Southern Bluefin Tuna Fishing Quota Management in Indonesia.

PENGELOLAAN KUOTA PENANGKAPAN
TUNA SIRIP BIRU SELATAN DI INDONESIA

NOVIA TRI RAHMAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Kuota
Penangkapan Tuna Sirip Biru Selatan di Indonesia adalah karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Januari 2014

Novia Tri rahmawati
NIM C452110121

RINGKASAN
NOVIA TRI RAHMAWATI. Pengelolaan Kuota Penangkapan Tuna Sirip Biru
Selatan di Indonesia. Dibimbing oleh SUGENG HARI WISUDO, EKO SRI
WIYONO, dan TRI WIJI NURANI.
Tuna sirip biru selatan (Thunnus maccoyii) atau southern bluefin tuna/SBT
adalah jenis tuna besar yang mampu berenang dengan cepat dan beruaya sangat
jauh (highly migratory). Penangkapan SBT secara besar-besaran menyebabkan
populasinya menurun. Apabila penangkapan tidak dikendalikan, SBT akan
mengalami kepunahan sehingga kelestariannya terancam.
Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT)
merupakan Regional Fisheries Management Organization (RFMO) yang fokus
mengelola ikan jenis SBT. Melalui pengelolaan yang tepat, CCSBT menjamin
konservasi dan pemanfaatan SBT secara optimum. CCSBT mengadopsi proses
pengelolaan berbasis output control. CCSBT menerapkan kuota penangkapan
SBT kepada setiap negara sesuai dengan Management Procedure (MP).

Sebagai anggota Commission for The Conservation of Southern Bluefin
Tuna (CCSBT), Indonesia harus mengikuti aturan kuota SBT yang telah
ditetapkan. Untuk itu diperlukan pengaturan dan tata kelola yang baik dalam
pemanfaatan SBT di Indonesia agar selaras dengan kaidah dan aturan-aturan
internasional yang telah disepakati Indonesia sebagai bagian dari CCSBT.
Indonesia kesulitan menentukan kuota penangkapan SBT yang berakibat
pada kelebihan kuota SBT Nasional. Untuk itu tindakan pengelolaan berbasis
output control melalui penerapan kuota penangkapan SBT sangat diperlukan.
Sistem perikanan SBT di Indonesia dapat diidentifikasi melalui elemenelemen yang terkait dengan sistem perikanan SBT. Penelitian ini akan menelaah
beberapa hal yang berkaitan dengan: (i) sumber daya SBT, (ii) pemanfaatan
perikanan SBT, dan (iii) pengelolaan perikanan SBT. Dalam penelitian ini,
pendekatan soft system methodology digunakan untuk menyusun model
konseptual pengelolaan kuota SBT di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan : (1) mendeskripsikan perikanan SBT di Indonesia,
(2) mengidentifikasikan permasalahan perikanan SBT di Indonesia, (3)
menganalisis pengelolaan perikanan SBT di Indonesia, (4) menghitung komposisi
hasil tangkapan dan tingkat produktivitas armada tuna long line Indonesia
khususnya yang melakukan aktivitas penangkapan SBT, (5) menduga musim
penangkapan, (6) menghitung ukuran rata-rata tertangkap SBT hasil tangkapan
tuna long line Indonesia, dan (7) merumuskan model konseptual pengelolaan

kuota penangkapan SBT di Indonesia.
Hasil penelitian dapat disimpulkan :
1.
Perikanan tuna sirip biru selatan memiliki karakteristik yang unik. Secara
umum produksi SBT Indonesia selama dua belas tahun terakhir (2002-2013)
cenderung meningkat. Tuna sirip biru selatan yang didaratkan di Indonesia
banyak tertangkap di WPP-RI 573 (Samudera Hindia sebelah selatan Jawa
hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu dan Laut Timor bagian
Barat) yang merupakan bagian wilayah nomor 1 CCSBT statistical area of
catch.

2.

3.

4.

5.
6.
7.


Permasalahan umum perikanan tuna sirip biru selatan di Indonesia antara
lain :
• Indonesia memiliki wilayah yang penting dalam keberlangsungan
sumber daya SBT sebagai tempat pemijahan (spawning ground) tuna
sirip biru selatan, namun data statistik belum akurat.
• Indonesia sebagai anggota CCSBT belum mentransformasikan seluruh
kewajiban yang ada dalam konvensi CCSBT;
• Kuota penangkapan SBT Indonesia telah melebihi kuota yang ditetapkan
oleh CCSBT dan kuota untuk Indonesia diduga bernilai lebih kecil dari
kemampuan Indonesia berproduksi.
Dalam mengelola perikanan tuna sirip biru selatan, Indonesia telah membuat
kebijakan, antara lain :
• Membagi kuota penangkapan SBT Nasional kepada dua asosiasi yaitu
ATLI dan ASTUIN.
• Indonesia telah mentransformasi salah satu kewajiban yang ada dalam
konvensi CCSBT tentang pendaftaran kapal ke dalam hukum nasional.
• Indonesia melakukan pendataan SBT melalui penerapan Catch
Documentation Scheme (CDS).
Southern bluefin tuna memiliki nilai persentase terkecil sebesar 4% dari

komposisi hasil tangkapan tuna long line di Indonesia. Tren persentase
produksi SBT memiliki kecenderungan meningkat seiring dengan
meningkatnya tren nilai produktivitas tuna long line yang menangkap SBT.
Hal ini berarti bahwa tingkat kemampuan efektivitas tuna long line
Indonesia dapat dikatakan masih tergolong baik.
Musim penangkapan SBT di Indonesia diduga dimulai pada bulan Agustus –
Maret.
Ukuran rata-rata tertangkap SBT (L 50% ) yang didaratkan di Indonesia adalah
berukuran 145 cm FL yang lebih besar dari length at first maturity (Lm ).
Kompleksnya permasalahan pengelolaan kuota penangkapan SBT di
Indonesia dipecahkan dengan merumuskan model konseptual yang berasal
dari root definitions. Model konseptual yang dihasilkan pada penelitian ini
terdiri dari tujuh, yaitu :
(1) Penetapan kuota penangkapan SBT Indonesia oleh CCSBT;
(2) Pembagian kuota penangkapan SBT di Indonesia;
(3) Pelaksanaan pemanfaatan kuota penangkapan SBT di Indonesia;
(4) Pelaporan pemanfaatan kuota penangkapan SBT di Indonesia;
(5) Pengawasan pemanfaatan kuota penangkapan SBT di Indonesia;
(6) Peningkatan kualitas dan pemahaman Sumber Daya Manusia (SDM);
(7) Peningkatan peran asosiasi.


Kata kunci: CCSBT, tuna sirip biru selatan, tuna long line, soft system
methodology

SUMMARY
NOVIA TRI RAHMAWATI. Southern Bluefin Tuna Fishing Quota Management
in Indonesia. Supervised by SUGENG HARI WISUDO, EKO SRI WIYONO,
dan TRI WIJI NURANI.
Southern bluefin tuna (Thunnus maccoyii) is kind of big tuna that able to
swim very fast and very long distance migration (highly migratory). SBT
overfishing due to population decreased. If fishing uncontrollable, SBT will be
destroyed, therefore it is endangered species.
Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) is a
Regional Fisheries Management Organization (RFMO) that focus on SBT
management. Through appropriate management. CCSBT to ensure conservation
and optimum exploitation of SBT. CCSBT adopt management process based on
output control. CCSBT apply SBT fishing quota toward every country with
Management Procedure (MP).
As the member of Commission for The Conservation of Southern Bluefin
Tuna (CCSBT), Indonesia shall follow the quota measure of SBT fishing that has

determined. Therefore, good management and rules were needed for SBT
exploitation in Indonesia in order to align with measures and international
regulation that has agreed by Indonesia as part of CCSBT.
Indonesia find difficulties to determine SBT fishing quota that due to
surplus of SBT National quota. Therefore, management action based on output
control through SBT fishing quota is very needed.
SBT fisheries system in Indonesia could be identified through related
elements with SBT fisheries system. This research will studied some issues that
related to : (i) SBT resources, (ii) SBT fisheries exploitation, and (iii) SBT
fisheries management. In this research, soft system methodology approach used
to compose conceptual SBT quota management model in Indonesia.
This research objective are : (1) to describe SBT fisheries in Indonesia, (2)
to identify SBT fisheries problems in Indonesia, (3) to analyze SBT fisheries
management in Indonesia, (4) to determine catch composition, productivity of
tuna long line in Indonesia especially that doing SBT fishing activity, (5) to
estimates fishing season, (6) to determine mean size at capture of SBT in
Indonesia, and (7) to formulize conceptual fishing quota management model of
SBT in Indonesia.
Results of research could be concluded :
1.

SBT fisheries have a unique character. Generally product of SBT in
Indonesia for current 12 years (2002-2013) intend to increased. SBT that
landed in Indonesia some of them fished in WPP-RI 573 (the Indian Ocean
south of Java until sothern of Nusa Tenggara of south, western Sawu sea and
Timor sea) that part of zone number 1 CCSBT statistical area of catch.
2.
Common problem of SBT fisheries in Indonesia are :
• Indonesia has a crucial area in the sustainability of SBT fisheries
resources as spawning ground for SBT but SBT fisheries statistic data is
not accurate;
• Indonesia as a CCSBT member has not transformed to all obligation that
in the CCSBT convention;



3.

4.

5.

6.
7.

Indonesia’s SBT quota has surplus that determined by CCSBT and
smaller than capability of Indonesia production.
In SBT fisheries management, Indonesia has made policies, such as :
• National SBT quota given to two associations ATLI and ASTUIN.
• Indonesia has transformed one of obligation that in the convention of
CCSBT about fishing vessels registration in the national laws.
• Indonesia attempt to find SBT data through Catch Documentation
Scheme (CDS).
Southern bluefin tuna has the smallest percentage 4% from tuna longline
catch in Indonesia. Trend of percentage SBT production has a tendency to
increased following the increased of productivity value of tuna long line
that catch SBT. This mean that the effectivity of capability rate tuna longline
in Indonesia is still good.
SBT fishing season in Indonesia predicted start in August – March.
Mean size at capture of SBT (L50%) that landed in Indonesia was 145 cm
FL that bigger than length at first maturity (Lm).
Complexity of SBT fishing quota management problem in Indonesia solved

by formulized conceptual model that from root definitions. Conceptual
model that resulted to this research that consist of :
(1) Determination of SBT fishing quota in Indonesia by CCSBT;
(2) Given SBT fishing quota in Indonesia;
(3) Implementation of SBT fishing quota implementation in Indonesia;
(4) Report of SBT fishing quota exploitation in Indonesia;
(5) Surveillance of SBT fishing quota exploitation in Indonesia;
(6) Increased of quality and Human Resources awareness (HRD);
(7) Increased of association role.

Keywords: CCSBT, southern bluefin tuna, tuna long line, soft system
methodology

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGELOLAAN KUOTA PENANGKAPAN
TUNA SIRIP BIRU SELATAN DI INDONESIA

NOVIA TRI RAHMAWATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis :

Prof Dr Ir Mulyono S Baskoro, MSc

Judul Tesis
Nama
NIM

: Pengelolaan Kuota Penangkapan Tuna Sirip Biru Selatan di
Indonesia
: Novia Tri Rahmawati
: C452110121

Disetujui,
Komisi Pembimbing

Dr Ir Sugeng Hari Wisudo, MSi
Ketua

Dr Eko Sri Wiyono, SPiMSi
Anggota

Dr Ir Tri Wiji Nurani, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Sistem dan Pemodelan
Perikanan Tangkap

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Mulyono S.Baskoro, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 8 Januari 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan
Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis ini
berjudul “Pengelolaan Kuota Penangkapan Tuna Sirip Biru Selatan di Indonesia”.
Terselesaikannya tesis ini, tidak terlepas dari bantuan dan dukungan banyak
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih
kepada :
1.
Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang
selalu meluangkan waktunya untuk memberikan arahan, masukan, saran,
bimbingan dan motivasi sejak penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian
hingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan.
2.
Dr. Eko Sri Wiyono, S.Pi. M.Si dan Dr. Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si sebagai
anggota komisi pembimbing atas segala arahan, masukan, saran, bimbingan
serta motivasi yang diberikan.
3.
Prof. Dr. Ir. Mulyono Baskoro, M.Sc selaku penguji luar komisi yang telah
memberikan masukan, saran dan pertanyaan yang sangat bermanfaat untuk
penyempurnaan tesis ini.
4.
Ketua Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap Prof. Dr. Ir.
Mulyono Baskoro, M.Sc; dan Ketua Departemen PSP Dr. Ir. Budy
Wiryawan, M.Sc beserta seluruh staf pengajar dan administrasi atas semua
bantuan dan fasilitas yang disediakan sehingga penulis dapat mengikuti
pendidikan dengan baik dan lancar.
5.
Kepala Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia (BPSDM)-KKP yang
telah memberikan beasiswa tugas belajar kepada penulis untuk menempuh
pendidikan di IPB
6.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap-KKP, Sekretaris Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap-KKP, Direktur Sumberdaya Ikan DJPT, Kepala Bagian
Kepegawaian DJPT, dan Kasubdit ZEEI Dit. SDI-DJPT yang telah
memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk menempuh
pendidikan di IPB.
7.
Ir. Agus A Budiman, M.Aq, Ir. Erni Widjajanti, M.Ag.Buss, dan Saut
Tampubolon, S.Sos.MM yang telah memberikan arahan, masukan, saran,
bimbingan, motivasi dan dukungan data selama penyusunan tesis ini.
8.
Kepala Loka Penelitian Perikanan Tuna Benoa bali Budi Nugraha S.Pi.
M.Si; Kepala Pelabuhan Perikanan Nusantara Pengambengan beserta staf;
Ketua ATLI, ASTUIN dan ASPERTADU beserta anggota; petugas
enumerator Dit. SDI di Pelabuhan Benoa; petugas observer LPPT Benoa
atas bantuan, dukungan dan kerjasamanya selama penulis melaksanakan
penelitian.
9.
Keluarga besar Subdit ZEEI Dit. SDI atas dorongan semangat, dukungan,
bantuan dan perhatian yang telah diberikan kepada penulis.
10. Achmar Jauzi, S.Pi.MM; Dr. Arief Yudhanto; Tri Ernawati, S.Pi.M.Si dan
Bobby Adirianto, S.Pi yang telah memberikan saran, masukan, dan bantuan
dalam editing tesis ini.
11. Ibunda tercinta dan kedua kakakku yang tak pernah berhenti berdoa untuk
keberhasilan dan kebahagian penulis.

12.

Bapak dan Ibu Mertua yang selalu memberikan dukungan dan doa untuk
keberhasilan penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.
13. Suami dan putriku tercinta atas doa, perhatian, kasih sayang, dukungan,
pengertian, dan kesabarannya yang menjadi sumber kekuatan dan motivasi
bagi penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.
14. Teman-teman seperjuangan SPT dan TPT angkatan 2011 atas kerjasama,
diskusi, dorongan semangat dan kebersamaan selama mengikuti pendidikan
dan penyusunan tesis ini.
15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu namun tetap
memberikan kontribusi dalam penyusunan dan penyelesaian tesis ini.
Semoga tesis ini dapat bermanfaat dalam memperkaya dan mengembangkan
ilmu pengetahuan serta menjadi inspirasi dalam penelitian berikutnya.

Bogor, Januari 2014

Novia Tri Rahmawati

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

iii

DAFTAR GAMBAR

iii

DAFTAR LAMPIRAN

iv

DAFTAR ISTILAH

v

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pikir Penelitian

1
1
2
2
3
3

2

METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Metode Pengumpulan Data
Analisis Data

5
5
5
7

3

SISTEM PERIKANAN TUNA SIRIP BIRU SELATAN DI
INDONESIA
Pendahuluan
Metodologi
Hasil Penelitian
Gambaran Umum Tuna Sirip Biru Selatan
Habitat, Daur Hidup dan Sebaran Geografi
Potensi Tuna Sirip Biru Selatan
Produksi Tuna Sirip Biru Selatan
Wilayah Penangkapan Tuna Sirip Biru Selatan
Pengelolaan Tuna Sirip Biru Selatan
Kebijakan dan Kelembagaan
Pembahasan
Kesimpulan dan Saran

8
8
8
8
8
9
11
11
13
16
18
22
25

ANALISIS PEMANFAATAN PERIKANAN TUNA SIRIP BIRU
SELATAN DI INDONESIA
Pendahuluan
Metodologi
Hasil Penelitian
Unit Penangkapan Tuna Sirip Biru Selatan
Tuna Long Line Komoditas Tuna Sirip Biru Selatan
Pendugaan Musim Penangkapan
Ukuran Rata-rata Tertangkap
Pembahasan
Kesimpulan dan Saran

26
26
26
27
27
30
34
36
39
41

4

5

6

MODEL PENGELOLAAN KUOTA TUNA SIRIP BIRU SELATAN
DI INDONESIA
Pendahuluan
Metodologi
Hasil Penelitian
Tahap 1 – Mengkaji Masalah yang Tidak Terstruktur
Tahap 2 – Rich Picture
Tahap 3 – Root Definition
Tahap 4 – Model Konseptual
Pembahasan
Kesimpulan dan Saran

42
42
42
45
45
48
53
55
69
72

KESIMPULAN DAN SARAN

74

DAFTAR PUSTAKA

76

LAMPIRAN

79

RIWAYAT HIDUP

87

DAFTAR TABEL
2.1

Jenis dan data yang digunakan

6

3.1

Koordinat CCSBT statistical area of catch

14

3.2

Persentase jumlah kapal tuna long line yang menangkap SBT

15

3.3

Alokasi kuota SBT Indonesia tahun 2006 – 2014

17

3.4

Perbandingan kuota dengan perkiraan hasil tangkapan SBT

18

4.1

Struktur armada kapal tuna long line ASTUIN Jakarta

28

4.2

Struktur armada kapal tuna long line ATLI Bali

28

4.3

Struktur armada tuna long line yang menangkap SBT berdasarkan
sampling logbook penangkapan ikan

29

4.4

Persentase ekspor dan domestik produksi southern bluefin tuna

32

4.5

Persentase distribusi fork length SBT tahun 2010 – 2012

38

5.1

CATWOE dalam root definition 1

53

5.2

CATWOE dalam root definition 2

53

5.3

CATWOE dalam root definition 3

54

5.4

CATWOE dalam root definition 4

54

5.5

CATWOE dalam root definition 5

55

5.6

CATWOE dalam root definition 6

55

5.7

CATWOE dalam root definition 7

55

5.8

Root definition penelitian

70

DAFTAR GAMBAR
1.1

Kerangka pikir penelitian

4

2.1

Lokasi penelitian

5

3.1

Tuna sirip biru selatan/southern bluefin tuna (Thunnus maccoyii)

9

3.2

Ruaya tuna sirip biru selatan

9

3.3

Penyebaran southern bluefin tuna dan daerah pemijahan

10

3.4

Produksi SBT global tahun 1952-2011

12

3.5

Produksi SBT Indonesia tahun 1976-2011

12

3.6

Hasil tangkapan SBT Indonesia tahun 2010-2013 berdasarkan CDS

13

3.7

Hasil tangkapan SBT Indonesia tahun 2004-2011 berdasarkan statistik
perikanan tangkap Indonesia

13

Wilayah konvensi CCSBT

14

3.8

3.9

Ilustrasi WPP-RI 573 dan statistical area of catch nomor 1

3.10 Cara pemasangan tag pada insang southern bluefin tuna
4.1

4.2
4.3

Perkembangan armada penangkapan tuna long line di provinsi
Jateng, Jabar, DKI dan Bali berdasarkan statistik perikanan
tangkap Indonesia tahun 2005-2011
Komposisi hasil tangkapan tuna long line milik (a) PT. PSB tahun
Tahun 1990-2000, (b) ATLI tahun 2005-2012

15
20

29
33

Tren persentase produksi SBT Indonesia tahun 1990 – 2000 dan
2005 – 2012

33

4.4

Tren produktivitas SBT kapal tuna long line tahun 2010-2013

34

4.5

Rata-rata hasil tangkapan bulanan SBT berdasarkan (a) PT. PSB
tahun 1991-2002, (b) CDS tahun 2010-2012

35

Rata-rata hasil tangkapan bulanan SBT tahun 1991-2002 dan
2005-2012

36

Struktur ukuran dan ukuran rata-rata tertangkap SBT (a) Tahun
2010, (b) Tahun 2011, (c) Tahun 2012, (d) Tahun 2010-2012

37

4.8

Distribusi frekuensi panjang SBT bulanan tahun 2010 – 2012

39

5.1

Gambaran permasalahan pengelolaan kuota penangkapan tuna sirip
biru selatan di Indonesia

52

5.2

Model konseptual penetapan kuota penangkapan SBT Indonesia

57

5.3

Model konseptual pembagian kuota penangkapan SBT di Indonesia

59

5.4

Model konseptual pelaksanaan pemanfaatan kuota SBT di

4.6
4.7

Indonesia

62

Model konseptual pelaporan pemanfaatan kuota penangkapan
SBT Indonesia

64

Model konseptual pengawasan pemanfaatan kuota penangkapan
SBT Indonesia

66

5.7

Model konseptual peningkatan kualitas dan pemahaman SDM

67

5.8

Model konseptual peningkatan peran asosiasi

69

5.5
5.6

DAFTAR LAMPIRAN
1

Dokumen Catch Documentation Scheme

79

2

Proses pendaratan dan penanganan SBT

84

DAFTAR ISTILAH

ATLI

: Asosiasi Tuna Long line Indonesia adalah organisasi yang terdiri
dari perusahaan perikanan tuna long line yang berkedudukan di
Benoa, Bali.

ASTUIN

: Asosiasi Tuna Indonesia adalah organisasi terdiri dari perusahaan
perikanan tuna long line yang berkedudukan di Jakarta.

ASPERTADU : Asosiasi Perikanan Tangkap Terpadu adalah organisasi yang
terdiri dari perusahaan perikanan purse seine dan tuna long line
yang berkedudukan di Benoa, Bali.
Balitbang KP

: Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan
adalah eselon I pada Kementerian Kelautan dan Perikanan yang
mempunyai tugas melaksanakan penelitian dan pengembangan di
bidang kelautan dan perikanan.

CCSBT

: Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna
adalah komisi yang fokus mengelola tuna sirip biru selatan dan
bertujuan menjamin melalui pengelolaan yang tepat, konservasi
dan pemanfaatan tuna sirip biru selatan secara optimal.

CDS

: Catch Documentation Scheme adalah dokumen yang berisi data
dan informasi tuna sirip biru selatan (SBT) sejak SBT ditangkap
hingga memasuki penjualan pasar dalam negeri maupun ekspor.

CMF

: Catch Monitoring Form adalah dokumen yang berisi data dan
informasi tentang penangkapan, pendaratan, transhipment, ekspor
dan impor SBT baik yang berasal dari pembesaran atau bukan
serta tangkapan yang tidak diharapkan.

CTF

: Catch Tagging Form adalah dokumen yang berisi data dan
informasi penandaan ikan SBT perekor sebagai bagian dari CDS.

FSF

: Farm Stocking Form adalah dokumen yang berisi data dan
informasi tentang penangkapan, penarikan dan pembesaran SBT.

CNMs

: Cooperating Non-Members adalah anggota tidak tetap CCSBT
yang terdiri dari tiga negara yaitu Philipines, South Africa dan
The European Union.

CPUE

: Catch per Unit Effort adalah hasil tangkapan per unit upaya
penangkapan.

Dit. SDI

: Direktorat Sumberdaya Ikan adalah Eselon II di lingkup
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan
dan Perikanan.

DJPT

: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap adalah Eselon I pada
Kementerian Kelautan dan Perikanan yang mempunyai tugas
merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi
teknis di bidang perikanan tangkap.

EEZ

: Exclusive Economic Zone (Zona Ekonomi Eksklusif) adalah
wilayah laut dari suatu negara pantai yang batasnya 200 mil laut
diukur dari garis pangkal laut.

ESC

: Extended Scientific Committee adalah salah satu pertemuan
tahunan CCSBT.

FL

: Fork Length (panjang cagak) adalah panjang ikan diukur dari
ujung kepala yang terdepan sampai ujung bagian luar lekukan
cabang sirip ekor.

IUU Fishing

: Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (Penangkapan Ikan
Illegal, Tidak Terlaporkan dan Tidak Ter-regulasi) adalah
kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh suatu negara
yang bertentangan dengan tindakan konservasi dan pengelolaan
perikanan yang telah diadopsi oleh CCSBT.

KKP

: Kementerian Kelautan dan Perikanan adalah unsur pelaksana
pemerintah yang menyelenggarakan urusan di bidang kelautan
dan perikanan yang bertanggungjawab kepada Presiden.

Lc

: Length at first capture (panjang ikan pertama kali tertangkap)
adalah panjang dimana 50% ikan dipertahankan dan 50%
dilepaskan oleh suatu alat tangkap ikan.

Lm

: Length at first maturity adalah panjang ikan saat pertama kali
matang gonad.

PPN

: Pelabuhan Perikanan Nusantara adalah pelabuhan perikanan yang
diperuntukkan bagi kapal yang dioperasikan di perairan
Nusantara yaitu ZEEI dan laut teritorial.

PPS

: Pelabuhan Perikanan Samudera adalah pelabuhan perikanan yang
diperuntukkan bagi kapal perikanan yang dioperasikan di
perairan Samudera yaitu perairan laut teritorial, ZEEI dan Laut
Lepas.

RDs

: Root definitions adalah pandangan yang ideal dari suatu sistem
yang ideal yang bertujuan untuk mencari: apa yang akan
dilakukan; kenapa harus dilakukan; siapa yang melaksanakan;
siapa yang mendapat untung/rugi dari masalah yang ada; dan
pengaruh lingkungan apa yang membatasi tindakan dan aktivitas.

RFMOs

: Regional Fisheries Management Organizations adalah organisasi
pengelolaan perikanan regional untuk kepentingan bersama antar
negara.

SBT

: Southern bluefin tuna (tuna sirip biru selatan/Thunnus maccoyii)
adalah jenis ikan pelagis besar yang mampu berenang dengan
cepat dan beruaya sangat jauh (higly migratory).

SSM

: Soft System Methodology merupakan kerangka kerja pemecahan
masalah sesuai Checkland dan Poulter (2006) yaitu dengan tujuh
prinsip proses dasar dalam penggunaan SSM.

TAC

: Total Allowable Catch adalah total hasil tangkapan yang

diperbolehkan ditangkap.
TKG

: Tingkat Kematangan Gonad adalah tahapan pada
perkembangan gonad ikan sebelum memijah.

saat

WPP-RI

: Wilayah Pengelolaan Perikanan – Republik Indonesia merupakan
wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan,
konservasi, penelitian, dan pengembangan perikanan yang
meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial,
zona tambahan, dan zona ekonomi ekslusif Indonesia.

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tuna sirip biru selatan (Thunnus maccoyii) atau southern bluefin tuna
selanjutnya disebut SBT adalah jenis tuna besar yang mampu berenang dengan
cepat dan beruaya sangat jauh (highly migratory). SBT juga merupakan jenis ikan
pelagis besar. Penangkapan SBT secara besar-besaran menyebabkan populasinya
menurun. Apabila penangkapan tidak dikendalikan, SBT akan mengalami
kepunahan sehingga kelestariannya terancam.
Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT)
merupakan Regional Fisheries Management Organization (RFMO) yang fokus
mengelola ikan jenis SBT. Melalui pengelolaan yang tepat, CCSBT menjamin
konservasi dan pemanfaatan SBT secara optimum. Berdasarkan laporan Scientific
Committee CCSBT pada 2006 ukuran SBT yang ditangkap oleh tuna long line
Jepang dan Selandia Baru relatif kecil, dan umurnya masih muda, yaitu berkisar
antara 3 sampai 4 tahun (CCSBT, 2006). Menurut laporan tersebut, rata-rata
ukuran SBT yang tertangkap oleh armada perikanan adalah 100 cm (Australia),
130-140 cm (Jepang), dan 140-170 cm (Selandia Baru). Dalam laporan CCSBT
tahun 2011 tingkat pemanfaatan optimum SBT dunia berada pada batas yang
kritis. Dengan mempertimbangkan status stok saat ini, dimana spawning stock
biomass adalah 3-7% dari original spawning stock biomass, maka Total
Allowable Catch (TAC) perlu segera diturunkan. Tujuannya agar stok sumber
daya SBT segera pulih kembali dan target titik referensi pemulihan sebesar 20%
dari original spawning stocks dapat tercapai (CCSBT, 2011b).
Dengan mempertimbangkan kondisi stok yang demikian, CCSBT
mengadopsi proses pengelolaan berbasis output control. CCSBT menerapkan
kuota penangkapan SBT kepada setiap negara sesuai dengan Management
Procedure (MP). MP digunakan sebagai panduan dalam menetapkan TAC yang
sudah ditetapkan sejak tahun 2004 untuk periode dua tahun. Sejak tahun 2012,
TAC ditetapkan untuk periode tiga tahun. Meskipun Indonesia baru menjadi
anggota CCSBT pada 8 April 2008, namun Indonesia telah mendapatkan kuota
penangkapan SBT sejak 2006. Kuota penangkapan SBT tahun 2006 adalah 800
ton yang kemudian diturunkan menjadi 651 ton pada tahun 2011. Pertemuan Sixth
Meeting of The Compliance Committee (6 – 8 Oktober 2011) dan Eighteenth
Annual Meeting of The Commission for The Conservation of Southern Bluefin
Tuna (10 – 13 Oktober 2011) menyepakati bahwa Indonesia berhak memperoleh
kuota penangkapan sebesar 685 ton untuk jangka waktu tiga tahun sejak 2012;
707 ton sejak 2013; dan 750 ton sejak 2014 (CCSBT, 2011a).
Namun demikian, berdasarkan data produksi SBT tahun 2011 yang
dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap – Kementerian Kelautan
dan Perikanan, produksi SBT Indonesia sebenarnya telah melebihi batas kuota
SBT Nasional yang telah ditetapkan CCSBT. Kelebihan kuota ini disebabkan oleh
ketidakpatuhan Indonesia dalam mematuhi konvensi CCSBT, dan kurangnya
konservasi serta pengelolaan SBT. Ketidakpatuhan Indonesia dapat dikategorikan
Ilegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing yang bisa dikenai sanksi
berbentuk penurunan kuota, pelarangan ekspor (embargo) dan denda. Sanksi-

2

sanksi ini pada akhirnya menyebabkan berkurangnya devisa negara. Oleh sebab
itu, Indonesia memerlukan sistem manajemen yang lebih baik untuk mengelola
kuota penangkapan SBT.

Perumusan Masalah
Seperti telah disebutkan sebelumnya, CCSBT mengelola dan melestarikan
SBT melalui pengalokasian kuota penangkapan bagi negara anggota dan
cooperating non-members (CNMs). Pengalokasian kuota ini didasarkan pada
kriteria yang telah disepakati oleh komisi. Sayangnya, kuota penangkapan ini
malah menurunkan jumlah hasil tangkapan maksimal SBT yang boleh
diperdagangkan secara domestik maupun internasional. Kuota CCSBT juga
ditetapkan untuk periode tiga tahun. Apabila kuota pada tahun pertama terlampaui
maka suatu negara akan dikurangi kuotanya pada tahun berikutnya. CCSBT
memantau kuota penangkapan SBT melalui Catch Documentation Scheme (CDS)
dan pemasangan tag SBT. Semua hasil tangkapan SBT dicatat mulai sejak SBT
ditangkap sampai pemasaran SBT di pasar domestik dan ekspor SBT.
Di Indonesia, sistem manajemen pengelolaan kuota penangkapan SBT
belum terumuskan dengan baik hingga saat ini. Indonesia membagi kuota
penangkapan SBT kepada dua asosiasi, yaitu Asosiasi Tuna Longline Indonesia
(ATLI) dan Asosiasi Tuna Indonesia (ASTUIN), dengan rasio 50:50. Sistem
pembagian ini sebenarnya kurang adil dan rasional karena sejarah penangkapan
SBT masing-masing asosiasi sebenarnya berbeda, khususnya dalam hal kapasitas
penangkapan (jumlah, ukuran dan tipe armada penangkapan) dan hasil tangkapan.
Selain itu, pemerintah juga belum mengatur sanksi-sanksi yang akan dikenakan
kepada asosiasi jika mereka melebihi kuota. Sistem yang ada saat ini juga belum
dapat mengontrol kuota SBT Nasional. Terbukti bahwa pada tahun 2011
Indonesia melebihi kuota SBT Nasional yang ditetapkan CCSBT, dan dikenai
sanksi pengurangan kuota pada tahun berikutnya. Oleh sebab itu, model
konseptual pengelolaan kuota SBT Nasional yang lebih komprehensif sangat
diperlukan.

Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian adalah mengusulkan sistem pengelolaan kuota
penangkapan SBT yang lebih baik di Indonesia. Secara khusus, penelitian ini
bertujuan untuk:
(1) Mendeskripsikan perikanan SBT di Indonesia.
(2) Mengidentifikasikan permasalahan perikanan SBT di Indonesia.
(3) Menganalisis pengelolaan perikanan SBT di Indonesia.
(4) Menghitung komposisi hasil tangkapan dan tingkat produktivitas armada
tuna long line yang melakukan penangkapan SBT.
(5) Mengestimasi musim penangkapan SBT.
(6) Menghitung ukuran rata-rata SBT tertangkap hasil tangkapan tuna long line
Indonesia.

3

(7)

Merumuskan model konseptual pengelolaan kuota penangkapan SBT di
Indonesia.
Manfaat Penelitian

(1)

(2)

(3)
(4)

Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi:
Masyarakat perikanan: mengenai gambaran sumber daya SBT,
pemanfaatan perikanan SBT, serta pengelolaan SBT di Indonesia yang
terkait dengan kebijakan dan kelembagaan.
Pemerintah: sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan dan
action plan Indonesia sebagai anggota CCSBT agar dapat mengelola dan
melakukan konservasi sumber daya perikanan SBT di Indonesia, dan
mematuhi resolusi CCSBT.
Pelaku usaha: mengembangkan usaha perikanan SBT agar tidak mengalami
hambatan dalam perdagangan Internasional.
Peneliti selanjutnya: sebagai rujukan dalam penyusunan strategi
pengelolaan kuota SBT di Indonesia.

Kerangka Pikir Penelitian
Indonesia kesulitan menentukan kuota penangkapan SBT yang berakibat
pada kelebihan kuota SBT Nasional. Hal ini disebabkan oleh: (i) pelaporan
produksi penangkapan SBT yang kurang akurat dan tidak tepat waktu; (ii)
keberadaan SBT yang sulit diprediksi karena sifatnya yang highly migratory; (iii)
pembagian kuota SBT Nasional yang kurang adil dan rasional.
Mempertimbangkan hal-hal di atas, tindakan pengelolaan berbasis output control
melalui penerapan kuota penangkapan SBT sangat diperlukan.
Sistem perikanan SBT di Indonesia dapat diidentifikasi melalui elemenelemen yang terkait. Dalam penelitian ini, elemen-elemen yang berhubungan
dengan sistem perikanan SBT disajikan dalam Gambar 1.1. Penelitian ini akan
menelaah beberapa hal yang berkaitan dengan:
 Sumber daya SBT
 Pemanfaatan perikanan SBT
 Pengelolaan perikanan SBT
Dalam penelitian ini, pendekatan soft system methodology digunakan untuk
menyusun model konseptual pengelolaan kuota SBT di Indonesia.

4

Perikanan tuna sirip biru selatan/
southern bluefin tuna (SBT)

Permasalahan
-

Pelaksanaan pengelolaan kuota SBT belum sesuai ketentuan Internasional (Resolusi
CCSBT)
Kelebihan kuota SBT Nasional yang dapat membatasi usaha
Keberadaan sumber daya SBT yang tidak dapat diprediksi
Belum terumuskannya mekanisme pembagian kuota SBT Nasional yang rasional

Ruang Lingkup
1.
2.
3.

Identifikasi sistem perikanan SBT di Indonesia
Mengkaji perikanan tuna long line/TLL Indonesia yang menangkap SBT
Mengkaji pengelolaan kuota penangkapan SBT di Indonesia

Pendekatan Sistem

Pemanfaatan
perikanan SBT

Sumber daya SBT

Musim
penangkapan

Ukuran
rata-rata
tertangkap

Komposisi
hasil tangkapan
tuna long line

Pengelolaan
perikanan SBT

Produktivitas

Sistem pengelolaan kuota SBT di Indonesia
dengan pendekatan Soft System Methodology

Model konseptual pengelolaan kuota penangkapan SBT di Indonesia

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian

5

2 METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2012 sampai Juli 2013 di
Jakarta dan Pelabuhan Umum Benoa Bali. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan
dengan pertimbangan bahwa hasil tangkapan SBT di Indonesia sebagian besar
didaratkan di Pelabuhan Benoa-Bali dan Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam
Zachman Jakarta.
115°12 0 E

115°14 0 E

115°12 0 E

115°14 0 E

8°42 0 S

8°44 0 S

8°46 0 S

Gambar 2.1 Lokasi penelitian

Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
bersifat formal maupun informal, yaitu melalui metode survei, studi pustaka dan
dokumentasi, observasi lapangan, wawancara dan diskusi. Pemilihan dan
penentuan responden kunci yang terlibat dalam penelitian dilakukan dengan
pendekatan personal. Jumlah responden menjadi pengecualian ketika informasi
yang diperoleh sudah dipandang memadai sehingga pencarian informasi “data”
dapat dihentikan.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer dan data sekunder diperoleh dari pihak terkait seperti
instansi pemerintah, asosiasi dan pelaku usaha serta literatur dan dokumentasi

6

yang berkaitan dengan penelitian ini. Jenis dan data yang digunakan pada
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Jenis dan data yang digunakan
Jenis
Data
Data
Primer

Data yang Digunakan
 Catch Documentation Scheme
(CDS)
 Hasil tangkapan tuna long line
 Harga tuna sirip biru selatan
 Unit penangkapan tuna sirip
biru selatan
 Operasi penangkapan tuna long
line yang menangkap SBT
 Penanganan dan pemasaran
tuna sirip biru selatan
 Pembagian kuota SBT di
Indonesia
 Kebijakan dan kelembagaan
pemerintah

Data
 Struktur armada tuna long line
Sekunder  Gambaran umum tuna sirip biru
selatan
 Habitat, daur hidup dan sebaran
geografi tuna sirip biru selatan
 Potensi tuna sirip biru selatan
 Produksi tuna sirip biru selatan
 Wilayah penangkapan tuna
sirip biru selatan
 Pengelolaan tuna sirip biru
selatan
 Alokasi kuota penangkapan
SBT Indonesia
 Hasil tangkapan tuna long line
 Musim penangkapan tuna sirip
biru selatan
 Ukuran rata-rata tertangkap
tuna sirip biru selatan
 Length at first maturity tuna
sirip biru selatan
 Hook rate tuna sirip biru
selatan

Sumber Data
1 Pelaku usaha :
 Perusahaan perikanan tuna
2 Asosiasi :
 ATLI
 ASTUIN
 ASPERTADU
3 Instansi Pemerintah :
 Direktorat Sumberdaya Ikan
(Dit. SDI) – DJPT
 Pelabuhan Perikanan
Nusantara (PPN)
Pengambengan
 Loka Penelitian Perikanan
Tuna (LPPT)
 Enumerator Dit. SDI - DJPT
1 Pelaku usaha :
 Perusahaan perikanan tuna
2 Asosiasi :
 ATLI
 ASTUIN
 ASPERTADU
3 Instansi Pemerintah :
 Direktorat Sumberdaya Ikan
(Dit. SDI) – DJPT
 Pelabuhan Perikanan
Nusantara (PPN)
Pengambengan
 Loka Penelitian Perikanan
Tuna
 Enumerator Dit. SDI - DJPT
4 Studi pustaka/literatur dan
dokumentasi

7

Analisis data
Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah :
1) Analisis Komposisi Hasil Tangkapan
Komposisi hasil tangkapan tuna long line Indonesia yang menangkap SBT
dianalisis secara deskriptif. Hasil analisis tersebut disajikan secara naratif,
diagram lingkar dan grafik.
2) Analisis Produktivitas Kapal Penangkap Ikan
Menurut Gulland (1991 dalam Astuti, 2005) nilai produktivitas dianalisis
dengan menggunakan perhitungan nilai catch per unit effort (CPUE) dengan
rumus sebagai berikut:

dimana : Ct = hasil tangkapan pada tahun ke-t (ton)
Et = upaya penangkapan pada tahun ke-t (unit)
3) Analisis Pendugaan Musim Penangkapan
Menurut Uktolseja (1993) secara sederhana musim ikan dalam setiap tahun
merupakan periode (bulan) dimana hasil tangkapan lebih besar dari rata-rata hasil
tangkapan bulanan selama periode tahun tersebut. Musim penangkapan SBT
dianalisis secara deskriptif dan hasil analisis disajikan secara naratif dan grafik.
4) Analisis Ukuran Rata-rata Tertangkap ( L50% )
Menurut Saputra et al. (2008) metode penentuan ukuran ikan rata-rata
tertangkap dapat dilakukan mengunakan metode kurva logistik baku, yaitu dengan
memplotkan presentase frekuensi kumulatif dengan panjangnya.
5) Analisis Soft System Methodology
Analisis dalam SSM dapat dilakukan melalui tujuh tahapan, namun dalam
tulisan ini peneliti hanya menggunakan empat tahapan yaitu :
(1) Analisis situasi permasalahan
(2) Analisis gambaran situasi permasalahan (rich picture)
(3) Analisis membangun definisi akar permasalahan (root definition/RDs)
(4) Penyusunan model konseptual

8

3 SISTEM PERIKANAN TUNA SIRIP BIRU SELATAN
DI INDONESIA
Pendahuluan
Tuna sirip biru selatan merupakan ikan beruaya jauh yang penyebarannya
mencapai negara lain (shared stock). Penyebarannya yang mendunia
menyebabkan kuota penangkapan SBT yang diterapkan CCSBT menjadi isu dan
permasalahan internasional. Pemahaman mengenai sistem perikanan tuna sirip
biru selatan di Indonesia sangat penting dalam mengenali permasalahan domestik
kuota penangkapan SBT, dan implikasinya kepada permasalahan SBT dunia. Bab
ini menjelaskan tentang sistem perikanan, isu perikanan dan analisis pengelolaan
perikanan tuna sirip biru selatan di Indonesia.

Metodologi
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif dan
penelusuran pustaka. Penelitian deskriptif difokuskan untuk memberikan
gambaran keadaan sebenarnya dari obyek yang diteliti (Tika, 2005).
Bahan dan Alat
Metode pengumpulan data dilakukan melalui metode studi pustaka/literatur
dan wawancara. Sebagai alat bantu wawancara, peneliti menyiapkan perangkat
pertanyaan/kuesioner untuk responden. Responden yang dijadikan sampel
merupakan responden kunci dari sistem perikanan tuna sirip biru selatan.
Responden tersebut mewakili orang-orang yang terlibat dalam sistem perikanan
tuna sirip biru selatan seperti pelaku usaha, asosiasi (ATLI, ASTUIN dan
ASPERTADU), petugas validasi, Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN)
Pengambengan dan Direktorat Sumberdaya Ikan (Dit. SDI)-Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap (DJPT).
Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif yang merupakan analisis
penggambaran sesuatu dari apa yang akan dibicarakan lebih jauh. Hasil analisis
disajikan secara naratif, gambar, tabel dan grafik.

Hasil Penelitian
Gambaran Umum Tuna Sirip Biru Selatan
Tuna sirip biru selatan (Thunnus maccoyii) atau southern bluefin tuna
selanjutnya disebut SBT adalah jenis tuna besar yang mampu berenang dengan
cepat dan beruaya sangat jauh (highly migratory). SBT juga merupakan jenis ikan
pelagis besar. Ikan ini bisa mencapai panjang hingga lebih dari 2 meter dengan
berat lebih dari 200 kg per ekor. Ukuran fork length SBT di Samudera Hindia

9

umumnya berkisar antara 160 sampai 200 cm (Silas dan Pillai, 1982). Ikan SBT
dianggap berumur panjang dengan harapan hidup sampai umur 40 tahun.
Ikan SBT memiliki ciri-ciri bagian bawah tubuh/perut berwarna putih
keperakan, tubuh bagian atas berwarna biru kehitaman, sirip anal berwarna kuning
kehitaman dan sirip punggung pertama berwarna kuning atau kebiruan. Pada
bagian dekat ekor terdapat keels berwarna kuning pada ikan dewasa dan ditandai
dengan garis-garis melintang berwarna putih (Carpenter dan Niem, 2001).

Sumber : http://www.bigmarinefish.com/bluefin.html

Gambar 3.1 Tuna sirip biru selatan/southern bluefin tuna (Thunnus maccoyii)
Habitat, Daur Hidup dan Sebaran Geografi
Ikan SBT banyak ditemukan di laut selatan dan sedikit di sebelah timur
Samudera Pasifik dengan suhu air laut pada temperatur dingin berkisar antara 5°20°C dan sedikit dijumpai pada perairan dengan suhu permukaan antara 20°-30°C
(Collette dan Nauen, 1983). Sumber daya SBT diduga mempunyai tempat
pemijahan (spawning ground) tunggal yaitu antara barat laut Australia dan
perairan selatan pulau Jawa (Proctor et al., 1995; Yukinawa, 1987; Farley dan
Davis, 1998).

Lepas pantai

Pantai Albani

Pantai Australia selatan &
new south wales

Sumber : Shingu, 1981 dalam Sumadhiharga, 2009

Gambar 3.2 Ruaya tuna sirip biru selatan

10

Menurut Shingu (1981), ikan SBT melakukan ruaya setelah menetas dengan
pergerakan sebagai berikut :
1) Setelah menetas hingga tingkat juvenile, anak ikan ini tetap berada di perairan
Oka (daerah pemijahan) dengan posisi lintang 10°–20° LS dan bujur 100°–
125° BT. Anakan ikan SBT yang berumur antara antara 0 sampai 1 tahun
bergerak hingga ke pantai Albany, Australia Barat dan menetap hingga tahun
kedua.
2) Perjalanan anakan ikan SBT ini selanjutnya diteruskan ke pantai Australia
Selatan dan pantai New South Wales. Ikan SBT di kedua tempat ini di
dominasi oleh SBT berumur 3-4 tahun. Pada umur 4-5 tahun SBT ini
meninggalkan daerah pantai dan menyebar luas ke lapisan lebih dalam di
lepas pantai. Ikan SBT yang belum dewasa bergerak mengikuti arus angin
barat (west wind drift) hingga menjadi dewasa pada umur 6-7 tahun. Arus
angin musim barat ini menjadi daerah pusat sebaran SBT ke tempat-tempat
asalnya.
Ikan SBT dewasa melakukan migrasi pada perairan hangat barat dan barat
laut Australia. Hasil tangkapan SBT maksimum dicatat pada suhu antara 23°26°C dan pada perairan dingin di perairan antara Tasmania dan Selandia Baru
pada suhu 13º-15°C (Collette dan Nauen, 1983). Ikan SBT ini bergerak musiman
mengikuti arah arus angin ke timur Australia, timur Selandia Baru, dan lepas
pantai Afrika Selatan. Ikan SBT yang tumbuh dewasa akan kembali ke perairan
asalnya pada bulan September - Maret untuk memijah di sana dan daur hidup ikan
ini akan kembali berulang terus menerus (Sumadiharga, 2009).
Menurut Shingu (1981), SBT tersebar di tiga Samudera mulai dari lepas
pantai timur Argentina, meluas ke Samudera Atlantik, Samudera Hindia dan
Samudera Pasifik mulai lepas pantai selatan Australia dan Selandia Baru hingga
perairan pantai Cile. Ikan SBT tersebar secara luas di belahan bumi perairan
selatan Samudera Hindia antara 30° dan 50° LS dengan daerah pemijahan antara
7° dan 20° LS di Samudera Hindia Timur laut Selatan Jawa (Caton, 1991).

Daerah pemijahan SBT

Penyebaran SBT

Sumber : Caton, 1991

Gambar 3.3 Penyebaran southern bluefin tuna dan daerah pemijahan

11

Potensi Tuna Sirip Biru Selatan
Laporan Scientific Committee 16 CCSBT pada tahun 2011 menunjukkan
bahwa tingkat pemanfaatan optimal SBT dunia berada pada batas yang kritis.
Status stok SBT saat ini dimana spawning stock biomass antara 3-7% dari original
spawning stock biomass. Untuk itu perlu dilakukan penurunan TAC bagi upaya
pemulihan kembali stok sumber daya SBT serta target titik referensi pemulihan
sebesar 20% dari original spawning stocks dapat tercapai.
Namun demikian, laporan Scientific Committee 17 CCSBT tahun 2012
berdasarkan pengkajian dari Extended Scientific Committee (ESC) tahun 2011
memiliki pandangan positif terhadap status potensi SBT global (CCSBT, 2012).
Status potensi global SBT menduga bahwa : 1) terjadi pengurangan total hasil
tangkapan SBT, 2) Fishing mortality SBT di bawah FMSY, dan 3) stok SBT
diperkirakan akan meningkat pada tangkapan saat ini dan kedepan yang
ditentukan oleh Management Procedure (MP) CCSBT. Hasil kajian ESC-CCSBT
tahun 2011 menunjukkan bahwa Maximum Sustainable Yield (MSY) SBT sebesar
34,500 ton (31,100 – 36,500 ton) dan current replacement yield saat ini sebesar
27,200 ton (22,200 – 32,800 ton). Pengkajian ini menunjukkan bahwa spawning
biomass saat ini ada kemungkinan lebih besar dari perkiraan sebelumnya dan
perkiraan proporsi produktivitas stok SBT lebih rendah. Sehingga kedua elemen
tersebut mengindikasikan bahwa kuota TAC global dapat lebih tinggi dari
perkiraan sebelumnya. Pertemuan Eighteenth Annual Meeting tahun 2011
menentukan kuota TAC global sebesar 10,449 ton untuk jangka waktu tiga tahun
sejak 2012; 10,949 ton sejak 2013; dan 12,449 ton sejak 2014.
Produksi Tuna Sirip Biru Selatan
Ikan SBT mulai dimanfaatkan oleh negara Jepang, Australia dan Selandia
Baru sebagai target spesies dalam kegiatan operasi armada perikanannya sejak
awal tahun 1950-an. Sejak tahun 1968, laporan produksi di Samudera Hindia
mengalami penurunan dari sekitar 45,000 ton menjadi 8,000 ton. Rata-rata
penurunan adalah 20,000 ton. Sedangkan produksi di Samudera Pasifik berkisar
antara 800 ton hingga 19,000 ton dengan rata-rata sekitar 5,500 ton pada periode
yang sama (walaupun analisis data SBT menunjukkan bahwa produksi ini bisa di
bawah perkiraan). Berdasarkan data dari CCSBT, produksi global SBT periode
1952-2011 berfluktuasi dan mencapai puncaknya pada tahun 1961 sebesar 81,750
ton. Sejak tahun 1961, produksi SBT mengalami kecenderungan menurun dan
tahun 1973 turun sekitar 50% dari produksi tertinggi. Hal ini disebabkan karena
mulai tahun 1970-an banyak negara-negara lain turut serta dalam mengeksploitasi
sumber daya SBT diantaranya Selandia Baru, Taiwan, dan Indonesia. Sedangkan
Korea mulai mengeksploitasi sumber daya SBT sejak tahun 1991. Sejak tahun
1991 produksi SBT semakin menurun sekitar 83% dari produksi SBT tertinggi
periode 1952-2011 dan menurun terus hingga sekitar 89% pada tahun 2010-2011.

12

90000
Hasil Tangkapan (Ton)

80000
70000
60000
50000
40000
30000
20000
10000
1952
1954
1956
1958
1960
1962
1964
1966
1968
1970
1972
1974
1976
1978
1980
1982
1984
1986
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
2010

0

Tahun
Sumber : CCSBT, 2013 (diunduh tanggal 2 Mei 2013), olah

Gambar 3.4 Produksi SBT global tahun 1952-2011

2010

2008

2006

2004

2002

2000

1998

1996

1994

1992

1990

1988

1986

1984

1982

1980

1978

2750
2500
2250
2000
1750
1500
1250
1000
750
500
250
0
1976

Hasil Tangkapan (Ton)

Data produksi perikanan SBT Indonesia mulai teridentifikasi dan tercatat
sejak tahun 1976 melalui data impor produk SBT Indonesia yang masuk di pasar
ikan Jepang. Selama periode 1976-1987, produksi SBT Indonesia belum terlihat
signifikan meningkat. Baru sejak tahun 1988 dan selanjutnya produksi SBT
terjadi peningkatan. Produksi SBT Indonesia mengalami puncaknya pada tahun
1999 sebesar 2,504 ton yang kemudian pada tahun-tahun selanjutnya secara
umum terlihat kecenderungan menurun.

Tahun
Sumber : CCSBT, 2013 (diunduh tanggal 2 Mei 2013), olah

Gambar 3.5 Produksi SBT Indonesia tahun 1976-2011
Berdasarkan Gambar 3.5 menunjukkan bahwa produksi SBT Indonesia
secara keseluruhan (1976-2011) cenderung meningkat. Namun dalam sepuluh
tahun terakhir (2002-2011) mengalami fluktuasi yang signifikan dengan
kecenderungan menurun. Rata-rata produksi SBT Indonesia selama sepuluh tahun
terakhir adalah sebesar 900.97 ton.

13

2000
Hasil Tangkapan SBT (Ton)

1800
1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
2010

2011

2012

2013

Tahun

Sumber : Data CDS 2010-2013 rekap Dit. SDI per Juni 2013, olah
Data tahun 2012 dan 2013, angka sementara

Hasil Tangkapan SBT (Ton)

Gambar 3.6

Hasil tangkapan SBT Indonesia tahun 2010-2013 berdasarkan CDS

2000
1800
1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
2004

2005

2006

2007
2008
Tahun

2009

2010

2011

Sumber : Data Statistik Perikanan Tangkap Indonesia Tahun 2012

Gambar 3.7 Hasil tangkapan SBT Indonesia tahun 2004-2011 berdasarkan
Statistik Perikanan Tangkap Indonesia
Gambar 3.6 memperlihatkan perkembangan hasil tangkapan SBT Indonesia
selama tahun 2010-2013 berdasarkan data CDS memiliki kecenderungan
meningkat dari tahun ke tahun. Data tahun 2012-2013 merupakan angka
sementara per Juni 2013 sehingga produksi SBT masih bisa bertambah.
Sedangkan berdasarkan Statistik Perikanan Tangkap Indonesia selama tahun
2004-2012, hasil tangkapan SBT Indonesia terlihat tinggi pada tahun 2005 sebesar
1,831 ton dan terendah pada tahun 2010 sebesar 474 ton (Gambar 3.7).
Wilayah Penangkapan Tuna Sirip Biru Selatan
Wilayah konvensi dari CCSBT adalah seluruh rentang geografis dari SBT
yaitu Samudera Atlantik, Atlantik sebelah selatan, Samudera Hindia bagian
tenggara, Samudera Hindia bagian Barat, Samudera Pasifik bagian timur dan

14

selatan. Statistical area of catch dari CCSBT terdiri dari 15 (lima belas) wilayah
yang terlihat pada Gambar 3.8 dengan koordinat pada Tabel 3.1.

Sumber : CCSBT, 2010

Gambar 3.8 Wilayah konvensi CCSBT
Tabel 3.1 Koordinat CCSBT statistical area of catch
Area of Catch
Altitude
Latitude

1

10 S – 20 S

100 E - 130 E

2

20 S – 35 S

80 E – 120 E

3

35 S – 40 S

120 E – 140 E

4

30 S – 40 S

140 E – 160 E

5

30 S – 40 S

170 E - 170 W

6

40 S - 60 S

160 E – 170 W

7

35 S – 60 S

120 E – 160 E

8

35 S – 60 S

60 E – 120