Deteksi Aflatoksin M1 pada Susu Pasteurisasi
DETEKSI AFLATOKSIN M1 PADA SUSU PASTEURISASI
DIAH NURHAYATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Deteksi Aflatoksin
M1 pada Susu Pasteurisasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor,
Agustus 2014
Diah Nurhayati
NIM B251110051
RINGKASAN
DIAH NURHAYATI. Deteksi Aflatoksin M1 pada Susu Pasteurisasi. Dibimbing
oleh HADRI LATIF dan AGUSTIN INDRAWATI.
Aflatoksin merupakan metabolit sekunder dari kapang Aspergillus flavus
dan A. parasiticus yang bersifat hepato-karsinogen dan dapat menyebabkan
kanker hati pada manusia. Aflatoksin M1 (AFM1) merupakan metabolit
hidroksilasi dari aflatoksin B1 (AFB1) dan dapat ditemukan pada susu akibat
hewan laktasi mengonsumsi pakan yang tercemar AFB1. AFM1 dapat ditemukan
pada produk olahan susu karena tidak terurai dengan pemanasan, baik suhu
pasteurisasi maupun sterilisasi. Penelitian ini bertujuan mendeteksi AFM1 pada
susu pasteurisasi produksi Indonesia yang dijual di swalayan dan agen pengecer di
Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Sampel yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas 60 susu pasteurisasi
produksi Indonesia yang beredar di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Sampel berupa
susu pasteurisasi tanpa penyedap cita rasa yang telah memiliki nomor BPOM RI.
Keberadaan AFM1 pada susu pasteurisasi dideteksi dengan menggunakan metode
enzym-linked immunosorbent assay (ELISA) kompetitif dengan menggunakan kit
ELISA untuk AFM1 (RIDASCREEN® Aflatoxin M1 Art. No.: R1121,
R-Biopharm, Jerman) dan uji konfirmasi dengan metode liquid chromatography tandem mass spectrometry (LC-MS/MS) dengan prosedur pengujian yang
diadopsi dari Association of Analytical Communities.
Hasil pengujian dengan metode ELISA menunjukkan bahwa AFM1
terdeteksi pada 57 sampel susu pasteurisasi (95%) dengan kisaran konsentrasi
20.77 sampai 458.87 ppt (93.72±69.72 ppt). Aflatoksin M1 dengan konsentrasi
10 sampai 50 ppt terdeteksi pada 14 sampel (23.33%), 41 sampel (68.33%)
dengan konsentrasi 50.01 sampai 250 ppt, dan 2 sampel (3.33%) dengan
konsentrasi 250.01 sampai 500 ppt. Uji konfirmasi dengan LC-MS/MS yang
dilakukan terhadap tujuh sampel yang memiliki konsentrasi AFM1 lebih dari 100
ppt pada uji ELISA menunjukan AFM1 terdeteksi pada uji LC-MS/MS.
Keberadaan AFM1 pada susu pasteurisasi berasal dari AFM1 yang ada pada susu
segar. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar sampel susu
pasteurisasi yang dijual di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat mengandung
AFM1, namun konsentrasinya tidak melebihi batas maksimum yang ditetapkan
oleh SNI 7385-2009 tentang Batas Maksimum Kandungan Mikotoksin dalam
Pangan yaitu 500 ppt.
Kata kunci: aflatoksin M1, enzyme-linked immunosorbent assay, liquid
chromatography-mass spectrometry, susu pasteurisasi
SUMMARY
DIAH NURHAYATI. Detection of Aflatoxin M1 in Pasteurized Milk. Supervised
by HADRI LATIF and AGUSTIN INDRAWATI.
Aflatoxins are secondary metabolites produces by Aspergillus flavus and
A. parasitucus which are hepatocarcinogen and consideres as major etiological
factors for human hepatocellular carcinoma. Aflatoxin M1 (AFM1) is the
hydroxylated metabolite of aflatoxin B1 (AFB1) and can be found in milk when
lactating animals are fed with contaminated feedstuffs. AFM1 may be found in
dairy products because it was not destroyed during pasteurization and sterilization.
This study was conducted to detect AFM1 in pasteurized milk that are produced
in Indonesia and sold in supermarkets and retail agents in Jakarta and West Java
Province.
The sample used in this study consisted of 60 local plain pasteurized milk
which were sold in supermarkets and retail agent in Jakarta and West Java. The
samples were taken with considering BPOM RI number, production code and
expired date. The presence of AFM1 in pasteurized milk detected with
competitive enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) using ELISA kits for
AFM1 (RIDASCREEN® Aflatoxin M1 Art. No.: R1121, R-Biopharm, Germany)
and then confirmed by liquid chromatography - tandem mass spectrometry
(LC-MS/MS) with testing procedures adopted from the Association of Analytical
Communities.
The result of this study showed that AFM1 was detected in 57 samples of
pasteurized milk at 20.77-458.87 ppt (93.20±69.72 ppt). AFM1 was found
between 10 to 50 ppt in 14 samples (23.33%), in 41 samples (68.33%) the
concentrations between 50.01 to 250 ppt, and in 2 samples (3.33%) the
concentration between 250.01 to 500 ppt. Seven samples which were the
concentration AFM1 above 100 ppt determined by ELISA then were confirmed
by LC-MS/MS showed that AFM1 was detected in pasteurized milk. The
existence of AFM1 in pasteurized milk can be derived from existing AFM1 in
fresh milk. The study could be concluded that most of pasteurized milk samples
sold in Jakarta and West Java Province are containing AFM1, but its
concentration was not exceed the maximum limits according to the national
standard of Indonesia 7385-2009 about maximum limit of mycotoxins in food
(500 ppt).
Keywords:
aflatoxin M1, enzyme-linked immunosorbent assay,
chromatography-mass spectrometry pasteurized milk
liquid
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DETEKSI AFLATOKSIN M1 PADA SUSU PASTEURISASI
DIAH NURHAYATI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr med vet drh Mirnawati B
Sudarwanto
Judul Tesis : Deteksi Aflatoksin M1 pada Susu Pasteurisasi
Nama
: Diah Nuhayati
NIM
: B251110051
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr med vet drh Hadri Latif, MSi
Ketua
Dr drh Agustin Indrawati, MBiomed
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr med vet drh Denny W Lukman, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Deteksi Aflatoksin M1
pada Susu Pasteurisasi berhasil diselesaikan dengan baik. Penulis menyadari
bahwa masih ada kekurangan dan kelemahan baik dalam segi materi, tata bahasa
maupun dalam memberikan deskripsi. Selama pengerjaan karya ilmiah ini, penulis
mendapatkan banyak saran dan masukan yang membangun dari berbagai pihak
dalam penyempurnaan tulisan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr med vet drh Hadri Latif, MSi
selaku ketua komisi pembimbing dan Dr drh Agustin Indrawati, MBiomed selaku
anggota komisi pembimbing atas bimbingan, saran, dan arahannya dalam
penyelesaian karya ilmiah ini. Penghargaan dan ucapan terimakasih penulis
sampaikan kepada Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi sebagai Ketua
Program Studi serta seluruh staf pengajar, tenaga kependidikan dan rekan-rekan
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor yang telah membantu dan memberi dukungan kepada penulis
sampai selesainya penyusunan karya ilmiah ini. Terimakasih dan penghargaan
penulis sampaikan kepada Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya
Manusia Pertanian Kementerian Pertanian Republik Indonesia yang telah
memberikan beasiswa selama masa pendidikan di Institut Pertanian Bogor.
Terimakasih kepada Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan Bogor
dan Laboratorium Kesehatan Daerah DKI Jakarta atas bantuannya dalam
pelaksanaan pengujian. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Ibu Arti
Suryaningsih Djohan atas bantuan materi selama menempuh pendidikan
pascasajana, serta Ibunda Samiyati Angka Wijaya dan keluarga atas doa dan kasih
sayangnya. Akhirnya penulis persembahkan karya ilmiah ini untuk suami tercinta
drh Santoso, MSi yang telah memberikan doa dan semangatnya yang begitu besar.
Atas semua kebaikan yang telah penulis terima, semoga Allah subhanahu
wa ta’ala melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Semoga
karya ilmiah ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan informasi yang berguna
bagi semua pihak.
Bogor,
Agustus 2014
Diah Nurhayati
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis Penelitian
1
1
2
2
2
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Susu Pasteurisasi
Aflatoksin M1
Batas Maksimum Kandungan Aflatoksin M1
Metode Deteksi Aflatoksin M1
4
4
5
6
7
3 METODE
Bahan
Alat
Prosedur Pengujian
Prosedur Analisis Data
9
9
9
10
11
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
12
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
18
18
18
DAFTAR PUSTAKA
19
LAMPIRAN
23
RIWAYAT HIDUP
24
DAFTAR TABEL
1 Temperatur dan waktu pasteurisasi susu
2 Standar mutu susu pasteurisasi (SNI 01-3951-1995)
3 Batas maksimum kandungan aflatoksin M1 dalam susu dan produk
olahannya
4 Batas maksimum Aflatoksin M1 di beberapa negara
5 Konsentrasi Aflatoksin M1 pada susu pasteurisasi
4
5
6
7
13
DAFTAR TABEL
1 Kurva standar uji ELISA untuk aflatoksin M1
2 Hasil LC-MS/MS dari standar AFM1 10 ppt, kontrol negatif, sampel
VM5, dan spike sampel dengan AFM1 10 ppt
13
14
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan asal hewan yang beredar untuk konsumsi manusia harus
memenuhi syarat keamanan pangan. Keamanan pangan menurut Undang-undang
nomor 7 tahun 1996 ialah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (Sekneg RI
1996). Penyakit pada manusia yang ditularkan melalui pangan disebut dengan
foodborne disease. Foodborne disease dapat terjadi akibat infeksi, toksikoinfeksi,
dan intoksikasi. Intoksikasi pangan terjadi akibat mengonsumsi pangan yang
mengandung toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme, seperti toksin dari
Staphylococcus aureus, toksin dari Clostridium botulinum, dan mikotoksin dari
kapang (Ray 2004).
Mikotoksin merupakan hasil metabolit sekunder dari beberapa genus
kapang seperti Aspergillus spp., Penicillium spp., dan Fusarium spp. Kontaminasi
mikotoksin dalam pangan dapat menyebabkan gangguan kesehatan bagi manusia
karena bersifat karsinogenik, teratogenik, hepatotoksik, neurotoksik, dan
nefrotoksik (Sengun et al. 2008). Mikotoksin penting yang dapat menyebabkan
gangguan kesehatan pada manusia antara lain aflatoksin, okhratoksin, patulin,
zearalenon, dan trikotesen (Syarief et al. 2003).
Aflatoksin merupakan mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang
Aspergillus flavus dan A. parasiticus (IARC 2002). Kapang tersebut dapat
mengontaminasi bahan pakan ternak dan akan menghasilkan toksin berupa
aflatoksin B1, B2, G1, dan G2 (Syarief et al. 2003). Aflatoksin yang ada dalam
pakan jika terkonsumsi oleh hewan ternak akan meninggalkan residu aflatoksin
pada produk ternak seperti daging, telur, dan susu. Sapi perah yang mengonsumsi
pakan yang terkontaminasi aflatoksin B1 (AFB1) akan mengekskresikan
metabolit hidroksilasi berupa aflatoksin M1 (AFM1) ke dalam susu yang
dihasilkan (Prandini et al. 2009).
Aflatoksin M1 dapat masuk ke dalam rantai pangan manusia melalui susu.
Kendala utama dalam penanganan AFM1 pada susu ialah sifatnya yang stabil
pada pemanasan, baik suhu pasteurisasi maupun sterilisasi, dan proses
penyimpanan (Stoloff et al. 1975). Aflatoksin M1 tidak terurai pada pemanasan
mencapai 250 °C (Syarief et al. 2003), sehingga masih dapat ditemukan pada
susu pasteurisasi (Celik et al. 2005), susu ultra high temperature (Ghanem dan
Orfi 2009; Heshmati dan Milani 2010), susu bubuk (Al-Sawaf et al. 2012), dan
keju (Sarimehmetoglu et al. 2004). Keberadaan AFM1 dalam pangan dapat
dideteksi secara kualitatif dan kuantitatif. Metode deteksi yang dapat digunakan
antara lain high performance liquid chromatography (HPLC), gas
chromatography (GC), liquid chromatography-mass spectrometry (LC-MS),
fluorimetri, dan immunoassay seperti enzyme linked immunosorbent assay
(ELISA) (Maryam 2007). Metode ELISA digunakan untuk mendeteksi
mikotoksin karena memiliki spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi (Zheng et al.
2006).
2
Aflatoksin dapat mengakibatkan kerusakan hati dan kanker hati apabila
dikonsumsi dalam jumlah kecil secara terus menerus (Syarief et al. 2003).
International Agency for Research on Cancer (IARC 2002) mengklasifikasikan
AFM1 sebagai penyebab kanker pada manusia (carcinogenic to human). Oleh
karena itu beberapa negara menetapkan konsentrasi maksimum kandungan AFM1
dalam produk susu, seperti Amerika Serikat sebesar 500 ppt dan Uni Eropa
sebesar 50 ppt (FAO 2004). Batas maksimum kandungan AFM1 pada susu dan
produk olahan susu di Indonesia ditetapkan dalam SNI 7385-2009 tentang Batas
Maksimum Kandungan Mikotoksin dalam Pangan yaitu 500 ppt (BSN 2009).
Perumusan Masalah
Keberadaan AFM1 pada susu segar dari beberapa daerah di Indonesia telah
dilaporkan dengan konsentrasi yang bervariasi. Kandungan AFM1 pada susu
segar dari peternakan rakyat di Kota Bogor dan Pangalengan (Kabupaten
Bandung) menunjukkan 78.38% (29 dari 37 sampel) terdeteksi AFM1 dengan
konsentrasi antara 1 sampai 1200 ppt (Widiastuti et al. 2006). Deteksi AFM1 pada
susu segar yang berasal dari peternakan sapi perah di Yogyakarta menunjukkan
bahwa AFM1 terdeteksi pada 57.5% sampel dengan konsentrasi antara 5 sampai
25 ppt (Nuryono et al. 2009). Penelitian lain terhadap susu segar dari peternakan
sapi perah di Yogyakarta menunjukkan kandungan AFM1 dengan konsentrasi
antara 33 sampai 113 ppt (Fillaeli 2007).
Kendala utama penanganan AFM1 dalam susu ialah sifatnya yang stabil
pada pemanasan (Stoloff et al. 1975), sehingga masih dapat ditemukan pada susu
pasteurisasi (Celik et al. 2005). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk
mendeteksi kandungan AFM1 pada susu pasteurisasi produksi Indonesia sehingga
dapat menggambarkan keamanan dari susu pasteurisasi yang dijual di swalayan
dan agen pengecer.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mendeteksi kandungan AFM1 pada susu
pasteurisasi produksi Indonesia yang dijual di swalayan dan agen pengecer di
Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
tingkat kandungan AFM1 pada susu pasteurisasi produksi Indonesia dan
informasi bahwa susu pasteurisasi yang dijual di swalayan dan agen pengecer
aman dikonsumsi oleh masyarakat ditinjau dari keberadaan AFM1.
3
Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini ialah susu pasteurisasi
produksi Indonesia mengandung AFM1 dan kandungan AFM1 pada susu
pasteurisasi tidak melebihi batas maksimum kandungan yang ditetapkan dalam
SNI 7385:2009 tentang Batas Maksimum Kandungan Mikotoksin dalam Pangan
yaitu 500 ppt.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Susu Pasteurisasi
Susu pasteurisasi ialah susu segar, susu rekonstitusi dan susu rekombinasi
yang telah mengalami pemanasan pada 63-66 °C selama minimum 30 menit atau
72 °C selama minimum 15 detik, kemudian segera didinginkan sampai 10 °C,
diperlakukan secara aseptis dan disimpan pada temperatur maksimum 4.4 °C
(BSN 1995). Pasteurisasi pada susu dilakukan dengan tujuan untuk
menghilangkan mikroba patogen yang membahayakan kesehatan manusia tanpa
mengubah rasa, konsistensi, dan kandungan nutrisi susu (Murdiati et al. 2004).
Pasteurisasi susu dapat dilakukan dengan metode low temperature-long
time (LTLT, 63 °C selama 30 menit) dan high temperature-short time (HTST,
72 °C selama 15 detik) (CAC 2004). Waktu dan temperatur pasteurisasi
didasarkan oleh thermal death time (TDT) bakteri patogen non-spora yang paling
tahan panas pada susu. Metode LTLT pada awalnya menggunakan pemanasan
61.67 °C (143 °F) selama 30 menit yang merupakan TDT Mycobacterium
tuberculosis, kemudian diubah menjadi 63 °C (145 °F) selama 30 menit setelah
ditemukan Coxiella burnetti pada susu sapi, kambing, dan domba (Jay et al. 2005).
Temperatur dan waktu pasteurisasi susu yang direkomendasikan oleh Food and
Drug Administration (FDA 2009) ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Temperatur dan waktu pasteurisasi susu
Temperatur
63 °C (145 °F)
72 °C (161 °F)
89 °C (191 °F)
90 °C (194 °F)
94 °C (201 °F)
96 °C (204 °F)
100 °C (212 °F)
Waktu
30 menit
15 detik
1.0 detik
0.5 detik
0.1 detik
0.05 detik
0.01 detik
Pasteurisasi pada susu bertujuan untuk menjamin keamanan mikrobiologi
dan memperpanjang umur simpan (Fernandez 2008). Susu pasteurisasi yang
disimpan pada temperatur maksimal 6 °C memiliki umur simpan 10-12 hari,
sedangkan pada temperatur maksimal 10 °C umur simpan hanya 3-4 hari (Rysstad
dan Kolstad 2006). Susu pasteurisasi dikemas secara aseptik dalam botol, karton
yang dilapisi polyethylene atau aluminium foil, kantong plastik, atau bahan lain
yang tidak mempengaruhi isi (BSN 1995). Susu pasteurisasi terdiri atas susu
pasteurisasi tanpa penyedap cita rasa dan susu pasteurisasi yang diberi penyedap
cita rasa dengan syarat mutu yang ditetapkan dalam SNI 01-3951-1995 tentang
susu pasteurisasi (Tabel 2).
5
Tabel 2 Standar mutu susu pasteurisasi (SNI 01-3951-1995)
Syarat Jenis
Karakteristik
Bau, rasa dan warna
Kadar lemak, % (w/w) min.
Kadar padatan tanpa lemak, % (w/w) min.
Uji Reduktase dengan methilen biru
Kadar protein, % (w/w) min.
Uji fosfatase
TPC (Total Plate Count)/ml, maks.
Coliform presumtive maksimal (MPN/ml)
Logam berbahaya
As (ppm) maks.
Pb (ppm) maks.
Cu (ppm) maks.
Zn (ppm) maks.
Bahan pengawet
A
Khas
2.8
7.7
0
2.5
0
3x104
10
B
Khas
1.5
7.5
0
2.5
0
3x104
10
1
1
1
1
2
2
5
5
Sesuai dengan Permenkes
No. 235/Men.Ks/Per/IV/79
A: susu pasteurisasi tanpa penyedap cita rasa, B: susu pasteurisasi diberi penyedap cita rasa.
Aflatoksin M1
Mikotoksin merupakan metabolit sekunder dari beberapa genus kapang
sebagai hasil dari pertumbuhan kapang (Sweeney dan Dobson 1998). Mikotoksin
dalam bahan pangan dapat menyebabkan gangguan kesehatan bagi manusia yang
disebut dengan mikotoksikosis (Syarief et al. 2003). Mikotoksikosis terjadi
apabila toksin terkonsumsi oleh manusia dalam jumlah yang tidak dapat
ditoleransi oleh tubuh. Mikotoksin telah dilaporkan bersifat karsinogenik,
teratoganik, hepatotoksik, neurotoksik, dan nefrotoksik (Sengun et al. 2008).
Mikotoksin penting yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan bagi manusia
antara lain aflatoksin, okhratoksin, patulin, zearalenon, dan trikotesen (Syarief
et al. 2003).
Mikotoksin dapat ditemukan dalam pangan asal hewan akibat kontaminasi
langsung dan kontaminasi tidak langsung (carry-over dari pakan). Kontaminasi
langsung terjadi akibat pertumbuhan kapang pada pangan karena cemaran.
Kontaminasi tidak langsung terjadi akibat hewan mengonsumsi pakan yang
tercemar mikotoksin dan mengekskresikan residu mikotoksin ke dalam produk
hewan seperi daging, telur, dan susu (Sengun et al. 2008; Prandini et al. 2009).
Aflatoksin merupakan mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang
Aspergillus flavus dan A. parasiticus (IARC 2002). Kapang tersebut dapat
mencemari bahan pakan seperti jagung, bungkil kedelai, dan silase, dan akan
menghasilkan aflatoksin. Aflatoksin yang umum ditemui dalam pakan ternak ialah
aflatoksin B1, B2, G1, dan G2. Mamalia laktasi yang mengonsumsi pakan yang
terkontaminasi aflatoksin B1 (AFB1) akan mengekskresikan metabolit
hidroksilasi berupa aflatoksin M1 (AFM1) ke dalam susu yang dihasilkan. Sapi
laktasi yang mengonsumsi 40 µg AFB1 akan menghasilkan susu yang
6
mengandung AFM1 dengan konsentrasi 0.05 µg/kg dalam waktu 2-3 hari setelah
konsumsi AFB1 (Prandini et al. 2009). Tingkat carry-over AFM1 bervariasi
bergantung pada konsentarsi AFB1 dalam pakan. Penelitian Bantaokul dan
Ruangwises (2010) menyatakan tingkat carry-over AFB1 ke dalam susu sapi
selama periode laktasi ialah 2.35±0.7%. Tingkat carry-over AFB1 dalam pakan
menjadi AFM1 pada susu sapi peranakan Friesian Holstein di Yogyakarta sebesar
0.1%, nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan tingkat carry-over pada sapi
perah di daerah sub-tropis (Sumantri et al. 2012).
Aflatoksin yang banyak ditemukan pada bahan pakan dan bersifat toksik
ialah AFB1 (Sweeney dan Dobson 1998). Aflatoksin merupakan hepatokarsinogen yang dapat mengakibatkan kerusakan hati dan apabila dikonsumsi
dalam jumlah kecil secara terus menerus dapat mengkibatkan kanker hati (Syarief
et al. 2003). International Agency for Research on Cancer (IARC 2002) telah
mengklasifikasikan mikotoksin sebagai salah satu penyebab kanker pada manusia,
karsinogenitas AFB1 dan AFM1 diklasifikasikan ke dalam grup 1 (carcinogenic
to humans).
Aflatoksin M1 bersifat sitotoksik pada beberapa spesies, dengan tingkat
sitotoksik yang serupa dengan AFB1 (Prandini et al. 2009). Penelitian pada tikus
Fischer jantan yang diberi pakan AFM1 50 µg/kg mulai umur 7 minggu sampai
21 minggu menunjukkan 2 dari 37 tikus terdeteksi hepatoseluler karsinoma dan 6
dari 37 tikus terdeteksi neoplastic nodules pada umur 19-21 bulan, sedangkan 19
dari 20 tikus yang beri pakan AFB1 50 µg/kg terdeteksi hepatoseluler karsinoma
pada umur 19 bulan (Cullen et al. 1987).
Batas Maksimum Kandungan Aflatoksin M1
Batas maksimum kandungan mikotoksin ialah konsentrasi maksimum
mikotoksin yang diizinkan terdapat dalam pangan (BSN 2009). Batas maksimum
kandungan AFM1 dalam susu dan produk olahannya di Indonesia ditetapkan
dalam SNI 7385-2009 tentang batas maksimum kandungan mikotoksin dalam
pangan (Tabel 3).
Tabel 3 Batas maksimum kandungan aflatoksin M1 dalam susu dan produk
olahannya di Indonesia
Pangan
Susu dan minuman berbasis susu
Susu fermentasi dan produk susu hasil hidrolisa
enzim renin (plain)
Susu kental dan analognya
Krim (plain) dan sejenisnya
Susu bubuk dan krim bubuk dan bubuk analog
Keju dan keju analog
Batas maksimum AFM1
(ppt)
500
500
500
500
500
500
Batas maksimum kandungan AFM1 dalam susu berbeda di beberapa
negara dengan kisaran 10 sampai 500 ppt. Batas maksimum Aflatoksin M1 di
7
beberapa negara menurut Food and Agriculture Organization (2004) disajikan
pada Tabel 4.
Tabel 4 Batas maksimum Aflatoksin M1 di beberapa negara
Negara
Uni Eropa
Amerika
China
Jerman
Turki
Iran
Afrika Selatan
Argentina, Brazil,
Paraguay, Uruguay
Produk pangan
Susu segar, susu pasteurisasi dan
produk olahannya
Susu
Susu dan produk olahannya
Susu
Makanan bayi
Susu dan makanan bayi
Susu bubuk
Susu segar, susu pasteurisasi
Susu bubuk
Susu bayi
Susu
Susu cair
AFM1 (ppt)
50
500
500
50
10
50
500
50
500
10
50
500
Metode Deteksi Aflatoksin M1
Deteksi mikotoksin bertujuan untuk mengetahui keberadaan mikotoksin
dalam bahan pangan dan mengetahui konsentrasi mikotoksin tersebut. Analisis
yang dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya toksin disebut deteksi kualitatif,
sedangkan analisis untuk menentukan konsentrasi mikotoksin disebut deteksi
kuantitatif (Syarief et al. 2003). Metode analisis mikotoksin telah banyak
dikembangkan untuk menganalisis mikotoksin dalam pangan dan pakan. Metode
deteksi yang banyak digunakan antara lain visualisasi blue green yellow
fluorescense (BGYF), thin layer chromatography (TLC), high performance liquid
chromatography (HPLC), gaschromatography (GC), liquid chromatographymass spectrometry (LC-MS), fluorimetri dan immunoassay (Maryam 2007).
Metode immunoassay seperti enzyme linked immunosorbent assay
(ELISA) telah banyak digunakan untuk mendeteksi AFM1 pada susu segar, susu
pasteurisasi, susu bubuk, dan keju (Sarimehmetoglu et al. 2004; Celik et al. 2005;
Nuryono et al. 2009, Al-Sawaf et al. 2012). ELISA merupakan suatu teknik
deteksi dengan metode serologis yang berdasarkan reaksi spesifik antara antigen
dan antibodi dengan menggunakan enzim sebagai indikator (McCarthy 2003).
Prinsip dasar ELISA ialah analisis interaksi antara antigen dan antibodi yang
teradsorpsi secara pasif pada permukaan fase padat dengan menggunakan
konjugat antibodi atau antigen yang dilabel enzim. Enzim ini akan bereaksi
dengan substrat dan menghasilkan warna. Warna yang timbul dapat ditentukan
secara kuantitatif dengan pembacaan nilai absorbansi pada ELISA plate reader
(Burgess 1995).
Mikotoksin merupakan hapten yang tidak dapat menginduksi respon
antibodi, sehingga untuk dapat bersifat imunogenik hapten harus dikonjugasikan
dengan molekul pembawa yang bersifat imunogen (Layton 1995). Molekul
pembawa yang umum digunakan untuk dikonjugasikan dengan hapten ialah
8
bovine serum albumin (BSA) (Hussain 2011). Prinsip dasar ELISA yang umum
digunakan untuk mengukur hapten ialah ELISA kompetitif (Burgess 1995). Pada
ELISA kompetitif, antibodi spesifik untuk aflatoksin yang telah terikat pada fase
padat akan berikatan dengan aflatoksin dalam sampel atau standar. Enzim
konjugat yang ditambahkan akan bersaing untuk berikatan dengan antibodi,
kemudian enzim konjugat yang berikatan dengan antibodi akan bereaksi dengan
substrat dan memberikan warna (Hussain 2011). Jika aflatoksin dalam sampel
semakin tinggi maka semakin sedikit enzim konjugat yang berikatan dengan
antibodi, sehingga warna yang terbentuk akan semakin pudar (McCarthy 2003).
Uji konfirmasi untuk mikotoksin dapat menggunakan metode biologi dan
metode kimia. Metode biologi dilakukan dengan cara memberikan mikotoksin
kepada hewan yang peka, sedangkan metode kimia dilakukan dengan
mereaksikan senyawa yang dianalisis dengan zat kimia tertentu, dapat
menggunakan HPLC dan spektrofotometer (Syarief et al. 2003).
Liqiud chromatography-mass spectrometry (LC-MS) ialah teknik analisis
kimia yang menggabungkan kemampuan pemisahan fisik dari liquid
chromatography (LC) dengan kemampuan analisis massa dari mass spectrometry
(MS). Deteksi mikotoksin dengan LC-MS dapat dilakukan tanpa proses
derivatisasi. Pada LC-MS, sampel yang telah dipisahkan dalam kolom diuapkan
pada suhu tinggi, kemudan diionisasi. Ion yang terbentuk difragmentasi sesuai
dengan rasio massa/muatan (m/z) yang selanjutnya dideteksi secara elektrik.
Beberapa metode ionisasi yang banyak diaplikasikan untuk identifikasi dan
deteksi mikotoksin ialah electrospray ionization (ESI) dan fast atom
bombardment (FAB). LC-MS memiliki selektivitas yang tinggi sehingga
identifikasi dan kuantifikasi dapat dilakukan dengan jumlah sampel yang sedikit
(Maryam 2007).
9
3 METODE
Deteksi Aflatoksin M1 (AFM1) pada susu pasteurisasi dilakukan dengan
metode ELISA kompetitif dan dikonfirmasi dengan metode liquid
chromatography - tandem mass spectrometry (LC-MS/MS). Pengambilan sampel
susu pasteurisasi dilakukan di swalayan dan agen pengecer di Provinsi DKI
Jakarta dan Jawa Barat. Pengujian sampel dilakukan di Balai Pengujian Mutu dan
Sertifikasi Produk Hewan (BPMSPH) Bogor dan Laboratorium Kesehatan Daerah
Provinsi DKI Jakarta. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus
2013.
Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini dihitung menggunakan
rumus besaran sampel deskriptif numerik (Sopiyudin 2010). Rumus yang
digunakan dalam menentukan jumlah sampel ialah:
��. �
�=
�
Keterangan:
n = ukuran sampel
Z = 1.96 (α=0.05)
S = simpangan baku
d = nilai presisi
2
Nilai simpangan baku menggunakan hasil penelitian deteksi AFM1 pada
susu segar yang berasal dari Indonesia dengan metode ELISA yaitu
8.53±3.92 ng/L (Nuryono et al. 2009), dengan nilai presisi 1. Jumlah sampel yang
diambil berdasarkan perhitungan rumus tersebut ialah 60 sampel. Sampel yang
diambil ialah susu pasteurisasi tanpa penyedap cita rasa yang telah memiliki
nomor BPOM RI. Sampel diambil minimal 1 liter dengan memperhatikan
kemasan tidak rusak atau cacat, kode produksi dan tanggal kadaluarsa. Sampel
dibawa ke laboratorium menggunakan kotak berpendingin, kemudian disimpan
beku sampai dilakukan pengujian.
Bahan
Bahan yang digunakan ialah susu pasteurisasi dan untuk pengujian ELISA
digunakan kit ELISA untuk aflatoksin M1 (RIDASCREEN® AFM1 R1121,
R-Biopharm, Jerman). Bahan yang digunakan untuk pengujian LC-MS/MS ialah
larutan aflatoksin M1 standar, methanol, aquabidest, acetonitril dan ammonium
acetat.
Alat
Alat yang digunakan untuk pengujian ELISA antara lain sentrifuse, pipet,
mikropipet 20-200 µl dan 200-1000 µl, dan mikrotiter plate spektrofotometer
(Dynex Technologies Inc, USA). Alat yang digunakan untuk pengujian
LC-MS/MS ialah seppak C18, turbovab evaporator, dan LC-MS/MS.
10
Prosedur Pengujian
Pengujian Aflatoksin M1 dengan ELISA
Analisis residu AFM1 dalam sampel susu pasteurisasi dilakukan dengan
metode ELISA kompetitif berdasarkan prosedur pemeriksaan dalam kit ELISA
untuk AFM1 (RIDASCREEN® Aflatoxin M1 (Art. No.: R1121), R-Biopharm,
Jerman) dan sampel diuji secara duplo. Sampel susu dikondisikan pada suhu
10 °C, kemudian disentrifuse pada 3500 g selama 10 menit. Krim pada lapisan
atas dihilangkan menggunakan pipet pasteur, kemudian 100 µl susu yang telah
dihilangkan lemaknya digunakan untuk pengujian.
Larutan antibodi anti-aflatoxin M1 sebanyak 100 µ l ditambahkan ke setiap
sumur dari microwell, dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu ruang (20-25 °C)
selama 15 menit. Larutan antobodi dibuang dengan cara membalikkan posisi
microwell pada kertas penyerap, kemudian dilakukan pencucian sebanyak 3 kali
dengan 250 µL larutan washing buffer pada setiap sumur. Standar AFM1 dan
sampel masing-masing sebanyak 100 µ l ditambahkan ke setiap sumur,
dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu ruang dalam keadaan gelap selama
30 menit. Cairan standar dan sampel dibuang dengan cara membalikkan posisi
microwell pada kertas penyerap, kemudian dilakukan pencucian sebanyak 3 kali
dengan 250 µl larutan washing buffer. Enzim konjugat (100 µl) ditambahkan
ke setiap sumur, dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu ruang dalam keadaan
gelap selama 15 menit. Cairan dibuang dengan cara membalikkan posisi
microwell pada kertas penyerap, kemudian dilakukan pencucian sebanyak 3 kali
dengan 250 µl larutan washing buffer. Substrat/chromogen sebanyak 100 µ l
ditambahkan ke setiap sumur dan dihomogenkan, kemudian diinkubasi pada suhu
ruang dalam keadaan gelap selama 15 menit. Reaksi dihentikan dengan
menambahkan 100 µl stop solution ke setiap sumur. Absorbansi diukur dengan
ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. Pembacaan dilakukan dalam
jangka waktu 15 menit setelah penambahan stop solution dengan melihat nilai
optical density (OD) yang tercetak dari ELISA reader, kemudian diintegrasikan
ke dalam bentuk kurva kalibrasi standar menggunakan software RIDA®SOFT
Win (Art. No. Z9999).
Pengujian Aflatoksin M1 dengan LC-MS/MS
Pengujian AFM1 dengan menggukan metode LC-MS/MS dilakukan dengan
prosedur pengujian yang dikembangkan oleh Association of Analytical
Communities (AOAC 2000). Pada awal pengujian dilakukan pembuatan kurva
standar AFM1 yaitu 10 ppt, 50 ppt, 100 ppt, 250 ppt, 500 ppt, 1000 ppt, dan
2000 ppt. Sampel susu yang telah disimpan beku, dicairkan pada suhu ruang,
kemudian sampel sebanyak 5 ml dipipet ke dalam seppak C18 yang telah
dikondisioning dengan menggunakan 3 ml methanol dan 3 ml aquabidest. Seppak
C18 dicuci dengan 2 ml aquabidest dan dielusi dengan 3 ml campuran methanol
dan acetonitril (1:1), kemudian dikeringkan dengan menggunakan turbovab
evaporator pada suhu 40 °C selama 60 menit. Residu AFM1 dilarutkan dengan
fase gerak berupa campuran methanol dan ammonium acetat (60:40) kemudian
diinjeksikan sebanyak 30 µl pada LC-MS/MS.
11
Prosedur Analisis Data
Variabel yang diamati pada penelitian ini ialah kandungan AFM1 pada susu
pasteurisasi. Analisis data yang digunakan ialah analisis deskriptif dengan
menyajikan hasil uji dalam bentuk tabel dan gambar.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis sampel yang dianalisis pada penelitian ini ialah susu pasteurisasi
tanpa penyedap cita rasa yang diproduksi di Indonesia dengan produsen yang
berada di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pengambilan sampel dilakukan di swalayan dan agen pengecer yang memiliki
tempat berpendingin di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat. Susu pasteurisasi
dikemas dalam kemasan yang bervariasi seperti karton, botol plastik, gelas plastik,
dan kantong plastik dengan volume antara 165 ml sampai 1 liter. Masa kadaluarsa
sampel susu pasteurisasi yang tertulis dalam kemasan bervariasi antara 5 sampai
29 hari.
Deteksi AFM1 pada susu pasteurisasi dalam penelitian ini menggunakan
metode ELISA kompetitif dan dilanjutkan dengan uji konfirmasi dengan
LC-MS/MS. Metode ELISA digunakan untuk mendeteksi mikotoksin karena
memiliki spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi, dan mampu menguji sampel
dalam jumlah banyak pada waktu bersamaan dengan preparasi sampel yang
sederhana dan prosedur kerja yang cepat (Zheng et al. 2006). Oleh karena itu
metode ELISA dapat digunakan sebagai uji tapis (screening test) untuk deteksi
AFM1. Kelemahan dari metode ELISA ialah adanya reaksi silang dengan
senyawa-senyawa yang memiliki struktur inti sama. Faktor penting yang harus
diperhatikan dalam metode ELISA antara lain penanganan terhadap kit ELISA,
masa kadaluarsa, peralatan yang digunakan untuk pengujian sudah dikalibrasi
dengan baik, serta keterampilan dan pengalaman analis dalam melakukan
pengujian (Burgess 1995).
Hasil pengujian ELISA untuk AFM1 dilakukan dengan mengalkulasi hasil
uji sampel dengan kurva standar uji ELISA. Tipikal kurva standar uji ELISA
untuk AFM1 disajikan pada Gambar 1. Limit deteksi uji ELISA yang digunakan
untuk mendeteksi AFM1 pada penelitian ini ialah 10 ppt dengan 50% inhibition
concentration (IC50) sebesar 31.8 ppt. Limit deteksi merupakan tingkat
konsentrasi terendah yang dapat digunakan untuk mendeteksi suatu substansi.
Hasil pengujian AFM1 pada susu pasteurisasi dengan metode ELISA
menunjukkan AFM1 terdeteksi pada 57 sampel (95%) dengan konsentrasi
20.77 sampai 458.87 ppt (93.20±69.72 ppt). Aflatoksin M1 dengan kisaran
konsentrasi 10 sampai 50 ppt terdeteksi pada 14 sampel (23.33%), 41 sampel
(68.33%) dengan kisaran konsentrasi 50.01 sampai 250 ppt, dan 2 sampel (3.33%)
dengan kisaran konsentrsi 250.01 sampai 500 ppt (Tabel 5). Aflatoksin M1 pada
susu pasteurisasi yang diperiksa tidak melebihi batas maksimum yang ditetapkan
oleh SNI 7385:2009 yaitu 500 ppt, tetapi 71.67% sampel melebihi batas
maksimum AFM1 yang ditetapkan Uni Eropa yaitu 50 ppt.
13
Gambar 1 Kurva standar uji ELISA untuk aflatoksin M1.
Tabel 5 Konsentrasi Aflatoksin M1 pada susu pasteurisasi
Konsentrasi AFM1 (ppt)
Jumlah sampel
a
< 10a
3
(5%)
10-50
14
(23.33%)
50.01-250
41
(68.33%)
250.01-500
2
(3.33%)
Rata-rata
konsentrasi AFM1
(ppt)
93.20±69.72
Konsentrasi AFM1 dibawah limit deteksi uji (10 ppt)
Sampel yang menunjukkan hasil positif dengan metode ELISA kemudian
dikonfirmasi untuk memastikan AFM1 pada susu pasteurisasi. Uji konfirmasi
AFM1 pada susu pasteurisasi dalam penelitian ini dilakukan dengan metode
LC-MS/MS. Metode LC-MS/MS dapat mendeteksi mikotoksin secara kualitatif
dan kuantitatif dengan tingkat akurasi dan presisi, serta spesifisitas dan
sensitivitas yang tinggi. Kelemahan dari metode LC-MS/MS ialah instrumen yang
mahal serta membutuhkan analis yang terlatih (Maryam 2007). Uji LC-MS/MS
dilakukan terhadap 7 sampel susu pasteurisasi yang memiliki konsentrasi AFM1
lebih dari 100 ppt pada uji ELISA. Limit deteksi uji LC-MS/MS pada penelitian
ini ialah 10 ppt. Residu AFM1 pada sampel susu pasteurisasi terdeteksi pada uji
LC-MS/MS seperti terlihat pada kromatogram hasil uji LC-MS/MS pada
Gambar 2.
14
A
B
C
D
Gambar 2 Hasil LC-MS dari standar AFM1 10 ppt (A), kontrol negatif (B),
sampel VM5 (C), spike sampel dengan AFM1 10 ppt (D).
Keberadaan AFM1 pada susu pasteurisasi dapat berasal dari AFM1 yang
ada pada susu segar. Hal ini disebabkan oleh AFM1 memiliki sifat yang stabil
terhadap pemanasan suhu pasteurisasi (Stoloff et al. 1975), sehingga AFM1 masih
dapat ditemukan pada susu pasteurisasi (Celik et al. 2005). Penelitian
Mohammadian et al. (2010) menunjukkan bahwa konsentrasi AFM1 pada susu
segar dan susu pasteurisasi yang berasal dari Sanandaj (Iran) tidak berbeda nyata.
Aflatoksin M1 dapat ditemukan pada susu segar akibat kontaminasi tidak
langsung atau carry-over dari pakan. Mamalia laktasi yang mengonsumsi pakan
yang terkontaminasi AFB1 akan mengekskresikan metabolit hidroksilasi berupa
AFM1 ke dalam susu yang dihasilkan (Prandini et al. 2009). Kondisi iklim tropis
seperti di Indonesia sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan kapang
15
A. flavus dan A. parasiticus pada bahan pakan ternak yang akan memproduksi
aflatoksin pada bahan pakan tersebut. Kapang A. flavus dapat tumbuh pada suhu
10-45 °C, dengan Aw minimum 0.80 dan kelembaban relatif lebih dari 85%, suhu
optimum untuk memproduksi aflatoksin ialah sekitar 25-35 °C (Syarief et al.
2003). Penelitan kontaminasi aflatoksin pada bahan pakan ternak di Indonesia
menunjukkan hasil yang cukup tinggi. Kontaminasi AFB1 dalam pakan
konsentrat sapi perah di peternakan sapi perah di Yogyakarta berkisar antara
4.3 sampai 215.9 ppb dan 29 sampel (24.17%) yang diperiksa melebihi batas
maksimum kandungan AFB1 yang ditetapkan yaitu 20 ppb (Fillaeli 2007).
Cemaran AFB1 di dalam bahan pakan sapi perah merupakan sumber utama
AFM1 pada susu. Sapi perah yang mengonsumsi 40 µg AFB1 akan menghasilkan
susu yang mengandung AFM1 dengan konsentrasi 0.05 µg/kg dalam waktu
2 sampai 3 hari setelah konsumsi AFB1 (Prandini et al. 2009). Tingkat carry-over
AFM1 bervariasi bergantung pada konsentrasi AFB1 dalam pakan. Penelitian
Bantaokul dan Ruangwises (2010) menyatakan tingkat carry-over AFM1 ke
dalam susu sapi selama periode laktasi ialah 2.35±0.7%. Tingkat carry-over
AFB1 dalam pakan menjadi AFM1 pada susu sapi peranakan Friesian Holstein di
Yogyakarta sebesar 0.1%, nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan tingkat
carry-over AFB1 pada sapi perah di daerah sub-tropis (Sumantri et al. 2012).
Kandungan AFM1 dalam susu telah dilaporkan pada susu segar yang
berasal dari peternakan sapi perah di beberapa wilayah di Indonesia.
Widiastuti et al. (2006) melaporkan AFM1 pada susu segar yang berasal dari
peternakan sapi perah di Kota Bogor dengan konsentrasi 1 sampai 343 ppt dan
dari Pangalengan (Kabupaten Bandung) dengan konsentrasi 2 sampai 1200 ppt.
Deteksi AFM1 juga telah dilakukan pada 113 sampel susu segar yang berasal dari
peternakan sapi perah di Yogyakarta dengan hasil 42.5% konsentrasi AFM1
kurang dari 5 ppt dan 57.5% mengandung AFM1 dengan konsentrasi 5 sampai
25 ppt (Nuryono et al. 2009). Penelitian lain memberikan hasil konsentrasi AFM1
dalam susu segar dari peternakan sapi perah di Yogyakarta sebesar 33 sampai
113 ppt (Fillaeli 2007).
Keberadaan AFM1 pada susu segar menjadi sumber adanya AFM1 pada
produk olahan susu. Hal ini disebabkan oleh sifat AFM1 yang stabil pada
pemanasan, baik suhu pasteurisasi maupun sterilisasi (Stoloff et al. 1975; Prandini
et al. 2009), dan tidak mengalami kerusakan pada proses pemanasan mencapai
250 °C (Syarief et al. 2003). Proses pemanasan pada susu pasteurisasi menurut
SNI 01-3141-1995 ialah 63-66 °C selama minimum 30 menit atau 72 °C selama
minimum 15 detik, sehingga AFM1 masih dapat ditemukan pada susu pasteurisasi
(Celik et al. 2005). Proses pemanasan dan penambahan kultur starter untuk
fermentasi juga menunjukan tidak adanya penurunan AFM1 yang signifikan pada
produk seperti kefir dan yoghurt (Hassanin 1994; Prandini et al. 2009).
Keberadaan AFM1 pada susu pasteurisasi telah dilaporkan di beberapa
negara dengan konsentrasi yang bervariasi. Deteksi AFM1 pada susu pasteurisasi
di Siria menunjukkan seluruh sampel positif AFM1 dengan konsentrasi 8 sampai
765 ppt (Ghanem dan Orfi 2009). Deteksi AFM1 pada susu pasteurisasi di Turki
menunjukkan 64% sampel mengandung AFM1 dengan konsentrasi lebih dari
50 ppt (51 sampai 127.6 ppt) (Celik et al. 2005), sementara hasil deteksi AFM1
pada susu pasteurisasi di Iran (Ahvaz City) menunjukkan konsentrasi AFM1
kurang dari 50 ppt (0.45 sampai 9.76 ppt) (Behfar et al. 2012). Konsentrasi AFM1
16
pada susu pasteurisasi yang berasal dari Sao Paulo (Brazil) antara 10 sampai
20 ppt (Shundo et al. 2009).
Keberadaan AFM1 pada susu dan produk susu dapat bervariasi. Hal ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu lokasi geografis, negara, musim, kondisi
lingkungan, rendahnya ketesediaan hijauan, penggunaan pakan konsentrat yang
berlebihan dan kontaminasi AFB1 pada pakan dan biji-bijian selama penyimpanan
(Oliveira et al. 2013). Konsentrasi AFM1 pada susu segar yang dikumpulkan pada
musim semi dan musim panas tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, tetapi
berbeda nyata dengan konsentrasi AFM1 pada susu segar yang dikumpulkan pada
musim dingin (Mohammadian et al. 2010). Penggunaan pakan konsentrat yang
terbuat dari biji-bijian dan produk samping dari pertanian juga berpeluang
meningkatkan konsentrasi AFM1 dalam susu. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Ghanem dan Orfi (2009) yang menunjukkan konsentrasi AFM1 pada
susu domba dan kambing relatif lebih rendah dibandingkan dengan susu sapi,
karena domba dan kambing digembalakan di padang rumput sedangkan sapi
dikandangkan dan diberi pakan konsentrat.
Dampak dari AFM1 dalam susu perlu diperhatikan walaupun berada di
bawah batas maksimum kandungan aflatoksin yang telah ditetapkan karena
paparan jangka panjang AFM1 dalam pangan pada tingkat yang sangat rendah
dapat mengganggu kesehatan manusia. Asupan harian (daily intake) untuk AFM1
yang dapat ditoleransi ialah 0.2 ng/kg berat badan (Kuiper-Goodman 1990). Dosis
dan durasi paparan aflatoksin sangat mempengaruhi akibat yang ditimbulkan,
seperti paparan aflatoksin dalam dosis tinggi mengakibatkan infeksi akut dan
kematian, sedangkan dosis subletal secara kronis menimbulkan gangguan nutrisi
dan imunologis (Williams et al. 2004). Paparan kronis aflatoksin dalam pangan
merupakan risiko utama terjadinya hepatoseluler karsinoma terutama di negara
dengan infeksi hepatitis virus B merupakan penyakit yang endemik. Kanker hati
merupakan kanker nomor lima paling banyak di Indonesia, dengan angka kejadian
dan kematian yang tinggi. Kasus kanker hati pada 483 orang menunjukkan
36 kasus (76%) berhubungan erat dengan sirosis hati, hepatitis B dan hepatitis C,
sedangkan 116 kasus (24%) berhubungan dengan faktor lain yang diduga karena
karsinogen termasuk aflatoksin (Rasyid 2006). Penelitian lain menunjukkan
bahwa aflatoksin terdeteksi pada 58% dari 80 pasien kanker hati, dengan
konsentrasi aflatoksin B1, G1, dan M1 pada spesimen hati mencapai 400 µg/kg
(Sudjadi et al. 1999).
Keberadaan AFM1 dalam susu perlu diperhatikan karena dapat mengganggu
kesehatan manusia. Oleh karena itu perlu dilakukan tindakan untuk pengendalian
AFM1 dalam susu. Cara yang paling efektif dalam pengendalian AFM1 dalam
produk susu ialah mengurangi kontaminasi AFB1 dari bahan baku pakan
konsentrat untuk sapi perah. Usaha pencegahan kontaminasi aflatoksin pada
bahan baku pakan dan pakan lebih efektif dilakukan terhadap pencegahan infeksi
kapang Aspergillus karena struktur aflatoksin yang stabil. Beberapa usaha
pencegahan kontaminasi aflatoksin yang dapat dilakukan antara lain penurunan
kadar air bahan pakan dan pakan, penurunan suhu dan kelembaban, penggunaan
bahan pakan yang bebas dari serangan hama dan penyakit, modifikasi atmosfir
ruang simpan dan kemasan pakan serta penggunaan biokontrol seperti yeast
(Iswari 2006).
17
Pengendalian aflatoksin pada pakan dan pangan dapat dilakukan dengan
penerapan konsep hazard analysis critical control point (HACCP). Secara umum
konsep HACCP merupakan suatu sistem jaminan mutu yang menekankan pada
pengawasan yang menjamin mutu sejak bahan baku sampai akhir produk.
HACCP ialah suatu sistem jaminan mutu yang berdasaarkan kepada kesadaran
bahwa hazard (bahaya) dapat timbul pada berbagai titik atau tahap produksi
tertentu, tetapi dapat dilakukan pengendaliannya untuk mengontrol bahaya-bahaya
tersebut (Winarno 2004). HACCP ialah suatu piranti untuk menilai bahaya dan
menetapkan sistem pengandalian yang memfokuskan pada pencegahan daripada
mengandalkan sebagian besar pengujian produk akhir (BSN 1998). Sistem
HACCP bukan merupakan sistem jaminan keamanan yang zero risk atau tanpa
resiko, tetapi dirancang unutk meminimalkan resiko bahaya keamanan pangan.
Dalam rangka mendesain program HACCP untuk aflatoksin, perhatian harus
diberikan terhadap faktor-faktor seperti cuaca, sistem pertanian dan peternakan,
teknologi sebelum masa panen melalui good agricultural practices (GAP), good
farming practices (GFP) dan sesudah masa panen melalui good manufacturing
practices (GMP). Faktor-faktor yang juga berpengaruh terhadap keberadaan
aflatoksin di peternakan ialah tempat penyimpanan pakan, penggunaan pakan sisa
dari pemberian pakan sebelumnya, cara pembersihan tempat pakan, kualitas air,
serta lamanya penyimpanan. Idealnya sistem ini akan meminimalkan resiko dari
setiap tahapan, baik pada saat penanaman, panen, produksi, proses pembuatan
pakan, dan distribusi hingga produk pangan asal ternak tersebut siap dikonsumsi
manusia.
Pembahasan
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Aflatoksin M1 ditemukan pada 57 sampel (95%) susu pasteurisasi produksi
Indonesia yang dijual di swalayan dan agen pengecer di Provinsi DKI Jakarta dan
Jawa Barat, namun konsentrasinya di bawah batas maksimum kandungan AFM1
yang ditetapkan dalam SNI 7385-2009.
Saran
Monitoring dan surveilans terhadap AFM1 pada susu dan produk olahannya
perlu dilakukan secara rutin untuk memastikan keamanan susu dan produk
olahannya yang beredar di pasaran. Pencegahan AFM1 pada susu perlu dilakukan
dari mulai peternakan, karena proses pemanasan tidak dapat menghilangkan
AFM1 dalam susu.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Sawaf SD, Abdullah OA, Sheet OH. Use of enzyme linked immunosorbent
assay for detection of aflatoxin M1 in milk powder. 2012. Iraqi J Vet Sci.
26(1):39-42.
[AOAC] Association of Analytical Communities. 2000. Aflatoxin M1 and M2 in
fluid milk liquid chromatographic method 49.3.06. Di dalam: AOAC
Official Method 982. Ed ke-26.
Bantaokul C, Ruangwises S. 2010. Carry-over of aflatoxin M1 into cow milk
during early lactation period. Proc 9th CU Vet Sci An Con. 128.
Behfar A, Khorasgani ZN, Alemzadeh Z, Goundarzi M, Ebrahimi R, Tarhani N.
2012. Determination of aflatoxin M1 levels in produced pasteurized milk
in Ahvaz City by using HPLC. Jundishapur J Nat Pharm Prod. 7(2):80-84.
doi:10.5812/jjpharma.4707.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1995. SNI 01-3141-1995 Susu Pasteurisasi.
Jakarta (ID): BSN.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1998. SNI 01-4852-1998 Sistem Analisa
Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis Critical Control
Point –HACCP) serta Pedoman Penerapannya. Jakarta (ID): BSN.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. SNI 7385:2009 Batas Maksimum
Kandungan Mikotoksin dalam Pangan. Jakarta (ID): BSN.
Burgess GW. 1995. Prinsip dasar ELISA dan variasi konfigurasinya. Artama WT,
penerjemah. Di dalam: Burgess GW, editor. Teknologi ELISA dalam
diagnosis dan Penelitian. Yogyakarta (ID): GM University Pr. Terjemahan
dari: ELISA Technology in Diagnosis and Research.
[CAC] Codex Alimentarius Commission. 2004. Code of Hygienic Practice for
Milk and Milk Products (ACA/CRP 57-2004) [internet]. [diunduh 2013
Feb 1]. Tersedia dari: www.codexalimentarius.org/input/download/
standards/.../ CXP_057e.pdf.
Celik TH, Sarimehmetoglu B, Kuplulu O. 2005. Aflatoxin M1 contamination in
pasteurised milk. Vet Arhiv. 75(1):57-65.
Cullen JM, Ruebner BH, Hsieh LS, Hyde DM, Hsieh DP. 1987. Carcinogenicity
of dietary aflatoxin M1 in male fischer rats compared to aflatoksin B1.
Cancer Res. 47:1913-1917.
Fernandez R. 2008. Microbiology Handbook Dairy Products. Cambridge (GB):
Leatherheas Food International Ltd.
Fillaeli A. 2007. Cemaran alami aflatoksin B1 dalam pakan konsentrat dan
aflatoksin M1 dalam susu sapi perah [tesis]. Yogyakarta (ID): Universitas
Gajah Mada.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2004. Worldwide Regulation for
Mycotoxins in Food and Feed in 2003 [internet]. [diunduh 2013 Apr 11].
Tersedia dari: http://www.fao.org/docrep/007/y5499e/y5499e00.htm
[FDA] Food and Drug Administration. 2009. Grade “A” Pasteurized Milk
Ordinance [internet]. [diunduh 2012 Feb 1]. Tersedia dari:
http://www.fda.gov/downloads/Food/FoodSafety/Product-SpecificInforma
tion/MilkSafety/NationalConferenceonInterstateMilkShipmentsNCIMSMo
delDocuments/UCM209789.pdf.
20
Ghanem I, Orfi M. 2009. Aflatoxin M1 in raw, pasteurized and powder milk
available in the Syrian market. Food Control. 20:603-605.
doi:10.1016/j.foodcont.2008.08.018.
Hassanin NI. 1994. Stabillity of aflatoxin M1 during manufacture and storage of
yoghurt, yoghurt-cheese and acidified milk. J Sci Food Agric. 65(1):31-34.
doi:10.1002/jsfa.2740650106.
Heshmati A, Milani JM. 2010. Contamination of UHT milk by aflatoxin M1 in
Iran. Food Control. 21:19-22. doi:10.1016/j.foodcont.2009.03.013.
Hussain I. 2011. Aflatoxin measurement and analysis. Di dalam: Torres-Pacheco I,
editor. Aflatoxins-Detection, Measurement and Control [Internet].
[diunduh
2013
Apr
5].
Tersedia
pada:
http://www.intechopen.com/books/aflatoxins-detection-measurement-andcontrol/aflatoxin-measurement-andanalysis1.
[IARC] International Agency for Research on Cancer. 2002. IARC Monographs
on the Evaluation of Carcinogenic Risks to Humans, Volume 82: Some
Traditional Herbal Medicines, Some Mycotoxins, Naphthalene and
Styrene. Perancis (FR): IARC.
Iswari K. 2006. Kontaminasi aflatoksin pada pakan ternak. Di dalam: Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor (ID): Balai
Penelitian Veteriner. hlm 151-157.
Jay JM, Loessner MJ, Golden DA. 2005. Modern Food Microbiology Ed ke-7.
New York (US): Spinger Science+Busine
DIAH NURHAYATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Deteksi Aflatoksin
M1 pada Susu Pasteurisasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor,
Agustus 2014
Diah Nurhayati
NIM B251110051
RINGKASAN
DIAH NURHAYATI. Deteksi Aflatoksin M1 pada Susu Pasteurisasi. Dibimbing
oleh HADRI LATIF dan AGUSTIN INDRAWATI.
Aflatoksin merupakan metabolit sekunder dari kapang Aspergillus flavus
dan A. parasiticus yang bersifat hepato-karsinogen dan dapat menyebabkan
kanker hati pada manusia. Aflatoksin M1 (AFM1) merupakan metabolit
hidroksilasi dari aflatoksin B1 (AFB1) dan dapat ditemukan pada susu akibat
hewan laktasi mengonsumsi pakan yang tercemar AFB1. AFM1 dapat ditemukan
pada produk olahan susu karena tidak terurai dengan pemanasan, baik suhu
pasteurisasi maupun sterilisasi. Penelitian ini bertujuan mendeteksi AFM1 pada
susu pasteurisasi produksi Indonesia yang dijual di swalayan dan agen pengecer di
Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Sampel yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas 60 susu pasteurisasi
produksi Indonesia yang beredar di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Sampel berupa
susu pasteurisasi tanpa penyedap cita rasa yang telah memiliki nomor BPOM RI.
Keberadaan AFM1 pada susu pasteurisasi dideteksi dengan menggunakan metode
enzym-linked immunosorbent assay (ELISA) kompetitif dengan menggunakan kit
ELISA untuk AFM1 (RIDASCREEN® Aflatoxin M1 Art. No.: R1121,
R-Biopharm, Jerman) dan uji konfirmasi dengan metode liquid chromatography tandem mass spectrometry (LC-MS/MS) dengan prosedur pengujian yang
diadopsi dari Association of Analytical Communities.
Hasil pengujian dengan metode ELISA menunjukkan bahwa AFM1
terdeteksi pada 57 sampel susu pasteurisasi (95%) dengan kisaran konsentrasi
20.77 sampai 458.87 ppt (93.72±69.72 ppt). Aflatoksin M1 dengan konsentrasi
10 sampai 50 ppt terdeteksi pada 14 sampel (23.33%), 41 sampel (68.33%)
dengan konsentrasi 50.01 sampai 250 ppt, dan 2 sampel (3.33%) dengan
konsentrasi 250.01 sampai 500 ppt. Uji konfirmasi dengan LC-MS/MS yang
dilakukan terhadap tujuh sampel yang memiliki konsentrasi AFM1 lebih dari 100
ppt pada uji ELISA menunjukan AFM1 terdeteksi pada uji LC-MS/MS.
Keberadaan AFM1 pada susu pasteurisasi berasal dari AFM1 yang ada pada susu
segar. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar sampel susu
pasteurisasi yang dijual di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat mengandung
AFM1, namun konsentrasinya tidak melebihi batas maksimum yang ditetapkan
oleh SNI 7385-2009 tentang Batas Maksimum Kandungan Mikotoksin dalam
Pangan yaitu 500 ppt.
Kata kunci: aflatoksin M1, enzyme-linked immunosorbent assay, liquid
chromatography-mass spectrometry, susu pasteurisasi
SUMMARY
DIAH NURHAYATI. Detection of Aflatoxin M1 in Pasteurized Milk. Supervised
by HADRI LATIF and AGUSTIN INDRAWATI.
Aflatoxins are secondary metabolites produces by Aspergillus flavus and
A. parasitucus which are hepatocarcinogen and consideres as major etiological
factors for human hepatocellular carcinoma. Aflatoxin M1 (AFM1) is the
hydroxylated metabolite of aflatoxin B1 (AFB1) and can be found in milk when
lactating animals are fed with contaminated feedstuffs. AFM1 may be found in
dairy products because it was not destroyed during pasteurization and sterilization.
This study was conducted to detect AFM1 in pasteurized milk that are produced
in Indonesia and sold in supermarkets and retail agents in Jakarta and West Java
Province.
The sample used in this study consisted of 60 local plain pasteurized milk
which were sold in supermarkets and retail agent in Jakarta and West Java. The
samples were taken with considering BPOM RI number, production code and
expired date. The presence of AFM1 in pasteurized milk detected with
competitive enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) using ELISA kits for
AFM1 (RIDASCREEN® Aflatoxin M1 Art. No.: R1121, R-Biopharm, Germany)
and then confirmed by liquid chromatography - tandem mass spectrometry
(LC-MS/MS) with testing procedures adopted from the Association of Analytical
Communities.
The result of this study showed that AFM1 was detected in 57 samples of
pasteurized milk at 20.77-458.87 ppt (93.20±69.72 ppt). AFM1 was found
between 10 to 50 ppt in 14 samples (23.33%), in 41 samples (68.33%) the
concentrations between 50.01 to 250 ppt, and in 2 samples (3.33%) the
concentration between 250.01 to 500 ppt. Seven samples which were the
concentration AFM1 above 100 ppt determined by ELISA then were confirmed
by LC-MS/MS showed that AFM1 was detected in pasteurized milk. The
existence of AFM1 in pasteurized milk can be derived from existing AFM1 in
fresh milk. The study could be concluded that most of pasteurized milk samples
sold in Jakarta and West Java Province are containing AFM1, but its
concentration was not exceed the maximum limits according to the national
standard of Indonesia 7385-2009 about maximum limit of mycotoxins in food
(500 ppt).
Keywords:
aflatoxin M1, enzyme-linked immunosorbent assay,
chromatography-mass spectrometry pasteurized milk
liquid
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DETEKSI AFLATOKSIN M1 PADA SUSU PASTEURISASI
DIAH NURHAYATI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr med vet drh Mirnawati B
Sudarwanto
Judul Tesis : Deteksi Aflatoksin M1 pada Susu Pasteurisasi
Nama
: Diah Nuhayati
NIM
: B251110051
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr med vet drh Hadri Latif, MSi
Ketua
Dr drh Agustin Indrawati, MBiomed
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr med vet drh Denny W Lukman, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Deteksi Aflatoksin M1
pada Susu Pasteurisasi berhasil diselesaikan dengan baik. Penulis menyadari
bahwa masih ada kekurangan dan kelemahan baik dalam segi materi, tata bahasa
maupun dalam memberikan deskripsi. Selama pengerjaan karya ilmiah ini, penulis
mendapatkan banyak saran dan masukan yang membangun dari berbagai pihak
dalam penyempurnaan tulisan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr med vet drh Hadri Latif, MSi
selaku ketua komisi pembimbing dan Dr drh Agustin Indrawati, MBiomed selaku
anggota komisi pembimbing atas bimbingan, saran, dan arahannya dalam
penyelesaian karya ilmiah ini. Penghargaan dan ucapan terimakasih penulis
sampaikan kepada Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi sebagai Ketua
Program Studi serta seluruh staf pengajar, tenaga kependidikan dan rekan-rekan
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor yang telah membantu dan memberi dukungan kepada penulis
sampai selesainya penyusunan karya ilmiah ini. Terimakasih dan penghargaan
penulis sampaikan kepada Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya
Manusia Pertanian Kementerian Pertanian Republik Indonesia yang telah
memberikan beasiswa selama masa pendidikan di Institut Pertanian Bogor.
Terimakasih kepada Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan Bogor
dan Laboratorium Kesehatan Daerah DKI Jakarta atas bantuannya dalam
pelaksanaan pengujian. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Ibu Arti
Suryaningsih Djohan atas bantuan materi selama menempuh pendidikan
pascasajana, serta Ibunda Samiyati Angka Wijaya dan keluarga atas doa dan kasih
sayangnya. Akhirnya penulis persembahkan karya ilmiah ini untuk suami tercinta
drh Santoso, MSi yang telah memberikan doa dan semangatnya yang begitu besar.
Atas semua kebaikan yang telah penulis terima, semoga Allah subhanahu
wa ta’ala melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Semoga
karya ilmiah ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan informasi yang berguna
bagi semua pihak.
Bogor,
Agustus 2014
Diah Nurhayati
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis Penelitian
1
1
2
2
2
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Susu Pasteurisasi
Aflatoksin M1
Batas Maksimum Kandungan Aflatoksin M1
Metode Deteksi Aflatoksin M1
4
4
5
6
7
3 METODE
Bahan
Alat
Prosedur Pengujian
Prosedur Analisis Data
9
9
9
10
11
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
12
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
18
18
18
DAFTAR PUSTAKA
19
LAMPIRAN
23
RIWAYAT HIDUP
24
DAFTAR TABEL
1 Temperatur dan waktu pasteurisasi susu
2 Standar mutu susu pasteurisasi (SNI 01-3951-1995)
3 Batas maksimum kandungan aflatoksin M1 dalam susu dan produk
olahannya
4 Batas maksimum Aflatoksin M1 di beberapa negara
5 Konsentrasi Aflatoksin M1 pada susu pasteurisasi
4
5
6
7
13
DAFTAR TABEL
1 Kurva standar uji ELISA untuk aflatoksin M1
2 Hasil LC-MS/MS dari standar AFM1 10 ppt, kontrol negatif, sampel
VM5, dan spike sampel dengan AFM1 10 ppt
13
14
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan asal hewan yang beredar untuk konsumsi manusia harus
memenuhi syarat keamanan pangan. Keamanan pangan menurut Undang-undang
nomor 7 tahun 1996 ialah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (Sekneg RI
1996). Penyakit pada manusia yang ditularkan melalui pangan disebut dengan
foodborne disease. Foodborne disease dapat terjadi akibat infeksi, toksikoinfeksi,
dan intoksikasi. Intoksikasi pangan terjadi akibat mengonsumsi pangan yang
mengandung toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme, seperti toksin dari
Staphylococcus aureus, toksin dari Clostridium botulinum, dan mikotoksin dari
kapang (Ray 2004).
Mikotoksin merupakan hasil metabolit sekunder dari beberapa genus
kapang seperti Aspergillus spp., Penicillium spp., dan Fusarium spp. Kontaminasi
mikotoksin dalam pangan dapat menyebabkan gangguan kesehatan bagi manusia
karena bersifat karsinogenik, teratogenik, hepatotoksik, neurotoksik, dan
nefrotoksik (Sengun et al. 2008). Mikotoksin penting yang dapat menyebabkan
gangguan kesehatan pada manusia antara lain aflatoksin, okhratoksin, patulin,
zearalenon, dan trikotesen (Syarief et al. 2003).
Aflatoksin merupakan mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang
Aspergillus flavus dan A. parasiticus (IARC 2002). Kapang tersebut dapat
mengontaminasi bahan pakan ternak dan akan menghasilkan toksin berupa
aflatoksin B1, B2, G1, dan G2 (Syarief et al. 2003). Aflatoksin yang ada dalam
pakan jika terkonsumsi oleh hewan ternak akan meninggalkan residu aflatoksin
pada produk ternak seperti daging, telur, dan susu. Sapi perah yang mengonsumsi
pakan yang terkontaminasi aflatoksin B1 (AFB1) akan mengekskresikan
metabolit hidroksilasi berupa aflatoksin M1 (AFM1) ke dalam susu yang
dihasilkan (Prandini et al. 2009).
Aflatoksin M1 dapat masuk ke dalam rantai pangan manusia melalui susu.
Kendala utama dalam penanganan AFM1 pada susu ialah sifatnya yang stabil
pada pemanasan, baik suhu pasteurisasi maupun sterilisasi, dan proses
penyimpanan (Stoloff et al. 1975). Aflatoksin M1 tidak terurai pada pemanasan
mencapai 250 °C (Syarief et al. 2003), sehingga masih dapat ditemukan pada
susu pasteurisasi (Celik et al. 2005), susu ultra high temperature (Ghanem dan
Orfi 2009; Heshmati dan Milani 2010), susu bubuk (Al-Sawaf et al. 2012), dan
keju (Sarimehmetoglu et al. 2004). Keberadaan AFM1 dalam pangan dapat
dideteksi secara kualitatif dan kuantitatif. Metode deteksi yang dapat digunakan
antara lain high performance liquid chromatography (HPLC), gas
chromatography (GC), liquid chromatography-mass spectrometry (LC-MS),
fluorimetri, dan immunoassay seperti enzyme linked immunosorbent assay
(ELISA) (Maryam 2007). Metode ELISA digunakan untuk mendeteksi
mikotoksin karena memiliki spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi (Zheng et al.
2006).
2
Aflatoksin dapat mengakibatkan kerusakan hati dan kanker hati apabila
dikonsumsi dalam jumlah kecil secara terus menerus (Syarief et al. 2003).
International Agency for Research on Cancer (IARC 2002) mengklasifikasikan
AFM1 sebagai penyebab kanker pada manusia (carcinogenic to human). Oleh
karena itu beberapa negara menetapkan konsentrasi maksimum kandungan AFM1
dalam produk susu, seperti Amerika Serikat sebesar 500 ppt dan Uni Eropa
sebesar 50 ppt (FAO 2004). Batas maksimum kandungan AFM1 pada susu dan
produk olahan susu di Indonesia ditetapkan dalam SNI 7385-2009 tentang Batas
Maksimum Kandungan Mikotoksin dalam Pangan yaitu 500 ppt (BSN 2009).
Perumusan Masalah
Keberadaan AFM1 pada susu segar dari beberapa daerah di Indonesia telah
dilaporkan dengan konsentrasi yang bervariasi. Kandungan AFM1 pada susu
segar dari peternakan rakyat di Kota Bogor dan Pangalengan (Kabupaten
Bandung) menunjukkan 78.38% (29 dari 37 sampel) terdeteksi AFM1 dengan
konsentrasi antara 1 sampai 1200 ppt (Widiastuti et al. 2006). Deteksi AFM1 pada
susu segar yang berasal dari peternakan sapi perah di Yogyakarta menunjukkan
bahwa AFM1 terdeteksi pada 57.5% sampel dengan konsentrasi antara 5 sampai
25 ppt (Nuryono et al. 2009). Penelitian lain terhadap susu segar dari peternakan
sapi perah di Yogyakarta menunjukkan kandungan AFM1 dengan konsentrasi
antara 33 sampai 113 ppt (Fillaeli 2007).
Kendala utama penanganan AFM1 dalam susu ialah sifatnya yang stabil
pada pemanasan (Stoloff et al. 1975), sehingga masih dapat ditemukan pada susu
pasteurisasi (Celik et al. 2005). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk
mendeteksi kandungan AFM1 pada susu pasteurisasi produksi Indonesia sehingga
dapat menggambarkan keamanan dari susu pasteurisasi yang dijual di swalayan
dan agen pengecer.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mendeteksi kandungan AFM1 pada susu
pasteurisasi produksi Indonesia yang dijual di swalayan dan agen pengecer di
Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
tingkat kandungan AFM1 pada susu pasteurisasi produksi Indonesia dan
informasi bahwa susu pasteurisasi yang dijual di swalayan dan agen pengecer
aman dikonsumsi oleh masyarakat ditinjau dari keberadaan AFM1.
3
Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini ialah susu pasteurisasi
produksi Indonesia mengandung AFM1 dan kandungan AFM1 pada susu
pasteurisasi tidak melebihi batas maksimum kandungan yang ditetapkan dalam
SNI 7385:2009 tentang Batas Maksimum Kandungan Mikotoksin dalam Pangan
yaitu 500 ppt.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Susu Pasteurisasi
Susu pasteurisasi ialah susu segar, susu rekonstitusi dan susu rekombinasi
yang telah mengalami pemanasan pada 63-66 °C selama minimum 30 menit atau
72 °C selama minimum 15 detik, kemudian segera didinginkan sampai 10 °C,
diperlakukan secara aseptis dan disimpan pada temperatur maksimum 4.4 °C
(BSN 1995). Pasteurisasi pada susu dilakukan dengan tujuan untuk
menghilangkan mikroba patogen yang membahayakan kesehatan manusia tanpa
mengubah rasa, konsistensi, dan kandungan nutrisi susu (Murdiati et al. 2004).
Pasteurisasi susu dapat dilakukan dengan metode low temperature-long
time (LTLT, 63 °C selama 30 menit) dan high temperature-short time (HTST,
72 °C selama 15 detik) (CAC 2004). Waktu dan temperatur pasteurisasi
didasarkan oleh thermal death time (TDT) bakteri patogen non-spora yang paling
tahan panas pada susu. Metode LTLT pada awalnya menggunakan pemanasan
61.67 °C (143 °F) selama 30 menit yang merupakan TDT Mycobacterium
tuberculosis, kemudian diubah menjadi 63 °C (145 °F) selama 30 menit setelah
ditemukan Coxiella burnetti pada susu sapi, kambing, dan domba (Jay et al. 2005).
Temperatur dan waktu pasteurisasi susu yang direkomendasikan oleh Food and
Drug Administration (FDA 2009) ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Temperatur dan waktu pasteurisasi susu
Temperatur
63 °C (145 °F)
72 °C (161 °F)
89 °C (191 °F)
90 °C (194 °F)
94 °C (201 °F)
96 °C (204 °F)
100 °C (212 °F)
Waktu
30 menit
15 detik
1.0 detik
0.5 detik
0.1 detik
0.05 detik
0.01 detik
Pasteurisasi pada susu bertujuan untuk menjamin keamanan mikrobiologi
dan memperpanjang umur simpan (Fernandez 2008). Susu pasteurisasi yang
disimpan pada temperatur maksimal 6 °C memiliki umur simpan 10-12 hari,
sedangkan pada temperatur maksimal 10 °C umur simpan hanya 3-4 hari (Rysstad
dan Kolstad 2006). Susu pasteurisasi dikemas secara aseptik dalam botol, karton
yang dilapisi polyethylene atau aluminium foil, kantong plastik, atau bahan lain
yang tidak mempengaruhi isi (BSN 1995). Susu pasteurisasi terdiri atas susu
pasteurisasi tanpa penyedap cita rasa dan susu pasteurisasi yang diberi penyedap
cita rasa dengan syarat mutu yang ditetapkan dalam SNI 01-3951-1995 tentang
susu pasteurisasi (Tabel 2).
5
Tabel 2 Standar mutu susu pasteurisasi (SNI 01-3951-1995)
Syarat Jenis
Karakteristik
Bau, rasa dan warna
Kadar lemak, % (w/w) min.
Kadar padatan tanpa lemak, % (w/w) min.
Uji Reduktase dengan methilen biru
Kadar protein, % (w/w) min.
Uji fosfatase
TPC (Total Plate Count)/ml, maks.
Coliform presumtive maksimal (MPN/ml)
Logam berbahaya
As (ppm) maks.
Pb (ppm) maks.
Cu (ppm) maks.
Zn (ppm) maks.
Bahan pengawet
A
Khas
2.8
7.7
0
2.5
0
3x104
10
B
Khas
1.5
7.5
0
2.5
0
3x104
10
1
1
1
1
2
2
5
5
Sesuai dengan Permenkes
No. 235/Men.Ks/Per/IV/79
A: susu pasteurisasi tanpa penyedap cita rasa, B: susu pasteurisasi diberi penyedap cita rasa.
Aflatoksin M1
Mikotoksin merupakan metabolit sekunder dari beberapa genus kapang
sebagai hasil dari pertumbuhan kapang (Sweeney dan Dobson 1998). Mikotoksin
dalam bahan pangan dapat menyebabkan gangguan kesehatan bagi manusia yang
disebut dengan mikotoksikosis (Syarief et al. 2003). Mikotoksikosis terjadi
apabila toksin terkonsumsi oleh manusia dalam jumlah yang tidak dapat
ditoleransi oleh tubuh. Mikotoksin telah dilaporkan bersifat karsinogenik,
teratoganik, hepatotoksik, neurotoksik, dan nefrotoksik (Sengun et al. 2008).
Mikotoksin penting yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan bagi manusia
antara lain aflatoksin, okhratoksin, patulin, zearalenon, dan trikotesen (Syarief
et al. 2003).
Mikotoksin dapat ditemukan dalam pangan asal hewan akibat kontaminasi
langsung dan kontaminasi tidak langsung (carry-over dari pakan). Kontaminasi
langsung terjadi akibat pertumbuhan kapang pada pangan karena cemaran.
Kontaminasi tidak langsung terjadi akibat hewan mengonsumsi pakan yang
tercemar mikotoksin dan mengekskresikan residu mikotoksin ke dalam produk
hewan seperi daging, telur, dan susu (Sengun et al. 2008; Prandini et al. 2009).
Aflatoksin merupakan mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang
Aspergillus flavus dan A. parasiticus (IARC 2002). Kapang tersebut dapat
mencemari bahan pakan seperti jagung, bungkil kedelai, dan silase, dan akan
menghasilkan aflatoksin. Aflatoksin yang umum ditemui dalam pakan ternak ialah
aflatoksin B1, B2, G1, dan G2. Mamalia laktasi yang mengonsumsi pakan yang
terkontaminasi aflatoksin B1 (AFB1) akan mengekskresikan metabolit
hidroksilasi berupa aflatoksin M1 (AFM1) ke dalam susu yang dihasilkan. Sapi
laktasi yang mengonsumsi 40 µg AFB1 akan menghasilkan susu yang
6
mengandung AFM1 dengan konsentrasi 0.05 µg/kg dalam waktu 2-3 hari setelah
konsumsi AFB1 (Prandini et al. 2009). Tingkat carry-over AFM1 bervariasi
bergantung pada konsentarsi AFB1 dalam pakan. Penelitian Bantaokul dan
Ruangwises (2010) menyatakan tingkat carry-over AFB1 ke dalam susu sapi
selama periode laktasi ialah 2.35±0.7%. Tingkat carry-over AFB1 dalam pakan
menjadi AFM1 pada susu sapi peranakan Friesian Holstein di Yogyakarta sebesar
0.1%, nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan tingkat carry-over pada sapi
perah di daerah sub-tropis (Sumantri et al. 2012).
Aflatoksin yang banyak ditemukan pada bahan pakan dan bersifat toksik
ialah AFB1 (Sweeney dan Dobson 1998). Aflatoksin merupakan hepatokarsinogen yang dapat mengakibatkan kerusakan hati dan apabila dikonsumsi
dalam jumlah kecil secara terus menerus dapat mengkibatkan kanker hati (Syarief
et al. 2003). International Agency for Research on Cancer (IARC 2002) telah
mengklasifikasikan mikotoksin sebagai salah satu penyebab kanker pada manusia,
karsinogenitas AFB1 dan AFM1 diklasifikasikan ke dalam grup 1 (carcinogenic
to humans).
Aflatoksin M1 bersifat sitotoksik pada beberapa spesies, dengan tingkat
sitotoksik yang serupa dengan AFB1 (Prandini et al. 2009). Penelitian pada tikus
Fischer jantan yang diberi pakan AFM1 50 µg/kg mulai umur 7 minggu sampai
21 minggu menunjukkan 2 dari 37 tikus terdeteksi hepatoseluler karsinoma dan 6
dari 37 tikus terdeteksi neoplastic nodules pada umur 19-21 bulan, sedangkan 19
dari 20 tikus yang beri pakan AFB1 50 µg/kg terdeteksi hepatoseluler karsinoma
pada umur 19 bulan (Cullen et al. 1987).
Batas Maksimum Kandungan Aflatoksin M1
Batas maksimum kandungan mikotoksin ialah konsentrasi maksimum
mikotoksin yang diizinkan terdapat dalam pangan (BSN 2009). Batas maksimum
kandungan AFM1 dalam susu dan produk olahannya di Indonesia ditetapkan
dalam SNI 7385-2009 tentang batas maksimum kandungan mikotoksin dalam
pangan (Tabel 3).
Tabel 3 Batas maksimum kandungan aflatoksin M1 dalam susu dan produk
olahannya di Indonesia
Pangan
Susu dan minuman berbasis susu
Susu fermentasi dan produk susu hasil hidrolisa
enzim renin (plain)
Susu kental dan analognya
Krim (plain) dan sejenisnya
Susu bubuk dan krim bubuk dan bubuk analog
Keju dan keju analog
Batas maksimum AFM1
(ppt)
500
500
500
500
500
500
Batas maksimum kandungan AFM1 dalam susu berbeda di beberapa
negara dengan kisaran 10 sampai 500 ppt. Batas maksimum Aflatoksin M1 di
7
beberapa negara menurut Food and Agriculture Organization (2004) disajikan
pada Tabel 4.
Tabel 4 Batas maksimum Aflatoksin M1 di beberapa negara
Negara
Uni Eropa
Amerika
China
Jerman
Turki
Iran
Afrika Selatan
Argentina, Brazil,
Paraguay, Uruguay
Produk pangan
Susu segar, susu pasteurisasi dan
produk olahannya
Susu
Susu dan produk olahannya
Susu
Makanan bayi
Susu dan makanan bayi
Susu bubuk
Susu segar, susu pasteurisasi
Susu bubuk
Susu bayi
Susu
Susu cair
AFM1 (ppt)
50
500
500
50
10
50
500
50
500
10
50
500
Metode Deteksi Aflatoksin M1
Deteksi mikotoksin bertujuan untuk mengetahui keberadaan mikotoksin
dalam bahan pangan dan mengetahui konsentrasi mikotoksin tersebut. Analisis
yang dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya toksin disebut deteksi kualitatif,
sedangkan analisis untuk menentukan konsentrasi mikotoksin disebut deteksi
kuantitatif (Syarief et al. 2003). Metode analisis mikotoksin telah banyak
dikembangkan untuk menganalisis mikotoksin dalam pangan dan pakan. Metode
deteksi yang banyak digunakan antara lain visualisasi blue green yellow
fluorescense (BGYF), thin layer chromatography (TLC), high performance liquid
chromatography (HPLC), gaschromatography (GC), liquid chromatographymass spectrometry (LC-MS), fluorimetri dan immunoassay (Maryam 2007).
Metode immunoassay seperti enzyme linked immunosorbent assay
(ELISA) telah banyak digunakan untuk mendeteksi AFM1 pada susu segar, susu
pasteurisasi, susu bubuk, dan keju (Sarimehmetoglu et al. 2004; Celik et al. 2005;
Nuryono et al. 2009, Al-Sawaf et al. 2012). ELISA merupakan suatu teknik
deteksi dengan metode serologis yang berdasarkan reaksi spesifik antara antigen
dan antibodi dengan menggunakan enzim sebagai indikator (McCarthy 2003).
Prinsip dasar ELISA ialah analisis interaksi antara antigen dan antibodi yang
teradsorpsi secara pasif pada permukaan fase padat dengan menggunakan
konjugat antibodi atau antigen yang dilabel enzim. Enzim ini akan bereaksi
dengan substrat dan menghasilkan warna. Warna yang timbul dapat ditentukan
secara kuantitatif dengan pembacaan nilai absorbansi pada ELISA plate reader
(Burgess 1995).
Mikotoksin merupakan hapten yang tidak dapat menginduksi respon
antibodi, sehingga untuk dapat bersifat imunogenik hapten harus dikonjugasikan
dengan molekul pembawa yang bersifat imunogen (Layton 1995). Molekul
pembawa yang umum digunakan untuk dikonjugasikan dengan hapten ialah
8
bovine serum albumin (BSA) (Hussain 2011). Prinsip dasar ELISA yang umum
digunakan untuk mengukur hapten ialah ELISA kompetitif (Burgess 1995). Pada
ELISA kompetitif, antibodi spesifik untuk aflatoksin yang telah terikat pada fase
padat akan berikatan dengan aflatoksin dalam sampel atau standar. Enzim
konjugat yang ditambahkan akan bersaing untuk berikatan dengan antibodi,
kemudian enzim konjugat yang berikatan dengan antibodi akan bereaksi dengan
substrat dan memberikan warna (Hussain 2011). Jika aflatoksin dalam sampel
semakin tinggi maka semakin sedikit enzim konjugat yang berikatan dengan
antibodi, sehingga warna yang terbentuk akan semakin pudar (McCarthy 2003).
Uji konfirmasi untuk mikotoksin dapat menggunakan metode biologi dan
metode kimia. Metode biologi dilakukan dengan cara memberikan mikotoksin
kepada hewan yang peka, sedangkan metode kimia dilakukan dengan
mereaksikan senyawa yang dianalisis dengan zat kimia tertentu, dapat
menggunakan HPLC dan spektrofotometer (Syarief et al. 2003).
Liqiud chromatography-mass spectrometry (LC-MS) ialah teknik analisis
kimia yang menggabungkan kemampuan pemisahan fisik dari liquid
chromatography (LC) dengan kemampuan analisis massa dari mass spectrometry
(MS). Deteksi mikotoksin dengan LC-MS dapat dilakukan tanpa proses
derivatisasi. Pada LC-MS, sampel yang telah dipisahkan dalam kolom diuapkan
pada suhu tinggi, kemudan diionisasi. Ion yang terbentuk difragmentasi sesuai
dengan rasio massa/muatan (m/z) yang selanjutnya dideteksi secara elektrik.
Beberapa metode ionisasi yang banyak diaplikasikan untuk identifikasi dan
deteksi mikotoksin ialah electrospray ionization (ESI) dan fast atom
bombardment (FAB). LC-MS memiliki selektivitas yang tinggi sehingga
identifikasi dan kuantifikasi dapat dilakukan dengan jumlah sampel yang sedikit
(Maryam 2007).
9
3 METODE
Deteksi Aflatoksin M1 (AFM1) pada susu pasteurisasi dilakukan dengan
metode ELISA kompetitif dan dikonfirmasi dengan metode liquid
chromatography - tandem mass spectrometry (LC-MS/MS). Pengambilan sampel
susu pasteurisasi dilakukan di swalayan dan agen pengecer di Provinsi DKI
Jakarta dan Jawa Barat. Pengujian sampel dilakukan di Balai Pengujian Mutu dan
Sertifikasi Produk Hewan (BPMSPH) Bogor dan Laboratorium Kesehatan Daerah
Provinsi DKI Jakarta. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus
2013.
Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini dihitung menggunakan
rumus besaran sampel deskriptif numerik (Sopiyudin 2010). Rumus yang
digunakan dalam menentukan jumlah sampel ialah:
��. �
�=
�
Keterangan:
n = ukuran sampel
Z = 1.96 (α=0.05)
S = simpangan baku
d = nilai presisi
2
Nilai simpangan baku menggunakan hasil penelitian deteksi AFM1 pada
susu segar yang berasal dari Indonesia dengan metode ELISA yaitu
8.53±3.92 ng/L (Nuryono et al. 2009), dengan nilai presisi 1. Jumlah sampel yang
diambil berdasarkan perhitungan rumus tersebut ialah 60 sampel. Sampel yang
diambil ialah susu pasteurisasi tanpa penyedap cita rasa yang telah memiliki
nomor BPOM RI. Sampel diambil minimal 1 liter dengan memperhatikan
kemasan tidak rusak atau cacat, kode produksi dan tanggal kadaluarsa. Sampel
dibawa ke laboratorium menggunakan kotak berpendingin, kemudian disimpan
beku sampai dilakukan pengujian.
Bahan
Bahan yang digunakan ialah susu pasteurisasi dan untuk pengujian ELISA
digunakan kit ELISA untuk aflatoksin M1 (RIDASCREEN® AFM1 R1121,
R-Biopharm, Jerman). Bahan yang digunakan untuk pengujian LC-MS/MS ialah
larutan aflatoksin M1 standar, methanol, aquabidest, acetonitril dan ammonium
acetat.
Alat
Alat yang digunakan untuk pengujian ELISA antara lain sentrifuse, pipet,
mikropipet 20-200 µl dan 200-1000 µl, dan mikrotiter plate spektrofotometer
(Dynex Technologies Inc, USA). Alat yang digunakan untuk pengujian
LC-MS/MS ialah seppak C18, turbovab evaporator, dan LC-MS/MS.
10
Prosedur Pengujian
Pengujian Aflatoksin M1 dengan ELISA
Analisis residu AFM1 dalam sampel susu pasteurisasi dilakukan dengan
metode ELISA kompetitif berdasarkan prosedur pemeriksaan dalam kit ELISA
untuk AFM1 (RIDASCREEN® Aflatoxin M1 (Art. No.: R1121), R-Biopharm,
Jerman) dan sampel diuji secara duplo. Sampel susu dikondisikan pada suhu
10 °C, kemudian disentrifuse pada 3500 g selama 10 menit. Krim pada lapisan
atas dihilangkan menggunakan pipet pasteur, kemudian 100 µl susu yang telah
dihilangkan lemaknya digunakan untuk pengujian.
Larutan antibodi anti-aflatoxin M1 sebanyak 100 µ l ditambahkan ke setiap
sumur dari microwell, dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu ruang (20-25 °C)
selama 15 menit. Larutan antobodi dibuang dengan cara membalikkan posisi
microwell pada kertas penyerap, kemudian dilakukan pencucian sebanyak 3 kali
dengan 250 µL larutan washing buffer pada setiap sumur. Standar AFM1 dan
sampel masing-masing sebanyak 100 µ l ditambahkan ke setiap sumur,
dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu ruang dalam keadaan gelap selama
30 menit. Cairan standar dan sampel dibuang dengan cara membalikkan posisi
microwell pada kertas penyerap, kemudian dilakukan pencucian sebanyak 3 kali
dengan 250 µl larutan washing buffer. Enzim konjugat (100 µl) ditambahkan
ke setiap sumur, dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu ruang dalam keadaan
gelap selama 15 menit. Cairan dibuang dengan cara membalikkan posisi
microwell pada kertas penyerap, kemudian dilakukan pencucian sebanyak 3 kali
dengan 250 µl larutan washing buffer. Substrat/chromogen sebanyak 100 µ l
ditambahkan ke setiap sumur dan dihomogenkan, kemudian diinkubasi pada suhu
ruang dalam keadaan gelap selama 15 menit. Reaksi dihentikan dengan
menambahkan 100 µl stop solution ke setiap sumur. Absorbansi diukur dengan
ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. Pembacaan dilakukan dalam
jangka waktu 15 menit setelah penambahan stop solution dengan melihat nilai
optical density (OD) yang tercetak dari ELISA reader, kemudian diintegrasikan
ke dalam bentuk kurva kalibrasi standar menggunakan software RIDA®SOFT
Win (Art. No. Z9999).
Pengujian Aflatoksin M1 dengan LC-MS/MS
Pengujian AFM1 dengan menggukan metode LC-MS/MS dilakukan dengan
prosedur pengujian yang dikembangkan oleh Association of Analytical
Communities (AOAC 2000). Pada awal pengujian dilakukan pembuatan kurva
standar AFM1 yaitu 10 ppt, 50 ppt, 100 ppt, 250 ppt, 500 ppt, 1000 ppt, dan
2000 ppt. Sampel susu yang telah disimpan beku, dicairkan pada suhu ruang,
kemudian sampel sebanyak 5 ml dipipet ke dalam seppak C18 yang telah
dikondisioning dengan menggunakan 3 ml methanol dan 3 ml aquabidest. Seppak
C18 dicuci dengan 2 ml aquabidest dan dielusi dengan 3 ml campuran methanol
dan acetonitril (1:1), kemudian dikeringkan dengan menggunakan turbovab
evaporator pada suhu 40 °C selama 60 menit. Residu AFM1 dilarutkan dengan
fase gerak berupa campuran methanol dan ammonium acetat (60:40) kemudian
diinjeksikan sebanyak 30 µl pada LC-MS/MS.
11
Prosedur Analisis Data
Variabel yang diamati pada penelitian ini ialah kandungan AFM1 pada susu
pasteurisasi. Analisis data yang digunakan ialah analisis deskriptif dengan
menyajikan hasil uji dalam bentuk tabel dan gambar.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis sampel yang dianalisis pada penelitian ini ialah susu pasteurisasi
tanpa penyedap cita rasa yang diproduksi di Indonesia dengan produsen yang
berada di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pengambilan sampel dilakukan di swalayan dan agen pengecer yang memiliki
tempat berpendingin di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat. Susu pasteurisasi
dikemas dalam kemasan yang bervariasi seperti karton, botol plastik, gelas plastik,
dan kantong plastik dengan volume antara 165 ml sampai 1 liter. Masa kadaluarsa
sampel susu pasteurisasi yang tertulis dalam kemasan bervariasi antara 5 sampai
29 hari.
Deteksi AFM1 pada susu pasteurisasi dalam penelitian ini menggunakan
metode ELISA kompetitif dan dilanjutkan dengan uji konfirmasi dengan
LC-MS/MS. Metode ELISA digunakan untuk mendeteksi mikotoksin karena
memiliki spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi, dan mampu menguji sampel
dalam jumlah banyak pada waktu bersamaan dengan preparasi sampel yang
sederhana dan prosedur kerja yang cepat (Zheng et al. 2006). Oleh karena itu
metode ELISA dapat digunakan sebagai uji tapis (screening test) untuk deteksi
AFM1. Kelemahan dari metode ELISA ialah adanya reaksi silang dengan
senyawa-senyawa yang memiliki struktur inti sama. Faktor penting yang harus
diperhatikan dalam metode ELISA antara lain penanganan terhadap kit ELISA,
masa kadaluarsa, peralatan yang digunakan untuk pengujian sudah dikalibrasi
dengan baik, serta keterampilan dan pengalaman analis dalam melakukan
pengujian (Burgess 1995).
Hasil pengujian ELISA untuk AFM1 dilakukan dengan mengalkulasi hasil
uji sampel dengan kurva standar uji ELISA. Tipikal kurva standar uji ELISA
untuk AFM1 disajikan pada Gambar 1. Limit deteksi uji ELISA yang digunakan
untuk mendeteksi AFM1 pada penelitian ini ialah 10 ppt dengan 50% inhibition
concentration (IC50) sebesar 31.8 ppt. Limit deteksi merupakan tingkat
konsentrasi terendah yang dapat digunakan untuk mendeteksi suatu substansi.
Hasil pengujian AFM1 pada susu pasteurisasi dengan metode ELISA
menunjukkan AFM1 terdeteksi pada 57 sampel (95%) dengan konsentrasi
20.77 sampai 458.87 ppt (93.20±69.72 ppt). Aflatoksin M1 dengan kisaran
konsentrasi 10 sampai 50 ppt terdeteksi pada 14 sampel (23.33%), 41 sampel
(68.33%) dengan kisaran konsentrasi 50.01 sampai 250 ppt, dan 2 sampel (3.33%)
dengan kisaran konsentrsi 250.01 sampai 500 ppt (Tabel 5). Aflatoksin M1 pada
susu pasteurisasi yang diperiksa tidak melebihi batas maksimum yang ditetapkan
oleh SNI 7385:2009 yaitu 500 ppt, tetapi 71.67% sampel melebihi batas
maksimum AFM1 yang ditetapkan Uni Eropa yaitu 50 ppt.
13
Gambar 1 Kurva standar uji ELISA untuk aflatoksin M1.
Tabel 5 Konsentrasi Aflatoksin M1 pada susu pasteurisasi
Konsentrasi AFM1 (ppt)
Jumlah sampel
a
< 10a
3
(5%)
10-50
14
(23.33%)
50.01-250
41
(68.33%)
250.01-500
2
(3.33%)
Rata-rata
konsentrasi AFM1
(ppt)
93.20±69.72
Konsentrasi AFM1 dibawah limit deteksi uji (10 ppt)
Sampel yang menunjukkan hasil positif dengan metode ELISA kemudian
dikonfirmasi untuk memastikan AFM1 pada susu pasteurisasi. Uji konfirmasi
AFM1 pada susu pasteurisasi dalam penelitian ini dilakukan dengan metode
LC-MS/MS. Metode LC-MS/MS dapat mendeteksi mikotoksin secara kualitatif
dan kuantitatif dengan tingkat akurasi dan presisi, serta spesifisitas dan
sensitivitas yang tinggi. Kelemahan dari metode LC-MS/MS ialah instrumen yang
mahal serta membutuhkan analis yang terlatih (Maryam 2007). Uji LC-MS/MS
dilakukan terhadap 7 sampel susu pasteurisasi yang memiliki konsentrasi AFM1
lebih dari 100 ppt pada uji ELISA. Limit deteksi uji LC-MS/MS pada penelitian
ini ialah 10 ppt. Residu AFM1 pada sampel susu pasteurisasi terdeteksi pada uji
LC-MS/MS seperti terlihat pada kromatogram hasil uji LC-MS/MS pada
Gambar 2.
14
A
B
C
D
Gambar 2 Hasil LC-MS dari standar AFM1 10 ppt (A), kontrol negatif (B),
sampel VM5 (C), spike sampel dengan AFM1 10 ppt (D).
Keberadaan AFM1 pada susu pasteurisasi dapat berasal dari AFM1 yang
ada pada susu segar. Hal ini disebabkan oleh AFM1 memiliki sifat yang stabil
terhadap pemanasan suhu pasteurisasi (Stoloff et al. 1975), sehingga AFM1 masih
dapat ditemukan pada susu pasteurisasi (Celik et al. 2005). Penelitian
Mohammadian et al. (2010) menunjukkan bahwa konsentrasi AFM1 pada susu
segar dan susu pasteurisasi yang berasal dari Sanandaj (Iran) tidak berbeda nyata.
Aflatoksin M1 dapat ditemukan pada susu segar akibat kontaminasi tidak
langsung atau carry-over dari pakan. Mamalia laktasi yang mengonsumsi pakan
yang terkontaminasi AFB1 akan mengekskresikan metabolit hidroksilasi berupa
AFM1 ke dalam susu yang dihasilkan (Prandini et al. 2009). Kondisi iklim tropis
seperti di Indonesia sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan kapang
15
A. flavus dan A. parasiticus pada bahan pakan ternak yang akan memproduksi
aflatoksin pada bahan pakan tersebut. Kapang A. flavus dapat tumbuh pada suhu
10-45 °C, dengan Aw minimum 0.80 dan kelembaban relatif lebih dari 85%, suhu
optimum untuk memproduksi aflatoksin ialah sekitar 25-35 °C (Syarief et al.
2003). Penelitan kontaminasi aflatoksin pada bahan pakan ternak di Indonesia
menunjukkan hasil yang cukup tinggi. Kontaminasi AFB1 dalam pakan
konsentrat sapi perah di peternakan sapi perah di Yogyakarta berkisar antara
4.3 sampai 215.9 ppb dan 29 sampel (24.17%) yang diperiksa melebihi batas
maksimum kandungan AFB1 yang ditetapkan yaitu 20 ppb (Fillaeli 2007).
Cemaran AFB1 di dalam bahan pakan sapi perah merupakan sumber utama
AFM1 pada susu. Sapi perah yang mengonsumsi 40 µg AFB1 akan menghasilkan
susu yang mengandung AFM1 dengan konsentrasi 0.05 µg/kg dalam waktu
2 sampai 3 hari setelah konsumsi AFB1 (Prandini et al. 2009). Tingkat carry-over
AFM1 bervariasi bergantung pada konsentrasi AFB1 dalam pakan. Penelitian
Bantaokul dan Ruangwises (2010) menyatakan tingkat carry-over AFM1 ke
dalam susu sapi selama periode laktasi ialah 2.35±0.7%. Tingkat carry-over
AFB1 dalam pakan menjadi AFM1 pada susu sapi peranakan Friesian Holstein di
Yogyakarta sebesar 0.1%, nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan tingkat
carry-over AFB1 pada sapi perah di daerah sub-tropis (Sumantri et al. 2012).
Kandungan AFM1 dalam susu telah dilaporkan pada susu segar yang
berasal dari peternakan sapi perah di beberapa wilayah di Indonesia.
Widiastuti et al. (2006) melaporkan AFM1 pada susu segar yang berasal dari
peternakan sapi perah di Kota Bogor dengan konsentrasi 1 sampai 343 ppt dan
dari Pangalengan (Kabupaten Bandung) dengan konsentrasi 2 sampai 1200 ppt.
Deteksi AFM1 juga telah dilakukan pada 113 sampel susu segar yang berasal dari
peternakan sapi perah di Yogyakarta dengan hasil 42.5% konsentrasi AFM1
kurang dari 5 ppt dan 57.5% mengandung AFM1 dengan konsentrasi 5 sampai
25 ppt (Nuryono et al. 2009). Penelitian lain memberikan hasil konsentrasi AFM1
dalam susu segar dari peternakan sapi perah di Yogyakarta sebesar 33 sampai
113 ppt (Fillaeli 2007).
Keberadaan AFM1 pada susu segar menjadi sumber adanya AFM1 pada
produk olahan susu. Hal ini disebabkan oleh sifat AFM1 yang stabil pada
pemanasan, baik suhu pasteurisasi maupun sterilisasi (Stoloff et al. 1975; Prandini
et al. 2009), dan tidak mengalami kerusakan pada proses pemanasan mencapai
250 °C (Syarief et al. 2003). Proses pemanasan pada susu pasteurisasi menurut
SNI 01-3141-1995 ialah 63-66 °C selama minimum 30 menit atau 72 °C selama
minimum 15 detik, sehingga AFM1 masih dapat ditemukan pada susu pasteurisasi
(Celik et al. 2005). Proses pemanasan dan penambahan kultur starter untuk
fermentasi juga menunjukan tidak adanya penurunan AFM1 yang signifikan pada
produk seperti kefir dan yoghurt (Hassanin 1994; Prandini et al. 2009).
Keberadaan AFM1 pada susu pasteurisasi telah dilaporkan di beberapa
negara dengan konsentrasi yang bervariasi. Deteksi AFM1 pada susu pasteurisasi
di Siria menunjukkan seluruh sampel positif AFM1 dengan konsentrasi 8 sampai
765 ppt (Ghanem dan Orfi 2009). Deteksi AFM1 pada susu pasteurisasi di Turki
menunjukkan 64% sampel mengandung AFM1 dengan konsentrasi lebih dari
50 ppt (51 sampai 127.6 ppt) (Celik et al. 2005), sementara hasil deteksi AFM1
pada susu pasteurisasi di Iran (Ahvaz City) menunjukkan konsentrasi AFM1
kurang dari 50 ppt (0.45 sampai 9.76 ppt) (Behfar et al. 2012). Konsentrasi AFM1
16
pada susu pasteurisasi yang berasal dari Sao Paulo (Brazil) antara 10 sampai
20 ppt (Shundo et al. 2009).
Keberadaan AFM1 pada susu dan produk susu dapat bervariasi. Hal ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu lokasi geografis, negara, musim, kondisi
lingkungan, rendahnya ketesediaan hijauan, penggunaan pakan konsentrat yang
berlebihan dan kontaminasi AFB1 pada pakan dan biji-bijian selama penyimpanan
(Oliveira et al. 2013). Konsentrasi AFM1 pada susu segar yang dikumpulkan pada
musim semi dan musim panas tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, tetapi
berbeda nyata dengan konsentrasi AFM1 pada susu segar yang dikumpulkan pada
musim dingin (Mohammadian et al. 2010). Penggunaan pakan konsentrat yang
terbuat dari biji-bijian dan produk samping dari pertanian juga berpeluang
meningkatkan konsentrasi AFM1 dalam susu. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Ghanem dan Orfi (2009) yang menunjukkan konsentrasi AFM1 pada
susu domba dan kambing relatif lebih rendah dibandingkan dengan susu sapi,
karena domba dan kambing digembalakan di padang rumput sedangkan sapi
dikandangkan dan diberi pakan konsentrat.
Dampak dari AFM1 dalam susu perlu diperhatikan walaupun berada di
bawah batas maksimum kandungan aflatoksin yang telah ditetapkan karena
paparan jangka panjang AFM1 dalam pangan pada tingkat yang sangat rendah
dapat mengganggu kesehatan manusia. Asupan harian (daily intake) untuk AFM1
yang dapat ditoleransi ialah 0.2 ng/kg berat badan (Kuiper-Goodman 1990). Dosis
dan durasi paparan aflatoksin sangat mempengaruhi akibat yang ditimbulkan,
seperti paparan aflatoksin dalam dosis tinggi mengakibatkan infeksi akut dan
kematian, sedangkan dosis subletal secara kronis menimbulkan gangguan nutrisi
dan imunologis (Williams et al. 2004). Paparan kronis aflatoksin dalam pangan
merupakan risiko utama terjadinya hepatoseluler karsinoma terutama di negara
dengan infeksi hepatitis virus B merupakan penyakit yang endemik. Kanker hati
merupakan kanker nomor lima paling banyak di Indonesia, dengan angka kejadian
dan kematian yang tinggi. Kasus kanker hati pada 483 orang menunjukkan
36 kasus (76%) berhubungan erat dengan sirosis hati, hepatitis B dan hepatitis C,
sedangkan 116 kasus (24%) berhubungan dengan faktor lain yang diduga karena
karsinogen termasuk aflatoksin (Rasyid 2006). Penelitian lain menunjukkan
bahwa aflatoksin terdeteksi pada 58% dari 80 pasien kanker hati, dengan
konsentrasi aflatoksin B1, G1, dan M1 pada spesimen hati mencapai 400 µg/kg
(Sudjadi et al. 1999).
Keberadaan AFM1 dalam susu perlu diperhatikan karena dapat mengganggu
kesehatan manusia. Oleh karena itu perlu dilakukan tindakan untuk pengendalian
AFM1 dalam susu. Cara yang paling efektif dalam pengendalian AFM1 dalam
produk susu ialah mengurangi kontaminasi AFB1 dari bahan baku pakan
konsentrat untuk sapi perah. Usaha pencegahan kontaminasi aflatoksin pada
bahan baku pakan dan pakan lebih efektif dilakukan terhadap pencegahan infeksi
kapang Aspergillus karena struktur aflatoksin yang stabil. Beberapa usaha
pencegahan kontaminasi aflatoksin yang dapat dilakukan antara lain penurunan
kadar air bahan pakan dan pakan, penurunan suhu dan kelembaban, penggunaan
bahan pakan yang bebas dari serangan hama dan penyakit, modifikasi atmosfir
ruang simpan dan kemasan pakan serta penggunaan biokontrol seperti yeast
(Iswari 2006).
17
Pengendalian aflatoksin pada pakan dan pangan dapat dilakukan dengan
penerapan konsep hazard analysis critical control point (HACCP). Secara umum
konsep HACCP merupakan suatu sistem jaminan mutu yang menekankan pada
pengawasan yang menjamin mutu sejak bahan baku sampai akhir produk.
HACCP ialah suatu sistem jaminan mutu yang berdasaarkan kepada kesadaran
bahwa hazard (bahaya) dapat timbul pada berbagai titik atau tahap produksi
tertentu, tetapi dapat dilakukan pengendaliannya untuk mengontrol bahaya-bahaya
tersebut (Winarno 2004). HACCP ialah suatu piranti untuk menilai bahaya dan
menetapkan sistem pengandalian yang memfokuskan pada pencegahan daripada
mengandalkan sebagian besar pengujian produk akhir (BSN 1998). Sistem
HACCP bukan merupakan sistem jaminan keamanan yang zero risk atau tanpa
resiko, tetapi dirancang unutk meminimalkan resiko bahaya keamanan pangan.
Dalam rangka mendesain program HACCP untuk aflatoksin, perhatian harus
diberikan terhadap faktor-faktor seperti cuaca, sistem pertanian dan peternakan,
teknologi sebelum masa panen melalui good agricultural practices (GAP), good
farming practices (GFP) dan sesudah masa panen melalui good manufacturing
practices (GMP). Faktor-faktor yang juga berpengaruh terhadap keberadaan
aflatoksin di peternakan ialah tempat penyimpanan pakan, penggunaan pakan sisa
dari pemberian pakan sebelumnya, cara pembersihan tempat pakan, kualitas air,
serta lamanya penyimpanan. Idealnya sistem ini akan meminimalkan resiko dari
setiap tahapan, baik pada saat penanaman, panen, produksi, proses pembuatan
pakan, dan distribusi hingga produk pangan asal ternak tersebut siap dikonsumsi
manusia.
Pembahasan
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Aflatoksin M1 ditemukan pada 57 sampel (95%) susu pasteurisasi produksi
Indonesia yang dijual di swalayan dan agen pengecer di Provinsi DKI Jakarta dan
Jawa Barat, namun konsentrasinya di bawah batas maksimum kandungan AFM1
yang ditetapkan dalam SNI 7385-2009.
Saran
Monitoring dan surveilans terhadap AFM1 pada susu dan produk olahannya
perlu dilakukan secara rutin untuk memastikan keamanan susu dan produk
olahannya yang beredar di pasaran. Pencegahan AFM1 pada susu perlu dilakukan
dari mulai peternakan, karena proses pemanasan tidak dapat menghilangkan
AFM1 dalam susu.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Sawaf SD, Abdullah OA, Sheet OH. Use of enzyme linked immunosorbent
assay for detection of aflatoxin M1 in milk powder. 2012. Iraqi J Vet Sci.
26(1):39-42.
[AOAC] Association of Analytical Communities. 2000. Aflatoxin M1 and M2 in
fluid milk liquid chromatographic method 49.3.06. Di dalam: AOAC
Official Method 982. Ed ke-26.
Bantaokul C, Ruangwises S. 2010. Carry-over of aflatoxin M1 into cow milk
during early lactation period. Proc 9th CU Vet Sci An Con. 128.
Behfar A, Khorasgani ZN, Alemzadeh Z, Goundarzi M, Ebrahimi R, Tarhani N.
2012. Determination of aflatoxin M1 levels in produced pasteurized milk
in Ahvaz City by using HPLC. Jundishapur J Nat Pharm Prod. 7(2):80-84.
doi:10.5812/jjpharma.4707.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1995. SNI 01-3141-1995 Susu Pasteurisasi.
Jakarta (ID): BSN.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1998. SNI 01-4852-1998 Sistem Analisa
Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis Critical Control
Point –HACCP) serta Pedoman Penerapannya. Jakarta (ID): BSN.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. SNI 7385:2009 Batas Maksimum
Kandungan Mikotoksin dalam Pangan. Jakarta (ID): BSN.
Burgess GW. 1995. Prinsip dasar ELISA dan variasi konfigurasinya. Artama WT,
penerjemah. Di dalam: Burgess GW, editor. Teknologi ELISA dalam
diagnosis dan Penelitian. Yogyakarta (ID): GM University Pr. Terjemahan
dari: ELISA Technology in Diagnosis and Research.
[CAC] Codex Alimentarius Commission. 2004. Code of Hygienic Practice for
Milk and Milk Products (ACA/CRP 57-2004) [internet]. [diunduh 2013
Feb 1]. Tersedia dari: www.codexalimentarius.org/input/download/
standards/.../ CXP_057e.pdf.
Celik TH, Sarimehmetoglu B, Kuplulu O. 2005. Aflatoxin M1 contamination in
pasteurised milk. Vet Arhiv. 75(1):57-65.
Cullen JM, Ruebner BH, Hsieh LS, Hyde DM, Hsieh DP. 1987. Carcinogenicity
of dietary aflatoxin M1 in male fischer rats compared to aflatoksin B1.
Cancer Res. 47:1913-1917.
Fernandez R. 2008. Microbiology Handbook Dairy Products. Cambridge (GB):
Leatherheas Food International Ltd.
Fillaeli A. 2007. Cemaran alami aflatoksin B1 dalam pakan konsentrat dan
aflatoksin M1 dalam susu sapi perah [tesis]. Yogyakarta (ID): Universitas
Gajah Mada.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2004. Worldwide Regulation for
Mycotoxins in Food and Feed in 2003 [internet]. [diunduh 2013 Apr 11].
Tersedia dari: http://www.fao.org/docrep/007/y5499e/y5499e00.htm
[FDA] Food and Drug Administration. 2009. Grade “A” Pasteurized Milk
Ordinance [internet]. [diunduh 2012 Feb 1]. Tersedia dari:
http://www.fda.gov/downloads/Food/FoodSafety/Product-SpecificInforma
tion/MilkSafety/NationalConferenceonInterstateMilkShipmentsNCIMSMo
delDocuments/UCM209789.pdf.
20
Ghanem I, Orfi M. 2009. Aflatoxin M1 in raw, pasteurized and powder milk
available in the Syrian market. Food Control. 20:603-605.
doi:10.1016/j.foodcont.2008.08.018.
Hassanin NI. 1994. Stabillity of aflatoxin M1 during manufacture and storage of
yoghurt, yoghurt-cheese and acidified milk. J Sci Food Agric. 65(1):31-34.
doi:10.1002/jsfa.2740650106.
Heshmati A, Milani JM. 2010. Contamination of UHT milk by aflatoxin M1 in
Iran. Food Control. 21:19-22. doi:10.1016/j.foodcont.2009.03.013.
Hussain I. 2011. Aflatoxin measurement and analysis. Di dalam: Torres-Pacheco I,
editor. Aflatoxins-Detection, Measurement and Control [Internet].
[diunduh
2013
Apr
5].
Tersedia
pada:
http://www.intechopen.com/books/aflatoxins-detection-measurement-andcontrol/aflatoxin-measurement-andanalysis1.
[IARC] International Agency for Research on Cancer. 2002. IARC Monographs
on the Evaluation of Carcinogenic Risks to Humans, Volume 82: Some
Traditional Herbal Medicines, Some Mycotoxins, Naphthalene and
Styrene. Perancis (FR): IARC.
Iswari K. 2006. Kontaminasi aflatoksin pada pakan ternak. Di dalam: Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor (ID): Balai
Penelitian Veteriner. hlm 151-157.
Jay JM, Loessner MJ, Golden DA. 2005. Modern Food Microbiology Ed ke-7.
New York (US): Spinger Science+Busine