Komposisi Jenis Kopepoda Di Perairan Berau, Kalimantan Timur

KOMPOSISI JENIS KOPEPODA
DI PERAIRAN BERAU, KALIMANTAN TIMUR

NURUL FITRIYA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

2

ABSTRACT
Nurul Fitriya. Species Composition of Copepod in Berau Waters, East
Kalimantan. Under direction of R. KASWADJI, and MULYADI.

Copepods is a dominant group of marine zooplankton, and has an
important role in the marine food chain. Copepods live in various habitats, i.e.
freshwater, estuaries, and seas. Information on copepods in Indonesia mostly
come from expedition reports in east Indonesian waters. Nevertheless,
information concerning estuarine copepods is very limited. The Berau waters has

a unique ecosystem. It has a high biodiversity, in most of them are copepods.
Therefore, a study on biodiversity of copepods in Berau waters was conducted in
September 2005. The objectives of this study were to understand the diversity of
copepods species in Berau waters, to get available information on description and
illustration of copepods. Biological and physical parameters were measured with
analysis included dominance, diversity, and similarity. The results showed that
there were fourty-four species belonging to 19 families was recorded. They
include 27 species of Calanoida, 8 species of Cyclopoida, 2 species of
Harpacticoida, 6 species of Poecilostomatoida and one species of
Siphonostomatoida. The Calanoids were the most abundant in the community
with Acartia pacifica and Acartia eryhtraea as the main species. This indicated
that the two species were common and distributed more widely than others.
During the observations, one new record of species (Centropages dorsispinatus),
male of Kelleria pectinata and one new species (Oncaea sp.) were obtained.
Keyword : Copepods, Berau, Calanoida, new record, new species

3

RINGKASAN
NURUL FITRIYA. Komposisi Jenis Kopepoda di Perairan Berau,

Kalimantan Timur. Dibimbing oleh R. KASWADJI, dan MULYADI.
Kopepoda merupakan mikrokrustasea holoplanktonik yang memiliki
peranan yang sangat penting artinya bagi ekosistem laut. Kopepoda seringpula
dijuluki sebagai insect of the sea karena keanekaragaman dan kelimpahannya
yang tinggi sama seperti serangga pada ekosistem darat. Akan tetapi perhatian dan
penelitian kopepoda masih sangat terbatas. Kajian biosistematika kopepoda laut di
Indonesia pun masih sangat minim, tidak sebanding dengan luas wilayah perairan
Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui komposisi jenis kopepoda
meliputi kelimpahan, dominansi, keanekaragaman dan keseragaman jenis
kopepoda yang ada di perairan Berau, Kalimantan Timur serta menyediakan
ilustrasi dan deskripsi jenis yang ditemukan secara akurat.
Penelitian dilakukan di wilayah pesisir Kabupaten Berau, Kalimantan
Timur. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan September 2005 di 10 stasiun
penelitian. Parameter yang diukur meliputi suhu dan salinitas yang diukur
menggunakan CTD, sedangkan arah dan kecepatan arus diukur menggunakan
Direct Reading Currentmeter RCM-2. Sampel kopepoda dikoleksi menggunakan
conical plankton net dengan ukuran mata jaring 300 µm, diameter mulut jaring
0,45 m dan panjang 180 cm. Pada mulut jaring plankton dipasang flowmeter TSK
untuk mengukur volume air yang tersaring. Pengambilan sampel dilakukan
dengan cara menarik jaring plankton secara horizontal dengan perahu motor

berkecepatan 3 knot selama 5 menit. Sampel yang tersaring dikoleksi dalam botol
plastik berukuran 250 cc dan diberi pengawet formalin pekat hingga konsentrasi
solusi formalin/air laut menjadi 4%. Di laboratorium sampel kopepoda disortir
dari organisme planktonik lainnya dan diidentifikasi sampai tingkat jenis di bawah
mikroskop compound Nikon.
Kisaran suhu di perairan Berau pada saat penelitian ini yang berkisar antara
28,5 – 31 oC masih merupakan kisaran suhu optimum bagi perkembangan
kopepoda. Salinitas di perairan Berau yang berkisar antara 26 – 33 psu
nampaknya memberi pengaruh pada distribusi kopepoda di perairan tersebut yang
lebih banyak didominasi oleh genera dari ordo Calanoida. Arus yang berkembang
pada perairan ini murni arus pasang surut dan berlaku untuk seluruh badan air.
Pada periode air pasang di permukaan laut pola aliran pada perairan lepas dari
muara, kecepatan arus lebih kecil dari 1 mil/jam dan kemudian makin deras
setelah mendekati perairan muara yang sempit. Pada perairan lepas muara pola
aliran tercatat ke arah selatan dan barat daya mengikuti pola aliran pasang pada
pesisir barat Selat Makassar pada umumnya.
Sebanyak 44 jenis kopepoda yang berhasil diidentifikasi pada penelitian
ini terdiri atas 27 jenis Calanoida, 8 jenis Cyclopoida, 2 jenis Harpacticoida, 6
jenis Poecilostomatoida dan 1 jenis Siphonostomatoida. Pada umumnya jenis
kopepoda yang ditemukan merupakan jenis kopepoda estuaria dan neritik

walaupun terdapat beberapa jenis kopepoda oseanik seperti Subeucalanus crassus,
S. subcrassus, Centropages furcatus dan Phaenna spinifera. Hal itu terjadi karena
wilayah penelitian ini merupakan perairan estuaria dimana terdapat muara tiga
sungai besar dan beberapa sungai kecil lainnya sehingga massa air yang ada

4

merupakan campuran antara massa air sungai dengan air laut sekitarnya. Pola arus
pada saat penelitian menunjukkan bahwa massa air saat pasang menyusup ke
muara sungai yang ada dan memungkinkan beberapa jenis kopepoda oseanik
ditemukan di perairan ini.
Berdasarkan distribusi geografi kopepoda dari berbagai penelitian yang
telah dilakukan di dunia terlihat bahwa jenis kopepoda di perairan Berau sebagian
besar ada di Samudera Pasifik dan Samudera India, seperti Acartia eryhraea, A.
pacifica, Centropages furcatus, Acrocalanus gibber, dan Parvocalanus
crassirotris. Hal lain yang menarik pada penelitian ini adalah ditemukannya satu
jenis kopepoda yang baru ditemukan di perairan Indonesia yaitu Centropages
dorsispinatus, yang biasa ditemukan di perairan Korea dan China (Kim, 1985).
Dalam penelitian di perairan Berau ditemukan jenis Kelleria pectinata berjenis
kelamin jantan. Penemuan Kelleria pectinata jantan ini memberikan catatan

tersendiri bagi penelitian kopepoda laut di Indonesia, karena sebelumnya hanya
dilaorkan oleh Scott (1909) dari ekspedisi Siboga. Satu jenis lainnya Oncaea sp.
diidentifikasi sebagai jenis baru yang masih memerlukan penanganan lebih lanjut
dalam publikasinya sebagai new species. Kehadiran jenis kopepoda di perairan
Berau ini diharapkan dapat menambah koleksi data kopepoda laut Indonesia dan
dunia pada umumnya agar dapat digunakan untuk menjawab fenomena yang
terjadi dalam distribusi geografi kopepoda.
Secara keseluruhan komposisi kopepoda di perairan Berau selama
penelitian menunjukkan bahwa ordo Calanoida memiliki kisaran persentase
terbesar, diikuti oleh Poecilostomatoida dan Cyclopoida, sementara Harpacticoida
dan Siphonostomatoida hanya memiliki persentase tidak mencapai 1 %.
Tingginya persentase Calanoida karena jumlah jenis dari Calanoida lebih banyak
dibanding ordo lainnya dengan nilai kelimpahan juga tinggi. Tingginya persentase
Calanoida karena kondisi suhu dan salinitas perairan yang mendukung
pertumbuhan beberapa jenis Calanoida seperti; Acartia erythraea, A. pacifica,
Pseudodiaptomus incisus, dan Acrocalanus gibber. Kelimpahan total kopepoda di
perairan Berau berkisar antara 32-812 ind/m3 relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan nilai kelimpahan kopepoda di perairan Cilacap yang berkisar antara 23201 ind/m3 (Haryono, 1998). Kelimpahan jenis tertinggi terdapat di stasiun 1 (812
ind/m3) dan terendah di stasiun 10 yaitu 32 ind/m3. Kisaran kelimpahan kopepoda
ini menunjukkan kecenderungan kelimpahan kopepoda semakin menurun ke arah

lepas pantai. Hal ini terjadi karena daerah muara dan tengah perairan kaya akan
bahan organik dari sungai-sungai yang bermuara di perairan tersebut. Bahan
organik ini akan dimanfaatkan oleh fitoplankton dan pada gilirannya akan
dimanfaatkan oleh kopepoda untuk melangsungkan hidupnya.
Nilai indeks dominansi di perairan Berau yang berkisar antara 0,17-0,53
menunjukkan bahwa di perairan tersebut tidak ada satu jenis tertentu yang
mendominasi melainkan didominasi oleh beberapa jenis seperti Acartia,
Acrocalanus dan Pseudodiaptomus. Indeks keanekaragaman yang berkisar antara
1,09 – 1, 74 merupakan petunjuk lingkungan yang cenderung stabil. Nilai indeks
keseragaman yang berkisar antara 0,40-0,68 dapat diartikan bahwa ada beberapa
spesies kopepoda yang tidak melimpah secara merata di lapisan permukaan
perairan Berau.
Kata kunci : Kopepoda, Berau, Calanoida, new record, new species

5

KOMPOSISI JENIS KOPEPODA
DI PERAIRAN BERAU, KALIMANTAN TIMUR

NURUL FITRIYA


Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

6

7

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 Oktober 1973 dari ayah H.
Appe Mallimoengan dan Ibu Hj. Darmiah. Penulis merupakan putri pertama dari
empat bersaudara. Penulis menikah pada 15 Juni 2002 dengan Agus Nurhidayat
dan telah dikaruniai seorang putra yaitu M. Wirayudha (Aranda).

Tahun 1992 penulis lulus dari SMA Negeri 15 Jakarta dan melanjutkan
pendidikan sarjana pada Jurusan Biologi, fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran, Bandung. Pada tahun 2004, penulis
diterima di sekolah Pasca Sarjana IPB pada program studi Ilmu Kelautan.
Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI).
Penulis bekerja pada Pusat Penelitian Oseanografi LIPI sejak April 2000
dan ditempatkan di Laboratorium Plankton dan Produktivitas Primer. Bidang
penelitian yang menjadi tanggungjawab peneliti adalah zooplankton laut.

8

PRAKATA

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT., atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul “Komposisi Jenis Kopepoda
Di Perairan Berau, Kalimantan Timur” berhasil diselesaikan.
Ucapan terima kasih yang tulus dan ikhlas penulis sampaikan kepada
Bapak


Dr. Ir. R. Kaswadji, M.Sc dan Bapak Dr. Mulyadi, atas kesediaan dan

kesabarannya memberi bimbingan sampai selesainya penulisan karya ilmiah ini.
Ucapan yang sama juga disampaikan kepada Bapak Ir. L.F.Wenno yang telah
memberikan kesempatan pada penulis untuk ikut dalam penelitian CoML.
Dalam kesempatan ini pula penulis menyampaikan ucapan terima kasih
dan penghargaan kepada:
1. Bapak Dr. Suharsono, selaku Kepala Pusat Penelitian Oseanografi LIPI
2. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta seluruh staf karyawan
3. Ketua Program Studi IKL IPB beserta staf pengajar dan karyawan
4. Kepala BOK LIPI beserta staf karyawan
5. Bapak Dr. Augy S., Ibu Dra. Hikmah Thoha, Msi., ibu Trimaningsih, ibu
Sugestiningsih, ibu Elly, Bapak SH. Riyono serta seluruh staf dan teknisi P2O
6. Conny MS Ssi., beserta seluruh staf dan teknisi Museum Zoologi Bogor
7. Rekan-rekan IKL atas suka dan duka bersama. Mbk Riris, Hani, Iwan, Meutia,
Heron, Nurman, Hawis, Mbk Ninit, Yayank, Nani, Begin.......”Love u
all”……….
8. Bapak, Ibu, Suami dan anak tercinta (Mas Agus & Aranda) serta seluruh
keluarga atas doa dan kasih sayangnya.
9. Rekan-rekan seperjuangan di P2O LIPI (Ari, Amran, Yoni, Mbk Erna, Teri,

Rahman, Dani) yang telah membantu penyelesaian karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat sebagaimana yang
diharapkan. Amin.

Bogor,

Juli 2007

Nurul Fitriya

9

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................

vi

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................


vii

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... viii
PENDAHULUAN ...........................................................................................
Latar Belakang ...............................................................................……..
Perumusan Masalah ……………………………………………………..
Tujuan Penelitian ...........................................................................……...
Manfaat Penelitian ...................................................................................

1
1
2
3
3

TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................
4
Kopepoda ..................................................................................................
4
Peranan Kopepoda ………………………………………........................
6
Distribusi Kopepoda ..................................................................................
8
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan Kopepoda........................
9
Suhu ...................................................................................................
9
Salinitas .............................................................................................. 9
Arus ................................................................................................... 10
METODE PENELITIAN ................................................................................
Lokasi dan Waktu Penelitian ..........................................................................
Pengambilan Sampel di Lapangan.............................................................
Parameter suhu, salinitas dan arus ..................................................
Sampel Kopepoda ...........................................................................
Analisis Sampel di Laboratorium .............................................................
Analisis Data ............................................................................................
Kelimpahan Kopepoda …………………………………………...
Dominansi Jenis ……………………………………………..........
Keanekaragaman Jenis ......…………………………………..........
Keseragaman Jenis ..........................................................................

11
11
11
11
11
13
15
15
15
16
16

HASIL DAN PEMBAHASAN.........................................................................
Kondisi Lingkungan ………………………………………………..........
Suhu …………………………………………………………............
Salinitas ……………………………………………………..............
Arus …………………………………………………………............
Komposisi dan Kelimpahan Jenis Kopepoda...…………………..............
Dominansi, Keanekaragaman dan Keseragaman Jenis Kopepoda……....
Deskripsi Jenis Kopepoda .........................................................................

17
17
17
18
19
20
24
25

KESIMPULAN DAN SARAN.........................................................................
Kesimpulan ………………………………………………………….........

46
46

10

Saran .…………………………………………………………..............

46

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 47
LAMPIRAN .....................................................................................................

50

11

DAFTAR TABEL
Halaman
1
2
3

Singkatan (abbreviation) bagian morfologi kopepoda .............................
Jenis kopepoda di perairan Berau beserta habitat ....................................
Nilai dominansi, keanekaragaman dan keseragaman jenis ......................

14
20
24

12

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Perkembangan kopepoda ……………...........…………………………..
Skema hubungan filogenetik kopepoda..…….………………………….
Peta lokasi penelitian di perairan Berau .........……………………..……
Morfologi dan pembagian ruas tubuh pada kopepoda betina ….....…….
Sebaran horizontal suhu di perairan Berau...............................................
Sebaran horisontal salinitas di perairan Berau .........................................
Sebaran horisontal arah dan kecepatan arus pada saat pasang di Berau ..
Komposisi kopepoda di perairan Berau ...................................................
Kelimpahan jenis kopepoda di perairan Berau …..……………………..

5
6
12
13
17
18
19
22
23

13

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
2
3
4

Komposisi jenis kopepoda berdasarkan ordo .…………………………..
Kelimpahan jenis kopepoda di perairan Berau, Kalimantan Timur….….
Foto jenis kopepoda di perairan Berau, Kalimantan Timur..……………
Deskripsi jenis kopepoda (Mulyadi 2003; 2004) ....................................

50
51
53
56

14

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kopepoda merupakan mikrokrustasea holoplanktonik yang menghuni
berbagai tipe perairan dan membentuk berbagai tipe kehidupan. Ditinjau dari segi
ekologis kopepoda memiliki peranan yang sangat penting artinya bagi ekosistem
laut dan mendominasi komunitas zooplankton di lautan dengan persentase
berkisar antara 50-80% (Wickstead 1976). Kopepoda sering pula dijuluki sebagai
insect of the sea karena keanekaragaman dan kelimpahannya yang tinggi sama
seperti serangga pada ekosistem darat. Akan tetapi perhatian dan penelitian
kopepoda di dunia masih sangat terbatas. Humes (1994) menyatakan bahwa
jumlah kopepoda yang telah dikenal umum di dunia baru mencapai 11.500 jenis
yang terbagi dalam 200 famili dan 1650 genera yang menghuni berbagai tipe
perairan tawar, payau dan laut.
Kajian biosistematika kopepoda di wilayah perairan Indonesia masih sangat
minim. Kontribusi pengetahuan mengenai kopepoda laut Indonesia umumnya
berasal dari laporan ekspedisi besar yang dilakukan pada satu abad lalu terutama
di perairan timur, seperti Ekspedisi Challenger (1872-1876), Siboga (1899-1900),
dan Snellius I (1929-1930). Laporan penelitian kopepoda laut Indonesia paling
penting hingga saat ini dilaporkan oleh Scott (1909) dari sampel yang diperoleh
dalam Ekspedisi Siboga. Sayangnya Scott (1909) tidak menyediakan deskripsi
ataupun ilustrasi dari sebagian besar jenis yang disebutkan. Catatan mengenai
variabilitas dalam jenis dan kelompok jenis tidak disinggung, dan beberapa jenis
diantaranya diragukan akurasinya. Kelangkaan data kopepoda laut Indonesia ini
memerlukan suatu kajian biosistematika kopepoda yang akurat untuk menambah
koleksi data keanekaragaman jenis kopepoda laut di Indonesia lengkap dengan
deskripsi ataupun ilustrasi jenisnya.
Propinsi Kalimantan Timur memiliki wilayah perairan yang luas dan
strategis dari segi lalulintas pelayaran karena merupakan bagian dari Selat
Makassar. Salah satu kabupaten di propinsi ini yang 70% daerahnya merupakan
lingkungan perairan adalah Berau. Di wilayah ini bermuara tiga sungai besar dan
beberapa sungai kecil lainnya, sehingga dapat dikategorikan sebagai perairan

15

estuaria. Perairan ini merupakan campuran antara massa air sungai dengan air
laut sekitarnya. Lokasi percampuran air di perairan ini tidak tetap, tergantung
kepada banyaknya air tawar yang masuk ke laut dan juga arus pasang surut yang
pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pola distribusi kopepoda. Seperti telah
diketahui bahwa kecenderungan pola distribusi kopepoda sebagai penyusun utama
komunitas zooplankton tampaknya sangat terkait dengan pola pasang surut, aliran
arus dan suplai air tawar dari beberapa sungai di daerah tersebut.

Perumusan Masalah
Dalam periode sebelum tahun 1960, penelitian plankton di Indonesia lebih
dititikberatkan pada studi biosistematika. Karya ilmiah yang terbit umumnya
ditulis oleh para peneliti asing berdasarkan sampel dari hasil ekspedisi besar di
kawasan perairan Indonesia. Perkembangan biosistematika plankton dalam hal ini
kopepoda dari ahli Indonesia sendiri dapat dikatakan sangat minim, dan sampai
saat ini baru ada satu orang ahli taksonomi kopepoda di Indonesia. Hal ini tentu
tidak sebanding dengan luas wilayah perairan Indonesia.
Ditinjau dari segi ekologis kopepoda memiliki peranan yang sangat
penting artinya bagi ekosistem laut dan mendominasi komunitas zooplankton di
lautan. Akan tetapi perhatian dan penelitian kopepoda di perairan Indonesia masih
sangat terbatas. Data mengenai komposisi jenis kopepoda yang ada di perairan
Indonesia yang dilengkapi dengan ilustrasi dan deskripsi jenis yang ditemukan
masih sangat minim. Komposisi dan kelimpahan jenis kopepoda di suatu perairan
sangat dipengaruhi oleh faktor fisik dan kimia. Salah satu faktor utama yang
mempengaruhi

adalah

arus.

Arus

Lintas

Indonesia

(ARLINDO)

yang

menghubungkan antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia melalui poros
utama di Selat Makassar sekiranya memberikan dampak pada komposisi jenis
kopepoda di perairan Berau, Kalimantan Timur. Kespesifikan habitat di perairan
Berau ini akan berkaitan dengan spesifitas jenis kopepoda yang ada (endemik).
Dari permasalahan ini maka perlu kiranya dilakukan suatu kajian mengenai
komposisi jenis kopepoda yang dilengkapi dengan deskripsi jenis yang
ditemukan.

16

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi kopepoda
yang meliputi kelimpahan, dominansi, keanekaragaman, dan keseragaman di
perairan Berau, Kalimantan Timur serta menyediakan ilustrasi dan deskripsi jenis
yang ditemukan secara akurat.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar dan panduan dalam
mendeskripsikan jenis-jenis kopepoda yang ditemukan di perairan estuaria
Indonesia, dan kaitannya dalam memprediksi kesuburan perairan.

TINJAUAN PUSTAKA

Kopepoda
Zooplankton terdiri dari bermacam larva dan bentuk dewasa yang mewakili
hampir seluruh filum hewan mulai dari filum Protozoa (hewan bersel tunggal)
sampai ke filum Chordata (hewan bertulang belakang). Tetapi ditinjau dari aspek
ekologi, hanya satu golongan zooplankton yang sangat penting dan mendominasi
perairan laut yaitu subklas kopepoda yang termasuk dalam filum Arthropoda.
Kopepoda merupakan krustacea holoplanktonik, berukuran relatif kecil,
yang mendominasi komunitas zooplankton di perairan laut dan samudera. Nama
kopepoda sendiri berasal dari bahasa Yunani cope dan podos yang masing-masing
berarti dayung dan kaki, sehingga secara keseluruhan kopepoda dapat berarti kaki
dayung. Hal itu sesuai dengan morfologi kopepoda yang mempunyai kaki-kaki
kuat yang dapat dipergunakan sebagai alat berenang dengan kecepatan tinggi.
Kopepoda merajai komunitas zooplankton di laut baik dalam jumlah jenis
maupun kelimpahannya yang sangat tinggi. Selain itu karena ukurannya yang
kecil tetapi sangat dominan di laut maka kopepoda sering dijuluki sebagai insect
of the sea.
Kopepoda mempunyai kulit atau kerangka luar yang keras, terdiri dari bahan
chitin. Oleh sebab itu kopepoda melakukan molting dalam fase-fase
perkembangannya. Secara umum tubuhnya mempunyai dua pasang antena; yaitu
antenula yang

berukuran relatif panjang dan antena yang berukuran kecil.

Kopepoda mempunyai 5 pasang kaki renang sedangkan kaki ke-6 pada umumnya
mereduksi. Tubuhnya beruas-ruas yang terdiri dari kepala (chepalon), dada
(thorax), dan abdomen (urosome). Secara umum bentuk kepala dan dada oval atau
lonjong. Di belakangnya bersambung bagian ekor yang sebenarnya merupakan
perut (abdomen) yang pendek dan sempit dengan ujung yang bercabang. Antenula
panjang dan biasanya terbentang ke samping yang dihiasi dengan seta dan
aestetask di sepanjang permukaan anterior. Kopepoda jantan pada umumnya
mempunyai ukuran tubuh lebih kecil dari betinanya. Kaki ke-5 yang jantan
mempunyai bentuk khas yang berfungsi untuk memegang betinanya pada saat
kopulasi. Kopepoda, seperti kebanyakan krustacea lainnya memulai hidupnya dari

5

larva yang disebut nauplius. Larvanya kecil sekali dengan tiga pasang bakal
antenula, antena, dan mandibel. Pasangan apendiks pertama tidak bercabang,
sedangkan kedua pasang lainnya bercabang. Bentuk badannya bulat telur dengan
bagian belakang meruncing. Setitik berkas mata tunggal menghiasi bagian badan
agak ke pinggir depan. Setelah berganti kulit (molting) beberapa kali, nauplius
berkembang menjadi metanauplius yang ditandai dengan munculnya tanda-tanda
bakal maxillula dan maxilla serta beberapa bakal kaki renang pada dada. Setelah
metanauplius berkembang menjadi fase kopepodit maka bentuknya sudah mirip
dengan induknya tetapi berukuran sangat kecil dan jumlah ruas tubuhnya belum
sempurna (Gambar 1).

Gambar 1 Perkembangan kopepoda.

Menurut Milne (1840) kopepoda merupakan takson yang terpisah dalam
Krustasea. Setelah itu berkembanglah berbagai skema klasifikasi untuk kopepoda
dan sekarang ini dikenal 10 ordo kopepoda, yaitu Platycopioida, Calanoida,
Harpacticoida,

Monstrilloida,

Mormonilloida,

Misophrioida,

Gelyelloida,

Cyclopoida, Siphonostomatoida dan Poecillostomatoida. Pada Gambar 2 secara

6

umum digambarkan analisis filogeni yang telah dilakukan oleh Ho (1990) dalam
Huys dan Boxshall (1991).

Gambar 2 Skema hubungan filogenetik kopepoda (Huys dan Boxshall 1991).

Peranan Kopepoda
Kopepoda sangat penting artinya bagi ekosistem laut karena merupakan
herbivora primer. Kopepoda mendominasi komunitas zooplankton di lautan
dengan persentase sebesar 70-90% dan berperan penting sebagai mata rantai
antara produsen primer (fitoplankton) dengan para karnivora kecil dan besar
(Nybakken 1992). Persentase yang besar ini akan berpengaruh nyata terhadap
keberadaan fitoplankton sebagai produsen primer di perairan terutama
kepadatannya. Hal itu terjadi karena sebagian besar fitoplankton yang ada di
perairan dimakan oleh kopepoda dengan cara memanfaatkan gerakan kaki renang
dan appendiks pada mulutnya yang menghasilkan pusaran air dan arus yang akan
membawa partikel makanan ke saringan maxilla untuk kemudian diteruskan ke
mulut untuk ditelan dan dicerna. Hal ini menyebabkan kopepoda mendapat
julukan sebagai pelahap terbesar tumbuhan di dunia ini (the biggest grazer in the
world) jika dilihat dari total seluruh biomassa kopepoda di bumi ini. Selanjutnya
dalam kaitannya dengan produksi primer suatu perairan, Mare & Hart dalam

7

Barnes (1963) menyatakan bahwa bagian terbesar dari produksi primer di suatu
perairan berada dalam tubuh kopepoda, bukan pada sel-sel fitoplankton. Energi
yang tersimpan itu kemudian akan ditransfer ke ikan kecil, dan selanjutnya sampai
ke tingkat trofik yang lebih tinggi. Selain itu sebagai akhir dari proses pencernaan
makanannya, kopepoda akan mengeluarkan feses yang jumlahnya sangat banyak
dalam bentuk butiran-butiran kecil yang disebut faecal pellet. Seiring dengan
kegiatan memakan fitoplankton di permukaan perairan, maka akan terus terbentuk
pula faecal pellet yang kemudian akan turun dan tenggelam ke dasar perairan.
Faecal pellet yang turun ke dasar itu akan menjadi sumber makanan atau bahan
organik bagi berbagai biota yang hidup di laut dalam. Dengan demikian kopepoda
juga memegang peran penting dalam alir energi dan daur hara di laut dalam
(Nontji 2006).
Kehadiran kopepoda sebagai sumber pakan bagi semua anak ikan dan ikan
pelagik dalam ekosistem laut yang melimpah sering dikaitkan dengan indikasi
kesuburan suatu perairan. Dari hasil penelitian pada berbagai jenis ikan di seluruh
dunia, terbukti banyak jenis ikan pelagis dan larvanya memanfaaatkan plankton
sebagai makanannya. Dari seluruh produksi ikan di dunia, 74% merupakan ikan
pelagis dan berdasarkan jenis makanannya ternyata 63% adalah ikan pemakan
plankton, 24 % ikan predator dan 8 % yang hidup di dasar (demersal) (Martinsen
1966). Jadi jelas ikan pemakan plankton lebih banyak daripada ikan pemangsa
lainnya. Pentingnya plankton sebagai pakan ikan dapat dibuktikan di perairan
Inggris, dimana penangkapan ikan mackerel mencapai puncaknya pada setiap
bulan Mei yang bertepatan dengan puncak melimpahnya kopepoda. Korelasi
positif antara hasil tangkapan ikan hering dengan banyaknya kopepoda juga dapat
dibuktikan dalam penelitian (Lucas 1956). Dari berbagai penelitian itu dapat
disimpulkan bahwa bila di perairan tertentu banyak terdapat plankton maka
diharapkan ikan pemakan plankton akan banyak pula. Karena dalam kondisi
normal, bergerombolnya biota laut hampir selalu berkaitan erat dengan banyaknya
pangan (Tham 1953).
Di Indonesia beberapa pakar telah meneliti isi lambung beberapa jenis
ikan seperti lemuru (Sardinella longiceps) di Selat Bali. Di dalam lambung ikan
itu selalu didapatkan plankton dengan dominasi kopepoda yang mencapai sekitar

8

85-95% (Soerjodinoto 1960). Makanan utama ikan teri di Teluk Jakarta juga
berupa zooplankton terutama kopepoda dan jenis krustasea lainnya (Burhanuddin
dkk. 1975). Sedangkan ikan tembang (Sardinella fimbriata) memakan plankton
dengan preferensi kopepoda (Hutomo & Martosewojo 1975). Di perairan Maluku,
ikan umpan untuk cakalang, juga memangsa zooplankton dengan unsur utama
kopepoda dan larva dekapoda (Sutomo dan Arinardi 1978).
Beberapa jenis kopepoda juga dapat digunakan sebagai indikator biologi
dari suatu kondisi lingkungan seperti upwelling. Arinardi, dkk. (1997) menemukan
populasi yang melimpah dari Calanoides philippinensis dan Rhincalanus nasutus
di permukaan perairan pada saat terjadi upwelling di Laut Banda. Kehadiran
kedua jenis kopepoda laut dalam ini menunjukkan bahwa di perairan tersebut
sedang terjadi pengadukan air yang disebabkan oleh terjadinya upwelling pada
perairan tersebut.

Distribusi Kopepoda
Keberadaan dan sebaran biota laut termasuk kopepoda merupakan hasil dari
kejadian yang teratur dan terus menerus yang dipengaruhi oleh faktor-faktor
lingkungan tunggal maupun ganda yang menata bentuk sebaran, kelulusan hidup
dan kepadatannya. Populasi kopepoda di berbagai habitat akuatik mempunyai
nilai kelimpahan dan komposisi yang bervariasi tergantung pada kondisi
lingkungan yang erat kaitannya dengan perubahan musim. Faktor fisik-kimia
seperti suhu, intensitas cahaya, salinitas, pH dan zat cemaran di suatu perairan
memegang peranan penting dalam menentukan kelimpahan jenis plankton.
Sedangkan faktor biotik seperti tersedianya pakan, banyaknya predator dan
adanya pesaing dapat mempengaruhi komposisi spesies (Arinardi, dkk. 1997).
Demikian pula pernyataan Smith (1971) dan Parson & Takashi (1973) bahwa
distribusi plankton di laut ditentukan oleh berbagai faktor lingkungan seperti
intensitas cahaya, salinitas, suhu, kecerahan, zat hara, arus, gelombang, musim,
siklus reproduksi dan predator.
Di laut, kopepoda sebagai hewan pelagik dapat hidup di berbagai kolom air;
ada yang hidup di dekat dasar perairan (benthopelagik/hyperbenthik); hidup di
dasar perairan atau dalam sedimen (benthik); ataupun hidup berasosiasi dengan

9

hewan lainnya. Kopepoda yang hidup di setiap lapisan perairan laut merupakan
perenang aktif, dan dapat bermigrasi baik secara horizontal maupun vertikal.
Migrasi vertikal berkaitan erat dengan penyebaran kopepoda dalam kolom air.
Migrasi vertikal kopepoda bersifat harian (diurnal migration) dimana pada siang
hari kopepoda bergerak menuju dasar perairan dan naik kembali ke permukaan
pada malam hari akibat intensitas cahaya matahari dan ketersediaan makanan.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberadaan Kopepoda
Suhu
Suhu sangat berperan dalam mengendalikan kondisi organisme perairan.
Setiap organisme akuatik memiliki toleransi kisaran suhu tertentu untuk
pertumbuhannya. Nybakken (1992) menyatakan bahwa suhu adalah faktor
penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Suhu air
mempengaruhi keberadaan zooplankton secara fisiologis dan ekologis. Secara
fisiologis perbedaan suhu perairan sangat berpengaruh pada fekunditas, lama
hidup dan ukuran dewasa zooplankton. Secara ekologis perubahan suhu
menyebabkan perbedaan komposisi dan kelimpahan zooplankton di perairan
dangkal (Kennish 1990). Kopepoda pada umumnya akan berkembang dengan
baik pada suhu sekitar 25oC atau lebih (Riley 1967).
Beberapa spesies kopepoda terdistribusi secara horizontal berdasarkan
kemampuan penyesuaian diri pada perubahan suhu, misalnya Cosmocalanus
darwinii, Copilia mirabilis, dan Candacia pachydactyla yang biasa ditemukan di
perairan tropis dan dapat menjadi indikator arus hangat (Zhong 1989).

Salinitas
Pola penyebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan pola aliran sungai. Daerah estuari
yang merupakan daerah pertemuan antara air tawar dan air laut mempunyai
struktur salinitas yang kompleks (Nontji 2006). Pada daerah estuari faktor
salinitas merupakan pembatas penyebaran zooplankton.
Kennish (1990) menyatakan bahwa perubahan salinitas yang dapat ditolerir
oleh holoplankton dan meroplankton tergantung pada jenis dan stadia daur

10

hidupnya. Salinitas diduga mempengaruhi struktur dan fungsi fisiologis
organisme perairan melalui perubahan tekanan osmosis, proporsi relatif bahan
pelarut, koefisien absorbsi dan kejenuhan larutan, kerapatan dan viskositas,
perubahan penyerapan sinar, pengantar suara dan daya hantar listrik. Hal ini akan
mengubah komposisi jenis pada situasi ekologi saat itu.
Plankton euryhaline dapat mentolerir kisaran salinitas yang luas, sebaliknya
plankton stenohaline hanya dapat mentolerir kisaran salinitas yang sempit (Odum
1994). Perbedaan toleransi organisme terhadap salinitas dipengaruhi oleh umur,
stadia daur hidup dan jenis kelamin (Kinne 1963). Riley (1967) menyatakan
bahwa Acartia tonsa, Eurytemora hirundoides, E. Affinis dan Pseudodiaptomus
coronatus merupakan jenis Calanoida yang dominan di perairan estuaria dengan
salinitas 18-30 psu. Sedangkan Zhong (1989) menyatakan ada beberapa spesies
kopepoda

yang

terdistribusi

secara

horizontal

berdasarkan

kemampuan

penyesuaian diri pada perubahan salinitas seperti Pleuromamma abdominalis
yang merupakan spesies pada perairan oseanik sedangkan Labidocera euchaeta
biasa hidup di perairan neritik terutama pada pantai berkadar salinitas rendah,
demikian pula dengan Eurytemora affini yang ditemukan di perairan estuaria
dengan salinitas yang sangat rendah.

Arus
Odum (1994) menyatakan bahwa arus dalam air tidak hanya
mempengaruhi konsentrasi sebagian besar gas-gas dan hara tetapi juga bertindak
secara langsung sebagai faktor pembatas. Arus merupakan salah satu parameter
fisika yang mempengaruhi penyebaran zooplankton di laut (Wickstead 1965).
Nontji (1993) menyatakan bahwa arus yang terjadi di perairan pantai dan teluk
lebih banyak dipengaruhi oleh pasang surut dan aliran sungai.
Arus yang disebabkan oleh pasang surut biasanya dapat diamati di
perairan pantai terutama pada selat-selat yang sempit dengan kisaran pasang surut
yang tinggi. Di laut terbuka, arah dan kekuatan arus di lapisan permukaan sangat
ditentukan oleh angin (Nontji 1993).

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah pesisir Kabupaten Berau, Kalimantan
Timur. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan September 2005 di 10 lokasi
(Gambar 3). Lokasi 1, 2, dan 3 merupakan muara dari Sungai Kasei, Garura dan
Pantai. Lokasi 4 , 5 dan 10 merupakan perpanjangan dari lokasi 3 ke arah lepas
pantai dengan jarak antar lokasi sekitar 1o, demikian pula lokasi 6 dan 9 yang
merupakan perpanjangan dari lokasi 2, serta lokasi 7 dan 8 perpanjangan dari
lokasi 1.

Pengambilan Sampel di Lapangan
Parameter suhu, salinitas dan arus
Pengukuran suhu dan salinitas dilakukan dengan menggunakan CTD. Arah
dan kecepatan arus diukur menggunakan Direct Reading Currentmeter RCM-2.
Pola sebaran suhu, salinitas dan arus digambar dengan bantuan Surfer-8.

Sampel Kopepoda
Sampel kopepoda dikoleksi dengan menggunakan conical plankton net
ukuran mata jaring 300 µm, diameter mulut jaring 0,45 m dan panjang 1,8 m.
Pada mulut jaring plankton dipasang flowmeter TSK untuk mengukur volume air
tersaring. Pengukuran volume air tersaring dihitung dengan rumus:
V = R.a.p

V: volume air tersaring (m3)
R: jumlah rotasi baling-baling flowmeter
a: luas mulut jaring
p: panjang kolom air (m) yang ditempuh untuk satu rotasi

Gambar 3 Peta lokasi penelitian di perairan Berau

Pengambilan sampel secara horizontal dilakukan dengan cara menarik
jaring plankton dengan perahu motor berkecepatan 3 knot selama 5 menit. Sampel
yang tersaring dikoleksi dalam botol plastik berukuran 250 cc dan diberi
pengawet formalin pekat hingga konsentrasi solusi formalin/air laut menjadi 4%.

Analisis Sampel di Laboratorium
Sampel kopepoda yang sudah diperoleh kemudian dibawa ke laboratorium
untuk disortir atau dipisahkan dari organisme planktonik lainnya kemudian
diidentifikasi sampai tingkat jenis di bawah mikroskop compound Nikon.
Pembuatan gambar/ilustrasi dari setiap jenis secara detil, dilakukan dengan cara
meletakkan spesimen pada slide glass yang telah dibubuhi campuran gliserin dan
akuades dengan perbandingan 1:1 yang diberi pewarna methyl blue, kemudian
diamati di bawah mikroskop.

Gambar 4 Morfologi dan pembagian ruas tubuh pada kopepoda betina
secara ventral (Giesbrecht & Schmeil, 1898).
Singkatan (abbreviation) dalam teks yang digunakan untuk menggambarkan
bagian morfologi kopepoda tercantum dalam Tabel 1.

14

Tabel 1 Singkatan (abbreviation) bagian morfologi kopepoda
Singkatan

Singkatan

A1

Antenula

B2

basis

A2

Antena

Re

eksopod

Ms1-Ms5

metasomal somites 1-5

Ri

endopod

P1-P5

pereiopod 1-5

Si

inner spine

Ur1-Ur5

urosomal somites 1-5

S2

outer spine

CR

caudal rami

St

terminal spine

B1

coxa
Selain singkatan diatas, ada beberapa istilah teknis yang masih digunakan

agar tidak menimbulkan kerancuan, antara lain:


prosome/cephalothorax: kesatuan kepala dan ruas dada



urosome/abdomen: bagian belakang tubuh



grasping organ: alat pemegang



prehensile: antena yang bentuknya seperti alat pemegang dan bergerigi



geniculate: menggembung



anterior: bagian depan



posterior: ujung belakang



posteromedial: ujung belakang bagian tengah



posterolateral: ujung belakang bagian tepi



posterodorsal: ujung belakang bagian punggung



lateral: samping/tepi



ventral: bawah



dorsal: punggung



uniramous: tidak bercabang



biramous: bercabang dua



distal: ujung



proximal: pangkal.
Terminologi yang dipakai dalam penelitian ini terutama mengacu pada

Giesbrecht (1982) dan Sars (1903) dengan beberapa modifikasi yaitu:

15

¾ Tubuh kopepoda terdiri dari dua bagian : prosome dan urosome.
¾ Prosome terdiri dari kepala dan lima ruas metasome (Ms).
¾ Urosome : pada jantan umumnya memiliki lima ruas, dan pada betina
bervariasi antara dua sampai lima ruas
¾ Kepala dan Ms1 seringkali menyatu; Ms4 dan Ms5 pada beberapa kasus juga
menyatu.
¾ A1 umumnya terdiri dari 25 ruas. Pada kopepoda jantan, A1 bagian kanan
seringkali termodifikasi menjadi alat pemegang (grasping organ).
¾ A2 dan P1-P4 biramous (bercabang dua).
¾ P5 sering termodifikasi, pada betina P5 mereduksi atau sama sekali absen,
sedangkan pada jantan P5 termodifikasi menjadi alat pemegang pada saat
kopulasi.

Analisis Data
Kelimpahan Jenis
Data kelimpahan jenis kopepoda dalam individu/m3 diperoleh dengan cara
membagi seluruh jumlah individu yang diperoleh dengan volume air tersaring
(m3) sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut :
n
N=
V
Dimana N = kelimpahan kopepoda
n = jumlah individu kopepoda
V = volume air tersaring

Dominansi Jenis
Dominansi jenis kopepoda dihitung menggunakan indeks dominansi
Simpson (Magurran, 1988) dengan persamaan:
D = ∑ (ni(ni-1)/N(N-1))
Dengan D = indeks dominansi
Ni = jumlah individu spesies ke-i

16

N = jumlah total individu yang terkumpul

Keanekaragaman Jenis
Penghitungan keanekaragaman jenis dilakukan berdasarkan rumus
Shannon dan Weaver (1963) dalam Parsons et al. (1984) dengan persamaan :
n
H = Σ Pi ln Pi ; Pi = ni/N
i=1
1

H1 = Indeks keanekaragaman
ni = Jumlah kopepoda jenis ke-i
N = Jumlah total kopepoda

Keseragaman Jenis
Untuk melihat keseragaman populasi kopepoda pada setiap pengambilan
sampel dilakukan perhitungan Indeks Keseragaman, yaitu:
E = H1
Hmaks
E = Indeks Keseragaman
H1 = Indeks Diversitas
Hmaks = Ln S
S = Jumlah spesies

; E =

H1
Ln S

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Lingkungan
Suhu
Sebaran horisontal suhu secara keseluruhan pada penelitian ini dapat dilihat
pada Gambar 5.

Gambar 5 Sebaran horizontal suhu di perairan Berau.

Kisaran suhu di perairan Berau pada saat penelitian berkisar antara
28,5 o – 31o C. Kisaran suhu yang tinggi terdapat pada stasiun-stasiun penelitian
yang berada dekat muara, makin mendekati muara nilai suhu semakin tinggi dan
semakin berkurang ke arah luar. Kisaran suhu yang tinggi dapat terjadi karena
pengukuran suhu dilakukan pada siang hari di saat intensitas cahaya matahari
paling tinggi, selain itu dangkalnya lokasi penelitian di sekitar muara
mempermudah penyerapan sinar matahari secara merata. Hal lain yang turut
mempengaruhi tingginya suhu di sekitar muara adalah kondisi kekeruhan pada
lokasi tersebut. Kekeruhan yang tinggi menandai besarnya jumlah bahan organik
maupun anorganik tersuspensi maupun terlarut yang erat kaitannya dalam proses
dekomposisi. Proses dekomposisi yang tinggi akan meningkatkan suhu perairan.

18

Kisaran suhu di perairan Berau pada saat penelitian masih merupakan
kisaran suhu optimum bagi perkembangan kopepoda sesuai dengan pernyataan
Riley (1967) bahwa zooplankton akan berkembang dengan baik pada kisaran suhu
diatas 25o C.

Salinitas
Sebaran horizontal salinitas pada periode air pasang (Gambar 6)
menunjukkan bahwa pengaruh Selat Makassar dengan salinitas yang tinggi
menyusup sampai ke perairan dekat mulut sungai. Salinitas yang tinggi ini diduga
karena pada saat penelitian, perairan sedang mengalami pasang sehingga tidak ada
pengaruh limpasan suplai air tawar dari muara sungai sekitarnya. Nilai salinitas
yang relatif rendah yaitu < 25 psu tercatat pada muara sungai yang ditengah,
makin membesar ke arah laut lepas, namun tidak melebihi 3 km sudah mencapai
nilai maksimum yaitu 33-34 psu.

Gambar 6 Sebaran horizontal salinitas di perairan Berau.
Zhong (1989) menyatakan bahwa salah satu faktor utama yang mengontrol
distribusi kopepoda di perairan adalah salinitas. Salinitas di perairan Berau yang
berkisar antara 26–33 psu nampaknya memberi pengaruh pada distribusi

19

kopepoda di perairan tersebut yang lebih banyak didominasi oleh genera dari ordo
Calanoida. Hal ini sesuai dengan pernyataan Riley (1967) bahwa beberapa jenis
Calanoida yang dominan di daerah estuari biasa hidup pada kisaran salinitas
18 – 30 psu.

Arus
Arus yang berkembang pada perairan ini murni arus pasang surut dan
berlaku untuk seluruh badan air, dari permukaan sampai dengan dasar laut. Pada
periode air pasang di permukaan laut (Gambar 7) pola aliran berbalik 180 derajat
dibandingkan dengan yang tercatat pada saat air surut. Pada perairan lepas dari
muara, kecepatan arus lebih kecil dari 1 mil/jam dan kemudian makin deras
setelah mendekati perairan muara yang sempit. Pada perairan lepas muara pola
aliran tercatat ke arah selatan dan barat daya mengikuti pola aliran pasang pada
pesisir

barat

Selat

Makassar

pada

umumnya.

Gambar 7 Sebaran horizontal arah dan kecepatan arus saat pasang di Berau.
Komposisi dan Kelimpahan Jenis Kopepoda
Sebanyak 44 jenis kopepoda yang berhasil diidentifikasi pada penelitian
ini terdiri atas 27 jenis Calanoida, 8 jenis Cyclopoida, 2 jenis Harpacticoida, 6
jenis Poecilostomatoida dan 1 jenis Siphonostomatoida (Tabel 2).

20

Tabel 2 Jenis kopepoda di perairan Berau beserta habitat

1. pauver
2. subcrassus
3. crassus
4. brevifurcus
5. furcatus
6. dorsispinatus (nr)
7. orsini
8. discaudata
9. turbinata
10. pasifica
11. erythraea
12. bispinosa
13. incisus
14. forcipatus
15. gibber
16. crassirotris
17. aculeatus
18. similis
19. acuta
20. bengalensis
21. javaensis
22. minuta
23. macronyx
24. herdmani
25. australica
26. discaudata
27. spinifera

HABITAT
P I
O
● ● ●
● ● ●
● ● ●
● ● ●
● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ●
● ● ● ● ● ● ● ● ●
● ● ● ● ● ● ● ● ●
● ● ● ● ● ● ● ● ● ●

E







-

N























-

28. brevicornis
29. oculata
30. simplex
31. mirabilis
32. gastrica
33. conifera
34. media
35. sp. (ns)
36. acutifrons
37. rosea
38. australiensis
39. pectinata
40. asiaticus
41. catus
42. crassiusculus
43. lubbocki
44. sp.















-



-











-

Ordo

Famili

Genus

Spesies

Calanoida

Calanidae
Eucalanidae

Canthocalanus
Subeucalanus

Centropagidae

Centropages

Temoridae

Temora

Acartiidae

Acartia

Pseudodiaptomidae
Tortaniidae
Paracalaniidae

Pseudodiaptomus
Tortanus
Acrocalanus
Parvocalanus
Paracalanus
Bestiolina
Labidocera

Pontellidae

Pontellopsis

Cyclopoida

Harpacticoida
Poecilostomatoida

Siphonostomatoida

Candaciidae
Phaennidae

Calanopia
Candacia
Phaenna

Oithonidae

Oithona

Sapphirinidae
Oncaeidae

Copilia
Sapphirina
Oncaea

Tachidiidae
Ectinosomatidae
Lichomolgidae

Euterpina
Microsetella
Kelleria

Corycaeidae

Corycaeus

Caligidae

Caligus















-










-

Ket. P=Pasifik; I=India; O=Oseanik; E=Estuarine; N=Neritik; nr = new record; ns = new species

Pada Tabel 2 terlihat bahwa pada umumnya jenis kopepoda yang
ditemukan merupakan jenis kopepoda estuaria dan neritik walaupun terdapat
beberapa jenis kopepoda oseanik seperti Subeucalanus crassus, S. subcrassus,
Centropages furcatus dan Phaenna spinifera. Hal itu terjadi karena wilayah
penelitian ini merupakan perairan estuaria dimana terdapat muara tiga sungai

21

besar dan beberapa sungai kecil lainnya sehingga massa air yang ada merupakan
campuran antara massa air sungai dengan air laut sekitarnya. Dari pola arus pada
saat penelitian (Gambar 7) juga terlihat bahwa massa air saat pasang menyusup ke
muara sungai yang ada dan memungkinkan beberapa jenis kopepoda oseanik
ditemukan di perairan estuari ini.
Berdasarkan distribusi geografi kopepoda dari berbagai penelitian yang
telah dilakukan di dunia seperti tercantum dalam Tabel 2 terlihat bahwa jenis
kopepoda di perairan Berau sebagian besar ada di Samudera Pasifik dan
Samudera India. Jenis kopepoda yang ditemukan pada umumnya merupakan jenis
kosmopolitan seperti Acartia eryhraea. A. pacifica, Centropages furcatus,
Acrocalanus gibber, dan Parvocalanus crassirotris. Beberapa jenis lainnya baru
dilaporkan ditemukan di wilayah tertentu seperti Labidocera javaensis, new
spesies dari perairan Tegal (Mulyadi 1997), Pontellopsis herdmani sebagai jenis
endemik Samudera India yang juga ditemukan di perairan Jepang (Mulyadi 2002),
Centropages brevifurcus dan Pseudodiaptomus incisus yang ada di Laut Jawa
tetapi sebelumnya tercatat sebagai spesies endemik Laut Cina Selatan (Mulyadi
2004). Hal lain yang menarik pada penelitian ini adalah ditemukannya satu jenis
kopepoda yang baru ditemukan di perairan Indonesia yaitu Centropages
dorsispinatus, yang biasa ditemukan di perairan Korea dan China (Kim 1985).
Dalam penelitian di perairan Berau juga ditemukan jenis Kelleria pectinata
berjenis kelamin jantan. Penemuan Kelleria pectinata jantan ini memberikan
catatan tersendiri bagi penelitian kopepoda laut di Indonesia, karena sebelumnya
hanya dilaporkan oleh Scott (1909) dari ekspedisi Siboga tahun

1899-1900

(Lampiran 3). Spesimen Kelleria pectinata berjenis kelamin betina sudah
dikoleksi dari perairan Tegal, Jawa Tengah (Mulyadi 2005). Satu jenis lainnya
yaitu Oncaea sp. dan Kelleria sp. diidentifikasi sebagai jenis baru yang masih
memerlukan penanganan lebih lanjut dalam publikasinya sebagai new spesies.
Kehadiran jenis kopepoda di perairan Berau ini diharapkan dapat menambah
koleksi data kopepoda yang ada di Indonesia khususnya dan di dunia pada
umumnya agar dapat digunakan untuk menjawab fenomena yang terjadi dalam
distribusi geografi kopepoda.

22

Secara keseluruhan komposisi kopepoda di perairan Berau selama
penelitian menunjukkan bahwa ordo Calanoida memiliki kisaran persentase
terbesar, diikuti oleh Poecilostomatoida dan Cyclopoida, sementara Harpacticoida
dan Siphonostomatoida hanya memiliki persentase yang tidak mencapai 1 %
(Gambar 8). Calanoida sebagai unsur dominan yang ditemukan di perairan ini
merupakan jenis kopepoda neritik dimana jenis kopepoda ini umumnya berukuran
relatif lebih kecil dan biasa hidup pada perairan yang masih mendapat pengaruh
daratan, seperti yang banyak ditemukan di Laut Jawa (Arinardi, dkk. 1997). Salah
satu penyebab tingginya persentase Calanoida karena jumlah jenis dari Calanoida
lebih banyak dibanding ordo lainnya yaitu 27 jenis. Hal lain yang turut
mempengaruhi tingginya persentase Calanoida karena kondisi suhu dan salinitas
perairan yang mendukung pertumbuhan sebagian besar jenis kopepoda dari ordo
Calanoida.
Komposisi jenis Kopepoda di Perairan Berau

Harpacticoida
0%
Siphonostomatoida
0%
Poecilostomatoida
16%
Cyclopoida
1%

Calanoida
83%

Gambar 8 Komposisi kopepoda di perairan Berau.
Jenis-jenis Calanoida yang ditemukan melimpah di perairan Berau antara
lain Acartia erythraea yang biasa melimpah pada perairan dengan salinitas lebih
dari 20 psu, Pseudodiaptomus incisus yang dominan pada salinitas lebih dari 15
psu dan Temora turbinata yang dapat berkembang dengan baik pada kisaran
salinitas 4-25 psu (Wellershaus & Gargari 1991; Mulyadi & Ishimaru 1994).
Sebagaimana pula pernyataan Barnes (1974) dan Kimmerer & Mc Kinnon (1985)

23

bahwa Acartia dan Pseudodiaptomus merupakan kopepoda karakteristik di
perairan estuaria dan seringkali melimpah di sekitar perairan pantai dan dapat
mendominasi biomassa zooplankton.
Berdasarkan perhitungan kelimpahan jenis kopepoda pada masing-masing
stasiun penelitian ditemukan bahwa kelimpahan tertinggi terdapat di stasiun 1
(812 ind/m3) dan terendah di stasiun 10 yaitu 32 ind/m3 (Gambar 9). Kisaran
kelimpahan kopepoda ini menunjukkan kecenderungan kelimpahan kopepoda
semakin menurun ke arah luar (lepas pantai). Hal ini diduga karena daerah muara
dan tengah perairan kaya akan bahan organik dari sungai-sungai yang bermuara di
perairan tersebut. Bahan organik ini akan dimanfaatkan oleh fitoplankton dan
pada