Peranan Pemimpin, Kohesi Sosial Dan Keberhasilan Program Pemberdayaan Masyarakat Di Pedesaan

PERANAN PEMIMPIN, KOHESI SOSIAL DAN KEBERHASILAN
PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI PEDESAAN

MUHAMMAD MIRRZA ALAM AKBAR

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

ii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA
PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Peranan Pemimpin,
Kohesi Sosial dan Keberhasilan Program Pemberdayaan Masyarakat di
Pedesaan” adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di

bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2016

Muhammad Mirrza Alam Akbar
NIM I34120053

iii

ABSTRAK
MUHAMMAD MIRRZA ALAM AKBAR. Peranan Pemimpin, Kohesi Sosial dan
Keberhasilan Program Pemberdayaan Masyarakat di Pedesaan. Dibawah bimbingan
NURMALA K. PANDJAITAN
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan gaya kepemimpinan
tokoh pemimpin dengan tingkat kohesi sosial yang ada pada masyarakat dalam
pelaksanaan program pemberdayaan. Adapun kohesi sosial tersebut dianalisis
hubungannya terhadap keberhasilan program pemberdayaan. Program pemberdayaan
dalam penelitian ini adalah program air bersih PLPBK dimana program

pemberdayaan yang menekankan masyarakat atau warga komunitas untuk terlibat
secara partisipatif dari tahap perencanaan hingga keberlanjutan program. Metode
penelitian dilakukan secara survey dan teknik pengambilan sampel yaitu cluster
random sampling. Jumlah sampel sebanyak 60 responden dengan mengambil masingmasing 15 responden di empat wilayah bak-bak penampungan dari program air bersih
PLPBK. Hasil penelitian menunjukan gaya kepemimpinan tokoh pemimpin tidak
mempunyai korelasi pada tingkat kohesi sosial warga komunitas. Akan tetapi, tingkat
kohesi sosial warga komunitas memiliki hubungan yang positif dan signifikan dalam
keberhasilan program air bersih PLPBK.
Kata kunci: gaya kepemimpinan, kohesi sosial, partisipasi, pemberdayaan masyarakat

ABSTRACT
MUHAMMAD MIRRZA ALAM AKBAR. Role of Leader, Social Cohesiveness
and Success of the Program for Community Empowerment in Rural Areas. Under the
guidance of NURMALA K. PANDJAITAN
This study aimed to analyze relationship between a leadership style of lead
figur with level of community social cohesion in the implementation of empowerment
program. As for social cohesion were analyzed relation to success of empowerment
program. The empowerment program in this study is a clean water program PLPBK
where empowerment programs that emphasize community or members of community
to engage in a participatory planning phase to the sustainability of the program. The

research method is survey and sampling technique that is cluster random sampling.
Total sample of 60 respondents to take each of 15 respondents in the four regions of
the storage tanks of clean water program PLPBK. Results showed prominent leader
leadership style, has no correlation to level of social cohesion community residents.
However, level of social cohesion community members have a positive and significant
in the success of clean water program PLPBK.
Keywords: leadership style, social cohesive, participation, community empowerment

iv

PERANAN PEMIMPIN, KOHESI SOSIAL DAN KEBERHASILAN
PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI PEDESAAN

MUHAMMAD MIRRZA ALAM AKBAR

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat


DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

vi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT karena atas limpahan
rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul
“Peranan Pemimpin, Kohesi Sosial dan Keberhasilan Program Pemberdayaan
Masyarakat di Pedesaan” dengan baik. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat
kelulusan sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi
Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Nurmala K. Pandjaitan,
selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak saran dan masukan selama
proses penulisan hingga selesai. Penulis juga menyampaikan penuh rasa hormat dan

terima kasih kepada Bapak (Alm.) Syamsir Alam Achmad dan Ibu Winarsih karena
mereka berdualah penulis bisa terus melangkah sampai saat ini. Tidak lupa penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada teman seperjuangan penulis yaitu Vany
Ardianto dan Hana Hilaly serta sahabat penulis yaitu Astrid Putri Indirawardani dan
Bob Andri Nasution. Terimakasih juga penulis ucapkan untuk Rezka Hanandya yang
selalu menyemangati penulis setiap harinya, teman-teman kontrakan penulis (The
Kons Balio) dan mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat (SKPM) 49. Penulis menyadari bahwa dalam karya ini terdapat banyak
kesalahan untuk itu saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat penulis
harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak orang.

Bogor, Juli 2016

Muhammad Mirrza Alam Akbar

vii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah Penelitian
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Kepemimpinan
Gaya Kepemimpinan
Kohesi Sosial
Aksi Kolektif
Komunitas Pedesaan
Pemberdayaan Masyarakat
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
PENDEKATAN LAPANG
Metode Penelitian
Jenis dan Sumber data
Lokasi dan Waktu

Teknik Pemilihan Responden dan Informan
Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data
Definisi Operasional
Gaya Kepemimpinan
Tingkat Kohesi Sosial
Tingkat Keberhasilan Program
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
PROGRAM AIR BERSIH PLPBK
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gaya Kepemimpinan Tokoh Pemimpin dalam Program Air Bersih PLPBK
Gaya Kepemimpinan Konsultatif
Gaya Kepemimpinan Delegatif
Gaya Kepemimpinan Instruktif
Tingkat Kohesi Sosial
Sense of Community
Aksi Kolektif
Tingkat Keberhasilan Program
Partisipasi
Keberlanjutan Program

Hubungan Gaya Kepemimpinan Tokoh Pemimpin dan Tingkat Kohesi Sosial

viii
viii
ix
1
1
2
3
3
4
4
4
5
7
8
8
9
10
11

12
12
12
12
12
13
13
13
14
16
18
20
23
27
27
30
31
31
32
32

39
44
44
46
47

viii

Hubungan Tingkat Kohesi Sosial dan Tingkat Keberhasilan Program
KESIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

49
52
52
52

53
57
76

DAFTAR TABEL
1 Pembagian lahan di Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong tahun 2015
2 Prasarana sanitasi dan irigasi Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong tahun
2015
3 Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan mata pencaharian tahun 2015
4 Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2015
5 Jumlah dan persentase prasarana pendidikan Desa Tugu Jaya, Kecamatan
Cigombong tahun 2015
6 Jumlah dan persentase responden berdasarkan gaya kepemimpinan tokoh
pemimpin
7 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kohesi sosial
8 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat sense of community
9 Jumlah dan persentase responden berdasarkan indikator pada sense of
community
10 Jumlah dan persentase responden berdasarkan aksi kolektif
11 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat keberhasilan program
12 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat partisipasi
13 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat keberlanjutan program
14 Jumlah dan persentase responden berdasarkan sense of community dan
partisipasi
15 Jumlah dan persentase responden berdasarkan sense of community dan
keberlanjutan program
16 Jumlah dan persentase responden berdasarkan aksi kolektif dan partisipasi
17 Jumlah dan persentase responden berdasarkan aksi kolektif dan keberlanjutan
program

20
20
21
22
22
29
32
33
33
40
44
45
46
49
49
50
50

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran Peranan Pemimpin, Kohesi Sosial dan Keberhasilan
Program Pemberdayaan Masyarakat di Pedesaan
2 Bagan organisasi panitia program air bersih PLPBK Desa Tugu Jaya
3 Grafik frekuensi rendah dan tinggi indikator pemenuhan kebutuhan
4 Grafik frekuensi rendah dan tinggi indikator keterlibatan menjadi anggota
5 Grafik frekuensi rendah dan tinggi indikator pengaruh
6 Grafik frekuensi rendah dan tinggi indikator berbagi kontak emosional
7 Grafik jenis keterlibatan warga komunitas dalam program air bersih PLPBK

11
26
34
36
37
39
41

ix

8 Grafik bentuk keterlibatan warga komunitas dalam program air bersih PLPBK
9 Grafik peran warga komunitas dalam program air bersih PLPBK

42
43

DAFTAR LAMPIRAN
1 Peta Lokasi Penelitian
2 Kerangka Sampling
3 Hasil Olahan Data
4 Instrumen Pengukuran Kinerja Pembukuan Sekretariat BKM / LKM
5 Dokumentasi Penelitian
6 Catatan Tematik

58
59
66
67
72
73

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Program pemberdayaan masyarakat merupakan suatu program yang bertujuan
untuk memberdayakan masyarakat dengan mengintegrasikan potensi dan masalah
yang terdapat di masyarakat. Adanya program pemberdayaan masyarakat tidak lepas
dari permasalahan utamanya yaitu belum berdayanya masyarakat terhadap kondisi
ideal yang diharapkan seperti permasalahan kemiskinan. Pemerintah sendiri sudah
banyak memberikan bantuan program pemberdayaan seperti penyaluran Kredit Usaha
Rakyat (KUR), Tabungan Keluarga Sejahtera (TAKESRA) ataupun Inpres Desa
Tertinggal (IDT). Akan tetapi, program-program tersebut relatif belum berhasil
menyelesaikan permasalahan kemiskinan yang ada disebabkan pendekatan yang
selama ini dilakukan condong kepada pendekatan top down.
Masyarakat merasa tidak dilibatkan sepenuhnya dalam program sehingga
masyarakat merasa kurang bertanggung jawab terhadap keberhasilan program. Hal ini
menunjukkan pendekatan secara partisipatif perlu dilakukan guna menunjang
keberhasilan program pemberdayaan. Contoh lain kegagalan program pemberdayaan
dapat dilihat pada program UPP/P2KP (Urban Proverty Project) di daerah Aceh.
Permasalahan utama terletak pada rusaknya struktur pemimpin informal akibat
konflik yang berkepanjangan pasca tsunami. Selain itu, masyarakat sudah tidak
percaya pada integritas pemerintah formal. Pada dasarnya, masyarakat Aceh sudah
memiliki struktur sosial pada figur pemimpin informal yang telah terbukti mampu
menghadapi berbagai konflik. Pak Geuchik (Kepala Desa), Tuha Peut (empat Petua
Kampung) dan Tengku Imeum (Imam Menasah Kampung) merupakan tokoh-tokoh
informal dengan gaya kepemimpinan yang sesuai keinginan masyarakat Aceh.
Kenyataannya, potensi tersebut malah termarjinalkan dengan pemilihan para elit baru
yang justru menjauhkan para tokoh informal dari masyarakat dan cenderung
mengkebiri kearifan lokal yang ada.1
Maka pemberdayaan masyarakat berbasis kebutuhan masyarakat menjadi
sebuah kegiatan yang strategis. Selain itu, kasus program UPP/P2KP di Aceh
menunjukkan bahwa program pemberdayaan memerlukan tokoh pemimpin. Peranan
tokoh pemimpin menjadi sangat penting terutama dalam mempengaruhi, memberi
contoh, dan menggerakan seluruh warga masyarakat di lingkungannya guna
mendukung keberhasilan suatu program (Yuliana 2013). Hal ini diperkuat asumsi
bahwa seorang tokoh pemimpinlah yang memiliki wewenang di suatu desa atau
komunitasnya. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tahun
2014 pasal 1 Bab 1 no. 2 menjelaskan bahwa “Kewenangan desa adalah kewenangan
yang dimiliki desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintahan
desa pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa dan

1

Gagalnya Pemberdayaan Masyarakat sebagai Pendekatan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Perumahan di
Aceh. Muamar Vebry. 2009

2

pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul dan
adat istiadat desa.”
Pemimpin menjadi seseorang yang mengetahui secara jelas tentang keadaan
komunitasnya sehingga pemimpin mampu bertindak sesuai dengan pemahaman yang
didapat dari komunitasnya. Tidak hanya itu, pemimpin dirasa mampu menciptakan
keakraban dengan para warga komunitas. Bernadine R. Wirjana dan Susilo Supardo
(2005) seperti yang dijelaskan oleh Wahyuni (2009) mendefinisikan kepemimpinan
adalah suatu proses yang kompleks dimana seseorang mempengaruhi orang lain
untuk mencapai suatu misi, tugas ataupun sasaran, dengan mengarahkan secara lebih
kohesif. Hal ini membuat warga komunitas dapat bertindak secara lebih kohesif dan
bersatu. Semua itu tidak lepas dari peran pemimpin yang mampu memupuk serta
memelihara kebersamaan warga komunitas. Dengan adanya kebersamaan, keinginan
warga komunitas untuk berperan dalam kemajuan komunitasnya menjadi lebih besar.
Maka dari itu, pertanyaan dasar dari penelitian ini adalah bagaimana hubungan
peranan pemimpin dan kohesi sosial warga komunitas dalam keberhasilan program
pemberdayaan masyarakat?
Masalah Penelitian
Banyaknya masyarakat yang masih belum mampu mengakses potensi yang
mereka miliki menjadi permasalahan yang hingga saat ini belum terselesaikan
sepenuhnya. Pemerintah pun sudah mencoba berbagai cara dengan memberikan
berbagai program pemberdayaan. Namun program pemberdayaan yang selama ini
terlaksana cenderung gagal disebabkan program berjalan tidak sesuai dengan konsep
pemberdayaan yakni “community based concept”. Masyarakat perlu dilibatkan sebab
masyarakat merupakan komponen terpenting di dalam program pemberdayaan. Selain
itu pemberdayaan akan berhasil jika masyarakat memiliki keinginan yang kuat untuk
bersama-sama mengubah keadaan lingkungannya saat ini menjadi lebih baik.
Perasaan tersebut yang membentuk kohesi sosial di dalam masyarakat. Kohesi sosial
tersebut tidak serta muncul begitu saja. Adapun terdapat faktor pemimpin dengan
gaya kepemimpinan tertentu secara langsung maupun tidak langsung mampu
mempengaruhi kohesi sosial yang ada di masyarakat maka bagaimana hubungan
antara gaya kepemimpinan dan kohesi sosial?
Pada pelaksanaannya, program pemberdayaan masyarakat memerlukan
kesadaran masyarakat yang tinggal di komunitas tersebut untuk mau terlibat secara
aktif maupun sukarela. Hal ini dilakukan guna meningkatkan keberhasilan program
pemberdayaan yang sedang berlangsung ataupun keberlanjutan dari program tersebut.
Kesadaran ini juga menunjukkan bahwa masih adanya kohesi sosial di masyarakat
maka bagaimana hubungan kohesi sosial dan keberhasilan program pemberdayaan
masyarakat?

3

Tujuan Penelitian
Berdasarkan penjelasan rumusan masalah diatas maka penulisan skripsi
berjudul “Peranan Pemimpin, Kohesi Sosial dan Keberhasilan Program
Pemberdayaan Masyarakat di Pedesaan” memiliki beberapa tujuan:
1. Menganalisis hubungan antara gaya kepemimpinan dan tingkat kohesi
sosial
2. Menganalisis hubungan tingkat kohesi sosial dan keberhasilan program
pemberdayaan masyarakat di pedesaan
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi berbagai pihak, diantara lain:
1. Peneliti dan Akademisi
Bagi peneliti untuk menambah pengetahuan dan pengalaman langsung
terkait program pemberdayaan masyarakat yang terjadi di lapangan. Selain
itu, untuk menambah wawasan peneliti dalam menerapkan gaya
kepemimpinan yang sesuai dalam program pemberdayaan masyarakat
sehingga mampu membentuk kohesi sosial dari para anggotanya.
Sedangkan untuk akademisi, hasil penelitian dapat menjadi salah satu
sumber informasi mengenai hubungan gaya kepemimpinan yang
berhubungan dengan tingkat kohesi sosial dalam program pemberdayaan
masyarakat di pedesaan.
2. Pemerintah
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan bahan pertimbangan
bagi pemerintah dalam menyusun dan mengambil kebijakan mengenai
program pemberdayaan masyarakat.
3. Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan
masyarakat mengenai tingkat kohesi sosial dalam keberhasilan program
pemberdayaan masyarakat di pedesaan.

4

PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Kepemimpinan
Pemimpin pada hakikatnya adalah seseorang yang mempunyai kemampuan
untuk mempengaruhi perilaku orang lain dalam rangka mencapai suatu tujuan.
Pemimpin berfungsi untuk memupuk dan memelihara kebersamaan anggota-anggota
di dalam komunitasnya. Jika ada kebersamaan diantara anggota komunitas maka
dalam melaksanakan pekerjaan pada komunitas akan terasa lebih mudah. Bernadine
R. Wirjana dan Susilo Supardo (2005) seperti yang dijelaskan oleh Wahyuni (2009)
kepemimpinan adalah suatu proses yang kompleks dimana seseorang mempengaruhi
orang lain untuk mencapai suatu misi, tugas atau sasaran, dan mengarahkan dengan
cara yang lebih kohesif dan masuk akal. Berdasarkan definisi diatas maka kita dapat
simpulkan bahwa kepemimpinan mempunyai sebuah peran sebagai pemberi arahan
dalam kegiatan-kegiatan komunitasnya. Menurut Wahjosumijo (1984) seperti yang
dijelaskan oleh Randhita (2009) dalam prakteknya, memimpin mengandung konotasi
yaitu menggerakkan, mengarahkan, membina, melindungi, memberi teladan, serta
memberikan bantuan. Kepemimpinan sebagai suatu bentuk persuasi melalui
pendekatan berbasis masyarakat dan pemberian motivasi yang tepat, sehingga mereka
sebagai pengikut dapat bergerak tanpa adanya rasa takut, mau bekerja sama, dan
dapat mencapai segala yang menjadi tujuan-tujuan komunitas. Maka disinilah,
kepemimpinan menjadi kunci keberhasilan suatu komunitas dalam usaha mencapai
tujuan bersama. Kepemimpinan merupakan suatu aspek yang penting dalam upaya
pengelolaan komunitas, sebab kemampuan untuk memimpin sangat menentukan
berhasil atau tidaknya komunitas dalam mencapai tujuan. Kotter (1990) seperti yang
dijelaskan oleh Utami (2007) menyebutkan bahwa memimpin harus dimulai dari
menetapkan arah dan merancang visi komunitas.
Pemimpin harus mampu menyatukan langkah orang-orang dibawahnya
dengan cara mengomunikasikan dan mendorong mereka untuk mengatasi rintanganrintangan yang ada. Semua dapat dilakukan tanpa harus bersikap instruktif.
Pemahaman tersebut juga terdapat pada hasil jurnal Utami (2007) yang menjelaskan
bahwa kepemimpinan diperlukan untuk perubahan. Perilaku kepemimpinan
semestinya berorentasi pada pengembangan masyarakat serta dapat melahirkan
pendekatan baru terhadap masalah. Selain itu, untuk mendorong para anggotanya
untuk memulai kegiatan-kegiatan yang baru. Fiedler (1967) seperti yang dijelaskan
oleh Yudhaningsih (2010) juga menyatakan bahwa kepemimpinan pada dasarnya
adalah pola hubungan antar individu dimana pemimpin menggunakan wewenang dan
pengaruhnya terhadap orang-orang agar mau bekerja sama dalam mencapai suatu
tujuan. Pemimpin tersebut harus mampu menciptakan kesatuan di antara anggotaanggota komunitas sehingga dapat diperoleh pemahaman bersama, bagaimana
seharusnya membentuk kerjasama yang harmonis di dalam komunitas.

5

Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan adalah suatu cara, tindakan maupun tingkah laku tokoh
pemimpin yang dapat terlihat secara keseluruhan dalam mempengaruhi orang lain.
Setiap pemimpin pastilah memiliki cara atau gaya tertentu dalam mengarahkan dan
memimpin anggotanya untuk mencapai suatu tujuan di dalam komunitasnya.
Terdapat tiga klasifikasi gaya kepemimpinan menurut White dan Lippit (1960)
seperti yang telah dijelaskan oleh Rakhmat (2005), yaitu:
a. Gaya kepemimpinan otokratis
Gaya kepemimpinan dicirikan dengan pengambilan keputusan dan kebijakan
dilakukan oleh pemimpin sendiri tanpa melibatkan anggota. Gaya kepemimpinan
ini menimbulkan suasana permusuhan dan ketergantungan yang besar dari anggota
kepada pemimpin. Ciri-ciri gaya kepemimpinan otokratis adalah sebagai berikut:
1. Pemimpin menentukan segala sesuatu secara sepihak
2. Anggota sama sekali tidak diikutsertakan dalam proses perumusan
tujuan ataupun aktivitas untuk mencapai tujuan
3. Pemimpin tidak terlibat dalam interaksi sosial dengan anggota dan
seolah-olah terpisah dari anggota
b. Gaya kepemimpinan demokratis
Gaya kepemimpinan dicirikan dengan pemimpin membantu, mengarahkan
dan membimbing anggota dalam memutuskan kebijakan. Ciri-ciri gaya
kepemimpinan demokratis adalah sebagai berikut:
1. Pemimpin mengajak anggota dalam merumuskan tujuan dan langkahlangkah untuk mencapainya
2. Pemimpin secara aktif memberikan saran dan petunjuk
3. Pemimpin mengikutsertakan anggota dalam kegiatan-kegiatan
dan terlibat dalam interaksi sosial dengan anggota
c. Gaya kepemimpinan laissez faire
Gaya kepemimpinan yang ditandai dengan pemimpin memberikan kebebasan
penuh kepada anggota untuk mengambil keputusan. Gaya kepemimpinan ini hanya
ada sedikit partisipasi dari pemimpin. Ciri-ciri gaya kepemimpinan laissez faire
adalah sebagai berikut:
1. Pemimpin menjalankan perannya secara pasif
2. Penentuan tujuan dan langkah-langkah untuk mencapainya dilakukan
oleh anggota sepenuhnya. Pemimpin hanya menyediakan sarana dan
prasaranan yang dibutuhkan
3. Pemimpin tidak terlibat secara aktif dalam kegiatan komunitas
Pada dasarnya, pemimpin adalah orang yang dapat menggerakkan orang lain
untuk mau terlibat di dalam suatu perubahan. Hal tersebut didukung oleh pernyataan
Ardilah et al. (2014) yang menjelaskan bahwa faktor kepemimpinan merupakan
faktor yang mempengaruhi keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan dalam
lingkungan desanya. Pembangunan yang akan berjalan dengan baik dan efektif bila
pemimpin mampu mengarahkan orang-orang dibawahnya kepada kebutuhan yang

6

harus segera terpenuhi. Ibrahim (2002) juga menjelaskan bahwa kepemimpinan
seorang pemimpin akan berjalan efektif jika disesuaikan dengan keadaan dalam
berkomunikasi dengan bawahan. Kepemimpinan tersebut dikenal sebagai
kepemimpinan situsional dimana kepemimpinan yang menekankan kepada perilaku
antara pemimpin dan bawahannya. Terdapat beberapa gaya kepemimpinan situsional
(Ibrahim 2002) seperti:
1. Gaya kepemimpinan dengan gaya instruksi (memberitahukan)
Pemimpin memberikan instruksi atau petunjuk tentang tujuan dan peranan
bawahannya. Pemimpin mengawasi tugas yang dilakukan bawahan secara ketat.
Proses komunikasi antara pimpinan dengan bawahan banyak didominasi oleh
komunikasi satu arah.
2. Gaya kepemimpinan dengan gaya konsultasi (menjajakan)
Pemimpin menjelaskan keputusan dan kebijakan yang diambil tetapi pemimpin
juga mau menerima pendapat bawahan. Pengarahan dan pengawasan tetap
dilakukan secara ketat. Gaya konsultasi ini dilakukan karena bawahan
mempunyai tingkat kematangannya yang cukup baik.
3. Gaya kepemimpinan dengan gaya partisipasi (mengikutsertakan)
Pemimpin menyusun keputusan secara bersama-sama dengan bawahan dan
mendukung usaha-usaha para bawahannya dalam menyelesaikan suatu tugas.
Peran pemimpin menjadi aktif ketika mendengarkan pendapat para bawahannya.
4. Gaya kepemimpinan dengan gaya delegasi
Pemimpin memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada bawahan untuk
memecahkan masalah dan menjalankan tugasnya. Pemimpin mendelegasikan
keputusan dan tanggung jawab secara penuh pelaksanaan tugas kepada bawahan.
Pada prakteknya di dalam program pemberdayaan masyarakat, pemimpin
menjadi tokoh yang mampu menjalankan program gaya kepemimpinan yang telah
diterapkan oleh pemimpin. Gaya kepemimpinan pun dapat diukur dari kemampuan
pemimpin, diantaranya seperti kemampuan pemimpin dalam menampung aspirasi dan
memberikan instruksi sesuai dengan situasi dan kebutuhan anggotanya (Mutmainah
dan Sumardjo 2014). Adapun dalam pengambilan keputusan tetap ditentukan oleh
pemimpin setelah dimusyawarahkan bersama masyarakat. Pada gaya kepemimpinan
dengan gaya instruksi (memberitahukan), pemecahan masalah dan pengambilan
keputusan sepenuhnya dilakukan pemimpin sendiri tanpa melibatkan anggota atau
bawahannya. Pemimpin hanya memberikan perintah saja kepada bawahan sehingga
hubungan sosial yang dibangun oleh pemimpin buruk dan cenderung tidak
memahami kondisi anggotanya. Keadaan tersebut akan sulit membangun kohesi
sosial di dalam komunitas. Berbeda dengan gaya kepemimpinan partisipatif dimana
pemimpin dan bawahan sama-sama terlibat dalam pengambilan keputusan dan ikut
berperan di dalamnya. Pemimpin juga mengambil keputusan setelah adanya saran
ataupun pendapat dari para bawahan. Hubungan sosial dengan bawahan terjalin
dengan baik dan sangat memungkinkan untuk terciptanya rasa saling memiliki dan
saling mempercayai. Munculnya kohesi sosial karena usaha pemimpin mau
menampung aspirasi dan memberikan arahan sesuai dengan situasi dan kebutuhan
anggotanya.

7

Kohesi Sosial
Kohesi sosial dapat dipahami sebagai kesatuan, keutuhan dan kepaduan dalam
suatu upaya agar anggota kelompok tetap bertahan di dalam komunitas. Kohesi sosial
merupakan bagian dari modal sosial. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Pranadji
(2006) yang menjelaskan kekuatan modal sosial menjadi faktor penting masyarakat di
pedesaan masih bisa bertahan. Modal sosial masyarakat setempat bukan saja bisa
menjadi inti kekuatan dalam program pemberdayaan namun juga mampu mengatasi
masalah secara kolektif. Definisi lain tentang kohesi sosial dinyatakan Johnson dan
Johnson (1991) seperti yang dijelaskan oleh Noorkamilah (2008) bahwa kohesi sosial
dalam sebuah komunitas dapat terjadi ketika anggota-anggota komunitas saling
menyukai dan menginginkan kehadiran satu dengan lainnya. Kohesi sosial juga dapat
terbentuk dari rasa saling percaya diantara anggota komunitas. Salah satu fungsi
penting dari kepercayaan (trust) ini dalam hubungan sosial masyarakat adalah
pemeliharaan kohesi sosial (Mollering 2001 seperti yang dijelaskan oleh Primadona
2001).
Kepercayaan merekatkan setiap komponen sosial yang ada pada masyarakat
sehingga komunitas dapat menjadi kesatuan yang tidak tercerai-berai. Selain itu
menurut Faturochman (2006) seperti yang dijelaskan oleh Yuasidha dan Nurul
Rhamadani (2014) terdapat faktor-faktor yang membentuk kohesi sosial yakni setiap
anggota memiliki komitmen tinggi, interaksi didominasi kerjasama bukan persaingan,
dan mempunyai tujuan yang terkait satu dengan yang lainnya. Tujuan yang sudah
dirumuskan bersama-sama dapat meningkat sesuai dengan perkembangan jaman dan
adanya ketertarikan antar anggota komunitas untuk berkembang. Ketertarikan ini
menguatkan jaringan atau relasi sosial di dalam komunitas. Kohesi sosial juga dapat
diartikan sebagai kekuatan baik positif maupun negatif, yang menyebabkan anggota
komunitas tetap bertahan (Taylor et al. 2009 seperti yang dijelaskan oleh Wulansari
et al. 2012).
Kohesi sosial pun dapat meningkat seiring dengan tingginya rasa suka antar
anggota. Hal ini didukung pada hasil penelitian Ramdhan dan Matono (1996)
mengenai kohesi sosial pada masyarakat miskin. Tingkat kohesi sosial yang paling
tinggi terdapat pada anggota yang sudah ikut KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat)
selama dua tahun dibandingkan dengan anggota yang baru saja ikut dan belum ikut
KSM. Perbedaan tingkat kohesi sosial tersebut karena adanya pembinaan dari
sukarelawan, lamanya anggota tergabung dalam kelompok dan saling ketergantungan
antara mereka. Prinsip tanggung renteng yang diterapkan dalam rangka mempererat
saling ketergantungan antara anggota kelompok atau komunitas yang telah mengakar
sebagai bentuk budaya dari masyarakat setempat.
Sense of Community
Rasa komunitas atau sense of community merupakan perasaan yang dimiliki
oleh masyarakat atau warga komunitas selama tinggal di dalam komunitas atau
lingkungan tempat mereka tinggal. Perasaan yang membuat warga komunitas sadar
akan memiliki komunitasnya. Sense of community juga dapat dipahami sebagai

8

perasaan “we’re feeling” yang mempersatukan setiap anggota menjadi satu bagian.
Rasa memiliki tersebut juga dapat membentuk kohesi sosial antar individu dalam
suatu komunitas (Myers 2010 seperti yang dijelaskan oleh Kaslan 2009). Rasa
memiliki yang membuat individu menyadari bahwa ia merupakan bagian dari
komunitas. Teori rasa komunitas (sense of community) ini dibawakan oleh McMilan
dan Chavis (1986) seperti yang dijelaskan oleh Chavis et al. (2008) dimana rasa
komunitas memiliki persepsi dengan empat unsur yaitu keanggotaan, pengaruh,
penguatan kebutuhan dan berbagi hubungan emosional. Hasil studi rasa komunitas
tersebut telah menunjukkan bahwa sense of community menjadi indikator yang kuat
dari suatu perilaku dari masyarakat.
Aksi Kolektif
Aksi kolektif merupakan tindakan yang dilakukan secara bersama-sama oleh
masyarakat setempat dalam rangka mencapai suatu tujuan. Hal ini membutuhkan
kerja sama antar masyarakat, pemangku kepentingan dan tokoh-tokoh masyarakat
yang ada. Aksi kolektif menjadi salah satu penilaian dalam kohesi sosial dimana aksi
kolektif menunjukkan keterlibatan masyarakat untuk menjadikan komunitasnya lebih
baik lagi. Hasil penelitian Ramdhan dan Martono (1996) menambahkan bahwa saat
masyarakat sudah berkohesif maka kepentingan individu sudah tidak diutamakan lagi
dan kebutuhan kelompok menjadi utama. Kohesi sosial yang terbentuk mampu
meningkatkan kemauan anggota untuk berpartisipasi dalam segala bentuk aktivitas
yang dilaksanakan bersama. Kemauan yang timbul karena adanya ikatan yang kuat di
dalam komunitas. Adapun aksi kolektif dapat dipengaruhi dari faktor intrinsik seperti
kepemimpinan. Faktor kepemimpin (leadership) memegang peran untuk menarik
partisipasi masyarakat dalam suatu aktivitas kolektif. (Sukamana, 2013)
Komunitas Pedesaan
Komunitas adalah suatu kesatuan yang mempunyai batas geografi yang sama
dan cenderung memiliki nasib yang sama. Komunitas juga dapat diasumsikan sebagai
suatu organisasi sosial yang dibangun oleh lingkungan alam, sosial, dan ekonomi
yang saling mempengaruhi (Norris et al. 2007). Istilah komunitas pun merujuk pada
warga desa ataupun suku tertentu yang menempati suatu wilayah. Apabila anggotaanggota di dalam suatu wilayah tersebut mampu hidup bersama serta dapat memenuhi
kepentingan hidup mereka maka kelompok tersebut dapat disebut komunitas
(Nasdian 2006). Pedesaan adalah suatu sistem sosial yang dibangun oleh berbagai
komponen seperti komponen ekonomi dan sosial yang saling terkait sehingga
menciptakan karakteristik yang khas. Komunitas pedesaan memiliki karakteristik
yang berbeda dari komunitas lainnya seperti komunitas perkotaan. Komunitas
pedesaan memiliki latar belakang yang sama dengan tingkat pendidikan yang setara,
afiliasi keagamaan, dan etnik masyarakat tertenut yang berada dalam komunitas
tersebut (Kulig et al. 2008). Homogenitas ini membuat kohesi sosial pada komunitas
pedesaan relatif lebih tinggi daripada komunitas perkotaan. Homogenitas tersebut
juga mampu membentuk rasa kepedulian antara anggota komunitas dan berbagai

9

proses sosial yang asosiatif masih dapat sering ditemukan di komunitas pedesaan.
Berdasarkan penelitian Kulig et al. (2008) pada tiga komunitas yaitu komunitas
petani, komunitas pertambangan dan komunitas perkotaan. Hasil menunjukkan
bahwa pada komunitas petani, rasa memiliki lebih tinggi dibandingkan dengan kedua
komunitas lain. Komunitas petani memiliki inisiatif yang tinggi dalam mengatasi
masalah, sering membantu menanam dan panen serta interaksi sosial yang tinggi.
Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat mengacu kepada kesadaran masyarakat untuk
mengaktualisasikan segala potensi yang mereka miliki. Pemberdayaan masyarakat
menekankan pentingnya masyarakat untuk mandiri sebagai suatu unit yang dapat
mengorganisir dirinya sendiri. Pemberdayaan masyarakat yang demikian perlu
memberikan peran kepada setiap individu. Bukan sebagai objek, melainkan sebagai
subjek dalam menentukan arah perubahan dalam komunitasnya. Hal ini didukung
dengan pernyataan Surochiem (2001) yang menjelaskan bahwa pemberdayaan
masyarakat merupakan konsep pembangunan yang merangkum nilai-nilai sosial.
Konsep tersebut mencerminkan paradigma baru yakni people centered, participatory,
empowering, dan sustainable.
Program pemberdayaan perlu melibatkan masyarakat sebagai subyek yang
dapat melakukan perubahan, dengan membebaskan diri mereka dari segala peraturan
(birokrasi) yang kaku. Proses inilah yang membuat masyarakat berdaya dengan
mengembangkan pilihan-pilihan yang ada. Sementara penyusunan program
pemberdayaan dapat dilakukan dengan cara menggali konsep pembangunan yang
mandiri serta menumbuhkan nilai-nilai yang telah ada, sehingga masyarakat dapat
terhindar dari berbagai bentuk konflik kepentingan dan ketimpangan. Maka program
pemberdayaan masyarakat merupakan suatu bagian dari keikutsertaan masyarakat
yang nyata dimana pemberdayaan dapat dimaknai sebagai proses dari tidak berdaya
masyarakat menjadi mampu dan berdaya. Konsep empowerment juga dapat dipahami
secara tepat melalui pemahaman pemberdayaan yang bersentuhan langsung dengan
konsep kekuasaan, dimana pemberdayaan masyarakat dari masa ke masa masih
banyak diakomodir oleh kepentingan-kepentingan yang ada. Hal ini disebabkan oleh
belum adanya kesiapan masyarakat desa untuk menjalani program serta kurangnya
sosialisasi mengenai program tersebut.
Secara konseptual, program pemberdayaan membahas bagaimana individu
ataupun suatu unit komunitas berusaha untuk mengkontrol kehidupan mereka sendiri
dan berusaha untuk membentuk masa depan yang sesuai dengan keinginan mereka
(Nasdian 2014). Prinsip ini mendorong masyarakat untuk menentukan sendiri apa
yang harus mereka lakukan dalam upaya mengatasi permasalahan yang dihadapi,
sehingga masyarakat mempunyai kesadaran dan kekuasaan penuh untuk membentuk
masa depan komunitasnya. Nasdian (2014) juga menyatakan bahwa selama ini, peran
masyarakat hanya dilihat dalam konteks yang sempit, artinya masyarakat hanya
dipandang sebagai tenaga kasar untuk mengurangi biaya pembangunan. Kondisi
tersebut membuat partisipasi masyarakat terbatas pada implementasi program.
Masyarakat tidak dikembangkan dayanya untuk menjadi kreatif dari dalam dirinya

10

dan harus menerima keputusan saja yang sudah diambil pihak luar sehingga
partisipasi dapat dikategorikan pasif.
Adanya pemberdayaan yang sesuai kehidupan masyarakat dapat membuat
program pemberdayaan menjadi lebih baik disebabkan pemberdayaan tersebut
bertujuan pada peningkatan kesadaran dan kekuatan masyarakat untuk memperbaiki
keadaan yang sebelumnya. Masyarakat juga dapat belajar untuk bertanggung jawab
akan memanfaatkan potensi yang ada di desanya. Kesadaran masyarakat akan
berkembang saat mereka mampu menerapkan pemberdayaan yang telah dilakukan.
Kesadaran ini terjalin karena adanya rasa memiliki untuk saling menjaga lingkungan
sekitar tanpa harus merusaknya. Hal tersebut menimbulkan kepercayaaan antar warga
dalam menyikapi segala kejadian ataupun hambatan yang akan atau sedang dialami.
Selain itu, antar pihak masyarakat mau bersinergi untuk melakukan pembangunan
yang lebih baik. Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam
mengikut program pemberdayaan masyarakat. Salah satu faktor yang perlu
diperhatikan dalam program pemberdayaan masyarakat yaitu kepemimpinan, dimana
dalam menggerakkan partisipasi masyarakat perlu adanya pimpinan (Tjokroamidjojo
1979). Faktor kepemimpinan juga disinggung dalam hasil penelitian Girsang (2011)
yang mengungkapkan bahwa kepemimpinan lokal merupakan faktor strategis dari
keikutsertaan masyarakat. Peranan pemimpin seperti pemerintah, pengurus kelurahan
(RT/RW), dan tokoh-tokoh masyarakat merupakan faktor eksternal yang mampu
mempengaruhi keikutsertaan masyarakat dalam program pemberdayaan.
Kerangka Pemikiran
Pada program pemberdayaan masyarakat diperlukan seorang tokoh pemimpin
yang mampu mengarahkan masyarakat kepada tujuan yang telah disepakati bersama.
Adanya tokoh pemimpin dapat membawa dampak baik kepada berjalannya program
pemberdayaan dimana peranan tokoh pemimpin menjadi jelas saat tokoh pemimpin
telah menerapkan gaya kepemimpinan tertentu. Gaya kepimpinan yang diterapkan
oleh tokoh pemimpin ini akan membentuk respon tertentu pada masyarakat. Gaya
instruktif yang cenderung hanya memerintah saja tentu hasilnya akan berbeda dengan
gaya kepemimpinan yang partisipatif. Respon masyarakat pun bisa beragam. Ada
yang memilihi untuk acuh dan ada juga yang memilihi untuk tetap bersama-sama
menjalankan program. Perasaan yang menyatukan masyarakat ini dapat terbentuk
dari rasa komunitas (sense of community) yang dimiliki dan aksi kolektif yang
dilakukan bersama-sama oleh masyarakat. Hal ini membuktikan adanya hubungan
antara gaya kepemimpinan dan tingkat kohesi sosial. Kohesi sosial juga menentukan
keberhasilan program. Ketika sebuah komunitas tersebut sudah dikatakatan kohesif
maka program pemberdayaan masyarakat dapat berhasil dengan baik.

11

Tingkat Kohesi Sosial
Gaya
Kepemimpinan
Gaya Instruktif
Gaya Konsultatif
Gaya Partisipatif
Gaya Delegatif

Sense of Community
Pemenuhan kebutuhan
Keterlibatan menjadi anggota
Memberikan pengaruh
Berbagi kontak emosional
Aksi Kolektif
Jenis keterlibatan
Bentuk keterlibatan
Peran

Tingkat Keberhasilan
Program
Partisipasi
Keberlanjutan program

Keterangan
: berhubungan

Gambar 1. Kerangka pemikiran Peranan Pemimpin, Kohesi Sosial dan Keberhasilan
Program Pemberdayaan Masyarakat di Pedesaan

Hipotesis Penelitian
1.
2.

Diduga terdapat hubungan positif antara gaya kepemimpinan
partisipatif dan tingkat kohesi sosial
Diduga terdapat hubungan positif antara tingkat kohesi sosial dan tingkat
keberhasilan program pemberdayaan masyarakat

12

PENDEKATAN LAPANG
Metode Penelitian
Metode penelitian menggunakan metode kuantitatif yang didukung dengan
data kualitatif. Metode kuantitatif menggunakan kuisioner kepada responden.
Kuesioner disusun sesuai dengan kerangka pemikiran yang telah dibuat sebelumnya.
Data kualitatif diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan. Selain itu,
dilakukan wawancara mendalam dengan beberapa informan yang merupakan tokohtokoh masyarakat untuk memperjelas informasi dan gambaran tentang keadaan sosial
di lapangan.
Jenis dan Sumber data
Data yang digunakan dalam penelitian yaitu data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh langsung dari lapangan melalui metode survey dengan alat
instrumen berupa kuisioner. Kuisioner diisi responden dengan pendampingan. Data
sekunder juga diperlukan seperti profil desa, data monografi desa, dan data dari
Badan Pusat Statistik mengenai potensi desa.
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Desa Tugu jaya, Kecamatan Cigombong,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lokasi penelitian tersebut dipilih secara sengaja
(purposive). Lokasi dipilih dengan pertimbangan bahwa di lokasi tersebut terdapat
program pemberdayaan masyarakat berbasis komunitas berbentuk program air bersih
PLPBK (Penataan Lingkungan Pemukiman Berbasis Komunitas). Program
pemberdayaan dari pemerintah dimana air bersih menjadi kebutuhan bersama
masyarakat yang ingin segera terpenuhi. Masyarakat ikut terlibat dalam penyusunan
rencana, pelaksanaan pembangunan hingga pengelolaan hasil dari program ini.
Teknik Pemilihan Responden dan Informan
Populasi penelitian adalah masyarakat Desa Tugu jaya, Kecamatan
Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kerangka sampling dalam penelitian ini
adalah rumah tangga yang diprioritaskan mendapatkan air bersih dalam program air
bersih PLPBK. Responden berasal dari masyarakat berusia diatas 30 tahun dengan
asumsi pada usia tersebut, responden sudah mampu untuk terlibat dalam program dan
masih bisa mengingat pelaksanaan program. Pemilihan responden dilakukan dengan
teknik cluster random sampling dimana terdapat empat wilayah bak penampungan
dalam program air bersih PLPBK di Desa Tugu Jaya. Jumlah responden yang akan
diambil sebanyak 15 responden pada tiap wilayah bak-bak penampungan sedangkan
informan adalah tokoh-tokoh masyarakat yang mengetahui program air bersih
PLPBK.

13

Teknik Pengumpulan Data
Responden diwawancarai dengan menggunakan kuisioner, namun untuk
mengatasi kesulitan responden dalam memahami data yang diminta maka dalam
mengisi kuisioner didampingi bersama peneliti. Untuk mendapatkan data kualitatif
dilakukan wawancara pada beberapa informan yang tahu mengenai program air
bersih PLPBK.
Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data
Unit analisis dalam penelitian ini adalah komunitas dan data diperoleh dari
rumah tangga. Data yang diperoleh berupa data kuantitatif dan data kualitatif. Data
kuantitatif akan diolah menggunakan Microsoft Excel dan aplikasi SPSS for windows
20.0 dengan pengodean dan memberikan nilai dari jawaban-jawaban yang terdapat
dalam kuisioner. Uji korelasi rank spearman digunakan untuk mengetahui ada atau
tidaknya hubungan antar gaya kepemimpinan dan tingkat kohesi sosial. Kemudian
hubungan antara tingkat kohesi sosial dan tingkat keberhasilan program. Data
kualitatif dianalisis secara deskriptif untuk memperdalam analisis pada data-data
kuantitatif.
Definisi Operasional
1. Usia adalah lamanya hidup seseorang dan terhitung sejak ia dilahirkan sampai pada
saat menjadi responden dalam penelitian ini. Pembulatan angka usia dihitung sejak
hari kelahiran sampai saat ulang tahun terakhir responden yang dinyatakan dalam
satuan tahun.
2. Tingkat pendidikan adalah jenjang proses belajar formal yang pernah ditempuh
oleh responden. Tingkat pendidikan responden dapat dibedakan ke dalam beberapa
kategori dan diukur dalam skala ordinal menjadi:
a. Tidak sekolah
b. Tamat SD
c. Tamat SMP
d. SMA keatas
3. Jenis pekerjaan adalah sumber nafkah bagi suatu keluarga. Jenis pekerjaan akan
dibagi dua bagian menjadi pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan.
4. Tingkat pendapatan adalah jumlah penghasilan yang diperoleh responden dalam
sebulan. Tingkat pendapatan dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori dan diukur
dalam skala ordinal menjadi:
a. Rp. 1.500.000,000

14

Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan adalah suatu cara atau pola tindakan seorang pemimpin
dalam menggunakan kewenangannya untuk mencapai suatu tujuan dalam suatu
komunitas. Gaya kepemimpinan dapat dibedakan menjadi gaya kepemimpinan
dengan gaya instruksi (memberitahukan), gaya konsultasi (menjajakan), gaya
partisipasi (mengikutsertakan) dan delegasi. Gaya kepemimpinan dapat dibedakan ke
dalam beberapa kategori dan diukur skala ordinal menjadi:
a.
Tidak sama sekali (diberi skor 1)
b.
Jarang (diberi skor 2)
c.
Sering (diberi skor 3)
d.
Selalu (diberi skor 4)
1. Gaya kepemimpinan instruktif
Gaya kepemimpinan dengan gaya instruksi (memberitahukan) dicirikan
dengan tokoh pemimpin tidak melibatkan masyarakat dalam pengambil keputusan
dan pemimpin hanya sekedar memberikan instruksi tentang pelaksanaan tugas. Gaya
kepemimpinan dengan gaya instruksi (memberitahukan) ditandai oleh:
a.
Pemimpin memberikan instruksi tanpa mendengarkan keluhan dan pendapat
warga komunitas dan cenderung memerintah saja
b.
Hanya pemimpin yang merancang program
c.
Pengambilan keputusan hanya berasal dari usulan pemimpin
d.
Dalam forum diskusi, pemimpin lebih banyak menguasai pembicaraan
e.
Pemimpin membatasi hubungan sosial dengan warga komunitas
Hasil pengukuran gaya kepemimpinan instruksi dikategorikan menggunakan
skala ordinal berdasarkan jumlah skor dari kelima pernyataan diatas menjadi:
Rendah
: skor 5-12
Tinggi
: skor 13-20
2. Gaya kepemimpinan konsultatif
Gaya kepemimpinan dengan gaya konsultasi (menjajakan) dicirikan dengan
tokoh pemimpin mengambil keputusan dan kebijakan setelah berkonsultasi dan
menerima pendapatan masyarakat. Gaya kepemimpinan dengan gaya konsultasi
(menjajakan) ditandai oleh:
a.
Pemimpin memberikan instruksi setelah mau mendengar keluhan dan
pendapat warga komunitas
b.
Proses komunikasi antara pemimpin dengan warga komunitas terjadi dua arah
c.
Pengambilan keputusan diambil oleh pemimpin setelah berkonsultasi dengan
para warga komunitas
d.
Hubungan interaksi dengan warga komunitas lebih banyak mengarahkan
daripada memerintah
e.
Pemimpin menanyakan permasalahan yang dihadapi warga komunitas

15

Hasil pengukuran gaya kepemimpinan konsultasi dikategorikan menggunakan
skala ordinal berdasarkan jumlah skor dari kelima pernyataan diatas menjadi:
Rendah
: skor 5-12
Tinggi
: skor 13-20
3. Gaya kepemimpinan partisipatif
Gaya kepemimpinan dengan gaya partisipasi (mengikutsertakan) dicirikan
dengan tokoh pemimpin melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan serta
menerima adanya saran, pendapat dan keluhan dari masyarakat. Gaya kepemimpinan
dengan gaya partisipasi (mengikutsertakan) ditandai oleh:
a.
Pemimpin memberikan kesempatan warga komunitas untuk berpendapat
sebelum memberikan instruksi
b.
Proses komunikasi antara pemimpin dengan warga komunitas lebih banyak
dengan bermusyawarah
c.
Pengambilan keputusan diambil oleh pemimpin dengan melibatkan warga
komunitas
d.
Pemimpin memberikan aspirasi kepada warga komunitas
e.
Pemimpin sering melakukan pendekatan dengan warga komunitas
Hasil pengukuran gaya kepemimpinan partisipasi dikategorikan menggunakan
skala ordinal berdasarkan jumlah skor dari kelima pernyataan diatas menjadi:
Rendah
: skor 5-12
Tinggi
: skor 13-20
4. Gaya kepemimpinan delegatif
Gaya kepemimpinan dengan gaya delegasi dicirikan dengan tokoh pemimpin
memberikan kesempatan yang luas pada masyarakat untuk memutuskan masalah dan
menjalankan tugasnya. Gaya kepemimpinan dengan gaya delegasi ditandai oleh:
a.
Pemimpin lebih banyak memberikan saran daripada terjun ke lapangan
b.
Proses komunikasi dengan warga komunitas jarang
c.
Pemimpin memberikan wewenang penuh kepada warga komunitas untuk
mengambil keputusan
d.
Hubungan interaksi dengan warga komunitas pasif
e.
Pemimpin menyerahkan sepenuhnya pelaksanaan program kepada warga
komunitas
Hasil pengukuran gaya kepemimpinan delegasi dikategorikan menggunakan
skala ordinal berdasarkan jumlah skor dari kelima pernyataan diatas menjadi:
Rendah
: skor 5-12
Tinggi
: skor 13-20

16

Tingkat Kohesi Sosial
Kohesi sosial adalah kesatuan, keutuhan, dan kepaduan dalam upaya untuk
mendorong anggota tetap bertahan dalam sebuah komunitas. Tingkat kohesi sosial
dilihat rasa komunitas (sense of community) dan aksi kolektif dari masyarakat. Hasil
pengukuran tingkat kohesi sosial dapat dikategorikan dengan skala ordinal
berdasarkan jumlah skor dari sense of community dan aksi kolektif menjadi:
Rendah
: jumlah skor 2-3
Tinggi
: jumlah skor 4-5
Sense of Community
Sense of community diukur dengan menggunakan empat indikator yaitu
Reinforcement of Needs (pemenuhan kebutuhan), Membership (keterlibatan sebagai
anggota komunitas), Influence (memberikan pengaruh) dan Shared Emotional
Connection (berbagi kontak emosional). Terdapat 24 pernyataan yang disadur dari
teori Sense of Community Index version 2 (SCI-2) (Chavis et al. 2008) pada penelitian
ini dengan dibedakan ke dalam beberapa kategori dan diukur skala ordinal menjadi:
a.
Tidak sama sekali (diberi skor 1)
b.
Jarang (diberi skor 2)
c.
Sering (diberi skor 3)
d.
Selalu (diberi skor 4)
a. Reinforcement of Needs (pemenuhan kebutuhan) adalah kondisi dimana anggota
komunitas mendapatkan apa yang mereka butuhkan karena telah menjadi bagian dari
komunitas. Indikator pemenuhan kebutuhan memiliki enam buah pernyataan. Adapun
hasil pengukuran indikator pemenuhan kebutuhan dapat dikategorikan menggunakan
skala ordinal berdasarkan jumlah skor dari semua pernyataan menjadi:
Rendah
: skor 6-15
Tinggi
: skor 16-24
b. Membership (keterlibatan sebagai anggota komunitas) adalah orang-orang yang
tergabung dalam komunitas dan anggota komunitas meluangkan banyak waktu dan
usaha mereka untuk menjadi bagian dari komunitas. Indikator keterlibatan menjadi
anggota memiliki enam buah pernyataan. Adapun hasil pengukuran indikator
keterlibatan sebagai anggota komunitas dapat dikategorikan menggunakan skala
ordinal berdasarkan jumlah skor dari semua pernyataan menjadi:
Rendah
: skor 6-15
Tinggi
: skor 16-24
c. Influence (pengaruh) adalah kemampuan komunitas dalam mempengaruhi
komunitas lainnya. Selain itu anggota komunitas juga memiliki pengaruh atas
komunitasnya. Indikator pengaruh memiliki enam buah pernyataan. Adapun hasil
pengukuran indikator pengaruh dapat dikategorikan menggunakan skala ordinal
berdasarkan jumlah skor dari semua pernyataan menjadi:

17

Rendah
Tinggi

: skor 6-15
: skor 16-24

d. Shared Emotional Connection (berbagai kontak emosional) adalah anggotaanggota komunitas menikmati kebersamaan di dalam komunitas dan berbagai
kejadian penting bersama seperti syukuran. Indikator berbagi kontak emosional
memiliki enam buah pernyataan Adapun hasil pengukuran indikator berbagai kontak
emosional dapat dikategorikan menggunakan skala ordinal berdasarkan jumlah skor
dari semua pertnyataan menjadi:
Rendah
: skor 6-15
Tinggi
: skor 16-24
Hasil pengukuran variabel tingkat kohesi sosial pada rasa komunitas (sense of
community) dapat dibedakan menggunakan skala ordinal dengan kategori rendah (2447) diberi skor 1, sedang (48-71) diberi skor 2, dan tinggi (72-96) diberi skor 3.
Aksi Kolektif
Aksi kolektif adalah tindakan bersama yang dilakukan oleh warga komunitas
selama program. Dalam mengukur aksi kolektif dapat jenis keterlibatan dalam aksi
kolektif, bentuk keterlibatan dalam aksi kolektif dan peran warga komunitas dalam
aksi kolektif. Aksi kolektif dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori dan diukur
skala ordinal menjadi:
a.
Tidak sama sekali (diberi skor 1)
b.
Jarang (diberi skor 2)
c.
Sering (diberi skor 3)
d.
Selalu (diberi skor 4)
Jenis keterlibatan dalam aksi kolektif adalah jenis kegiatan yang dilakukan oleh
warga komunitas secara bersama-sama dalam komunitas. Terdapat jenis-jenis aksi
kolektif sebagai berikut.
a. Gotong royong
b. Musyawarah
c. Tolong menolong
d. Lainnya ….
Bentuk keterlibatan adalah keikutsertaan atau suatu tindakan yang dilakukan oleh
warga komunitas dalam kegiatan komunitas. Bentuk keterlibatan dicirikan dengan:
a. Menyumbangkan uang
b. Menyumbangkan tenaga
c. Menyumbangkan ide atau gagasan
d. Lainnya ….

18

Peran adalah tindakan maupun posisi warga komunitas selama pelaksanaan program
ini. Peran dalam aksi kolektif dicirikan dengan:
a. Mengumpulkan para warga untuk ikut serta dalam kegiatan program
b. Terlibat aktif dalam pelaksanaan kegiatan program
c. Hanya hadir dalam pelaksanaan kegiatan program
d. Pulang sebelum kegiatan program selesai
Hasil pengukuran variabel tingkat kohesi sosial pada aksi kolektif dapat
dibedakan menggunakan skala ordinal dengan kategori rendah (10-24) diberi skor 1
d

Dokumen yang terkait

“Efektivitas Pelaksanaan Pembangunan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan (PNPM –MP) Di Desa Hutapadang Kota Padangsidimpuan Hutaimbaru

1 83 111

Pengaruh Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) mandiri Pedesaan terhadap Pembangunan Desa di desa Suka Damai.

12 108 132

Pengaruh Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan Bidang Agribisnis Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Sipogu Kecamatan Arse Kabupaten Tapanuli Selatan.

0 50 136

Efektivitas Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan ( Studi Kasus Irigasi Pertanian Di Desa Aritonang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara)

3 57 116

Analisis Pengaruh Pembiayaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan Terhadap Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Di Kecamatan Stabat

3 40 135

Evaluasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) Terhadap Pengembangan Sosio-Ekonomi Dan Kesejahteraan Masyarakat Di Kecamatan Balige Kabupaten Toba Samosir

0 50 160

Efektivitas Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) di Desa Pulo Dogom Kecamatan Kualuh Hulu Kabupaten Labuhan Batu Utara

1 39 106

Implementasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan (Studi Pada Simpan Pinjam Perempuan/SPP di Desa Napagaluh, Kec. Danau Paris, Kabupaten Aceh Singkil)

4 34 146

Peranan Pemimpin Lokal dalam Meningkatkan Dinamika Kelompok Masyarakat di Pedesaan

4 35 157

Alih Fungsi Lahan Dan Tingkat Kohesi Sosial Masyarakat Pedesaan

3 15 73