Optimalisasi dan strategi pemanfaatan southern bluefin tuna di Samudera Hindia – Selatan Indonesia

(1)

   

   

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN

SOUTHERN BLUEFIN TUNA

DI SAMUDERA HINDIA – SELATAN INDONESIA

MUHAMMAD RAMLI

C4510220061

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

 

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Optimalisasi dan Strategi Pemanfaatan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia - Selatan Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2009

Muhammad Ramli NIM C4510220061


(3)

   

ii

 

MUHAMMAD RAMLI. Optimization and Strategy of Southern Bluefin Tuna Utilization in Indian Ocean – South Indonesia. Under direction of Tridoyo Kusumastanto and Fadhil Hasan.

ABSTRACT

Indian Ocean water in South Java, Bali and Nusa Tenggara Island is an important spawning ground of southern bluefin tuna (SBT) resources. As cooperating non-member, in 2005 – 2007 Indonesia had been got embargo from CCSBT’s members because of over quota that made lost of benefit from SBT’s export especially to Japan as a premier market.

Indonesia should have a strategy to solve this problem and to increase benefit from SBT. The strategy should consider level of bioeconomics to achieve optimal use. Based on Maximum Economic Yield (MEY) principle, to achieve optimal use, Indonesia should limit efforts at 636 units of vessel and maximum catch of SBT at 1.396 tones, so it could create economic rent Rp 85,74 trillion per year. By using benefit-cost analysis, it results estimated NPV Rp525,87 trillion and Internal Rate of return (IRR) amount 57,03% for a full CCSBT member strategy. This result shows that becoming a full member of CCSBT will give the highest benefit for Indonesia whenever the utilization is based on MEY principle.

As member of CCSBT, Indonesia can take a part in forum of CCSBT to negotiate the increasing of catch quota. The quota should be measured based on MEY principle that will support sustainable fisheries. Beside that Indonesia should increase export percentage of volume and regulate fishing industry of SBT by applying limited entry in order to get highest benefit.


(4)

iii

 

RINGKASAN

Muhammad Ramli. Optimalisasi dan Strategi Pemanfaatan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia – Selatan Indonesia. Dibimbing oleh Tridoyo Kusumastanto dan Fadhil Hasan.

Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di Samudera Hindia bagian selatan yang mencakup laut selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara merupakan wilayah laut strategis karena merupakan wilayah pemijahan Southern Bluefin Tuna (Tuna Sirip Biru) yang memiliki nama ilmiah Thunnus maccoyii. Tuna Sirip Biru (SBT) adalah ikan bernilai ekonomi tinggi di pasar dan mendorong Australia, Jepang dan Selandia Baru menandatangani Convention for The Conservation of Southern Bluefin Tuna pada 10 Mei 1993 yang kemudian membentuk Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT).

Indonesia sebagai wilayah spawning ground SBT sepanjang 2005 – 2007 masih bersatus cooperating non-member (anggota tidak tetap) dan mengalami tekanan agar mengikat diri secara penuh sebagai anggota CCSBT. Tekanan ini diikuti dengan embargo ekspor SBT yang diterapkan oleh negara anggota CCSBT sejak 1 Juli 2005. Embargo tersebut tentunya membawa kerugian pada penerimaan devisa, berkurangnya lapangan kerja dan kemunduran industri SBT Indonesia.

Untuk itu, penelitian Optimalisasi dan Strategi Pemanfaatan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia – Selatan Indonesia bertujuan untuk:

1. Mengkaji alokasi optimal pemanfaatan SBT di selatan Jawa dan Bali.

2. Menyusun opsi kebijakan dalam mengoptimalkan tingkat pemanfaatan sumberdaya SBT.

3. Menganalisis langkah-langkah kebijakan Indonesia di CCSBT.

Berdasarkan penelitian pendahuluan, persoalan dalam pemanfaatan SBT di Samudera Hindia diawali dengan isu Illegal fishing. Isu tersebut dilatarbelakangi konflik kepentingan Australia dengan Jepang yang berimbas pada industri SBT negara lain seperti Indonesia. Untuk mengamankan kepentingan industri dan suplai pasar domestik SBT Jepang pasca penurunan kuota, Indonesia mengalami tekanan agar menerima prinsip-prinsip konvensi SBT melalui pelarangan ekspor SBT ke negara-negara anggota CCSBT.

Asumsi yang dibangun dalam penelitian ini adalah keanggotaan penuh (full member) merupakan opsi yang paling rasional yang harus diambil untuk menyelamatkan industri SBT nasional. Untuk itu, pembenahan industri perikanan SBT Indonesia perlu dilakukan dalam kerangka optimalisasi pemanfaatan SBT di Samudera Hindia, khususnya di laut selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.

Persoalan yang dihadapi Indonesia adalah kuota yang diberikan ke Indonesia lebih kecil dari kemampuan Indonesia berproduksi. Hal ini membawa implikasi tuduhan bahwa Indonesia turut dalam kegiatan penangkapan ilegal. Keadaan ini disinyalir otoritas perikanan Australia tentang beberapa negara yang ikut unregulated countries. Berdasarkan perhitungan CCSBT 2007, Indonesia ikut menyumbang kegiatan illegal fishing sekitar 124,88% dari produksi yang ditetapkan kuota. Hal ini membawa konsekuensi :


(5)

   

iv

 

1. Kuota Indonesia diturunkan menjadi 750 ton per tahun hingga tahun 2007; 2. Embargo ekspor ke negara-negara anggota CCSBT, khususnya Jepang.

Untuk mengoptimalkan pemanfaatan SBT oleh industri perikanan Indonesia, maka diperlukan kebijakan untuk menetapkan tingkat pemanfaatan optimal yang secara ekonomi menguntungkan dan tetap mempertahankan keberlanjutan semberdaya SBT. Kondisi tersebut dikenal dengan keseimbangan bioekonomi (bioeconomic equilibrium) yang terdiri dari tiga kondisi, yakni maksimum ekonomi yield (MEY), maksimum sustainable yield (MSY) dan open access.

Berdasarkan perhitungan diperoleh MEY memberi keuntungan secara ekonomi bagi industri SBT Indonesia dengan jumlah kapal sekitar 636 unit dan produksi sekitar 1.396 ton. Pada kondisi tersebut, biaya kegiatan penangkapan mencapai sekitar Rp112,32 milyar dan penerimaan (TR) mencapai Rp208,06 milyar. Hal ini berarti rente ekonomi yang diperoleh mencapai sekitar Rp85,73 milyar lebih. Kondisi MEY dapat dijadikan patokan dalam menetukan kuota dan regulasi jumlah kapal dalam industri perikanan SBT.

Strategi pemanfaatan SBT dapat disimpulkan dari perhitungan nilai NPV dan IRR dalam tiga status keanggotaan, yakni status non member atau observer, cooperating non member dan full member. Perbandingan ketiga kondisi tersebut menunjukkan bahwa status full member, nilai NPV dan IRR lebih tinggi dibandingkan dengan status non member dan cooperating non member. Nilai NPV dan IRR akan mengalami kenaikan seiring dengan kenaikan jumlah ekspor. Pada kapasitas ekspor 30% dari total produksi dalam status full member, nilai NPV mencapai Rp. 525,87 miliar dan IRR mencapai 57.03%.

Langkah-langkah kebijakan yang perlu diambil Indonesia dalam menegosiasikan kepentingan industri SBT adalah: pertama, menetapkan status keanggotaan penuh di CCSBT. Kedua, menentukan dan menegosiasikan jumlah kuota penangkapan SBT Indonesia di CCSBT dengan berpatokan pada MEY. Ketiga, penentuan jumlah kuota tersebut mesti dibarengi dengan pembatasan jumlah kapal yang ikut dalam di industri ini, agar rente ekonomi yang dihasilkan mencapai maksimal secara ekonomi dan keberlanjutan sumber daya SBT.


(6)

v

 

© Hak cipta milik IPB, Tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan bagi IPB.

2. Dilarang menggunakan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin dari IPB.


(7)

   

vi

 

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN

SOUTHERN BLUEFIN TUNA

DI SAMUDERA HINDIA -- SELATAN INDONESIA

MUHAMMAD RAMLI

Tesis

sebagai salah satu syarat unuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Ekonomi dan Manajeman

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009


(8)

vii

 

Judul Penelitian : Optimalisasi dan Strategi Pemanfaatan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia – Selatan Indonesia

Nama Mahasiswa : Muhammad Ramli Nomor Induk : C451020061

Disetujui,

1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS Ketua

Dr. Ir. M. Fadhil Hasan Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Ekonomi Sumber Daya Kelautan Tropika

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodipuro, M.Sc

Tanggal Ujian : 19 Februari 2009 Tanggal Lulus :


(9)

   

viii

 

PRAKATA

Puji syukur dipanjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa atas berkat dan rahmat-Nya karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah southern bluefin tuna dengan judul penelitian Optimalisasi dan Strategi Pemanfaatan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia – Selatan Indonesia.

Laut selatan Indonesia memiliki arti strategis dalam pemanfaatan southern bluefin tuna karena wilayah tersebut merupakan spawning ground SBT. Wilayah ini diatur dalam suatu konvensi CCSBT yang hingga kini Indonesia belum menjadi anggota penuh. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah ditawari untuk ikut menjadi anggota penuh karena Indonesia diharapkan ikut mendorong dan mendukung upaya pelestarian dan pemanfaatan SBT.

Perubahan status keanggotaan ini, secara ekonomi penting bagi Indonesia, mengingat akan mengalami embargo atas ekspor komoditi SBT ke negara-negara anggotaan. Di sisi lain, perubahan status tersebut terkait erat dengan masalah embargo, bukan karena adanya strategi Indonesia untuk mengoptimalkan pengembangan industri perikanan SBT dan memanfaatkan potensi sumberdaya perikanan tersebut.

Untuk itu, perlu dikaji langkah-langkah strategis untuk memanfaatkan status anggota penuh dalam mempengaruhi kebijakan di CCSBT. Kebijakan tersebut diharapkan dapat menguntungkan industri perikanan Indonesia, mengingat penentuan kuota Indonesia sangat rendah dibandingkan negara-negara lain seperti Korea dan Taiwan. Tentu saja hal ini menjadi ironi karena wilayah pemijahan SBT berada di ZEEI, sehingga keberlangsungan stok SBT akan tergantung pada kebijakan pengelolaan yang dilakukan oleh Indonesia.

Saran dan kritik tentunya sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan hasil-hasil penelitian ini. Terutama koreksi dan masukan dari Komisi Pembimbing; Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS dan Dr. Ir. Fadhil Hasan, serta Penguji Tamu; Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Si. Terima kasih atas kerjasama berbagai pihak yang siap membantu kelancaran penelitian ini, sehingga dapat menjadi tulisan ilmiah yang bermanfaat bagi rakyat dan negara Indonesia.

Akhir kata, penulis pengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua, istri tercinta Nisa Ardhini dan ananda Fathimah Aulia Zahra, atas dukungan dan doa yang diberikan selama ini.

Bogor, Maret 2009


(10)

ix

 

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sumbawa Besar pada tanggal 30 Mei 1974 dari ayah Ayubar dan ibu Mastari. Penulis merupakan putra ke-9 dari 9 bersaudara.

Tahun 1993 penulis lulus dari SMA Negeri I Sumbawa Besar dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan, Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan lulus menjadi Sarjana Perikanan (S.Pi) pada tahun 2000.

Selepas sarjana, penulis bekerja di Departemen Kelautan dan Perikanan RI sebagai Pegawai Negari Sipil (PNS) dan ditempatkan di Biro Perencanaan. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan studi ke jenjang pasca sarjana dan diterima di Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika (ESK).


(11)

   

x

 

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Kegunaan Penelitian ... 7

II. RUANG LINGKUP STUDI ... 8

III. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

3.1. Gambaran Umum Southern Bluefin Tuna ... 12

3.2. Potensi dan Pemanfaatan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia ... 14

3.3. Perkembangan Perdagangan Southern Bluefin Tuna ... 19

3.4. Teori Ekonomi Sumberdaya Perikanan ... 22

IV. METODOLOGI PENELITIAN ... 30

4.1. Bentuk dan Metode Penelitian ... 30

4.2. Metode Pengumpulan Data ... 31

4.3. Analisis Data ... 32

4.3.1. Analisis Keseimbangan Bioekonomi ... 32

4.3.2. Analisis Dampak Ekonomi ... 33

4.4. Batasan Penelitian ... 35

4.5. Waktu dan Tempat Penelitian ... 35

V. PERKEMBANGAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA SOUTHERN BLUEFINTUNA DI SAMUDERA HINDIA ... 36

5.1. Perkembangan Industri Perikanan Southern Bluefin Tuna ... 36

5.2. Isu Illegal Fishing dan Perubahan Kuota Pemanfaatan SBT ... 38

5.3. Kebijakan Kuota dan Implikasi Embargo dalam Perdagangan SBT ... 43


(12)

xi

 

VI. KONDISI OPTIMAL DAN STRATEGI PEMANFAATAN

SUMBERDAYA SOUTHERN BLUEFIN TUNA ... 50

6.1. Kondisi Optimal Pemanfaatan SBT ... 50

6.2. Strategi Pemanfaatan Sumberdaya SBT ... 54

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

7.1. Kesimpulan ... 57

7.2. Saran ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 59


(13)

   

xii

 

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Perubahan Kuota Penangkapan SBT di Samudera Hindia ………. 10

2. Estimasi Potensi, Produksi, dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Tuna Berdasarkan Jenis dan Wilayah Penangkapan Pada Tahun 1997 ….. 15 3. Produksi SBT Negara-Negara di Area Penangkapan 57 Samudera Hindia 17 4. Negara Pengimpor dan Jumlah Impor Periode 2002 -2005 ……… 21

5. Perkembangan Pengaturan Kuota Penangkapan SBT di Samudera Hindia 38 6. Selisih Produksi-Kuota dan Presentase terhadap Penangkapan Ilegal Tahun 2005 ... 42

7. Jumlah Produksi, Impor dan Harga Rata-rata Produksi SBT di Jepang 44 8. Jumlah Tangkapan Tuna (Ton) di Pelabuhan Benoa, Cilacap, Jakarta dan Pelabuhan Lain Tahun 2003-2004 ... 48

9. Catch Per-Unit Effort (CPUE) SBT Indonesia di Samudera Hindia ... 52

10. Kondisi Aktual Penangkapan SBT Indonesia ... 52

11. Tiga Kondisi Keseimbangan Bioekonomi (Bioeconomic Equilibrium) ... 53 12. Perbandingan Nilai NPV dan IRR Pemanfaatan SBT Indonesia di

Samudera Hindia Berdasarkan Status Keanggotan di CCSBT ... 56


(14)

xiii

 

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru ………... 1

2. Peta Wilayah Kewenangan Juridiksi CCSBT ………... 2

3. Peta Wilayah Kewenangan 13 RFMO Dunia ……… 5

4. Bagan Alir Ruang Lingkup Penelitian ……….. 11

5. Southern BluefinTuna ( Thunnus thynnus) ………... 12

6. Pemijahan Southern Bluefin Tuna (FAO, 2006) ………... 14

7. Peta Area 57 Samudera Hindia ……….. 16

8. Grafik Perkembangan Produksi SBT Indonesia (Ton) dan Share dengan Produksi SBT Dunia ………. 18 9. Rawai Tuna atau tuna longlines ……… 18

10. Grafik Perbandingan Produksi SBT Indonesia (Ton) Tahun 2005 dengan Negara Produsen Lainnya ………. 19 11. Grafik Kegiatan Impor SBT (kg) Jepang 2001 – 2005 ………. 20

12. Grafik Perbandingan Ekspor dan Produksi (kg) SBT Indonesia 2002 – 2005 ... 21

13. Grafik Ekspor SBT Negara-negara Eksportir Utama ke Jepang Periode 2002 – 2005 ……….. 22

14. Population Equilibrium Analysis ……….. 24

15. Kurva Sustainable Yield ……… 25

16. Open Access and MaximumEconomic Yield ……… 27

17. Grafik Fluktuasi Hasil Tangkapan SBT di Samudera Hindia ... 36

18. Grafik Perkembangan Tangkapan SBT Indonesia dan Dunia 1976 – 2005 ... 45

19. Grafik Perkembangan Produksi dan Ekspor SBT Indonesia Tahun 2001 – 2006 ... 46 20. Grafik Perkembangan Jumlah Kapal Penangkapan di Samudera Hindia Tahun 1976 – 2005 ... 46 21. Grafik Perbandingan Produksi Aktual dan Yield Tahun 1995 – 2005 .. 51


(15)

   

xiv

 

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Sebaran Kapal Tuna Long Line Indonesia ……… 63 2. Jumlah Tangkapan Southern Bluefin Tuna Dunia Menurut Negara (Ton) 64 3. Laporan CCSBT Tentang Informasi Skema Perdagangan SBT …………. 66 4. Harga Tuna di Pasar Jepang ……… 70 5. Estimasi Jumlah Kapal Long Line Indonesia Beroperasi di Samudera

Hindia Tahun 1973-2000 ……… 71

6. Jumlah Tangkapan Tuna di Pelabuhan Benoa Menurut Jenis Ikan Periode Januari 2003 – Desember 2005 (Ton) ………. 72 7. Hasil Perhitungan Regresi ……….. 74 8. Investasi dan Biaya Rata-rata Per Trip kapal penangkapan Tuna di

Samudera Hindia ………. 75 9. NPV dan IRR dengan Status Non Member CCSBT (dikenai sanksi

embargo) …... 78 10. NPV dan IRR dengan Status Cooperating Member CCSBT (ekspor

diperbolehkan dengan asumsi jumlah ekspor berdasarkan rata-rata) ... 82 11. NPV dan IRR dengan Status Member CCSBT (ekspor diperbolehkan

dengan asumsi jumlah ekspor 10% dari produksi) ... 85 12. NPV dan IRR dengan Status Member CCSBT (ekspor diperbolehkan

dengan asumsi jumlah ekspor 20% dari produksi) ... 89 13. NPV dan IRR dengan Status Member CCSBT (ekspor diperbolehkan


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di Samudera Hindia bagian selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara memiliki arti strategis bagi industri

perikanan, karena wilayah laut tersebut merupakan spawning ground (tempat

pemijahan) ikan Tuna Sirip Biru atau Southern Bluefin Tuna (SBT) yang bernama

ilmiah Thunnus maccoyii. Spawning ground SBT berada pada lintang 300LS -

500LS seperti pada Gambar 113 dan fase pemijahan tersebut berlangsung

sepanjang Agustus-Juni. Juvenile SBT selanjutnya bermigrasi ke arah selatan dan pantai timur Australia dan melewati musim dingin di laut yang lebih dalam (Posiding Simposium Perikanan, 1997).

      

13 

Menurut Permen No. PER.01/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan, spawning

ground SBT sebagian berada dalam wilayah WPP 10 atau wilayah WPP Samudera Hindia B yang

meliputi selatan Jawa dan Nusa Tenggara.

Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru


(17)

  b d K n B S C m p 3 j m p G y SBT bernilai ekon dengan harg Kategori hig

negara-nega Baru pada

Southern Blu

Setah

Conservatio

menjamin k pengelolaan 300 LS - 50 juridiksi, ko melainkan pemijahan d Gambar 2. CCS yang dibent Gam merupakan nomi tinggi ga yang dap

ghly migrato

ara pemanfaa 10 Mei 199

uefin Tuna. hun setelah

n of Souther

konservasi d yang tepat. 0

LS dan sp

onvensi CC mengikat w dan tujuan m

BT adalah tuk sebagai

mbar 2. Peta

n ikan yang di pasar ikan pat mencapa

ory fish dan at komodita 93 menanda

penandatang

rn Bluefin Tu

dan pemanfa Area kewe

pawning gro

SBT tidak wilayah-wila migrasinya y

Regional F

tindak lanju

Wilayah Kew

bermigrasi n internasion ai US$50-60 n nilai ekon as ini, seper

tangani Con

ganan terseb

una (CCSBT

aatan optima enangan CC

ound SBT di

diterapkan ayah yang yang mencak

Fisheries Ma

ut United N

wenangan Jur

jauh (highl

nal, khususn 0 per kilogra nomi SBT y

rti Australia,

nvention for

but, dibentuk T). Tujuan

al tuna sirip SBT menca i laut selatan

pada wilay menjadi h kup wilayah

anagement O Nation Fishe

ridiksi CCSB

ly migratory

nya pasar Su am (Wudian ang tinggi m , Jepang da

r The Conse

k Commissi

utama CCS p biru selat akup perairan

n Indonesia yah geografi abitat SBT h perairan se

Organization eries Stock

BT (CCSBT, 2

y fish) dan ukiji Jepang

nto, 2007). mendorong an Selandia

ervation of

on for The

SBT adalah an melalui n laut pada

dan secara ik tertentu, T. Wilayah

eperti pada

n (RFMO)

Agreement


(18)

(UNFSA) 1995 yang saat ini tengah diratifikasi. UNFSA mengatur ketentuan bahwa pemanfaatan dan pengelolaan tuna sebagai spesies yang bermigrasi jauh dan melewati batas-batas laut kontinen beberapa negara, perlu diatur oleh organisasi regional, seperti CCSBT yang mengatur masalah pengelolaan dan pemanfaatan SBT.

Keanggotaan CCSBT saat ini terdiri dari member, cooperating

non-member dan observer. Pada 8 April 2008, Indonesia resmi menjadi member

CCSBT mengikuti status negara-negara yang telah yang telah menjadi member

terlebih dahulu, seperti Australia, Jepang, Selandia Baru, Republik Korea dan

Fishing Entity of Taiwan’s. Beberapa negara lainnya terdaftar sebagai

cooperating non-member yakni, Filipina, Afrika Selatan14 dan European Community15.

Status keanggotaan penuh Indonesia pada 2008 terkait dengan embargo ekspor produk SBT Indonesia di pasar negara-negara anggota CCSBT, khusus Jepang sebagai tujuan utama pasar ekspor. Embargo yang diterapkan pada 1 Juni 2005 disebabkan negara-negara anggota CCSBT, khususnya Australia dan Jepang, menaruh kecurigaan bahwa Indonesia enggan ikut serta melestarikan sumberdaya SBT. Embargo tersebut ternyata efektif menekan Indonesia agar

bersedia mengikat diri dalam Convention for The Conservation of Southern

Bluefin Tuna, karena secara geografis sebagian wilayah ZEEI merupakan

spawning ground SBT.

Embargo yang berlangsung sejak 2005 membawa dampak kerugian bagi Indonesia, diantaranya kerugian dari penerimaan devisa, lapangan kerja dan mengancam pengembangan industri perikanan pada umumnya. Kondisi tersebut mendorong Indonesia perlu mengambil langkah-langkah regulasi dengan mengikat diri dalam konvensi CCSBT. Langkah perubahan status keanggotaan merupakan salah satu jalan untuk mengatasi tekanan embargo dan membuka isolasi pasar ekspor.

      

14 

Sebagian juvenile yang memijah di pantai selatan Jawa bermigrasi ke barat melintasi Afrika Selatan.

15 Keanggotaan CCSBT terdiri atas member, cooperating non-member dan observer. Konvensi dapat diikuti oleh negara yang terlibat dalam pemanfaatan SBT atau negara pantai yang memiliki ZEE atau daerah perikanan yang dilintasi migrasi SBT.


(19)

 

Mengikuti perubahan status keanggotaan tersebut, Indonesia perlu menata kembali keragaan industri perikanan SBT dengan menerapkan pola pemanfaatan SBT yang mengadopsi tujuan konvensi, yakni ikut melestarikan sumberdaya SBT dengan tetap mempertahankan tujuan-tujuan ekonomi. Kondisi tersebut membutuhkan suatu penelitian untuk merumuskan optimalisasi dan strategi

pemanfaatan sumberdaya Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia – Selatan

Indonesia, yang diarahkan untuk mencari titik keseimbangan antara kepentingan

konservasi yang menjadi concern CCSBT, dengan kepentingan ekonomi yang

menjadi tujuan pengembangan industri perikanan Indonesia. Titik keseimbangan tersebut diharapkan dapat menjadi kerangka regulasi pemanfaatan SBT di Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah

Ratifikasi United Nations Conservatioan on The Law af The Sea

(UNCLOS) 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985 pada dasarnya membuka peluang Indonesia untuk memanfaatkan berbagai sumberdaya ikan di laut lepas (high sea), baik sumberdaya ikan jenis beruaya jauh (highly migratory fish stocks), sumberdaya ikan beruaya terbatas (straddling fish stock) dan share stock

atau sumberdaya ikan yang beruaya di antara batas laut negara. Pengaturan atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber daya ikan tersebut selanjutnya

dituangkan dalam United Nation Fisheries Stock Agreement (UNFSA) 1995. Hal

ini perlu terus ditindaklanjuti sebagai bagian dari strategi untuk menjamin kepentingan Indonesia dalam melindungi dan memanfaatkan kekayaan sumberdaya perikanan di laut lepas, khususnya di ZEEI.

UNFSA 1995 mengatur ketentuan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan tuna, sepenuhnya ditangani dan dikoordinasikan oleh badan-badan pengelolaan ikan regional atau RFMO. Ada empat RFMO seperti terlihat pada Gambar 3, yang wilayah kewenangannya bersentuhan langsung dengan

kepentingan Indonesia di ZEEI, yakni Indian Ocean Tuna Commission (IOTC),

Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), dan

Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) serta Asia-Pacific Fishery Commission(APFIC).


(20)

Suatu negara akan memiliki akses untuk memanfaatkan dan mengelola sumberdaya perikanan di wilayah yang kewenangannya diatur oleh suatu RFMO, bila negara tersebut menjadi anggota RFMO tersebut. Terkait dengan hal ini, penerapan sanksi embargo ekspor SBT pada 1 Juli 2005 oleh negara-negara anggota CCSBT pada Indonesia, bertujuan untuk mendesak negara-negara pemanfaat SBT, khususnya Indonesia, agar bersedia meningkatkan

keanggotaannya dari cooperating non-member menjadi member. Sanksi ini akan

terus diberlakukan hingga Indonesia bersedia mengikat diri dalam konvensi CCSBT dengan menjadi anggota penuh RFMO tersebut.

Embargo atas ekspor SBT tentunya membawa dampak kerugian bagi Indonesia, terutama kalangan pengusaha industri perikanan SBT yang beroperasi di Samudera Hindia, khususnya di laut selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Perhitungan kerugian dapat dilihat dari kuota minimal bila Indonesia menjadi

cooperating non-member CCSBT. Berdasarkan Annual Meeting 2006, pada

posisi Indonesia sebagai cooperating non-member, kuota penangkapan SBT

Indonesia yang diberikan sebesar 750 ton per tahun. Jika diasumsikan hasil tangkap SBT berkualitas sashimi dengan pasar ekspor tujuan Jepang, maka harga

Gambar 3. Peta Wilayah Kewenangan 13 RFMO Dunia (Bird Life International, 2008)


(21)

 

produk SBT Indonesia berkisar pada US$50,00 per kg. Kerugian atas sanksi embargo ekspor SBT Indonesia tiap tahun diperkirakan dapat mencapai US$37,5 juta atau setara dengan Rp345 milyar per tahunnya. Perhitungan kerugian ini akan meningkat bila potential lost lainnya ikut dihitung, seperti lapangan kerja dan kegiatan-kegiatan ekonomi yang ikut mendukung industri penangkapan SBT.

Langkah-langkah pembenahan perlu diupayakan agar syarat-syarat keanggotaan dapat dipenuhi, salah satunya seperti perbaikan data-data statistik produksi SBT yang selama ini cenderung bias. Disamping pembenahan-pembenahan seperti itu, Indonesia perlu menyusun perencanaan jangka panjang, mengingat peningkatan status keanggotaan di CCSBT hanya berdampak jangka pendek, yakni lepasnya sanksi embargo ekspor atas produk SBT Indonesia.

Untuk itu, peningkatan status keanggotaan ini harus diikuti pula dengan perencanaan jangka panjang, yakni perencanaan pemanfaatan SBT yang dapat “menjamin aktivitas penangkapan tidak akan mengurangi keefektifan langkah-langkah pengelolaan, konservasi dan semua keputusan yang tertuang dalam konvensi”. Artinya, keanggotaan dalam CCSBT harus mampu menjamin keberlangsungan sumberdaya SBT sekaligus menjamin keberlangsungan industri penangkapan SBT nasional16.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah :

1. Mengkaji alokasi optimal pemanfaatan sumberdaya perikanan Southern

Bluefin Tuna di Samudera Hindia sepanjang laut selatan Jawa dan Bali.

2. Menyusun opsi kebijakan dalam mengoptimalkan tingkat pemanfaatan

sumberdaya perikanan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia

sepanjang laut selatan Jawa dan Bali.

      

16 Disamping itu, keanggotaan di CCSBT akan dibebani iuran sebesar Aus$ 130 ribu atau setara

dengan Rp910 juta(Asumsi Aus$1 = Rp7.000,-), yang tentunya ditanggung oleh Indonesia dari pajak rakyat.


(22)

3. Menganalisis langkah-langkah kebijakan Indonesia pasca keanggotaan di CCSBT dalam rangka meningkatkan kemampuan negosiasi kepentingan

sebagai negara yang menjadi wilayah pemijahan Southern Bluefin Tuna.

1.4 Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah menjadi bahan referensi ilmiah bagi

penyusunan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan Southern Bluefin Tuna

di Samudera Indonesia, khususnya di laut selatan Jawa dan Bali, dalam rangka meningkatkan kemampuan negosiasi kepentingan industri perikanan SBT Indonesia.


(23)

 

BAB II

RUANG LINGKUP PENELITIAN

Southern Bluefin Tuna (SBT) telah menjadi isu hangat pada pertengahan Agustus 2006 yang dilatarbelakangi oleh persaingan antara Australia dengan Jepang dalam kegiatan penangkapan SBT di Samudera Hindia. Pokok persoalan yang menjadi isu utama perseteruan kedua negara produsen utama SBT dunia itu

adalah isu illegal fishing. Isu ini diawali dengan tuduhan kecurangan Jepang

dalam kegiatan penangkapan SBT oleh pihak Australia17.

Menurut Australia, keengganan pihak Jepang untuk memasang paper trail

pada hasil tangkapan SBT dan memasang sistem pemantau indepeden pada kapal

perikanannya telah menghasilkan tangkapan illegal sekitar 12.000 - 20.000 ton

selama 20 tahun terakhir. Nilai tangkapan yang diperoleh Jepang atas kegiatan yang dituduh illegal itu, mencapai 2 milliar dolar Australia atau setara US$1,53

miliar dalam kurung waktu yang sama. Angka ini mungkin lebih besar lagi karena

Australia menduga bahwa ribuan hingga puluhan ribu ton ikan tidak melewati sistem pelelangan yang berlaku di Jepang, melainkan SBT langsung dijual pada perusahaan pengumpul (retailer).

Tuduhan Australia ditanggapi Jepang dengan mendorong pembahasan isu tersebut dilakukan dalam pertemuan CCSBT bulan Oktober 2006. Menurut data CCSBT, kuota tangkapan Jepang untuk tahun 2006 sebesar 6.065 ton dan di sisi lain Jepang pun telah mengakui bahwa pada periode 2006 jumlah tangkapan

negara tersebut melebihi kuota18 sebesar 25%. Laporan tersebut merupakan upaya

Jepang untuk menampik tuduhan pihak Australia yang secara tidak langsung menuding bahwa kegiatan industri penangkapan SBT negara tersebut sebagai penyebab utama penurunan stok SBT dunia. Apalagi kemudian, menurut Suadi

(2007), Deputi Direktur Far Seas Fisheries Division, Fisheries Agency, seperti

dikutip the Age mengklaim bahwa perikanan purse seine Australia telah

      

17 

Tuduhan kecurangan Jepang dalam kegiatan penangkapan SBT di Samudera Hindia disampaikan oleh Richard McLoughlin, Direktur Pengelolaan pada Otoritas Pengelolaan Perikanan Australia, sebagaimana yang dikutip dari Australian News.Net 12 Agustus 2006 dan beberapa media lainnya seperti ABC News, Reuters, The Age, dan The Sydney Morning Herald. 18 Laporan Yahoo!7 News


(24)

menangkap juvenil SBT dalam jumlah besar dan secara hipokrit menjualnya ke pasar Jepang. Hal ini memunculkan praduga bahwa isu yang dilontarkan pihak

Australia dilakukan dalam rangka blow up kepentingan para nelayan Australia dan

kelompok lingkungan hidup. Industri perikanan SBT Australia sendiri memperoleh kuota 5.000 ton per tahun, sehingga meraup sedikitnya 40 juta dolar Australia per tahun. Tentunya keuntungan tersebut bukanlah keuntungan yang sedikit buat nelayan dan industri perikanan Australia secara umum.

Isu illegal fishing menjadi pokok persoalan dalam pengelolaan dan penangkapan SBT di Samudera Hindia karena beberapa sebab, yakni:

1. SBT adalah spesies yang telah dikategorikan sebagai jenis yang terancam

(punah) oleh komisi konservasi dunia atau International Union for

Conservation of Natural Resources (IUCN; Red List of Threatened Species).

2. Kegiatan perburuan SBT tetap terus dilakukan mengingat spesies ikan ini

termasuk ikan yang bernilai ekonomi yang sangat tinggi.

3. Pihak-pihak yang menjadi aktor utama dalam isu ini adalah Australia dan

Jepang yang dikenal sebagai produsen dan konsumen terbesar jenis ikan ini.

Gambaran konflik kepentingan antara Australia dan Jepang dalam memperebutkan sumberdaya SBT di Samudera Hindia, tidak mustahil akan berimbas pada negara-negara produsen SBT lainnya. Hal ini dapat dilihat dari perubahan kuota penangkapan SBT pada periode 2003-2006 dengan periode 2007-2009. Akibat tuduhan praktek penangkapan ilegal, Jepang mengalami penurunan kuota penangkapan SBT dari 6.065 ton menjadi 3.000 ton. Negara-negara lain seperti Filipina, Afrika Selatan dan Indonesia juga mengalami penurunan kuota seperti pada Tabel 1. Perubahan kuota tersebut tidak lepas dari perebutan kepentingan antar negara pelaku utama penangkapan, karena setiap negara berupaya untuk mempertahankan dan memperbesar kuota yang dimilikinya.


(25)

 

Tabel 1. Perubahan Kuota Penangkapan SBT di Samudera Hindia

No Negara Kuota

2003-2006 2007-2009

1 Jepang 6,065 3,000

2 Australia 5,265 5,265

3 Taiwan 1,140 1,140

4 Korea Selatan 1,140 1,140

5 Selandia Baru 420 420

6 Filipina 50 45

7 Afrika Selatan 45 45

8 EC - 10

9 Indonesia 800 750

Sumber : CCSBT, 2007

Indonesia dengan status cooperating non-member saat itu, tentu tidak

dapat berbuat banyak untuk mempengaruhi kebijakan kuota CCSBT. Apalagi kemudian negara-negara anggota CCSBT mengancam untuk memberikan sanksi embargo pada ekspor SBT Indonesia yang dapat menghentikan ekspor ndonesia secara total. Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang akan terjadi di masa depan, Indonesia perlu mempersiapkan diri menghadapi imbas berulangnya persaingan negara-negara pelaku utama di CCSBT. Ada dua hal yang akan menjadi reaksi Indonesia atas kasus konflik pemanfaatan SBT di Samudera Hindia :

1. Meningkatkan bargaining position Indonesia agar memiliki kekuatan

dalam mempengaruhi keputusan-keputusan di CCSBT, sehingga Indonesia perlu meningkatkan status keanggotaanya di lembaga tersebut;

2. Menerima keputusan apa pun yang dihasilkan CCSBT, yang berarti

Indonesia tidak perlu ikut terlibat dalam menentukan keputusan-keputusan penting pengelolaan SBT, sehingga peningkatan status keanggotaan bukan merupakan prioritas.

Berdasarkan pilihan tersebut, perlu disusun pendugaan sementara bahwa

meningkatkan bargaining position menjadi member CCSBT merupakan pilihan

terbaik, bila Indonesia ingin meningkatkan kemampuan industri SBT nasional. Asumsi-asumsi yang melatarbelakangi pendugaan tersebut adalah :

1. Menjadi member membuka kembali peluang ekspor SBT ke pasar


(26)

2. Keanggotaan penuh akan mengikat Indonesia pada aturan-aturan konvensi CCSBT untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya SBT dan keberlangsungan industrinya, sehingga mendorong Indonesia menciptakan regulasi yang mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan konservasi di satu sisi dengan kepentingan ekonomi di sisi lainnya;

3. Keseimbangan antara kebutuhan konservasi dan kepentingan ekonomi

merupakan titik optimal dalam pengelolaan dan pemanfaatan SBT, dan diharapkan dapat menjadi titik tolak regulasi, sehingga Indonesia memiliki ukuran yang jelas atas jumlah kapal yang beroperasi dan hasil tangkap yang diperbolehkan sebagai dasar penentuan kuota bagi Indonesia.

Ruang lingkup penelitian Optimalisasi dan Strategi Pemanfaatan Southern

Bluefin Tuna (SBT) di Samudera Hindia –Selatan Indonesia dapat digambarkan dalam bentuk bagan alir ruang lingkup penelitian pada Gambar 4.

Potensi Southern Bluefin Tuna

(SBT) di Samudera

Hindia

Perkembangan Perdagangan

Isu Illegal

Fishing

Perubahan Kuota Penangkapan

SBT

Embargo Perdagangan (Ekspor) SBT

Keragaan Industri SBT

Indonesia Teori Ekonomi

Sumberdaya Perikanan

Keseimbangan Bioekonomi

Strategi Pemanfataan SBT Indonesia

di Samudera Hindia


(27)

 

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Gambaran Umum Southern Bluefin Tuna

Southern Bleufin Tuna (SBT) atau tuna sirip biru adalah ikan yang memiliki habitat di perairan laut lepas dan sekitar pesisir, tetapi selalu menghindari muara-muara sungai yang berkadar garam rendah, serta bermigrasi disekitar laut Pasifik dan wilayah perairan air hangat laut Mediteranian. SBT termasuk ikan buas karena memangsa ikan kecil, cumi-cumi, dan udang. Nama

lain SBT adalah red tuna Mediteranian, masuk dalam golongan famili

Scombridae, bergenus Thunnus, dengan nama ilmiah Thunnus thynnus (DKP, 2007). Selain spesies tersebut, beberapa spesies lain yang berasal dari famili

Scombridae adalah longfin tuna (Thunnus alalunga) dan yellowfin tuna (Thunnus albacares).

Literatur yang dikeluarkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan

(DKP) pada 2007 diuraikan bahwa; nama red tuna berasal dari karakteristik warna

daging, sedangkan nama bluefin tuna dberi karena sirip belakangnya nampak

berwarna biru. Ciri fisik biologi SBT seperti pada Gambar 5, ditandai dengan badan memanjang seperti torpedo dan berpenampang bulat serta tergolong tuna besar. Tapisan insang pada busur insang pertama 19-26 dengan kepala dan mata besar. Sirip punggung pertama berjari-jari 12-13, dan 14 jari-jari lemah pada sirip


(28)

punggung kedua, diikuti 9 jari-jari sirip tambahan. Sirip dubur berjari-jari lemah 14, diikuti 18 jari-jari sirip tambahan. Terdapat 2 lidah/cuping diantara sirip perutnya. Sisik kecil menutupi badannya, sisik pada korselet agak besar, tetapi tidak selalu nyata. Satu lunas kaut pada batang ekor, diapit oleh dua lunas kecil pada ujung belakangnya.

Bluefin tuna merupakan salah satu bonefish terbesar yang ada, karena dapat memiliki ukuran mencapai panjang tiga meter dengan beratnya mencapai hampir 700 kg. Didukung dengan bentuk fisik ikan yang berbentuk torpedo atau kerucut dan ramping, serta struktur otot yang kuat, ikan ini memiliki kemampuan luar biasa dalam bermigrasi antar samudera. Umumnya SBT dapat ditandai dengan warna biru kehijauan pada bagian atas dan putih perak pada bagian bawah. Terdapat totol-totol warna putih pada bagian perutnya; kekuningan pada ujung sirip punggung sirip kedua dan dubur, serta jari-jari sirip tambahan.

Bluefin tuna -- pada fase tertentu -- merupakan ikan yang suka hidup dalam kawanan kecil bersama-sama dengan binatang lain yang seukuran. Pada periode reproduksi sekitar bulan April-Mei, kawanan menjadi lebih banyak dan secara kompak mengambil keuntungan dari arus yang mengalir untuk bermigrasi. Fase reproduksi dimulai ketika SBT mencapai wilayah sekitar laut selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara selama musim panas bulan Juli dan Agustus. Kawanan mulai berputar-putar membentuk pusaran air yang pada gilirannya meletakkan

gametes (produk seksual) di tengah-tengah pusaran, seperti pada Gambar 6. Didorong oleh gaya sentripetal yang dihasilkan dari gerakan perputaran tersebut, maka terjadi pertemuan dan peleburan gamet. SBT betina meletakkan puluhan juta telur; berbentuk bulat dan berukuran sekitar 1 mm serta dilengkapi dengan tetesan berminyak agar telur tetap mengapung.


(29)

  d i T m p p 3 p y w S s i   Fase dan lamban, itu bermigra Telur-telur m muncul. La panjang 45 c pemijahan d 3.2 Pote Menu perairan Ind yang cukup wilayah per Sumatera; Y

selatan Jawa ini menurut

reproduksi , berhenti se asi kembali k menetas seki arva-larva in cm. Dalam dan selanjutn

ensi dan Pem urut data D donesia tahun

besar, sepe rairan ini a

Yellowfin, Bi

a dan Bali se data tahun 1

Gambar 6.

diakhiri ket ejenak di se kearah pesis itar 2 hari k ni selanjutny

beberapa tah nya bermigra

manfaatan S

DKP (1998) n 1998, Sam erti pada Tab

adalah Yello ig eye, Alba

erta Nusa Te 1998 rata-rat

Pemijahan S

ika tuna keh panjang pan sir Autralia h emudian dan ya dalam b hun, tuna-tu asi sampai m

Southern Bl

potensi pen mudera Hindi bel 2. Jeni

owfin, Big acore dan So

enggara. Tin ta masih diba

Southern Bluef

hilangan sem ntai untuk m hingga Panta n larva vora beberapa bu na muda ter mencapai kem

luefin Tuna

nyebaran sum ia memiliki s-jenis ikan

eye dan A

outern Bluef

ngkat peman awah 50%.

efin Tuna (FA

mangat berka mencari mak

ai Barat Afik acious beruku lan mampu rsebut hidup matangan sek di Samuder mberdaya ik potensi peri tuna yang

lbacore di

fin Tuna (SB nfaatan tuna

AO, 2006)

awan, lelah kan, setelah ka Selatan. uran 3 mm u mencapai

di wilayah ksual.

ra Hindia kan laut di

kanan tuna terdapat di laut barat BT) di laut


(30)

Tabel 2. Estimasi Potensi, Produksi, dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Tuna Berdasarkan Jenis dan Wilayah Penangkapan Pada Tahun 1997

No. Wilayah Penangkapan Jenis Ikan Luas Area (1000 m2)

Ikan/ton pancing Berat (kg/100 pancing) Indeks Kelimpahan (kg/100 pancing) Potensi Lestari (ton/tahun) Produksi 1997 (ton) Tingkat Pengusahaan (%) 1. Samudera Hindia Barat Sumatera Yellowfin Big eye Albacore 915.0 0.9235 0.628 0.0415 28.39 24.34 0.84 51.02 42.26 1.46 23.343 19.332 667 4.477 3.708 128 19.2 19.2 19.2

43.343 19.2

2. Samudera Hindia Selatan Jawa Yellowfin Big eye Albacore SBT 388.6 0.7079 0.9483 0.1936 0.0029 22.53 36.76 3.94 0.32 39.11 63.82 6.84 0.56 7.600 12.400 1.329 108 3.555 5.800 622 50 46.8 46.8 46.8 46.3

21.437 46.0

3. Samudera Hindia Selatan Bali dan Nusa Tenggara Yellowfin Big eye Albacore SBT 488.8 0.7650 0.8350 0.3382 0.0031 24.35 32.35 6.88 0.36 42.27 56.16 11.94 0.62 10.332 13.726 2.919 153 2.284 3.034 645 34 22.1 22.1 22.1 22.3

27.130 5.997 22.1

Sumber: Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia, 1998 (DJPT – DKP 2006).

Wilayah laut di selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara pada Tabel 2 ternyata memiliki arti strategis dalam perikanan tuna dunia. Arti strategis itu terkait dengan habitat beruaya atau memijah SBT yang berlangsung di wilayah laut tersebut. Kondisi ini membawa konsekuensi-konsekuensi dalam pengelolaan sumberdaya ikan SBT, yakni Indonesia dituntut agar dapat ikut serta dalam konvensi CCSBT dengan menjadi anggota penuh organisasi pengelolaan sumberdaya ikan regional.

Keanggotaan Indonesia dalam CCSBT penting artinya, khususnya bagi negara pelaku utama penangkapan SBT. Sebagai negara yang memiliki wilayah laut tempat beruaya SBT, kebijakan-kebijakan Indonesia dalam pengelolaan dan pemanfaatan SBT dapat berdampak langsung pada kelangsungan sumberdaya dan kegiatan industri perikanan tuna SBT dunia. Indonesia diharapkan dapat terikat dengan konvensi CCSBT, sehingga setiap regulasi perikanan tangkap yang dikeluarkan oleh otoritas perikanan Indonesia, khususnya pengelolaan dan pemanfaatan SBT di Samudera Hindia, diharapkan tetap berada pada koridor untuk mendukung tujuan utama konvensi CCSBT. Tujuan tersebut adalah “menjamin aktivitas penangkapan tidak akan mengurangi keefektifan langkah-langkah pengelolaan, konservasi dan semua keputusan yang tertuang dalam konvensi”. Salah satu keputusan konvensi yang terpenting adalah pengaturan jumlah kuota penangkapan SBT.


(31)

 

Jepang dan Australia adalah negara anggota CCSBT yang memiliki kuota penangkapan SBT terbesar dan menurut data FAO dan CCSBT tahun 2005, jumlah tangkapan kedua dunia mendominasi jumlah tangkapan SBT dunia dan telah berlangsung sejak tahun 1952. Indonesia sebagai negara tempat beruaya SBT, kegiatan industri penangkapan SBT mulai tercatat dalam data CCSBT pada tahun 1976. Wilayah kegiatan penangkapan industri SBT Indonesia, menurut laporan FAO dan CCSBT sekitar Area 57 di Samudera Hindia seperti pada Gambar 7. Area 57 dikategorikan sebagai daerah beruaya SBT dan kegiatan

penangkapan Indonesia pada area tersebut menggunakan alat tangkap tuna long

line dengan sebaran kapal tuna long line dapat dilihat pada Lampiran 1.

Berdasarkan data FAO dan CCSBT, negara-negara yang turut menangkap SBT di Area 57 adalah Australia, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Filipina dan Taiwan dengan komposisi produksi dan alat tangkap seperti pada Tabel 3.


(32)

Tabel 3. Produksi SBT Negara-Negara di Area Penangkapan 57 Samudera Hindia

Negara Alat

tangkap

Produksi (Ton)

2000 2001 2002 2003 2004

Australia Longline 125 86 28 35 228

Purse seine 5.132 4.767 4.683 5.792 4.834

Sub Total Australia 5.257 4.853 4.711 5.827 5.062

Indonesia Longline 1.203 1.632 1.691 564 677 Japan Longline 6.000 6.674 6.192 5.762 5.846 Korea, Republic of Longline 1.135 845 746 254 131 New Zealand

Longline 379 358 450 389 391

Other gears 0 0 0 0 1

Troll line 1 0 1 0 1

Sub Total New Zealand 380 358 451 389 393

Philippines Longline 17 43 82 68 80

Taiwan Longline 1.448 1.580 1.137 1.128 1.298 Sumber : Diolah dari data FAO dan CCSBT (2006)

Sepanjang sejarah keterlibatan Indonesia dalam industri penangkapan SBT dari 1976-2004, produksi SBT Indonesia cenderung berfluktuasi seperti terlihat pada Gambar 8. Jumlah produksi tertinggi pada tahun 1997 yang mencapai 13,74% dari total produksi CCSBT dunia. Pasca 1997, tingkat produksi SBT Indonesia mengalami penurunan dan tidak pernah mendekati angka 1997.

Pada tahun 2005 jumlah hasil tangkap cenderung membaik, yakni mencapai 11,46% dari total hasil tangkap dunia. Kenaikkan produksi 2005 penting artinya bagi industri SBT Indonesia, namun kenaikkan tersebut ternyata melampaui kuota yang ditetapkan oleh CCSBT. Seiring dengan kenaikan produksi ini pada tahun 2005, Indonesia mendapat sanksi embargo ekspor komoditi SBT ke negara-negara anggota CCSBT. Sanksi tersebut merupakan konsekuensi pelanggaran kuota dan keengganan Indonesia menjadi anggota penuh CCSBT.


(33)

  m l S s b p Kegi menggunaka

long line m Satu tuna lo

sekali turun bersifat pasi pada Gamba 0 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000 35.000 40.000 45.000 50.000 19 76 To n Gambar 8. dan Share d

Gambar 9. R

itan penan an alat tangk merupakan ra

ong line bias n. Alat ini if, yakni me ar 9. 19 76 19 77 19 78 19 79 19 80 19 81

. Grafik Perk dengan Produ

Rawai Tuna a

ngkapan SB kap rawai tu angkaian sej sanya meng dioperasika enanti umpa 19 82 19 83 19 84 19 85 19 86 kembangan P uksi SBT Dun

atau Tuna Lo

BT oleh una atau tun

jumlah panc operasikan an di laut le an dimakan 19 87 19 88 19 89 19 90 19 91 Tahun Produksi SBT nia (diolah da

onglines (DJP

nelayan I

na long line

cing yang d 1.000 - 2.00 epas atau p oleh ikan sa

19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 n

T (Ton) Indon ari CCSBT, 2

PT-DKP, 2006

Indonesia,

es. Alat tan dioperasikan 00 mata pan perairan sam asaran, sepe 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 Ind To nesia 2006) 6) umumnya ngkap tuna

sekaligus. ncing untuk mudera dan erti tampak 20 02 20 03 20 04 20 05 donesia otal Dunia


(34)

Gambar 10. Grafik Perbandingan Produksi SBT (Ton) Indonesia Tahun 2005 dengan Negara Produsen Lain (diolah dari CCSBT, 2006)

Cara kerja alat ini secara umum adalah pancing diturunkan ke perairan, lalu mesin kapal dimatikan. sehingga kapal dan alat tangkap akan hanyut mengikuti arah arus (drifting). Drifting berlangsung selama kurang lebih empat jam dan selanjutnya mata pancing diangkat kembali ke atas kapal. Untuk

mendukung kefektifan alat ini, umpan longline harus bersifat atraktif, misalnya

sisik ikan mengkilat, tahan di dalam air, dan tulang punggung kuat. Umpan dalam pengoperasian alat tangkap ini berfungsi sebagai alat pemikat ikan yang umumnya ikan pelagis kecil, seperti lemuru (Sardinella sp.), kembung (Rastrelliger sp.), dan bandeng (Chanos chanos).

3.3 Perkembangan Perdagangan Southern Bluefin Tuna

Jepang merupakan negara produsen sekaligus importir Southern Bluefin

Tuna (SBT) terbesar dunia. Jumlah produksi SBT Jepang mencapai sekitar 7.327

ton pada tahun 2005 atau sekitar 47% produksi SBT dunia. Negara kedua yang memiliki produksi terbesar adalah Australia dengan jumlah produksi mencapai sekitar 5.244 ton pada tahun 2005. Indonesia pada tahun yang sama berada pada urutan ketiga produsen tuna dengan jumlah produksi mencapai 1.799 ton atau 12% produk SBT dunia, seperti terlihat pada Gambar 10.

Australia 33,41%

Japan 46,68% New

Zealand 1,68% Korea*

0,24% Taiwan

6,00% Philippines

0,34% Indonesia 11,46% South

Africa 0,15%

Misc. 0,00% Other


(35)

 

Gambar 11. Grafik Kegiatan Impor SBT (kg) Jepang 2001 - 2005 (diolah dari data CCSBT, 2006)

Disisi lain, Jepang merupakan negara pengimpor SBT terbesar dunia seperti pada Gambar 11 dengan jumlah pada 2005 mencapai sekitar 10.320 ton. Impor tersebut bersumber dari ekspor beberapa negara, khususnya Australia dan Indonesia yang merupakan pengekspor terbesar SBT ke Jepang. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan Jepang untuk komoditi CCSBT sangat tinggi, sehingga kebutuhan tersebut tidak hanya dipenuhi melalui produksi industri perikanan SBT Jepang saja, tetapi juga dipenuhi melalui kegiatan impor SBT dari negara lain. Hingga saat ini, Jepang merupakan pangsa pasar SBT terbesar dunia.

Disamping Jepang, sepanjang 2002 – 2005 tercatat beberapa negara pengimpor SBT, seperti Korea Selatan, Amerika Serikat, Filipina, Hongkong, Singapura, Belgia, Cina, Italia, dan beberapa negara timur tengah. Berdasarkan catatan ekspor-impor SBT oleh CCSBT, jumlah total volume impor negara-negara tersebut ternyata masih di bawah jumlah impor SBT Jepang. Hal ini menunjukkan bahwa daya serap pasar SBT Jepang sangat tinggi, sehingga sebagian besar produksi SBT dunia dipasarkan ke Jepang. Perkembangan impor SBT Jepang dari 2002 – 2005 seperti tampak pada Tabel 4.

7.980.269

1.399.699

9.268.959

2.436.349

7.719.495

1.189.924

9.130.375

10.241 22.662 29.591 31.695 48.051 77.450 92.301

-1.000.000 2.000.000 3.000.000 4.000.000 5.000.000 6.000.000 7.000.000 8.000.000 9.000.000 10.000.000

2002 Jul-Dec 2003 Jan-Jun 2003 Jul-Dec 2004 Jan-Jun 2004 Jul-Dec 2005 Jan-Jun 2005 Jul-Dec

Jepang Lainnya


(36)

Gambar 12. Grafik Perbandingan Ekspor dan Produksi (kg) SBT Indonesia 2002 - 2005 (diolah dari data CCSBT, 2006)

Tabel 4. Negara Pengimpor dan Jumlah Impor Periode 2002 -2005 Negara

Pengimpor

Periode dan Volume Impor (kg) 2002

Jul-Dec

2003 Jan-Jun

2003 Jul-Dec

2004 Jan-Jun

2004 Jul-Dec

2005 Jan-Jun

2005 Jul-Dec

Jepang 7.980.269 1.399.699 9.268.959 2.436.349 7.719.495 1.189.924 9.130.375 AS 9.146 14.000 28.382 30.698 42.592 29.022 52.022 Korea Selatan 633 8.494 - 259 480 39.735 32.776 Hongkong 32 69 731 39 500 26 - Filipina 431 99 204 - - - - Lainnya - - 274 699 4.478 8.668 7.503

Sumber : Diolah dari data CCSBT (2007)

Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor SBT dunia disamping Australia, Taiwan, Selandia Baru dan beberapa negara lainnya. Perkembangan ekspor SBT Indonesia menunjukkan bahwa Jepang masih merupakan tujuan utama ekspor SBT Indonesia. Sepanjang 2001 – 2005 jumlah ekspor tertinggi terjadi pada tahun 2002 yang mencapai sekitar 217,21 ton SBT, seperti tampak pada Gambar 12. Bila angka produksi atau jumlah tangkap Indonesia dibandingkan dengan jumlah ekspornya, khususnya ekspor ke Jepang sebagai pangsa pasar utama, maka terlihat bahwa jumlah ekspor Indonesia masih di bawah jumlah produksinya. Kemungkinan sebagian besar produksi SBT Indonesia masih ditujukan untuk konsumsi dalam negeri atau kegiatan tersebut tidak tercatat.

147.984 217.212

74.427 40.372 60.257 1.631.741 1.690.673

564.340

676.892

1.798.862

0 200.000 400.000 600.000 800.000 1.000.000 1.200.000 1.400.000 1.600.000 1.800.000 2.000.000

2001 2002 2003 2004 2005


(37)

 

Gambar 13. Grafik Ekspor SBT (kg) Negara-negara Eksportir Utama ke Jepang Periode 2002 - 2005 (diolah dari data CCSBT, 2006)

Dibandingkan dengan beberapa negara eksportir lainnya seperti Australia, Taiwan dan Selandia baru, ekspor SBT Indonesia ke Jepang masih sangat rendah. Gambar 13 menunjukkan, sepanjang tahun 2002 – 2005, Australia adalah negara yang mendominasi pasar utama pengekspor SBT dengan jumlah ekspor tertinggi mencapai 9.046 ton pada tahun 2005. Negara-negara lain yang memanfaatkan pasar SBT Jepang seperti Taiwan dan Selandia Baru belum mampu menyaingi kemampuan ekspor SBT Australia. Jumlah ekspor tertinggi Taiwan dan Selandia Baru sepanjang 2002-2005 hanya mencapai 1.093 ton dan 344,6 ton yang terjadi pada tahun 2004.

3.4 Teori Ekonomi Sumberdaya Perikanan

Pengelolaan sumberdaya perikanan pada mulanya dimulai dengan

pendekatan faktor biologi yang umum dikenal dengan pendekatan maximum

sustainable yield (MSY). Menurut Fauzi (2004) inti pendekatan ini mengasumsikan bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga bila surplus tersebut dipanen (tidak lebih atau tidak kurang), maka stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable).

0 1.000.000 2.000.000 3.000.000 4.000.000 5.000.000 6.000.000 7.000.000 8.000.000 9.000.000 10.000.000

2002 2003 2004 2005

Ki

logr

am

Tahun

Indonesia Rep. Korea Selandia Baru Filipina Lainnya Taiwan Australia


(38)

Beberapa dekade, pendekatan MSY telah menjadi arus utama dalam pengelolaan sumberdaya ikan di banyak negara, meski berbagai kritik menunjukkan bahwa pendekatan MSY mengandung banyak kelemahan. Kelemahan mendasar pendekatan MSY diantaranya tidak mempertimbangkan aspek sosial ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Menurut Fauzi (2004) kritik pendekatan terhadap MSY dilontarkan lebih jauh oleh Concrad dan Clark (1987) dengan menyatakan pendekatan MSY:

1. Bersifat tidak stabil, karena perkiraan stok yang meleset dapat mengarah

pada pengurangan stok (stock depletion);

2. Konsep didasarkan pada pendekatan steady state (keseimbangan) semata,

sehingga tidak berlaku pada kondisi non-steady state;

3. Mengabaikan perhitungan nilai ekonomi terhadap stok ikan yang tidak

dipanen (imputed value);

4. Mengabaikan aspek interdepensi dari sumberdaya, dan

5. Sulit diterapkan pada kondisi perikanan yang memiliki cirri beragam jenis

(multispecies).

Penyempurnaan atas berbagai kelemahan pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan telah mulai dirintis dengan mendisain pengelolaan yang bertitiktolak pada pendekatan ekonomi. Salah satu pendekatan yang kemudian dikembangkan adalah pendekatan bioekonomi, yakni suatu pendekatan yang lahir dari persoalan yang paling mendasar dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan. Persoalan mendasar tersebut adalah mencari titik keseimbangan antara pemanfaatan ekonomi sumber daya ikan dengan keharusan untuk menjaga kelestariannya. Menjembatani kedua kepentingan tersebut, yakni kepentingan ekonomi dengan kepentingan konservasi (biologi) telah melahirkan pendekatan bioekonomi, yakni suatu pendekatan yang diperkenalkan pertama kali oleh Scout Gordon untuk menganalisis pengelolaan sumber daya ikan yang optimal.

Pendekatan bioekonomi diperlukan untuk menutupi kelemahan-kelemahan konsep MSY yang diperkenalkan oleh Schaefer pada 1954. Konsep MSY bertitiktolak pada pendekatan biologi semata, yakni tingkat panen sumber daya ikan pada batas MSY yang akan menjamin kelestarian sumber daya tersebut. Beberapa persoalan kemudian diabaikan dalam perhitungan MSY, dan menurut


(39)

 

Fauzi (2005), pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana biaya pemanenan ikan, bagaimana pertimbangan sosial ekonomi akibat pengelolaan sumber daya ikan serta bagaimana dengan nilai ekonomi terhadap sumber daya yang tidak dipanen atau intrinsic value (dibiarkan di laut).

Kekurangan-kekurangan pendekatan biologi ini melahirkan konsep

bioekonomi yang menempatkan aspek sosial dan ekonomi sebagai pertimbangan yang krusial dalam pengelolaan sumber daya ikan. Hal ini yang membedakan antara pendekatan biologi dengan bioekonomi. Menurut Fauzi (2005) pendekatan biologi bertujuan menciptakan pengelolaan untuk pertumbuhan biologi, sedangkan pendekatan bioekonomi bertujuan mengelola sumber daya ikan secara aspek ekonomi dengan kendala aspek-aspek biologi.

Pendekatan biologi dalam Konsep Schaefer menurut Anderson (1984) beranjak pada asumsi bahwa pertumbuhan biomass ikan mengikuti fungsi populasi. Pertumbuhan biomass tersebut dapat digambarkan melalui Kurva

Analisis Keseimbangan Populasi (Population Equilibrium Analysis) yang

ditunjukkan dengan garis x sebagai garis jumlah populasi dan garis y sebagai garis pertumbuhan per periode, seperti pada Gambar 14.

P2

P1

P*

E1 E2 E3

E/T Growth Curve

Gambar 14. Population Equilibrium Analysis (Anderson, 1984)

P1

A fE1

fE2

fE3

fE4

P2

F2fo

F3

Population (weight)

P3 P0 P*

F1fo

,

(weight)

0 Equilibrium

Population

Population Equilibrium Curve

a)


(40)

Gambar 14a menunjukkan bahwa pada tingkat populasi ikan sebesar P3

pertumbuhan biomass berada pada F3. Pada tingkat keseimbangan tersebut,

pertumbuhan biomass masih terus berlangsung atau mengalami pertumbuhan positif karena faktor mortalitas secara alamiah lebih kecil dari pertumbuhannya.

Pada tingkat P* pertumbuhan telah mencapai tingkat natural equilibrium

population atau tidak adanya pertumbuhan alamiah dari biomass. Kondisi ini biasanya ditunjukkan dengan laju pertumbuhan sama dengan nol dan tingkat populasi sesuai dengan carrying capacity.

Gambar 14b menunjukkan masukkan aktivitas manusia dalam bentuk

penangkapan (effort) terhadap biomass mengakibatkan penurunan jumlah

biomass. Pada tingkat effort sebesar E1 maka jumlah populasi biomas mengalami

penurunan menjadi P1. Diasumsikan dalam kurva tersebut, setiap penambahan 1

unit E akan menurunkan jumlah populasi P sebesar satu satuan. Hubungan antara populasi biomass (P) dengan kegiatan penangkapan (E) menurut Anderson (1984)

pada Gambar 14 sama dengan f0. Setiap kegiatan manusia dalam penangkapan

sebesar E1 unit maka catch menjadi f0 dan populasi biomass berada pada titik P1 dan jumlah tangkapan berada pada F1.

Hubungan antara jumlah tangkap (F) dengan effort (E) sebagai akibat

introduksi manusia melalui penangkapan dalam pertumbuhan biomass, dijelaskan Anderson (1984) seperti pada Gambar 15.

Maximum Sustainable Yield (MSY)

Average Sustainable Yield, F/E

Marginal Sustainable Yield, ∆F/∆E Catch by

Weight

E/T

E3

E2

E1

F1

F2

F3

Catch by Weight

Total Sustainable Yield Short-run Yield

for P3 Short-run Yield

for P2

E/T

Gambar 15. Kurva Sustainable Yield (Anderson, 1984)

a)


(41)

 

Garis total sustainable yield merupakan garis pertumbuhan populasi yang

menunjukkan daya dukung sumberdaya perikanan. Pada tingkat effort sebesar E1

pada garis tersebut, jumlah tangkap sebesar F1. Kenaikkan jumlah E dari E1 ke E2 akan menyebabkan kenaikkan jumlah F dari F1 ke F2. Kenaikkan tersebut diikuti

dengan kenaikkan sustainable yield, hingga penambahan effort yang terus

berlangsung akan mengurangi pertumbuhan jumlah populasi biomass (P).

Kondisi ini ditunjukkan dengan kenaikkan effort ke E3 dan catch ke F3

menyebabkan penurunan sustainable yield. Penurunan tersebut seperti pada

Gambar 15b, garis averagesustainable yield dan marginal sustainable yield yang

terus menurun. Titik marginal sustainable yield sama dengan nol pada Gambar

15 adalah titik maximum sustainable yield (MSY).

Konsep biologi tersebut, menurut Fauzi (2004), kemudian dikembangkan

oleh Gordon dengan menambah faktor ekonomi seperti harga dan biaya19. Faktor

tersebut ditambah dengan cara mengalikan harga dengan produksi lestari, maka akan diperoleh kurva penerimaan (TR = ph) dan mengalikan biaya persatuan input

dengan upaya (effort), sehingga diperoleh kurva total biaya (TC=cE) yang linier terhadap upaya. Penggabungan fungsi penerimaan dan fungsi biaya tersebut akan membentuk kurva Model Gordon-Schaefer.

Kurva Model Gordon-Schaefer menurut Anderson menunjukkan kondisi

open akses dan maksimum ekonomi yield dalam industri perikanan tangkap.

Kondisi open akses dan maksimum ekonomi yield ditunjukkan pada Gambar 16.

Keuntungan maksimum secara ekonomi (maximum economic yield) terjadi pada

titik E1, yakni ketika penerimaan total (revenue) penangkapan ikan lebih tinggi dari biaya total. Jika kondisi keuntungan maksimal ini dibiarkan tanpa regulasi

atau kendali (open access), maka mendorong bertambahnya pelaku industri

perikanan atau pelaku tersebut memperbesar kapasitas produksinya melalui penambahan jumlah effort.

      

19 Asumsi yang digunakan untuk menyusun model Gordon-Schaefer (Fauzi, 2004) adalah : a. Harga per satuan output, (Rp/kg) diasumsikan konstan atau kurva permintaan diasumsikan

elastik sempurna

b. Biaya per satuan upaya (c) dianggap konstan c. Spesies sumberdaya ikan bersifat tunggal d. Struktur pasar bersifat kompetitif

e. Hanya faktor penangkapan yang dihitung (tidak termasuk faktor pasca panen dan sebagainya)


(42)

Penambahan jumlah effort akan menggeser E hingga pada titik

keseimbangan open akses di E3. Keseimbangan open access akan terjadi jika

seluruh rente ekonomi terkuras habis (driven to zero), sehingga tidak ada lagi

insentif untuk entry maupun exit, dan tidak ada perubahan pada tingkat upaya.

Kondisi ini identik dengan ketidakadaan hak milik (property rights) pada

sumberdaya atau lebih tepat adalah ketidakadaan hak kepemilikan yang dikuatkan secara hukum (enforceable).

Pergeseran E pada titik E2 akibat bertambahnya pelaku atau kapasitas

industri menghasilkan tingkat produksi yang maksimal. Titik ini disebut

maximum sustainable yield (MSY), yakni suatu kondisi yang menghasilkan tingkat produksi yang tinggi dan lestari secara sumberdaya. Meski secara

produksi sangat tinggi dan secara sumberdaya lestari, namun total cost yang

dibutuhkan untuk mengeksploitasi sumberdaya tersebut lebih besar dibandingkan kondisi MEY. Oleh sebab itu MEY merupakan produksi maksimum secara ekonomi dan merupakan tingkat upaya optimal secara sosial (socially optimum).

Sudut pandang ilmu ekonomi, keseimbangan open access menimbulkan

mis-allocation sumberdaya, karena kelebihan faktor produksi (tenaga kerja dan modal) yang sebenarnya dapat dialokasikan untuk kegiatan produktif ekonomi

Total Cost

Maximum Profit

ARC

MRC

E2

E1

- $

$ E1 E2 E3 E/T

$

E/T

Gambar 16. Open Access and MaximumEconomic Yield (Anderson, 1984)

a)

b)

E3

MC - ARC


(43)

 

lainnya. Hal ini merupakan inti dari prediksi Gondon, bahwa perikanan yang

open access akan menimbulkan kondisi economic overfishing. Disisi lain, tingkat

upaya pada titik keseimbangan terlihat lebih conservative minded (lebih

bersahabat dengan lingkungan)20 dibandingkan dengan effort (Hannesson, 1993). Untuk mengetahui dampak ekonomi terhadap kondisi MEY maka dibutuhan analisis dampak ekonomi, yakni metodologi untuk menentukan sejauh mana perubahan-perubahan dalam peraturan, kebijakan, ataupun adanya penemuan teknologi yang baru, atau pengaruh perubahan pendapatan regional dan aktivitas ekonomi lainnya, dalam perubahan tingkat pendapatan, pengeluaran dan pekerjaan.

Langkah yang diperlukan untuk melakukan analisis dampak ekonomi terhadap kondisi MEY adalah menentukan nilai ekonomi dari suatu aktivitas perekonomian. Pengukuran-pengukuran yang dilakukan atas nilai ekonomi tersebut didasarkan pada aktivitas-aktivitas ekonomi. Pengukuran ini tidak dapat dilakukan berdasarkan nilai sosial ataupun hal-hal lain yang diangap bernilai bagi kehidupan seseorang Teknik untuk mengukur aktivitas ekonomi atau pasar tersebut secara umum disebut sebagai analisis dampak ekonomi.

Bila suatu kebijakan baru ditetapkan untuk suatu aktivitas ekonomi di wilayah tertentu. analisis dapak ekonomi akan mengukur dampak penetapan kebijakan tersebut pada rentetan dampak ekonomi. Asumsinya penetapan suatu kebijakan akan mendorong tersedianya lapangan kerja, pembelian atas produk-produk lokal, tersedianya layanan transportasi atau perkembangnya suatu aktivitas perekonomian.

Disisi lain dampak yang dapat timbul dari suatu kebijakan ekonomi adalah individu dan perusahaan akan meningkatkan daya beli mereka terhadap berbagai produk baru yang berkembang. Hal ini berarti setiap kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi akan menciptakan rentetan perubahan aktivitas ekonomi,

yakni perubahan tingkat pengeluaran (the new spending). Begitu pun bila suatu

kebijakan baru yang diterapkan dapat pula mendorong perubahan negatif dari pendapatan individu atau masyarakat.

      

20 Tingkat upaya yang dibutuhkan untuk mencapai titik optimal secara social (Eo) jauh lebih kecil disbanding yang dibutuhkan untuk mencapai titik MSY (EMSY)


(44)

Variabel-variabel yang akan digunakan untuk mengukur dampak ekonomi dalam perubahan regulasi penangkapan SBT di Samudera Hindia adalah

menentukan nilai Net Present Value (NPV) dan Internal Rate of Return (IRR).

Secara teori NPV menunjukkan tingkat diskonto pada tahun mendatang dan IRR menunjukkan tingkat kemampuan pengembalian investasi kegiatan ekonomi.

Penentuan nilai NPV dan IRR didasarkan pada asumsi tiga kondisi atau skenario yang mungkin menjadi pilihan kebijakan yang akan ditempuh Indonesia.

Ketiga skenario tersebut adalah (1) NVP dan IRR pada status observe atau

peninjau, dengan status bukan anggota; (2) NVP dan IRR pada status cooperating

non-member atau anggota tidak tetap dengan kewenangan terbatas; dan (3) NVP

dan IRR pada status member atau anggota penuh dengan kewenangan penuh.

Perhitungan NPV dan IRR pada ketiga skenario tersebut menjadi parameter untuk menentukan status yang paling menguntungkan bagi pengembangan industri SBT Indonesia.


(45)

 

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Bentuk dan Metode Penelitian

Penelitian Optimalisasi dan Strategi Pemanfaatan Southern Bluefin Tuna

di Samudera Hindia –Selatan Indonesia diarahkan pada upaya untuk mengungkapan suatu masalah atau keadaan sebagaimana adanya dan mengungkapkan fakta-fakta yang ada, walaupun kadang-kadang diberikan interprestasi atau analisis. Penelitian seperti ini dikategorikan sebagai penelitian deskriptif, yakni penelitian yang difokuskan untuk memberikan gambaran keadaan sebenarnya dari obyek yang diteliti (Tika, 2005).

Penelitian deskriptif membutuhkan pemanfaatan ataupun menciptakan konsep-konsep ilmiah, sekaligus berfungsi dalam mengadakan suatu spesifikasi mengenai gejala-gejala fisik maupun sosial yang dipersoalkan. Di samping itu, penelitian seperti ini harus mampu merumuskan dengan tepat apa yang ingin diteliti dan teknik penelitian yang akan digunakan dalam menganalisis suatu fenomena.

Umumnya penelitian deskriptif melibatkan suatu kasus sebagai obyek penelitiannya sehingga penelitian seperti ini disebut studi kasus. Pengertian studi kasus sendiri merupakan metode penelitian yang intensif, terintegrasi dan mendalam, sehingga setipa subyek yang diteliti terdiri dari unit atau satu kesatuan unit yang dipandang sebagai kasus. Studi kasus umumnya digunakan dalam rangka studi eksploratif, yakni studi untuk mengembangkan suatu hipotesis dan bukan studi dalam rangka menguji hipotesis (Tika, 2005).

Tujuan digunakannya studi kasus adalah mengembangkan pengetahuan yang mendalam mengenai obyek yang diteliti dan berarti studi kasus bersifat penelitian eksploratif. Tujuan dari penelitian eksploratif adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah dirumuskan terlebih dahulu atau mengembangkan hipotesis untuk penelitian selanjutnya. Untuk itu, penelitian ini perlu mencari hubungan antar gejala atau fenomena dalam rangka mengetahui bentuk hubungan yang terjadi.


(1)

0 11 12 13 14 15 Penerimaan

Produksi x harga domestik - 16,752,000,000.00 16,752,000,000.00 16,752,000,000.00 16,752,000,000.00 16,752,000,000.00 Ekspor (20 % dari produksi) 41,740,400,000.00 41,740,400,000.00 41,740,400,000.00 41,740,400,000.00 41,740,400,000.00 Total Penerimaan 58,492,400,000.00 58,492,400,000.00 58,492,400,000.00 58,492,400,000.00 58,492,400,000.00 Pengeluaran

Investasi (seluruh kapal Indonesia) 123,199,560,000.00

Biaya operasional 28,829,476.99 28,829,476.99 28,829,476.99 28,829,476.99 28,829,476.99 Biaya transaksi 1,000,000,000.00 1,000,000,000.00 1,000,000,000.00 1,000,000,000.00 1,000,000,000.00 Total pengeluaran 123,199,560,000.00 1,028,829,476.99 1,028,829,476.99 1,028,829,476.99 1,028,829,476.99 1,028,829,476.99 Rent ( R ) (123,199,560,000.00) 57,463,570,523.01 57,463,570,523.01 57,463,570,523.01 57,463,570,523.01 57,463,570,523.01 Present Value of Rent (PVR) (123,199,560,000.00) 20,140,630,910.73 18,309,664,464.30 16,645,149,513.00 15,131,954,102.73 13,756,321,911.57 Net Present Value (NPV) 366,020,209,212.50

IRR 43.02 Catatan :

Investasi per unit kapal 1,291,400,000.00

Jumlah kapal 636

Total Investasi 821,330,400,000.00 Investasi yang dibutuhkan untuk SBT 0.15 Produksi MEY (ton) 1,396.00 Ekspor 0.20 Harga rata-rata di pasar internasional (/kg) 14.95 Kurs 10,000.00 harga rata-rata di pasar domestik (/kg) 15,000.00 Biaya operasional 192,196,513.25 Biaya operasional untuk SBT 0.15 Discount rate initial point 0.10

Discount factor 1.00 0.35 0.32 0.29 0.26 0.24 Discount rate 1 0.33

Discount factor 1.00 0.04 0.03 0.02 0.02 0.01 PVR 1 (123,199,560,000.00) 2,494,735,786.32 1,875,741,192.72 1,410,331,723.85 1,060,399,792.37 797,293,076.97

NPV 50,351,913,574.58

Discount rate 2 0.34

Discount factor 1.00 0.04 0.03 0.02 0.02 0.01 PVR 2 (123,199,560,000.00) 2,297,416,974.59 1,714,490,279.54 1,279,470,357.87 954,828,625.27 712,558,675.58

NPV 2 45,325,856,674.73


(2)

Lampiran 12. Lanjutan

0 16 17 18 19 20

Penerimaan

Produksi x harga domestik - 16,752,000,000.00 16,752,000,000.00 16,752,000,000.00 16,752,000,000.00 16,752,000,000.00 Ekspor (20 % dari produksi) 41,740,400,000.00 41,740,400,000.00 41,740,400,000.00 41,740,400,000.00 41,740,400,000.00 Total Penerimaan 58,492,400,000.00 58,492,400,000.00 58,492,400,000.00 58,492,400,000.00 58,492,400,000.00 Pengeluaran

Investasi (seluruh kapal Indonesia) 123,199,560,000.00

Biaya operasional 28,829,476.99 28,829,476.99 28,829,476.99 28,829,476.99 28,829,476.99 Biaya transaksi 1,000,000,000.00 1,000,000,000.00 1,000,000,000.00 1,000,000,000.00 1,000,000,000.00 Total pengeluaran 123,199,560,000.00 1,028,829,476.99 1,028,829,476.99 1,028,829,476.99 1,028,829,476.99 1,028,829,476.99 Rent ( R ) (123,199,560,000.00) 57,463,570,523.01 57,463,570,523.01 57,463,570,523.01 57,463,570,523.01 57,463,570,523.01 Present Value of Rent (PVR) (123,199,560,000.00) 12,505,747,192.34 11,368,861,083.94 10,335,328,258.13 9,395,752,961.94 8,541,593,601.76 Net Present Value (NPV) 366,020,209,212.50

IRR 43.02 Catatan :

Investasi per unit kapal 1,291,400,000.00

Jumlah kapal 636

Total Investasi 821,330,400,000.00 Investasi yang dibutuhkan untuk SBT 0.15 Produksi MEY (ton) 1,396.00

Ekspor 0.20 Harga rata-rata di pasar internasional (/kg) 14.95 Kurs 10,000.00 harga rata-rata di pasar domestik (/kg) 15,000.00 Biaya operasional 192,196,513.25 Biaya operasional untuk SBT 0.15 Discount rate initial point 0.10

Discount factor 1.00 0.22 0.20 0.18 0.16 0.15 Discount rate 1 0.33

Discount factor 1.00 0.01 0.01 0.01 0.00 0.00 PVR 1 (123,199,560,000.00) 599,468,478.92 450,728,179.64 338,893,368.15 254,807,043.72 191,584,243.40

NPV 50,351,913,574.58

Discount rate 2 0.34

Discount factor 1.00 0.01 0.01 0.01 0.00 0.00 PVR 2 (123,199,560,000.00) 531,760,205.66 396,835,974.37 296,146,249.53 221,004,663.83 164,928,853.60

NPV 2 45,325,856,674.73

Tahun Keterangan


(3)

produksi)

0 1 2 3 4 5

Penerimaan

Produksi x harga domestik - 14,658,000,000.00 14,658,000,000.00 14,658,000,000.00 14,658,000,000.00 14,658,000,000.00 Ekspor (30 % dari produksi) 62,610,600,000.00 62,610,600,000.00 62,610,600,000.00 62,610,600,000.00 62,610,600,000.00 Total Penerimaan 77,268,600,000.00 77,268,600,000.00 77,268,600,000.00 77,268,600,000.00 77,268,600,000.00 Pengeluaran

Investasi (seluruh kapal Indonesia) 123,199,560,000.00

Biaya operasional 28,829,476.99 28,829,476.99 28,829,476.99 28,829,476.99 28,829,476.99 Biaya transaksi 1,000,000,000.00 1,000,000,000.00 1,000,000,000.00 1,000,000,000.00 1,000,000,000.00 Total pengeluaran 123,199,560,000.00 1,028,829,476.99 1,028,829,476.99 1,028,829,476.99 1,028,829,476.99 1,028,829,476.99 Rent ( R ) (123,199,560,000.00) 76,239,770,523.01 76,239,770,523.01 76,239,770,523.01 76,239,770,523.01 76,239,770,523.01 Present Value of Rent (PVR) (123,199,560,000.00) 69,308,882,293.65 63,008,074,812.41 57,280,068,011.28 52,072,789,101.16 47,338,899,182.87 Net Present Value (NPV) 525,872,584,327.43

IRR 57.03 Catatan :

Investasi per unit kapal 1,291,400,000.00

Jumlah kapal 636

Total Investasi 821,330,400,000.00 Investasi yang dibutuhkan untuk SBT 0.15 Produksi MEY (ton) 1,396.00

Ekspor 0.30 Harga rata-rata di pasar internasional (/kg 14.95

Kurs 10,000.00

harga rata-rata di pasar domestik (/kg) 15,000.00 Biaya operasional 192,196,513.25 Biaya operasional untuk SBT 0.15 Discount rate initial point 0.10

Discount factor 1.00 0.91 0.83 0.75 0.68 0.62 Discount rate 1 0.44

Discount factor 1.00 0.69 0.48 0.33 0.23 0.16 PVR 1 (123,199,560,000.00) 52,944,285,085.42 36,766,864,642.66 25,532,544,890.73 17,730,933,951.90 12,313,148,577.71

NPV 49,954,755,165.60

Discount rate 2 0.45

Discount factor 1.00 0.69 0.48 0.33 0.23 0.16 PVR 2 (123,199,560,000.00) 52,579,152,084.84 36,261,484,196.44 25,007,920,135.47 17,246,841,472.74 11,894,373,429.48

NPV 2 46,121,781,095.20


(4)

Lampiran 13. Lanjutan

0 6 7 8 9 10

Penerimaan

Produksi x harga domestik - 14,658,000,000.00 14,658,000,000.00 14,658,000,000.00 14,658,000,000.00 14,658,000,000.00 Ekspor (30 % dari produksi) 62,610,600,000.00 62,610,600,000.00 62,610,600,000.00 62,610,600,000.00 62,610,600,000.00 Total Penerimaan 77,268,600,000.00 77,268,600,000.00 77,268,600,000.00 77,268,600,000.00 77,268,600,000.00 Pengeluaran

Investasi (seluruh kapal Indonesia) 123,199,560,000.00

Biaya operasional 28,829,476.99 28,829,476.99 28,829,476.99 28,829,476.99 28,829,476.99 Biaya transaksi 1,000,000,000.00 1,000,000,000.00 1,000,000,000.00 1,000,000,000.00 1,000,000,000.00 Total pengeluaran 123,199,560,000.00 1,028,829,476.99 1,028,829,476.99 1,028,829,476.99 1,028,829,476.99 1,028,829,476.99 Rent ( R ) (123,199,560,000.00) 76,239,770,523.01 76,239,770,523.01 76,239,770,523.01 76,239,770,523.01 76,239,770,523.01 Present Value of Rent (PVR) (123,199,560,000.00) 43,035,362,893.52 39,123,057,175.93 35,566,415,614.48 32,333,105,104.07 29,393,731,912.79 Net Present Value (NPV) 525,872,584,327.43

IRR 57.03 Catatan :

Investasi per unit kapal 1,291,400,000.00

Jumlah kapal 636

Total Investasi 821,330,400,000.00 Investasi yang dibutuhkan untuk SBT 0.15 Produksi MEY (ton) 1,396.00 Ekspor 0.30 Harga rata-rata di pasar internasional (/kg) 14.95 Kurs 10,000.00 harga rata-rata di pasar domestik (/kg) 15,000.00 Biaya operasional 192,196,513.25 Biaya operasional untuk SBT 0.15 Discount rate initial point 0.10

Discount factor 1.00 0.56 0.51 0.47 0.42 0.39 Discount rate 1 0.44

Discount factor 1.00 0.11 0.08 0.05 0.04 0.03 PVR 1 (123,199,560,000.00) 8,550,797,623.41 5,938,053,905.14 4,123,648,545.24 2,863,644,823.08 1,988,642,238.25

NPV 49,954,755,165.60

Discount rate 2 0.45

Discount factor 1.00 0.11 0.07 0.05 0.04 0.02 PVR 2 (123,199,560,000.00) 8,203,016,158.26 5,657,252,522.94 3,901,553,464.10 2,690,726,526.96 1,855,673,466.87

NPV 2 46,121,781,095.20


(5)

0 11 12 13 14 15 Penerimaan

Produksi x harga domestik - 14,658,000,000.00 14,658,000,000.00 14,658,000,000.00 14,658,000,000.00 14,658,000,000.00 Ekspor (30 % dari produksi) 62,610,600,000.00 62,610,600,000.00 62,610,600,000.00 62,610,600,000.00 62,610,600,000.00 Total Penerimaan 77,268,600,000.00 77,268,600,000.00 77,268,600,000.00 77,268,600,000.00 77,268,600,000.00 Pengeluaran

Investasi (seluruh kapal Indonesia) 123,199,560,000.00

Biaya operasional 28,829,476.99 28,829,476.99 28,829,476.99 28,829,476.99 28,829,476.99 Biaya transaksi 1,000,000,000.00 1,000,000,000.00 1,000,000,000.00 1,000,000,000.00 1,000,000,000.00 Total pengeluaran 123,199,560,000.00 1,028,829,476.99 1,028,829,476.99 1,028,829,476.99 1,028,829,476.99 1,028,829,476.99 Rent ( R ) (123,199,560,000.00) 76,239,770,523.01 76,239,770,523.01 76,239,770,523.01 76,239,770,523.01 76,239,770,523.01 Present Value of Rent (PVR) (123,199,560,000.00) 26,721,574,466.18 24,292,340,423.80 22,083,945,839.82 20,076,314,399.83 18,251,194,908.94 Net Present Value (NPV) 525,872,584,327.43

IRR 57.03 Catatan :

Investasi per unit kapal 1,291,400,000.00

Jumlah kapal 636

Total Investasi 821,330,400,000.00 Investasi yang dibutuhkan untuk SBT 0.15 Produksi MEY (ton) 1,396.00

Ekspor 0.30 Harga rata-rata di pasar internasional (/kg) 14.95 Kurs 10,000.00 harga rata-rata di pasar domestik (/kg) 15,000.00 Biaya operasional 192,196,513.25 Biaya operasional untuk SBT 0.15 Discount rate initial point 0.10

Discount factor 1.00 0.35 0.32 0.29 0.26 0.24 Discount rate 1 0.44

Discount factor 1.00 0.02 0.01 0.01 0.01 0.00 PVR 1 (123,199,560,000.00) 1,381,001,554.34 959,028,857.18 665,992,261.93 462,494,626.34 321,176,823.85

NPV 49,954,755,165.60

Discount rate 2 0.45

Discount factor 1.00 0.02 0.01 0.01 0.01 0.00 PVR 2 (123,199,560,000.00) 1,279,774,804.74 882,603,313.61 608,691,940.42 419,787,545.12 289,508,651.81

NPV 2 46,121,781,095.20


(6)

Lampiran 13. Lanjutan

0 16 17 18 19 20

Penerimaan

Produksi x harga domestik - 14,658,000,000.00 14,658,000,000.00 14,658,000,000.00 14,658,000,000.00 14,658,000,000.00 Ekspor (30 % dari produksi) 62,610,600,000.00 62,610,600,000.00 62,610,600,000.00 62,610,600,000.00 62,610,600,000.00 Total Penerimaan 77,268,600,000.00 77,268,600,000.00 77,268,600,000.00 77,268,600,000.00 77,268,600,000.00 Pengeluaran

Investasi (seluruh kapal Indonesia) 123,199,560,000.00

Biaya operasional 28,829,476.99 28,829,476.99 28,829,476.99 28,829,476.99 28,829,476.99 Biaya transaksi 1,000,000,000.00 1,000,000,000.00 1,000,000,000.00 1,000,000,000.00 1,000,000,000.00 Total pengeluaran 123,199,560,000.00 1,028,829,476.99 1,028,829,476.99 1,028,829,476.99 1,028,829,476.99 1,028,829,476.99 Rent ( R ) (123,199,560,000.00) 76,239,770,523.01 76,239,770,523.01 76,239,770,523.01 76,239,770,523.01 76,239,770,523.01 Present Value of Rent (PVR) (123,199,560,000.00) 16,591,995,371.76 15,083,632,156.15 13,712,392,869.23 12,465,811,699.30 11,332,556,090.27 Net Present Value (NPV) 525,872,584,327.43

IRR 57.03 Catatan :

Investasi per unit kapal 1,291,400,000.00

Jumlah kapal 636

Total Investasi 821,330,400,000.00 Investasi yang dibutuhkan untuk SBT 0.15 Produksi MEY (ton) 1,396.00 Ekspor 0.30 Harga rata-rata di pasar internasional (/kg) 14.95 Kurs 10,000.00 harga rata-rata di pasar domestik (/kg) 15,000.00 Biaya operasional 192,196,513.25 Biaya operasional untuk SBT 0.15 Discount rate initial point 0.10

Discount factor 1.00 0.22 0.20 0.18 0.16 0.15 Discount rate 1 0.44

Discount factor 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 PVR 1 (123,199,560,000.00) 223,039,461.01 154,888,514.59 107,561,468.46 74,695,464.21 51,871,850.15

NPV 49,954,755,165.60

Discount rate 2 0.45

Discount factor 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 PVR 2 (123,199,560,000.00) 199,661,139.18 137,697,337.36 94,963,680.94 65,492,193.75 45,167,030.17

NPV 2 46,121,781,095.20

Tahun Keterangan