Pengembangan Immunostrip dengan Menggunakan Partikel Nano Emas untuk Melacak Aflatoksin M1 dalam Contoh Susu

PENGEMBANGAN IMMUNOSTRIP DENGAN
MENGGUNAKAN PARTIKEL NANO EMAS UNTUK
MELACAK AFLATOKSIN M1 DALAM CONTOH SUSU

ANGRIANI FUSVITA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengembangan Immunostrip
dengan Menggunakan Partikel Nano Emas untuk Melacak Aflatoksin M1 dalam
Contoh Susu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015

Angriani Fusvita
NIM B253120021

RINGKASAN
ANGRIANI FUSVITA. Pengembangan Immunostrip dengan Menggunakan
Partikel Nano Emas untuk Melacak Aflatoksin M1 dalam Contoh Susu.
Dibimbing oleh EKO SUGENG PRIBADI dan ROMSYAH MARYAM.
Aflatoksin M1 (AFM1) merupakan metabolit hasil hidroksilasi aflatoksin
B1 (AFB1). Ketika hewan ruminansia diberi pakan yang mengandung AFB1, maka
AFB1 akan termetabolisme menjadi AFM1. AFM1 bersifat toksik akut dan kronis
untuk hewan dan manusia. Metabolit aflatoksin tersebut menyebabkan penyakit
berbahaya, diantaranya kerusakan hati akut, sirosis hati, memicu pertumbuhan
tumor dan juga teratogen. Meskipun toksisitas AFM1 lebih rendah dibandingkan
senyawa induknya AFB1, tetapi senyawa ini juga bersifat karsinogenik sehingga
pada tahun 2002 telah diklasifikasikan sebagai karsinogen grup 1 oleh
International Agency for Research on Cancer (IARC). AFM1 ini dapat termakan
oleh manusia, terutama bayi dan anak-anak melalui susu segar, susu pasteurisasi,

susu UHT, susu formula, dan air susu ibu (ASI). Mengingat bahaya AFM1
terhadap kesehatan, maka melacak keberadaan AFM1 dalam susu dan hasil
olahannya sangat diperlukan untuk mencegah dampaknya pada masyarakat.
Teknik melacak yang digunakan berperan penting dalam menentukan aman
tidaknya susu dan hasil olahannya untuk dimakan. Penelitian ini dilakukan untuk
mengembangkan teknik penapisan awal dengan memurnikan antibodi, sintesis
antigen AFM1-BSA, konjugasi antibodi AFM1-partikel nano emas, serta uji mutu
immunostrip yang dikembangkan untuk melacak AFM1 pada contoh susu.
Kegiatan penelitian yang dilakukan meliputi pemurnian antibodi dari
serum kelinci, sintesis antigen AFM1-BSA, pembuatan konjugat anti AFM1
dengan partikel nano emas, pengembangan dan uji mutu immunostrip. Antibodi
yang digunakan merupakan antibodi poliklonal milik Balai Besar Penelitian
Veteriner (BB LITVET) yang diperoleh dari serum kelinci yang diimunisasi
dengan AFM1-BSA. Antibodi terhadap AFM1 diuji dengan teknik DBIA.
Antibodi poliklonal dimurnikan melalui pengendapan menggunakan ammonium
sulfat jenuh, kemudian dialisis dan difraksinasi menggunakan kolom HiTrap
protein A HP. Kadar antibodi dihitung menggunakan spektrofotometer pada
panjang gelombang 280 nm dan antibodi G (Ig G) dikarakterisasi menggunakan
teknik SDS-PAGE. Selanjutnya, Ig G dikonjugasikan dengan partikel nano emas
(AuNP). Antigen AFM1-BSA disintesis dengan cara mereaksikan AFM1 baku dan

BSA melalui reaksi dengan CMO sebagai reaksi penghubung. Seluruh pereaksi
yang terdiri dari antigen AFM1-BSA, konjugat anti AFM1-AuNP dan Ig G
kambing anti-Ig G kelinci diterapkan pada bahan strip dan ditentukan kondisi
optimumnya. Pengujian mutu immunostrip dan pelacakan AFM1 dilakukan
menggunakan immunostrip yang dikembangkan dan dibandingkan dengan
immunostrip komersial (Agrastrip®). Contoh susu yang digunakan pada
percobaan ini sebanyak 19 contoh terdiri dari 15 contoh susu murni, lima contoh
susu komersial impor dan empat contoh susu yang ditambahkan dengan 0 – 1
ng/ml AFM1 baku.
Hasil uji DBIA menunjukkan adanya reaksi khas antara antigen AFM1-BSA
dengan antibodi terhadap AFM1-BSA dalam serum kelinci yang terlihat dengan
terbentuknya noktah berwarna coklat setelah penambahan substrat DAB. Hasil

fraksinasi menunjukkan bahwa antibodi tersebut merupakan antibodi G (Ig G)
dengan rantai berat dan memiliki berat molekul 150 kDa dan 168,993 kDa. Ig G
yang dikonjugasikan dengan AuNP adalah fraksi ke-3 dengan kadar 1,952 mg/ml.
Kondisi optimum untuk konjugasi antibodi AFM1 dengan AuNP terjadi pada pH
8,5 dan penambahan 135 µl Ig G ke dalam 100 µl AuNP (0,01M), warna yang
dihasilkan sama dengan atau mendekati warna larutan AuNP sebelum direaksikan.
Kandungan antibodi dan AuNP pada kondisi optimum tersebut selanjutnya

digunakan sebagai dasar untuk reaksi konjugasi dengan volume yang lebih
banyak, sehingga dihasilkan endapan berwarna merah keunguan setelah larutan
konjugat disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 g selama 10 menit pada suhu
empat derajat Celcius. Antigen sebanyak 3,66 mg/ml diperoleh dari hasil sintesis
AFM1-BSA. Berdasarkan hasil uji mutu, diketahui bahwa immunostrip yang
dikembangkan dapat melacak AFM1 dengan batas terendah sebesar 0,25 ng/ml.
Hasil pengujian 19 contoh susu dengan immunostrip tersebut memiliki tingkat
kepekaan lebih rendah, namun memiliki tingkat kekhususan lebih tinggi dan
waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan Agrastrip®.
Kata-kata kunci: immunostrip, partikel nano emas, aflatoksin M1, susu

SUMMARY
ANGRIANI FUSVITA. Development of Immunostrip Using Nano Gold Particles
for Aflatoxin M1 Detection in Milk Samples. Supervised by EKO SUGENG
PRIBADI and ROMSYAH MARYAM.
Aflatoxin M1 (AFM1) is a hidroxyilated metabolite of aflatoxin B1 (AFB1)
when AFB1-contaminated ratio consumed by ruminants. The metabolite will be
found in milk. AFM1 have acute and chronic toxic properties for animal and
human health and causes liver cancer, liver cirrhosis, and teratogenic. In 2002,
the International Agency for Research on Cancer (IARC) classified AFM1 as

Carcinogens Group I. Human may be intoxicated by AFM1 when consume AFM1contaminated milk and milk products, such as pasteurized milk, UHT milk, milk
formula, and breast milk. Concerning the toxicity of AFM1, AFM1-contaminated
fresh milk and milk products should be controlled importantly by farmers and
milk producers. The research aimed to develop immunostrip using nano gold
particles as a AFM1 screening detector in milk samples.
The research activities were conducted to purify polyclonal antibodies in
immunized rabbits serum belong to Indonesian Research Center for Veterinary
Sciences (BB LITVET), synthesized immunogenic AFM1 to BSA, and conjugated
anti-AFM1 to nanogold particles, tested the immunostrip quality, and compared
the immunostrip and commercial test strip (Agrastrip®) qualities. Polyclonal
antibodies (Ig) used in the study belongs to the (BB LITVET) . The AFM1-BSA
antibodies checked using DBIA and the reaction will be indicated by brown
colour dot after drop dimetilaminobenzin (DAB) subtrate. The antibodies purified
by ammonium sulfate precipitation technique, was dialyzed and fractinated using
HiTrap protein A HP column. Antibody concentration was measured by
spektrophotometer at 280 nm and was characterized by SDS-PAGE method. The
Ig G was conjugated to nanogold particle (AuNP). The immunogenic AFM1-BSA
was produced by synthesized AFM1 to BSA using CMO as intermediate reactions.
The samples which were used in this experiment were 19 milk samples consisted
of 15 local fresh milk samples, five imported milk samples, and four AFM1 spiked

samples at concentration levels of 0-1 ng/ml. .
The polyclonal antibodies to antigen AFM1-BSA was detected. Antibody
purification and fractination have been obtained the immunoglobulin with
concentration level of 1.952 mg/ml (n=3). Using SDS-PAGE, the polyclonal
antibodies were immunoglobulin G (Ig G) arranged by heavy chain with
molecular weight of 150 kDa and 168.993 kDa. Antigen concentration of AFM1BSA synthesis were 3.66 mg/ml. The maximum composition for Ig G - nanogold
particles conjugation were 135 µl of Ig G and 100 µl of nanogold particles
(0.01M) at pH 8.5. Based on these result, a maximum concentration has been
formulated after centrifugated by 10.000 g for 10 minutes. The AFM1-BSA
synthesis obtained antigen of 3.66 mg/ml. The quality test showed the developed
immunostrips were detected AFM1 with limit detection of 0.25 ng/ml. The
experiment tests of 19 milk samples showed the developed immunostrips was
lower sensitiviy, more specificity and shorter preparation time than Agrastrip®.
Keywords: immunostrip, nanogold particles, aflatoxin M1, milk

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGEMBANGAN IMMUNOSTRIP DENGAN
MENGGUNAKAN PARTIKEL NANO EMAS UNTUK
MELACAK AFLATOKSIN M1 DALAM CONTOH SUSU

ANGRIANI FUSVITA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Mikrobiologi Medik

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Drh. Fachriyan H. Pasaribu

Judul Tesis :Pengembangan Immunostrip dengan Menggunakan Partikel Nano
Emas untuk Melacak Aflatoksin M1 dalam Contoh Susu
Nama
: Angriani Fusvita
NIM
: B253120021

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Drh. Eko S. Pribadi, MS.
Ketua

Dr. Dra. Romsyah Maryam,M.Med.Sc.
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Mikrobiologi Medik

Prof. Dr. Drh. Fachriyan H. Pasaribu

Tanggal Ujian:

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2013 – November 2014 ini ialah
Pengembangan immunostrip dengan Menggunakan Partikel Nano Emas untuk Melacak

Aflatoksin M1 dalam Contoh Susu.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Drh. Eko Sugeng Pribadi, MS.
dan Ibu Dr. Dra. Romsyah Maryam, M.Med.Sc. yang telah banyak memberi saran dan
masukan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Drh.
Fachriyan Hasmi Pasaribu selaku Ketua Program Studi Mikrobiologi Medik
Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Terima kasih kepada Kepala Balai Besar
Penelitian, Bapak Dr. Drh. Hardiman, MM., yang telah memberikan kesempatan untuk
penelitian di BB LITVET. Terima kasih untuk Ketua Kelti dan Staf serta teknisi Lab.
Toksikologi Balai Besar Veteriner Bogor. Terima kasih untuk teman seperjuangan
dalam penelitian, Drh. Ita Krisanti, atas bantuan dan dorongan semangat selama ini.
Terima kasih kepada teman-teman MKM 2012 dan Forum Wacana Sultra. Semoga
silaturrahim kita tetap terjalin. Ungkapan terima kasih juga saya sampaikan kepada
Ayahanda Sudin, SKM. dan Ibunda Aswati Dakunde yang telah memberikan do’a dan
dukungannya. Terima kasih untuk Adik-adikku Muhammad Fitrawan, ST. dan Nur
Fatma Sari yang memberikan motivasi dan semangat, serta untuk teman kos pondok
sholehah Neng Erlita, Setya Indra P.P., S.Kel., Suwarny Ruhi, S.Si., Drh. Murniati,
Rosyunita, S.Si., dan Evi Nur Qolbaini, S.Pd., M.Si. yang telah mendukung selama
penulis menyelesaikan pendidikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, Januari 2015

Angriani Fusvita

v

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
Hipotesis

1
1
2
2
2
2
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Cendawan Penghasil Aflatoksin
Aflatoksin M1
Antibodi dan Antigen
Partikel Nano Emas (AuNP)
Immunostrip

3
3
4
6
7
8

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan
Alat
Metode Penelitian
Analisis Data

9
9
9
10
10
13

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Keberadaan Antibodi (Ig) Poliklonal
Pemurnian dan Penghitungan Kadar Ig-AFM1
Karakterisasi Antibodi G (Ig G)
Konjugasi Ig G dengan Partikel Nano Emas
Sintesis AFM1-BSA
Pengujian Mutu Immunostrip
Pelacakan AFM1 pada Susu Menggunakan Immunostrip

13
13
14
15
16
17
19
20

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

22
22
22

6 DAFTAR PUSTAKA

23

LAMPIRAN

27

RIWAYAT HIDUP

33

vi

DAFTAR TABEL
Tabel 1 Batas maksimum aflatoksin M1 di beberapa negara
Tabel 2 Angka absorbansi dan kadar Ig G pada setiap fraksi serum kelinci
yang diimunisasi dengan AFM1
Tabel 3 Konjugasi Ig G dengan partikel nano emas
Tabel 4 Hasil pengukuran spektrofotometer BSA baku dan
antigen AFM1- BSA
Tabel 5 Analisis AFM1 pada susu menggunakan strip yang
dikembangkan dengan Agrastrip®
Tabel 6 Perbandingan mutu strip yang dikembangkan dengan
Agrastrip® pada pengukuran contoh susu
Tabel 7 Kesesuaian hasil pengujian dengan menggunakan
strip yang dikembangkan dengan Agrastrip®

5

5

15
17

15
17

18

18

21

21

21

21

22 22

DAFTAR GAMBAR
Morfologi Aspergillus sp
Struktur kimia aflatoksin AFM1
Jalur biotransformasi AFB1 oleh enzim sitokrom P-450
Struktur Antibodi
Hubungan Antibodi dan Antigen
Ragam warna koloid partikel nano emas (AuNP)
Komponen strip LFIA
Ig poliklonal dengan uji DBIA
Pola grafik fraksinasi Ig G dari serum kelinci pada kolom
HiTrap Protein A HP
Gambar 10 Karakterisasi antibodi poliklonal yang diperoleh dengan
penyuntikan AFM1 pada kelinci
Gambar 11 Konjugasi Ig G dengan AuNP
Gambar 12 Reaksi pengikatan antibodi dengan AuNP
Gambar 13 Persiapan konjugat AFM1-CMO dengan BSA
Gambar 14 Pelacakan pembentukan AFM1-CMO menggunakan
kromatografi lapis tipis
Gambar 15 Kurva BSA baku dalam antigen AFM1-BSA
Gambar 16 Hasil pengujian batas minimal melacak AFM1
menggunakan kadar AFM1 baku
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3
Gambar 4
Gambar 5
Gambar 6
Gambar 7
Gambar 8
Gambar 9

3
4
5
6
7
8
9
14
15

3
4
5
6
7
8
9
14
15

16
16 17
17 17
17
18
18
18
19
20

18
19
20

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran

1
2
3
4
5
6
7
8
9

Perhitungan kepekaan dan kekhususan
Perhitungan retention factor (Rf)
Konstruksi immunostrip
Pengujian Statistik kappa
Pemurnian dan penghitungan kadar antibodi poliklonal
SDS-PAGE
Konjugasi Ig G dengan partikel nano emas (AuNP)
Konjugasi AFM1-CMO
Penyiapan contoh uji

27
27
27
28
29
30
31
31
32

27
27
27
28
29
30
31
31
32

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia yang beriklim tropis merupakan tempat yang sangat mendukung untuk
pertumbuhan cendawan. Cendawan menyebar luas secara geografis dan bisa bersifat
menguntungkan maupun merugikan bergantung pada substrat yang digunakan (Abbas
2005). Kapang Aspergillus flavus, A.parasiticus dan A.nomius menghasilkan aflatoksin
yang mencemari tanaman dan hasil olahannya (Habibipour et al. 2010). Aflatoksin
adalah jenis mikotoksin yang paling beracun diantara mikotoksin lainnya (Gorran et al.
2012). A.flavus hanya menghasilkan aflatoksin B, sedangkan A.parasiticus dan A.
nomius menghasilkan aflatoksin B dan G (Creepy 2002;Tekinsen dan Tekinsen 2005).
Aflatoksin M1 (AFM1) merupakan hasil hidroksilasi aflatoksin B1 (AFB1). Ketika
hewan ruminansia diberi pakan yang mengandung AFB1, maka toksin tersebut diubah
menjadi AFM1 yang banyak ditemukan pada hasil peternakan, terutama susu. Dengan
demikian, kadar AFM1 dalam susu dan hasil olahannya tergantung pada tingkat paparan
dan jumlah AFB1 yang tertelan (Pei et al. 2009). AFB1 dan AFM1 bersifat toksik akut
dan kronis untuk hewan dan manusia dan dapat menyebabkan penyakit berbahaya,
diantaranya kerusakan hati akut, sirosis hati, memicu pertumbuhan tumor dan juga
teratogen (Deshpande 2002). AFB1 dikenal sebagai hepatokarsinogen paling kuat pada
mamalia (Virdis et al. 2008). Meskipun toksisitas AFM1 kurang dari senyawa induknya
AFB1, akan tetapi senyawa ini juga bersifat hepatotoksik dan karsinogenik (Lee et al.
2009). Berdasarkan sifat toksisitasnya, awalnya AFM1 diklasifikasikan sebagai
karsinogen grup 2B pada manusia, tetapi pada tahun 2002 diklasifikasikan sebagai
karsinogen grup1 (IARC 1993; IARC 2002). Manusia dapat terpapar oleh AFM1
terutama bayi dan anak-anak, melalui susu segar, susu pasteurisasi, susu UHT, susu
formula bahkan air susu ibu (Abdulrazzaq et al. 2003; Galvano et al. 2005; Widiastuti
et al. 2006).
Mengingat bahaya AFM1 terhadap kesehatan, maka melacak keberadaan AFM1 di
dalam susu dan hasil olahannya sangat diperlukan untuk mencegah dampaknya pada
masyarakat. Teknik melacak yang digunakan berperan penting dalam menentukan aman
tidaknya susu dan hasil olahannya untuk dimakan. Oleh karena itu, dibutuhkan teknik
penapisan awal untuk melacak keberadaan AFM1 yang cepat, akurat dan mudah
digunakan. Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk melacak AFM1 adalah
penggunaan immunostrip. Immunostrip merupakan perangkat melacak berupa teknik
imunokromatografi yang berbasis pada prinsip immunoasai yang membutuhkan antigen,
antibodi, dan pelacak (Darwish 2006; Liu et al. 2013). Immunostrip menggunakan
partikel nano emas (gold nano particle) yang dapat melacak zat yang memiliki berat
molekul rendah. Proses pelacakan terjadi melalui perpindahan contoh uji yang bereaksi
dengan konjugat antibodi (Ig) dan partikel nano emas, yang selanjutnya akan bersaing
dengan antigen AFM1-BSA pada zona uji yang akan menghasilkan warna. Metode
immunostrip ini lebih efisien dalam hal penggunaan bahan kimia, mudah digunakan,
tidak membutuhkan peralatan dan keterampilan yang khusus (Liu et al. 2013).

2

Perumusan Masalah
Kanker hati merupakan penyakit kanker dengan urutan keenam di dunia dan
tingkat kejadiannya yang tinggi, sekitar 82% dari 600.000 kasus baru setiap tahunnya
(Parkin et. al. 2005; Paulin et al. 2011). Pang et al. (1974) melaporkan adanya 10 kasus
penderita kanker hati primer di Jakarta dari hasil tes urin dan biopsi hati penderita
ditemukan aflatoksin G1 (AFG1) dan AFM1. Hal ini disebabkan karena penderita
mempunyai kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung AFB1 dan AFG1.
Oleh karena itu, diperlukan pengembangan teknik melacak yang peka, cepat dan
ekonomis untuk digunakan sebagai teknik penapisan awal dalam upaya mencegah
terjadinya intoksikosis AFM1 pada manusia yang mengkonsumsi susu dan hasil
olahannya.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan teknik penapisan awal dengan
memurnikan antibodi, sintesis antigen AFM1-BSA, konjugasi antibodi AFM1- partikel
nano emas, serta uji mutu immunostrip yang dikembangkan untuk melacak AFM1 pada
contoh susu.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan immunostrip yang
menggunakan partikel nano emas untuk dimanfaatkan sebagai alat penapisan awal
melacak AFM1 dalam susu sehingga dapat memberikan informasi secara cepat kepada
industri pengolahan susu dan konsumen tentang keamanan susu yang dikonsumsi.
Ruang Lingkup Penelitian
Pada penelitian ini dilakukan serangkaian kegiatan yaitu respon antibodi
terhadap AFM1 diuji dengan teknik dot blot Immunoassay (DBIA). Antibodi poliklonal
dimurnikan melalui pengendapan dengan menggunakan ammonium sulfat jenuh,
kemudian dialisis dan difraksinasi menggunakan kolom HiTrap protein A HP. Kadar
antibodi dihitung dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 280
nm dan antibodi G (Ig G) dikarakterisasi menggunakan teknik sodium dodecyl sulfate
polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE). Selanjutnya, Ig G dikonjugasikan
dengan partikel nano emas (AuNP). Antigen AFM1-albumin serum sapi (bovine serum
albumin, BSA) disintesis dengan mereaksikan AFM1 baku dan bovine serum albumin
(BSA) melalui reaksi carboxymethyloxime (CMO) sebagai reaksi penghubung. Seluruh
pereaksi yang terdiri dari antigen AFM1-BSA, konjugat anti AFM1-partikel nano emas,
Ig G kambing anti- Ig G kelinci diterapkan pada bahan strip dan ditentukan kondisi
optimumnya. Pengujian mutu immunostrip dan pelacakan AFM1 dilakukan dengan
menggunakan immunostrip yang dikembangkan dan dibandingkan dengan immunostrip
komersial (Agrastrip®).

3

Hipotesis

H0
H1

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah
: teknik immunostrip dengan partikel nano emas dapat melacak keberadaan AFM1
pada contoh susu dan hasil olahannya.
: teknik immunostrip dengan partikel nano emas tidak dapat melacak keberadaan
AFM1 pada contoh susu segar dan hasil olahannya.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Cendawan Penghasil Aflatoksin
Cendawan terbagi atas dua golongan, yaitu kapang (mold) dan khamir (yeast).
Kapang merupakan jasad renik yang terdiri dari banyak sel bergabung menjadi satu
(multiseluler). Inilah yang membedakannya dari bakteri dan khamir yang uniseluler
(Syarief et al. 2003). Salah satunya adalah genus Aspergillus sp yang struktur
mikroskopiknya memiliki hifa bersepta (bersekat) dan bercabang. Aspergillus sp.
memiliki struktur konidia berbentuk oval, semi bulat, atau bulat dalam rantaian yang
melekat pada fialida (sel konidiogenus) di bagian ujung konidiofor yang mengalami
pembengkakan (vesikel). Fialida dapat melekat langsung pada vesikel (tipe uniseriat)
atau pada struktur metula (tipe biseriat) (Samson et al. 2004). Secara makroskopik,
warna koloni Aspergillus sp. beragam, seperti berwarna kuning, hijau, putih, coklat, dan
hitam (Ilyas 2006).

Gambar 1 Morfologi Aspergillus sp. (Aryantha et al. 2004).
Kapang A. flavus, A. parasiticus dan A. nomius dikenal sebagai kapang
aflatoksigenik (Gorran et al. 2012; Laura et al. 2011). Kapang penghasil aflatoksin
banyak ditemukan di berbagai negara beriklim panas dan memiliki kelembaban tinggi.
A. flavus menghasilkan aflatoksin B. A. parasiticus dan A. nomius dapat menghasilkan
aflatoksin B dan G dan memiliki penyebaran yang lebih terbatas (Syarief et al. 2003).
Aflatoksin dapat mencemari berbagai bahan pangan, seperti jagung, beras, gandum,

4

kacang-kacangan (almond, kacang tanah), kopra dan susu (Syarief et al. 2003;
Rachmawati 2005). Komoditi pertanian yang sering digunakan sebagai bahan baku
pakan ternak, seperti bungkil jagung, bungkil kacang tanah, kopra, bungkil kelapa dan
biji kapas, dinilai rentan tercemari aflatoksin (Rachmawati 2005). Kerugian akibat
pencemaran kapang dan aflatoksin merupakan masalah utama yang menyebabkan
komiditi pertanian banyak rusak secara fisik. Kerusakan fisik komiditi tersebut terjadi
oleh peningkatan pertumbuhan dan populasi kapang sehingga warna, bentuk, dan bau
mengalami perubahan kandungan kimiawi (Rachmawati et al. 2004). Aflatoksin
menimbulkan risiko serius bagi kesehatan manusia dan hewan (CEC 2006).
Aflatoksin M1
Mikotoksin AFM1 memiliki rumus kimia C17H1207 dengan berat molekul 328
Dalton. Mikotoksin ini menghasilkan warna fluoresensi biru lempeng kromatografi lapis
tipis yang disinari dengan UV, memiliki titik lebur 299 oC dan ratention factor (Rf) =
0,40 (Syarief et al. 2003).

Gambar 2 Struktur kimia aflatoksin AFM1 (Li et al. 2009).
Pembentukan AFM1 terjadi di hati dan disekresikan menjadi susu oleh sapi perah.
AFB1 sekali dicerna oleh mamalia dengan cepat diserap oleh saluran pencernaan dan
muncul sebagai metabolit AFM1 dalam darah setelah 15 menit (Moschini et al.2007; Pei
et al. 2009). Jadi, ketika mamalia diberi makan dengan pakan yang mengandung AFB1,
maka akan diubah menjadi AFM1. Tingkat perubahan AFB1 tertelan untuk AFM1 sangat
beragam di antara spesies hewan, seperti dalam kisaran 0,5 sampai 5% , dan 6% pada
sapi perah. Asupan harian ≥ 70 mg pada sapi yang teridiri dari kacang-kacangan dan
biji kapas yang tercemar mikotoksin memberikan tingkat AFM1 dalam susu lebih besar
dari batas yang diterima (Sangdokmai et al. 2011). Paparan AFM1 pada tingkat
nanogram per hari terjadi terutama melalui minum susu yang tercemar AFM1.
Pencemaran AFM1 pada susu dapat membahayakan kesehatan manusia yang
mengkonsumsinya (IARC 2002).
Jalur biotransformasi AFB1 dimetabolisir oleh sitokrom P-450 yang padanya
terjadi proses epoksidasi untuk membentuk radikal, yakni AFB1-8,9-epoxide (AFB1epoksida). AFB1-epoxide kovalen mengikat untaian DNA dan membentuk AFB1-DNA
adduct. Metabolit terhidroksilasi dan disekresikan dalam bentuk metabolit AFP1, AFM1,
dan bentuk tak jenuh lainnya dalam posisi 8,9 (Xia et al. 2013).

5

Gambar 3 Jalur biotransformasi AFB1 oleh enzim sitokrom P-450 (Xia et al. 2013).
Aflatoksin M pertama kali ditemukan pada susu sehingga diberi nama aflatoksin
M yang berasal dari kata milk. Aflatoksin M1 merupakan turunan dari 4-hidroksi
aflatoksin B1 dan Aflatoksin M2 merupakan turunan dari 4-dihidroksi aflatoksin B2
(Syarief et al. 2003; Yu 2012). Aflatoksin M1 memiliki sifat yang stabil pada
pemanasan pasteurisasi dan pensucihamaan (Prandini et al. 2009). AFM1 bersifat
termotoleran sehingga pemanasan mencapai 200 oC belum mampu menghilangkan
kandungan aflatoksin (Syarief et al. 2003). Sifat fisik seperti ini muncul karena
aflatoksin merupakan senyawa yang tersusun atas kumarin dan cincin furan rangkap dua
(Li et al. 2009).
Susu merupakan minuman paling digemari masyarakat di berbagai negara,
termasuk di Indonesia. Laporan tercemarnya AFM1 dalam susu di Indonesia sangat
terbatas. Nuryono et al. (2009) melaporkan 100% contoh susu segar yang diperiksa dari
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mengandung AFM1, Namun kadar cemarannya
masih rendah, yakni rata-rata 0,00853 ng/ml dan tidak ada contoh yang melampaui
batas maksimum yang ditetapkan oleh Uni Eropa sebesar 0,05 ng/ml. Adanya cemaran
AFM1 pada susu dan produk olahannya, walaupun dalam kadar rendah, menimbulkan
risiko bagi kesehatan masyarakat yang mengkonsumsinya, terutama anak-anak
(Sangdokmai et al. 2011). Batas maksimum AFM1 di beberapa negara tertera pada
Tabel 1.
Tabel 1. Batas maksimum AFM1 di beberapa negara)
Negara
Hasil olahan pangan
Susu segar, susu pasteurisasi, dan
Uni Eropa
hasil olahannya
Amerika serikat
Susu
China
Susu dan hasil olahannya
Brazil
Susu cair
Paraguay
Susu bubuk
Afrika Selatan
Susu
Indonesia
Susu dan hasil olahannya
Keterangan: * = (FAO 2004); **= (BPOM 2009).

AFM1 (µg/kg)
0,05*
0,5*
0,5*
0,5*
5,0*
0,05*
0,5**

6

Antibodi dan Antigen
Antibodi merupakan protein globulin yang dikenal sebagai immunoglobulin
(Ig). Immunoglobulin berfungsi mengikat antigen dan mengantarkannya ke sistem
efektor pemusnahan. Immunoglobulin dibentuk oleh sel plasma berasal dari proliferasi
sel B yang terjadi setelah kontak dengan antigen. Semua molekul immunoglobulin
mempunyai empat rantai polipeptida dasar yang terdiri atas dua rantai berat (heavy
chain) dan dua rantai ringan (light chain) identik seperti yang terpapar pada Gambar 4.
Setiap rantai ringan dihubungkan dengan rantai berat melalui ikatan disulfida (S-S)
(Radji 2010; Baratawidjaja dan Rengganis 2012).

Gambar 4 Struktur antibodi (Burmester dan Pezzutto 2003).
Ada dua jenis rantai ringan, yakni kappa dan lambda, yang tersusun atas 230
asam amino dan lima jenis rantai berat yang tersusun atas 450-600 asam amino
sehingga berat dan panjang rantai berat tersebut dua kali rantai ringan. Immunoglobulin
terdiri dari lima kelas, yakni Ig M, Ig G, Ig E, Ig A dan Ig D. Rantai berat
(Baratawidjaja dan Rengganis 2012).
Antibodi adalah bahan biologik yang digunakan untuk immunoassai. Ada tiga
kelompok antibodi berdasarkan cara menghasilkannya, yaitu antibodi poliklonal
antibodi monoklonal dan antibodi rekombinan. Antibodi poliklonal dihasilkan dari
proses immunisasi dengan antigen. Antigen aflatoksin yang telah disintesis dengan
protein pembawa digunakan untuk menghasilkan antibodi poliklonal pada hewan coba.
Hewan coba yang sering digunakan untuk menghasilkan antibodi poliklonal,
diantaranya kelinci, hamster, marmut, kuda, domba, kambing dan ayam. Antibodi
poliklonal terhadap aflatoksin yang biasa dihasilkan adalah antibodi poliklonal terhadap
aflatoksin B1, aflatoksin M1 dan aflatoksin G1 (Koivunen dan Krogsrud, 2006; Li et al.
2009). Antibodi monoklonal dihasilkan dari hibridoma positif yang dihasilkan dengan
cara menggabungkan sel myeloma dengan sel-sel limfa tikus yang diimmunisasi.
Antibodi monoklonal hanya memiliki satu jenis struktur yang dapat mengikat molekul.
Antibodi rekombinan dihasilkan tanpa hewan coba karena dihasilkan dari gen
fungsional yang dapat dikloning dan disisipkan ke dalam sel prokariotik atau eukariotik
(Li et al. 2009).
Antigen adalah benda asing yang masuk ke tubuh dan dapat merangsang tubuh
menghasilkan antibodi. Pada umumnya antigen mempunyai berat molekul lebih dari 10
kDa, walaupun beberapa antigen memiliki berat molekul rendah dibawah 10 kDa yang

7

disebut hapten. Antigen lengkap adalah antigen yang merangsang tanggap kebal dan
bereaksi dengan hasilnya. Sedangkan antigen tidak lengkap atau hapten hanya dapat
menginduksi tanggap kebal setelah terlebih dahulu berikatan dengan molekul besar.
Namun hapten dapat bereaksi dengan hasilnya (Radji 2010; Baratawidjaja dan
Rengganis 2012). Protein pembawa yang digunakan untuk merangsang tanggap kebal
hewan agar dapat menghasilkan antibodi anti-aflatoksin, diantaranya bovine serum
albumin (BSA), Ovalbumin (Ova) dan keyhole limpet hemocyanin (KLH) (Rachmawati
2005; Wang et al. 2011; Liu et al. 2013).
Hubungan antara antibodi dan antigen dapat diibaratkan seperti kunci dan
gemboknya. Setiap antibodi spesifik berikatan dengan antigen tertentu seperti yang
tertera pada Gambar 5. Setiap ujung dari “Y” antibodi mengandung paratop (strukturnya
seperti gembok) yang bersifat spesifik untuk suatu epitop atau antigen determinan
(bentuknya seperti kunci), yaitu suatu bagian dari antigen yang secara langsung
berikatan dengan antibodi. Jadi, kedua bagian ini berikatan bersama secara tepat.

Gambar 5 Hubungan antibodi dan antigen (Perez 2015)
Partikel Nano Emas (AuNP)
Partikel nano emas (AuNP) merupakan partikel yang memiliki ukuran dalam
skala nanometer (10-9 m), yaitu antara 1-100 nm. Pertikel nano memiliki sifat yang unik,
baik mekanik, elektrik, optik, katalitik maupun magnetiknya, dibandingkan dengan
unsurnya dalam skala makro. Partikel nano tidak hanya canggih secara struktur namun
juga secara fungsinya (Tabrizi et al. 2009). Bentuk makro emas memiliki kemampuan
menghantarkan panas dan listrik yang lebih baik dibandingkan tembaga atau perak.
Emas berada pada deret teratas potensial elektrokimia, yaitu +1,5 volt yang
menunjukkan bahwa emas memiliki tahanan korosi yang tertinggi (Wardah 2012).
Partikel nano emas (AuNP) dapat disintesis melalui dua cara, yaitu fisika (top down)
dan kimiawi (bottom up) (Abdullah 2009). Partikel nano emas (AuNP) dibuat secara
fisika melalui peleburan batangan emas sampai berukuran nanometer. Sedangkan AuNP
dibuat secara kimiawi melalui reduksi partikel nano dari prekursor molekular atau ionik
logamnya. Hasil reduksi ion logam menghasilkan partikel-partikel logam yang terurai
dalam fasa cair. Oleh karena itu, partikel nano dikenal juga sebagai koloid (Wardah
2012). Rohiman et al. (2014) memaparkan bahwa AuNP memiliki sifat unik yang
ditandai dengan warna koloid yang beragam dari merah sampai ungu sesuai dengan
ukuran partikelnya seperti yang terpapar pada Gambar 6. Partikel nano emas (AuNP)
sangat menarik perhatian bidang analisis dan biomedikal karena sifat sintesisnya, area
permukaan spesifik yang luas, stabilitas kimia yang tinggi, biokompatibilitas baik,

8

kemampuan menghantarkan panas dengan baik, bersifat optik, penerapan katalitik dan
afinitas tinggi untuk mengikat molekul amina atau molekul yang mengandung tiol (Cao
et al. 2011).

Gambar 6 Ragam warna koloid partikel nano emas (AuNP) (Nanocomposix 2015)
Saat ini, AuNP sedang menjadi perhatian serius untuk penerapan di bidang
teknologi nano, elektronik nano, dan bioelektronik nano. Pembuatan label/konjugat
untuk antibodi pun juga menggunakan AuNP sehingga meningkatkan peluang kepastian
ikatan antara antibodi dan antigen.
Immunostrip
Immunostrip adalah alat yang cukup peka dan tepat untuk digunakan sebagai
penapisan. Immunostrip dapat dijadikan sebagai perangkat melacak dengan
menggunakan teknik imunokromatografi. Teknik ini dapat melacak ada atau tidaknya
analit sasaran dalam suatu contoh yang diperiksa berdasarkan reaksi kapilaritas.
Immunostrip biasanya menggunakan matriks membran nitroselulosa (Ijeh 2011).
Perangkat ini sudah banyak diterapkan di bidang klinis, industri pertanian, industri
makanan, dan laboratorium pertahanan biologi dan lingkungan. Sejumlah penyakit
menular sudah dapat dilacak menggunakan immunostrip, seperti human
immunodeficiency virus (HIV), sifilis, chikungunya. hepatitis B dan E.
Immunostrip dapat melacak aflatoksin dengan berbagai metode dan salah
satunya adalah dengan metode kompetitif tidak langsung yang terpapar pada Gambar 7.
Komponen-komponen immunostrip terdiri dari
a. bantalan contoh (sample pad), yaitu bantalan penyerap untuk contoh uji yang akan
diperiksa
b. bantalan konjugat (conjugated pad), yaitu bantalan yang mengandung antibodi
khusus untuk menangkap analit sasaran, biasanya berkonjugasi dengan partikel
nano emas.
c. membran reaksi, yaitu membran untuk reaksi immunologik yang terbuat dari
nitroselulosa. Bagian ini terdiri dari zona uji mengandung antigen yang disintesis
dengan BSA dan zona kendali yang mengandung antibodi spesifik.
d. bantalan penyerap (absorbent pad), yaitu bantalan yang berfungsi untuk menyerap
contoh uji di seluruh membran reaksi dengan daya kapiler.

9

Gambar 7 Komponen strip LFIA (Li et al. 2009)

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2013 sampai November 2014
di Laboratorium Toksikologi dan Mikologi, Balai Besar Penelitian Veteriner
Kementerian Pertanian Republik Indonesia (BB LITVET) Jl. RE. Martadinata Bogor,
Jawa Barat.
Bahan
Bahan yang digunakan adalah air suling , phosphate buffer saline (PBS), Bovine
Serum Albumin (BSA), Ig G kambing anti- Ig G kelinci enzim konjugat horseradish
peroxidase (HRP), 3,3 dimetilaminobenzidin (DAB), disodium tetraborate (borax),
sukrosa, sodium azide (N2N3), AFM1 baku dalam acetonitril dibuat oleh romer labs
Austria, tween 20, triss-HCL, koloida emas (gold colloidal) (Fitzgerald®),
Acrylamide/Bis, N,N,N’,N’-tetrametilenadiamina (TEMED), hidrogen peroksida
(H202), amonium persulfat ((NH4)2S2O8), asam sitrat (C6H8O7), sodium fosfat (Na3PO4),
ammonium sulfat ((NH4)2SO4), membran nitroselulosa (NC) ukuran pori 5 µm
(Germany), silika gel 60 F254 Merck KgaA (Germany), penanda (Pharmacia Biotech),
barium klorida (BaCl2), carboxymethoxylamine (CMO), carbodiimide (EDC), tweentris-casein (TTC), N hydroxysuccinimide (NHS), N’N Dimethylformamide (DMF),
metanol (MeOH), kloroform (CHCL3), Coomassie blue, NaCl, piridin, Agrastrip®.

10

Alat
Alat yang digunakan adalah pipet mikro (eppendorf), spektrofotometri UV Vis
DMS 80, lemari pendingin (SHARP®), kolom HiTrap Protein A HP (Amersham
pharmacia biotech), Hitachi Micro Ultracentrifuge CS150NX, vortex mixer, hot plate,
kantong dialisis MEMBRA-CEL® MD10 14 x 100 CLR, erlenmeyer, alat kocok
(shaker), labu ukur, tabung eppendorf, mini vertical slab gel/ Biorad Laboratories,
tabung reaksi, gelas ukur, Rotavapor, magnet pengaduk (magnetic stirrer), lemari
pendingin (refrigerator) dan inkubator.
Metode Penelitian
Antibodi (Ig) Poliklonal
Antibodi (Ig) poliklonal yang digunakan adalah antibodi milik BB LITVET.
Hewan coba kelinci yang digunakan untuk menghasilkan Ig poliklonal mendapatkan
jadwal dan metode immunisasi yang sama seperti yang dijelaskan oleh Wang et al.
(2011). Kelinci disuntik 250 µg konjugasi AFM1- Bovine Serum Albumin (BSA) dalam
satu mililiter 0,01 M phosphat buffer saline (PBS) yang dicampur dengan satu mililiter
Freund Complete Adjuvant (FCA) secara intradermal di sekitar 30 tempat di tubuhnya.
Penyuntikan ke-2 untuk tujuan mendorong kerja antigen dilakukan secara subkutan di
empat tempat di paha kelinci. Contoh darah dikumpulkan setiap bulan yang diambil
melalui pembuluh darah vena dari telinga kelinci dalam jangka waktu sepuluh hari
setelah penyuntikan ke-2. Serum dipisahkan dan selanjutnya dilakukan pengujian
keberadaan Ig poliklonal menggunakan teknik dot blot immunoassay.
Pengujian Keberadaan Antibodi (Ig) Poliklonal
Antigen AFM1-BSA diencerkan dengan perbandingan 1:200 menggunakan
larutan penyangga karbonat-bikarbonat pH 9,6. Sebanyak dua mikroliter suspensi
antigen diteteskan di atas permukaan membran nitroselulosa pada titik kendali positif
dan titik kendali negatif, setelah itu mengeringkannya pada suhu 30 oC. Membran
nitroselulosa yang mendapatkan tetesan direndam dalam larutan tween-tris-casein 0,2%
(TTC) selama satu jam dan kemudian dicuci dengan larutan PBS 0,01M (pH 7,4) yang
mengandung 1% Tween-20 (PBS-T). Kemudian, membran dikeringkan kembali pada
suhu 30 oC. Sebanyak dua mikroliter antibodi AFM1-BSA, yang terlebih dahulu
diencerkan dengan perbandingan 1:100 dalam PBS, diteteskan ke membran
nitroselulosa pada titik kendali positif, sedangkan pada titik kendali negatif hanya
diteteskan dua mikroliter larutan PBS. Membran nitroselulosa dikeringkan dan dicuci
kembali sebanyak tiga kali dengan PBS-T. Sebanyak dua mikroliter Ig G kambing antiIg G kelinci enzim konjugat HRP (1:20.000) diteteskan di membran nitroselulosa dan
dicuci kembali sebanyak tiga kali menggunakan PBS-T. Membran nitroselulosa yang
telah mendapatkan antigen dan antibodi tersebut direndam dalam larutan substrat DAB
yang ditambahkan hidrogen peroksida (H202) dan dalam rentang waktu 3-5 menit
hingga muncul warna coklat pada titik kendali positif. Membran nitroselulosa
dikeringkan pada suhu 30 oC.

11

Pemurnian dan Penghitungan Kadar Antibodi
Pemurnian Ig poliklonal dilakukan dengan teknik dialisis dan fraksinasi
menggunakan kolom HiTrap Protein A HP (Amersham Biosciences). Serum yang telah
diendapkan dengan ammonium sulfat jenuh dimasukkan ke kantong dialisis dan
direndam selama tiga hari di dalam PBS pH 7,6 pada suhu empat derajat Celcius.
Larutan penyangga diganti setiap hari hingga tidak terdapat lagi ion sulfat di dalam
larutan PBS terakhir yang diganti. Pemeriksaan ion sulfat dilakukan dengan cara
menambahkan larutan barium klorida (BaCl2) 5%. Apabila larutan PBS yang
ditambahkan larutan BaCl2 5% menjadi bening, hal ini menandakan tidak ada lagi ion
sulfat.
Proses fraksinasi dilakukan menggunakan kolom HiTrap Protein A HP. Kolom
diisi dengan 25 ml larutan penyangga fosfat dan membilas kembali dengan 50 ml
larutan penyangga fosfat. Sebanyak dua mililiter larutan antibodi yang telah didialisis
dimasukkan ke dalam kolom dan kemudian ditambahkan 8,0 ml larutan penyangga
fosfat ke dalam kolom yang sama. Kolom yang sama dicuci dengan 35 ml larutan
penyangga fosfat. Antibodi dielusi dengan 20 ml larutan penyangga sitrat dan sebanyak
dua mililiter fraksi ditampung ke dalam botol penampung berisi larutan penyangga trisHCL. Kadar antibodi (Ig G) yang telah dimurnikan dari tiap-tiap fraksi diukur dengan
spektrofotometer UV Vis pada panjang gelombang 280 nm dan dihitung menggunakan
rumus
Kadar Ig G = Absorbansi 280 x faktor pengenceran
1,35
(Garg 2008).
Karakterisasi Antibodi G (Ig G)
Keberadaan Ig G dilacak dengan menggunakan teknik sodium dodecyl sulfate
polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE). Teknik ini dilakukan dengan
membuat jel pemisah (separating gel) menggunakan 12 % jel yang terdiri dari 3,34 ml
air suling, 2,5 ml Tris-HCl 1,5 M (pH 8,8), 0,1 ml SDS stock 10% (w/v) , dan 4,0 ml
Acrylamide/Bis (30%, 2,67%). Selanjutnya, ditambahkan 0,06 ml larutan amonium
persulfat (10%) dan 10 μl N,N,N’,N’- tetrametilenadiamina (TEMED). Stacking gel 4,5
% terdiri dari 2,95 ml air suling, 1,25 ml Tris-HCl 0,5 M (pH 6,8), 0,05 ml SDS 10%
(w/v) , 0,7 ml Acrylamide/Bis (30%, 2,67%), menambahkan amonium persulfat 0,05 ml
(10%) dan 0,008 ml TEMED. Stacking gel dituangkan di atas jel pemisah dan
mendiamkannya selama 30 menit agar terjadi polimerisasi. Antibodi dan penanda
(molecular weight markers) dipanaskan selama lima menit dan memasukkannya
masing-masing sebanyak 0,03 ml ke dalam sumur pada stacking gel. Proses
elektroforesis vertikal dilakukan pada 140 volt selama 45 menit (Mini vertical slab
gel/Biorad Laboratories). Setelah waktu tercapai, jel diangkat dan diwarnai dengan
pewarnaan coomassie blue G250 selama dua jam sambil menggoyang-goyangkannya
secara perlahan. Kemudian jel diangkat dan dihilangkan warnanya menggunakan
larutan penyangga penghilang warna (destaining buffer) hingga terlihat pemisahan pitapita yang jelas pada jel.

12

Konjugasi Ig G dengan Partikel Nano Emas (AuNP)
Kondisi optimum untuk konjugasi antibodi AFM1 dengan partikel nano emas
(AuNP) terjadi pada pH 8,5 dan penambahan 135 µl Ig G ke dalam 100 µl AuNP
(0,01M) sampai warna yang dihasilkan sama dengan atau mendekati warna larutan
AuNP sebelum direaksikan. Kandungan antibodi dan AuNP pada kondisi optimum
tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk reaksi konjugasi dengan jumlah
yang lebih banyak. Sebanyak 8,1 ml antibodi Ig G anti AFM1 dengan kadar 1,952
mg/ml dikonjugasikan ke dalam enam mililiter koloida emas (gold colloidal)
(Fitzgerald®) pada titik isoelektrik dari antibodi yang digunakan. Antibodi akan terikat
dengan partikel koloida emas pada sisi Fragment crytalizable (Fc). Selanjutnya
menambahkan 720 µl BSA 10% pada tabung eppendorf dan mengocoknya selama satu
jam dan mensentrifugasinya selama 45 menit dengan kecepatan 10.000 g pada suhu
empat derajat Celcius. Mengambil pelet dan membuang supernatannya. Kemudian
menambahkan 600 µl larutan penyangga borat pH 7,2 yang berisi 1% BSA, 1% sukrosa
dan 0,05% sodium azide. AuNP yang telah terkonjugasi dengan antibodi anti AFM 1
disimpan pada suhu empat derajat Celcius.
Sintesis AFM1- BSA
Pemeriksaan sintesis AFM1-BSA dilakukan menggunakan metode yang
dikembangkan oleh Wang et al. (2011). 0,5 mg AFM1 ditambahkan 1,5 mg
carboxymethoxylamine (CMO) dan dilarutkan dengan larutan reflux (satu mililiter
piridin, empat mililiter metanol, satu mililiter air suling). Kemudian diaduk selama dua
setengah jam menggunakan magnet pengaduk dan diinkubasi semalaman di suhu 30 oC.
Setelah itu dikeringkan dan diputar dengan alat rotavavor sampai mendapatkan satu
mililiter. Konjugasi AFM1-CMO di teteskan pada silika jel untuk diamati dengan
kromatografi lapis tipis (KLT) pada panjang gelombang 365 nm. Pengerukan pada jel
silika di titik retention factor (Rf) = 0,4 dan kemudian dilarutkan dalam kloroform serta
disentrifugasi pada kecepatan 4000 rpm. Supernatan diambil dan dimasukkan pada vial
untuk dikeringkan. Vial berisi AFM1-CMO yang telah dikeringkan ditambah dengan
0,1 g carbodiimide (EDC), 0,08 g N hydroxysuccinimide (NHS), dua mililiter N’N
Dimethylformamide (DMF) dan diaduk dengan magnetik stirer selama 2 jam pada suhu
30 oC. Setelah itu ditambahkan 0,15 g BSA dan satu mililiter natrium bikarbonat 0,1 M
pH 8,3. Selanjutnya campuran reaksi dalam botol didialisis menggunakan larutan PBS
selama 72 jam dengan dua kali pertukaran larutan penyangga. Setelah proses dialisis
selesai, campuran dikumpulkan untuk diukur menggunakan spektrofotometer UV Vis
pada panjang gelombang 280 nm. Rumus untuk mengetahui nilai Rf dengan
menggunakan rumus
Rf = jarak yang ditempuh oleh senyawa
jarak yang ditempuh oleh pelarut
(Fauziyah 2012).

13

Pelacakan AFM1 Menggunakan Immunostrip
Kertas yang digunakan untuk pembuatan immunostrip adalah membran
nitroselulosa atau kertas saring Whatman Fusion 5 (Kolosova et al. 2007; Shim et al.
2009). Strip imunokhromatografi terdiri dari tiga bantalan, yakni bantalan contoh,
bantalan konjugat, dan bantalan penyerap; dan satu membran nitroselulosa (membran
reaksi) dengan zona uji dan zona kendali. Sebanyak 0,5 ml AFM1-BSA (3,66 mg/ml)
dan 1,0 ml Ig G kambing anti- Ig G kelinci (0,5 mg/ml) diteteskan di titik zona uji dan
kendali di membran nitroselulosa. Contoh susu yang akan diperiksa diteteskan ke
bantalan contoh dan dibiarkan selama 10-15 menit. Percobaan ini dilakukan juga
dengan menggunakan AFM1 baku dengan kadar 0 – 5 ng/ml yang diterapkan pada
immunostrip.
Pengujian mutu Immunostrip
Melacak AFM1 pada contoh susu diawali dengan memasukkan 10 ml contoh susu
ke tabung sentrifus dan disentrifugasi pada suhu 10 oC selama 10 menit dengan
kecepatan 3.000 g. Lapisan lemak dibuang dan lapisan jernih diteteskan pada
immunostrip (Habibipour et al. 2010). Hasil pelacakan dengan immunostrip yang
dikembangkan ini akan dibandingkan dengan immunostrip komersial, Agrastrip®
dengan melihat parameter tingkat kepekaan (sensitivitas) dan kekhususan (spesifisitas).
Pengujian selanjutnya dilakukan dengan statistik kappa terhadap dua uji yang
dilakukan. Contoh uji yang digunakan dalam pengujian ini adalah 15 contoh susu
murni, lima contoh susu komersil impor dan empat contoh susu yang diimbuhi dengan
0-1 ng/ml AFM1 baku. Penghitungan kepekaan dan kekhususan dilakukan
menggunakan rumus
Kepekaan

=

proporsi hasil uji positif
total hasil contoh yang diperiksa

Kekhusuan = proporsi hasil uji negatif
total hasil contoh yang diperiksa
(Budiarto 2004).
Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini akan dianalisa secara deskriptif dan
statistik kappa.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Keberadaan Antibodi (Ig) Poliklonal
Antibodi poliklonal adalah antibodi yang dihasilkan oleh limfosit B yang berasal
dari proses immunisasi kelinci dengan antigen AFM1-BSA. Keberadaan antibodi
poliklonal AFM1 dalam serum kelinci yang diimmunisasi dengan AFM1 dapat dilacak
menggunakan teknik DBIA yang ditandai dengan munculnya noktah berwarna coklat
seperti yang terpapar pada Gambar 8. Warna tersebut merupakan hasil reaksi antara
enzim HRP yang terkonjugasi pada Ig G dengan peroksida pada substrat sehingga

14

terlihat warna coklat setelah bereaksi dengan substrat DAB. Aulanniam (2005)
memaparkan bahwa kompleks antibodi yang terlarut dalam serum dengan antigen dapat
terdeteksi dengan penambahan konjugat atau anti terhadap antibodi yang dilabel enzim.
Hasil tersebut memperkirakan bahwa antibodi yang dihasilkan memiliki kadar yang
tinggi karena warna coklat yang dihasilkan begitu pekat. Menurut Pertiwi et al. (2009),
mutu dari warna dot blot yang ditampilkan menunjukkan seberapa tinggi kadar antibodi
terhadap antigen yang dilapiskan pada membran nitroselulosa.

Gambar 8 Ig poliklonal dengan uji DBIA
Pemurnian dan Penghitungan Kadar Ig-AFM1
Penegasan kemurnian dan penghitungan kadar antibodi yang dimurnikan dari
serum kelinci diukur menggunakan spektrofometer pada panjang gelombang 280 nm
seperti terpapar pada Gambar 9 dan Tabel 2. Grafik sprektrofotometrik memperlihatkan
hanya ada satu puncak dari grafik yang dihasilkan yang menunjukkan bahwa hanya ada
satu zat, satu antibodi, yang ada di dalam serum kelinci yang diperiksa. Hal ini
dikarenakan kolom HiTrap Protein A HP mempunyai kemampuan mengikat fragmen
crystallizable (Fc) pada molekul Ig G sehingga dapat menghasilkan Ig G yang murni.
Tabel 2 memaparkan data kadar Ig G yang terdiri dari 10 fraksi dan total kadar Ig G
yang dihasilkan sebesar 6,504 mg/ml. Kemurnian maupun kekhususan antibodi dapat
ditingkatkan dengan menghilangkan protein serum yang tidak diinginkan. Umumnya
makin murni antibodi maka makin spesifik antibodi tersebut, tetapi antibodi yang murni
tidak relatif memiliki kadar yang tinggi (Burgess 1995).

15

Tabel 2 Angka absorbansi dan kadar Ig G pada setiap fraksi serum kelinci yang
diimunisasi dengan AFM1
Fraksi
F1
F2
F3
F4
F5
F6
F7
F8
F9
F10
Total

Absorbansi (280 nm)
0,630
0,649
2,639
2,406
1,187
0,552
0,273
0,203
0,139
0,107

Kadar Ig G (mg/ml)
0,467
0,481
1,952
1,782
0,879
0,409
0,202
0,150
0,103
0,079
6,504

Gambar 9 Pola grafik fraksinasi Ig G dari serum kelinci pada kolom HiTrap Protein A
HP.
Karakterisasi Antibodi G (Ig G)
Antibodi poliklonal yang terdapat pada fraksi-fraksi hasil elusi serum kelinci yang
dimurnikan melalui kolom HiTrap Protein A HP dikarakterisasi dengan SDS-PAGE.
Hasil pemisahan pita antibodi ditunjukkan pada Gambar 10. Fraksi yang diperiksa
dengan teknik elektroforesis ini adalah fraksi 1 pada Baris 3 dan fraksi 3 pada Baris 2.
Fraksi 3 membentuk empat pita (A - D) yang masing-masing memiliki berat molekul
150 kDa (pita A) yang diduga sebagai Ig G; 59,649 kDa (pita B); 53,635 kDa (pita C);
dan 47,397 kDa (pita D). Pita B, C dan D diduga merupakan Ig G dengan rantai berat.
Fraksi 1 membentuk dua pita (E – F) dengan masing-masing memiliki berat molekul
168,993 kDa (pita E) yang diduga sebagai Ig G dan 65,406 kDa (pita F) yang diduga
merupakan Ig G rantai berat. Berat molekul Ig G berkisar antara 150-160 kDa
(Baratawidjaja dan Rengganis 2012). Molekul Ig G yang diberi perlakuan dengan
pemanasan dan bahan kimia, akan memisahkan ikatan disulfida pada Ig G dan
menyebabkan molekul Ig G terurai menjadi empat rantai polipeptida yang terpisah.
Diantara rantai tersebut adalah rantai “berat” karena masing-masing mempunyai berat
molekul sekitar 50 kDa dan dua rantai lainnya “ringan” karena masing-masing
mempunyai berat molekul sekitar 25 kDa (Tizard 1988). Keberadaan Ig G dengan berat

16

molekul 60 kDa dan 28 kDa juga pernah didapatkan oleh Nikolayenko et al. (2005).
Copestake et al. (2006) melaporkan bahwa Ig G baku membentuk 5 pita dengan 2 pita
dominan pada 60 kDa (rantai berat) dan 30 kDa (rantai ringan), dua pita berada pada
ukuran >94 kDa, dan satu pita lainnya berada pada ukuran