Alih Fungsi Lahan Dan Tingkat Kohesi Sosial Masyarakat Pedesaan

ALIH FUNGSI LAHAN DAN TINGKAT KOHESI SOSIAL
MASYARAKAT PEDESAAN

HANA HILALY ANISA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Alih fungsi lahan dan
Tingkat Kohesi Sosial Masyarakat Pedesaan di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan
Bogor Selatan, Kota Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2016

Hana Hilaly Anisa

ABSTRAK
Hana Hilaly Anisa. Alih Fungsi Lahan dan Tingkat Kohesi Sosial Masyarakat
Pedesaan. NURMALA K. PANDJAITAN.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan alih fungsi lahan dan
hubungannya dengan tingkat kohesi sosial masyarakat pedesaan. Penelitian
dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif yang didukung oleh data
kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa alih fungsi lahan yang terjadi
di Mulyaharja mempengaruhi terhadap perubahan mata pencaharian dari sektor
pertanian ke non pertanian dan perubahan pendapatan yang lebih rendah. Interaksi
sosial yang mencakup intensitas dan bentuk interaksi memiliki hubungan yang
lemah dengan kohesi sosial komunitas yang tergolong tinggi karena hubungan
kekeluargaan yang sudah kuat. Tingkat kohesi sosial memiliki hubungan yang
positif dalam kategori tinggi terhadap tingkat keterlibatan masyarakat dalam aksi

kolektif.
Kata kunci: Alih fungsi lahan, interaksi sosial, kohesi sosial, aksi kolektif
ABSTRACT
Hana Hilaly Anisa. Land Conversion and The Level of Rural Community Social
Cohesion. NURMALA K. PANDJAITAN.
This research aimed to analyze changes in land conversion and
correlation the level of social cohesion of rural community.. The research was
conducted using quantitative method and supported by qualitative data. The
results of this study indicate that the land conversion that occurs in Mulyaharja
influence to change livelihood from agriculture to non- agriculture and changes
in lower revenues . The social interaction that includes the intensity and forms of
interaction have a weak relationship with the community social cohesion is high
because kinship is strong. The level of social cohesion has a positive relationship
in the high category of the level of community involvement in collective action .

Key words: Land Conversion,, social interaction, social cohesion, collective
action

v


ALIH FUNGSI LAHAN DAN TINGKAT KOHESI SOSIAL
MASYARAKAT PEDESAAN

Oleh
HANA HILALY ANISA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016

PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Alih Fungsi Lahan dan Tingkat Kohesi Sosial Masyarakat
Pedesaan” ini dengan baik. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan
sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Nurmala K.
Pandjaitan, MS DEA sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingan, arahan, masukan dan waktu selama proses penulisan hingga
penyelesaian skripsi. Selain itu, ucapan terimakasih kepada Bapak Dr Satyawan
Sunito sebagai dosen penguji utama dan Bapak Ir. Sutisna Riyanto, Ms sebagai
dosen komdik akademik yang telah bersedia hadir pada sidang serta memberikan
saran untuk perbaikan skripsi. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih
kedua orangtua tercinta, Ibu Nia Setiawati dan Bapak Nursamsi atas semangat dan
doa yang tiada henti-hentinya mengalir untuk kelancaran penulisan skripsi ini.
Adik-adik penulis, Asti Carissa Malinda, Mariska Putri, dan Syaza Nadiena
Azzahra. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman SKPM
angkatan 49, IPB maupun luar kampus IPB, Andi Putri Rezky Noviana, Nadya
Apriella, Riza Ryanda, Tazkiyah Syakira, Almira Devina, Meliani Rosalina, Inez
Kania, Vany Ardianto, Mirza Alam, Amanda Pradipto, Chairinnisa Salmanda
Putri yang telah berkenan menjadi rekan bertukar pikiran dalam menyelesaikan

skripsi ini serta para pihak yang telah membantu pada proses penyelesaian skripsi.

Bogor, Agustus 2016

Hana Hilaly Anisa
NIM. I34120124

ix

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

viii

DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR


xi

DAFTAR LAMPIRAN

xi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Masalah Penelitian

3

Tujuan Penelitian


3

Keguanaan Penelitian

4

PENDEKATAN TEORITIS

5

Komunitas Pedesaan

5

Kohesi Sosial

5

Aksi Kolektif


7

Alih Fungsi Lahan

8

Interaksi Sosial

11

PENDEKATAN LAPANG

18

Metode Penelitian

18

Jenis dan Sumber Data


18

Lokasi dan Waktu

18

Teknik Penentuan Responden dan Informan

19

Teknik Pengumpulan Data

19

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

20

GAMBARAN UMUM LOKASI


21

Kelurahan Mulyaharja

21

Kampung Pabuaran

23

KARAKTERISTIK RESPONDEN

25

Umur Responden

25

Jenis Kelamin Responden


25

Tingkat Pendidikan Responden

26

Penguasaan Lahan Sawah Responden

27

Tingkat Pendapatan

28

x

Jenis Mata Pencaharian Utama

28

Jenis Mata Pencaharian Sampingan

29

ALIH FUNGSI LAHAN YANG TERJADI DI PEDESAAN

31

Perubahan Mata Pencaharian

33

Perubahan Pendapatan

34

INTERAKSI SOSIAL KOMUNITAS

35

Intensitas Interaksi

36

Bentuk Interaksi

36

Tingkat Interaksi Sosial Komunitas

38

KOHESI SOSIAL KOMUNITAS

39

Tingkat Kohesi Sosial

39

Aksi Kolektif

42

Hubungan Antara Tingkat Interaksi Sosial dan Tingkat Kohesi Sosial

45

Hubungan Antara Tingkat Kohesi Sosial dan Tingkat Keterlibatan
Masyarakat dalam Aksi Kolektif
SIMPULAN DAN SARAN

46
48

DAFTAR PUSTAKA

50

LAMPIRAN

54

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

58

xi

DAFTAR TABEL
1

Tabel 1

Sebaran Luas Wilayah menurut penggunaan di Kelurahan
Mulyaharja tahun 2015

2

Tabel 2

Sebaran penduduk menurut tingkat usia di Kelurahan
Mulyaharja tahun 2015

3

Tabel 3

21
22

Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian pada
tahun 2015

22

4

Tabel 4

Jumlah penduduk berdasarkan penganut agama

23

5

Tabel 5

Jumlah dan persentase responden berdasarkan umur

25

6

Tabel 6

Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis kelamin

26

7

Tabel 7

Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat
pendidikan

8

Tabel 8

Jumlah dan persentase responden berdasarkan penguasaan
lahan

9

Tabel 9

27
27

Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat
pendapatan

28

10 Tabel 10 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis mata
pencaharian utama

29

11 Tabel 11 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis mata
pencaharian sampingan

30

12 Tabel 12 Jumlah dan persentase responden berdasarkan peruntukan
alih fungsi lahan

32

13 Tabel 13 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jumlah
lahan yang dijual

32

14 Tabel 14 Jumlah dan persentase responden berdasarkan perubahan
mata pencaharian sebelum dan sesudah terjadinya alih di

33

15 Tabel 15 Jumlah dan persentase responden berdasarkan perubahan
pendapatan setelah terjadinya alih fungsi lahan

34

16 Tabel 16 Jumlah dan persentase responden berdasarkan intensitas
interaksi
17 Tabel 17 Jumlah dan persentase responden berdasarkan bentuk

35

xii

interaksi

36

18 Tabel 18 Jumlah dan persentase responden berdasarkan perubahan
interaksi dengan masyarakat setelah alih fungsi lahan
19 Tabel 19 Jumlah dan persentase responden berdasarkan total interaksi

37
38

20 Tabel 20 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat
kohesi sosial

40

21 Tabel 21 Jumlah dan persentase responden berdasarkan keterlibatan
dalam aksi kolektif

42

22 Tabel 22 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis kegiatan
dalam aksi kolektif

43

23 Tabel 23 Jumlah dan persentase responden berdasarkan bentuk
keterlibatan warga komunitas Kampung Pabuaran

44

24 Tabel 24 Jumlah dan persentase berdasarkan peran warga komunitas
Kampung Pabuaran

44

25 Tabel 25 Jumlah dan persentase responden berdasarkan hubungan
tingkat interaksi sosial dan tingkat kohesi sosial

45

26 Tabel 26 Jumlah dan persentase responden berdasarkan hubungan
tingkat kohesi sosial dan tingkat keterlibatan dalam
aksi kolektif

46

xiii

DAFTAR GAMBAR
1

Gambar 1

Kerangka Pemikiran

2

Gambar 2

Persentase responden berdasarkan topik pembicaraan
dalam interaski

13
36

DAFTAR LAMPIRAN
1

Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian

53

2

Lampiran 2 Tabel Correlation

54

3

Lampiran 3 Daftar Nama Responden

55

3

Lampiran 4 Dokumentasi

56

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jumlah penduduk Indonesia sebesar 237.641.326 jiwa dengan laju
pertumbuhan penduduk 1,40 persen per tahun (Data BPS 2010). Kondisi
penduduk seperti ini berpengaruh terhadap kebutuhan dasar manusia untuk hidup.
Selain itu, lahan menjadi sangat vital dalam menunjang kehidupan manusia yakni
sebagai tempat manusia beraktivitas dan mempertahankan eksistensinya.
Penggunaan lahan yang semakin meningkat oleh manusia, seperti untuk tempat
tinggal, tempat melakukan usaha, pemenuhan akses umum dan fasilitas lain akan
menyebabkan lahan yang tersedia semakin menyempit. Hal ini yang mendorong
terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian.
Berkembangnya bisnis perumahan di kota-kota besar termasuk di
Kabupaten Bogor sebagai daerah penyangga ibukota mendorong developer untuk
menanamkan investasi. Ekspansi properti dan perumahan di Kabupaten Bogor
pada tahun 2015 menunjukkan gejala peningkatan yang sangat pesat, terlebih
dalam lima tahun terakhir ini. Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu
Satu Pintu (BPMPTSP) Kabupaten Bogor setidaknya menyebutkan dalam lima
tahun belakangan ini telah menerbitkan 382 izin untuk perumahan, jika dirataratakan ada 77 perumahan dibangun setiap tahun di Kabupaten Bogor (Gunawan
2015). Menurut Maxwell (2000) seperti yang dikutip Yuasidha (2014) kota telah
begitu menarik, bukan hanya penduduk asli yang bertambah populasinya namun
juga arus urbanisasi pun semakin tinggi. Pertumbuhan penduduk yang pesat dan
persaingan untuk bertahan hidup yang lebih besar menyebabkan kesenjangan
sosial di masyarakat perkotaan lebih terlihat jelas dibandingkan di daerah
pedesaan. Alih fungsi lahan berdampak pada menurunnya lahan pertanian. Alih
fungsi lahan menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 dapat diartikan
sebagai berubahnya fungsi sebagian atau seluruh kawasan dari fungsinya semula
(seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain baik secara tetap maupun
sementara, dan kondisi tersebut memiliki implikasiimplikasi baik umum maupun
khusus. Proses konversi lahan saat ini berlangsung cepat, seolah-olah tidak
terkendali, terutama terhadap lahan sawah irigasi di Pulau Jawa dan sekitar kotakota besar di luar Jawa. Pada tahun 1981-1999 di Indonesia terjadi konversi lahan
sawah seluas 1,60 juta ha, dan sekitar 1 juta ha di antaranya terjadi di Jawa
(Irawan et. al. 2004). Sebagian besar lahan tersebut dikonversi menjadi kawasan
perumahan mewah. hal tersebut ditemukan fakta pula bahwa petani dipaksa untuk
menjual lahannya kepada developer.
Berbagai peraturan telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk membatasi
fenomena alih fungsi lahan, namun upaya ini tidak banyak berhasil karena adanya
kemudahan untuk merubah kondisi fisik lahan sawah, peraturan yang bertujuan
untuk mengendalikan konversi lahan secara umum hanya bersifat himbauan dan
tidak dilengkapi sanksi yang jelas, serta ijin konversi merupakan keputusan
kolektif sehingga sulit ditelusuri pihak mana yang bertanggung jawab atas
pemberian ijin konversi lahan.
Perubahan pola pemanfaatan lahan dari pertanian ke non pertanian
mempengaruhi perubahan di bidang lain, hal serupa seperti yang dikutip oleh

2

Ristawani (2013) yang menyatakan bahwa pembangunan infrastruktur khususnya
jalan dirasa penting karena membuka akses masyarakat kepada pelayanan
pendidikan, kesehatan, dan informasi yang lebih baik. Namun karena alih fungsi
lahan dapat mempengaruhi pola nafkah masyarakat menjadi berorientasi ekonomi
sehingga menimbulkan norma atau nilai baru yang masuk ke suatu komunitas.
Perubahan aspek perekonomian dalam suatu komunitas yang diakibatkan oleh alih
fungsi lahan akan menyebabkan perubahan pola interaksi sosial dalam komunitas
tersebut (Handayani 1992).
Interaksi dilihat sebagai sebuah proses sosial yang dihadapkan pada
perubahan-perubahan yang terjadi akibat dari alih fungsi lahan. Interaksi
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kohesivitas sosial komunitas.
Semakin tinggi interaksinya maka kohesi sosial tersebut semakin kuat
(Faturochman 2006). Merujuk pada penelitian Umiyati (1994) alih fungsi lahan
pertanian ke non pertanian (perumahan) yang terjadi di Desa Padasuka
mempengaruhi kondisi sosial ekonomi masyarakatnya. Kehadiran pembangunan
perumahan BTN di Desa Padasuka membawa dampak berkurangnya interaksi
dalam keluarga sedangkan pada interaksi sosial dengan warga masyarakat di
sekitarnya meningkat. Hal tersebut dipengaruhi oleh hadirnya perumahan BTN
yang menyebabkan aspek perekonomian yang ada akan membawa
perubahanperubahan di bidang lain seperti sarana dan prasarana transportasi, akses
pendidikan, dan pola nafkah menjadi beragam di Desa Padasuka. Secara tidak
langsung membuat hubungan dengan dunia luar, informasi yang diterima,
banyaknya pendatang dan perubahan proses sosial menjadi ancaman eksternal
pada masyarakat. Hal tersebut meningkatkan kebutuhan masyarakat untuk
menangkal pengaruh dari luar yang negatif melalui lembaga kemasyaratan
keagamaan yaitu pengajian. Interaksi sosial yang dibangun adalah dengan
frekuensi, intensitas, dan kualitas yang sering mereka lakukan dalam kegiatan
pengajian tersebut. Adanya pengajian sebagai kegiatan atau wadah atau forum
sosial bagi masyarakat untuk bersilahturahmi dan merekatkan hubungan diantara
warga. Dengan demikian interaksi merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kohesivitas sosial komunitas.
Kelurahan Mulyaharja yang terletak di Kecamatan Bogor Selatan
merupakan wilayah yang masih memiliki banyak lahan pertanian yang produktif.
Pemandangan pertama yang terlihat saat memasuki wilayah Mulyaharja adalah
puluhan petak sawah yang terhampar luas di samping kiri dan kanan. Belakangan
ini luasan lahan pertanian di Kelurahan Mulyaharja semakin berkurang. Hal ini
disebabkan oleh semakin maraknya fenomena konversi lahan pertanian menjadi
kawasan perumahan di wilayah tersebut.
Perubahan pada aspek ekonomi dan sosial seperti pola nafkah atau mata
pencaharian dan proses sosial yang berlangsung dalam sebuah komunitas di
pedesaan. Hendaknya tidak berpengaruh negatif terhadap kohesi sosial atau ikatan
yang sudah ada pada komunitas. Myers (2010) menyatakan bahwa kohesi sosial
merupakan perasaan “we feeling” yang mempersatukan setiap anggota menjadi
satu bagian. Rasa memiliki tersebut juga dapat membentuk kohesi sosial antar
individu dalam suatu komunitas. Rasa memiliki ini yang membuat individu
menyadari bahwa ia merupakan bagian dari komunitas. Kohesi sosial yang dapat
dilihat dari rasa komunitas (sense of community). Teori rasa komunitas yang
dibawa oleh McMilan dan Chavis (1986) seperti yang dijelaskan oleh Chavis et

3

al. (2008) dimana rasa komunitas dapat dilihat dari keanggotan, pengaruh,
pemenuhan kebutuhan dan berbagi hubungan emosional. Oleh karena itu,
perubahan yang terjadi di dalam komunitas sebagai akibat alih fungsi lahan yang
berdampak pada aspek ekonomi dan sosial diharapkan tidak menggangu rasa
memiliki dan rasa komunitas di Keluharan Mulyaharja. Penelitian ini akan
melihat bagaimana alih fungsi lahan yang terjadi di komunitas dan hubungannya
dengan tingkat kohesi sosial komunitasnya.
Masalah Penelitian
Peningkatan jumlah penduduk di Indonesia khususnya di daerah padat
penduduk seperti di kota tidak diiringi oleh ketersediaan tanah yang cukup. Tanah
menjadi sangat vital dalam menunjang kehidupan manusia yakni sebagai tempat
manusia beraktivitas dan mempertahankan eksistensinya. Penggunaan tanah yang
semakin meningkat oleh manusia, seperti untuk tempat tinggal, tempat melakukan
usaha, pemenuhan akses umum dan fasilitas lain dapat menyebabkan lahan
pertanian semakin menyempit sehingga mendorong masyarakat mencari nafkah di
luar pertanian. Bagaimana dampak ekonomi dan sosial dari alih fungsi lahan
yang terjadi di pedesaan?
Perubahan pada aspek perekonomian dapat menjadi ruang masuk bagi nilai
atau norma baru ke dalam sebuah komunitas seperti akses pendidikan, informasi
yang terbuka, dan mata pencaharian yang semakin beragam. Interaksi antara
anggota komunitas yang berubah dapat menggangu hubungan antar anggota
komunitas. Bagaimana kohesi sosial (sense of community) pada masyarakat
pedesaan yang mengalami proses alih fungsi lahan ?
Kesamaan (homogenitas) antar warga membuat aksi kolektif dapat dengan
mudah dilakukan dalam komunitas. Dengan masuknya akses terhada penghuni
perumahan yang membawa nilai atau norma baru membawa perubahan pada
kohesivitas antar anggota komunitas yang dapat berdampak pada keterlibatan
warga pada aksi kolektif. Bagaimana hubungan antara tingkat kohesi sosial
masyarakat dan keterlibatan masyarakat dalam aksi kolektif?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan penjelasan rumusan masalah maka penulisan skripsi berjudul
“Perubahan Alih Fungsi Lahan dan Tingkat Kohesi Sosial Sosial Masyarakat
Pedesaan” memiliki rumusan tujuan:
1. Menganalisis dampak ekonomi dan sosial alih fungsi lahan yang
terjadi di pedesaan.
2. Menganalisis kohesi sosial (sense of community) pada masyarakat
pedesaan yang mengalami proses alih fungsi lahan.
3. Menganalisis hubungan antara tingkat kohesi sosial masyarakat dan
keterlibatan masyarakat dalam aksi kolektif?

4

Kegunaan Penelitian
1. Bagi masyarakat: diharapkan dapat menjadi informasi dan wawasan
untuk dapat meningkatkan kohesi sosial masyarakat (sense of
community) dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di
sekitar.
2. Bagi pemerintah: diharapkan menjadi acuan dalam mengambil
kebijakan mengenai
perubahan
alih
fungsi
lahan dan
pembangunanpembangunan lainnya, serta mengetahui dampak sosial
dalam hal ini kohesi sosial bagi masyarakat yang mengalami.
3. Bagi peneliti: diharapkan dapat bergunan dalam mengembangkan
kemampuan mengkaji studi kohesi sosial pada masyarakat dan menjadi
proses pembelajaran dalam memahami fenomena sosial yang terjadi.
.

PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Komunitas Pedesaan
Menurut Norris et al. (2007) komunitas adalah suatu kesatuan yang
mempunyai batas geografi yang sama dan berbagi nasib yang sama. Komunitas
merupakan suatu organisasi sosial yang dibangun oleh lingkungan alam sosial dan
ekonomi yang saling mempengaruhui. Pedesaan adalah suatu sistem sosial ekologi
yang dibangun oleh berbagai komponen yang terdiri dari komponen ekologi,
ekonomi, dan sosial yang terkait sedemikian rupa sehingga menciptakan
karakteristik yang khas pedesaan (Schouten et al. 2009). Daerah pedesaan yang
umumnya hidup dari pertanian adalah daerah yang sering terkena dampak
terhadap berbagai gangguan eksternal seperti bencana alam maupun gangguan
sosial. Keterbatasan kapasitas yang dimiliki anggota komunitas pedesaan
menjadikan mereka menjadi kelompok yang rentan ketika menghadapi perubahan
ataupun guncangan dalam kehidupan.
Menurut Kulig et al. (2008) komunitas pedesaan memiliki karakteristik
yang berbeda dari komunitas lainnnya, yakni memiliki latar belakang belakang
yang sama dengan tingkat pendidikan yang setara, afiliasi keagamaan, dan etnik,
juga rentang waktu masyarakat berada dalam komunitas tersebut. Homogenitas ini
mebuat kohesi sosial pada komunitas pedesaan relatif lebih tinggi daripada
komunitas perkotaan. Kepedulian antara anggota komunitas, komunikasi antar
komunitas, dan berbagai proses sosial yang asosiatif masih dapat ditemukan di
komunitas pedesaan. Kohesi Sosial ini dapat menjadi dasar terpengaruhnya sense
of community yang diukur melalui pemenuhan kebutuhan, keterlibatan anggota,
memberikan pengaruh, dan berbagi kontak emosional. sehingga ketika adanya
gangguan eksternal komunitas dapat melakukan aksi kolektif sebagai strategi
bertahan. Berdasarkan penelitian Kulig et al. (2008) pada 3 komunitas
menunjukkan bahwa pada komunitas petani ada rasa memiliki yang lebih tinggi
dibandingkan dengan komunitas pertambangan dan komunitas perkotaan.
Komunitas petani memiliki inisiatif dalam mengatasi masalah, saling membantu
menanam dan panen serta berinteraksi sebagai aksi kolektif. Hal tersebut menjadi
aspek penting terbangunnya resiliensi komunitas. Namun sejalannya dengan
terbukanya desa saat ini melalui maraknya pembangunan berbagai insfrastruktur
dan perumahan serta perkembangan teknologi komunikasi bisa mendatangkan
perubahan pada pola interaksi sosial dan nilai-nilai yang selama ini mengikat
hubungan antara anggota komunitas. Perubahan tersebut dapat dilihat dari
kerekatan antar anggota komunitas, bertahannya anggota dalam sebuah
komunitas, serta keterlibatan anggota komunitas dalam melakukan aksi kolektif.
Kohesi Sosial
Komunitas memiliki modal sosial yang menunjukkan interaksi yang
terjalin antar anggotanya. Modal sosial terdiri dari jaringan, norma-norma dan
kepercayaan yang ada dalam komunitas. Modal sosial akan membentuk hubungan
kohesi sosial di antara anggota komunitas. Kohesi sosial membuat anggota tidak

6

bersifat individualis dalam menciptakan aksi-aksi kolektif dari komunitas untuk
mengatasi guncangan atau bencana (Tousignant dan Sioui 2009).
Penelitian Forrest et al (2009) di Amerika Serikat menyatakan bahwa
kohesi sosial dan lingkungan perumahan sebagai unsur penting dalam identitas
sosial. Kohesi sosial di tingkat masyarakat dapat berasal dari bentuk dan kualitas
interaksi sosial di tingkat lokal. Di dalam model masyarakat modern, kohesi sosial
dipandang sebagai proses bottom up. Pada modal sosial lokal, bukan dipandang
sebagai proses top down. Pengamatan lain berpendapat bahwa semakin banyak
orang Amerika yang tidak peduli dan menyebabkan penurunan kepercayaan
kepada pemerintah. Karena asumsinya bahwa keterlibatan masyarakat
meningkatkan kohesi sosial.
Definisi lain tentang kohesi sosial dinyatakan Johnson and Johnson (1991)
seperti yang dikutip oleh Noorkamilah (2008) menyatakan bahwa kohesi sosial
dalam sebuah komunitas terjadi ketika anggota-anggota kelompok saling
menyukai dan saling menginginkan kehadiran satu dengan lainnya. Kemudian
Noorkamilah (2008) menambahkan bahwa kohesi sosial dapat dilihat dari
partisipasi anggota komunitas, rasa solidaritas yang menumbuhkan rasa
kebersamaan dan rasa memiliki terhadap sebuah kelompok. Selain itu, Mollering
(2001) seperti yang dikutip oleh Primadona (2001) menyatakan bahwa salah satu
fungsi penting kepercayaan (trust) dalam hubungan-hubungan sosial
kemasyarakatan adalah pemeliharan kohesi sosial, trust membantu merekatkan
setiap komponen sosial yang hidup dalam sebuah komunitas menjadi kesatuan
yang tidak tercerai-berai. Selain itu, menurut Faturochman (2006) seperti yang
dikutip oleh Yuasidha (2014) faktor-faktor yang membentuk kohesivitas, yakni
setiap anggota memiliki komitmen yang tinggi, interaksi didominasi kerjasama
bukan persaingan, mempunyai tujuan yang terkait satu dengan yang lainnya,
sesuai dengan perkembangan waktu tujuan yang dirumuskan meningkat, terjadi
pertukaran antar anggota yang sifatnya mengikat, dan ada ketertarikan antar
anggota sehingga relasi yang terbentuk menguatkan jaringan relasi di dalam
komunitas.
Menurut Taylor et al. (2009) seperti yang dikutip oleh Wulansari et al.
(2012) menyatakan bahwa kohesi sosial diartikan sebagai kekuatan, baik positif
maupun negatif, yang menyebabkan anggota tetap bertahan dalam komunitas.
Kohesi sosial dapat meningkat seiring dengan tingginya rasa suka antar anggota.
Anggota dapat saling menyukai ketika mereka saling menerima. Cartwright
(1990) seperti yang dikutip oleh Ramdhani dan Martono (1996) menambahkan
bahwa kohesi sosial merupakan derajat kekuatan ikatan dalam satu kelompok
yang masing-masing anggotanya secara psikologis menjadi saling tarik menarik
dan saling tergantung. Hal tersebut digambarkan oleh Ramdhani dan Martono
(1996) pada penelitiannya mengenai kohesi sosial pada masyarakat miskin.
Tingkat kohesi sosial yang paling tinggi terdapat pada anggota yang sudah ikut
KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) selama 2 tahun dibandingkan dengan
anggota yang baru saja ikut dan belum ikut KSM. Perbedaan tingkat kohesi sosial
tersebut karena adanya pembinaan dari sukarelawan, lamanya anggota dalam
sebuah kelompok, saling ketergantungan antara masing-masing anggota, dan
kelompok-kelompok kecil yang sudah terdapat di dalam masyarakat. Prinsip
tanggung renteng diterapkan dalam rangka mempererat saling ketergantungan
antara masing-masing anggota kelompok yang telah mengakar pada diri anggota

7

sebagai bentuk budaya dari masyarakat setempat yang pada umumnya masih
memegang teguh nilai-nilai adat luhur menjadikan tingkat kohesi sosial menjadi
kuat.
Menurut Myers (2010) kohesi sosial merupakan perasaan “we feeling”
yang mempersatukan setiap anggota menjadi satu bagian. Rasa memiliki tersebut
juga dapat membentuk kohesi sosial antar individu dalam suatu komunitas. Rasa
memiliki ini yang membuat individu menyadari bahwa ia merupakan bagian dari
komunitas. Sense of community Index (SCI) adalah ukuran kuantitatif yang paling
sering digunakan dalam mengukur rasa komunitas pada ilmu sosial. SCI
berdasarkan teori rasa komunitas yang dibawa oleh McMilan dan Chavis (1986)
seperti yang dijelaskan oleh Chavis et al. (2008) dimana rasa komunitas dapat
dilihat dari keanggotan, pengaruh, pemenuhan kebutuhan dan berbagi hubungan
emosional. pemenuhan kebutuhan adalah kondisi dimana anggota komunitas
mendapatkan apa yang mereka butuhkan karena telah menjadi bagian dari
komunitas. Keterlibatan sebagai anggota komunitas adalah orang-orang yang
tergabung dalam komunitas dan anggota komunitas meluangkan banyak waktu
dan usaha mereka untuk menjadi bagian dari komunitas. Memberikan pengaruh
adalah kemampuan komunitas dalam mempengaruhi komunitas lainnya. Selain
itu, anggota komunitas juga memiliki pengaruh atas komunitasnya. Berbagi
kontak emosional adalah anggota-anggota komunitas menikmati kebersamaan di
dalam komunitas dan berbagi kejadian penting bersama seperti ulang tahun. Hasil
studi rasa komunitas tersebut telah menunjukkan bahwa SCI menjadi indikator
yang kuat dari suatu perilaku (seperti partisipasi) dan valid pengukurannya.
Dengan demikian teori rasa komunitas relevan dengan kohesi sosial yang dimana
melihat anggota komunitas dari rasa memiliki diantara anggota komunitas.
Aksi Kolektif
Kohesi sosial komunitas membuat anggota tidak bersifat individualis serta
mampu menciptakan aksi-aksi kolektif dari komunitas untuk mengatasi
guncangan atau bencana (Tousignant dan Sioui 2009). Aksi-aksi kolektif
membutuhkan kerja sama antar pemangku kepentingan dan kekokohan
kelembagaan dalam pengaturan komunitas. Faktor intrinsik komunitas yang terdiri
dari kepemimpinan, aksi kolektif dan kekokohan kelembagaan serta kerja sama
dengan pemangku kepentingan akan berpengaruh dalam pembentukan resiliensi
komunitas namun harus di dukung juga oleh kebijakan yang dapat melindungi
komunitas. Kebijakan di keluarkan oleh pemerintah untuk peningkatan kapasitas
komunitas (Schouten et al. 2009). Kebijakan ini terkait kebijakan ekonomi, sosial
budaya dan politik yang meningkatkan kapasitas komunitas untuk bertahan dalam
menghadapi guncangan
Dalam penelitian Umiyati (1994), pengajian dijadikan sebagai sebuah
lembaga kemasyarakat yang berfungsi sebagai “penangkal” masyarakat dari
pengaruh dunia luar. Selain itu, pengajian dijadikan sebagai wadah bagi
masyarakat untuk mempererat tali silahturahmi serta sering diadakan
pengumuman atau informasi tentang pembangunan. Menurut Soekanto (1970)
seperti yang dikutip oleh Umiyati (1994) menyatakan bahwa lembaga
kemasyarakatan adalah suatu sistem tata kelakukan dan hubungan yang berpusat
kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus
dan kehidupan masyarakat.

8

Ramdhani dan Martono (1996) menambahkan bahwa masyarakat yang
sudah berkohesi, kepentingan individu sudah tidak diutamakan lagi. Berbagai
keadaan yang biasanya muncul sebagai akibat masyarakat yang berkohesi di
antaranya adalah meningkatnya kemauan anggota untuk berpartisipasi dalam
segala bentuk aktivitas yang dilaksanakan bersama. Kemauan ini timbul karena
adanya keikatan dalam kelompok.
Alih Fungsi Lahan
Menurut Utomo et al. (1992) seperti yang dikutip oleh Lestari (2010)
mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan
adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya
semula seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak
negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensial lahan itu sendiri. Alih fungsi
lahan berarti perubahan atau penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan
oleh fakto-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi
kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya
tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.
Sihaloho (2004) membagi konversi lahan kedalam tujuh pola atau tipologi,
yaitu:
1. Konversi gradual berpola sporadis; dipengaruhi oleh dua faktor utama
yaitu lahan yang kurang/tidak produktif dan keterdesakan ekonomi pelaku
konversi.
2. Konversi sistematik berpola „enclave‟; dikarenakan lahan kurang
produktif, sehingga konversi dilakukan secara serempak untuk
meningkatkan nilai tambah.
3. Konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population
growth driven land conversion); lebih lanjut disebut konversi adaptasi
demografi, dimana dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, lahan
terkonversi untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal.
4. Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (social problem driven land
conversion); disebabkan oleh dua faktor yakni keterdesakan ekonomi dan
perubahan kesejahteraan.
5. Konversi tanpa beban; dipengaruhi oleh faktor keinginan untuk mengubah
hidup yang lebih baik dari keadaan saat ini dan ingin keluar dari kampung.
6. Konversi adaptasi agraris; disebabkan karena keterdesakan ekonomi dan
keinginan untuk berubah dari masyarakat dengan tujuan meningkatkan
hasil pertanian.
7. Konversi multi bentuk atau tanpa bentuk; konversi dipengaruhi oleh
berbagai faktor, khususnya faktor peruntukan untuk perkantoran, sekolah,
koperasi, perdagangan, termasuk sistem waris yang tidak dijelaskan dalam
konversi
demografi.
Konversi lahan biasanya terkait dengan proses perkembangan wilayah,
bahkan dapat dikatakan bahwa konversi lahan merupakan konsekuensi dari
perkembangan wilayah. Sebagian besar konversi lahan yang terjadi, menunjukkan
adanya ketimpangan dalam penguasaan lahan yang lebih didominasi oleh pihak
kapitalis dengan mengantongi izin mendirikan bangunan yang dikeluarkan oleh

9

pemerintah. Terdapat tiga macam ketimpangan yang terjadi di Indonesia
(Cristodoulou sebagaimana dikutip Wiradi 2000), yakni:
1. Ketimpangan dalam hal struktur “pemilikan” dan “penguasaan” tanah
Kepentingan/keberpihakan Pemerintah. Peran pemerintah mendominasi
dalam menentukan kebijakan peruntukan penggunaan lahan dan
mendukung pihak bermodal dan penguasaan lahan, sedangkan peran
masyarakat rendah.
2. Ketimpangan dalam hal peruntukan tanah
Terdapatnya indikasi kesenjangan, yakni tanah yang seharusnya
diperuntukan bagi pertanian rakyat digusur, sedangkan sektor non
pertanian semakin bertambah luas.
3. Ketimpangan atau Incompability dalam hal persepsi dan konsepsi
mengenai agraria
Terjadi perbedaan persepsi dan konsepsi mengenai bermacam hak atas
tanah, yakni pemeritah dan pihak swasta yang menggunakan hukum
positif dengan penduduk yang berpegang pada hokum normatif/hukum
adat.
Pasandaran (2006) menjelaskan paling tidak ada tiga faktor, baik
sendirisendiri maupun bersama-sama yang merupakan determinan konversi lahan
sawah,yaitu:
1. Kelangkaan sumberdaya lahan dan air
2. Dinamika pembangunan
3. Peningkatan jumlah penduduk
Pakpahan, et al. (1993) seperti yang dikutip oleh Lestari (2010) membagi
faktor yang mempengaruhi konversi dalam kaitannya dengan petani, yakni faktor
tidak langsung dan faktor langsung. Faktor tidak langsung antara lain perubahan
struktur ekonomi, pertumbuhan penduduk, arus urbanisasi dan konsistensi
implementasi rencana tata ruang. Sedangkan faktor langsung dipengaruhi oleh
pertumbuhan pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan kebutuhan lahan
untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman dan sebaran lahan sawah. Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat petani,
sebagaimana dikemukakan oleh Rusastra (1994) dalam Munir (2008) adalah
sebagai pilihan alokasi sumber daya melalui transaksi yang dipengaruhi oleh
kondisi sosial ekonomi petani seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan
kemampuan ekonomi secara keseluruhan serta pajak tanah, harga tanah dan lokasi
tanah, sehingga diperlukan kontrol agar sesuai dengan rencana tata ruang.
Alih fungsi lahan berarti juga suatu perubahan yang menyangkut aspek
struktural hingga kultural suatu masyarakat. Berbagai penelitian telah
menunjukkan bahwa alih fungsi lahan dapat menyebabkan juga berbagai dinamika
sosial didalamnya, penelitian yang dilakukan di Klaten pada Catur et al. (2010),
dimana menunjukkan fakta bahwa lahan pertanian yang dialihfungsikan menjadi
lahan perumahan dan lain sebagainya telah menyebabkan luas lahan sawah di
Kabupaten Klaten semakin menyusut (tingkat penyusutan lahan sawah = 0,53
persen/ tahun). Terjadinya penyusutan luas lahan sawah diikuti dengan
pencetakkan lahan baru (tingkat pertumbuhan lahan tegal = 0,47 persen/ tahun).
Penelitian yang dilakukan pada sekitar lima tahun lalu tersebut pada dasarnya
menunjukkan, walaupun dalih pihak pemerintahn ingin mengembalikan
wilayahnya pada sektor “pertanian”, alih fungsi lahan tetap terus berjalan dan

10

dalam persentase yang kerap lebih hebat. Contoh kasus di Klaten tersebut juga
menunjukkan bagaimana pra dan pasca alih fungsi lahan ternyata menimbulkan
dinamika sosial ekonomi yang kompleks, hal tersebut ditunjukkan dengan
bagaimana suatu lahan yang dialihfungsikan menyebabkan masyarakatnya yang
pada awalnya bertani harus berganti mata pencaharian menjadi sektor
nonpertanian yang belum pasti. Kemudian Fahmi (2012) menambahkan bahwa
proses alih fungsi lahan dapat mempengaruhi mata pencaharian masyarakat yang
mempengaruhi pola nafkah seperti halnya yang terjadi di Kota Tangerang.
Perubahan fungsi lahan berupa lahan pertanian menjadi rest area menyebabkan
masyarakat yang dulunya petani berpindah menuju sektor perdagangan dan jasa.
Proses perubahan mempengaruhi pola nafkah masyarakat, yaitu ada yang memilih
untuk mencari pekerjaan tambahan, migrasi, atau bertahan dengan keterampilan
yang dimiliki. Petani yang memilih mencari pekerjaan lain, pada umumnya
melakukan pekerjaan pertanian dan non-pertanian (karyawan, tukang ojeg, dan
lain sebagainya). Migrasi juga merupakan cara yang dapat dilakukan petani. i
Migrasi biasanya dilakukan secara keseluruhan oleh keluarga atau hanya kepala
keluarga yang melakukan migrasi. Petani yang memiliki keterampilan rendah
kecuali bidang pertanian lebih memilih bertahan dengan mata pencaharian yang
ada dan berupaya memenuhi kebutuhan hidup secara subsisten.
Alih fungsi lahan berarti juga suatu perubahan yang menyangkut aspek
struktural hingga kultural suatu masyarakat. Berbagai penelitian telah
menunjukkan bahwa alih fungsi lahan dapat menyebabkan juga berbagai dinamika
sosial didalamnya, penelitian yang dilakukan di Klaten pada Catur et al. (2010),
dimana menunjukkan fakta bahwa lahan pertanian yang dialihfungsikan menjadi
lahan perumahan dan lain sebagainya telah menyebabkan luas lahan sawah di
Kabupaten Klaten semakin menyusut (tingkat penyusutan lahan sawah = 0,53
persen/ tahun). Terjadinya penyusutan luas lahan sawah diikuti dengan
pencetakkan lahan baru (tingkat pertumbuhan lahan tegal = 0,47 persen/ tahun).
Penelitian yang dilakukan pada sekitar lima tahun lalu tersebut pada dasarnya
menunjukkan, walaupun dalih pihak pemerintahn ingin mengembalikan
wilayahnya pada sektor “pertanian”, alih fungsi lahan tetap terus berjalan dan
dalam persentase yang kerap lebih hebat. Contoh kasus di Klaten tersebut juga
menunjukkan bagaimana pra dan pasca alih fungsi lahan ternyata menimbulkan
dinamika sosial ekonomi yang kompleks, hal tersebut ditunjukkan dengan
bagaimana suatu lahan yang dialihfungsikan menyebabkan masyarakatnya yang
pada awalnya bertani harus berganti mata pencaharian menjadi sektor
nonpertanian yang belum pasti. Kemudian Fahmi (2012) menambahkan bahwa
proses alih fungsi lahan dapat mempengaruhi mata pencaharian masyarakat yang
mempengaruhi pola nafkah seperti halnya yang terjadi di Kota Tangerang.
Perubahan fungsi lahan berupa lahan pertanian menjadi rest area menyebabkan
masyarakat yang dulunya petani berpindah menuju sektor perdagangan dan jasa.
Proses perubahan mempengaruhi pola nafkah masyarakat, yaitu ada yang memilih
untuk mencari pekerjaan tambahan, migrasi, atau bertahan dengan keterampilan
yang dimiliki. Petani yang memilih mencari pekerjaan lain, pada umumnya
melakukan pekerjaan pertanian dan non-pertanian (karyawan, tukang ojeg, dan
lain sebagainya). Migrasi juga merupakan cara yang dapat dilakukan petani.
Migrasi biasanya dilakukan secara keseluruhan oleh keluarga atau hanya kepala
keluarga yang melakukan migrasi. Petani yang memiliki keterampilan rendah

11

kecuali bidang pertanian lebih memilih bertahan dengan mata pencaharian yang
ada dan berupaya memenuhi kebutuhan hidup secara subsisten.
Menurut Widjanarko. (2006) dampak negatif akibat alih fungsi lahan,
antara lain: (1) Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan turunnya produksi
padi, yang mengganggu tercapainya swasembada pangan. (2) Berkurangnya luas
sawah yang mangakibatkan bergesernya lapangan kerja dari sektor pertanian ke
non-pertanian, yang apabila tenaga kerja lokal yang ada tidak terserap seluruhnya
justru akan meninggikan angka pengangguran. Dampak sosial ini akan
berkembang dengan meningkatnya kecemburuan sosial masyarakat setempat
terhadap pendatang yang pada gilirannya berpotensi meningkatkan konflik sosial
(3) Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana pengairan
menjadi tidak optimal pemanfaatannya (4) Kegagalan investor dalam
melaksanakan pembangunan perumahan maupun industri sebagai dampak krisis
ekonomi atau karena kesalahan perhitungan mengakibatkan tidak
termanfaatkannya tanah yang telah diperoleh sehingga meningkatkan luas lahan
tidur yang pada gilirannya akan menimbulkan konflik sosial seperti penjarahan
tanah atau sengketa tanah (5) Berkurangnya ekosistem sawah terutama di jalur
pantai utara Pulau Jawa yang terbaik dan telah terbentuk puluhan tahun,
sedangkan pencetakan sawah baru yang sangat besar biayanya di luar Pulau Jawa
seperti di Kalimantan Tengah tidak memuaskan hasilnya. Berdasarkan kelima
poin tersebut, dapat terlihat bahwa tidak hanya terkait dengan aspek ekologis dan
pangan, namun kembali isu alih fungsi lahan erat kaitannya dengan konflik dan
segeregasi sosial.
Interaksi Sosial
Interaksi sosial dapat dipahami sebagai hubungan-hubungan sosial yang
terbangun secara dinamis antar individu, antar kelompok, maupun antara individu
dan kelompok (Soekanto 2010). Istilah interaksi sosial secara harfiah juga
menunjukkan identitas hingga nilai-norma suatu kelompok. Interaksi tersebut
kerap berbeda antara komunitas yang satu dengan yang lainnya atau antar
masyarakat, konsep interaksi ini dapat bermakna sangat beragam. Interaksi antar
komunitas atau masyarakat yang berbeda tidak akan lepas dari perbedaan
penangkapan makna bersama (shared meaning), dan tidak jarang kondisi tersebut
akan menimbulkan berbagai dinamika hingga konflik di dalamnya. Karena dalam
proses interaksi sosial, ditunjukkan proses bagaimana suatu kelompok masyarakat
memposisikan dirinya dihadapan kelompok yang lainnya, namun kerap kali suatu
kelompok masyarakat tidak memperdulikan atau menganggap proses-proses
dalam interaksi sosial sebagai suatu cara untuk memahami pihak lain dan upaya
“menyatukan” diri mereka dalam kontruksi nilai dan norma bersama.
Beberapa bentuk interaksi sosial yang terdapat dalam masyarakat
(Soekanto 2010) sebagai berikut:
1. Interaksi Sosial Asosiatif, pada dasarnya merupakan interaksi sosial yang
bermakna membangun atau saling menunjukkan peran dan kontribusi yang
positif antar pihak yang berinteraksi. Interaksi asosiatif dapat ditunjukkan
dalam berbagai bentuk, diantaranya adalah kerjasama, yang dimaksudkan
tersebut dapat berlangsung apabila individu dapat bergerak bersama
lainnya untuk mencapai sebuah tujuan dan memiliki kesadaran bahwa
tujuan tersebut memiliki manfaat bagi semua. Kerjasama dapat terjadi

12

dalam bentuk tolongmenolong, gotong-royong, dan musyawarah. Bentuk
lainnya adalah asimilasi, atau sebuah proses yang ditandai dengan adanya
usaha mempertinggi kesatuan tindak, sikap, dan proses mental untuk
mengurangi perbedaan yang terdapat antara orang perorang, antar
kelompok dengan memperhatikan kepentingan dan tujuan bersama,
kondisi tersebut dapat terbangun apabila salah satu pihak yang berasal dari
berbeda kelompok saling berhubungan dan berkumpul bersama, sering
mengikuti pola atau “gaya” kelompok tersebut, dan lain-lain.
2. Interaksi Sosial Disosiatif, pada dasarnya merupakan interaksi sosial yang
bermakna destruktif atau saling menunjukkan peran dan kontribusi yang
negatif antar pihak yang berinteraksi. Interaksi disosiafif erat kaitannya
dengan persaingan, perselisihan halus akibat perbedaan pendapat atau
dapat juga berbentuk pertikaian yang konfrontatif. Persaingan terjadi
karena usaha untuk mencari keuntungan melalui bidang kehidupan yang
menjadi pusat perhatian umum. Sebuah persaingan berkaitan erat dengan
kepribadian seseorang, kemajuan masyarakat, solidaritas kelompok, dan
disorganisasi. Pertentangan atau pertikaian adalah suatu proses sosial
dimana individu atau kelompok berusaha memenuhi tujuannya dengan
jalan menentang pihak lawan dengan ancaman atau tindak kekerasan.
Pada penelitian Handayani (1992), perubahan aspek perekonomian di
Desa Karang Asem Timur kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor
mengakibatkan perubahan pola interaksi masyarakat. Pada awalnya aspek
perekonomian mereka agraris tetapi perlahan-lahan berubah menjadi
industri karena terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi non
pertanian (industri). Tejadi perubahan pola nafkah pada komunitas yang
kemudian berimplikasi kepada berubahnya interaksi sosial pada
komunitas. Interaksi dengan masyarakat lebih rendah dibanding dengan
interaksi anggota komunitas dengan keluarganya sendiri. Pada penelitian
(Umiyati 1994) menunjukkan bahwa interaksi dengan masyarakat di
sekitar lebih tinggi daripada interaksi dengan keluarga. Disebabkan adanya
mata pencaharian yang homogen, sehingga di tempat kerjapun mereka
dapat berinteraksi. Mata pencaharian dan waktu luang yang dimilki relatif
sama maka tingkat frekuensi dalam keluarga mereka tergolong tinggi
Kuatnya interaksi dalam keluarga dibandingkan dengan masyarakat di
sekitar (tetangga) menunjukkan bahwa di Desa Karang Asem Timur telah muncul
sifat individualisme yang lebih mementingkan kehidupan pribadinya
dibandingkan dengan masyarakat di sekitar. Di Desa Karang Asem Timur
perasaan saling bergantung pada anggota masyarakat sudah mulai berkurang. Hal
tersebut dipengaruhi oleh perubahan norma atau sistem nilai dari sifat
gotongroyong dan kebersamaan kepada sifat individualitis. Namun berbanding
terbalik dengan kondisi di Desa Padasuka, justru interaksi dengan masyarakat di
sekitar (tetangga) lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga. Dengan hadirnya
pembangunan perumahan BTN menyebabkan aspek perekonomian menjadi maju,
adanya pendatang, dan berdampak peningkatan taraf hidup serta mata pencaharian
menjadi beragam sehingga menimbulkan nilai atau norma baru pada masyarakat.
Oleh karena itu, kebutuhan masyarakat terhadap kegiatan pengajian meningkat
yang disebabkan oleh kesadaran untuk membentengi diri terhadap pengaruh dari
luar. Frekuensi dan intensitas pengajian yang semakin sering dijadikan oleh

13

masyarakat sebagai wadah untuk bersilahturahmi dan berinteraksi dengan
masyarakat di sekitar .

Kerangka Analisis
Peningkatan jumlah penduduk yang tidak sebanding dengan ketersediaan

Alih Fungsi Lahan

Perubahan Pola Nafkah
- Non Farm
- Off Farm
- On Farm

Interaksi Sosial
Komunitas
- Intensitas
- Bentuk

-

Tingkat Kohesi Sosial
(Sense Of Community)
Pemenuhan Kebutuhan
Keterlibatan Anggota
Memberikan Pengaruh
Berbagi Kontak Emosional

Aksi Kolektif
-Jenis
- Keterlibatan
- Peran

: Berhubungan
tanah dalam memenuhi kebutuhan penduduk atas tempat tinggal (pemukiman)
menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Hal tersebut
disebabkan oleh kota tidak lagi dapat menampung jumlah penduduk yang padat
sehingga pemerintah mengambil langkah dengan mengkonversi lahan pertanian ke
non pertanian di daerah pedesaan. Hal tersebut menjadi faktor yang
mempengaruhi alih fungsi lahan. Oleh karena itu, alih fungsi lahan berpengaruh
pada perubahan pola nafkah komunitas pedesaan yang kemudian berdampak pada
aspek perekonomian masyarakat sehingga dapat menjadi ruang masuk bagi nilai
atau norma baru ke dalam sebuah komunitas. Perubahan tersebut mempengaruhi
interaksi antar warga komunitas yang dilihat dari intensitas, frekuensi, dan
kualitas interaksi. Interaksi sosial merupakan faktor yang membentuk kohesi
sosial di antar komunitas. Tingkat kohesi sosial dyang dilihat dari (sense of
community) dapat diukur dengan pemenuhan kebutuhan, keterlibatan

14

keanggotaan, memberikan pengaruh, dan berbagi kontak emosional. Kohesi sosial
yang telah terbentuk akan mempengaruhi pada keterlibatan anggota komunitas
pada aksi kolektif.

Gambar 1 Kerangka Pemkirian

Hipotesis
Diduga tingkat kohesi sosial memiliki hubungan positif dengan tingkat
keterlibatan masyarakat dalam aksi kolektif.
Definisi Operasional
Definisi operasional untuk masing-masing variabel sebagai berikut:
1. Karakteristik komunitas adalah ciri-ciri khusus yang melekat pada suatu
komunitas. Karakter komunitas dapat dilihat dari:
a. Umur adalah selisih antara tahun responden dilahirkan sampai tahun
pada saat dilaksanakan penelitian.
b. Jenis kelamin adalah sifat fisik responden sebagaimana yang tercatat
dalam kartu identitas yang dimiliki responden. Jenis kelamin
dinyatakan dalam dua jenis yaitu:
1. Laki-laki
2. Perempuan
c. Tingkat pendidikan adalah jenis pendidikan/sekolah tertinggi yang
pernah diikuti oleh responden. Tingkat pendidikan dikategorikan
menjadi:
1. Tidak sekolah
2. Tidak tamat SD/sederajat
3. Tamat SMP/sederajat
4. Tamat SMA/sederajat
5. Diploma/Sarjana
d. Penguasaan lahan sawah adalah luas areal lahan sawah yang dikuasai
oleh responden saat ini. Penguasaan lahan sawah dikategorikan
menjadi:
1. Tidak mempunyai tanah
2. Berlahan sempit (0-0,25 ha)
3. Berlahan sedang (0,25-0,5 ha)
4. Berlahan luas (> 0,5 Ha)
e. Jenis mata pencaharian utama adalah jenis pekerjaan yang dilakukan
oleh responden yang memberi pendapatan terbesar. Jenis pekerjaan
dikelompokkan menjadi:
1. Petani

15

2. Pedagang
3. Wiraswasta
4. PNS
5. Tukang Ojek
f. Pendapatan adalah jumlah uang yang diterima oleh responden selama
bekerja. Tingkat pendapatan dikategorikan menjadi:
1. Rendah, pendapatan < Rp 1.000.000,2. Sedang, pendapatan antara Rp 1.000.000 hingga Rp 2.000.000
3. Tinggi, pendapatan > Rp 2.000.000
2. Alih fungsi lahan adalah adanya penggunaan lahan di luar kegiatan
pertanian baik sebagian maupun seluruhnya. Alih fungsi lahan
dikelompokkan menjadi:
1. Seluruhnya, responden menjual seluruh lahan yang dimiliki (skor 1)
2. Sebagian, responden menjual sebagian lahan yang dimiliki (skor 2)
3. Seperempat, responden menjual sebagian lahan yang dimiliki (skor 3)
3. Perubahan pola nafkah adalah perubahan jenis sumber nafkah dari
pertanian ke non pertanian.
Perubahan pendapatan adalah perubahan jumlah uang yang diterima oleh
responden. Pendapatan dibedakan menjadi:
1. Lebih tinggi
2. Sama saja
3. Lebih rendah
4. Interaksi sosial adalah interaksi secara tatap muka yang terjadi di antara
responden dengan lingkungan sosialnya dalam sebuah komunitas dan
dilihat dari :
1. Intensitas interaksi adalah lamanya waktu yang digunakan untuk
melakukan interaksi tatap muka serta keterlibatannya antara
responden dengan lingkungan sosial. Intensitas dikategorikan
menjadi:
1) Intensitas interaksi rendah, satu kali dalam seminggu dan pada
hari libur saja (skor 3)
2) Intensitas interaksi sedang, dua kali seminggu dan pada harihari terntentu saja (skor 4-5)
3) Intensitas interaksi tinggi, lebih dari dua kali seminggu dan
pada hari kerja (skor 6)
2. Bentuk interaksi adalah aktivitas yang dilakukan anggota dalam
komunitas. Dikategorikan menjadi 3 bagian, yaitu kerjasama,
konflik, persaingan dengan jawabannya ya dan tidak. Dengan
kategori tidak pernah (1), jarang (2), sering (3), selalu (4).
Gambaran tentang total interaksi dapat dikategorikan menjadi tinggi,
sedang, dan rendah, sebagai berikut :
Tinggi
: skor 11-21
Sedang
: skor 22-32
Rendah:
: skor 33-44

16

5.

Kohesi sosial adalah kesatuan, keutuhan, dan kepaduan dalam upaya
untuk mendorong anggota tetap bertahan dalam sebuah komunitas.
Menurut Chavis et al. (2008) kohesi sosial diukur dengan menggunakan
empat indikator yaitu Reinforcement of Needs (pemenuhan kebutuhan),
Membership (keterlibatan sebagai anggota komunitas), Influence
(memberikan pengaruh) dan Shared Emotional Connection (berbagi
kontak emosional).
a. Reinforcement of needs (pemenuhan kebutuhan): kondisi dimana
anggo