Optimasi Proses Formulasi Minuman Nanoemulsi Minyak Sawit

OPTIMASI PROSES FORMULASI MINUMAN
NANOEMULSI MINYAK SAWIT

AYU PRAMESTI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Optimasi Proses
Formulasi Minuman Nanoemulsi Minyak Sawit adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2014
Ayu Pramesti
NIM F24100063

ABSTRAK
AYU PRAMESTI. Optimasi Proses Formulasi Minuman Nanoemulsi Minyak
Sawit. Dibimbing oleh FAHIM M. TAQI, TIEN R. MUCHTADI, dan SRI
YULIANI.
Minyak sawit memiliki kandungan -karoten yang tinggi sehingga sangat
potensial untuk dikembangkan menjadi produk minuman emulsi yang dapat
menjadi sumber vitamin A, dalam rangka mengatasi angka kebutaan dan kurang
vitamin A (KVA) di Indonesia. Nanoemulsi dengan sistem emulsi minyak dalam
air (o/w) merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan kelarutan dan
stabilitas komponen bioaktif yang terdapat dalam minyak sawit. Pada tahap awal
penelitian ini dilakukan percobaan untuk mencari tekanan dan jumlah
pengumpanan balik (passing) untuk dapat menghasilkan nanoemulsi terbaik
dengan ukuran partikel (d50) kurang dari 200 nm. Berdasarkan hasil percobaan,
tekanan 300 Bar dengan 5 passing sudah cukup untuk memenuhi spesifikasi
tersebut. Selanjutnya dilakukan proses optimasi formula minuman nanoemulsi
dengan menggunakan program Design Expert 7.0 dengan metode Mixture DOptimal. Terdapat tiga faktor formula yang digunakan yaitu konsentrasi

nanoemulsi 1-10%, air 59-88%, dan high fructose syrup (HFS) 10-30% terhadap
respon kestabilan emulsi, ukuran partikel d 50, konsentrasi -karoten, dan warna
(L dan °Hue). Proses optimasi menghasilkan formula terbaik dengan konsentrasi
nanoemulsi 6%, air 83%, dan HFS 10% dengan solusi prediksi nilai kestabilan
emulsi 99.22%, ukuran partikel d50 46.68 nm, kadar -karoten 5 ppm, kecerahan
warna (L) 67.62, dan °Hue 79.80.
Kata kunci : Nanoemulsi,

-karoten, Mixture D-optimal, ukuran partikel

OPTIMASI PROSES FORMULASI MINUMAN
NANOEMULSI MINYAK SAWIT

AYU PRAMESTI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan


DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PRAKATA
Puji dan syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulisan tugas akhir ini dapat diselesaikan. Penyelesaian
tugas akhir ini tidak luput dari doa serta dukungan dari semua pihak baik secara
langsung maupun tidak langsung, sehingga penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih kepada :
1. Ayahanda Purnama Tamziel, Ibunda Rita Gloriani Basyari, Pratiwi
Purnama, dan keluarga besar penulis, atas perhatian, doa, dukungan,
serta segenap usaha yang telah mereka berikan untuk selalu mendukung
penulis selama masa studi di Institut Pertanian Bogor.
2. Dr. Fahim M. Taqi, STP., DEA dan Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi
selaku dosen pembimbing akademik yang terus memberikan perhatian,
semangat, bimbingan, dan motivasi hingga terselesaikannya penulisan

tugas akhir ini. Terima kasih pula untuk Dr. Sri Yuliani, MT selaku
pembimbing yang telah memberikan banyak saran, waktu, serta
motivasi selama proses pelaksanaan tugas akhir ini hingga
terselesaikannya tugas akhir ini.
3. Pak Gatot, Pak Rojak, Ibu Sri, Pak Sobirin, Pak Yahya, Mba Irin, Mba
Ririn yang telah membantu proses pelaksanaan tugas akhir ini. Terima
kasih pula kepada seluruh tenaga pengajar, laboran, dan pegawai Institut
Pertanian Bogor.
4. Ryan Akbar Prayogi sebagai partner sejati selama masa perkuliahan.
5. Alfia Nurul Ilma dan Striwicesa Hangganararas selaku teman satu
bimbingan dan penelitian. Ikhwan Dwi Arismanto selaku teman satu
pembimbing. Teman-teman penelitian minyak Raditya Prabowo,
Ganistie Furry, Arintiara R, Stephanie Angka, Rahmalia S, Harridil Haq.
Teman-teman seperjuangan ITP 47 Mustika Aminta Sibuea, Gerardus
Yosua, Gideon Satria Putra, Yuwanita Ardilasari, dan seluruh keluarga
besar ITP. Dewi Fitriawati, Aprilia Puspita, dan Wiraswesti Wibowo
sebagai teman-teman seperjuangan Tingkat Persiapan Bersama.
6. Direktur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI
(DIKTI), atas batuan pembiayaan penelitian melalui Hibah Kompetensi.

7. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, baik
secara langsung maupun tidak langsung telah membantu penyelesaian
studi dan penulisan tugas akhir ini.
Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak
dan dapat berdampak terhadap pengembangan ilmu dan teknologi di masa yang
akan datang.

Bogor, Oktober 2014
Ayu Pramesti

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN


vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA


2

Karotenoid

3

Homogenisasi

4

Nanoemulsi

5

Minuman Emulsi Minyak Sawit Merah

5

Sirup Fruktosa


6

METODE

7

Bahan

9

Alat

10

Metode Analisis

10

HASIL DAN PEMBAHASAN


16

Proses Pemurnian Crude Palm Oil (CPO)

16

Proses Pembuatan Nanoemulsi

18

Proses Optimasi Formula Minuman Nanoemulsi dengan Mixture Design

22

Rancangan Formula dan Respon

22

Optimasi Ukuran Partikel


24

Optimasi Kestabilan Emulsi

27

Optimasi Kadar -Karoten

31

Optimasi Kecerahan Warna (L)

34

Optimasi °Hue

38

Formula Optimal Berdasarkan Program Design Expert 7.0


41

Uji Organoleptik Minuman Nanoemulsi Minyak Sawit

44

Uji Ranking Hedonik Flavor Minuman Nanoemulsi

44

Uji Rating Hedonik Minuman Nanoemulsi

45

SIMPULAN DAN SARAN

46

Simpulan

46

Saran

46

DAFTAR PUSTAKA

47

LAMPIRAN

50

RIWAYAT HIDUP

78

DAFTAR TABEL
1 Deskripsi warna berdasarkan °Hue
2 Karakteristik kimia bahan baku CPO dan produk olein hasil
pemurnian
3 Ukuran partikel nanoemulsi dan PDI pada tekanan 300 Bar dengan 5,
7, dan 10 passing
4 Rancangan formula minuman nanoemulsi berdasarkan program
Design Expert 7.0
5 Hasil analisis ragam (ANOVA) tiap respon
6 Perbandingan nilai ukuran partikel (d50) antara hasil pengukuran
laboratorium dengan hasil prediksi
7 Perbandingan nilai kestabilan emulsi antara hasil pengukuran
laboratorium dengan hasil prediksi
8 Perbandingan nilai kadar β-karoten antara hasil pengukuran
laboratorium dengan hasil prediksi
9 Formula minuman nanoemulsi dengan nilai kadar β-karoten yang
memenuhi harapan (5 ppm)
10 Perbandingan nilai L antara hasil pengukuran laboratorium dengan
hasil prediksi
11 Perbandingan nilai °Hue antara hasil pengukuran laboratorium
dengan hasil prediksi
12 Kriteria penentuan formula optimal
13 Solusi formula optimal yang dihasilkan dalam tahapan optimasi
14 Prediksi nilai respon formula terpilih hasil optimasi dengan program
Design Expert 7.0
15 Hasil uji ranking hedonik flavor minuman nanoemulsi

14
17
19
22
24
26
30
33
34
37
40
42
42
44
44

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Struktur molekul karotenoid (McClements 2008)
Diagram alir pembuatan larutan nanoemulsi (modifikasi Marpaung
2014)
Diagram alir proses pembuatan minuman nanoemulsi
Pengaruh jumlah passing terhadap ukuran partikel (d50)
Hubungan jumlah passing terhadap nilai Poly Dispersion Index (PDI)
Nanoemulsi yang diproses dengan HPH (NS2002H TWP 600, GEA
Niro Soavi, Italia) pada tekanan 300 Bar dengan 5 passing
Grafik tiga dimensi (3-D) hasil uji respon ukuran partikel
Grafik kenormalan residual (normal plot residual) respon ukuran
Grafik tiga dimensi (3-D) hasil uji respon kestabilan emulsi
Grafik kenormalan residual (normal plot residual)
Grafik tiga dimensi (3-D) hasil uji respon kadar -karoten
Grafik kenormalan residual (normal plot residual) respon kadar karoten
Hubungan nilai L dengan rata-rata ukuran partikel (McClements
2005)

3
8
9
20
21
21
25
27
28
30
32
34
35

14
15
16
17
18
19

Grafik tiga dimensi (3-D) hasil uji respon L
Grafik kenormalan residual (normal plot residual) respon L
Grafik tiga dimensi (3-D) hasil uji respon °Hue
Grafik kenormalan residual (normal plot residual) respon °Hue
Minuman nanoemulsi minyak sawit formula terbaik
Grafik skor rataan kesukaan berbagai atribut sensori

36
38
39
41
43
46

DAFTAR LAMPIRAN
1 Diagram alir proses pemurnian CPO
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26

Data kestabilan emulsi, ukuran partikel (d50), kadar beta karoten, dan
Diagram alir perancangan formula dan respon optimasi
Perhitungan AKG vitamin A minuman nanoemulsi per takaran saji
Score sheet uji organoleptik
Hasil uji independent-sample t atribut warna
Hasil uji independent-sampel t atribut aroma
Hasil uji independent-sample t atribut rasa
Hasil uji independent-sample t atribut keseluruhan (overall)
ANOVA dan persamaan polinomial respon kestabilan emulsi
ANOVA dan persamaan polinomial respon ukuran partikel
ANOVA dan persamaan polinomial respon kadar -karoten
ANOVA dan persamaan polinomial respon L
ANOVA dan persamaan polinomial respon °Hue
Rekapitulasi data running formula untuk mendapatkan formula
optimal
Hasil analisis ragam (ANOVA) paired sample t-test respon
kestabilan emulsi
Hasil analisis ragam (ANOVA) paired sample t-test respon ukuran
partikel
Hasil analisis ragam (ANOVA) paired sample t-test respon kadar karoten
Hasil analisis ragam (ANOVA) paired sample t-test respon L
Hasil analisis ragam (ANOVA) paired sample t-test respon °Hue
Hasil analisis ragam (ANOVA) uji ranking hedonik
Hasil analisis one-way ANOVA respon L
Hasil analisis one-way ANOVA respon °Hue
Komentar hasil uji rating hedonik minuman nanoemulsi minyak
sawit
Hasil analisis ukuran partikel emulsi

50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
75

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia sejak tahun
2009 dengan kapasitas produksi Crude Palm Oil (CPO) mencapai 19.85 juta ton
pada tahun 2010 (Ditjenbun 2011). Angka tersebut terus mengalami peningkatan
pada tahun 2013 mencapai 26,2 juta ton. Dalam beberapa tahun terakhir, sektor
perkebunan dan pengolahan minyak sawit memegang peranan yang cukup penting
bagi perekonomian Indonesia. Suswono (2013) menyatakan bahwa minyak sawit
merupakan penyumbang devisa negara nonmigas terbesar di Indonesia.
Minyak sawit memiliki beragam keunggulan, salah satunya kandungan
mikronutriennya yang tinggi sehingga memiliki potensi untuk dikembangkan dan
diolah menjadi healthy oil. Healty oil merupakan minyak yang diproses dan
dimodifikasi sedemikian rupa sehingga kandungan nutrisi di dalamnya dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan kesehatan (Riyadi 2009). Zat gizi mikro yang
terdapat di dalam minyak sawit yaitu karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol,
fosfolipid, skualen, triterpenil, dan hidrokarbon alifatik (Nagendran et al. 2009).
Kandungan karotenoid dan tokoferol yang tinggi merupakan keunggulan minyak
sawit dibandingkan minyak nabati lainnya. Kandungan karotenoid di dalam
minyak sawit umumnya didominasi oleh komponen -karoten (sebanyak 60%)
berkisar antara 500-3500 ppm (Mortensen 2005). Sedangkan menurut Azlan et al.
(2010) kandungan tokoferol dan tokotrienol berkisar antara 600-1000 ppm. Beta
karoten dari kelompok karotenoid telah lama dikatahui berfungsi sebagai
provitamin A dan tokoferol berfungsi sebagai vitamin E.
Aktivitas provitamin A pada -karoten berfungsi untuk penglihatan yaitu
menaggulangi kebutaan karena xerophtalmia, mencegah timbulnya penyakit
kanker dan proses penuaan dini serta untuk imunitas. Namun -karoten mudah
terdegradasi oleh proses pengolahan dan penyimpanan seperti mudah rusak pada
pengolahan suhu tinggi, mudah terdegradasi oleh efek kimia (oksigen dan bahan
pengoksida) dan cahaya (Mao et al. 2009; Yuan et al. 2008). Beta karoten
memiliki tingkat kelarutan, bioavailabilitas, dan stabilitas yang rendah dalam air
sehingga penggunaannya terbatas (Acosta 2009; Qian et al. 2012).
Nanoemulsi dalam bentuk emulsi minyak dalam air (o/w) merupakan salah
satu alternatif untuk meningkatkan kelarutan dan stabilitas komponen bioaktif
yang terdapat dalam minyak sawit (Yuliasari dan Hamdan 2012). Menurut Acosta
(2007) partikel nanoemulsi lebih stabil terhadap separasi dan agregasi karena
ukurannya yang kecil. Selain itu keunggulan lain dari nanoemulsi adalah
kemampuannya meningkatkan bioavailibilitas di dalam saluran pencernaan karena
ukuran partikel yang kecil dan rasio antara luas permukaan dan volumenya yang
tinggi sehingga mudah untuk diserap melewati saluran pencernaan (Acosta 2009).
Konsumsi vitamin A penting untuk digalakkan karena angka kebutaan di
Indonesia menempati urutan kedua tertinggi di dunia setelah Ethiopia pada tahun
2010. Data WHO (2011) menyatakan 10% dari 66 juta anak usia sekolah (5-19
tahun) mengalami kebutaan akibat kelainan refraksi. Mengkonsumsi -karoten
(provitamin A) merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi masalah kurang
vitamin A (KVA) sebab dalam tubuh -karoten alami akan diabsorpsi dan

2
dimetabolisme, dimana separuhnya akan diubah menjadi vitamin A (retinol)
dalam mukosa usus. Untuk meningkatkan nilai tambah dan memanfaatkan
produksi minyak sawit yang tinggi, salah satu upaya yang dilakukan adalah
membuat minuman emulsi dari minyak sawit.
Penelitian produk emulsi kaya -karoten dari minyak sawit telah dilakukan
oleh Saputra (1996), Surfiana (2002), dan Sabariman (2007), Rita (2011), dan
Marpaung (2014). Namun diperlukan penelitian lebih lanjut untuk membuat
produk minuman emulsi yang siap minum (ready to drink) dengan rasa dan
kestabilan yang lebih baik agar dapat lebih diterima dan disukai oleh konsumen.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah membuat dan menentukan formula optimal
minuman nanoemulsi minyak sawit dalam bentuk siap minum (ready to drink)
dengan kestabilan dan rasa yang lebih baik serta dapat diterima konsumen.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai formula
minuman nanoemulsi (ready to drink) yang optimum sehingga dapat membantu
mengatasi masalah gizi kurang vitamin A (KVA).

TINJAUAN PUSTAKA
Minyak Sawit
Kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ) adalah salah satu jenis tanaman
penghasil minyak. Minyak yang diperoleh dari hasil ekstraksi buah tanaman
kelapa sawit terdiri atas minyak dari inti (endosperm) sawit yang disebut minyak
inti sawit atau palm kernel oil (PKO) dan minyak dari sabut (mesokarp) yang
disebut minyak sawit atau crude palm oil (CPO) (Ketaren 2005). Perbedaan antara
minyak inti dan minyak sawit adalah keberadaan pigmen karotenoid. Pada minyak
sawit terdeteksi komposisi karotenoid yang terdiri dari α-, -, - karoten dan
xantofil, sedangkan minyak inti sawit tidak terdapat karotenoid.
Pengolahan mesokarp menjadi minyak sawit dilakukan melalui tahapan
ekstraksi, pemurnian, dan fraksinasi. Secara umum ekstraksi dilakukan dengan
cara pengepresan, pemurnian dilakukan dengan menghilangkan gum dan kotoran
lain, penyabunan untuk memisahkan asam lemak bebas, pemucatan untuk
menghilangkan warna merah minyak, deodorisasi untuk menghilangkan bau
minyak, dan fraksinasi untuk memisahkan fraksi padat dengan fraksi cair minyak
yang dilakukan melalui proses pendinginan (Ketaren 2005).
Khusus untuk produksi minyak sawit merah, proses bleaching atau
pemucatan tidak dilakukan dengan tujuan untuk mempertahankan karoten yang
terkandung di dalamnya secara maksimal (Riyadi 2009). Keunggulan minyak
sawit dibandingkan minyak nabati lainnya adalah komposisi asam lemak jenuh
dan tidak jenuh yang berimbang, terutama asam palmitat (40-46%) dan asam oleat
(39-45%). Selain itu minyak sawit merah juga memiliki komponen zat gizi minor

3
yang memiliki peran fungsional, terutama yaitu karotenoid dan tokoferol
(termasuk tokotrienol). Kedua komponen tersebut merupakan komponen bioaktif
yang bersifat antioksidan. Karotenoid dan tokoferol dalam minyak sawit merah
secara fisiologis juga aktif sebagai vitamin A dan E. Namun komponen
antioksidan di dalam minyak sawit merah tersebut tidak stabil dan dapat
terdegradasi pada suhu tinggi sehingga pemanfaatan minyak sawit merah tidak
dianjurkan untuk pengganti minyak nabati dalam pengolahan pangan yang
menggunakan suhu tinggi.
Karotenoid
Karotenoid merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning, jingga,
merah jingga yang larut dalam senyawa nonpolar (Winarno 2004). Karotenoid
memiliki kemampuan untuk dapat larut dalam senyawa lainnya serta larut dalam
pelarut lemak sehingga disebut sebagai senyawa lipofilik. Karotenoid memiliki
peran fungsional sebagai provitamin A. Karotenoid bersifat tahan panas dalam
kondisi vakum namun juga bersifat sangat peka terhadap oksidasi, autooksidasi
dan cahaya (van Buggenhout et al. 2010).
Menurut Ketaren (2005) komposisi karotenoid yang utama adalah α-karoten
(30-γ5%) dan -karoten (60-65%) (Gambar 1). Tubuh mempunyai kemampuan
untuk mengubah karoten menjadi vitamin A (retinol). Aktivitas karotenoid
sebagai provitamin A berbeda-beda sesuai jenis karetenoidnya. Betakaroten
memiliki aktivitas provitamin A paling tinggi dibandingan jenis lainnya (Winarno
2004). Dalam tubuh, sekitar 75% dari -karoten akan diubah menjadi retinol
dengan bantuan enzim 15’ 15 -karotenoid oksigenase dan 25% nya akan
diabsorpsi dalam bentuk utuh pada mukosa usus.

Gambar 1 Struktur molekul karotenoid (McClements 2008)
Fungsi utama vitamin A adalah dalam proses penglihatan sehingga dapat
mencegah kebutaan dan katarak, mengurangi risiko jantung koroner, sebagai
antioksidan, anti radikal bebas, dan untuk meningkatkan imunitas tubuh (Sundram
2007). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun
2005 nomor 1593 menetapkan bahwa AKG rata-rata yang dianjurkan bangsa
Indonesia (per orang per hari) untuk vitamin A (dalam satuan RE) pada pria
dewasa (19-29 tahun) dan wanita dewasa (19-29 tahun) adalah masing-masing
600 RE dan 500 RE.

4
Homogenisasi
Homogenisasi merupakan proses mengubah dua cairan yang sifatnya
immicible (tidak saling bercampur) menjadi sebuah emulsi. McClements (2004)
menyatakan homogenisasi merupakan proses pengecilan ukuran dan
meningkatkan jumlah partikel padat atau cair fase terdispersi dengan gaya geser
(shearing force) untuk meningkatkan kestabilan dua zat. Alat yang digunakan
untuk proses homogenisasi adalah homogenizer. Pemilihan homogenizer
bergantung pada beberapa faktor, yaitu volume sampel yang dihomogenisasi,
keluaran yang diinginkan, konsumsi energi, karakteristik komponen fasenya, dan
prediksi biaya.
Menurut McClements (2004) beberapa faktor yang mempengaruhi ukuran
droplet yang dihasilkan dari proses homogeniasi antara lain tipe dan konsentrasi
emulsifier, karakter komponen fasa-fasanya, input energi, dan suhu.
Homogenisasi akan memperkecil ukuran droplet dari fase terdispersi yang akan
meningkatkan penyerapan emulsifier dan kestabilan dari emulsi. Namun,
ketidaktersediaan emulsifier dalam jumlah yang cukup untuk melindungi dropletdroplet tersebut akan menyebabkan koalesen. Ukuran droplet dapat direduksi
dengan meningkatkan input energi. Input energi merupakan energi yang
digunakan selama proses homogenisasi. Peningkatan input energi dapat dilakukan
dengan beberapa cara sesuai dengan homogenizer yang digunakan. Disamping itu
pengemulsian juga membutuhkan waktu homogenisasi yang tepat. Intensitas dan
lama proses pencampuran tergantung waktu yang diperlukan untuk melarutkan
dan mendistribusikanya secara merata.
Berdasarkan jumlah energi yang digunakan selama proses homogenisasi,
proses pembuatan nanoemulsi diklasifikasikan menjadi dua, yaitu emulsifikasi
energi tinggi dan rendah (Acosta 2009). Proses homogenisasi energi tinggi
merupakan teknologi pembentukan nanoemulsi dengan energi mekanik tinggi
yang memisahkann fase minyak-air dan membentuknya menjadi droplet.
Teknologi nanoemulsi yang digolongkan pada emulsifikasi energi tinggi adalah
homogenisasi dengan high-pressure valve, micro-fluidizer, dan ultrasound.
Sedangkan nanoemulsifikasi dengan energi rendah merupakan teknologi
nanoemulsi yang didasarkan pada metode pembentukan emulsi secara spontan
setelah keadaan emulsinya diubah. Beberapa contoh emulsifikasi energi rendah
adalah solvent demixing, emulsifikasi membran, dan phase inversion (Silva et al.
2012).
Proses pembuatan nanoemulsi pada penelitian ini menggunakan ultra turrax
homogenizer L4R (Silverson CO., England) untuk membuat emulsi kasar dan
high-pressure homogenizer TWP 600 (GEA Niro Saovi, Italia) untuk membuat
produk nanoemulsi. Keuntungan menggunakan alat ini adalah besar ukuran
partikel ditentukan berdasarkan besar energi yang dihasilkan dan viskositas
larutan yang digunakan. Dengan memvariasikan ukuran tekanan dan katup, dapat
diatur ukuran partikel dari emulsi kasar yang diumpankan kedalamnya. Alat highpressure homogenizer dapat menghasilkan energi yang tinggi dalam
menghomogenisasi sampel sehingga dapat dihasilkan droplet dengan ukuran
hingga kurang dari 0.1 µm.

5
Nanoemulsi
Nanoemulsi merupakan sistem emulsi yang terdiri dari minyak dan air
dengan skala ukuran partikelnya berkisar antara 10-100 nm (Silva et al. 2012).
Pada sistem nanoemulsi, droplet minyak terdispersi dengan fase air (aqueous)
dimana droplet minyak tersebut dikelilingi oleh surfaktan (Acosta 2009;
McClements et al. 2009,2007). Partikel nanoemulsi bersifat lebih stabil terhadap
separasi dan agregasi karena ukuran droplet partikelnya yang kecil (McClements
2007).
Menurut Qian dan McClement (2010) faktor-faktor yang perlu dikontrol
untuk menghasilkan partikel nanoemulsi dengan ukuran minimum antara lain
adalah tipe alat homogenisasi, kondisi pengoperasian alat homogenisasi (besar
energi, jumlah siklus, waktu pengoperasian, dan suhu), komposisi sampel (tipe
lemak yang ditambahkan, konsentrasi dalam produk), dan karakter bahan yang
dicampurkan (tegangan permukaan, viskositas). Pemilihan formula yang tepat
(jenis emulsifier dan konsentrasi fase kontinyu) serta urutan penambahan bahan
pada saat pembuatan nenoemulsi penting untuk diperhatikan untuk memperoleh
ukuran partikel fase terdispersi yang kurang dari 100 nm (Mason 2006).
Untuk identifikasi dan karakterisasi nanoemulsi, menurut Silva et al. (2012)
terdapat tiga metode yaitu teknik separasi, teknik karakterisasi sifat fisik, dan
teknik pencitraan.
a. Teknik pemisahan merupakan identifikasi nanoemulsi dengan mengisolasi
partikel nanoemulsi dari matriks atau makromolekul bahan pangan dan
mengelusikannya pada detektor. Contoh dari teknik ini adalah metode
kromatografi dan field flow fractination.
b. Karakterisasi sifat fisik merupakan teknik yang digunakan untuk
mengidentifikasi karakter nanoemulsi dari sifat fisiknya seperti ukuran
partikel, distribusi partikel, potensi zeta, dan kemampuan kristalisasi
nanoemulsi. Contoh metode ini adalah Dynamic Light Scattering, Zeta
Potential.
c. Teknik pencitraan merupakan teknik identifikasi ukuran, bentuk, dan
bentuk agregasi partikel nanoemulsi menggunakan mikroskop. Jenis
mikroskop yang digunakan adalah Transmission Electron Microscopy, dan
Scanning Electron Microscopy.
Minuman Emulsi Minyak Sawit Merah
Minuman emulsi ini diklasifikasikan sebagai emulsi minyak dalam air
(o/w). Pada fase minyak terdapat komponen utama minyak, sedangkan pada fase
air terdapat pengemulsi/penstabil, flavor, pemanis, dan asam. Formula dasar untuk
pembuatan minuman emulsi terdiri dari air, minyak, dan bahan pengemulsi
(emulsifier), sedangkan bahan lainnya sesuai kebutuhan tergantung produk akhir
yang diinginkan.
Produk minuman emulsi dari minyak sawit merah yang kaya -karoten telah
diteliti sebelumnya oleh Surfiana (2002), Sabariman (2007), Rita (2011),
Ruhiyatman (2013), dan Marpaung (2014). Hasil penelitian Surfiana (2002)
menghasilkan formulasi emulsi sebagai berikut : pengemulsi Tween 80 1% (rasio
minyak:air adalah 7:3) atau pengemulsi sukrosa ester asam lemak tipe S-1570, P-

6
1570, dan campuran ester asam lemak dengan HLB 15 1% (rasio minyak:air
adalah 6:4). Bahan tambahan lainnya adalah pengawet benzoat (0.2%),
antioksidan BHT (200 ppm), pengkelat EDTA (200 ppm), pemanis sirup fruktosa
(10-15%), flavor (1-1.5%). Sabariman (2007) membuat minuman emulsi dari
minyak sawit merah menggunakan formula yang dihasilkan oleh Surfiana (2002)
dengan menganalisis lebih lanjut sifat reologi dan sifat fisik dari minuman
tersebut. Sifat reologi yang diperoleh pada minuman ini memiliki nilai indeks sifat
aliran (n) antara 0.8971-1.035 (pseudoplatis), indeks konsistensi (K) antara
0.06914-0.3566 Pa.sn, tekanan luluh antara 7.121-13.05 Pa. Ditinjau dari sifat
fisik dan reologi minuman emulsi minyak sawit merah terbaik yaitu formula
dengan menggunakan pengemulsi sukrosa ester asam lemak (SEAL) HLB-15.
Rita (2011) membuat minuman emulsi dari minyak sawit menggunakan formula
yang sama dengan Surfiana (2002) dengan menambahkan proses pasteurisasi pada
tahap pembuatannya. Di samping itu Rita (2011) juga melakukan analisis biaya
produksi dari minuman emulsi minyak sawit tersebut. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa peningkatan suhu pasteurisasi akan menurunkan stabilitas
emulsi. Total biaya investasi yang dibutuhkan untuk memproduksi minuman
emulsi minyak sawit merah dengan volume produksi 30.000 liter per tahun
sebesar Rp 507.040.420,00. Dengan margin keuntungan 50% dan pajak
pertambahan nilai 10%, dihasilkan harga jual minuman per botol (200 ml) adalah
Rp 11.000,00.
Ruhiyatman (2013) membuat minuman emulsi dengan bahan baku minyak
sawit merah dengan memodifikasi metode Surfiana (2002). Modifikasi yang
dilakukan pada penelitian Ruhiyatman (2013) adalah mengganti emulsifier dengan
stabilizer yaitu gum arab, gelatin, dan CMC. Produk minuman emulsi ini sudah
memiliki kestabilan emulsi yang baik yaitu 97%, namun memiliki mutu sensori
yang masih kurang baik terutama dari segi rasa minuman tersebut masih kurang
disukai oleh panelis. Penelitian Marpaung (2014) menunjukkan bahwa pengaturan
rasio minyak dan air (1:9) disertai pemberian emulsifier Tween 80 (30% basis
minyak), dan kitosan 0.5% telah menghasilkan produk nanoemulsi yang stabil.
Namun produk tersebut belum dapat dikonsumsi secara langsung karena masih
sangat kental, serta rasa dan baunya juga tidak enak.
Sirup Fruktosa
Sirup fruktosa atau yang biasa disebut high fructose syrup (HFS) merupakan
salah satu jenis gula cair yang banyak digunakan pada industri minuman. High
fructose syrup (HFS) dibuat dengan proses enzimasi pati secara bertingkat,
dengan memanfaatkan enzim α-amilase, amylokluosidase, dan isomerase
(Purwandari 2009). Pada dasarnya gula ini dapat dihasilkan dari semua bahan
yang mengandung karbohidrat, seperti jagung, singkong, beras, kentang, dan lainlain.
Sirup fruktosa memiliki tingkat kemanisan 2.5 kali lebih tinggi
dibandingkan sirup glukosa dan 1.4-1.8 kali lebih manis dibandingkan gula
sukrosa. Namun, sirup fruktosa juga memiliki indeks glikemik (32±2) lebih
rendah daripada glukosa (138±4) dan sukrosa (87±2). Oleh karena itu sirup
fruktosa memiliki dampak terhadap resiko kesehatan yang lebih rendah dan dapat
digunakan sebagai pemanis bagi penderita diabetes (Purwandari 2009). Sirup ini

7
akan terasa lebih manis apabila dalam keadaan dingin sehingga banyak digunakan
untuk produk minuman ringan, jeli, selai, koktail, dan sebagainya.

METODE
Pada penelitian ini digunakan CPO yang diperoleh dari PT Salim Ivomas
Pratama. Sebelum diolah menjadi larutan stok nanoemulsi, CPO dimurnikan
terlebih dahulu di lab oil SEAFAST IPB yang melalui proses degumming,
neutralization, dan fractionation. Penelitian ini dibagi menjadi dua tahapan.
Tahap pertama adalah pembuatan larutan nanoemulsi dengan bahan dasar olein
minyak sawit. Tahap ini dilakukan untuk mencari jumlah passing (pengumpanan
balik) optimum pada tekanan lebih rendah untuk menghasilkan larutan
nanoemulsi dengan karakteristik yang sama dengan larutan nanoemulsi yang
dihasilkan dengan metode Marpaung (2014). Tahap kedua adalah optimasi
terhadap formula yang dibutuhkan untuk membuat minuman nanoemulsi ready to
drink.
Pembuatan larutan nenoemulsi merupakan modifikasi metode pembuatan
produk nanoemulsi oleh Tan dan Nakajima (2005) dan Marpaung (2014). Bahan
yang digunakan dalam penelitian Tan dan Nakajima (2005) adalah β-karoten yang
dilarutkan dalam heksana dengan emulsifier Tween 20. Perbandingan rasio fase
terdispersi dan pendispersi yang digunakan adalah 1:9 dan 2:8. Proporsi fase
terdispersi dan pendispersi terbaik yang menghasilkan ukuran partikel terkecil
adalah 1:9 (b/b). Marpaung (2014) melakukan formulasi nanoemulsi
menggunakan minyak sawit dengan emulsifier Tween 20 dan Tween 80 sebanyak
10% dan 30% (b/b) basis minyak pada tekanan 600 Bar sebanyak lima passing.
Perbandingan minyak sawit dan air yang digunakan adalah 1:9. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut diketahui bahwa formula terbaik yang menghasilkan ukuran
partikel terkecil didapatkan dengan penggunaan Tween 80 sebanyak 30% (b/b)
basis minyak.
Pada tahap awal dicampurkan air dan Tween 80 dengan hand mixer pada
kecepatan tertinggi sehingga terbentuk suatu campuran yang homogen.
Selanjutnya olein ditambahkan secara perlahan-lahan pada campuran air dan
Tween 80 dan dihomogenisasi dengan ultra turrax L4R (Silverson CO., England)
pada kecepatan 8000 rpm selama 10 menit sampai terbentuk suatu emulsi kasar
yang homogen.
Emulsi kasar yang telah terbentuk dihomogenisasi kembali menggunakan
high-pressure homogenizer TWP 600 (GEA Niro Saovi, Italia) pada tekanan 300
Bar dengan jumlah pengumpanan balik (passing) yang bervariasi (5, 7, dan 10
passing) (Gambar 2). Faktor jumlah passing yang divariasikan mengacu pada
penelitian Tan dan Nakajima (2005) yang menyatakan bahwa jumlah passing
berpengaruh besar terhadap pengecilan ukuran partikel. Ukuran partikel
nanoemulsi diukur dengan Particle Size Analyzer. Proses dengan jumlah passing
yang mampu menghasilkan ukuran partikel terkecil akan dipilih sebagai proses
yang akan digunakan untuk tahap pembuatan minuman nanoemulsi ready to
drink.

8
Aquades
90% (b/b)

Olein minyak
sawit 10% (b/b)

Emulsifier Tween
80 (30% basis
minyak)

Pencampuran
1000 rpm; 30 detik

Homegenisasi
10 menit 8000 rpm

Emulsi kasar

Homogenisasi 300 Bar;
5, 7, dan 10 passing

Nanoemulsi sawit

Gambar 2 Diagram alir pembuatan larutan nanoemulsi (modifikasi Marpaung 2014)
Tahap kedua adalah pembuatan minuman nanoemulsi minyak sawit. Pada
tahap ini dilakukan optimasi formula minuman nanoemulsi sawit dengan
menggunakan program Design Expert 7.0. Pada tahap awal dilakukan penentuan
komponen bahan baku yang digunakan sebagai komponen yang jumlahnya
berubah dan komponen yang jumlahnya konstan atau tetap, serta total komposisi
bahan baku tersebut di dalam produk. Komponen yang divariasikan dan dijadikan
variabel antara lain nanoemulsi, air, dan high fructose syrup (HFS) dengan total
ketiganya sebesar 99% (v/v) dari volume produk. Bahan-bahan penyusun formula
minuman lainnya seperti asam sitrat dan flavor dijadikan sebagai faktor yang
konstan, yaitu komponen yang tidak berubah komposisinya dalam pembuatan
produk. Proporsi asam sitrat sebesar 0.2% dan flavor sebesar 0.3%. Flavor yang
digunakan adalah flavor melon, jeruk, dan lemon. Untuk memilih flavor yang
terbaik dari ketiga flavor yang digunakan dilakukan uji ranking hedonik terhadap
30 panelis. Angka 0.2 dan 0.3% tersebut didapatkan berdasarkan uji trial and
error pada beberapa orang panelis terlatih, dimana pada angka tersebut
menghasilkan rasa asam dan aroma flavor yang paling baik.
Pada tahap awal optimasi, dilakukan penentuan batas minimum dan
maksimum untuk komponen yang digunakan sebagai variabel. Batas minimum
dan maksimum dari konsentrasi nanoemulsi, HFS, dan air dilakukan berdasarkan

9
hasil studi pustaka. Batas minimum dan maksimum untuk komponen nanoemulsi
secara berturut-turut adalah 1% dan 10%. Angka tersebut berdasarkan perkiraan
untuk mendapatkan kadar -karoten pada kisaran 1.9-19 ppm. Berdasarkan
pengamatan secara kasat mata terhadap kestabilan emulsi pada saat uji coba
dimana penambahan nanoemulsi diatas 10% menghasilkan emulsi yang kurang
stabil, terdapat pemisahan setelah emulsi didiamkan beberapa saat sehingga
dipilih 10% sebagai batasan maksimum.
Komponen HFS memiliki batas minimum 10% dan batas maksimum 30%.
Nilai tersebut beradasrkan penelitian Surfiana (2002) dimana penggunaan HFS
pada kisaran tersebut memberikan rasa manis yang disukai. Terakhir untuk
komponen air memiliki batas minimum 59% dan batas maksimum 88%. Angka
tersebut muncul sebagai hasil dari pengurangan total ketiga komponen dengan
komponen nanoemulsi dan HFS.
Proses emulsifikasi dimulai dengan mencampurkan keempat bahan yaitu air,
HFS, asam sitrat, dan flavor ke dalam suatu wadah lalu diaduk dengan hand mixer
pada kecepatan maksimum hingga didapatkan campuran yang homogen. Larutan
stok nanoemulsi ditambahkan secara perlahan-lahan ke dalam fase pendispersi
kemudian diaduk menggunakan ultra turrax model L4R (Silverson CO., England)
dengan kecepatan 6000 rpm selama 4 menit. Pemilihan kecepatan 6000 rpm
selama 4 menit mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh Rita (2011)
yang menghasilkan kestabilan emulsi diatas 97%.
Nanoemulsi sawit
(10-30%)

Air (59-88%)

-10%)
Flavor

Sirup (HFS)
10-30%

0.3%

Asam
0.2%

Pencampuran

Homogenisasi 4 menit,
6000 rpm

Pasteurisasi 70oC; 10 menit

Minuman Nanoemulsi Sawit

Gambar 3 Diagram alir proses pembuatan minuman nanoemulsi

sitrat

10
Tahap berikutnya dilakukan pasteurisasi terhadap produk minuman pada
suhu 70oC selama 10 menit (Gambar 3). Dari formulasi tersebut diperoleh 16 jenis
formula berbeda untuk dianalisis. Analisis yang dilakukan adalah analisis
kestabilan emulsi menggunakan modifikasi metode Yasumatsu et al. (1972),
analisis ukuran partikel dengan Particle Size Analyzer, analisis -karoten dengan
menggunakan HPLC, dan analisis warna dengan Chromameter. Formula terbaik
dan terpilih berdasarkan program Design Expert 7.0 selanjutnya dilakukan uji
rating hedonik dan validasi.
Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak sawit dari PT
Salim Ivomas Pratama, penstabil Tween 80 yang diperoleh dari toko kimia di
Bogor. Bahan lainnya adalah pemanis high fructose syrup dan flavor melon,
lemon, dan jeruk yang diperoleh dari toko kue di Bogor, serta air dalam kemasan
komersial merk AQUA yang diperoleh di pasar swalayan Dramaga, Bogor.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah homogenizer ultra-turrax
model L4R (Silverson CO., England), high-pressure homogenizer TWP 600
(GEA Niro Saovi, Italia), Zetasizer Nano-S90 (Malvern Instrument,
Worcestershire, UK), Chromameter CR 300, HPLC, Sentrifuge.
Metode Analisis
Kadar Air, Metode Oven (AOAC 2012)
Sejumlah sampel 3-5 gram ditimbang dan dimasukkan dalam cawan yang
telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Kemudian sampel dan cawan
dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC selama 6 jam. Cawan didinginkan dan
ditimbang. Selanjutnya dikeringkan kembali sampai diperoleh bobot tetap. Kadar
air sampel dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Keterangan :
W
= bobot contoh sebelum dikeringkan (g)
W1
= bobot contoh + cawan kering kosong (g)
W2
= bobot cawan kosong (g)
Kadar Abu, Metode Gravimetri (AOAC 2012)
Cawan porselin kering ditimbang, kemudian 2-3 gram sampel ditimbang ke
dalam cawan porselin tersebut. Karena sampel berbentuk cairan, air dalam contoh
diuapkan dahulu ke dalam oven sampai kering. Setelah itu contoh dimasukkan ke
dalam tanur listrik yang dipanaskan pada suhu maksimum 5500C sampai
pengabuan sempurna.

11
Setelah pengabuan selesai, cawan contoh didinginkan di dalam desikator,
kemudian ditimbang sampai diperoleh bobot tetap.

Keterangan:
W
W1
W2

= bobot contoh sebelum diabukan (g)
= bobot contoh+cawan sesudah diabukan (g)
= bobot cawan kosong (g)

Kadar Protein, Metode Kjeldahl (AOAC 2012)
Sebanyak 0.1-0.25 gram sampel ditimbang di dalam labu Kjeldahl, lalu
ditambahkan 1.0 ± 0.1 g K2SO4, 40 ± 10 mL HgO, dan 2.0 ± 0.1 mL H2SO4.
Contoh didinginkan sampai cairan jernih kemudian didinginkan. Larutan jernih ini
dipindahkan ke dalam alat destilata, kemudian air cuciannya dimasukkan ke
dalam alat destilasi, pembilasan dilakukan sebanyak 5-6 kali. Selanjutnya
ditambahkan 8-10 mL larutan 60% NaOH dan 5% Na2S2O3.5H2O ke dalam alat
destilasi. Kemudian dilakukan destilasi selama15 menit atau sampai volume
larutan dalam wadah penampung mencapai 50 mL. Destilat ditampung dalam
wadah penampung yang beisi 5 mL asam borat yang telah dicampur dengan 2-4
tetes indikator MB:MM. Larutan yang diperoleh dari proses destilasi kemudian
dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna hijau menjadi abuabu. Volume dicatat untuk digunakan dalam perhitungan kadar protein. Volume
HCl yang digunakan untuk titrasi blanko, diperoleh dengan prosedur yang sama
namun sampel diganti dengan air destilata. Kadar protein dihitung engan
menggunakan persamaan sebagai berikut :

Keterangan :
FK = Faktor Koreksi yaitu 6.25
Kadar Lemak, Metode Soxhlet (AOAC 2012)
Labu lemak dikeringkan dalam oven bersuhu 1050C selama sekitar 15
menit, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (W2). Sebanyak 1-2 gram
contoh ditimbang dan dimasukkan ke dalam selongsong kertas saring yang dialasi
dengan kapas (Wo). Setelah itu selongsong kertas yang berisi contoh disumbat
dengan kapas, lalu dikeringkan dalam oven pada suhu tidak lebih dari 800C
selama ± 1 jam. Selongsong kertas yang sudah dikeringkan kemudian dimasukkan
ke dalam alat Shoxhlet yang telah dihubungkan ke labu lemak. Lemak dalam
contoh diekstrak dengan heksana selama ± 6 jam.

12
Heksana disuling dan ekstrak lemak dikeringkan dalam oven pengering
pada suhu 1050C, didinginkan pada desikator, lalu ditimbang.

Keterangan:
W
W1
W2

= bobot contoh (g)
= bobot labu lemak+lemak hasil ekstraksi (g)
= bobot labu lemak kosong (g)

Kadar Karbohidrat, Metode by difference (AOAC 2012)
Kadar karbohidrat dihitung sebagai sisa dari kadar air, abu, lemak, dan
protein. Pada analisis ini diasumsikan bahwa karbohidrat merupakan bobot
sampel selain air, abu, lemak, dan protein. Perhitungan kadar karbohidrat dengan
metode by difference menggunakan persamaan sebagai berikut :
Kadar karbohidrat (%) = 100 - (kadar air+kadar abu+kadar protein+kadar lemak)
Analisis Asam Lemak Bebas (AOAC 2012)
Sampel CPO dipanaskan pada suhu 60-70oC sambil diaduk hingga
homogen. Sampel tersebut ditimbang sebanyak 5 gram di dalam erlenmeyer lalu
ditambahkan dengan 50 ml etanol 95% yang sudah dinetralkan. Sampel dan etanol
kemudian dipanaskan di atas alat pemanas dengan suhu 40oC hingga sampel larut.
Sebanyak 1-2 tetes larutan indicator fenolftalain ditambahkan ke dalam
erlenmeyer kemudian dilakukan titrasi dengan NaOH 0,1 N. Volume NaOH yang
terpakai kemudian dicatat. Kadar asam lemak bebas dihitung dengan persamaan :

Keterangan
V = volume larutan NaOH yang digunakan (ml)
N = normalitas larutan NaOH yang digunakan
W = berat sampel uji (g)
25,6 = konstanta untuk menghitung kadar asam lemak bebas sebagai asam
Palmitat
Analisis Bilangan Peroksida Metode Titrasi (AOAC 2012)
Sampel ditimbang sebanyak 5 gram ke dalam erlenmeyer 250 ml kemudian
ditambahkan sebanyak 30 ml pelarut, dikocok sampai semua sampel larut. KI
jenuh ditambahkan sebanyak 0,5 ml, didiamkan selama 2 menit di dalam ruang
gelap. Kemudian ditambahkan 30 ml air destilata. Kelebihan iod dititer dengan
larutan tiosulfat (
0,1 N, dengan cara yang sama dibuat penetapan untuk
blanko. Bilangan peroksida dihitung berdasarkan rumus:

13
Analisis Bilangan Iod Metode Titrasi (AOAC 2012)
Sampel minyak ditimbang sebanyak 0.5 gram dalam gelas erlenmeyer 250
ml, ditambahkan 10 ml kloroform dan 25 ml pereaksi Hanus. Kemudian larutan
didiamkan di ruang gelap selama 1 jam. Setelah 1 jam, larutan ditambahkan
kalium iodida (KI) 15% lalu dikocok. Titrasi dengan Na2S2O3 0.1 N hingga warna
hampir ilang. Selanjutnya ditambahkan indikator pati 1% sebanyak 2 tetes. Titrasi
kembali sampai warna biru yang terbentuk hilang. Bilangan iod dihitung
berdasarkan rumus :

Analisis β-Karoten, Metode HPLC (AOAC 1999)
Sebanyak 1-2 g sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi bertutup,
kemudian ditambahkan 10 mL larutan KOH 10% dalam metanol kemudian
divorteks. Setelah itu, gas nitrogen dihembuskan ke dalam tabung reaksi selama
30 detik lalu ditutup untuk mencegah terjadinya oksidasi -karoten. Larutan
dipanaskan dalam waterbath 65oC selama 60 menit, lalu didinginkan. Setelah itu,
ditambahkan 2x10 mL heksana, kemudian divorteks, ditunggu hingga larutan
dalam tabung terpisah menjadi dua fraksi, lalu diambil larutan pada fraksi heksana
(bagian atas) dan dipindahkan ke tabung reaksi lain sambil dilewatkan pada kertas
saring yang telah diberi natrium anhidrous. Fraksi heksana yang terkumpul
diuapkan dengan gas nitrogen hingga kering. Analat kering yang diperoleh
dilarutkan dengan 1000 μl fase gerak untuk menghindari terjadinya tailing pada
kromatogram.
Selanjutnya, larutan sampel diinjeksikan ke HPLC. Volume larutan sampel
yang diinjeksi minimal 2 kali volume sampel loop (β0 μl), yaitu 40 μl. Tahap
selanjutnya yaitu persiapan larutan standar dan pembuatan kurva standar, seri
pengenceran 5x, 10x, β0x, 50x, dan 100x dibuat dari larutan standar -karoten
konsentrasi 440 μg/ml dalam basis 1000 μl. Setiap larutan standar diinjeksikan ke
HPLC, minimal dua kali volume sampel loop (β0 μl), yaitu 40 μl. Hubungan
antara luas peak yang terbaca dengan konsentrasi larutan yang diinjeksikan
kemudian diplotkan, di mana luas peak sebagai sumbu y dan konsentrasi larutan
sebagai sumbu x. Kemudian peak -karoten pada sampel diidentifikasi dengan
mencocokkan waktu retensi peak sampel dengan waktu retensi standar -karoten.
Luas area peak -karoten pada sampel dicatat dan dimasukkan ke dalam
persamaan kurva standar untuk memperoleh konsentrasi -karoten sampel dari
kurva standar (μg/ml).
Analisis Stabilitas Emulsi (Modifikasi Metode Yasumatsu et al. 1972)
Pengukuran stabilitas emulsi dengan metode ini berdasarkan kemampuan
pembentukan emulsi setelah dilakukan pemanasan dan sentrifugasi. Prosedur
penentuannya adalah sampel emulsi dipanaskan dalam penangas air bersuhu 80oC
selama 30 menit, kemudian disentrifugasi pada kecepatan 1300 rpm selama 10
menit.

14
Volume campuran yang masih membentuk emulsi diukur dan stabilitas emulsi
ditetapkan dengan persamaan sebagai berikut :

Analisis Sensori, Uji Hedonik (Waysima dan Adawiyah 2011)
Pengujian organoleptik dilakukan setelah sampel dibuat atau pada awal
penyimpanan dengan uji penerimaan berupa uji kesukaan (hedonik) terhadap
kriteria mutu minuman emulsi. Atribut yang diuji adalah rasa, aroma, warna, dan
penampakan umum (overall). Panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih
berjumlah 70 orang. Tingkat skala hedonik mulai dari sangat suka (skala numerik
= 7), suka (6), agak suka (5), netral (4), agak tidak suka (3), tidak suka (2), dan
sangat tidak suka (1). Hasil uji hedonik ditabulasikan dalam tabel, kemudian
dilakukan analisis uji t (Independent-Sample T Test) menggunakan program
statistik, yaitu SPSS 20.0 untuk melihat signifikansi perbedaan kedua sampel.
Analisis Warna, Metode Kolorimeter (Hutching 1999)
Pengukuran warna telah dilakukan menggunakan alat Chromameter CR
300. Pengukuran dilakukan terhadap tiga titik pada permukaan sampel sebanyak
50 mL. Hasil pengukuran dicatat dengan sistem skala L*, a*, b*. Nilai L
menyatakan parameter kecerahan (0 = hitam, 100 = putih). Warna kromatik
campuran warna merah-hijau ditunjukkan oleh nilai a, (a+) = 0 – 80 untuk warna
merah dan (a-) = 0 – (- 80) untuk warna hijau. Sementara itu, untuk warna
kromatik campuran biru-kuning ditunjukkan oleh nilai b (b+) = 0 – 70 untuk
warna kuning dan (b-) = 0 – (-70) untuk warna biru. Selanjutnya dihitung oHue
dari nilai a dan b yang diperoleh dengan persamaan oHue = arc tan (b/a).
Deskripsi warna berdasarkan oHue dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Deskripsi warna berdasarkan °Hue
°Hue [arc tan (b/a)]
18-54
54-90
90-126
126-162
162-198
198-234
234-270
270-306
306-342
342-18

Deskripsi warna
Red (R)
Yellow Red (YR)
Yellow (Y)
Yellow Green (YG)
Green (G)
Blue Green (BG)
Blue (B)
Blue Purple (BP)
Purple (P)
Red Purple (RP)

Analisis ukuran partikel dan distribusi, Metode Dynamic Light Scatter (Tan dan
Nakajima 2005)
Ukuran partikel diamati dengan mengamati ukuran partikel rata-rata dan
distribusi rata-rata ditentukan dengan Dynamic Light Scatter (DLS) menggunakan
alat Particle Size Analyzer Zetasizer Nano-S90 (Malvern Instrument,

15
Worcestershire, UK). Hasil yang diberikan akan menunjukkan nilai rata-rata ±
standar deviasi dari nilai yang diberikan.
Prinsip pengukuran dengan metode ini adalah ukuran partikel diukur melalui
penyinaran cahaya monokromatik pada larutan yang mengandung partikel bulat
dengan gerak Brown tertentu. Penyinaran cahaya monokromatik pada partikel
akan mengubah efek Doppler pada larutan yang kemudian akan mengubah gerak
Brown pada larutan dan mengubah panjang gelombang yang terpantulkan. Pada
konsentrasi dan suhu larutan yang sama, gerak Brown larutan akan semakin kecil
seiring dengan semakin besarnya ukuran partikel. Nilai rata-rata ukuran partikel
akan secara otomatis terbaca pada hasil pengukuran alat. Ukuran diameter
nanoemulsi dinyatakan oleh rata-rata diameter berdasarkan number distribution,
dan distribusi ukuran droplet nanoemulsi yang dinyatakan dengan Poly
Dispersion Index (PDI).
Rancangan Perlakuan
Penelitian ini menggunakan piranti lunak program Design Expert 7.0
sebagai tahapan pembuatan rancangan formula dan respon. Rancangan metode
yang digunakan pada prgram ini adalah mixture design dengan rancangan Doptimal design. Rancangan ini digunakan oleh formulator untuk mendapatkan
formula optimum dari berbagai kombinasi bahan.
Tahap ini diawali dengan penetapan komponen bahan baku sebagai variabel
tetap dan variabel berubah. Variabel tetap tidak dimasukkan ke dalam pengaturan
rancangan pada program. Hal ini dikarenakan variabel tetap nilainya tidak
berubah dalam setiap formula. Dalam penelitian ini, komponen bahan baku yang
termasuk dalam variabel tetap adalah asam sitrat (0.2%) dan flavor (0.3%).
Sedangkan variabel berubah akan dimasukkan ke dalam pengaturan rancangan
formula karena nilainya yang berubah-ubah pada setiap formula.
Variabel berubah adalah komponen bahan baku yang diasumsikan akan
memberikan pengaruh terhadap respon yang dihasilkan pada masing-masing
formula minuman. Oleh karena itu, nilai variabel berubah akan berbeda-beda pada
setiap formula untuk melihat pengaruh perubahan komposisinya terhadap respon
yang dihasilkan. Dalam penelitian ini, komponen bahan baku yang termasuk ke
dalam variabel berubah adalah nanoemulsi, air, dan HFS.
Penentuan variabel berubah kemudian diikuti dengan penentuan kisaran
minimum dan maksimum dari nanoemulsi, air, dan HFS. Batas-batas ini akan
dijadikan input dalam pengaturan rancangan formula oleh program Design Expert
7.0 dengan rancangan D-optimal design untuk mencari rancangan formula dari
komponen-komponen yang dicampurkan sehingga dihasilkan output berupa
rancangan formula minuman.
Setelah dilakukan penentuan komponen formula, dilakukan penentuan
variabel respon yang diinginkan. Respon yang digunakan dalam penelitian ini
adalah kestabilan emulsi, ukuran partikel, kadar -karoten, L, dan °Hue. Dengan
mengoptimalkan respon yang dipilih, diharapkan formula minuman yang
dihasilkan akan memiliki mutu yang optimum.

16

HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses Pemurnian Crude Palm Oil (CPO)
Sebelum digunakan untuk membuat nanoemulsi, CPO dari PT Salim
Ivomas Pratama dimurnikan terlebih dahulu. Tujuan dilakukan proses pemurnian
ini adalah untuk mendapatkan fraksi cair (olein) yang akan digunakan untuk tahap
penelitian ini. Disamping itu tahap ini juga dilakukan karena CPO yang berasal
dari PT Salim Ivomas Pratama masih terdapat banyak pengotor. Umumnya proses
pemurnian CPO meliputi tahap degumming, deasidifikasi, bleaching, deodorisasi,
dan fraksinasi (Kusnandar 2010). Namun, pada penelitian ini hanya dilakukan
tahap degumming, deasidifikasi, dan fraksinasi. Proses bleaching dan deodorisasi
dihilangkan dari tahap pemurnian karena tahap ini dapat merusak dan
menghilangkan komponen karotenoid pada CPO.
Proses degumming bertujuan untuk memisahkan getah atau lendir yang
terdiri dari fosfatida, protein, residu, karbohidrat, air, dan resin, tanpa mengurangi
asam lemak bebas dalam minyak (Ketaren 2005). Proses degumming dilakukan
dengan menambahkan asam fosfat 85% sebanyak 0.15% dari bobot CPO yang
digunakan dengan diaduk perlahan-lahan (56 rpm) selama 15 menit (Mas’ud
2007; Widarta 2008). Dari proses degumming diperoleh minyak sawit yang
berwarna merah, lebih homogen, dan tidak ada lagi endapan.
Tahap selanjutnya adalah deasidifikasi yang bertujuan untuk memisahkan
asam lemak bebas dari CPO serta untuk menghilangkan senyawa fosfatida yang
tidak larut air, mineral mikro, dan senyawa-senyawa hasil oksidasi yang tidak
dapat dihilangkan melalui proses degumming (Ketaren 2005; Kusnandar 2010).
Proses deasidifikasi dilakukan dengan menggunakan larutan NaOH yang
dilakukan pada suhu 59±2°C selama 25 menit (Widarta 2008). Proses deasidifikasi
dilakukan dengan mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau pereaksi
lainnya sehingga membentuk sabun. Sabun yang terbentuk akan membantu
pemisahan kotoran dengan cara membentuk emulsi. Sabun dan emulsi dipisahkan
dengan sentrifugasi menggunakan spinner. Sentrifugasi dilakukan dengan
kecepatan tinggi untuk pemisahan fase berat dan ringan berdasarkan densitas
(Ketaren 2005). Berikutnya dilakukan pencucian dengan air hangat dan
disentrifugasi kembali sehingga diperoleh cairan minyak yang berwarna merah.
Setelah proses deasidifikasi kemudian dilakukan proses fraksinasi yang
bertujuan untuk memisahkan fraksi cair (olein) dan fraksi padat (stearin).
Asmaranala (2010) melakukan proses fraksinasi membran filt