatan


ABSTRACT
YUANNA LESTARI. The Study on Adoption of Circle Hook in Tuna Longline
Fishery by Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT)
and Indonesia. Supervised by MUHAMMAD FEDI ALFIADI SONDITA and
AKHMAD SOLIHIN
The population of southern bluefin tuna (SBT, Thunnus maccoyii) has been
exploited on a large scale. It is caused by several factors, one of which is the use
of fishing gear that is not environmentally friendly. This study was conducted to
analyze the rules of fishing gear policy in the CCSBT convention, to analyze the
process of applying circle hook technology in catching southern bluefin tuna, and
to establish the implementation strategy of circle hooks technology in Indonesia
tuna fisheries. The data collection of this study was conducted by getting
information directly from the stakeholders that related to the implementation
effort of circle hook in Indonesia, search of information on official website
(internet surfing), and literature. The type of data analysis used a normative
juridical analysis, and the pattern of circle hook implementation strategy was
identified by using SWOT analysis. CCSBT convention does not regulate the type
and the use of fishing gear. CCSBT manages the southern bluefin tuna through
predefined rules in convention, which is about the establishment of the number of
vessels operating and fishing quota system. The migration of SBT that move in

every phase of spawning lead the CCSBT to hand the rule of fishing gear to the
members’ national rule based on the criteria of maritime countries passed by SBT
migration. The circle hook technology got a good responses by CCSBT and
Indonesia, but the application rules have not been ratified yet. The proposed
strategies to implement the circle hook in Indonesia tuna fishery are by (1)
optimizing the working relationship between the government and WWF Indonesia
in supporting the conservation of responsible fisheries resources, and (2) utilizing
the partnership opportunities between the government, WWF Indonesia, and the
private sector for procurement circle hook.

Keywords : CCSBT convention, circle hook, implementation strategies, southern
bluefin tuna

KAJIAN ADOPSI CIRCLE HOOK DALAM PERIKANAN
TUNA LONGLINE OLEH COMMISSION FOR THE
CONSERVATION OF SOUTHERN BLUEFIN TUNA (CCSBT)
DAN INDONESIA

YUANNA LESTARI


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Alhamdulillahirobbil’aalamiin. Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat
Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam
rangka memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Perikanan pada
Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Saya menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini,

sehingga kritikan serta saran sehubungan dengan penulisan skripsi ini akan sangat
membantu saya dalam melakukan penyempurnaan skripsi. Penulisan skripsi ini
dapat terlaksana dan terselesaikan berkat bimbingan, dorongan, dan bantuan dari
semua pihak. Untuk itu pada kesempatan ini saya sampaikan ucapan terimakasih
kepada :
1. Bapak Dr Ir Muhammad Fedi Alfiadi Sondita, MSc dan Bapak Akhmad
Solihin, SPi MH selaku dosen pembimbing I dan II yang telah meluangkan
waktu, tenaga, dan pikirannya untuk mengarahkan dalam penyusunan skripsi
ini.
2. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor atas ilmunya
yang sangat berharga.
3. Orangtua saya, Ayahanda Alyulyadi dan Ibunda Riana yang telah
mencurahkan seluruh tenaganya demi menyelesaikan pendidikan sarjana saya,
serta Adik Bintang Dwi Putra atas segala kasih sayang, doa restu dan
dorongannya selama ini.
4. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, bagian Kapal dan Alat Penangkapan
Ikan, yang membantu saya dalam pengambilan data penelitian.
5. Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) di Benoa, Bali atas bantuan
pengambilan data penelitian.

6. Akhmad Yudhan, SPd yang selalu memberikan kesabaran dan dorongan
semangat selama penelitian hingga penulisan skripsi.
7. Teman-teman seperjuangan di PSP 48 dan keluarga IKPB Bogor yang telah
menemani dan mewarnai hari-hari 4 tahun dunia perkuliahan dan perantauan.
8. Semua pihak yang telah membantu selama ini, baik secara langsung dan tidak
langsung yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.
Akhir kata, saya berharap skripsi ini dapat membawa manfaat, baik bagi saya
sendiri maupun bagi semua pihak, serta dapat memberikan sumbangan bagi
perkembangan ilmu kelautan di masa yang akan datang.
\

Bogor, Agustus 2015

Yuanna Lestari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ix


DAFTAR GAMBAR

ix

DAFTAR LAMPIRAN

ix

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Penelitian Terdahulu

2


Tujuan Penelitian

3

Manfaat Penelitian

3

METODE

3

Waktu dan Tempat

3

Bahan dan Alat

4


Metode Pengumpulan Data

4

Analisis Data

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

9

Hasil

9

Keadaan umum lokasi penelitian

9


Pengelolaan tuna sirip biru selatan oleh CCSBT

10

Pengelolaan tuna sirip biru selatan oleh Indonesia dalam aturan CCSBT

11

Respon CCSBT terhadap teknologi circle hook

12

Kebijakan teknologi circle hook di Indonesia

14

Strategi penerapan circle hook dalam perikanan tuna Indonesia

15

Pembahasan

18

SIMPULAN DAN SARAN

22

Simpulan

22

Saran

23

DAFTAR PUSTAKA

23

LAMPIRAN

25

RIWAYAT HIDUP

32

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Data primer penelitian
Data sekunder penelitian
Identifikasi faktor internal dan faktor eksternal
Analisis faktor internal
Analisis faktor eksternal
Model matriks analisis SWOT
Alokasi kuota penangkapan tuna SBT Indonesia
Perbandingan pancing circle hook dan J hook
Hasil analisis faktor internal
Hasil analisis faktor eksternal
Hasil model matriks analisis SWOT

4
5
7
7
7
8
12
14
16
16
17

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Diagram analisis SWOT
Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia
Peta sebaran SBT dan daerah pemijahannya
Pancing circle hook
Grafik hasil analisis SWOT

6
9
10
13
18

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Tahapan analisis SWOT
Peraturan Menteri terkait bycatch
Aturan konvensi CCSBT terkait mitigasi bycatch
Conservation and Management of Sea Turtle (CMM 2008-03)
Keputusan Presiden nomor 109 tahun 2007

25
28
29
30
31

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sumberdaya ikan tuna di kawasan Samudera Hindia telah mengalami
eksploitasi secara berlebihan (Mahrus 2012). Salah satunya adalah tuna sirip biru
atau southern bluefin tuna (Thunnus maccoyii), selanjutnya disebut SBT. Ikan ini
memiliki harga pasar yang sangat tinggi. Sebagai contoh, harga ikan ini di
pelabuhan Tsukiji, Jepang, pada tanggal 6 Januari 2015 adalah US$ 203 per
kilogram. Jika satu ekor SBT memiliki berat bersih 180,4 kg, maka harganya
adalah US$ 37000 atau sekitar Rp 495 juta per ekor (Patnistik 2015). Perairan
Samudera Hindia di sebelah selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara merupakan
daerah pemijahan dari jenis tuna ini. Ikan ini biasanya bermigrasi ke perairan
selatan Jawa dan Bali, dan umumnya nelayan menangkap ketika berada dalam
kondisi memijah pada November dan Januari. Tingginya nilai tuna sirip biru
menyebabkan ikan ini menjadi target penangkapan terutama oleh armada Jepang,
Taiwan, Korea, Selandia Baru, Australia, termasuk Indonesia.
Negara yang menjadikan SBT sebagai ikan target utama penangkapan
membentuk sebuah konvensi internasional dibawah RFMO untuk pengelolaan
ikan tuna sirip biru yang dikenal dengan CCSBT (Commission for the
Conservation of Southern Bluefin Tuna). Sesuai dengan yang tertuang dalam
konvensi, komisi perlindungan CCSBT adalah sebuah organisasi antar pemerintah
yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan SBT sepanjang wilayah
distribusinya, yang menjamin keberlanjutan sumberdaya SBT melalui manajemen
yang tepat, perlindungan dan pemanfaatan secara optimal SBT.
Permasalahan menurunnya produksi SBT banyak disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain adanya perdagangan ekspor-impor tuna ilegal, dan kurangnya
upaya penerapan sistem kuota hasil tangkapan tuna serta kurangnya upaya
pencegahan penggunaan alat tangkap yang mengancam kelestarian SBT. Prosedur
pengelolaan (management procedure) yang ditetapkan CCSBT menekankan
pentingnya menstabilkan TAC (total allowable catch) dalam rangka mencegah
terjadinya penurunan jumlah populasi SBT. TAC yang ditetapkan dalam
manajemen prosedur ini dituangkan dalam Resolusi TAC-1, yaitu mengenai
alokasi global jumlah tangkapan yang diizinkan yang berlaku baik untuk anggota
konvensi maupun pihak non-anggota yang bekerjasama dengan CCSBT. Resolusi
TAC-1 dibentuk untuk dijadikan dasar terbentuknya Resolusi TAC-2 tentang
aturan jumlah tangkapan yang diperbolehkan dalam periode tiga tahun (CCSBT
2002). Selain itu, CCSBT juga mengatur tentang penetapan daftar kapal-kapal
yang berwenang dan diizinkan untuk membawa SBT. Para negara anggota
maupun negara non anggota yang bekerja sama ditegaskan untuk tidak menerima
perdagangan atau dokumen kapal yang tidak terdaftar dalam aturan konvensi, dan
tidak menerima impor atau pendaratan domestik produk SBT dari kapal yang
tidak memiliki kewenangan (CCSBT 2011).
Berdasarkan kunci pemecahan masalah di atas, CCSBT telah merangkum
aturan yang terkait untuk mengatasi permasalahan sumberdaya SBT. Namun
dalam manajemen prosedur, konvensi hanya menetapkan aturan kuota
penangkapan yang diizinkan dan daftar kapal penangkapan, sedangkan aturan
penggunaan alat tangkap tidak ditetapkan secara spesifik dalam manajemen

2

prosedur. Sebaiknya CCSBT perlu juga menentukan aturan terkait alat
penangkapan ikan karena faktor ini dapat menyebabkan penurunan populasi SBT.
Alat tangkap dapat menyebabkan penurunan populasi ikan target (dalam hal
ini SBT) dan jenis ikan lainnya yang bukan target atau hasil tangkapan sampingan
(bycatch). Salah satu bycatch penting yang tertangkap oleh armada perikanan
tuna adalah penyu. Banyaknya penyu yang tertangkap disebabkan karena
mayoritas nelayan internasional maupun lokal masih menggunakan mata pancing
J-Hook dalam alat pancing rawai tuna (longline). Sejak tahun 2006 di Indonesia
telah diperkenalkan jenis pancing pengganti, yaitu circle hook. Pancing ini
dirancang untuk mencegah tertangkapnya penyu, namun hingga saat ini
penggunaanya masih minim oleh nelayan rawai tuna (Zainudin 2008). Keefektifan
circle hook telah banyak dibuktikan di beberapa negara, seperti di negara Amerika
Latin, Jepang, dan Indonesia (Wasdalin 2014). Namun penggunaan circle hook
masih menghadapi kendala dari berbagai sisi, misalnya kurangnya apresiasi
masyarakat nelayan, minimnya industri yang memproduksi circle hook, dan masih
belum adanya aturan terkait kebijakan teknologi dalam circle hook.

Penelitian Terdahulu
Penelitian terkait dengan CCSBT sudah dilakukan oleh beberapa orang,
diantaranya adalah Rahmawati (2014). Rahmawati 2014 meneliti tentang
pengelolaan SBT di Indonesia melalui sistem kuota penangkapan. Menurut
Rahmawati, sebagai anggota Commission for The Conservation of Southern
Bluefin Tuna (CCSBT), Indonesia harus mengikuti aturan kuota SBT yang telah
ditetapkan. Untuk itu diperlukan pengaturan dan tata kelola yang baik dalam
pemanfaatan SBT di Indonesia agar selaras dengan aturan internasional yang telah
disepakati Indonesia sebagai bagian dari CCSBT. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa secara umum produksi SBT Indonesia selama dua belas tahun terakhir
(2002-2013) cenderung meningkat. Permasalahan umum perikanan SBT di
Indonesia diantaranya adalah kuota penangkapan SBT di Indonesia telah melebihi
kuota yang ditetapkan oleh CCSBT dan kuota untuk Indonesia diduga bernilai
lebih kecil dari kemampuan Indonesia berproduksi. Dalam mengelola perikanan
SBT, Indonesia telah membuat kebijakan dengan membagi aturan kuota
penangkapan SBT Nasional kepada dua asosiasi yaitu ATLI dan ASTUIN,
pendaftaran kapal, dan melakukan pendataan SBT melalui penerapan Catch
Documentation Scheme (CDS).
Syamsudin 2011 meneliti tentang Mitigasi Penyu Hasil Tangkap Sampingan
Rawai Tuna Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan percobaan
pancing semi lingkar (circle hook) buatan NOAA (National Oceanic and
Athmospheric Administration) Amerika pada berbagai kapal rawai tuna di
Indonesia. Berdasarkan hasil wawancara dan data observasi di kapal rawai tuna
menunjukkan bahwa, beberapa penyu tertangkap pada operasi rawai tuna namun
dalam jumlah yang tidak signifikan jika dihitung per kapal, akan tetapi jumlahnya
akan mejadi besar jika mengingat besarnya armada rawai tuna indonesia yang
dihitung pertahunnya. Hasil awal uji coba pancing lingkar (circle hook)
menunjukan bahwa penggunaan pancing semi lingkar tidak menurunkan hasil
tangkapan tuna dibandingkan pancing asli (J hook), dan nelayan rawai tuna yang

3

terlibat uji coba merekomendasikan penggunaan pancing lingkar. Penggunaan
pancing lingkar tidak menurunkan hasil tangkapan hiu secara signifikan,
sedangkan burung laut dan mamalia laut sangat sedikit berinteraksi dengan rawai
tuna di perairan Indonesia.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Menganalisis aturan alat tangkap yang tidak diatur secara tertulis dalam
manajemen prosedur konvensi dan dikaitkan dengan penemuan teknologi
circle hook yang diadopsi oleh CCSBT dalam CMM 2008-03 (Conservation
and Management of Sea Turtle). Dalam hal ini mencakup:
1) Kebijakan tentang penggunaan alat penangkapan ikan yang digunakan oleh
negara-negara anggota CCSBT
2) Penerapan kebijakan circle hook dalam perikanan SBT oleh CCSBT dan
Indonesia
2. Membuat rumusan rekomendasi strategi penerapan kebijakan teknologi
pancing circle hook dalam perikanan tuna Indonesia.

Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dapat diambil dari penelitian ini adalah:
1. Analisis aturan konvensi dan Conservation and Management Measure (CMM)
yang ditetapkan oleh negara anggota CCSBT
2. Memberikan informasi bagaimana CCSBT merespon penemuan teknologi
circle hook dalam aturan konvensi dan CMM.
3. Mengetahui perkembangan kebijakan teknologi circle hook dalam perikanan
tuna Indonesia.
4. Memberi informasi tentang rekomendasi strategi untuk diterapkannya
kebijakan teknologi pancing circle hook

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan
dan penelitian utama. Kegiatan pendahuluan dilaksanakan pada bulan Oktober
2014 untuk mengumpulkan informasi awal terkait kondisi di lapangan. Penelitian
pendahuluan ini dilakukan melalui media internet mengenai informasi organisasi
internasional CCSBT, yaitu mempelajari resolusi-resolusi tentang ditetapkannya
aturan pengelolaan SBT, dan mempelajari jurnal ilmiah atau tulisan ilmiah lainnya
terkait SBT. Selain itu juga mengumpulkan informasi tentang teknologi circle
hook dan kebijakan pemberlakuan teknologi tersebut di Indonesia.

4

Penelitian utama dilaksanakan pada akhir Oktober 2014 di Pelabuhan
Tanjung Benoa, Bali dan dilanjutkan pada bulan Februari 2015 di Kementerian
Kelautan dan Perikanan, Jakarta untuk mengumpulkan data primer dan sekunder
yang diperlukan.

Alat dan Objek Penelitian
Alat yang digunakan adalah alat tulis kantor, peralatan dokumentasi
seperti kamera, fasilitas kerja (laptop). Objek penelitian adalah kebijakan
dalam teknologi circle hook dan respon CCSBT terhadap teknologi tersebut.

Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
bersifat formal maupun informal, yaitu melalui metode survei, studi pustaka dan
dokumentasi, wawancara serta diskusi. Jenis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dan data
sekunder diperoleh dari pihak terkait, seperti instansi pemerintah, dalam hal ini
Kementerian Kelautan dan Perikanan, asosiasi dan pelaku usaha serta literatur dan
dokumentasi yang berkaitan dengan penelitian. Jenis dan data yang digunakan
dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1 Data primer penelitian
Sumber data

Cara
pengumpulan

Cara
pengolahan

1

Konvensi, CMM dan
Resolusi CCSBT

Situs resmi
CCSBT

Internet
surfing

Analisis
deskriptif
(yuridis
normatif)

2

Penerapan Circle Hook
dalam kebijakan
CCSBT

Situs resmi
CCSBT

Internet
surfing

Analisis
deskriptif
(yuridis
normatif)

3

Kebijakan dalam
pemberlakuan teknologi
Circle Hook di
Indonesia

Pihak
Pelabuhan
TanjungBenoa,
KKP, ATLI

Wawancara

Analisis
deskriptif,
Analisis
SWOT

No.

Data

5

Tabel 2 Data sekunder penelitian
No.

Data

Sumber
data

Cara
pengumpulan

Cara
pengolahan

1

Laporan / hasil konvensi
tahunan negara-negara
anggota CCSBT

Situs resmi
CCSBT

Internet
surfing

Analisis
deskriptif
(yuridis
normatif)

2

Pengelolaan SBT
Pihak
Pelabuhan
Tanjung
Benoa, Bali,
KKP, dan
ATLI

Referensi
dokumen

Analisis
deskriptif

3

Wilayah penangkapan
SBT

4

Data statistik perikanan
Tuna

Identifikasi dapat diperkuat dengan metode survei, yaitu metode yang
bertujuan untuk mengumpulkan data dari sejumlah variabel pada suatu kelompok
masyarakat melalui wawancara langsung dan berpedoman pada daftar pertanyaan
yang telah disiapkan sebelumnya dengan berupa kuisioner. Aspek yang akan
diteliti yaitu mengenai konvensi CCSBT, Conservation and Management
Measure (CMM) dan resolusi SBT terkait penemuan teknologi circle hook dan
implementasi aturan konvensi CCSBT dengan perikanan tuna di Indonesia.
Teknik pengambilan sampel dalam proses wawancara pada penelitian ini
dilakukan dengan cara purposive sampling. Purposive sampling adalah
pengambilan sampel yang bersifat tidak acak. Pemilihan responden dilakukan
dengan sengaja, berdasarkan stratifikasi dan beberapa pertimbangan yang
berkaitan dengan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti. Dalam metode survei
ini menggunakan lampiran kuisioner yang ditujukan kepada pelaksana di lapangan,
yaitu pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Pelabuhan Tanjung
Benoa, Bali. Pelabuhan tersebut dipilih dengan pertimbangan bahwa hasil
tangkapan SBT di indonesia sebagian besar didaratkan di Tanjung Benoa, Bali.
Selain itu terdapat asosiasi terpilih yang khusus mengawasi penangkapan tuna,
yaitu Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) serta dari pihak LSM yang
diwakili oleh World Wildlife Fund (WWF) Indonesia.
Analisis Data
Penelitian ini dianalisis menggunakan 2 metode, yaitu:
1. Metode analisis yuridis normatif
Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan
hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum

6

serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Yuridis
normatif dilakukan untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat
serta hubungan antar fenomena-fenomena yang diselidiki. Metode analisis ini
menggambarkan aturan konvensi dan CMM CCSBT yang berlaku akan dikaitkan
dengan mengapa CCSBT tidak mengatur tentang alat tangkap secara spesifik
dalam aturan tersebut.
2. Analisis SWOT
Analisis SWOT digunakan untuk menyusun faktor-faktor strategis yang
menggambarkan peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi dan dapat
disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki (Rangkuti 2006). Data
yang dibutuhkan untuk membuat matriks analisis SWOT adalah analisis faktor
internal dan eksternal terkait penerapan aturan penggunaan circle hook dalam
perikanan tuna SBT yang diperoleh dari hasil wawancara dari pemerintah dan
lembaga terkait. Identifikasi analisis SWOT ini menggunakan tiga parameter,
yaitu kelembagaan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai otoritas
pengelolaan, dan perusahaan / industri perikanan yang diwakili oleh ATLI, dan
LSM yang diwakili oleh WWF Indonesia. Gambar 1 menunjukkan diagram
analisis SWOT yang membagi situasi pada 4 kuadran. Tiap kuadran
menggambarkan situasi objek yang dianalisis, dipengaruhi oleh faktor internal dan
faktor eksternal.

Peluang
(opportunities)

Kuadran 4

Kelemahan (weaknesses)

Kuadran 1

Kekuatan (strengths)

Kuadran 3

Kuadran 2

Ancaman (threats)
Gambar 1 Diagram analisis SWOT
(Sumber: Rangkuti 2006)
Tahap analisis SWOT adalah sebagai berikut:
1) Identifikasi faktor-faktor internal dan eksternal
Faktor internal merupakan aspek dari dalam yang memberikan pengaruh
kepada organisasi dalam proses pengambilan keputusan. Kekuatan-kekuatan
yang ada akan dijadikan landasan pengambilan keputusan. Sedangkan
kelemahan-kelemahan yang ada akan menjadi acuan organisasi untuk
memperbaiki kinerjanya. Sedangkan faktor eksternal merupakan aspek di luar
organisasi yang dapat memberikan pengaruh nyata terhadap proses
pengambilan kebijakan. Faktor ini meliputi peluang dan ancaman yang

7

memiliki kaitan dengan kebijakan yang diambil. Keterangan yang berkaitan
dengan faktor internal dan faktor eksternal dilakukan dengan sejumlah analisis
pertanyaan yang terlampir pada Tabel 3.
Tabel 3 Identifikasi faktor internal dan faktor eksternal penerapan teknologi
circle hook
Kekuatan (S)
1) Keunggulan yang dimiliki
untuk dapat diberlakukannya
circle hook
2) Upaya apa yang telah
dilaksanakan oleh pemerintah
3) Hal-hal yang dinyatakan oleh
pihak lain sebagai kekuatan
untuk berlakunya circle hook
Peluang (O)

Kelemahan (W)
1) Hal-hal yang belum
optimal yang masih
dapat ditingkatkan
2) Upaya apa yang masih
belum dilaksanakan
secara baik

Peluang-peluang apa saja yang
berpotensi menguntungkan untuk
berlakunya circle hook

1) Hambatan apa yang
akan dihadapi
2) Hal-hal apa yang harus
dihindari

Ancaman (T)

Setelah dilakukan proses analisis faktor internal dan eksternal pada Tabel 3,
kemudian menghitung bobot, rating dan skornya berdasarkan hasil wawancara
dengan responden.
Tabel 4 Penilaian analisis faktor internal
Keterangan
Kekuatan
........
........
Kelemahan
........
........
TOTAL

Bobot

Skala

Skor

Skala

Skor

Tabel 5 Penilaian analisis faktor eksternal
Keterangan
Peluang
........
........
Ancaman
........
........
TOTAL

Bobot

8

Penentuan bobot, skala dan skor dilakukan setelah mendapatkan hasil
penilaian dari responden terkait setiap keterangan yang dipaparkan. Berikut
tahapan pengolahan datanya :
(1) Hitung nilai survey berdasarkan nilai setiap keterangan dari responden,
kemudian dibagi dengan total nilai dalam faktor internal dan faktor
eksternal dari masing-masing responden
(2) Bobot diperoleh dengan menghitung nilai rata-rata survey dari semua
responden pada setiap keterangan. Total bobot dalam faktor internal
maupun faktor eksternal adalah 1
(3) Skala ditentukan dengan menghitung rata-rata penilaian semua responden
terhadap masing-masing keterangan
(4) Skor pada setiap keterangan dihitung dengan cara mengalikan nilai bobot
dan nilai skala. Setiap skor dari kekuatan (strengths), kelemahan
(weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) dijumlahkan
untuk membuat grafik analisis SWOT
Tahapan pengolahan data untuk analisis SWOT pada penelitian ini dapat dilihat
pada Lampiran 1
2) Penentuan Strategi
Langkah selanjutnya adalah penentuan strategi penggunaan circle hook dalam
perikanan tuna longline Indonesia. Tabel 6 merupakan tabel analisis matriks
SWOT yang memaparkan strategi pada setiap situasi. Strategi yang diambil
merupakan strategi yang ditunjukkan pada grafik hasil pengolahan data.
Tabel 6 Model matriks analisis SWOT
IFAS
EFAS
Peluang
Opportunity
(O)

Ancaman
Threat (T)

Kekuatan
Strength (S)

Kelemahan
Weakness (W)

STRATEGI SO
Menciptakan strategi yang
menggunakan kekuatan
untuk memanfaatkan
kekuatan

STRATEGI WO
Menciptakan strategi yang
meminimalkan kelemahan
untuk memanfaatkan peluang

STRATEGI ST
Menciptakan strategi yang
menggunakan kekuatan
untuk mengatasi ancaman

STRATEGI WT
Menciptakan strategi yang
meminimalkan kelemahan
dan menghindari ancaman

9

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Keadaan umum lokasi penelitian
Lokasi penelitian yang dimaksud dalam penelitian ini bukan lokasi yang
dijadikan obyek penelitian, melainkan lokasi tempat mengumpulkan data
sekunder. Lokasi tersebut adalah Pelabuhan Perikanan Benoa. Secara geografis,
Pelabuhan Benoa yang terletak di Provinsi Bali berada di koordinat 115o 12’ 30”
Bujur Timur dan 8o 44’ 22” Lintang Selatan. Secara administratif Pelabuhan
Benoa tercakup pada Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, yaitu di bagian
selatan Pulau Bali atau berada di Teluk Benoa, Denpasar. Wilayah Pengelolaan
Perairan (WPP) Pelabuhan Tanjung Benoa termasuk dalam WPP 573 yang
meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan
Nusa Tenggara, dan Laut Sawu, serta WPP 713 yang meliputi Selat Makassar,
Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Bali.

Gambar 2 Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia
(Sumber: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap 2014)
Kegiatan perikanan tuna di Pelabuhan Benoa dilakukan oleh perusahaan
BUMN perikanan dengan armada yang dimiliki sebanyak 18 kapal tuna longline.
Kapal-kapal tersebut melakukan operasi penangkapan tuna di wilayah perairan
Samudera Hindia dan daerah Indonesia bagian Timur. Sepanjang perairan Selatan
Jawa hingga perairan Bali juga diketahui sebagai satu-satunya tempat pemijahan
(spawning ground) SBT, sehingga Pelabuhan Benoa yang termasuk dalam WPP
573 ini dijadikan sebagai tempat operasi penangkapan kapal tuna longline dan
pendaratan ikan SBT terbesar di Indonesia (Mahrus 2012).

10

Spawning ground SBT

Total distribution SBT

Gambar 3 Penyebaran SBT dan daerah pemijahannya
(Sumber: FAO dalam Mahruz 2012)
Pengelolaan tuna sirip biru selatan oleh CCSBT
Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT)
adalah organisasi antar pemerintah yang bertanggung jawab atas pengelolaan SBT.
CCSBT merupakan organisasi dibawah RFMO yang fokus mengelola SBT
memiliki tujuan untuk menjamin konservasi dan pemanfaatan optimum SBT
melalui pengelolaan yang tepat. CCSBT secara resmi didirikan pada tanggal 10
Mei 1993 oleh Australia, Jepang, dan Selandia Baru, dimana setelah efektif
dijalankan organisasi ini, negara anggota CCSBT terdiri dari 6 negara anggota dan
3 negara non cooperating members. Indonesia sendiri termasuk ke dalam negara
anggota, dimana Indonesia resmi menjadi negara anggota CCSBT sejak tanggal 8
April 2008.
Dalam pengelolaan SBT, CCSBT mengadopsi tindakan pengelolaan
berbasis output control melalui penetapan kuota penangkapan SBT kepada setiap
negara anggota dan pengaturan jumlah kapal yang terdaftar sesuai dengan
Management Procedure (MP). MP digunakan sebagai panduan dalam menetapkan
Total Allowable Catch (TAC). Prosedur pengelolaan mengenai TAC merupakan
seperangkat aturan yang dapat menentukan total penangkapan yang diperbolehkan
(TAC) berdasarkan data pemantauan yang diperbaharui. Dari tahun 2002 sampai
2011, CCSBT melakukan usaha yang besar untuk mengembangkan prosedur
pengelolaan dalam rangka memandu proses pengaturan TAC untuk SBT. Pada
pertemuan ke-18, CCSBT menyetujui prosedur pengelolaan digunakan untuk
memandu pengaturan jumlah tangkapan SBT terkait dengan target jumlah
populasi tuna SBT yang mengalami penurunan. Prosedur pengelolaan yang
dikenal sebagai “Bali Procedure” yang diadopsi pada pertemuan ke-18 membahas
aturan TAC dalam Resolusi Penerapan Manajemen Prosedur dan Resolusi tentang
Alokasi Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan. Dalam resolusi TAC ditetapkan

11

CCSBT menggunakan MP untuk menghitung TAC jangka waktu tiga tahun
(2012-2014). Perhitungan tiga tahun pertama ini digunakan sebagai awal
penentuan TAC Tuna Sirip Biru global tahun 2012 dan seterusnya. Selain itu,
CCSBT juga mengatur tentang penetapan daftar kapal-kapal yang berwenang dan
diizinkan untuk membawa SBT. Para negara anggota maupun negara non anggota
yang bekerja sama ditegaskan untuk tidak menerima perdagangan atau dokumen
kapal yang tidak terdaftar dalam aturan konvensi, dan tidak menerima impor atau
pendaratan domestik produk SBT dari kapal yang tidak memiliki kewenangan.
Setiap kapal penangkapan ikan atau kapal pengangkut ikan yang melakukan
penangkapan dan pengangkutan ikan SBT wajib didaftarkan ke CCSBT. Hal ini
telah diatur dalam Resolusi CCSBT, yaitu : Resolution on Amandement of The
Resolution on “Illegal, Unregullated and Unreported Fishing (IUU) and
Establishment of a CCSBT Record of Vessels over 24 meters Authorized to Fish
for Southern Bluefin Tuna” (adopted at the fifteenth Annual Meeting, 14-17
October 2008) yang menjelaskan tentang persyaratan dan tatacara pendaftaran
kapal perikanan yang menangkap dan/atau mengangkut SBT.
Pengelolaan tuna sirip biru selatan oleh Indonesia dalam aturan CCSBT
Indonesia dikenal sebagai produsen tuna terbesar di dunia. Total produksi
tuna, cakalang, dan tongkol mencapai 1,1 juta ton per tahun dengan nilai
perdagangan sekitar 40 triliun rupiah. Perairan di selatan Bali bahkan tercatat
sebagai satu-satunya tempat pemijahan tuna sirip biru di dunia (DJPT 2014).
Dalam melakukan upaya pengelolaan sumberdaya SBT, Indonesia menjalin
kerjasama dengan organisasi RFMO yang khusus untuk konservasi SBT, yaitu
CCSBT. Indonesia bergabung dalam organisasi CCSBT sejak tanggal 8 April
2008. Keanggotaan Indonesia sendiri telah diratifikasi melalui Keputusan
Presiden Nomor 109 Tahun 2007 tentang Pengesahan Convention for The
Conservation of Southern Bluefin Tuna (Konvensi tentang Konservasi Tuna Sirip
Biru Selatan). Keikutsertaan Indonesia dalam organisasi CCSBT ini tentunya
memiliki konsekuensi bagi Indonesia. Indonesia harus bisa mentransformasikan
kewajiban yang ada dalam aturan konvensi CCSBT ke dalam hukum nasional dan
harus mengikuti seluruh kewajiban yang diatur dalam konvensi. Beberapa
tindakan yang telah dilakukan Indonesia sebagai negara anggota CCSBT yang
ikut serta dalam melakukan pengelolaan dan konservasi ikan SBT antara lain :
mendaftarkan kapal perikanan yang menangkap ikan SBT dan Catch
Documentation Scheme (CDS), yaitu tindakan pengelolaan berkelanjutan terhadap
SBT dengan memfokuskan pada pengumpulan data hasil tangkapan melalui
penerapan CDS.
Berdasarkan pertemuan Sixth Meeting of The Compliance Committe (6-8
Oktober 2011) dan Eighteenth Annual Meeting of The Commission for The
Conservation of Southern Blufin Tuna (10-13 Oktober 2011), disepakati bahwa
Indonesia memperoleh kuota penangkapan SBT sebesar 685 ton pada tahun 2012,
707 ton ditahun 2013, dan 750 ton di tahun 2014. Pada awal tahun pertama
Indonesia mendapatkan kuota sebesar 800 ton di tahun 2006-2007, kemudian
menurun menjadi 750 ton tahun 2008-2009 dan tahun 2010-2011 sebesar 651 ton.
Berikut data alokasi kuota penangkapan SBT Indonesia tahun 2006-2014.

12

Tabel 7 Alokasi kuota penangkapan SBT Indonesia tahun 2006-2014
KUOTA

2006

Indonesia
800
(ton)
Dunia
11810
(ton)
Indonesia
7%
(%)

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

750

750

750

651

651

685

707

750

11810

11810

11810

9749

9749

10441

10949

12449

6%

6%

6%

7%

7%

7%

6%

6%

Sumber: Rahmawati (2014)
Pendaftaran kapal perikanan Indonesia yang melakukan penangkapan,
pengangkutan ikan dan/atau menerima transhipment SBT di laut lepas Samudera
Hindia juga telah diatur pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI
Nomor. PER.12/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Laut Lepas.
Anggota Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) mendaftarkan kapal anggota
di CCSBT sebanyak 347 kapal dengan kapal penangkapan yang didaftarkan
tersebut ke sekretariat CCSBT adalah kapal dengan alat tangkap tuna longline.
Disamping menerapkan aturan pengelolaan berdasarkan konvensi CCSBT,
Indonesia melalui Komisi Tuna Indonesia mengusulkan lima aksi untuk
mengantisipasi keberlanjutan sumberdaya SBT yang harus dilakukan oleh
pemerintah, yaitu:
1. Merealisasikan Rencana Pengelolaan Tuna Indonesia (RPP Tuna) sebagai
pedoman pengelolaan tuna
2. Mengelola database perikanan tuna dan penerapan logbook pada setiap kapal
penangkap sebagai dukungan pengelolaan tuna
3. Pengaturan dan pengendalian alat tangkap yang banyak dikembangkan oleh
banyak pihak sebagai respon dari strategi penangkapan tuna
4. Penentuan alokasi izin penangkapan harus didasarkan pada data dan
informasi ilmiah dalam rangka merespon dunia usaha dalam negeri dan
tekanan lembaga-lembaga internasional
5. Meningkatkan peranan Indonesia dalam RFMO melalui restrukturasi
organisasi.
Respon CCSBT terhadap teknologi circle hook
Circle Hook merupakan jenis mata pancing inovatif berbentuk tajam dan
melengkung, seperti bentuk melingkar. Circle hook digunakan dalam
penangkapan rawai tuna (longline) untuk mengurangi hasil tangkapan sampingan
(bycacth) dalam kegiatan penangkapan tuna. Circle Hook sendiri adalah hasil
inovasi dari kompetisi yang diadakan oleh World Wildlife Fund (WWF) dalam
rangka konservasi penyu yang sering tertangkap sebagai hasil tangkapan
sampingan, kemudian pancing tersebut dipatenkan oleh WWF.
Sehubungan dengan organisasi CCSBT, circle hook selain berfungsi untuk
mencegah penangkapan bycatch penyu, juga efektif untuk menangkap tuna,
sehingga dapat mendukung upaya kegiatan penangkapan tuna yang berkelanjutan
(Efransyah 2010). Dalam mendukung upaya tersebut, selain CCSBT telah
menetapkan aturan kuota penangkapan dan kapal, CCSBT juga mengatur
pengurangan bycatch. Upaya pengurangan bycatch yang diatur oleh CCSBT

13

dibagi menjadi dua aturan yang berlaku untuk negara anggota maupun negara
non-anggota, yaitu aturan yang mengikat dan aturan yang tidak mengikat. Aturan
terikat yang telah disepakati oleh CCSBT meliputi kewajiban menggunakan tori
poles bagi semua negara anggota dalam alat tangkap rawai tuna SBT (longline).
Sedangkan untuk aturan yang tidak terikat, negara anggota memiliki hak untuk
mengembangkan teknik-teknik atau metode yang efektif dalam mengurangi
tangkapan spesies bycacth, termasuk kemungkinan dampak terhadap penurunan
populasi SBT dalam operasi longline. Selain itu, sesuai dengan rekomendasi
CCSBT untuk mengurangi dampak ekologis terkait spesies perikanan untuk SBT,
negara anggota akan melakukan Rencana Aksi Internasional untuk mengurangi
penangkapan burung laut di perikanan longline (IPOA-Seabirds), Rencana Aksi
Internasional untuk Pelestarian dan Pengelolaan Penyu (IPOA-Sharks), dan
Pedoman FAO untuk mengurangi kematian penyu dalam operasi penangkapan
tuna SBT (FAO-Sea Turtles). Di samping mengikuti aturan yang di
rekomendasikan dari CCSBT, negara anggota juga diberi hak untuk mematuhi
semua tindakan yang berlaku dan direkomendasikan yang ditujukan untuk
perlindungan spesies bycatch dari aturan-aturan yang diadopsi oleh CCSBT, yaitu
IOTC, WCPFC, dan ICCAT. Aturan yang dipatuhi dalam IOTC, WCPFC, dan
ICCAT ditentukan berdasarkan apakah negara anggota CCSBT yang
bersangkutan adalah anggota komisi yang relevan atau negara yang melakukan
kerja sama dengan komisi tersebut (CCSBT 2011).

Gambar 4 Pancing circle hook size 14/0
(Sumber: WWF 2012)
Sehubungan dengan hal di atas, penggunaan circle hook oleh CCSBT
aturannya masih diadopsi dari aturan komisi lain. CCSBT merekomendasikan
aturan tertulis mengenai circle hook dalam Conservation and Management of Sea
Turtle (CMM 2008-03) yang ditetapkan oleh tindakan komisi Western and
Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC). Negara anggota dan negara
non-anggota komisi yang bekerja sama akan menerapkan aturan tersebut untuk
mengurangi angka kematian penyu dalam operasi penangkapan ikan tuna, serta
memastikan penanganan yang aman terhadap penangkapan penyu dalam rangka
meningkatkan kelangsungan hidup mereka. Dalam CMM 2008-03 disebutkan
bahwa kapal-kapal yang terdaftar dalam aturan konvensi diminta untuk
menerapkan salah satu dari tiga metode berikut untuk mengurangi penangkapan
bycacth, yaitu:
1) Penggunaan circle hook dalam penangkapan tuna
2) Hanya menggunakan finfish sebagai umpan
3) Menggunakan tindakan yang lain/rencana yang telah ditelaah oleh komite
ilmiah

14

Kebijakan teknologi circle hook di Indonesia
Dalam rangka mewujudkan perikanan tangkap yang berkelanjutan
(sustainable fisheries) sesuai dengan ketentuan pelaksanaan perikanan yang
bertanggung jawab, maka eksploitasi sumberdaya hayati laut harus dapat
dilakukan secara bertanggung jawab (responsible fisheries). Berdasarkan hal
tersebut, untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan, perlu dikaji penggunaan
alat-alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan dari segi pengoperasian alat
penangkapan, daerah penangkapan ikan yang sesuai dengan tata laksana Code of
Conduct for Responsible Fisheries (CCRF).
Kajian alat tangkap dalam hal ini difokuskan dalam penangkapan tuna yang
banyak menggunakan alat tangkap rawai tuna (longline). Alat pancing longline
dilengkapi dengan tali utama dengan dilengkapi ratusan tali cabang. Tali cabang
tersebut juga dilengkapi dengan mata pancing dan umpan. Nelayan di Indonesia
banyak menggunakan mata pancing jenis J hook, yaitu mata pancing berbentuk J
dengan ujung yang meruncing, sehingga memudahkan untuk ikan terjerat di kail
ketika memakan umpan. Namun sejak beberapa tahun terakhir, penggunaan rawai
tuna dengan mata kail J hook tidak hanya menangkap tuna, tetapi juga menangkap
spesies lain (bycacth) terutama penyu. Data World Wildlife Fund (WWF)
Indonesia tahun 2014 menyebutkan kurang lebih 4-8 ekor penyu tertangkap per
kapal ketika dilakukan operasi penangkapan ikan tuna. Penggunaan mata kail ini
tidak secara langsung mematikan bycatch penyu tersebut, namun luka yang
disebabkan oleh kait umpan dapat mempengaruhi kemampuan penyu untuk
bertahan hidup di alam dan produktivitas penyu, sehingga dapat mengancam
kelestarian spesies tersebut.
Tabel 8 Perbandingan pancing circle hook dan J hook
Jenis Pancing
Circle Hook

J Hook

Perbandingan

Bentuk

Metode Penangkapan

Mata pancing bengkok ke
dalam membentuk sudut
90o terhadap batang
pancing
Kail tidak perlu
dihentakkan, dan kail akan
menancap dibibir ikan atau
paling jauh tertancap
hingga tenggorokan

Mata pancing tegak lurus
terhadap batang (shank)

Kail dihentakkan secara
cepat dan kuat agar
pancing masuk ke dalam
mulut ikan hingga
mencapai usus

15

Mortalitas

Umpan

Efisiensi penangkapan
tinggi dan tingkat
mortalitas rendah
Hanya bisa menggunakan
umpan hidup

Circle hook tidak mudah
tertelan, dan hanya
Catch and release
tersangkut dibagian sudut
bibir ikan, sehingga lebih
mudah untuk melepas kail
Sumber: Prince et al. (2002)

Efisiensi penangkapan
rendah dan tingkat
mortalitas tinggi
Dapat menggunakan
umpan hidup dan umpan
mati
Mata pancing J hook yang
runcing dan mudah
tertelan, sehingga
menyebabkan ikan mati
pada saat di release

Penggunaan mata pancing pada alat tangkap rawai tuna (longline), selain
menggunakan mata pancing J hook, bisa menggunakan jenis mata pancing yang
lain. Sejak tahun 2006, WWF telah memperkenalkan circle hook di Indonesia,
namun mata pancing jenis ini belum banyak digunakan hingga sekarang. Circle
hook memiliki diameter besar daripada J hook dengan ujung yang melingkar,
menghadap ke batang kail (shank) 90 derajat, sehingga memudahkan ikan dan
spesies lain yang tertangkap untuk melepaskan diri. Keuntungan menggunakan
mata pancing jenis circle hook ini adalah ikan yang tertangkap memakan umpan
tidak terlalu dalam dimasukkan ke dalam mulut dan hanya tersangkut di mulut
bagian luar, sehingga lebih mudah untuk menghapus dan mengurangi kerusakan
pada ikan. Penggunaan circle hook di Indonesia belum banyak digunakan jika
dibandingkan dengan J hook. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, circle
hook belum pernah disosialisasikan oleh pemerintah. Pemerintah hanya
mensosialisasikan terkait dimensi alat yang digunakan, seperti jumlah mata
pancing dan ukuran mata jaring. Sedangkan untuk penggunaan dan pengawasan
circle hook dalam rawai tuna belum diwajibkan oleh pemerintah. Hal tersebut
didasari oleh kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yang mengatur penangkapan
ikan dari segi dimensi alat, bukan dari jenis alat penangkapan ikan yang
digunakan. Namun untuk operasi penangkapan di lapangan, pemerintah tidak
berarti melarang penggunaan circle hook. Pemerintah membebaskan kepada
pelaku perikanan untuk menggunakan jenis mata pancing apapun dalam
penangkapan tuna longline dengan ketentuan mengikuti kebijakan operasional
penangkapan lain yang telah diatur oleh pemerintah.
Strategi penggunaan circle hook dalam perikanan tuna longline Indonesia
dalam upaya penanganan hasil tangkapan sampingan penyu
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan penelusuran data
sekunder dapat dilihat faktor eksternal untuk mendapatkan strategi penggunaan
circle hook. Faktor-faktor yang diidentifikasi sebagai kekuatan dalam kegiatan
penangkapan tuna mencakup adanya adanya Permen KP No.12/MEN/2012 Pasal
39 sebagai landasan hukum terkait HTS dan adanya RPP Tuna yang dimiliki oleh
pemerintah sebagai pedoman pengelolaan tuna. Sedangkan kelemahan yang
masuk ke dalam faktor internal mencakup pemerintah belum mewajibkan

16

penggunaan circle hook dan pengusaha perikanan merasa tidak perlu mengganti
mata pancing dengan circle hook. Berikut tabel analisis identifikasi faktor internal.
Tabel 9 Analisis faktor internal
Keterangan
Kekuatan (S)
Adanya Peraturan Menteri Nomor
02/MEN/2011 Pasal 39 sebagai landasan
hukum terkait HTS
Pemerintah memiliki RPP Tuna sebagai
pedoman pengelolaan tuna

Bobot

Skala

Skor

0,3071

4,0000

1,2284

0,2815

3,6667

Total
Kelemahan (W)
Pemerintah belum mewajibkan
penggunaan circle hook
Pengusaha perikanan merasa tidak perlu
mengganti mata pancing dengan circle
hook
Total

1,0321
2,2605

0,1906

2,6667

-0,5082

0,2209

3,3333

-0,6626

-1,1707

Faktor eksternal yang diidentifikasi yaitu peluang dan ancaman. Peluang
yang ada mencakup adanya dukungan dari organisasi pelestarian global (WWF)
Indonesia, dan adanya pembentuk kemitraan yang diadakan oleh WWF dengan
pengusaha/industri perikanan untuk mendukung pengadaan circle hook. Faktor
ancaman yaitu tidak adanya suplai untuk produksi circle hook dan minimnya
kesadaran produser pancing bahwa pancing ramah lingkungan akan semakin
banyak dibutuhkan. Berikut tabel analisis identifikasi faktor eksternal.
Tabel 10 Analisis faktor eksternal
Keterangan
Peluang (O)
Adanya dukungan dari organisasi
pelestarian global (WWF) Indonesia
Adanya rencana WWF membentuk
kemitraan dengan pengusaha/industri
perikanan untuk mendukung pengadaan
circle hook
Total
Ancaman (T)
Tidak ada suplai untuk produksi circle
hook
produser pancing tidak sadar bahwa
pancing ramah lingkungan akan semakin
banyak dibutuhkan
Total

Bobot

Skala

Skor

0,2695

3,6667

0,9881

0,2457

3,3333

0,8189
1,8070

0,2154

3,0000

-0,6461

0,2695

3,6667

-0,9881
-1,6342

17

Berdasarkan analisis faktor internal dan faktor eksternal, selanjutnya adalah
menentukan strategi yang akan digunakan. Strategi tersebut merupakan kombinasi
dari komponen masing-masing faktor internal dan eksternal yang kemudian akan
disusun ke dalam model matriks SWOT, yaitu SO (strength-opportunities), ST
(strength-threats), WO (weakness-opportunities), dan WT (weakness-threats).
Tabel 11 Model matriks analisis SWOT
IFAS

EFAS

Peluang (Opportunity)
O1. Adanya dukungan
dari organisasi
pelestarian global
(WWF) Indonesia
O2. Adanya rencana
WWF membentuk
kemitraan dengan
pengusaha/industri
perikanan untuk
mendukung pengadaan
circle hook

Ancaman (Threat)
T1. Tidak ada suplai
untuk produksi circle
hook
T2. Produser pancing
tidak sadar bahwa
pancing yang ramah
lingkungan akan
semakin banyak
dibutuhkan

Kekuatan (Strength)
S1. Adanya Peraturan
Menteri Nomor
12/MEN/2012 Pasal 39
sebagai landasan hukum
terkait HTS
S2. Pemerintah memiliki
RPP Tuna sebagai
pedoman pengelolaan
tuna

Kelemahan (Weakness)
W1. Pemerintah belum
mewajibkan
penggunaan circle
hook
W2. Pengusaha perikanan
merasa tidak perlu
mengganti mata
pancing dengan circle
hook

SO
SO1. Mengoptimalkan
hubungan kerjasama
pemerintah dengan
WWF dalam
mendukung pelestarian
sumberdaya perikanan
yang bertanggung
jawab(S1, S2, O1)
SO2. Memanfaatkan peluang
kemitraan antara
pemerintah, WWF dan
pihak swasta untuk
pengadaan circle hook
(S2, O1, O2)
ST
ST1. Pengesahan dan
merealisasikan Rencana
Pengelolaan Tuna
Indonesia (RPP Tuna)
(S1, S2, T1)
ST2. Pemerintah
mengundang
perusahaan perikanan
untuk berpartisipasi
dalam pengadaan circle
hook (S1, S2, T1)

WO
WO1. Pemerintah dan
pengusaha perikanan
meminta WWF
untuk mengajukan
aturan wajib
penggunaan circle
hook (W1, W2, O1)
WO2. WWF melakukan
kampanye lebih
intensif terkait circle
hook (W2, O1)

WT
WT1. Pemberian Insentif
kepada pengusaha
perikanan dan suplaier
circle hook (W2, T1)
WT2. Memperkenalkan
manfaat dan cara
penggunaan circle
hook secara bertahap
oleh WWF Indonesia
(W1, T2)

18

Berdasarkan Tabel 9 dan Tabel 10 nilai-nilai yang telah diolah dibuat
untuk dijadikan grafik hasil Analisis SWOT. Berikut grafik analisis SWOT dapat
dilihat pada gambar 5.

2

O

1,5
1
0,5

W

-2

S

0
-1

0

1

2

3

-0,5
-1
-1,5
-2

T
Gambar 5 Hasil penilaian strategi penerapan circle hook
Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat bahwa strategi penerapan kebijakan
circle hook berada pada kuadran 1. Rekomendasi strategi yang dapat digunakan
adalah strategi SO (Strengths-Opportunity), yaitu:
1. Mengoptimalkan hubungan kerja sama antara pemerintah dengan WWF
Indonesia dalam mendukung pelestarian sumberdaya perikanan yang
bertanggung jawab.
2. Memanfaatkan peluang kemitraan antara Pemerintah, WWF Indonesia, dan
pihak swasta untuk pengadaan circle hook.

Pembahasan
Tuna sirip biru selatan (Thunnus maccoyii) atau southern bluefin tuna/SBT
adalah jenis ikan tuna besar yang mampu berenang dengan cepat dan beruaya
sangat jauh (highly migratory). Penangkapan ikan SBT secara besar-besaran
menyebabkan populasinya menurun. Apabila penangkapan tidak dikendalikan,
SBT akan mengalami kepunahan sehingga kelestariannya terancam. Penyebaran
ikan SBT meliputi wilayah yang luas di perairan Selatan Samudera Hindia antara
30o dan 50o LS dengan perkiraan tempat pemijahan yang terletak antara Selatan
Jawa dan Australia Barat Laut.
Dalam mengatur perikanan secara umum dibagi menjadi dua cara, yaitu
dengan input control dan output control. Berdasarkan hasil penelitian di atas,
pengelolaan SBT, CCSBT menjamin konservasi dan pemanfaatan SBT secara
optimum. CCSBT mengadopsi proses pengelolaan perikanan tuna berbasis output
control, yaitu dengan menerapkan sistem kuota penangkapan kepada setiap negara
anggota sesuai dengan Management Procedure (MP). Pengelolaan input control

19

secara umum digunakan oleh Indonesia. Indonesia mengatur penangkapan dengan
pembatasan jumlah operasional alat penangkapan ikan, mengatur banyaknya
jumlah mata pancing yang digunakan, serta menetukan ukuran mata jaring yang
sesuai dengan target spesies yang ditangkap. Hal ini telah diratifikasi oleh
pemerintah Indonesia dalam Peraturan Menteri Nomor 12/MEN/2012 tentang
Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu
Penangkapan Ikan di WPP RI.
Pengelolaan SBT berbasis output control yang digunakan oleh CCSBT
hanya mengatur dari segi kuota penangkapan dan p