Efek Paparan Insektisida Deltametrin Pada Kerbau Terhadap Angka Gigitan Nyamuk Anopheles vagus pada Manusia

EFEK PAPARAN INSEKTISIDA DELTAMETRIN
PADA KERBAU TERHADAP ANGKA GIGITAN
NYAMUK Anopheles vagus PADA MANUSIA

MUHAMMAD HASAN

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

2

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Efek Paparan
Insektisida Deltametrin Pada Kerbau

Terhadap Angka Gigitan Nyamuk


Anopheles Vagus Pada Manusia adalah benar-benar karya saya sendiri dan
belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apapun. Semua informasi yang
berasal dari karya diterbitkan maupun yang belum diterbitkan dari penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka

Bogor

Februari 2006

Muhammad Hasan
B 451020031

3

ABSTRAK
Telah dilaksanakan penelitian tentang efek paparan insektisida deltametrin pada
kerbau terhadap angka gigitan nyamuk Anopheles vagus pada manusia di
Cikarawang Bogor dari bulan September sampai November 2004. Metode yang
digunakan adalah paparan insektisida deltametrin pada badan kerbau dengan cara
pembaluran (sponging), serta penangkapan nyamuk dengan umpan orang luar

(OUL) dan
umpan orang dalam (UOD).Teknik tersebut dilakukan untuk
mengetahui angka gig itan nyamuk (Man Biting Rate) Anopheles yang dijadikan
indikator dalam mengetahui efek paparan insektisida pada tubuh kerbau tersebut.
Sebelumnya dilakukan uji efikasi sebagai pendahuluan untuk mengetahui sampai
berapa lama efek residu insektisida dapat bertahan pada tubuh kerbau.Diperoleh
hasil delapan spesies nyamuk Anopheles yaitu A. vagus, A. indefinitus, A. aconitus,
A. nigerimus, A. asnnularis, A. barbirostris, dan A. tesselatus. A. vagus merupakan
spesies Anopheles yang dominan dengan hasil penangkapan sebanyak 743 ekor
(84,82%) dari populasi keseluruhan. Efek residual deltametrin hanya bertahan
kurang lebih tiga hari pada tingkat kematian 95%. Efek paparan deltametrin hanya
dapat menurunkan MBR A. vagus, sedangkan pada jenis spesies Anopheles
lainnya tidak menimbulkan efek penurunan MBR.
Di masa depan perlu dilakukan riset yang sama dengan menggunakan insektisida
sistemik pada kerbau dan hewan lainnya. Prioritas riset hendaknya ditujukan pada
daerah endemis malaria atau daerah yang sering dilanda kejadian luar biasa
malaria.
Kata Kunci: angka gigitan nyamuk, kerbau, nyamuk, Anopheles vagus, deltametrin

4


ABSTRACT
Study was carried out to observe the effect of deltamethrin insecticide application
against the biting activity of Anopheles vagus, on human being at Cikarawang,
Bogor, since September to November 2004. Insecticide (deltamethrin) was used
as lotion and rubbed over the buffaloes body followed by observation the biting
activity of mosquitoes (with emphasize on Anopheles mosquitoes group) indoor
and outdoor as well. The efficacy of delthamethrin against the Anopheles
mosquitoes was observed on the buffaloes prior of trials. Eigth species of Anopheles
was collected namely, A. vagus, A. indefinitus, A.aconitus, A.nigerimus, A.
annularis, A. barbirostris, dan A. tesselatus. A. vagus is dominant and collected for
743 (84,82 %) over the all collections. The protection period of deltamethrin on
the body of buffaloes reached out of 95 % for only 3 days. The protection on the
humans body was only observed for Anopheles vagus. Utilization of systemic
insecticides on the buffaloes should be attempted to gain the optimal results, in
protecting the mosquitoes biting activity.
Key Words: man biting rate, Anopheles vagus, mosquitoes, deltamethrin, buffaloes

5


EFEK PAPARAN INSEKTISIDA DELTAMETRIN PADA KERBAU
TERHADAP ANGKA GIGITAN NYAMUK Anopheles vagus PADA
MANUSIA

MUHAMMAD HASAN

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi
Entomologi Kesehatan

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2005

6

Judul tesis
Nama
NRP


: Efek Paparan Insektisida Deltametrin Pada Kerbau Terhadap Angka
Gigitan Nyamuk Anopheles vagus Pada Manusia
: Muhammad Hasan
: B451020031]

Disetujui
Komisis Pembimbing

Dr. drh. F.X. Koesharto, M.Sc.
Ketua

Prof. Dr. drh. Singgih. H. Sigit, M.Sc
Anggota

Dr. drh. Dwijayanti Gunandini, MS.
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Entomologi Kesehatan

Dr. drh. F.X. Koesharto,M.Sc

Tanggal Ujian, 30 September 2005

Dekan

Sekolah Pasca Sarjana

Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

Tanggal Lulus,

7

PRAKATA
Puji

syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya


sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan baik.
Dalam menyelesaikan tesis ini , penulis tidak lepas dari dorongan, bantuan dan rasa
bimbingan dari semua pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima
kasih

kepada Bapak Dr. drh. F.X. Koesharto, M.Sc. selakuk ketua komisi

pembimbing, Bapak Prof.Dr. drh. Singgih H. Sigit M.Sc dan Ibu DR. drh. Dwijayanti
Gunandini, M.S., selaku anggota komisi pembimbing. Terima kasih juga penulis
haturkan kepada Bapak Yunus, S.si, Bapak Heri, Bapak Nanang, Bapak M. Topik,
serta Ibu Juleha, Bc. Hk. yang telah banyak membantu kami selama berada di
Laboratorium Entomologi FKH-IPB.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Drs. Ida Bagus Indra
Gotama , SKM, Msi, Bapak DR. Drs. Amrul Munif M.S., Bapak Drs. Putut Joko
Pitoyo, MSpH, Ibu Kepala Puslit Ekologi Balitbang Depkes RI.Bapak Kepala Sub
Direktorat Serangga Penular Penyakit

Ditjen P2MPLP


Depkes RI dan Bapak

Pimpinan Proyek Intensifikasi Penyakit Menular (ICDC-ADB) beserta staf. Kepada
Bapak Kepala Loka Litbang P2B2 Waikabubak dan staf terutama M. Khuzwaeni.
Bapak Kepala Dinas Kesehatan Propinsi NTT beserta staf terutama Acep Efendi,
SKM,M.S, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Barat dan staf serta temanteman seangkatan di program Studi Entomologi Kesehatan
Kepada Ayah (alm.) dan Bunda serta seluruh keluarga

terimakasih atas

sokongan moral dan material. Kepada isteri dan anak-anak terimakasih atas doa dan
pengorbanannya selama penulis bersekolah.
Saran dan kritik kami harapkan dari pembaca untuk kesempurnaan tulisan
ini.

8

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pangkajene, Pangkep Sulawesi Selatan, pada 14 Juli
1970 dari ayah (alm.) H. Abdul Rauf Sila dan ibu H j. Sitti Muna. Penulis merupakan

anak ke empat dari delapan bersaudara.
Pada tahun 1989 penulis lulus SMA Negeri I Pangkep, kemudian menempuh
pendidikan sarjana

di Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Hasanuddin

Makassar pada peminatan Kesehatan Kerja. dan selesai Tahun 1995.
Tahun 2002, atas bantuan beasiswa dari Proyek Intensifikasi Pemberantasan
Penyakit Menular

(IPPM) Departemen Kesehatan Republik Indonesia., penulis

melanjutkan studi S2 di Sekolah Pasca Sarjana

Institut Pertanian Bogor, pada

Program Studi Entomologi Kesehatan .
Sejak tahun 1997, penulis bekerja


pada Kanwil Departemen Kesehatan

Propinsi Nusa Tenggara Timur. Sejak tahun 2001, setelah Kanwil Depkes NTT
dilikuidasi, penulis bekerja di Loka Penelitian dan Pengembanaga n Penularan
Penyakit Bersumber Binatang (Loka Litbang P2B2)

Badan Penelitian dan

Pengembangan Depkes RI yang berkedudukan di Waikabubak – Sumba Barat - Nusa
Tenggara Timur.

9

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL

………………………………


vi

DAFTAR GAMBAR

………………………………

vii

DAFTAR LAMPIRAN

………………………………

viii

PENDAHULUAN

……………………………………..

1

TINJAUAN PUSTAKA

……………………………………..

Faktor-Faktor Penyebab Nyamuk Tertarik
Pada Inang

……………………………………..

3

Perilaku Nyamuk Anopheles

………………………………

5

………………………………

6

………………………………

9

Deltametrin dan Cara Kerjanya

……………………………………..

13

Resistensi dan Mekanismenya

……………………………………..

14

Bioekologi Nyamuk Anopheles Vagus

………………………………

16

Pemanfaatan Ternak Dalam Pengendalian
Nyamuk Anopheles
Pemanfaatan Ternak dan Insektisida
dalam Pengendalian Nyamuk Anopheles

BAHAN DAN METODE

………………………………

Lokasi Penelitian

……………………………………..

16

Waktu Penelitian

……………………………………..

17

Metode Penelitian

………………………………

17

HASIL DAN PEMBAHASAN

………………………………

Uji Residual

……………………………………..

21

Pengamatan Populasi Nyamuk Anopheles

……………………………………..

22

Efek Insektisida Terhadap Nyamuk
Anopheles Pasca Perlakuan

………………………………

25

Pembahasan Umum

………………………………

29

KESIMPULAN

……………………………………..

33

SARAN

……………………………………..

33

DAFTAR ACUAN

……………………………………..

34

10

DAFTAR TABEL

No

Teks

1

Rata-Rata Kematian (%) Nyamuk Anopheles vagus
Setelah Berkontak dengan Residu Deltametrin 500
WP
Pada Kerbau dengan Dosis 400 mg/m² Selama Satu Jam………

2

3

Halaman

Jenis Nyamuk Anopheles yang
Tertangkap Selama Penelitian……………………………………
Persentase Spesies Nyamuk Anopheles
Berdasarkan
Penangkapan………………………………

Metode

21

23

24

4

Pengamatan Populasi A. vagus Pra dan Pasca Perlakuan………...

26

5

Pengamatan Populasi A. aconitus Pra da n Pasca Perlakuan……..

28

6

Pengamatan Populasi A. tesselatus Pra dan Pasca Perlakuan…...

29

11

DAFTAR GAMBAR

No

Teks

1

Struktur Kimia Deltametrin……………………………………….

12

2

Peta Wilaya Penelitian…………………………………………….

16

3

Metode Penangkapan Nyamuk Anopheles dengan
Umpan Orang……………………………………………………...

17

Papaparan Insektisida pada Kerbau dengan
Umpan Orang……………………………………………………...

19

Kerucut Plastik Berisi Nyamuk Anopheles pada
Tubuh Kerbau…………………………………………………….

19

Grafik Fluktuasi Angka Gigitan Nyamuk
Anopheles…………………………………………………………

27

4
5
6

Halaman

12

DAFTAR LAMPIRAN

No

Teks

Halaman

1

Bagian thorax dan kepala, sayap serta kaki Anopheles vagus…………

40

2

Pemberian Deltametrin pada Sapi di kamp Pengungsi Afganistan di
Pakistan………………………………………………………………...

41

3

Pengamatan Populasi A. kochi Pra dan Pasca Perlakuan……………..

42

4

Pengamatan Populasi A. nigerrimus Pra dan Pasca Perlakuan………..

43

5

Pengamatan Populasi A. tesselatus Pra dan Pasca Perlakuan………...

44

6

Pengamatan Populasi A. annularis Pra dan Pasca Perlakuan………….

45

7

Pengamatan Populasi A. barbirostris Pra dan Pasca Perlakuan……….

46

8

Angka Gigitan Nyamuk Anopheles Pra dan Pasca Perlakuan
Insektisida………………………………………………………………

47

13

PENDAHULUAN
Nyamuk Anopheles merupakan vektor penyakit malaria dan filariasis yang
umumnya aktif menggigit pada malam hari dan berkembang biak pada genangan air,
sungai aliran lambat, persawahan, danau dan muara sungai menuju laut. Nyamuk
Anopheles bersifat kosmopolit, hampir terdapat di seluruh benua mulai dari yang
beriklim tropis sampai subtropis.
Daerah yang disenangi nyamuk adalah suatu daerah yang tersedia tempat
istirahat, sumber darah dan tempat untuk berkembang biak. Aktivitas nyamuk mencari
darah dipengaruhi oleh berbagai faktor ekologi dan rangsangan dari hospesnya.
Nyamuk Anopheles umumnya bersifat zoofilik. Namun demikian dapat saja
terjadi perubahan perilaku menggigit dari zoofilik menjadi antropofilik, bila terjadi
perubahan ekologi, yang menyebabkan sumber darah hewan tidak tersedia, sebaliknya
darah manusia tersedia dalam jumlah yang cukup banyak.
Untuk menurunkan populasi nyamuk Anopheles salah satu metode yang
dapat ditempuh adalah pengendalian dengan metode kimia, yaitu dengan
melakukan paparan insektisida secara terus menerus dalam kurun waktu tertentu
.Walaupun terdapat sisi negatif dari penggunaan bahan kimia, seperti dapat
menimbulkan resistensi yang pada akhirnya dapat menjadi faktor penyebab
timbulnya ledakan hama dan berperan penting dalam munculnya hama sekunder,
tetapi metode tersebut sangat efektif dalam menurunkan populasi serangga dalam
waktu singkat.
Untuk mencapai hasil optimal, metode kimia dengan penggunaan
insektisida dapat dikombinasikan dengan metode biologi, melalui pemanfaatan
hewan ternak yang dikenal dengan istilah zooprofilaksis. Kombinasi kedua metode
tersebut diharapkan dapat berinteraksi dan memberi hasil maksimal dalam
pengendalian nyamuk Anopheles
Pemberantasan nyamuk Anopheles, selama ini dilakukan dengan metode
umum, yaitu dengan menyemprot rumah dengan insektisida. Namun
penyemprotan rumah memerlukan insektisida dalam jumlah yang cukup besar,
yang berdampak pada biaya yang mahal. Hal tersebut memberatkan terutama bagi

14

negara-negara berkembang, maka perlu dicari metode pemberantasan yang
murah namun tetap efektif.
Berdasarkan paparan tersebut, salah satu alternatif yang dapat dilakukan
untuk pengendalian nyamuk Anopheles adalah dengan memanfaatkan hewan ternak,
seperti sapi dan kerbau. Dengan cara, hewan ternak tersebut diberi paparan insektisida
melalui pembaluran pada tubuhnya.
Metode ini terbukti murah dan efektif. Uji coba pada enam lokasi
penampungan para pengungsi Afganistan di propinsi Lembah Hangu, Pakistan
membuktikan hal tersebut. Pengungsi mengolesi sapinya dengan deltametrin selama
tiga kali musim malaria.
Hasilnya terbukti, sama efektifnya dengan penyemprotan rumah. Biaya yang
dibutuhkan 80% lebih murah. Metode ini lebih mudah dan aman bagi penduduk
serta dapat membasmi kutu hewan sehingga produksi semakin meningkat (Rowland
dan

Hewitt 2001). Deltamethrin jugai tidak mengkontaminasi daging

hewan

bersangkutan, sehingga aman untuk dikonsumsi (WHO 1990 dalam Hewitt 1994).
Walaupun demikian cara ini hanya tepat apabila jenis nyamuknya menyukai
hewan dan terutama mencari makanan dengan mengisap darah sapi dan kerbau. Di
Afrika, misalnya, cara ini mungkin tidak dapat diterapkan karena jenis nyamuknya
berbeda (Aschwanden 2001).
Penelitian tentang efek paparan insektisida deltametrin terhadap angka gigitan
nyamuk Anopheles pada manusia belum pernah dilaksanakan di Indonesia. Penelitian
sebelumnya hanya memfokuskan pada penyemprotan insektisida di kandang ternak
(Nalim 1986). Tujuan penelitian

bermaksud untuk mengetahui efektifitas residu

insektisida deltametrin pada kerbau dengan uji bioesai serta efek paparannya dengan
indikator angka gigitan nyamuk Anopheles pada penghuni rumah yang kerbaunya
diberi aplikasi insektisida

.

15

TINJAUAN PUSTAKA

Faktor-Faktor Penyebab Nyamuk Tertarik Kepada Inang

Setiap spesies nyamuk mempunyai perilaku berbeda dalam mencari
inangnya. Hal ini disebabkan oleh daya tarik masing-masing inang tersebut
terhadap nya muk tidak sama. Beberapa faktor yang diketahui mempengaruhi
nyamuk dalam mencari inang adalah

suhu, kelembaban, karbondioksida,

aroma tubuh dan bermacam -macam faktor visual.

Suhu. Suhu merupakan faktor penting sebagai perangsang dalam penemuan
inang dan merupakan daya tarik utama bagi nyamuk untuk bereaksi
menggigit (Bates 1970; Peterson dan Brown 1951). Penelitian laboratorium
tentang pengaruh suhu terhadap aktivitas menggigit Culex pipiens pada inang
oleh

Crumb dalam Bates (1970) membuktikan hal tersebut. Dilaporkan

bahwa respon paling besar terjadi pada suhu 32°C sampai 43°C sedangkan
suhu diatas 49°C dan dibawah 30°C, kurang mendapat respon dari nyamuk.
Smart dan Brown (1956) melaporkan bahwa kulit yang lebih hangat akan
lebih mena rik bagi nyamuk. Pernyataan ini sesuai dengan laporan Brown et
al. (1951) bahwa apabila salah satu tangan manusia didinginkan sampai
22°C sedang tangan lain pada suhu 30°C, maka tangan yang lebih dingin
kurang menarik untuk digigit nyamuk.

Kelembaban udara.

Kelembaban udara dapat mempengaruhi perilaku

nyamuk. Di dalam kandang, kebanyakan Aedes aegypti mendekati aliran
udara hangat dengan kelembaban 15% sampai 20%. (Brown et al. 1951).
Namun menurut Reuter (1936) dalam Clement (1963), bahwa di lapangan
tidak ada bukti yang menunjukkan pentingnya tingkat kelembaban bagi
orientasi keadaan inang. Sehingga disimpulkan bahwa kelembaban mungkin
merupakan sebagian

dari faktor penting yang berasal dari inang dan

merupakan daya tarik nyamuk pada jarak dekat.

16

Karbondioksida.

Pengaruh karbondioksida terhadap perilaku menggigit

masih banyak diperdebatkan. Para peneliti yang mengamati pengaruh
karbondioksida terhadap nyamuk, belum menyepakati bagaimana metode zat
kimia tersebut bekerja dalam perilaku makan.
Menurut Headle (1974) dalam Service (1976) pada perangkap New
Jersey Light Trap, yang digunakan dengan menambahkan karbondioksida
selama dua jam dapat meningkatkan jumlah nyamuk yang tertangkap menjadi
empat kali lipat. Karbondioksida yang merupakan sisa metabolisme
diekskresikan melalui saluran pernapasan, sehingga nyamuk lebih banyak
hinggap dibagian kepala

daripada anggota tubuh lainnya (Daykin et al.

1965).
Sementara itu Carlson et al. (1992) melaporkan hasil penelitiannya
bahwa tidak ada hubungan antara penambahan produksi CO2 dengan daya
tarik

Ae.

aegypti terhadap inang.Penelitian tersebut dilakukan dengan

menggunakan alat olfaktometer.

Aroma. Respon nyamuk terhadap aroma yang terpancar dari inang, secara
jelas telah ditunjukkan oleh Learman (1955) dengan memakai olfaktometer.
Udara dialirkan melewati kelinci kemudian dilepaskan ke dalam kandang
nyamuk pada suhu kamar. Nyamuk A. labrachiae atroparvus memberi respon
terhadap aliran udara tersebut dengan melayang-layang atau hinggap pada
lubang masuk aliran udara.
Willis

(1947) juga menyimpulkan bahwa aroma lengan manusia

merupakan rangsangan yang menarik perhatian nyamuk Ae. aegypti dan A.
quadrimaculatus. Daya tarik urine manusia terhadap nyamuk Ae. aegypti,
dilaporkan

oleh Roessler (1961) dalam Clements (1963. Reuter

(1936)

dalam Clements (1963), memperoleh hasil negatif dalam meneliti keringat
sebagai sumber yang menimbulkan daya tarik nyamuk. Aroma darah sapi
dilaporkan mempunyai daya tarik terhadap nyamuk Ae. aegypti empat kali
lebih besar daripada air dan plasma darah lima kali lebih besar daripada air
(Burgess dan Brown 1957)
Visual. Respon visual mempengaruhi nyamuk dalam memilih inang. Bentuk
dan pemantulan cahaya serta gerakan inang ternyata merupakan faktor

17

penting, sebab mampu menuntun nyamuk yang aktif mencari darah pada siang
hari (Sippel dan Brown 1953). Brown dan Bennet (1981) melaporkan bahwa
Ae. aegypti lebih banyak menggigit tangan yang memakai kaos warna gelap
dibandingkan tangan yang memakai warna terang.
Walaupun faktor visual telah dibuktikan mempengaruhi nyamuk tetapi
tidak semua nyamuk tergantung kepada faktor tersebut. Diperkirakan faktor
visual berperan penting terutama pada nyamuk yang menggigit di siang hari.
Nyamuk Anopheles mulai menggigit pada senja hingga malam hari, berbeda
dengan nyamuk Aedes yang menggigit di siang hari (Mattingly 1969).
Perilaku Nyamuk Anopheles
Eksofilik adalah sifat atau kebiasaan nyamuk yang menyukai istirahat
di luar rumah sampai saat telurnya masak dan siap untuk diletakkan di
tempat perindukan. Nyamuk dengan sifat seperti ini menghabiskan sebagian
besar siklus gonotrofiknya di luar tempat berlindung manusia .
Bagi nyamuk yang bersifat eksofilik, metode penyemprotan rumah
yang dewasa ini banyak dilakukan tidak efektif. Hal ini terjadi karena nyamuk
Anopheles

yang menjadi sasaran tidak berkontak dengan insektisida yang

disemprotkan. Bentuk pengendalian di luar rumah seperti manajemen
lingkungan merupakan cara yang tepat untuk menurunkan populas i vektor
yang bersifat eksofilik. Berbeda dengan eksofilk, endofilik adalah sifat atau
kebiasan nyamuk yang sebagian besar waktu istirahat dihabiskan di dalam
rumah.
Sedangkan perilaku kesukaan nyamuk dalam memilih sumber darah
yang dijadikan makanan dapat dibedakan menjadi zoofilik dan antropofilik.
Zoofilik merupakan aktivitas nyamuk Anopheles yang lebih menyukai darah
hewan. Antropofilik adalah aktivitas nyamuk Anopheles dengan preferensi ke
darah manusia.Terkait dengan sifat antropofilik, nyamuk Anoph eles dapat
menggigit manusia di dalam rumah (endofagik) atau di luar rumah
(eksofagik).
Nyamuk Anopheles vagus bersifat zoofilik dengan lebih menyukai
darah sapi di Desa Hargotirto, Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo,
Yogyakarta (Aprianto, 2002). Sedangkan di lokasi yang sama A. maculatus
dan A. balabasensis bersifat antropofilik.

18

Berkaitan dengan lokasi menggigit. Aprianto (2002) tidak dapat
memastikan sifat eksofagik atau endofagik dari A. maculatus dan A. vagus.
Sedangkan di kecamatan Padang Cermin Lampung Selatan A. vagus bersifat
eksofagik (Idram et al. 1993).
Jastal

(2005) melaporkan dari delapan spesies nyamuk Anopheles

yang didapatkan di Desa Tongoa, Donggala Sulawesi Tengah, semuanya
bersifat eksofagik. Tiga spesies bersifat antropofilik yaitu A. barbirostris, A.
nigerrimus dan A. barbumbrosis. Tiga spesies lainnya bersifat zoofilik yaitu
A. tesselatus, A. vagus dan A. kochi.
Dari enam spesies nyamuk Anopheles yang termasuk kelompok
Anopheles gambiae kompleks, dua diantaranya bersifat antropofilik yaitu A.
gambiae dan A. arabiensis. Satu bersifat zoofilik yaitu A. quadrimaculatus,
sedangkan tiga lainnya A. merus, A. melas, dan A. bwambe bersifat zoofagik
dan eksofilik (Eldrigde dan Edman 2000).

Pemanfaatan Ternak dalam Pengendalian Nyamuk Anopheles
Pemanfaatan ternak merupakan salah satu cara biologis yang bertujuan
untuk mencegah dan menghindarkan kejadian kontak antara nyamuk dengan
manusia. Dalam konteks upaya

pengendalian nyamuk sebagai vektor

penyakit, dikenal istilah deviasi vektor dengan melakukan tindakan
zooprofilaksis. Tindakan tersebut merupakan perubahan orientasi nyamuk dari
menggigit manusia kepada menggigit hewan.
Zooprofilaksis oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO 1982)
didefinisikan sebagai penggunaan hewan domestik ataupun liar yang bukan
inang reservoar dari suatu penyakit tertentu untuk mengalihkan gigitan
nyamuk vektor dari manusia sebagai inang penyakit tersebut..
Tindakan zooprofilaksis lebih khusus dilakukan terhadap nyamuk
dengan cara menempatkan kelompok te rnak di dekat sumber tempat
perindukan nyamuk dalam garis arah terbang nyamuk yang baru muncul
menuju kepemukiman penduduk yang terjangkau oleh nyamuk-nyamuk
tersebut.
Tindakan zooprofilaksis yang direncanakan dan dilakukan seperti itu
disebut

zooprofilaksis

aktif.

Sebaliknya

zooprofilaksis

pasif,

yaitu

zooprofilaksis yang tidak direncanakan dan dilakukan dengan sengaja,

19

mempunyai daya mendeviasikan nyamuk vektor yang antropofilik menjadi
zoofilik dalam batas tertentu.
Pengendalian vektor melalui zooprofilaksis juga sangat tergantung
pada peran serta masyarakat. Karena diharapkan mereka yang akan
memelihara ternak disekeliling rumah mereka sebagai perlindungan terhadap
gigitan nyamuk. Untuk tahap awal peran serta masyarakat sangat diperlukan
dalam menguji-coba ternak yang mempunyai daya profilaksis yang paling
tinggi.
Penelitian Soedir (1985)

di Pantai Glagah, Yogyakarta terhadap

sejumlah hewan dan manusia menunjukkan ternak mempunyai daya tarik yang
besar terhadap nyamuk. Sapi mampu menarik 54,3% nyamuk dengan 20
spesies, domba sebanyak 33,4% nyamuk dengan jumlah 19 spesies. Manusia
sebagai pembanding hanya mampu menarik 5,3% nyamuk. dengan sembilan
spesies. Daya tarik tiga hewan lainnya yaitu monyet, kelinci serta ayam relatif
kecil. Masing-masing hanya menyumbang 1,2% (delapan spesies); 2,1%
(sepuluh spesies) dan 3,7% (enam spesies) dari seluruh nyamuk yang
tertangkap.
Hasil uji presipitin yang dilakukan

Boewono (1986) di Desa

Kaligading, Jawa Tengah menunjukkan 56,04% dari populasi A. aconitus
menghisap darah sapi, 23,07% darah kerbau, 13,19% darah domba dan 4,40%
darah kambing serta 3,30% darah manusia. Walaupun demikian berdasarkan
rata-rata jumlah A. aconitus yang menggigit orang maupun yang beristirahat
di dalam rumah menunjukkan daya tarik kerbau dan sapi terhadap jenis
nyamuk ini tidak jauh berbeda.
Faktor yang membedakan daya tarik kedua ternak tersebut terhadap
nyamuk A. aconitus adalah jarak penempatan kandang ternak tersebut dari
rumah penduduk. Semakin dekat penempatan kerbau atau sapi terhadap rumah
penduduk, semakin banyak investasi nyamuk A. aconitus di dalam rumah
Menurut Onori et al. dalam Bruce-Chwatt’s (1985) A. gambiae lebih
menyukai darah ternak dan kuda. Di sejumlah negara pecahan Uni Soviet,
ternak digunakan sebagai salah satu metode pengendalian malaria.
Di bagian Utara Eropa dan sejumlah negara di Amerika Utara, metode
zooprofilaksis juga dapat menurunkan kasus malaria yang disebabkan oleh
vektor Anopheles lokal di masing-masing daerah tersebut. Beberapa vektor

20

penting malaria di India, Indonesia dan Malaysia juga mempunyai
kecenderungan sebagai zoofilik.
Melihat kenyataan tersebut, pemberdayaan ternak sebagai barrier
terhadap penyakit malaria mempunyai potensi dan prospek yang bagus di
masa depan. R iset tentang zooprofilaksis dilaporkan Hewitt (1994) pada
kamp pengungsi Afganistan di Pakistan dengan menggunakan seekor sapi dan
dua ekor kambing sebagai zooprofilaksis. Namun hasil yang diperoleh adalah
peningkatan angka gigitan nyamuk oleh A. stephensi masing-masing 38% dan
50% untuk penggunaan sapi dan kerbau sebagai zoobarrier.
Peningkatan angka gigitan nyamuk A. stephensi terjadi karena jenis
spesies nyamuk tersebut bersifat antropofilik. Selain itu penyebarannya tidak
diatur sedemikian rupa untuk menjadi barrier antara manusia dengan vektor.
Sebagai syarat keberhasilan program zooprofilaksis disarankan dua
hal. Pertama, jenis spesies nyamuk Anopheles harus bersifat zoofilik. Kedua,
ternak tersebut harus disebar dalam bentuk barrier antara nyamuk vektor dan
manusia. Namun jika dalam situasi tertentu penyebaran tersebut tidak dapat
dilakukan, lokasi penempatan ternak harus sejauh mungkin dari manusia.
Dari hasil tersebut Hewitt mengusulkan agar pengertian zooprofilaksis
diredefinisi

menjadi ”Penyebaran ternak yang bukan inang reservoar dari

suatu penyakit untuk mengalihkan gigitan nyamuk vektor dari manusia yang
menjadi inang penyakit tersebut”.

Pemanfaatan Ternak dan Insektisida dalam Pengendalian Anopheles
Pengendalian secara biologi dengan memanfaatkan ternak bertujuan
mengalihkan preferensi nyamuk vektor dari manusia ke hewan. Penggunaan
hewan diharapkan dapat mengurangi transmisi penyakit malaria. Selain itu
dengan mengkombinasikan dengan aplikasi insektisida pada hewan tersebut
akan dapat menambah efektifitas pengendaliaan.
Kombinasi ternak dan insektisida menurut Rowland et all. (2001) dapat
menurunkan

insiden

penyakit

malaria

yang

disebabkan Plasmodium

falciparum sebesar 56% dan Plasmodium vivax sebesar 31%, dengan biaya
yang lebih rendah sekitar 80% dibandingkan dengan metode penyemprotan
dalam ruangan (indoor spraying).

21

Kombinasi aplikasi insektisida pada ternak tidak hanya
menguntungkan bidang kesehatan masyarakat saja, tapi juga memberi
keuntungan bagi kedokteran hewan dan ekonomi. Produktivitas ternak dapat
ditingkatkan sebagai akibat langsung dari reduksi ektoparasit dan serangga
pengganggu lainnya seperti lalat dan nyamuk (Minar et al. 1979; Shaikh et al.
1987; Pegram et al. 1991 dalam Hewitt dan Rowland 1999) Sela in itu terjadi
penurunan jumlah penyakit yang ditimbulkan oleh ektoparasit seperti
babesiosis, anaplasmosis,dan teileriosis .
Pengendalian ektoparasit dengan insektisida diketahui sangat baik dalam
meningkatkan produktivitas ( Pegram et al. 1989 dan Nor val et al. 1997 dalam
Hewitt dan Rowland 1999). Penggunaan deltametrin untuk pengendalian
ektoparasit pada ternak telah banyak digunakan (Beugnet dan Chardonner
1995; Okello dan Onen 1994; Kok et al. 1996 dalam Hewitt dan Rowland
1999). Penggunaan deltame trin sebagai insektisida pengendali ektoparasit tidak
berbahaya bagi konsumen dan produk hewan (WHO 1990)
Kombinasi ternak dan insektisida tersebut dapat mengurangi transmisi
malaria sama baiknya dengan penyemprotan dalam rumah. Secara teknis juga
dapat diarahkan untuk mengurangi resiko resistensi yang berkelanjutan.
Sehingga dengan keuntungan yang diperoleh tersebut, metode ini dapat menjadi
salah satu strategi pengendalian malaria disamping penyemprotan dalam rumah
(Hewitt dan Rowland 1999)
Deltametrin dan Cara Kerjanya
Deltametrin telah digunakan secara luas pada sektor pertanian dan
kesehatan masyarakat. Penggunaan deltametrin dalam pengendalian penyakit
malaria terutama ditujukan untuk membunuh nyamuk Anopheles dewasa. Di
Cina, deltametrin digunakan secara ekstensif sebagai bahan aktif untuk
kelambu celup berinsektisida (impregnated bednet) untuk mencegah gigitan
nyamuk Anopheles (Rozendaal 1997). Deltametrin diformulasikan dalam
bentuk

emulsifiable concentrate (EC) , ultra low- volume

concentrate

(ULV), wettable powder (WP), formulasi tersendiri atau dipadukan dengan
insektisida lain.

22

Deltametrin merupakan insektisida sintetis yang termasuk ke dalam
golongan piretroid. Pertama kali diisolasi dari tumbuhan Chrysanthemum
sekitar tahun 1800 dan mula i dikenal secara luas di seluruh dunia pada tahun
1851 (Matsumura 1975) . Sedangkan deltametrin yang merupakan generasi ke
empat dari piretroid di sintesa pertama kali pada tahun 1974 dan mulai
dipasarkan tahun 1977.
Secara umum, insektisida yang termasuk golongan piretroid bersama
dengan DDT dan analognya digolongkan kedalam kelompok racun saraf
(neurotoksik) terhadap seranggga dan vertebrata ( Miller dan Adams dalam
Coats 1988). Target utamanya adalah saluran natrium pada membran saraf
yang berinteraksi dengan akson pada sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi.
Cara kerja piretroid adalah mempengaruhi sistem saraf serangga atau
mamalia dengan merangsang sel-sel saraf untuk menghasilkan efek
pengulangan (repetitive) yang berakhir dengan kelumpuhan dan kematian.
Efek ini disebabkan oleh rendahnya penutupan saluran natrium dalam akson
saraf, sehingga natrium bergerak cepat dalam sel-sel dan merubah fungsi
akson saraf.
Deltametrin termasuk jenis insektisida yang relatif aman terhadap
mamalia tapi sangat toksik terhadap serangga, dengan nilai LD50 oral akut 1934 mg/kg BB pada tikus, serta mempunyai tekanan uap 1,5 x-810

pada

suhu
25°C. Deltametrin berwujud tepung yang tidak berwarna dengan titik didih
98°C - 101°C. Insektisida ini larut dalam air pada suhu 20°C dengan
komposisi 2 mg/liter dan juga larut pada hampir semua pelarut organik sepert
aseton, etanol, sikloheksanon dan xilin .
Deltametrin merupakan insektisida golongan piretroid pertama yang
tersusun dari isomer t unggal dari delapan stereoisomer yang dihasilkan dari
proses esterifikasi. Berdasarkan struktur tersebut, diperoleh rumus kimia
deltametrin C 22H19Br 2NO 3. Gambar satu menunjukkan struktur kimia
deltametrin.
Deltametrin berdasarkan ikatan gamma–aminobutyric acid (GABA)
receptor – ionophore complex diklasifikasikan sebagai piretroid Tipe II.

23

Berdasarkan ikatan kimia tersebut tersebut, piretroid sintetis dapat
dikelompokkan dalam dua tipe. Piretroid tipe I, (T-syndrome), tidak
mengandung gugus kelompok alpa-siano. Tipe II adalah piretroid dengan
gugus kelompok alpa-siano atau (CS-syndrome) (Gammon et al. 1982,
Gammon dan Casida 1983; Lawrence dan Casida 1983; Lawrence et al. 1985).
Perbedaan mendasar dari kedua tipe tersebut adalah tipe I (termasuk
alletrin, d-penotrin, permetrin dan sismetrin) merupakan penyebab
peningkatan sementara permeabilitas natrium membran saraf selama eksitasi
(perangsangan) dengan perpanjangan impuls yang moderat. Rentetan
perulangan impuls saraf relatif lebih pendek pada organ indera perasa dan
serat saraf sensorik.
Sebaliknya, piretroid tipe II menyebabkan peningkatan sementara
permeabilitas natrium dari membran saraf selama eksitasi mengalami
perpanjangan yang permanen. Ulangan impuls organ saraf yang dihasilkan
mengalami rangka ian depresi berkepanjangan, bergantung pada frekuensi
impuls dari urat saraf. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok alpa-siano
berpengaruh terhadap saluran natrium membran saraf dan menyebabkan
peningkatan sementara permeabilitas natrium selama berlangsungnya
eksitasi.
Sebagai kelompok piretroid tipe II, deltametrin mempunyai karakter
yang dikenal dengan choreoathesis ( coarse tremor progressing to sinuos
writhing ), sedasi, pengeluaran cairan saliva, dispnoea dan kadang disertai
dengan badan tremor dan kelumpuhan (McGregor 2000). Karakteristik
deltametrin adalah tindakan eksitasi yang kuat

pada sistem saraf. Hal ini

diperoleh dari interaksi spesifik antara deltametrin dengan saluran natrium
pada membran saraf. Sebagai bagian perubahan pada permiabilitas dari
membran kepada natrium akibat efek pengulangan, maka akan dihasilkan
rangkaian impuls saraf.

24

Gambar 1. Struktur kimia deltametrin , (S) – siano-3-pehoksibenzil
(1R)-cis-3-(2,2-dibromovinil)-2,2-dimetilsiklopropan
karboksilat

Resistensi dan Mekanismenya
Resistensi merupakan kemampuan kelompok serangga untuk bertahan
hidup terhadap suatu dosis insektisida yang dalam keadaan normal dapat
membunuh spesies serangga tersebut ( WHO 1992)
Kasus resistensi pertama kali dilaporkan pada lalat rumah Musca
domestica terhadap DDT di Swedia pada tahun 1947. Perkembangan resistensi
semakin cepat setelah ditemukannya bahan sintetik organik sebagai insektisida
dan acarisida. Pada era tahun 1940-an hanya tujuh spesies serangga yang
dilaporkan resisten terhadap DDT, tetapi pada era 1980-an jumlahnya
meningkat mencapai 447 spesies. Dari jumlah tersebut 59% terdiri dari
serangga hama,

38% serangga pengganggu kesehatan hewan dan manusia.

Sedangkan 3% sisanya adalah serangga yang berguna seperti predator dan
parasitoid (Georghiou 1986).
Menurut WHO (1992 ) sampai saat ini lebih dari 100 spesies nyamuk
yang telah resisten terhadap satu atau lebih insektisida. Dari jumlah tersebut,
56 spesies di antaranya adalah nyamuk Anopheles dan 39 spesies Culex.
Anopheles yang mengalami proses resistensi tersebut antara lain; A. sacharovi
di Lebanon, Iran dan Turki. A. sundaicus di Indonesia dan Myanmar yang
resisten terhadap DDT. A. quadrimaculatus di Meksiko resisten terhadap
dieldrin .

25

A. aconitus di Indonesia juga mulai resisten terhadap organofosfat
(Widiarti 2003). Sementara itu nyamuk Anopheles yang resisten terhadap
piretroid adalah A. minimus di Thailand (Chareoviriyaphap et al. 2002 ) dan
A. gambiae di Burkina Faso (Diabate et al. 2002)
Mekanisme resistensi secara biokimia dapat digolongkan dalam dua
kategori yaitu (1) Mekanisme target sasaran dan (2) Mekanisme detoksifikasi
berbasis enzim ( Brogdon dan McAllister 1998)
Mekanisme target sasaran. Mekanisme ini terjadi ketika insektisida
tidak terlalu lama mengikat target sasaran.Target sasaran insektisida
organofospat dan karbamat adalah asetilkolinestarase pada sinaps saraf.
Sedangkan target sasaran organokhlorin (DDT) dan sintetik piretroid lainnya
adalah saluran natrium pada lapisan saraf. Resistensi silang DDT-Piretroid
dihasilkan oleh perubahan asam amino tunggal (satu atau kedua target sasaran
yang diketahui) dalam ikatan akson yang menjadi sasaran saluran natrium.
Resistensi silang tersebut menghasilkan perubahan dalam natrium yang
langsung menggerakkan saraf dan menyebabkan sensitivitas piretroid rendah.
Hal serupa terjadi pada resistensi siklodien (dieldrin) karena perubahan
kode gen nukleotida tunggal pada reseptor gamma -aminobutryc acid (GABA).
Sedikitnya terdapat lima tempat mutasi asetilkolinesterase yang mengikat
target insektisida dan telah diidentifikasi satu per satu
Mekanisme detoksifikasi. Mekanisme ini terbentuk ketika terjadi modifikasi
aktivitas esterase, oksidas dan gluthatione S-transferase (GST) sehingga
mencegah insektisida mencapai target sasaran. Dalam hal ini sejumlah enzim
bertanggung jawab terhadap detoksifikasi xenobiotik dari kehidupan
organisme dan terekam oleh rumpun multigen besar yang terdiri dari esterase,
oksidase dan GST. Enzim tersebut menyebabkan terjadinya modifikasi
mekanisme resistensi yang paling umum pada serangga dengan aktivitas
enzim detoksifikasi eseterase. Enzim ini juga punya jangkauan yang luas
terhadap metabolisme insektisida.
Sebagian besar makhluk hidup mempunyai dua atau lebih golongan
GST ganda. Sebagai kelompok dari gen yang mengaktifkan genom dengan
cara rekombinasi, GST juga mempengaruhi resistensi insektisida DDT.

26

Jumlah gen GST yang resisten -termasuk bentuk ganda pada serangga yang
sama-mempunyai karakteristik khusus ketika bersinggungan dengan serangga
vektor.
Bioekologi Nyamuk Anopheles vagus
Tempat perindukan dan padat populasi. A. vagus tersebar merata di pulau
Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara (Webster
dan Swellengrebel, 1953) Habitatnya hampir merata ditemukan pada setiap
ketinggian tempat. Mulai dari pantai dan pesisir sampai daerah ketinggian di
lereng-lereng pegunungan. Boewono (1999) menemukan spesies A. vagus di
Jawa Tengah pada setiap ketinggian diatas permukaan laut pada kandang
kerbau dan sapi. Mulai dari ketinggian 0-50 meter, 51-100 meter, 101-200
meter, 301-400 meter dan pada ketinggian 401-500 meter. Di daerah pantai
Banyuwangi, larva A. vagus ditemukan pada habitat lagun dan kobakan
(Shinta et al. 2003).
Stadium pradewasa dapat ditemukan pada kolam yang mendapat
penyinaran langsung dari matahari, selokan, parit, dan kobakan serta sawah
yang sedang ditanami padi. Larva sering ditemukan pada kolam air keruh
yang tidak terlalu kotor, kadang-kadang pada kolam mata air dan air payau.
Tumbuhan yang terapung di atas kolam merupakan tempat perlindungan yang
baik bagi larva.(Horsfall 1955, Reid 1968 dan Rao 1981)

Kebiasaan hinggap dan istirahat.

Nyamuk dewasa istirahat di dalam

maupun di luar rumah serta di kandang ternak dan di tebing sungai (Reid
1968; Rao 1981; Webster dan Swellengrebel 1953).
Kemampuan terbang A. vagus sampai sejauh 600 meter (Lallemant et al. 1932
dalam Horsfall 1955) di Jawa Timur. Perpindahan secara pasif dalam jumlah
besar melalui alat transportasi kapal dan kereta terjadi di Bengal India (Sen
1941 dalam Horsfall 1955). Nyamuk tersebut beristirahat dalam mobil dan
peti kemas di dalam kapal yang berlayar ke Kalkutta.

Aktivitas menggigit dan pemilihan inang.

Nyamuk A. vagus bersifat

zoofilik. Darah ternak khususnya sapi dan kerbau mempunyai daya tarik yang
kuat terhadap aktivitas menggigit spesies nyamuk ini dan hanya sedikit yang

27

menggigit manusia (Reid 1968). Bila dibandingkan antara manusia dan sapi
dalam uji aktivitas menghisap darah, sekitar 95% A.vagus memilih darah sapi
(Wharton 1951 dalam Horsfall 1955). Di Birma A. vagus ditemukan
melakukan aktivitas menggigit setelah tengah malam (Rao 1981).

Anopheles vagus sebagai vektor. Di Indonesia, A. vagus telah dikonfirmasi
melalui uji Eliza sebagai vektor malaria (US-NAMRU 2 dalam Sulaiman
2004). Di beberapa negara

lain di kawasan Asia, A. vagus juga telah

dikonfirmasi sebagai vektor malaria, seperti di Bangladesh (Rosenberg dan
Maheswary 1982), Filipina (Darsie dan Cagampang–Ramos 1971) dan Cina
(Chow 1949).
Infeksi buatan yang dilakukan oleh Green (1935) dan Hodgkin (1956)
dalam (Reid 1968) untuk P. falciparum pada sembilan spesies dari sub genus
Celia

menunjukkan kerentanan A. vagus mencapai 55%. Angka ini lebih

tinggi dari A. kochi, A. maculatus dan A. annularis yang masing-masing
berkisar 33%, 29% dan enam persen. Sedangkan rata-rata kerentanan dari
sembilan jenis nyamuk tersebut adalah 27%

28

HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Bioesai
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa insektisida deltametrin dapat bertahan
sekitar tiga hari pada tingkat kematian 95% (Tabel 2). Diperoleh informasi bahwa
lamanya efektifitas residu insektisida di tubuh kerbau dalam membunuh nyamuk lebih
rendah, hanya sekitar tiga hari untuk tingkat kematian 95%.
Tabel 2. Rata -Rata Angka Kematian (%) Nyamuk Anopheles vagus
Setelah Berkontak dengan Residu Deltametrin 500WP pada
Kerbau dengan Dosis 400 mg/m2 Selama Satu Jam
Angka Kematian

Angka Kematian

(Perlakuan)

(Kontrol)

1

100

6.67

2

98.33

10

3

95.00

6.67

4

93.33

6.67

5

86.70

0

6

81.67

0

Waktu
Kontak
(Hari)

Hal ini berbeda dengan riset sebelumnya yang dilaksanakan oleh Rowland et
al. (2001). Pada penelitian tersebut deltametrin yang dibalurkan pada sapi dan domba
dapat bertahan mencapai empat minggu.
Kemungkinan hal ini terjadi karena jenis kerbau di desa Cikarawang, Bogor
adalah kerbau pekerja yang digunakan

untuk membajak sawah, sehingga perlu

dimandikan setiap hari. Saat dimandikan bulu pada badan kerbau

harus digosok

untuk menghilangkan lumpur yang melekat. Hal ini mengakibatkan residu insektisida
yang melekat pada bulu dan badan kerbau lebih cepat hilang.
Kemungkinan lain yang menjadi penyebab adalah formulasi insektisida yang
digunakan. Seperti diketahui

insektisida yang digunakan dalam penelitian ini

berbentuk wettable powder (WP) berupa bubuk kering yang akan tersuspensi bila
dicampur dengan air. Residu deltametrin yang menjadi bahan aktif insektisida
tersebut tidak bertahan lama melekat di tubuh kerbau. Zat aktif tersebut akan cepat
larut dalam air ketika kerbau dimandikan. Yang bertahan lama hanya tepung putih

29

(powder) yang menempel di tubuh kerbau sehingga sering terlihat seperti bercak
putih.
Berbeda

dengan

Concentrate ) seperti

formulasi

yang

insektisida

dilaksanakan

berbentuk

EC

(Emulsifiable

pada riset Rowland et al. (2001).

Formulasi insektisida tersebut dapat bertahan lebih lama di tubuh ternak karena
adanya zat emulsi –biasanya dari minyak- yang melarutkan bahan aktif insektisida.
Zat pengemulsi dengan insektisida yang telah larut didalamnya mempunyai daya rekat
kuat sehingga dapat bertahan lama menempel pada bulu dan kulit hewan ternak
(Wirawan 2005).
Selain itu, hasil tersebut dipengaruhi juga oleh sifat daya kerja insektisida.
Dalam riset ini digunakan deltametrin bersifat kontak dengan residu insektisida
melekat pada

permukaan bahan atau benda.. Insektisida seperti ini umumnya

digunakan untuk penyemprotan di dalam ruangan (spraying indoor) serta pencelupan
kelambu. Insektisida lainnya bersifat sistemik yang bisa masuk ke bagian dalam
benda atau ke dalam sel makhluk hidup, sehingga bisa bertahan lama.
Kemungkinan hasil Bioesai tersebut akan berbeda bila digunakan insektisida
bersifat sistemik yang meresap ke dalam tubuh kerbau, sehingga bisa bertahan lebih
lama. Namun untuk membandingkan hasil keduanya dibutuhkan penelitian lebih
lanjut.
Pengamatan Populasi Nyamuk Anopheles
Identifikasi Spesies Nyamuk Anopheles
Nyamuk Anopheles yang diperoleh selama penelitian telah diidentifikasi.
Nyamuk tersebut terdiri dari delapan spesies yaitu A. vagus, A. aconitus, A.
indefinitus, A. barbirostris, A. nigerimus, A tesselatus, A. kochi dan A. annularis
dengan jumlah keseluruhan 876 ekor nyamuk (Tabel 3). Riset sebelumnya oleh
Andiyatu (2005) menemukan enam spesies
A. indefinitus, A. barbirostris,

Anopheles yaitu A. vagus, A. aconitus,

A. nigerimus dan A. kochi di lokasi yang sama.

Empat spesies Anopheles yang ditemukan dari hasil penelitian di Cikarawang telah
dinyatakan sebagai vektor malaria yaitu A. aconitus, A. barbirostris, A tesselatus dan
A. kochi (Abednego dan Suroso 1997). A. aconitus merupakan vektor utama di P.
Jawa sedangkan

A. barbirostris merupakan ve ktor utama di P. Sulawesi dan NTT.

Sementara itu A. tesselatus dan A. kochi merupakan vektor malaria sekunder di P.
Sumatera.

30

Nyamuk A. vagus mendominasi hasil penangkapan, sekitar 84,82% dari hasil
tangkapan keseluruhan. Jenis spesies nyamuk Anopheles lainnya yang cukup
signifikan adalah A. indefinitus (17,27%). Hasil tangkapan jenis spesies Anopheles
lainnya berkisar 0,21% - 3%. Dominasi A. vagus terhadap jenis Anopheles lainnya di
desa Cikarawang juga dilaporkan Sigit dan Kesumawati (1998) serta Andiyatu
(2004). Hasil serupa juga diperoleh Boesri (2001) di Kecamatan Borubodur,
Magelang Jawa Tengah.
Dominasi A. vagus terhadap spesies lainnya perlu dicermati. Walaupun A.
vagus belum secara resmi ditetapkan sebagai vektor malaria oleh Depkes RI, namun
oleh

Lembaga

Riset

Angkatan

Laut

Amerika

Serikat

(NAMRU)

telah

mengkonfirmasikan sebagai vektor malaria melalui Elisa Test (US –NAMRU 2 dalam
Sulaiman 2004).
Khusus A. aconitus, walaupun persentasenya tidak dominan (2,34%) juga
perlu diberi perhatia n khusus, karena termasuk salah satu vektor utama malaria di
Pulau Jawa. Hal ini di dukung oleh faktor lokasi penelitian yang merupakan habitat
yang sesuai untuk perkembang-biakan yaitu persawahan yang bertingkat-tingkat.
Faktor lainnya yang mendukung adalah

musim tanam yang tidak serempak dan

sepanjang tahunditemukan padi dalam berbagai umur (Barodji et al.2001).
Tabel 3. Jenis Spesies Nyamuk Anopheles yangTertangkap Selama Penelitian
Spesies
UOD

Anopheles

Metode Penangkapan
Total

UOL

Jumlah

Persen

Jumlah

262

82.39

481

86.201

743

84.817

A. indefinitus

37

7.8891

44

9.3817

81

17.271

A. aconitus

6

1.2793

5

1.0661

11

2.3454

A. kochi

3

0.6397

8

1.7058

11

2.3454

A. nigerrimus

4

0.8529

8

1.7058

12

2.5586

A. barbirostris

5

1.0661

10

2.1322

15

3.1983

A. tesselatus

1

0.2132

0

0

1

0.2132

A. annularis

0

0

2

0.4264

2

0.4264

318

100

558

100

876

100

A. vagus

Total

Persen

Jumlah

Persen

Populasi A. aconitus yang sedikit ditemukan selama penelitian, kemungkinan
karena waktu penelitian (September – Desember 2004) yang tidak bersamaan dengan

31

puncak kepadatannya. Padahal puncak kepadatan spesies nyamuk ini sekitar bulan
Februari – April dan Juli – Agustus
Kemungkinan

(Joshi et al. 1977 dan Barodji. 2002).

lainnya adalah populasi nyamuk A. aconitus di lokasi

penelitian yang rendah, dibanding daerah lainnya. Di Daerah Banjarnegara,
Yogyakarta dan Semarang misalnya A. aconitus hampir selalu didapati di kandang
kerbau dalam jumlah besar (Sigit dan Kesumawati 1988)

Perilaku Menggigit Nyamuk Anopheles
Dengan metode penangkapan nyamuk Anopheles umpan orang dalam rumah
(indoor) dan umpan orang luar rumah (outdoor) dapat diketahui perilaku
menggigitnya. Perilaku tersebut dapat berupa endofagik (kecenderungan memperoleh
darah di dalam rumah) atau eksofagik (lebih menyukai memperoleh darah di luar
rumah).

Tabel 4. Persentase Spesies Nyamuk Anopheles yang
Tertangkap Berdasarkan Metode Penangkapan
Spesies Anopheles
UOD

Metode Penangkapan
UOL

(%)

(%)

A. vagus
A. indefinitus

35.26
45.68

64.74
54.32

A. aconitus

54.55

45.45

A. kochi

27.27

72.73

A. nigerrimus

33.33

66.67

A. barbirostris

33.33

66.67

A. tesselatus

100.00

0.00

A. annularis

0.00

100

Hasil pengamatan

(Tabel 4) menunjukkan, dari delapan jenis spesies

Anopheles yang berhasil diidentifikasi, enam spesies diantaranya bersifat eksofagik.
Hanya A. aconitus dan A. tesselatus yang bersifat endofagik. Sementara A. vagus, A.
indefinitus, A. kochi, A. nigerrimus, A. barbirostris dan A. annularis lebih menyukai
memperoleh darah manusia di luar rumah.
Perilaku menggigit nyamuk Anopheles yang cenderung bersifat eksofagik
tersebut hampir serupa dengan hasil yang di dapatkan Jastal (2005) di Desa Tonga,

32

Donggala, Sulawesi Tengah. Dari delapan spesies Anopheles yang
semuanya

cenderung

bersifat

eksofagik.

ditemukan,

yaitu

A. barbirostris, A. tesselatus, A. kochi, A. nigerrimus, A. vagus, A. maculatus,
A. barbumrosis dan A. punctulatus . Dalam riset ini A. tesselatus bersifat eksofagik,
berbeda dengan penelitian di desa Cikarawang, spesies tersebut bersifat endofagik.
Penelitian lainnya yang dilakukan Hassan (2001) di Kampong Bongor,
Malaysia juga diperoleh hasil yang menunjukkan perilaku nyamuk Anopheles bersifat
eksofagik.

Dari sembilan pesies nyamuk yang diperoleh hanya A. barbirostris

yang bersifat endofagik. Delapan spesies lainnya cenderung bersifat eksofagik.
Efek Insektisida Terhadap Nyamuk Anopheles Pasca Perlakuan
Keberadaan populasi nyamuk Anopheles diamati dalam dua tahap yaitu pra
perlakuan dan pasca perlakuan dengan paparan insektisida pada kerbau. Tahap
pertama merupakan kontrol dari perlakuan pada tahap berikutnya.
Populasi A. vagus pada tahap awal sangat dominan. Angka gigitan pada manusia
dari spesies nyamuk tersebut berkisar 91,33 ekor nyamuk setiap pengamatan pra
perlakuan.
Pengamatan berikutnya pada pasca perlakuan menunjukkan terjadinya
penurunan populasi Anopheles vagus (Gambar 6 dan Tabel 5). Pada pengamatan
pertama (Ho), walaupun sempat terjadi peningkatan angka gigitan nyamuk pada awal
paparan sebesar 1,34, namun pada pengamatan berikutnya mengalami penurunan
secara signifikan sampai pemaparan hari ke 15 (H+4) dengan nilai sebesar 0,47
Angka Gigitan Nyamuk Anopheles

1.8
1.6

vagus

1.4

tesselatus

1.2

nigerimus

1
barbirostris

0.8

kochi

0.6
0.4

indefinitus

0.2

annularis

0

aconitus
H-9

H-6

H-3

Ho

H+3

H+6

H+9

H+12

H+15 H+18

H+21 H+24

Hari Pengamatan

Gambar 6. Fluktuasi Hasil Angka Gigigtan Nyamuk Anopheles pada Manusia
Keterangan: H-9 – H-3 = Pengamatan Populasi Nyamuk Anopheles Pra Perlakuan
Ho – H+24 = Pengamatan Populasi Nyamuk Anopheles Pasca Perlakuan

33

Angka gigitan (MBR) A. vagus pada paparan hari ke 18 sampai hari ke 27
(H+15 – H+24) masih mengalami penurunan, namun perubahannya tidak sebesar
paparan sebelumnya. Penurunan angka gigitan A. vagus pada paparan tersebut hanya
berkisar 0,40 – 0,31.
Hasil tersebut menunjukkan adanya efek paparan insektisida yang cukup
signifikan pada A. vagus. Sedangkan untuk spesies Anopheles lainnya tidak dapat
menggambarkan hasil yang signifikan karena populasi nyamuk tertangkap hanya
sedikit.
Penurunan angka gigitan nyamuk A. vagus dari paparan hari pertama sampai
hari ke 15 (Ho - H+12) menunjukkan residu insektisida sangat efektif menurunkan
kepadatan populasi nyamuk A. vagus. Pada paparan di hari 18 sampai hari 27 (H+15
– H+24), kemampuan residu insektisida tersebut sudah mulai berkurang. Penurunan
angka gigitan nyamuk A. vagus pada periode tersebut tidak sebesar pada periode
paparan sebelumnya.
Kemungkinan hal

Dokumen yang terkait

Pengaruh Jenis Insektisida Terhadap Kerentanan Vektor Nyamuk Anopheles spp Di Kota Batam Tahun 2010

4 64 134

Efek Paparan Insektisida Deltametrin Pada Kerbau Terhadap Angka Gigitan Nyamuk Anopheles vagus pada Manusia

0 6 103

UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK BUAH LEUNCA (Solanum nigrum L.) SEBAGAI INSEKTISIDA TERHADAP NYAMUK Uji Efektivitas Ekstrak Buah Leunca (Solanum Nigrum L.) Sebagai Insektisida Terhadap Nyamuk Aedes Aegypti Dan Anopheles Aconitus.

0 1 14

UJI EFEKTIVITAS MINYAK ESENSIAL DAUN MINT (Mentha piperita) SEBAGAI INSEKTISIDA TERHADAP NYAMUK Anopheles aconitus dan Uji Efektivitas Minyak Esensial Daun Mint (Mentha piperita) Sebagai Insektisida terhadap Nyamuk Anopheles aconitus dan Aedes aegypti.

0 4 15

PENGARUH WARNA CAHAYA LAMPU TERHADAP JUMLAH NYAMUK Anopheles aconitus YANG HINGGAP PENGARUH WARNA CAHAYA LAMPU TERHADAP JUMLAH NYAMUK Anopheles aconitus YANG HINGGAP PADA TANGAN MANUSIA.

0 0 14

PENDAHULUAN PENGARUH WARNA CAHAYA LAMPU TERHADAP JUMLAH NYAMUK Anopheles aconitus YANG HINGGAP PADA TANGAN MANUSIA.

0 0 6

KERACUNAN INSEKTISIDA PADA ANAK

0 0 4

TINGKAT KEMATIAN Anopheles vagus YANG TERPAPAR INSEKTISIDA PERMETHRIN 2 (WW) DI DALAM SERAT BENANG KELAMBU Mortality Rate of Anopheles vagus Exposed by Permethrin 2 (ww) in Fiber Yarn Net

0 0 8

Kerentanan Nyamuk Anopheles sundaicus terhadap Insektisida Cypermethrin di Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat

0 1 9

Uji Aktivitas Insektisida Minyak Atsiri Thymus vulgaris L. terhadap Nyamuk Anopheles aconitus - UNS Institutional Repository

0 0 15