Formulasi Nanoemulsi Minyak Sawit dengan High-Pressure Homogenizer

FORMULASI NANOEMULSI MINYAK SAWIT
DENGAN HIGH-PRESSURE HOMOGENIZER

YANDA GENAKELA MARPAUNG

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

SUMBER

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Formulasi Nanoemulsi
Minyak Sawit dengan High-Pressure Homogenizer adalah benar karya saya`
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Yanda Genakela Marpaung
NIM F24090005

ABSTRAK
YANDA GENAKELA MARPAUNG. Formulasi Nanoemulsi Minyak Sawit
dengan High-Pressure Homogenizer. Dibimbing oleh TIEN R. MUCHTADI dan
SRI YULIANI.
Indonesia merupakan negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Salah satu
produk turunan minyak sawit yang dikembangkan adalah emulsi sawit karena -karoten
dalam minyak sawit memiliki kelarutan yang rendah dalam air dan mudah terdegradasi
dalam proses pengolahan. Penggunaan teknologi nano dalam pembuatan larutan
nanoemulsi minyak sawit ini dapat meningkatkan kelarutan dan bioavailibilitas di dalam
saluran pencernaan serta meningkatkan kestabilan emulsi. Pada penelitian ini diamati
pengaruh emulsifier Tween 20 dan Tween 80 sebanyak 10% dan 30% (b/b) basis
minyak serta kitosan 0%, 0.5%, dan 1% (b/b) basil emulsi, terhadap ukuran partikel dan

kestabilannya. Penggunaan Tween 80 mampu menghasilkan ukuran partikel dan
kestabilan -karoten yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan Tween 20.
Penggunaan emulsifier pada konsentrasi 30% menghasilkan ukuran partikel yang lebih
kecil dibandingkan dengan penggunaan konsentrasi 10%. Penggunaan kitosan hingga 1%
dapat meningkatkan ukuran partikel dan mencegah terjadinya oiling off, namun dapat
mempercepat terjadinya agregasi pada emulsi, dibandingkan dengan penggunaan kitosan
0.5%. Formula yang terpilih adalah penggunaan Tween 80 30% dan kitosan 0.5%
Kata kunci : emulsifier, kitosan, nanoemulsi, ukuran partikel, -karoten.

ABSTRACT
YANDA GENAKELA MARPAUNG. Palm Oil Nanoemulsion Formulation with
High-Pressure Homogenizer. Supervised by TIEN R. MUCHTADI and SRI
YULIANI.
Indonesia is the largest palm oil producer in the world. One of the palm oil
derivative products is palm oil emulsion as its -carotene solubility in water is low and
easily degraded through processing. The use of nanotechnology in the manufacture of
palm oil nano emulsion can improve its solubility in water, its bioavailibility in the
digestive tract, and emulsion stability. This study observed the effect of emulsifier Tween
20 and Tween 80 as much as 10% and 30% (w/w) oil base and chitosan 0%, 0.5%, and 1%
(w/v) emulsion base to the particle size and stability. The use of Tween 80 provided

better particle size and stability of -carotene than the use of Tween 20. The use of an
emulsifier at a concentration of 30% showed a smaller particle size compared with the
use of a concentration of 10%. The use of chitosan to 1% can increase the size of the
particles and prevent oiling off, but can accelerate the aggregation of the emulsion,
compared to 0.5% chitosan use. The selected formula is the use of 30% Tween 80 and 0.5%
chitosan.
Keywords: chitosan, emulsifier, nanoemulsion, particle size, -carotene

FORMULASI NANOEMULSI MINYAK SAWIT
DENGAN HIGH-PRESSURE HOMOGENIZER

YANDA GENAKELA MARPAUNG

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Dosen Penguji

Dr. Nur Wulandari, S.TP, M.Si

Judul Skripsi : Formulasi Nanoemulsi Minyak Sawit dengan High-Pressure
Homogenizer
Nama
: Yanda Genakela Marpaung
NIM
: F24090005

Disetujui oleh

Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS
Pembimbing I


Dr. Sri Yuliani, MT
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Feri Kusnandar, M.Sc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi: Formula; r _'anoemulsi Minyak Sawit dengan High-Pressure
Homogel ': r
Nama
: Yanda Genakela Marpaung
: F2409{JOO':;
NIM

Disetujui oleh


Prof. Dr. Ir. ie
Pembimbing I

Tanggal Lulus:

uchtadi MS

i

uliani,MT
Pembimbing II

PRAKATA
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kasih atas limpahan berkat dan
rahmat-Nya sehingga dapat diselesaikannya penulisan tugas akhir ini.
Penyelesaian tugas akhir ini tidak luput berkat dukungan dari semua pihak baik
secara langsung maupun tidak langsung, sehingga penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS dan Dr. Sri Yuliani selaku
pembimbing akademik yang terus memberikan perhatian, bimbingan,

dan motivasi hingga terselesaikannya penulisan tugas akhir ini. Terima
kasih pula untuk semua tenaga pengajar, laboran, dan pegawai di Institut
Pertanian Bogor.
2. Ayahanda Kristian Marpaung, Ibunda Julinda Silitonga, Frans Best
Soma M, Lodewik Fraus Seran M, Petryako YRM, dan keluarga besar
penulis, atas perhatian, doa, dan segenap usaha mereka untuk terus
mendukung penulis selama masa studi di Institut Pertanian Bogor.
3. Gloria Maria FP, Nikko Dwijayasastra, Satrya Dharmawan, Ilham Gelar
S, Henry, Martha Theresia, Vini Muham, Vici Muham, Vera Linda,
Citra Irene, Bayu Aji Pamungkas, Kadek DP, dan teman-teman Mikha,
sebagai keluarga kecil selama di Bogor. Teman-teman seperjuangan ITP
46 Cicely N, Mutiara, Pricilia, Charles, Ardy, Iyan A, Lina S, Olga
Ance, dan seluruh teman-teman sesama pengajar TOGA. Rachel Irene
Simatupang dan Raki Ardi Ruhiyatman teman satu pembimbing.
4. Pihak Women International Club yang telah memberikan bantuan dana
serta motivasi selama masa pendidikan di IPB.
5. Direktur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (DIKTI),
atas bantuan pembiayaan penelitian melalui Hibah Kompetensi Nomor
035/SP2H/PL/DIT.LIT ABMAS/V/2013.

6. Indofood Riset Nugraha yang juga telah memberikan bantuan pembiayaan
penelitian ini.
7. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu, baik yang secara
langsung maupun tidak langsung telah membantu penyelesaian studi dan
penulisan tugas akhir ini.
Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak
dan dapat berdampak terhadap pengembangan ilmu dan teknologi di masa yang akan
datang.

Bogor, Januari 2014
Yanda Genakela Marpaung

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi


DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2


Minyak Sawit

2

Karotenoid

3

Emulsi

4

Nanoemulsi

5

Homogenisasi

5


METODOLOGI

7

Bahan

7

Alat

7

Metode

7

Metode Analisis

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

13

Analisis Proksimat Minyak Sawit Kasar

13

Formulasi Nanoemulsi Minyak Sawit Kasar

13

Analisis Freeze-Thaw Stability

16

Analisis -Karoten dan Warna Emulsi pada Formula Terpilih

19

SIMPULAN DAN SARAN

20

Simpulan

20

Saran

21

DAFTAR PUSTAKA

21

LAMPIRAN

25

RIWAYAT HIDUP

29

DAFTAR TABEL
1 Perbandingan dan Perbedaan Tipe Alat Homogenisasi (McClements
2004)
2 Ukuran partikel emulsi dan indeks dispersi emulsi pada penggunaan
emulsifier Tween 20 dan Tween 80
3 Nilai %keterpisahan pada lima siklus freeze-thaw
4 Perubahan warna emulsi selama masa penyimpanan pada formula
terpilih
5 Perubahan konsentrasi -karoten selama masa penyimpanan pada
formula terpilih

6
14
17
20
19

DAFTAR GAMBAR
1

Pemisahan emulsi formula Tween 20 30% Kitosan 0.5% pada siklus
freeze-thaw stability.

18

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Diagram alir proses degumming CPO (Mas’ud β007)
Diagram Alir Formulasi Minuman Nanoemulsi
Analisis multivariat ukuran partikel dan PDI
Analisis multivariat pada analisis freeze-thaw stability

25
26
27
28

PENDAHULUAN
Sejak tahun 2009 Indonesia telah menjadi negara produsen minyak sawit
terbesar di dunia. Pada tahun 2010 Departemen Pertanian Indonesia (Ditjenbun
2011) menyatakan bahwa produksi minyak sawit kasar Indonesia mencapai 19.85
juta ton. Komoditi ini merupakan penyumbang devisa non migas terbesar ketiga
bagi negara (Sastrosayono 2009). Hingga saat ini produk hilir kelapa sawit yang
dihasilkan industri berupa asam lemak, asam lemak distilat, gliserin, refined
bleached deodorized (RBD), minyak goreng, margarin, shortening, sabun,
kosmetika (Goenadi 2005).
Minyak sawit memiliki banyak keunggulan. Keunggulan utama minyak
sawit adalah kandungan mikronutrien yang tinggi sehingga memiliki potensi
untuk dikembangkan menjadi healthy oil, yang diproses dan dikendalikan
sedemikian rupa sehingga kandungan nutrisinya dapat dimanfaatkan untuk
kesehatan. Nilai biologis yang dapat diperoleh dari minyak sawit antara lain
sebagi prekursor vitamin A, senyawa anti kanker, menanggulangi kebutaan akibat
xeropthalmia, meningkatkan kekebalan tubuh, dan lain sebagainya (D’Odorico et
al. 2000; Rodriguez-Amaya dan Kimura 2004, von Lintig 2010).
Minyak sawit mengandung banyak komponen antioksidan seperti
karotenoid lutein, zeaxanthin, tokoferol dan tokotrienol yang berkisar antara 600–
1000 μg/g (Azlan et al. 2010). Kandungan karotenoid di dalam minyak sawit yang
umumnya didominasi oleh komponen -karoten (sebanyak 60%) berkisar antara
500-γ500 μg/g (Mortensen β005). Kandungan komponen -karoten pada minyak
sawit ditemukan paling tinggi dibandingkan pada bahan pangan lainnya.
Namun pencampuran -karoten di dalam bahan pangan memiliki beberapa
kelemahan yang menyebabkan penggunaan bahan fungsional ini terbatas
digunakan (Acosta 2009). Bahan ini memiliki kelarutan yang rendah di dalam air,
serta memiliki bioavailibilitas dan stabilitas yang rendah (Qian et al. 2012).
Senyawa -karoten umumnya cenderung mudah terdegradasi oleh proses
pengolahan dan penyimpanan yang dipengaruhi oleh efek kimia (oksigen dan
bahan pengoksida), mekanik (cahaya), dan suhu (Mao et al. 2009; Yuan et al.
2008).
Sistem nanoemulsi dapat meningkatkan bioavailibilitas di dalam saluran
pencernaan karena ukuran partikel yang kecil dan rasio antara luas permukaan dan
volumenya yang tinggi (Acosta 2009), mudah untuk diangkut dan diserap
melewati saluran pencernaan sehingga mudah digunakan tubuh sebagai sebagai
substrat dari liposom dan vesikel tubuh (Liu 2012).
Sistem emulsi dapat mengurangi degradasi -karoten. Keberadaan lapisan
pada permukaan droplet yang menyelubungi emulsi dapat menjaga konsentrasi
dan sifat fungsional -karoten di dalam emulsi (Acosta 2009). Aplikasi teknologi
nanoemulsi pada bahan pangan dapat memodifikasi karakteristik makro bahan
pangan seperti atribut sensori, meningkatkan kelarutan bahan dalam air, stabilitas
termal, dan bioavailibilitas bahan fungsional pada pangan (Huang et al. 2010;
McClements et al. 2009, 2007).
Berdasarkan komposisi jenis asam lemaknya, minyak sawit tersusun atas
asam lemak rantai panjang. Asam lemak dominan yang terdapat pada minyak
sawit adalah asam palmitat (C16:0) dan asam oleat (C18:1) (Kateren 2005). Qian

2
et.al (2012) menyatakan bahwa sistem nanoemulsi -karoten dengan carier
minyak dengan rantai panjang dapat meningkatkan daya serap -karoten yang
lebih baik dibandingkan penggunaan dengan minyak jenis lain. Penambahan
kitosan pada larutan nanoemulsi teramati mampu meningkatkan kemampuan
hidrofilik partikel nano dan meningkatkan translokasinya pada dinding usus
(Hussain et al. 2001).
Untuk menghasilkan partikel nanoemulsi dengan ukuran minimum terdapat
beberapa faktor yang perlu dikontrol. Menurut Mason (2007) faktor yang perlu
diperhatikan dalam pembuatan nanoemulsi adalah pemilihan formula yang tepat
(jenis pengemulsi dan konsentrasi fase kontinu), kontrol terhadap urutan
penambahan bahan, dan besar gaya yang paling efektif untuk memperkecil ukuran
partikel.
Pada formulasi larutan nanoemulsi minyak sawit digunakan dua jenis
emulsifier yaitu Polioxyethylene sorbitan monolaurate atau Tween 20 dan
Polyethylene glycol sorbitan monooleate atau Tween 80 pada konsentrasi 10%
dan 30% (b/b) basis minyak. Bahan emulsifier ini merupakan bahan surfaktan
yang bersifat nonionik dan memiliki nilai hidrophylic-lipophylic balance (HLB)
antara 15-17 (McClements 2004) yang menunjukkan emulsifier yang digunakan
sesuai untuk sistem emulsi minyak dalam air o/w.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menentukan formulasi larutan nanoemulsi
berbasis minyak sawit dengan mengkaji jenis dan konsentrasi emulsifier dengan
atau tanpa bahan penstabil kitosan menggunakan alat high pressure-homogenizer.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai formulasi
nanoemulsi minyak sawit yang dapat dikembangkan menjadi produk healthy
drink.

TINJAUAN PUSTAKA
Minyak Sawit
Minyak sawit merupakan minyak hasil ekstraksi dari serabut daging (epikarp
dan mesokarp) dan inti biji tanaman (endokarp dan endosperma) buah sawit. Dari
dua bagian buah yang berbeda tersebut dapat diperoleh dua jenis minyak sawit
yang berbeda jenis yaitu minyak inti (endosperma) sawit dan minyak sawit yang
berasal dari serabut buah. Pengolahan mesokarp menjadi minyak sawit dilakukan
melalui tahap ekstraksi, pemurnian, dan fraksinasi. Secara umum, ekstraksi
dilakukan dengan cara pengepresan. Pemurnian dilakukan dengan cara
menghilangkan gum dan kotoran lain, penyabunan untuk memisahkan asam
lemak bebas, pemucatan untuk menghilangkan warna merah minyak, dan
selanjutnya deodorisasi untuk menghilangkan bau minyak selanjutnya dilakukan

3
fraksinasi untuk memisahkan fraksi padat dengan fraksi cair minyak yang
dilakukan melalui proses pendinginan (Ketaren 2005).
Untuk mempertahankan warna merah pada minyak sawit serta
mempertahankan kandungan -karoten di dalmamnya, maka pada proses
pengolahannya minyak sawit ini tidak melalui proses bleaching atau pemucatan.
Metode ekstraksi untuk memperoleh minyak sawit merah dengan kandungan
karotenoid tinggi selain pengendalian proses pemucatan pada ekstraksi
konvensional adalah ekstraksi dengan hydraulic pressure, distilasi molekuler,
ekstraksi fluida super kritik, dan ekstraksi menggunakan pelarut yang tepat.
Warna merah yang terkandung di dalam minyak sawit tidak hanya banyak
mengandung karotenoid dan tokoferol yang baik bagi kesehatan. Karotenoid dan
tokoferol merupakan komponen bioaktif yang bersifat antioksidan. Karotenoid
memiliki dampak bagi kesehatan karena mampu mencegah dan menjaga dari
penyakit berbahaya seperti kanker, penyakit kardiovaskular, dan lain-lain (Lam et
al. 2001). Selain bersifat sebagai antioksidan, karotenoid dan tokoferol di dalam
minyak sawit merah secara fisiologis juga aktif sebagai vitamin A dan E. Untuk
pemanfaatannya minyak sawit merah tidak dianjurkan digunakan sebagai
pengganti minyak nabati dalam pengolahan pangan yang menggunakan suhu
tinggi. Hal ini disebabkan oleh tidak stabilnya komponen antioksidan di dalam
minyak sawit merah pada suhu tinggi yang dapat mendegradasi komponen aktif
tersebut (van Buggenhout et al. 2010).
Karotenoid
Karotenoid merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning, jingga,
merah jingga yang larut dalam senyawa nonpolar (Winarno 2004). Kemampuan
karotenoid untuk dapat larut di dalam senyawa lainnya menyebabkan senyawa ini
disebut senyawa lipofilik, dan larut dalam pelarut lemak lainnya. Karotenoid juga
bersifat sangat peka terhadap oksidasi, otooksidasi, dan cahaya (van Buggenhout
et al. 2010) walaupun bersifat tahan panas jika dalam keadaan vakum.
Komposisi karotenoid dalam minyak sawit terutama adalah -karoten (6065%) dan α-karoten (30-35%) (Ketaren 2005). Karotenoid memiliki peran
fungsional sebagai pro vitamin A. Disebut sebagai pro vitamin A karena dalam
tubuh, karotenoid terutama -karoten dapat diubah menjadi vitamin A dengan
bantuan enzim 15,15' -karotenoid oksigenase. Vitamin A berfungsi untuk
mencegah penyakit katarak dan kebutaan, sebagai antioksidan dan anti radikal
bebas, serta untuk meningkatkan imunitas tubuh (Sundram 2007).
1.
2.
3.
4.

Sundram (2007) menggolongkan karotenoid menjadi empat golongan yaitu:
Karotenoid hidrokarbon C40H56; yang termasuk golongan ini adalah α-, -,
-, karoten dan likopen.
Xantofil dan derivat karoten yang mengandung oksigen dan gugus hidroksil
(C40H55OH); yang termasuk golongan ini adalah criptonxanthin, capsanthin,
torularhodin, dan lutein (C40H54(OH)2).
Ester xantofil yaitu ester xantofil asam lemak seperti zeaxanhtin.
Asam karotenoid yaitu derivat karotenoid yang mengganggu gugus
karboksil.

4
Dibandingkan dengan jenis karoten lainnya, komponen -karoten memiliki
potensi relatif terhadap vitamin A yang paling tinggi dibandingkan dengan αkaroten dan -, karoten. Pada umumnya di dalam bahan pangan segar bentuk
karotenoid yang paling lazim dijumpai berada pada bentuk -karoten. Di dalam
buah-buahan atau sayuran karoten dijumpai dalam bentuk kompleks dengan
protein atau teresterifikasi di dalam asam lemak yang menyebabkannya lebih
stabil jika dibandingkan di dalam sawit mentah.
Bentuk isomer karoten memengaruhi aktivitas vitamin A. Marx et al. (2003)
menyatakan bahwa bentuk trans dari -karoten memiliki derajat aktivitas yang
lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk cis. Isomerasi dalam karoten dapat
berlangsung pada suhu kamar, namun reaksi yang terjadi sangat kecil dan
berpengaruh kecil pada aktivitas vitamin A. Derajat isomerisasi pada beta karoten
berbanding lurus terhadap peningkatan suhu dan lamanya masa simpan (Yuan et
al. 2007).
Senyawa karotenoid memiliki struktur yang tersusun dari ikatan konjugasi
yang mudah mengalami oksidasi secara acak pada ordo reaksi pertama. Namun
senyawa ini memiliki aktivitas provitamin A dan dinyatakan sebagai nilai Retinol
Equivalen (RE). Persentase -karoten yang dapat diubah menjadi vitamin A
sekitar 60-70% (Bender 2006).
Emulsi
Emulsi merupakan sistem seimbang antara dua atau lebih fase yang tidak
tercampur dan salah satu fase terdispersi terhadap fase yang lain. Fase yang
terdispersi disebut sebagai fase internal atau fase diskontinu dan fase yang lainnya
disebut sebagai fase pendispersi atau fase kontinu. Ukuran partikel emulsi
umumnya berkisar antara 0.1-50 µm (Mao dan McClements 2011). Salah satu
fase di dalam sistem emulsi mempunyai karakter lipofilik dan fase yang lain
bersifat hidrofilik. Untuk mengimbangkan sistem tersebut dibutuhkan emulsifier
sebagai senyawa yang mengandung gugus hidrofilik dan lipofilik.
Emulsi dapat diklasifikasikan berdasarkan komposisi dan morfologinya.
Emulsi yang fase kontinunya adalah air dan fase terdispersinya minyak disebut
sebagai emulsi o/w. Surfaktan yang digunakan pada emulsi ini harus dapat larut di
dalam air dan lebih stabil pada kondisi polar. Selain itu emulsi yang fase
kontinunya adalah minyak disebut sebagai emulsi w/o. Surfaktan yang digunakan
pada emulsi ini harus mampu larut dan lebih stabil pada kondisi nonpolar
(McClements 2004).
Mason (2007) menyatakan semakin kecil ukuran partikel emulsi yang dapat
dibentuk semakin besar pula stabilitasnya dalam penyimpanan. Semakin besar
ukuran partikel emusi yang terbentuk maka gaya gravitational separation
semakin besar, hal ini menunjukkan kestabilan emulsi semakin kecil. Untuk dapat
membentuk partikel yang kecil maka dibutuhkan energi yang lebih besar
dibandingkan dengan emulsi dengan ukuran yang lebih besar. Energi yang
diberikan untuk memecah droplet emulsi dapat diberikan melalui tekanan atau
dengan kombinasi suhu selama proses.

5
Nanoemulsi
Nanoemulsi merupakan senyawa emulsi antara senyawa minyak dan air atau
sebaliknya, yang struktur ukuran partikelnya berkisar antara 30-300 nm (Silva et
al. 2012). Sistem pada nanoemulsi tersusun atas fase lemak yang terdispersi fase
kontinyu berupa dan dikelilingi oleh membran tipis dari surfaktan. Partikel
nanoemulsi lebih stabil terhadap separasi dan agregasi karena ukuran partikelnya
yang kecil (McClements 2007).
Untuk menghasilkan partikel nanoemulsi dengan ukuran minimum terdapat
beberapa faktor yang perlu dikontrol. Menurut Qian dan McClements (2010)
faktor-faktor tersebut antara lain adalah tipe alat homogenisasi, kondisi
pengoperasian alat homogenisasi (besar energi, jumlah pengumpanan, waktu
pengoperasian, dan suhu), komposisi sampel (tipe lemak yang ditambahkan,
konsentrasi dalam produk), dan karakter bahan yang dicampurkan (tegangan
permukaan dan viskositas). Menurut Mason (2007) faktor yang perlu diperhatikan
dalam pembuatan nanoemulsi adalah pemilihan formula yang tepat (jenis
pengemulsi dan konsentrasi fase kontinyu), kontrol terhadap urutan penambahan
bahan, dan besar gaya yang paling efektif untuk memperkecil ukuran partikel.
Dalam melakukan analisis dan identifikasi karakteristik partikel nanoemulsi
digunakan beberapa metode. Menurut Silva et al. (2012) ada tiga metode untuk
melakukan identifikasi dan karakterisasi nanoemulsi yaitu teknik separasi, teknik
karakterisasi sifat fisik, dan teknik pencitraan.
a. Teknik pemisahan merupakan identifikasi nanoemulsi dengan mengisolasi
partikel nanoemulsi dari matriks atau makromolekul bahan pangan dan
mengelusikannya pada detektor. Contoh dari teknik ini adalah metode
kromatografi dan field flow fractionation.
b. Karakterisasi sifat fisik merupakan teknik yang digunakan untuk
mengidentifikasi karakter nanoemulsi dari sifat fisiknya seperti ukuran
partikel, distribusi partikel, potensi zeta, dan kemampuan kristalisasi
nanoemulsi. Contoh metode dari teknik ini antara lain adalah Dynamic Light
Scattering, Zeta Potential, Differential Scanning Calorimetry, Fourier
Transform Infrared, Nuclear Magnetic Resonance, X-Ray Diffraction, dan
Small-Angle X-ray Scattering.
c. Teknik Pencitraan merupakan teknik identifikasi ukuran, bentuk, dan bentuk
agregasi partikel nanoemulsi menggunakan mikroskop. Jenis mikroskop yang
digunakan dalam metode ini adalah Transmission Electron Microscopy dan
Scanning Electron Microscopy.
Homogenisasi
Homogenisasi merupakan proses mengubah dua cairan yang sifatnya
immicible (tidak bercampur) menjadi sebuah emulsi, dan alat yang digunakan
untuk melakukan proses ini disebut homogenizer. McClements (2004)
menyatakan homogenisasi merupakan proses pengecilan ukuran dan
meningkatkan jumlah partikel padat atau cair fase terdispersi dengan gaya geser
(shearing force) untuk meningkatkan kestabilan dua zat. Berdasarkan sifat dasar
bahan awalnya, sistem homogenisasi dibagi menjadi 2 kategori yakni
homogenisasi primer dan homogenisasi sekunder. Pemilihan homogenizer untuk

6
aplikasi bergantung beberapa faktor, yaitu volume sampel yang dihomogenisasi,
keluaran yang dinginkan, konsumsi energi, karakteristik komponen fasenya, dan
prediksi biaya proses.
Dalam pembuatannya, sistem homogenisasi nanoemulsi digolongkan menjadi
dua berdasarkan besar energi yang digunakan yaitu emulsifikasi energi tinggi dan
energi rendah (Acosta 2009). Emulsifikasi energi tinggi merupakan teknologi
nanoemulsi dengan energi mekanik tinggi yang memisahkan fase minyak-air dan
membentuknya menjadi droplet. Teknologi nanoemulsi yang digolongkan pada
emulsifikasi energi tinggi ini adalah homogenisasi dengan high-pressure valve,
micro-fluidizers, dan ultrasound. Nanoemulsifikasi dengan energi rendah
merupakan teknologi nanoemulsi yang didasarkan pada metode pembentukan
emulsi secara spontan setelah keadaan emulsinya diubah. Contoh dari nanoemulsi
energi rendah adalah emulsifikasi membran, solvent demixing, dan phase
inversion (Silva et al. 2012). Perbedaan dan perbandingan beberapa alat
homogenisasi yang sering digunakan dalam industri pangan dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Perbandingan dan Perbedaan Tipe Alat Homogenisasi (McClements
2004)
Tipe
Produksi
Energi
Viskositas Sampel
High-speed blender

Batch

Rendah

Rendah ke sedang

Colloid mill

Continuous

Sedang

Sedang ke tinggi

High-pressure
homogenizer
Ultrasonic probe

Continuous

Tinggi

Rendah ke sedang

Batch

Rendah

Rendah ke sedang

Ultrasonic jet
homogenizer
Micro-fluidizer

Continuous

Tinggi

Rendah ke sedang

Continuous

Tinggi

Rendah ke sedang

Membrane processing

Batch atau
Continuous

Tinggi

Rendah ke sedang

Pada penelitian ini digunakan high-pressure homogenizer sebagai alat
homogenisasi dalam pembuatan produk nanoemulsi. Keuntungan yang terdapat
pada alat ini dibandingkan dengan metode lain adalah besar ukuran partikel
ditentukan berdasarkan besar energi yang dihasilkan dan viskositas larutan yang
digunakan. Alat high-pressure homogenizer dapat menghasilkan energi tinggi
dalam menghomogenisasi sampel sehingga mampu menghasilkan droplet dengan
ukuran hingga kurang dari 0.1µm. Emulsi kasar yang diumpankan pada alat ini
dapat diatur ukurannya dengan memvariasikan ukuran katup dan tekanannya.

7

METODOLOGI
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak sawit kasar atau
Crude Palm Oil (CPO), aquades, polyoxythylene sorbitan monolaurat (Tween
20), polyoxythylene sorbitan monooleate (Tween 80)
(Sigma,USA), larutan
buffer fosfat 10 mM, kitosan, dan asam asetat glasial.
Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain ultra-turrax
homogenizer (model L4R, Silverson Co., England), high-pressure homogenizer
(model NS2002H TWP600, GEA Niro Soavi, Italia), High Performance Liquid
Chromatography (HPLC) Chromameter Minolta CR 300 (Minolta Camera, Co.
Japan. 82281029), mixer tangan, penangas, freezer, neraca analitik, komputer,
dan alat-alat gelas.
Metode
Pada penelitian ini digunakan CPO sebagai komponen utama yang
diemulsikan. CPO yang digunakan merupakan fraksi cair minyak yang
sebelumnya terpisah dari bagian yang mengendap. Pada tahap awal penelitian
dilakukan proses degumming pada fraksi cair CPO untuk menghilangkan getah
dan logam berat pada minyak (Mas’ud β007). Sebanyak 1 L minyak sawit kasar
dipanaskan pada suhu 80 C, kemudian ditambahkan asam fosfat 85% sebanyak
0.15% (v/v). Kemudian dilakukan pengadukan selama 15 menit dengan kecepatan
56 rpm, didinginkan pada suhu ruang, dipisahkan, dan dihasilkan dua produk,
yaitu endapan dan minyak sawit hasil degumming (Lampiran 1). Setelah itu
dilakukan analisis proksimat terhadap minyak sawit yang telah di- degumming
dan dibandingkan dengan standard SNI.
Metode yang digunakan pada penelitian ini merupakan metode modifikasi
terhadap penelitian pembuatan produk nanoemulsi oleh Tan dan Nakajima (2005).
Tan dan Nakajima (2005) melakukan formulasi nanoemulsi menggunakan
konsentrat -karoten yang dilarutkan ke dalam larutan heksana. Perbandingan
bahan organik dan polar yang digunakan adalah 1:9 dan 2:8 pada tekanan 60-140
MPa dan sebanyak tiga kali pengumpanan kembali. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut diperoleh hasil bahwa perbandingan antara bahan minyak dan bahan
polar yang menghasilkan ukuran droplet terkecil adalah perbandingan 1:9 (b/b).
Modifikasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah besar tekanan yang
digunakan hanya 600 Bar sesuai dengan kapasitas maksimum alat high-pressure
homogenizer (model NS2002H TWP600, GEA Niro Soavi, Italia). Bahan yang
digunakan merupakan minyak sawit yang mengandung -karoten, dan
pengumpanan dilakukan sebanyak lima kali pengulangan. Pengumpanan ulang
sebanyak lima kali dilakukan untuk meningkatkan homogenitas dispersi ukuran
partikel emulsi (Yuan et. al 2008). Bahan pengemulsi yang digunakan pada
penelitian ini adalah Tween 20 dan Tween 80. Penggunaan Tween sebagai bahan

8
pengemulsi disebabkan bahan pengemulsi ini cocok dan dapat digunakan untuk
menghasilkan droplet emulsi ukuran nano pada emulsi o/w (Yuan et. al 2008).
Modifikasi lain yang dilakukan adalah konsentrasi bahan pengemulsi sebesar 10%
dan 30% (b/b) dari bobot minyak, dan penambahan kitosan sebagai bahan
penstabil emulsi. Menurut Yuan et al. (2008) penggunaan Tween pada 10% (b/b)
dari bobot minyak menghasilkan ukuran partikel terbaik pada konsentrat karoten. Diagram alir proses formulasi dapat dilihat pada Lampiran 2.
Pada penelitian ini konsentrasi kitosan yang digunakan adalah 0%, 0.5%,
dan 1% (b/v) basis emulsi total. Hal ini karena penggunaan kitosan lebih dari 1%
dapat menurunkan stabilitas emulsi (Klinkesorn dan Namatsila 2008). Larutan
kitosan terlebih dahulu dipersiapkan dengan melarutkannya di dalam larutan asam
asetat glasial 1%. Larutan kitosan dipersiapkan secara terpisah antara 0.5% dan
1%. Larutan untuk kitosan 0.5% (Larutan Kitosan A) dipersiapkan dengan
melarutkan 12.5 g kitosan pada larutan asam asetat 1% dan ditepatkan hingga 500
mL. Larutan untuk kitosan 1% (Larutan Kitosasan B) dipersiapkan dengan
melarutkan 25 g kitosan pada larutan asetat 1% dan ditepatkan hingga 500 mL.
Masing-masing larutan ditambahkan pada larutan emulsi sebanyak 100 mL pada
basis emulsi 500 mL, sehingga diperoleh larutan kitosan akhir sebesar 0.5% dan
1% (b/v) basis emulsi.
Formulasi dilakukan dengan terlebih dahulu mencampurkan emulsifier
Tween 20 dan Tween 80 pada konsentrasi 10% dan 30% (b/b) basis minyak ke
dalam air buffer 10 mM kemudian menepatkan basis bobot larutan. Bahan
emulsifier kemudian dilarutkan menggunakan mixer tangan selama 30 detik pada
kecepatan putar 1000 rpm. Minyak sawit yang telah di-degumming kemudian
dihomogenisasi dengan bahan polar secara perlahan-lahan hingga perbandingan
minyak dan bahan polar sebanyak 1:9 (b/b). Pada proses homogenisasi awal
digunakan ultra-turrax homogenizer (model L4R, Silverson Co., England) selama
lima menit untuk membentuk emulsi kasar. Bahan emulsi kasar kemudian
dihomogenisasi kembali menggunakan high-pressure homogenizer (model
NS2002H TWP600, GEA Niro Soavi, Italia) untuk membentuk nanoemulsi pada
tekanan 600 Bar sebanyak lima kali pengumpanan kembali.
Emulsi tersebut kemudian dicampur dengan bahan kitosan pada konsentrasi
0%, 0.5%, dan 1% (b/v) basis emulsi total. Pada basis emulsi sebanyak 500 mL,
pencampuran kitosan dilakukan dengan mencampurkan larutan kitosan sebanyak
100 mL di dalam 400 mL larutan emulsi sawit pada masing-masing larutan
kitosan yang telah dipersiapkan. Pencampuran dengan kitosan dilakukan secara
perlahan menggunakan ultra-turrax homogenizer selama dua menit.
Dari formulasi tersebut kemudian diperoleh dua belas jenis formula yang
berbeda untuk dianalisis. Analisis ukuran partikel dilakukan dengan menggunakan
metode Dynamic Light Scatter (DLS) dengan alat Particle Size Analyzer (Vasco
Australia). Kestabilan emulsi dianalisis dengan menggunakan metode freeze-thaw
stability sebanyak lima siklus.
Analisis kemudian dilanjutkan dengan analisis warna dan kadar -karoten
pada formula terpilih. Sampel yang terpilih terlebih dahulu disimpan dalam botol
gelap, disimpan di dalam kotak kedap cahaya pada suhu ruang. Sampel kemudian
diamati pada 15 hari dan 45 hari.

9
Metode Analisis
Kadar Air, Metode Oven (AOAC 1995)
Bahan yang akan diukur kadar airnya, sebanyak 1-2 g emulsi, ditimbang
dalam cawan aluminium yang sudah disiapkan pada tahap sebelumnya. Bahan
beserta cawan dikeringkan dalam oven selama 6 jam pada suhu 105C. Kemudian
didinginkan dalam desikator dan ditimbang bobotnya.
(

Kadar air (g/100g basis basah)
Keterangan:
W
W1
W2

β)

1

100

= bobot contoh sebelum dikeringkan (g)
= bobot contoh + bobot cawan kosong sesudah dikeringkan (g)
= bobot cawan kosong (g)

Kadar Abu, Metode Gravimetri (SNI 01-2891-1992)
Sebanyak 2-3 g bahan dikeringkan dengan cawan porselen yang sudah
dihitung bobotnya terlebih dahulu. Bahan dimasukkan ke dalam tanur listrik pada
suhu 550 C hingga pengabuan sempurna. Bahan kemudian didinginkan di dalam
desikator dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap.
Kadar abu (g/100g basis basah)
Keterangan:
W
W1
W2

(

1

β)

100

= bobot contoh sebelum diabukan (g)
= bobot contoh + cawan sesudah diabukan (g)
= bobot cawan kosong (g)

Kadar Protein, Metode Kjeldahl (AOAC, 1995)
Bahan yang akan diuji ditimbang sebanyak 1.0-2.5 mg kemudian
ditambahkan 1.0 + 0.1 g K2SO4, 40 + 10 mL HgO, dan 2.0 + 0.1 mL H2SO4,.
Larutan ini kemudian dididihkan hingga larutan menjadi jernih. Labu didinginkan
dan ditambahkan sedikit air destilata. Hasil destruksi yang diperoleh kemudian
dituang ke dalam alat destilasi. Labu Kjeldahl dibilas dengan 1-2 mL air destilata,
kemudian air cuciannya dimasukkan ke dalam alat destilasi, pembilasan dilakukan
sebanyak 5-6 kali. Ditambahkan 8-10 mL larutan 60% NaOH – 5%
Na2S2O3.5H2O ke dalam alat destilasi. Kemudian dilakukan destilasi selama 15
menit atau sampai volume larutan dalam wadah penampung mencapai 50 mL.
Destilat ditampung dalam wadah penampung yang berisi 5 mL H3BO3 yang telah
dicampur dengan 2 - 4 tetes indikator metil biru:metil merah. Larutan yang
diperoleh dari proses destilasi kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai
terjadi perubahan warna dari hijau menjadi abu-abu.Volume yang diperoleh
dicatat untuk digunakan dalam perhitungan kadar protein. Volume HCl yang
digunakan untuk titrasi blanko, diperoleh dengan prosedur yang sama namun
sampel diganti dengan air destilata. Kadar protein dihitung dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut:

10
Kadar protein (%bb)

(

l

Keterangan:
FK = Faktor konversi yaitu 6.25

blanko)
l 14.007
obot contoh

FK

100

Kadar Lemak, Metode Soxhlet (SNI 01-2891-1992)
Labu lemak dikeringkan dalam oven bersuhu 105 C selama sekitar 15
menit, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (W2). Sebanyak 1-2 g
contoh ditimbang dan dimasukkan ke dalam selongsong kertas saring yang dialasi
dengan kapas (W). Setelah itu selongsong kertas yang berisi contoh disumbat
dengan kapas, lalu dikeringkan dalam oven pada suhu tidak lebih dari 80 C
selama ± 1 jam. Selongsong kertas yang sudah dikeringkan kemudian dimasukkan
ke dalam alat soxhlet yang telah dihubungkan ke labu lemak. Lemak dalam
contoh diekstrak dengan heksana selama ± 6 jam. Heksana disuling dan ekstrak
lemak dikeringkan dalam oven pengering pada suhu 105 C, didinginkan pada
desikator, lalu ditimbang.
Kadar lemak g/100g basis basah
Keterangan:
W
W1
W2

1

β

100

= bobot contoh (g)
= bobot labu lemak + lemak hasil ekstraksi (g)
= bobot labu lemak kosong (g)

Kadar Karbohidrat, Metode by difference (AOAC, 1995)
Kadar karbohidrat dihitung sebagai sisa dari kadar air, abu, lemak, dan
protein. Pada analisis ini diasumsikan bahwa karbohidrat merupakan bobot
sampel selain air, abu, lemak dan protein. Perhitungan kadar karbohidrat dengan
metode by difference menggunakan persamaan sebagai berikut:
Kadar karbohidrat (%)

100 – (kadar air

kadar abu kadar protein kadar lemak)

Analisis β-Karoten, Metode HPLC (Parker 1999)
Sebanyak 0.5-2 g sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi bertutup,
kemudian ditambahkan 10 mL larutan KOH 5% dalam metanol kemudian
divorteks. Setelah itu, gas nitrogen dihembuskan ke dalam tabung reaksi selama
30 detik lalu ditutup untuk mencegah terjadinya oksidasi -karoten. Larutan
dipanaskan dalam waterbath 65 C selama 30 menit, lalu didinginkan. Setelah itu,
ditambahkan 5 mL air, kemudian divorteks. Selanjutnya, ditambahkan 10 mL
heksana kemudian vorteks selama 30 detik, ditunggu hingga larutan dalam tabung
terpisah menjadi dua fraksi, lalu diambil larutan pada fraksi heksana (bagian atas)
dan dipindahkan ke tabung reaksi lain sambil dilewatkan pada kertas saring yang
telah diberi natrium sulfat anhydrous. Langkah ini dilakukan sebanyak 3 kali.
Fraksi heksana yang terkumpul diuapkan dengan gas nitrogen hingga kering.
Analat kering yang diperoleh dilarutkan dengan 1000 µL fase gerak untuk
menghindari terjadinya tailing pada kromatogram.
Selanjutnya, larutan sampel diinjeksikan ke HPLC. Volume larutan sampel
yang diinjeksi minimal 2 kali volume sampel loop (20 µL), yaitu 40 µL.
Selanjutnya, dilakukan persiapan larutan standar dan pembuatan kurva standar,

11
yaitu seri pengenceran 5 kali, 10 kali, 20 kali, 50 kali, dan 100 kali dibuat dari
larutan standar -karoten konsentrasi 440 µg/mL dalam basis 1000 µL. Setiap
larutan standar diinjeksikan ke HPLC, minimal 2 kali volume sampel loop (20
µL), yaitu 40 µL. Hubungan antara luas peak yang terbaca dengan konsentrasi
larutan yang diinjeksikan kemudian diplotkan, dimana luas peak sebagai sumbu y
dan konsentrasi larutan sebagai sumbu x. Kemudian peak -karoten pada sampel
diidentifikasi dengan mencocokkan waktu retensi peak sampel dengan waktu
retensi standar -karoten. Luas area peak -karoten pada sampel dicatat dan
dimasukkan ke dalam persamaan kurva standar untuk memperoleh konsentrasi karoten sampel dari kurva standar (µg/mL).
Freeze-Thaw Stability (Azeem 2009)
Pada analisis freeze-thaw stability sampel sebanyak 20 mL disimpan dalam
ruangan bersuhu -20 Cselama 12 jam. Setelah itu sampel kemudian dicairkan
kembali pada ruangan gelap bersuhu 27 C selama 12 jam. Setelah itu tinggi
keterpisahan total sampel diukur dan dilakukan hingga lima siklus freeze-thaw.
keterpisahan

volume cairan yang terpisah (
volume larutan emulsi

)

100

Analisis ukuran dan distribusi partikel, Metode Dynamic Light Scatter (Tan
dan Nakajima 2005)
Ukuran partikel diamati dengan menganati ukuran partikel rata-rata dan
distribusi rata-rata ditentukan dengan Dynamic Light Scatter (DLS)
menggunakan alat Zetasizer Nano-S90 (Malvern Instrument, Worcestershire,
UK). Hasil yang diberikan akan menunjukkan nilai rata-rata ± standar deviasi dari
nilai yang diberikan.
Perhitungan ukuran partikel diukur melalui penyinaran cahaya
monokromatik pada larutan yang mengandung partikel bulat dengan gerak Brown
tertentu. Penyinaran cahaya monokromatik pada partikel akan mengubah efek
Doppler pada larutan yang kemudian akan mengubah gerak Brown pada larutan,
dan mengubah panjang gelombang yang terpantulkan. Pada konsentrasi yang dan
suhu larutan yang sama, gerak Brown larutan akan semakin kecil seiring dengan
semakin besarnya ukuran partikel (Kätzel 2007). Nilai ini akan mengikuti
formula:
D

R

D merupakan nilai nilai refraktif indeks sampel, K merupakan nilai
konstanta Boltzmann, T merupakan suhu larutan pada 25 C, η merupakan nilai
viskositas larutan, dan R merupakan nilai diameter droplet terhitung. Perrhitungan
distribusi diameter globula berdasarkan nilai rata-rata ukuran droplet yang
dihitung dari nilai rata-rata permukaan terbobot (surface weighted mean) dengan
simbol d32 dan rata-rata volume terbobot (volume weighted mean) dengan simbol
d43 dengan rumus:
d43 Σini di4 / Σ i ni di 3
d32 Σini di3 / Σ i ni di2

12
nilai ni adalah jumlah droplet dengan diameter di. Nilai d43 dan d32 digunakan
untuk memonitor perubahan distribusi ukuran droplet. Nilai d43dan d32 ini secara
otomatis akan terbaca pada hasil pengukuran pada alat ini.
Analisis Warna (Hutching 1999)
Pengukuran warna dilakukan menggunakan alat Chromameter CR 300.
Pengukuran dilakukan terhadap tiga titik pada permukaan sampel sebanyak 50 mL.
Hasil pengukuran dicatat dengan sistem skala L*, a*, b*. Nilai L menyatakan
parameter kecerahan (0 = hitam, 100 = putih). Warna kromatik campuran warna
merah-hijau ditunjukkan oleh nilai a, (a+) = 0 – 80 untuk warna merah dan (a-) =
0 – (-80) untuk warna hijau). Sementara itu, untuk warna kromatik campuran birukuning ditunjukkan oleh nilai b (b+) = 0 – 70 untuk warna kuning dan (b-) = 0 - (70) untuk warna biru.
Rancangan Perlakuan
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap faktorial yang terdiri
dari tiga faktor yaitu jenis emulsifier, konsentrasi emulsifier, dan konsentrasi
kitosan sebagai penstabil emulsi. Berikut merupakan rancangan yang digunakan:
Yijkl

μ

αi

j

k

(α )ij

(α )ik

( )jk

(α )ijk

εijkl

Keterangan:
Yijkl = nilai pengamatan faktor tipe emulsifier (i), faktor konsentrasi
emulsifier (j) pada konsentrasi kitosan (k) dan ulangan ke-l.
μ
= Rataan umum.
αi
= Pengaruh jenis emulsifier ke-i
j
= Pengaruh konsentrasi emulsifier ke-j.
k
= Pengaruh konsentrasi kitosan ke-k.
(α )ij = interaksi pengaruh jenis emulsifier ke-i dengan konsentrasi emulsifier
ke-j.
(α )ik = interaksi pengaruh jenis emulsifier ke-i dengan konsentrasi kitosan
ke-k.
( )jk = interaksi pengaruh konsentrasi emulsifier ke-j dengan konsentrasi
kitosan ke-k.
(α )ijk = interaksi pengaruh jenis emulsifier ke-i, konsentrasi emulsifier ke-j
dan konsentrasi kitosan ke-k.
εijkl
= pengaruh galat faktor interaksi pengaruh jenis emulsifier ke-i,
konsentrasi emulsifier ke-j dan konsentrasi kitosan ke-k.
Semua percobaan dilakukan secara duplo, dianalisis menggunakan one way
analysis of variance (ANNOVA) menggunakan program SPSS 17.0. Perbedaan
yang nyata dari nilai rata-rata (p