Sebaran Teritip Intertidal Dan Hubungannya Dengan Kondisi Lingkungan Perairan Di Pelabuhan Kota Dumai

SEBARAN TERITIP INTERTIDAL DAN HUBUNGANNYA
DENGAN KONDISI LINGKUNGAN PERAIRAN
DI PELABUHAN KOTA DUMAI

AL MUDZNI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Sebaran Teritip Intertidal
dan Hubungannya dengan Kondisi Lingkungan Perairan di Pelabuhan Kota
Dumai adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014
Al Mudzni
NIM C551110061

RINGKASAN
AL MUDZNI. Sebaran Teritip Intertidal dan Hubungannya dengan Kondisi
Lingkungan Perairan di Pelabuhan Kota Dumai. Dibimbing oleh DIETRIECH
GEOFFREY BENGEN dan ISDRADJAD SETYOBUDIANDI.
Teritip Baran merupakan biota yang hidupnya menempel secara permanen
pada substrat seperti tiang penyangga dermaga. Secara alami teritip banyak
dijumpai pada perairan pesisir Kota Dumai. Penempelan teritip pada substrat
diketahui dapat merusak dan memperpendek umur suatu bangunan. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui sebaran kepadatan teritip intertidal pada jenis dan
warna media penempelan yang berbeda. Selain itu, juga untuk mengetahui
sebaran kepadatan teritip intertidal secara vertikal dan horizontal di perairan
pelabuhan Kota Dumai, Provinsi Riau.
Penelitian dilaksanakan pada bulan September sampai November 2013 di
Pelabuhan Pelindo I, Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Purnama dan Pelabuhan
Angkatan Laut Kota Dumai. Data parameter biofisika kimiawi diukur di

Laboratorium Ekologi dan Manajemen Lingkungan Perairan Universitas Riau.
Contoh teritip diidentifikasi di Laboratorium Biologi Laut Institut Pertanian
Bogor.
Hasil penelitian menunjukkan bahwasannya teritip jenis Amphibalanus spp.
memiliki kepadatan yang tidak merata pada jenis dan warna media penempelan
yang berbeda. Tingkat kepadatan teritip ditemukan tertinggi pada media kayu
yang tidak diberi warna dengan kisaran 265-506 ind/m2 dan terendah pada media
fiber putih dengan kisaran 25-68 ind/m2. Kedua stasiun Pelabuhan Pelindo I dan
stasiun 2 PPI Purnama merupakan stasiun yang memiliki tingkat kepadatan teritip
tertinggi. Stasiun tersebut dicirikan dengan pH (7-8), salinitas (27-28 ‰),
kekeruhan (2 NTU) yang tinggi dibandingkan stasiun lainnya. Sedangkan kedua
stasiun Pelabuhan Angkatan Laut Bangsal Aceh merupakan stasiun yang memiliki
tingkat kepadatan teritip terendah. Stasiun tersebut dicirikan dengan kecepatan
arus (0,3-0,5 m/dtk) yang tinggi dibandingkan stasiun lainnya.
Kata kunci: Amphibalanus spp., sebaran, tiang pelabuhan, kondisi lingkungan,
Dumai

SUMMARY
AL MUDZNI. Distribution of Barnacle (Amphibalanus spp.) And Its Relation to
Marine Environment Conditions in The Port of Dumai. Supervised by

DIETRIECH GEOFFREY BENGEN and ISDRADJAD SETYOBUDIANDI.
Acorn barnacle lives permanently to attached a substrate such as a pillar of
port. Naturally, barnacles were found in coastal waters of Dumai. Attachment of
barnacles on the pillar of the port known to damage and shorten the life of a
building. This study aim was to determine the distribution and density of the
intertidal barnacle on the different type and colors of media attachment. Its were
also to determine vertically and horizontally distribution of the intertidal barnacles
density in the port of Dumai, Riau Province.
Survey was conducted in September to November 2013 at Port of Pelindo I,
PPI Purnama and LANAL Port in Dumai. Data of biophysical chemistry
parameters were measured at the Laboratory of Ecology and Aquatic
Environmental Management, University of Riau. Barnacles were identified at the
Marine Biological Laboratory, Bogor Agricultural University.
The results showed the inequality of Amphibalanus spp. density on the
different types and colors of media attachment. The highest density of barnacles
were found in colorless timber (265-506 ind/m2) and in white fiber were a lowest
density (25-68 ind/m2). Both stations of Pelindo I port and station 2 of PPI
Purnama have the highest density of barnacles. These stations were characterized
by the highest pH (7-8), salinity (27-28 ‰), turbidity (2 NTU) compared to the
other stations. While both stations of LANAL Port have the lowest density of

barnacles. These stations were characterized by highest current speed (0.3-0.5
m/s) compared to the other stations.
Keywords: Amphibalanus spp., distribution, the pole of port, marine
environment conditions, Dumai

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

SEBARAN TERITIP INTERTIDAL DAN HUBUNGANNYA
DENGAN KONDISI LINGKUNGAN PERAIRAN
DI PELABUHAN KOTA DUMAI

AL MUDZNI


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Dedi Soedharma, DEA

Judul Tesis : Sebaran Teritip Intertidal Dan Hubungannya Dengan Kondisi
Lingkungan Perairan Di Pelabuhan Kota Dumai
Nama
: Al Mudzni
NIM
: C551110061

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Dietriech G. Bengen, DEA
Ketua

Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Kelautan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Neviaty P. Zamani, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


Tanggal Ujian:
8 September 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul ”
Sebaran Teritip Intertidal dan Hubungannya dengan Kondisi Lingkungan Perairan
di Pelabuhan Kota Dumai”. Fokus kajian dalam tesis ini mencakup sebaran teritip
pada jenis dan warna media penempelan yang berbeda yang dipasang pada 3
pelabuhan di Kota Dumai yang memiliki aktivitas yang berbeda.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Dietriech Geoffrey Bengen,
DEA dan Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc selaku Komisi Pembimbing yang
telah memberi saran dan bimbingan dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terima
kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik-adik tercinta atas segala doa,
motivasi dan kasih sayangnya. Salam hangat penulis sampaikan kepada temanteman kampus khususnya IKL 2011. Ucapan terima kasih juga ucapkan kepada
General Manager PT. PELINDO I, Komandan DAN LANAL dan Kepala PPI
Purnama Kota Dumai atas izin dan dukungannya kepada penulis selama penelitian

di lapangan.
Penulis menyadari bahwa isi tesis ini masih jauh dari sempurna, namun
penulis berharap setidaknya tesis ini bisa memberikan kontribusi pada khasanah
keilmuan terutama kepedulian terhadap pelestarian dan pemanfaatan biota
kekerangan laut. Akhir kata, penulis mohon maaf apabila ada kekurangan dan
kesalahan di dalam tesis ini. Kritik dan saran dari semua pihak sangat diharapkan
demi kebaikan di masa mendatang. Salam hangat, selamat membaca dan semoga
memberi inspirasi.

Bogor, Oktober 2014
Al Mudzni

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi


DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Asumsi
Kerangka Pemikiran

1
1
2
2
2
3

2 METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian
Bahan dan Alat Penelitian
Prosedur Penelitian
Penentuan Titik Pengamatan
Pengamatan Kepadatan Teritip
Pengambilan dan Pengawetan Contoh Plankton
Parameter Kondisi Lingkungan Perairan
Analisis Data
Analisis Kepadatan Teritip
Identifikasi dan Perhitungan Kelimpahan Plankton
Keterkaitan Karakteristik Lingkungan dan Sebaran Spasial
Kepadatan Teritip
Sebaran Kepadatan Teritip Secara Vertikal pada 3 Jenis Media

5
5
5
6
6
7

8
8
8
8
9
9
11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Teritip Amphibalanus spp.
Kepadatan Teritip Amphibalanus spp.
Keterkaitan Karakteristik Lingkungan dan Sebaran Spasial Kepadatan
Teritip Amphibalanus spp.
Sebaran Kepadatan Teritip Amphibalanus spp. Secara Vertikal pada 3
Jenis Media

12
12
14

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

25
25
25

DAFTAR PUSTAKA

26

LAMPIRAN

30

RIWAYAT HIDUP

18
22

vi

DAFTAR TABEL
2.1 Persamaan Manova
3.1 Ringkasan Kepadatan Teritip Amphibalanus spp. pada 3 Jenis
Media

11
17

DAFTAR GAMBAR
1.1
2.1
2.2
2.3
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
3.6
3.7

Pendekatan Penelitian dalam Bagan Alir
Peta lokasi penelitian di Kota Dumai, Riau
Penentuan serta Pembagian Stasiun dan Substasiun Berdasarkan
Bahan Media Penempelan
Penentuan Pemasangan Media Penempelan atau Titik
Pengamatan pada Substasiun
Morfologi Cangkang Teritip Amphibalanus spp. a = Keseluruhan
Cangkang, b = Scuta (Kiri = Eksternal, Kanan = Internal), c =
Terga (Kiri = Eksternal, Kanan = Internal)
Kepadatan Teritip Amphibalanus spp. pada Media Kayu, (a.) di
Pelabuhan Pelindo I, (b.) di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI)
Purnama, (c.) di Pelabuhan Angkatan Laut Bangsal Aceh
Kepadatan Teritip Amphibalanus spp. pada Media Fiber, (a.) di
Pelabuhan Pelindo I, (b.) di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI)
Purnama, (c.) di Pelabuhan Angkatan Laut Bangsal Aceh
Kepadatan Teritip Amphibalanus spp. pada Media Besi, (a.) di
Pelabuhan Pelindo I, (b.) di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI)
Purnama, (c.) di Pelabuhan Angkatan Laut Bangsal Aceh
Diagram lingkaran korelasi antara parameter biofisika kimiawi
lingkungan pada sumbu 1 dan sumbu 2 (kiri) dan diagram
sebaran stasiun penelitian pada sumbu 1 dan 2 (kanan)
Hasil analisis koresponden pada sumbu 1 (F1) dan sumbu 2 (F2)
Grafik Pengelompokan Kepadatan Teritip Amphibalanus spp.
pada Setiap Media Penempelan

4
5
6
7
13
14
15
16
18
19
23

DAFTAR LAMPIRAN
1 Parameter Bio Fisika Kimiawi Perairan Lokasi Penelitian
2 Kepadatan Teritip Amphibalanus spp. pada Pelabuhan Pelindo I
3 Kepadatan Teritip Amphibalanus spp. pada PPI Purnama
4 Kepadatan Teritip Amphibalanus spp. pada Pelabuhan Angkatan
Laut Bangsal Aceh
5 Gambar Pemasangan dan Pengangkatan Media Pelabuhan pada
Tiang Pelabuhan
6 Hasil Analisis Komponen Utama (PCA)
7 Hasil Analisis Faktorial Koresponden (CA)
8 Hasil Analisis Ragam Peubah Ganda (MANOVA)

31
32
33
34
35
36
36
37

vii

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Perairan laut mengandung berbagai sumberdaya hayati yang menjadi
penyusun struktur biota lingkungan perairan. Beberapa diantaranya adalah biota
yang hidupnya menempel pada substrat, baik yang terendam maupun terdedah di
permukaan laut. Secara alami kehadirannya adalah peristiwa yang wajar, dimana
biota-biota penempel tersebut umumnya berasal dari kelompok bakteri, tumbuhan
dan hewan. Penempelan biota tidak hanya terjadi pada substrat alami, dapat juga
terjadi pada berbagai sarana kepentingan manusia seperti pada kapal dan
bangunan pantai. Penempelan tersebut menimbulkan pengotoran biologis yang
disebut dengan biofouling (Peterson et al. 1983).
Teritip adalah salah satu jenis biota yang hidupnya menempel secara
permanen pada dinding tiang penyangga dermaga, sedangkan jenis lainnya
memiliki kemampuan berpindah tempat. Secara alami teritip banyak dijumpai di
laut. Sudah sejak lama teritip merupakan masalah yang sangat serius,
kemampuannya dan tempat hidupnya yang menempel pada substrat ternyata
memiliki sifat yang dapat merusak dan memperpendek umur suatu bangunan
(Nontji 2001).
Penempelan atau biofouling teritip ini terjadi di Pesisir Timur Pulau
Sumatera yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka. Padatnya akvitivitas
laut di Pulau Sumatera Bagian Timur didukung oleh keberadaan pelabuhan atau
dermaga yang dapat dijumpai di sepanjang Pesisir Timur Pulau Sumatera salah
satunya di pelabuhan Kota Dumai, Provinsi Riau. Dalam pengelolaan dan
pemanfaatannya, pelabuhan-pelabuhan tersebut tidak terlepas dari permasalahanpermasalahan, salah satunya adalah keberadaan organisme yang hidup menempel
pada tiang pelabuhan seperti teritip.
Dari hasil observasi pra-penelitian, secara visual pelabuhan-pelabuhan di
Pesisir Timur Pulau Sumatera mengalami biofouling dengan kepadatan teritip
yang lebih tinggi dibandingkan pelabuhan-pelabuhan di Pesisir Barat Pulau
Sumatera. Penempelan teritip tidak merata pada sisi kiri dan kanan tiang
pelabuhan. Selain itu, Distribusi kepadatan teritip tersebut juga tidak merata baik
secara horizontal maupun vertikal pada tiang-tiang pelabuhan. Menurut Mudzni
(2010), Rata-rata kepadatan teritip (Balanus spp) pada tiang Pelabuhan
Pendaratan Ikan (PPI) Purnama Kota Dumai secara vertikal ke bawah perairan
semakin meningkat. Sedangkan secara horizontal, kepadatan teritip (Balanus spp)
lebih tinggi pada bagian tiang pelabuhan yang terlindung dari perairan laut lepas
dibandingkan pada bagian tiang pelabuhan yang menghadap ke perairan laut lepas
(Fauzi 2010).
Namun observasi pra-penelitian dan penelitian yang telah dilakukan tersebut
terbatas pada kepadatan teritip dari jenis Balanus spp. Oleh karena itu perlu
dilakukan penelitian terkait penyebab terjadinya ketidakmerataan distribusi
kepadatan teritip pada tiang-tiang pelabuhan. Diperkirakan perbedaan kondisi
lingkungan perairan air laut merupakan faktor utama terjadinya ketidakmerataan
tersebut.

2

Hal ini apabila diteliti lebih lanjut secara ruang (spasial), dapat diketahui
penyebab terjadinya ketidakmerataan distribusi kepadatan teritip pada tiang-tiang
pelabuhan dan bermanfaat bagi penanganan masalah biofouling yang terjadi pada
pelabuhan khususnya yang terdapat di kota pesisir timur Pulau Sumatera seperti
Kota Dumai. Sehingga pada bagian tiang pelabuhan atau kapal yang ditempeli
oleh teritip dalam jumlah tinggi dapat diberi penanganan yang lebih intensif
seperti pemberian bahan yang dapat menghambat (antifouling) penempelan dan
pertumbuhan teritip.
Perumusan Masalah
Tingginya aktivitas maritim di pesisir timur Pulau Sumatera sebagai bagian
dari perairan laut Selat Malaka, menuntut keberadaan pelabuhan laut. Pelabuhan
laut menjadi penghubung antara aktivitas darat dan aktivitas perairan. Namun
pada tiang-tiang pelabuhan di daerah yang terdapat di sepanjang pesisir timur
Pulau Sumatera terdapat organisme-organisme yang menempel dan bersifat
merusak. Teritip merupakan salah satu spesies hewan yang umum dijumpai di
tiang pelabuhan-pelabuhan di Kota Dumai yang sejak dulu sudah meresahkan, hal
ini disebabkan dari waktu ke waktu pertumbuhan teritip terus meningkat dan
dikhawatirkan akan merusak tiang-tiang pada pelabuhan ini.
Penempelan teritip tersebut tidak merata pada tiang-tiang pelabuhan.
Diperkirakan hal ini dipengaruhi oleh karakteristik lingkungan perairan yang
berasal dari parameter biofisika kimiawi air laut. Ketidakmerataan tersebut dapat
menyebabkan pengeroposan pada bagian tiang-tiang pelabuhan yang memiliki
kepadatan teritip yang tinggi. Sehingga dapat mengancam usia penggunaan tiang
pelabuhan tersebut.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sebaran kepadatan teritip
intertidal pada jenis dan warna media penempelan yang berbeda. Selain itu, juga
untuk mengetahui sebaran kepadatan teritip intertidal secara vertikal dan
horizontal di perairan pelabuhan Kota Dumai.
Dengan mengetahui hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
untuk penanganan masalah biofouling yang terjadi pada bangunan di pesisir pantai
dan kapal-kapal laut khususnya di perairan laut Kota Dumai.
Asumsi
Dalam penelitian ini terdapat beberapa asumsi, yaitu:
1. Biofouling teritip merupakan penyebab utama terjadinya pengeroposan tiang
dermaga.
2. Letak geografis dari setiap pelabuhan dianggap memberikan pengaruh yang
sama terhadap kepadatan teritip.
3. Ketelitian peneliti dalam setiap pengambilan contoh dianggap sama.

3

Kerangka Pemikiran
Teritip sejak dahulu telah dikenal sebagai organisme penempel. Salah satu
media penempelannya adalah tiang pelabuhan dan lambung kapal. Penempelan
teritip ini, umumnya bersifat merusak dan mengancam usia tiang pelabuhan
seperti terjadinya pengeroposan pada bagian tiang pelabuhan. Pengeroposan ini
disebabkan oleh karena adanya penempelan teritip yang terpaku pada bagianbagian tertentu pada tiang pelabuhan. Sehingga pada tiang pelabuhan tersebut
dapat dijumpai lobang-lobang atau celah-celah. Secara visual, tiang pelabuhan
tersebut semakin menipis ataupun “ompong”. Hal ini banyak terjadi pada
pelabuhan-pelabuhan yang terdapat di Pantai Timur Pulau Sumatera.

4

Pengelolaan pelabuhan di Pantai Timur Pulau Sumatera khususnya Kota Dumai

Salah satu permasalahan dalam pengelolaan dan pemanfaatan adalah biofouling dan ketidakmerataan
sebararan kepadatan teritip
Biofouling dan ketidakmerataan sebaran kepadatan teritip dapat mengakibatkan pengeroposan dan
memperpendek usia pemanfaatan tiang pelabuhan
Teratasi permasalahan
Kondisi lingkungan
(biofisika dan kimia)
- pH
- Kecepatan arus
- Salinitas
- Kekeruhan
- Suhu
- Kelimpahan plankton
- Nitrat dan Posfat

Pengamatan sebaran spasial kepadatan teritip pada tiang
pelabuhan:
- Pelabuhan Pelindo I
- Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Purnama
- Pelabuhan Angkatan Laut Bangsal Aceh

Keterkaitan Karakteristik Lingkungan dan Sebaran Spasial Kepadatan Teritip
Intertidal pada 3 Jenis Media
- Principal Component Analysis (PCA)
- Corespondence Analysis (CA)
- Multivariate Analysis of Variance (MANOVA)

Sebaran kepadatan teritip (Amphibalanus spp) pada tiang pelabuhan
Gambar 1.1 Pendekatan Penelitian dalam Bagan Alir

5

II. METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan September sampai dengan Bulan
November 2013. Lokasi penelitian merupakan tiga pelabuhan yang berada di Kota
Dumai yaitu Pelabuhan Pelindo 1, Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Purnama dan
Pelabuhan Angkatan Laut Bangsal Aceh. Untuk identifikasi plankton dan
pengukuran parameter kualitas air dilakukan di Laboratorium Ekologi dan
Manajemen Lingkungan Perairan Jurusan Manajemen Sumberdaya Perikanan
Universitas Riau. Sedangkan untuk identifikasi teritip dilakukan di Laboratorium
Biologi Laut Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Peta lokasi Penelitian di Kota Dumai, Provinsi Riau
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang dipergunakan pada penelitian ini adalah contoh teritip, contoh
air, contoh plankton, lugol dan alkohol. Untuk alat yang dipergunakan sebagai
media penempelan teritip adalah 3 jenis media/plat (besi, kayu dan fiber) dengan
ukuran 20 x 20 cm2, mikroskop dan cawan petri. Sedangkan alat yang
dipergunakan untuk mengambil contoh kualitas air adalah floater drauge, hand-

6

refractometer, thermometer, kertas lakmus, botol contoh, plankton net, dan
spectrophotometer. Adapun peralatan lain yang mendukung dan digunakan pada
penelitian ini adalah meteran, Self Contained Underwater Breathing Apparatus
(SCUBA), kamera digital, serta perahu.
Prosedur Penelitian
Penentuan Titik Pengamatan
Metode penarikan contoh yang digunakan untuk melihat kepadatan teritip
adalah metoda penarikan contoh acak stratifikasi (stratified random sampling
method) yang mengacu pada Tanjung (2010). Pengamatan dilakukan pada tiang
(pondasi) pelabuhan yang dibagi atas 2 stasiun. Stasiun 1 terletak pada tiang di
bagian pelabuhan yang tertutup (terlindung) dari perairan terbuka dan Stasiun 2
terletak pada tiang di bagian pelabuhan yang menghadap perairan terbuka.
Pada setiap stasiun terdapat 6 substasiun atau tiang pengamatan. Substasiun
dibagi menjadi 3 berdasarkan jenis media penempelan yang dipasang pada tiang
substasiun tersebut. Dua substasiun pertama dipasang media penempelan dengan
bahan kayu, 2 substasiun selanjutnya dipasang media penempelan dengan bahan
besi dan 2 substasiun terakhir dipasang media penempelan dengan bahan fiber.
Penentuan stasiun, substasiun serta pembagian substasiun berdasarkan bahan
media penempelan dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Penentuan Serta Pembagian Stasiun dan Substasiun Berdasarkan
Bahan Media Penempelan

7

Gambar 2.3 Penentuan Pemasangan Media Penempelan atau Titik Pengamatan
pada Substasiun
Pada setiap substasiun selanjutnya dipasang 12 titik pengamatan yang
selanjutnya dibagi ke dalam 3 kelompok berdasarkan warna media penempelan.
Empat titik pengamatan pertama adalah media penempelan berwarna merah.
Empat titik pengamatan selanjutnya adalah media penempelan berwarna putih.
Sedangkan 4 titik pengamatan terakhir adalah media penempelan yang tidak
diberi warna.
Secara vertikal pada substasiun atau tiang pengamatan, setiap warna media
penempelan dibagi kembali menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama berada pada
bagian tiang yang dipengaruhi pasang surut air laut. Sedangkan kelompok kedua
berada pada bagian tiang yang selalu terendam air laut. Penentuan pemasangan
media penempelan atau titik pengamatan pada substasiun dapat dilihat pada
Gambar 2.3.
Pengamatan Kepadatan Teritip
Untuk menghitung kepadatan teritip yang menempel diperlukan media
(plat) penempelan teritip yang dipasang atau diikat pada tiang (pondasi)
pelabuhan yang telah ditentukan sebagai tiang pengamatan. Penghitungan
kepadatan teritip dengan cara melihat dan menghitung kepadatan yang terfokus
pada individu teritip yang berada dalam media (plat) penempelan teritip.
Pengambilan data dilakukan pada Bulan September sampai Bulan
November 2013. Media penempelan teritip terlebih dahulu dipasang atau diikat

8

pada tiang pelabuhan. Media tersebut diangkat atau dilepaskan dari tiang
(pondasi) pelabuhan setelah 60 hari.
Beberapa contoh teritip yang menempel dilepaskan dari media penempelan
dan dimasukkan ke dalam botol contoh untuk diawetkan. Pada botol contoh telah
diberi larutan alkohol 90%. Pengawetan dilakukan agar bentuk cangkang dan
tubuh teritip dalam kondisi baik pada saat identifikasi berlangsung. Selain itu,
penghitungan dilakukan pada saat permukaan laut berada pada rata-rata pasang
surut terendah di hari pengambilan data.
Pengambilan dan Pengawetan Contoh Plankton
Pengambilan contoh plankton yang ada di permukaan menggunakan
plankton net No.25 dengan cara penyaringan menggunakan water sampler
sebanyak 100 l air. Contoh air yang telah disaring kemudian ditampung atau
dimasukkan ke dalam botol contoh bervolume 30 ml. Pada botol contoh,
sebelumnya telah diberi larutan formalin 40% sampai konsentrasinya menjadi 4%
dan diberi lugol sebanyak 2-3 tetes.
Parameter Kondisi Lingkungan Perairan
Pada penelitian ini, data parameter fisika, kimia dan biologi yang diamati
adalah kecepatan arus, salinitas, kekeruhan, suhu, pH, nitrat, posfat dan
kelimpahan plankton. Pengambilan data kondisi lingkungan perairan tersebut
dilakukan pada hari Rabu tanggal 16 Oktober 2013 pukul 13.00 WIB. Pada saat
pengambilan data, permukaan laut lokasi penelitian berada dalam kondisi
peralihan surut menuju pasang. Data tersebut berguna untuk mendapatkan
gambaran pengaruh kondisi lingkungan terhadap ketidakmerataan distribusi
kepadatan teritip pada tiang pelabuhan.
Analisis Data
Analisis Kepadatan Teritip
Data penghitungan kepadatan teritip yang diperoleh, mula-mula disajikan
dalam bentuk tabel. Untuk menghitung rata-rata kepadatan teritip digunakan
metode penghitungan yang mengacu pada English et al. (1994).
=





..................................... (1)

Dimana:
Di
: Kepadatan jenis (ind/m2)
ni
: Jumlah individu jenis i
A
: Luas area pengambilan contoh (m2)

9

Dalam identifikasi jenis teritip digunakan buku Darwin (1851a; 1851b;
1854a; 1854b) dan Newman et al. (1976). Identifikasi dilakukan di Laboratorium
Biologi Laut Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Identifikasi dan Perhitungan Kelimpahan Fitoplankton
Pengamatan plankton dilakukan mulai botol contoh dihomogenkan secara
merata, diambil 1 tetes diletakkan di object glass dan ditutup dengan cover glass.
Contoh yang ada diamati dengan menggunakan mikroskop dengan perbesaran
100x sebanyak 25 lapang pandang, sedangkan untuk identifikasi plankton diamati
pada perbesaran 400x. Setiap contoh diulang sebanyak dua kali. Plankton
diidentifikasi menggunakan buku dari Davis (1955), Thompson (1959), Sachlan
(1982), dan Yamaji (1976). Untuk menghitung kelimpahan fitoplankton, terlebih
dahulu dihitung volume air laut yang tersaring dengan mengikuti rumus dari
APHA (1992), yaitu:
� = �� d .......................................................(2)
Dimana:
V
: Volume air yang tersaring

: 3,141592654
r
: Radius plankton net (15 cm)
d
: Panjang Lintasan (20 m)
Kelimpahan plankton secara kuantitatif dinyatakan dalam jumlah sel per
liter yang ditentukan menggunakan rumus:
� =��









........................................ (3)

Dimana:
N : Jumlah sel per liter
n : Jumlah sel yang diamati
Vr : Volume air tersaring (30 ml)
Vo : Volume air yang diamati (0.05 ml)
Vs : Volume air yang disaring (100 l)
Keterkaitan Kondisi Lingkungan Dan Sebaran Spasial Kepadatan Teritip
Kondisi perairan pesisir Kota Dumai sebagai habitat teritip Amphibalanus
spp. berdasarkan variasi parameter biofisika kimiawi lingkungan pada setiap
stasiun, dianalisa dengan menggunakan analisis statistik multivariabel yang
didasarkan pada analisis komponen utama (Principle Component Analysis, PCA).
Parameter fisik kimia lingkungan yang terdiri atas salinitas, pH, kekeruhan, suhu,
kecepatan arus, kelimpahan plankton, nitrat (NO3-N) dan posfat (PO4-P)
ditempatkan sebagai variable statistik aktif, sedangkan stasiun penelitian sebagai
individu statistik. Menurut Legendre dan Legendre (1998) dan Bengen (2000),
langkah pertama, nilai awal dikonversikan ke dalam indeks sintetik dengan
pemusatan dari pereduksian data. Persamaan statistiknya dinyatakan dalam:

10

=

� −�

................................................. (4)



Dimana:
Cij
= Indeks sintetik
Xij
= Nilai parameter awal
Xi
= Nilai rataan dari parameter
Sj
= Standar deviasi
dari persamaan di atas dibuatkan suatu matriks korelasi dari komponen yang
bersangkutan (Ludwig and Reynolds 1988 dalam Bengen 2000).
Bsxn = Axsn . Atnxs

Dimana:
Bsxn = Matriks korelasi
Axsn = Indeks matrik sintesis
Atnxs = Matriks transformasi Axsn

Pada prinsipnya Analisis Komponen Utama menggunakan jarak Euclidean.
Semakin kecil jarak Euclidean antar stasiun pengamatan, maka semakin mirip
karakteristik antara stasiun tersebut. Jarak Euclidean yang digunakan mengacu
pada Legendre dan Legendre (1998) dan Bengen (2000).


( , ′)

= √∑

� −�′

=

............................ (5)

Dimana:
d(i,i’) = jarak antara pusat data dengan titik data
i & i’ = indeks untuk baris, dari baris ke-i sampai dengan ke-i’
j
= indeks untuk kolom
Analisa sebaran kepadatan teritip secara spasial dilakukan dengan
menggunakan analisis faktorial koresponden/ corespondence analysis, CA
(Bengen 2000). Analisis ini merupakan salah satu bentuk analisis statistik
multivariabel yang didasarkan pada matrik data I baris (stasiun penelitian) dan j
kolom (kepadatan tetitip pada media penempelan). Matrik data yang digunakan
merupakan tabel kontingensi stasiun pengamatan dengan modalitas kepadatan
teritip pada media penempelan. Tabel kontingensi i dan j mempunyai peranan
yang simetris, yakni membandingkan unsur-unsur i (untuk tiap j) sama dengan
membandingkan hukum probabilitas bersyarat yang diestimasi dari nij/ni (untuk
masing-masing nij/nj), dengan ni = jumlah subjek i yang memiliki semua karakter
j, dan nj = jumlah jawaban karakter j. Pengukuran kemiripan antar dua unsur I1
dan I2 dari I dilakukan melalui pengukuran jarak Chi-Square dengan persamaan:
� �, �′ = ∑�=



(





�′ 2
)
�′



........................................ (6)

Dimana:
d2 (i,i’) = Jarak Euclidean
Xi
= Jumlah dari baris i untuk keseluruhan kolom

11

Xj
Xij,Xi’j
P

= Jumlah dari kolom j untuk keseluruhan baris
= Jumlah dari baris i untuk kolom j
= Banyaknya baris atau kolom (mulai dari 1 sampai p)

Pengolahan data Analisis Komponen Utama (Principal Component
Analysis) dan Analisis Faktorial Koresponden (Correspondence Analysis)
digunakan perangkat lunak program Statistika 6.
Sebaran Kepadatan Teritip Secara Vertikal pada 3 Jenis Media
Analisis Ragam Respon Ganda atau Multivariate Analysis of Variance
(MANOVA) digunakan untuk mengeksplor hubungan diantara variabel
independen yang bersifat kategorikal (perlakuan atau lokasi) dari dua atau lebih
variabel independen metrik. Analisis MANOVA menguji hipotesis nol (Ho) yang
menyatakan tidak ada perbedaan rata-rata (mean) dari variabel tak bebas (Y)
dalam kelompok yang berbeda. Hipotesis alternatifnya (Ha) menyatakan, ada
perbedaan rata-rata (mean) dari variabel tak bebas (Y) dalam kelompok yang
berbeda. Persamaan Manova adalah sebagai berikut (Mattjik dan Sumertajaya
2011):
Xij = μ + di + eij .................................................................. (7)
Tabel 2.1 Persamaan Manova
Sumber Variasi
Perlakuan (between
group)
Galat/residual (within
group)

Jumlah Kuadrat

Df

B

G-1

W

Sni - g

B+W

Sni - 1

W = (n1 – 1) S1 + (n2 – 1) S2 + ….. + (ng – 1) Sg

Keterangan:
W
B
S1
S2
Sg
Xi
Xj
X

=∑



=

X −X X −X

............................ (8)

= Jumlah kuadrat residual seluruh kelompok
= Jumlah kuadrat antar kelompok
= Ragam X1
= Ragam X2
= Ragam gabungan
= Rerata/mean Xi
= Rerata/mean Xj
= Rerata/mean dari total Xi, Xj

Untuk melihat pengaruh variabel independen atau disebut juga sebagai
perlakuan (kepadatan teritip pada media yang berbeda-beda jenis dan warnanya)
terhadap perbedaan variabel dependen yang disebut juga sebagai respon (tingkat

12

kedalaman dan stasiun pengamatan) digunakan nilai Wilk’s Lambda, yang tingkat
signifikansinya dibandingkan dengan tingkat signifikansi yang telah ditetapkan
yaitu a 0,05 (5 %). Kriteria yang diberikan adalah jika nilai signifikansi Wilk’s
Lambda > 0.05 maka hipotesis Ho diterima, yang menyatakan bahwa tidak
terdapat pengaruh dari semua perlakuan yang diterapkan terhadap respon yang
diamati. Selanjutnya, untuk melihat perlakuan-perlakuan yang berpengaruh nyata
terhadap perbedaan respon digunakan analisis varian (uji F), dengan
membandingkan nilai signifikansi uji F terhadap nilai signifikansi yang ditetapkan
yaitu a 0,05 (5 %). Hipotesis H0 adalah variable independen (kepadatan teritip
pada media yang berbeda-beda jenis dan warnanya) secara parsial tidak
berpengaruh nyata terhadap perbedaan variabel dependen (tingkat kedalaman dan
stasiun pengamatan). Namun apabila H0 ditolak, dilakukan Uji Lanjut Duncan.
Kriteria penolakan H0 jika nilai signifikansi Fhitung < a 0,05. Untuk menganalisa
data dengan Analisis Manova digunakan perangkat lunak program SAS.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Teritip Amphibalanus spp.
Teritip yang menempel pada setiap media penempelan selama pengamatan
berlangsung, secara keseluruhan merupakan teritip dari genera Amphibalanus spp.
Identifikasi terhadap teritip Amphibalanus spp. dilakukan hingga tahap genera
saja. Hal ini dikarenakan sulitnya untuk melakukan identifikasi lanjut hingga
tahap spesies bagi teritip dari genera Amphibalanus spp. yang masih dalam tahap
juvenile. Menurut Henry dan McLaughlin (1975), kekeliruan dalam
mengidentifikasi teritip dari genus Amphibalanus yang masih dalam fase juvenile
sangat sering terjadi. Hal ini dikarenakan masih banyak kesamaan morfologi
teritip jenis ini ketika dalam tahap juvenile. Beberapa spesies yang sangat
potensial mengalami kekeliruan dalam identifikasinya adalah Amphibalanus
improvisius, Amphibalanus reticulatus, Amphibalanus subalbidus dan
Amphibalanus venustus.
Dominasi teritip jenis Amphibalanus spp. ini cukup beralasan. Menurut
Boesono (2008), teritip dari genus Amphibalanus memiliki senyawa arthropodine
yang berguna untuk menarik atau mengundang teritip dari jenis yang sama untuk
menempel bahkan menumpuk pada substrat yang sama. Selain itu, dari
keseluruhan famili Balanidae, larva Amphibalanus spp. memiliki laju
pertumbuhan yang paling cepat, mudah untuk dibudidayakan serta dapat diduga
penempelannya pada kondisi statis khususnya jenis A. amphitrite, sehingga
Amphibalanus spp. merupakan jenis teritip yang paling sering dijumpai dan
digunakan pada penelitian ekologi organisme intertidal dan studi antifouling (Anil
et al. 2012). Pada media penempelan ditemukan juga biota-biota lain yang
menempel seperti alga cokelat (Phaeophyta), spons (Porifera) dan Ooyster
(Moluska). Namun keberadaan biota-biota selain teritip tersebut tidak menjadi
pokok pembahasan utama pada penelitian ini.

13

Gambar 3.1 Morfologi Cangkang Teritip Amphibalanus spp. a = Keseluruhan
Cangkang, b = Scuta (Kiri = Eksternal, Kanan = Internal), c = Terga
(Kiri = Eksternal, Kanan = Internal)
Amphibalanus spp. merupakan jenis teritip baran (acorn barnacle) yang
dicirikan dengan cangkang yang dibangun dan langsung menempel pada substrat.
Secara garis besar, habitat Amphibalanus spp. adalah perairan intertidal di daerah
beriklim tropis (Darwin 1854; Jones et al. 2000). Namun pada beberapa kasus,
teritip ini ditemukan di perairan laut lepas. Teritip tersebut menempel pada bendabenda terapung seperti sampah-sampah plastik dan patahan batang (Hansen 1990).
Adapun klasifikasi dari Amphibalanus spp. menurut Darwin (1854); Newman dan
Abbot (1980) dan Pitombo (2004) adalah sebagai berikut:
Superordo : Thoracica
Ordo
: Sessilia
Subordo
: Balanomorpha
Superfamili : Balainodea
Famili
: Balanidae
Genera
: Amphibalanus spp.
Cangkang teritip Amphibalanus spp. umumnya berbentuk kerucut atau
cenderung silinder dan memiliki 6 bagian cangkang (plates) yang mengelilingi
dan melindungi tubuhnya (Gambar 3.1). Pada bagian puncak terdapat lubang yang
melingkar dan sedikit bergerigi. Umumnya perbandingan tinggi cangkang
Amphibalanus spp. dengan lebar keseluruhan cangkang adalah 1:2. Pada
punggung cangkang terdapat garis lebar permanen yang membujur dan
menyempit pada puncak cangkang yang disebut radii (Pitombo 2004). Beberapa
jenis Amphibalanus spp. seperti A. reticulatus dan A. amphitrite terdapat
perbedaan warna yang nyata antara cangkang yang memiliki warna lebih cerah
dibandingkan radii. Berbeda halnya dengan A. improvisius, warna cangkang
serupa dengan warna radii (Zullo 1979). Bagian operculum, pada bagian
permukaan scutum terdapat adductor yang mencuat keluar dan sangat mencolok.
Panjang diameter dasar keseluruhan cangkang (basal margin) pada genera
Amphibalanus sangat beragam. Untuk diameter maksimal basal margin jenis A.
reticulatus dan A. Improvisius adalah 18 mm, sedangkan jenis A. amphitrite
adalah 30,2 mm (Henry and Mclaughlin 1975).

14

Kepadatan Teritip Amphibalanus spp.
Kepadatan Amphibalanus spp. pada setiap lokasi penelitian sangat beragam,
baik pada media penempelan atau pun pada pemberian warna media penempelan
yang berbeda. Selain itu, keragaman kepadatan Amphibalanus spp. juga terjadi
pada pemasangan media penempelan secara vertikal (perbedaan tingkat pasang
surut) dan horizontal (perbedaan stasiun penelitian). Secara keseluruhan, rata-rata
kepadatan Amphibalanus spp. tertinggi terdapat pada media penempelan dengan
jenis kayu yang tidak diberi pewarna atau warna asli. Secara horizontal, rata-rata
kepadatan tertinggi terdapat pada stasiun 1 pelabuhan Pelindo I dan stasiun 1 PPI
Purnama. Sedangkan secara vertikal, rata-rata kepadatan tertinggi terjadi pada
tingkat kedalaman 3 (tinggi rata-rata surut harian) dan tingkat kedalaman 2 (tinggi
rata-rata pasang harian). Hasil penghitungan rata-rata kepadatan Amphibalanus
spp. pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2, 3 dan 4.
Sedangkan untuk mengetahui grafik hasil penghitungan kepadatan Amphibalanus
spp. pada media kayu, media fiber dan media besi dapat dilihat pada Gambar 3.2;
3.3 dan 3.4.
Rata-rata kepadatan Amphibalanus spp. tertinggi pada media kayu terdapat
pada stasiun 2 pelabuhan Pelindo I yaitu 506,25 ind/m2. Kepadatan tertinggi
tersebut terdapat pada media kayu yang tidak diberi pewarna (Gambar 3.2a).
Sedangkan rata-rata kepadatan terendah terdapat pada stasiun 2 pelabuhan Pelindo
I yaitu 78,125 ind/m2. Kepadatan terendah tersebut terdapat pada media kayu
dengan warna putih (Gambar 3.2a).

Gambar 3.2 Kepadatan Teritip Amphibalanus spp. pada Media Kayu, (a.) di
Pelabuhan Pelindo 1, (b.) di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI)
Purnama, (c.) di Pelabuhan Angkatan Laut Bangsal Aceh.
Kepadatan teritip Amphibalanus spp. pada beberapa media kayu
dipengaruhi oleh adanya kompetisi perebutan ruang dengan biota lain. Biota yang
memiliki pengaruh besar terhadap kepadatan Amphibalanus spp. pada media kayu
dalam penelitian ini adalah cacing laut (marine borer worm). Ini ditandai dengan
tidak ditemukannya teritip yang menempel pada bagian media kayu yang terdapat

15

lobang gerek (bore holes). Selain itu, serangan cacing laut juga berpengaruh
terhadap usia media kayu (Lampiran 5). Keberadaan serangan cacing laut ditandai
oleh adanya penggerekan yang mula-mula tegak lurus terhadap serat kayu,
kemudian membelok sejajar serat kayu. Secara terus menerus organisme ini
memperpanjang lubang gereknya di dalam kayu dan dinding salurannya dilapisi
zat kapur. Intensitas serangan yang tinggi pada kayu akan menunjukkan kepadatan
populasi organisme tersebut di dalam kayu. Serangan ini disebut dengan serangan
Teredinidae (Muslich and Sumarni 2005).
Rata-rata kepadatan Amphibalanus spp. tertinggi pada media fiber terdapat
pada stasiun 1 pelabuhan Pelindo I yaitu 218,75 ind/m2. Kepadatan tertinggi
tersebut terdapat pada media fiber dengan warna merah (Gambar 3.3a).
Sedangkan rata-rata kepadatan terendah terdapat pada stasiun 2 pelabuhan Pelindo
I yaitu 25 ind/m2. Kepadatan terendah tersebut terdapat pada media fiber dengan
warna putih (Gambar 3.3a).

Gambar 3.3

Kepadatan Teritip Amphibalanus spp. pada Media Fiber, (a.) di
Pelabuhan Pelindo 1, (b.) di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI)
Purnama, (c.) di Pelabuhan Angkatan Laut Bangsal Aceh.

Secara keseluruhan, rata-rata kepadatan pada media fiber adalah yang
terendah dibandingkan dua media penempelan lainnya yaitu media kayu dan besi.
Berdasarkan grafik Gambar 3.3 terlihat bahwa beberapa media fiber tidak
memiliki nilai kepadatan atau sama dengan nol. Hal ini disebabkan karena pada
saat pengamatan akhir atau pengangkatan media terdapat beberapa media fiber
yang hilang dari tiang pengamatan, sehingga tidak diketahui nilai kepadatan teritip
yang telah menempel pada media tersebut. Selain itu, media fiber yang memiliki
nilai kepadatan yang tinggi pada umumnya terdapat alga yang telah menempel
dan menutupi sebagian permukaan media fiber (Lampiran 5). Hal ini
mengindikasikan bahwasannya terdapat hubungan antara kepadatan teritip dan
alga pada suatu substrat.
Penelitian terkait hubungan kepadatan teritip dan alga sebagai substrat teritip
telah banyak dilakukan oleh para peneliti. Namun begitu, penempelan teritip pada
permukaan dari berbagai jenis seaweed atau alga masih jarang terjadi (Nasrolahi

16

2012). Hal ini disebabkan oleh karena beberapa alga menghasilkan zat pencegah
pertumbuhan (inhibitor) bagi larva teritip seperti alga cokelat Fucus vesiculosus
yang memiliki kandungan phlorotannin (Brock et al. 2007) dan alga merah
Sphaerococcus coronopifolius yang memiliki kandungan LC50 yang juga
merupakan antifouling bagi larva teritip Amphibalanus amphitrite (Piazza 2010).
Namun hasil penelitian tersebut berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Nylund (1999) yang menyebutkan bahwa senyawa yang dihasilkan oleh alga
merah seperti Dilsea carnosa dan Delesseria sanguine yaitu Dimethylsulphoxid
(DMSO) justru menjadi stimulant bagi penempelan larva teritip Amphibalanus
improvisius.
Pada beberapa studi yang lain, bakteri biofilm yang bersimbiosis dengan
alga berpengaruh nyata terhadap penempelan larva biota invertebrata seperti
teritip bahkan melindungi alga dari serangan epibionts (Lau and Qian 1997;
Steinberg et al. 1998; Lachnit et al. 2010). Namun begitu, beberapa bakteri
biofilm juga memiliki pengaruh netral terhadap penempelan larva teritip
(Wieczorek et al. 1995). Hal ini juga diperkirakan berpengaruh terhadap
kepadatan penempelan teritip Amphibalanus spp. pada media penempelan fiber di
penelitian ini, dimana kandungan bakteri biofilm yang berkemungkinan masih
rendah, sehingga dapat ditemukan teritip yang menempel pada media fiber.

Gambar 3.4 Kepadatan Teritip Amphibalanus spp. pada Media Besi, (a.) di
Pelabuhan Pelindo 1, (b.) di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI)
Purnama, (c.) di Pelabuhan Angkatan Laut Bangsal Aceh.
Selanjutnya berdasarkan Gambar 3.4, rata-rata kepadatan Amphibalanus
spp. tertinggi pada media besi terdapat pada stasiun 1 pelabuhan Pelindo I yaitu
334.375 ind/m2. Kepadatan tertinggi tersebut terdapat pada media besi yang tidak
diberi pewarna atau warna asli (Gambar 3.4a). Sedangkan rata-rata kepadatan
terendah terdapat pada stasiun 2 pelabuhan AL Bangsal Aceh yaitu 21,875 ind/m2.
Kepadatan terendah tersebut terdapat pada media besi yang diberi pewarna putih
(Gambar 3.4c).

17

Tabel 3.1 Ringkasan Kepadatan Teritip Amphibalanus spp. pada 3 Jenis Media
Jenis Pelabuhan
PPI
Media Pelindo I Purnama

Pelabuhan
Angkatan Laut
Bangsal Aceh

Kayu

++++

+++

++

Fiber

+

++

+

Besi

++

++

+

Keterangan*
Media yang tidak diberi
warna pada tingkat
kedalaman 2 - 3
Media berwarna merah pada
tingkat kedalaman 3 - 4
Media berwarna merah dan
tidak diberi warna pada
Tingkat kedalaman 3

*Jenis dan warna media serta tingkat kedalaman yang memiliki kepadatan teritip tertinggi
Keterangan : + + + + = Rata-rata kepadatan teritip > 350 ind/m2
+ + + = Rata-rata kepadatan teritip 200 – 350 ind/m2
++
= Rata-rata kepadatan teritip 100 – 250 ind/m2
+
= Rata-rata kepadatan teritip < 100 ind/m2

Secara keseluruhan media penempelan, nilai kepadatan teritip
Amphibalanus spp. sangat beragam secara vertikal. Kepadatan tertinggi terdapat
pada tingkat kedalaman 2 (rata-rata tinggi permukaan laut saat pasang harian) dan
3 (rata-rata tinggi permukaan laut saat surut harian) yang termasuk ke dalam
kategori pasang surut harian (mid intertidal zone) di perairan Kota Dumai. Hasil
ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Minchinton dan Scheibling
(1993) yang menyatakan bahwa dari tiga tingkat pasang surut di Nova Scotia
Kanada, kepadatan tertinggi teritip jenis Semibalanus balanoides terdapat pada
zona mid intertidal atau tinggi pasang surut harian.
Keragaman kepadatan teritip secara vertikal dipengaruhi oleh faktor abiotik
dan biotik lingkungan (Scheletema 1974; Rittschof and Bonaventura 1986;
Rittschof et al. 1998, Khandeparker and Anil 2007). Namun lebih khusus lagi,
keragaman kepadatan secara vertikal ini diperkirakan berkaitan dengan sifat
fototaksis negatif atau kecenderungan menjauhi keberadaan cahaya larva teritip
yang juga termasuk dalam kategori plankton-hewani (zooplankton)
(Rohmimohtarto dan Juwana 2009; Setyobudiandi et al. 2009). Dimana
keberadaan cahaya merupakan ancaman bagi penglihatan larva teritip untuk
melakukan penempelan pada substrat. Hasil penelitian Hung et al. (2005)
menyatakan bahwa penempelan larva cyprid teritip memiliki tingkat kesuksesan
tertinggi pada perairan dengan radiasi UV-B yang rendah, sehingga secara
vertikal, populasi teritip di kolom perairan lebih tinggi dibandingkan populasi di
permukaan perairan. Selain itu, peristiwa pasang surut juga turut mempengaruhi
tingkat kesuksesan penempelan teritip pada substrat. Hal ini terkait dengan adanya
perbedaan lama masa perendaman dan masa terpapar (terekspos) matahari. Secara
umum, biota-biota aquatik penempel seperti teritip dan limpet cenderung
menempel pada substrat yang memiliki masa perendaman yang lebih panjang
dibandingkan masa terpapar matahari. Karena hanya pada masa perendaman,
teritip dapat memperoleh makanan-makanannya yang terdapat di kolom perairan.
Sedangkan pada saat terpapar matahari, seluruh aktivitas teritip dihentikan sebagai

18

bentuk adaptasi terhadap peristiwa pasang surut. Hal tersebut ditandai dengan
tertutupnya cangkang teritip yang berguna untuk menyimpan volume air di dalam
cangkang dan menurunnya metabolisme tubuh teritip hingga 70 %. Selanjutnya
perbedaan kecepatan arus antara permukaan dan kolom perairan serta konsentrasi
makanan secara vertikal juga mempengaruhi populasi teritip secara vertikal (Anil
et al. 2012).
Keterkaitan Kondisi Lingkungan dan Sebaran Spasial Teritip
Amphibalanus spp.
Hasil analisis komponen utama terhadap parameter biofisika kimiawi
lingkungan pesisir Kota Dumai pada matrik korelasi menunjukkan informasi
penting yang menggambarkan korelasi antar parameter terpusat pada dua sumbu
utama yaitu F1 dan F2. Kualitas informasi yang disajikan oleh kedua sumbu
masing-masing sebesar 44,67% dan 26,60% (Gambar 3.5). Sehingga ragam
karakteristik habitat teritip Amphibalanus spp. menurut stasiun penelitian
berdasarkan parameter biofisika kimiawi lingkungan dapat dijelaskan melalui dua
sumbu utama sebesar 71,27% dari ragam total. Hasil analisis komponen utama
juga disajikan ke dalam bentuk tabel yang dapat dilihat pada Lampiran 6.

Gambar 3.5

Diagram lingkaran korelasi antara parameter biofisika kimiawi
lingkungan pada sumbu 1 dan sumbu 2 (kiri) dan diagram sebaran
stasiun penelitian pada sumbu 1 dan 2 (kanan).

Analisis mengenai sebaran spasial kepadatan teritip Amphibalanus spp.
Berdasarkan kepadatan pada perlakuan jenis dan warna media yang berbeda
dilakukan dengan Analisis Koresponden (Correspondent Analysis, CA). Hasil
analisis menunjukkan bahwa informasi distribusi spasial kepadatan teritip
Amphibalanus sp. terpusat pada dua sumbu utama, yaitu F1 dan F2. Masingmasing sumbu memberikan kontribusi sebesar 59,80% (F1) dan 27,45% (F2).
Sehingga nilai ragam total dari data yang membentuk kedua sumbu tersebut
adalah sebesar 87,25%. Diagram analisis koreponden antara stasiun penelitian dan
kepadatan teritip amphibalanus sp. pada setiap media penempelan dapat dilihat
pada Gambar 3.6. Selain itu, hasil analisis koresponden yang disajikan ke dalam
bentuk tabel juga dapat dilihat pada Lampiran 7.

19

Gambar 3.6 Hasil analisis koresponden pada sumbu 1 (F1) dan sumbu 2 (F2)
Berdasarkan Gambar 3.5 dan 3.6, dapat diketahui bahwasannya terdapat 3
kelompok stasiun penelitian yang terbentuk karena memiliki karakteristik
lingkungan dan kepadatan teritip Amphibalanus spp. yang berbeda. Kelompok
individu I (pertama) terdiri atas stasiun 1 (P1S1) dan stasiun 2 pelabuhan Pelindo
I (P1S2) yang dicirikan oleh salinitas (28 ‰), pH (8) dan kekeruhan (2 NTU)
yang tinggi. Rata-rata kepadatan teritip Amphibalanus spp. pada kelompok ini
memiliki kepadatan teritip tertinggi dibandingkan kelompok lainnya, yang
terdapat pada media-media penempelan seperti media kayu yang tidak diberi
warna (KWA = 506 ind/m2), media fiber yang tidak diberi warna (FWA = 165
ind/m2), media besi yang tidak diberi warna (BWA = 334 ind/m2) dan media besi
bewarna merah (BWM = 206 ind/m2).
Tingginya salinitas, pH dan kekeruhan pada kelompok individu I tidak
terlepas dari adanya rutinitas kegiatan bongkar muat bahan CPO kering di
Pelabuhan Pelindo I. Namun begitu, kondisi lingkungan tersebut sangat
mendukung untuk kehidupan teritip. Kekeruhan perairan diketahui memiliki
kaitan erat terhadap ketersediaan makanan bagi larva teritip dalam fase nauplii,
yaitu fitoplankton dan tingginya kekeruhan perairan dapat melindungi larva
nauplii yang belum mampu untuk berenang dengan baik dari kanibalisme yang
dilakukan oleh teritip dewasa (Barnes 1962).
Konsentrasi salinitas perairan berpengaruh terhadap tekanan osmotik biotabiota yang hidup di dalamnya. Umumnya biota-biota tersebut memiliki
kandungan garam pada sel-selnya yang nilainya mendekati nilai salinitas perairan,
sehingga apabila sel-sel tersebut berada pada lingkungan perairan dengan nilai
salinitas berbeda, maka akan berdampak langsung terhadap osmoregulasi dari selsel tersebut. Salinitas pada Pelabuhan Pelindo I masih merupakan kisaran
optimum bagi kehidupan teritip. Kisaran salinitas yang dapat ditoleransi oleh
teritip adalah 10 ‰ (Anil et al. 1995) hingga 52 ‰ (Cohen 2005). Dari hasil
percobaan Anil et al. (1995), tingkat kematian larva teritip jenis Amphibalanus
amphitrite pada salinitas 10 ‰ mencapai 99%. Hal ini memiliki kaitan erat
dengan rendahnya ketersediaan makanan bagi larva teritip pada saat musim gugur
hingga awal musim dingin, dimana salinitas perairan mencapai 10 ‰, sehingga
diperkirakan terjadi perebutan makanan antara biota yang terdapat di perairan
tersebut. Sedangkan salinitas tertinggi yang dapat ditolerir oleh teritip adalah 52

20

‰. Teritip yang hidup pada salinitas tersebut adalah jenis Amphibalanus
amphitrite dan ditemukan pada saat pengamatan lapangan yang dilakukan oleh
Cohen pada tahun 2005 di pesisir barat San Fransisco.
Konsentrasi pH pada Pelabuhan Pelindo I juga masih berada dalam kisaran
optimum bagi kehidupan teritip Amphibalanus spp. Konsentrasi pH di perairan
memiliki pengaruh terhadap kehidupan organisme bentik (Kurihara et al. 2007;
Beesley et al. 2008; Wood et al. 2008; Dupont et al. 2008) khususnya teritip
(McDonald et al. 2009). Konsentrasi pH memiliki hubungan erat dengan
konsentrasi calcium carbonate (CaCO3) di perairan yang berguna sebagai bahan
pembentuk cangkang bagi beberapa organisme moluska dan crustacea. Menurut
McDonald et al. (2009), penurunan pH perairan laut dari 8.2 hingga 7.4 tidak
memberikan pengaruh terhadap kondisi larva, ukuran cyprid, penempelan cyprid
serta metarmofosis dari tahap juvenile hingga menjadi dewasa bagi teritip jenis
Amphibalanus amphitrite. Perubahan ditemukan pada saat pH berada di bawah
nilai 7.4 yang ditandai dengan perusakan, penurunan laju pertumbuhan dan
kalsifikasi pada cangkang teritip yang selanjutnya menyebabkan individu teritip
rentan terhadap serangan predator.
Kelompok individu II (kedua) terdiri atas stasiun 1 PPI Purnama