Pengaruh Jenis Insektisida Terhadap Kerentanan Vektor Nyamuk Anopheles spp Di Kota Batam Tahun 2010
PENGARUH JENIS INSEKTISIDA TERHADAP KERENTANAN VEKTOR NYAMUK ANOPHELES spp DI KOTA BATAM
TAHUN 2010
T E S I S
Oleh
AGUS JAMALUDIN 087031002/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
PENGARUH JENIS INSEKTISIDA TERHADAP KERENTANAN VEKTOR NYAMUK ANOPHELES spp DI KOTA BATAM
TAHUN 2010
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
AGUS JAMALUDIN 087031002/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
Judul Tesis : PENGARUH JENIS INSEKTISIDA TERHADAP KERENTANAN VEKTOR NYAMUK ANOPHELES spp DI KOTA BATAM TAHUN 2010
Nama Mahasiswa : Agus Jamaludin Nomor Induk Mahasiswa : 087031002
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri
Menyetujui Komisi Pembimbing :
(Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, M.S) Ketua
(dr. Taufik Ashar, M.K.M) Anggota
Ketua Program Studi
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
(4)
Telah diuji
Pada tanggal : 12 Agustus 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, M.S Anggota : 1. dr. Taufik Ashar, M.K.M
2. Prof. Dr. rer. nat. Effendy De Lux Putra, SU, Apt 3. Ir. Evi Naria, M.Kes
(5)
PERNYATAAN
PENGARUH JENIS INSEKTISIDA TERHADAP KERENTANAN VEKTOR NYAMUK ANOPHELES spp DI KOTA BATAM
TAHUN 2010
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 12 Agustus 2010
AGUS JAMALUDIN 087031002/IKM
(6)
ABSTRAK
Penyakit malaria merupakan penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit
plasmodium melalui perantara gigitan nyamuk Anopheles spp. Angka kesakitan
malaria di Batam masih tinggi (API = 27.1). Pengendalian vektor nyamuk Anopheles
spp secara kimiawi dengan IRS (Indoor Residual Spraying). Penggunaan beragam jenis insektisida dan silih berganti tanpa melalui uji kerentanan dapat menimbulkan resistensi terhadap vektor nyamuk Anopheles spp dan menyebabkan tidak efektifnya dalam memberantas nyamuk Anopheles spp.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh jenis insektisida
bendiocarb, etofenproks, lamdasihalotrin terhadap kerentanan vektor nyamuk
Anopheles spp di kota Batam tahun 2010. Jenis penelitian yang digunakan adalah
rancangan eksperimen semu (Quasi Experiment) dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) Non Faktorial. Percobaan menggunakan tiga perlakuan kontak antara nyamuk Anopheles spp dengan insecticide impregnated paper (bendiocarb 80 WP
0,2 gr/m2, etofenproks 20 WP 0,1 gr/m2, lamdasihalotrin 10 WP 0,025 gr/m2) serta
empat kali pengulangan.
Hasil uji Anova untuk insektisida bendiocarb dengan nilai p = 0.000 < α = 0.05, etofenproks dengan nilai p = 0.001 < α = 0.05, dengan nilai p = 0.004 < α = 0.05 Ho ditolak yang berarti ada perbedaan yang bermakna terhadap kematian nyamuk Anopheles spp pasca perlakuan ketiga jenis insektisida. Insektisida
lamdasihalothrin dapat membunuh 69 ekor (86,25%) nyamuk Anopheles spp dalam
waktu pengamatan 24 jam. Sedangkan untuk resistensi kematian nyamuk Anopheles
spp sebesar 75%, hal ini menunjukan resistensi terhadap insektisida bendiocarb. Kematian nyamuk Anopheles spp sebesar 85% disebabkan oleh insektisida
etofenproks dan 90% oleh insektisida lamdasihalotrin termasuk kerentanan yang
meragukan.
Kesimpulan penelitian yaitu ada pengaruh jenis insektisida lamdasihalotrin
terhadap kerentanan vektor nyamuk Anopheles spp di Kota Batam. Disarankan penggunaan insektisida sesuai dengan dosis anjuran dan melalui uji kerentanan sehingga efektif dan aman terhadap lingkungan.
(7)
ABSTRACT
Malaria is a tropical disease caused by the parasite plasmodium anopheles mosquito biting of Anopheles spp. Malaria morbidity in Batam is still high (27.1 = API). The vector of Anopheles spp is chemically controlled through Indoor Residual Spraying (IRS). The use of various insecticides by turns without undergoing a susceptibility test can result in the resistance to the vector of Anopheles spp and ineffectiveness in Anopheles spp control.
The purpose of this study was to analyze the influence of insecticides with the brands name of bendiocarb, etofenproks, lamdasihalotrin on the susceptibility of the vector of Anopheles spp in Batam in 2010. This study was based on Quasi Experiment with Non-Factorial. This experiment used three contact treatments between Anopheles spp. and insecticide impregnated paper (bendiocarb 80 WP 0.2 gr/m2, etofentroks 20 WP 0.1 gr/m2, lamdasihalotrin 10 WP 0.025 gr/m2, in four replication.
The result of Anova for bendiocarb insecticide with p = 0.000 < α = 0.05, etofenproks with p = 0.001 < α = 0.05, and lamdasihalotrin with p = 0.004 < α = 0.05 Ho was rejected means that there was a significant difference in the death of Anopheles spp. in the treatment to the three kinds of insecticides. Lamdasihalotrin could kill 69 Anopheles spp. (86.25%) in a 24 hour observation. While for the resistance of the death of Anopheles spp. for 75% showed that it was resistant to bendiocarb insecticide. The death Anopheles spp. for 85% was caused by etofenproks insecticide and 90% by lamdasihalotrin insecticide including the doubtful susceptibility.
The conclusion of this study is that lamdasihalotrin insecticide had an influence on the susceptibility of the vector of Anopheles spp. in Batam. It is suggested that the use of insecticide follow the suggested dosage and the insecticide must have undergone a susceptibility test that it is effective and safe for the environment.
(8)
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrahim,
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang serta puji syukur yang tiada henti dan tak terhingga kepada Allah SWT serta atas izinNya jualah penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengaruh Jenis Insektisida terhadap Kerentanan Vektor Nyamuk Anopheles spp di Kota Batam Tahun 2010” dapat diselesaikan dengan baik.
Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kesehatan (M.Kes) pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Proses penulisan tesis dapat terwujud berkat dukungan, bimbingan, arahan dan bantuan baik moral maupun material dari banyak pihak. Untuk itu izinkan penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Ketua Program Studi S2/S3 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara 2. Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, M.S, Sekretaris Manajemen Kesehatan Lingkungan
Industri Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan sebagai Ketua Komisi Pembimbing penulisan tesis
(9)
4. Prof. Dr. rer. nat. Effendy De Lux Putra, SU, Apt, sebagai Anggota Komisi Pembanding dalam penulisan tesis
5. Ir. Evi Naria, M.Kes, sebagai Anggota Komisi Pembanding dalam penulisan tesis 6. Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI
telah memberi izin tugas belajar Program Studi S2 IKM FKM-USU
7. Kepala Pusat Perencanaan dan Pengembangan SDM Kesehatan Kemenkes RI yang mensponsori penulis dalam menyelesaikan Program Studi S2 IKM FKM-USU
8. dr. Femmy B Kawangun, M.M, selaku Kepala Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Batam yang memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Studi S2 IKM FKM-USU
9. dr. H. Mawardi Badar, M.M, selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota Batam yang telah memberikan izin penelitian
10. Drs.Winarno, M.Si, selaku Kasubdit Pengendalian Vektor Direktorat P2B2 Ditjen PP & PL Kemenkes RI
11. Drs. Sarjono, selaku staf Subdit Pengendalian Vektor Direktorat P2B2 Ditjen PP & PL Kemenkes RI
12. Ibunda Siti Halimah yang telah banyak memberikan do’a dan motivasi selama penulis menyelesaikan pendidikan Program Studi S2 IKM FKM-USU
13. Istriku tercinta Tini Hartini serta anak-anaku tersayang Tia Eka Putri, Annisa Nur Fitriani dan Luqman Nur Hakim, yang telah banyak berkorban baik moril maupun
(10)
materil selama penulis menyelesaikan pendidikan Program Studi S2 IKM FKM-USU
14. Rekan-rekan mahasiswa MKLI angkatan III tahun 2008 yang telah memberikan semangat dalam menyelesaikan pendidikan di Program Studi S2 IKM FKM-USU 15. Saudaraku H. Iwan Iskandar,M.K.M, dan Jufrihadi,M.Kes yang telah memberikan
motivasi dan arahan selama melaksanakan pendidikan di Program Studi S2 IKM FKM-USU
Akhir kata penulis sampaikan “Tak ada Gading yang tak retak”, karenanya penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan dimasa yang akan datang.
Medan, Agustus 2010 Penulis
(11)
RIWAYAT HIDUP
Agus Jamaludin seorang laki-laki beragama Islam lahir di Ciamis Jawa Barat pada tanggal 22 Agustus 1969 dari pasangan Bapak H.Didih (almarhum) dan Ibu Siti Halimah, anak kedua dari lima bersaudara.
Pendidikan formal penulis mulai dari : SD Negeri Mandirancan II Kuningan Jawa Barat tahun 1978-1983, SMP Negeri Mandirancan Kuningan Jawa Barat tahun 1983-1986, SMA Negeri Sumber Cirebon Jawa Barat tahun 1986-1989, APK-TS Depkes Bandung tahun 1989-1992, S1 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara tahun 2000-2002 dan Program Studi S2 Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara tahun 2008-2010.
Penulis memulai karir di Departemen Kesehatan RI pada tahun 1993 penulis diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil ditugaskan di Staf Seksi Sanitasi pada Kantor Kesehatan Pelabuhan Batam (KKP) Kelas A Batam dari tahun 1993-2004, Kepala Seksi Upaya Kesehatan Pelabuhan pada Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Kelas II Batam dari tahun 2004-2009, Kepala Seksi Pengendalian Vektor dan Binatang Penular Penyakit pada Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Kelas I Batam dari tahun 2009-2010 dan Kepala Bidang Pengendalian Risiko Lingkungan pada Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Kelas I Batam dari tahun 2010 s/d sekarang.
(12)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ……… i
ABSTRACT ……… ii
KATA PENGANTAR ……….. iii
RIWAYAT HIDUP ……….. vi
DAFTAR ISI ………. viii
DAFTAR TABEL ……….. xi
DAFTAR GAMBAR ……… xii
DAFTAR LAMPIRAN ……… xiii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ……… 1
1.2. Permasalahan ……….. 4
1.3. Tujuan Penelitian ……… 4
1.4. Hipotesis ………. 4
1.5. Manfaat Penelitian ………. 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Malaria ... 6
2.2. Angka Kejadian Malaria ………. .. 7
2.3. Penularan Penyakit Malaria ... 8
2.3.1. Faktor Host ... 8
2.3.2. Faktor Agent ... 13
2.3.3. Faktor Environment ... 13
2.4. Pemberantasan Malaria ... 14
2.5. Klasifikasi Nyamuk Anopheles spp ... 15
2.5.1. Identifikasi Nyamuk ... 15
2.5.2. Ciri-Ciri Nyamuk Anopheles sundaicus ... 21
2.5.3. Ciri-Ciri Nyamuk Anopheles letifer ... 22
2.5.4. Ciri-Ciri Nyamuk Anopheles maculatus ... 23
2.6. Pestisida ... 24
2.6.1. Klasifikasi Pestisida ... 24
2.6.2. Formulasi Pestisida ……… . 26
2.6.3. Penggolongan Pestisida Berdasarkan Cara Kerja .. . 28
2.6.4. Penggolongan Pestisida Berdasarkan Senyawa Kimia 29 2.6.5. Insektisida Bendiocarb ... 31
(13)
2.6.6. Insektisida Etofenproks ... 33
2.6.7. Insektisidda Lamdasihalotrin ... 36
2.7. Faktor Yang Harus Diperhatikan Dalam IRS ... ... 38
2.7.1. Sasaran ... 39
2.7.2. Kualitas Penyemprotan .. ... 40
2.7.3. Nozzle yang Dipakai ... 42
2.7.4. Tekanan Dalam Tangki ... 42
2.7.5. Jarak Nozzle & Permukaan yang Disemprot ... 44
2.7.6. Kecepatan Menyemprot ... 44
2.8. Uji Kerentanan (Susceptibility Test) ………... 45
2.9. Kerangka Konsep ……… 47
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ... 48
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 49
3.3. Objek Penelitian ... 52
3.4. Metode Pengumpulan Data ………... 53
3.5. Variabel dan Definisi Operasional... 53
3.6. Metode Pengukuran ……… .. 54
3.7. Metode Analisis Data ……….... 55
BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Daerah Pengambilan Sampel ……….. 56
4.2. Pengaruh Jenis Insektisida Terhadap Kerentanan Nyamuk Anopheles spp ... 57
4.3. Perbedaan Pengamatan Masing-Masing Insektisida ... 65
4.4. Hasil Uji Anova ... 70
4.5. Uji T Independent ……….. 72
4.6. Suhu Ruangan Penelitian ... 73
4.7. Kelembaban Ruangan Penelitian ... 73
BAB 5 PEMBAHASAN 5.1. Pengaruh Perlakuan Insektisida Terhadap Nyamuk Anopheles spp ... 74
5.2. Pengaruh Insektisida Bendiocarb Terhadap Kerentanan Vektor Nyamuk Anopheles spp ... 78
5.3. Pengaruh Insektisida Etofenproks Terhadap Kerentanan Vektor Nyamuk Anopheles spp ... 79
5.4. Pengaruh Insektisida Lamdasihalothrin Terhadap Kerentanan Vektor Nyamuk Anopheles spp ... 79
(14)
5.6. Kelembaban Ruangan Penelitian ……… 81 5.7. Keterbatasan penelitian ……….. 82
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan ... 83 6.2. Saran ... 84 DAFTAR PUSTAKA ... 85
(15)
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
2.1. Insektisida yang saat ini dipakai dalam pemberantasan
malaria dan banyaknya untuk setiap spraycan ………. 41 4.1. Pengaruh insektisida terhadap rata-rata kematian nyamuk
Anopheles spp selama pengamatan 24 jam ……… 57
4.2. Rata-rata kematian nyamuk Anopheles spp pada tiga perlakuan dengan empat kali ulangan waktu enam jam
kedua ………. 59
4.3. Rata-rata dan persentase kematian nyamuk Anopheles spp pada tiga perlakuan dengan empat kali ulangan waktu enam
jam ketiga ……….. 60
4.4. Rata-rata dan persentase kematian nyamuk Anopheles spp pada tiga perlakuan dengan empat kali ulangan waktu enam
jam keempat ……….. 62
4.5. Rata-rata dan persentase kematian nyamuk Anopheles spp pada tiga perlakuan dengan empat kali ulangan selama 24
jam ……… 63
4.6. Hasil uji Anova tiga jenis insektisida terhadap kematian
nyamuk Anopheles spp untuk tiap perlakuan ……… 70 4.7. Perbedaan rata-rata kematian nyamuk Anopheles spp untuk
(16)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1. Kerangka Konsep Penelitian ………. 47
4.1. Distribusi peningkatan rata-rata kematian nyamuk
Anopheles spp selama pengamatan 24 jam ……… 58
4.2. Distribusi peningkatan rata-rata kematian nyamuk
Anopheles spp pada tiga perlakuan dengan empat kali
ulangan waktu enam jam kedua ……… 60
4.3. Rata-rata dan persentase peningkatan kematian nyamuk
Anopheles spp pada tiga perlakuan dengan empat kali
ulangan waktu enam jam ketiga ………
61
4.4. Rata-rata dan persentase peningkatan kematian nyamuk
Anopheles spp pada tiga perlakuan dengan empat kali
ulangan waktu enam jam keempat ……… 63
4.5. Rata-rata dan persentase peningkatan kematian nyamuk
Anopheles spp pada tiga perlakuan dengan empat kali
ulangan selama 24 jam ……….………. 64
4.6. Rata-rata perbedaan peningkatan kematian nyamuk
Anopheles spp tiap enam jam dengan perlakuan jenis
insektisida bendiocarb………
65
4.7. Rata-rata perbedaan peningkatan kematian nyamuk
Anopheles spp tiap enam jam dengan perlakuan jenis
insektisida tofenproks………
66
4.8. Rata-rata perbedaan peningkatan kematian nyamuk
Anopheles spp tiap enam jam dengan perlakuan jenis
insektisida lamdasihalotrin ……… 68
4.9. Rata-rata perbedaan peningkatan kematian nyamuk
(17)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Surat izin penelitian ………..………...… 87
2. Surat keterangan selesai penelitian dari Dinas Kesehatan Kota Batam ………..… 88
3. Surat keterangan selesai penelitian dari Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Batam ……… 89
4. Tabel pengamatan penelitian ……… 90
5. Master data pengamatan penelitian ……….. 91
6. Penghitungan uji Anova ……… 94
(18)
ABSTRAK
Penyakit malaria merupakan penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit
plasmodium melalui perantara gigitan nyamuk Anopheles spp. Angka kesakitan
malaria di Batam masih tinggi (API = 27.1). Pengendalian vektor nyamuk Anopheles
spp secara kimiawi dengan IRS (Indoor Residual Spraying). Penggunaan beragam jenis insektisida dan silih berganti tanpa melalui uji kerentanan dapat menimbulkan resistensi terhadap vektor nyamuk Anopheles spp dan menyebabkan tidak efektifnya dalam memberantas nyamuk Anopheles spp.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh jenis insektisida
bendiocarb, etofenproks, lamdasihalotrin terhadap kerentanan vektor nyamuk
Anopheles spp di kota Batam tahun 2010. Jenis penelitian yang digunakan adalah
rancangan eksperimen semu (Quasi Experiment) dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) Non Faktorial. Percobaan menggunakan tiga perlakuan kontak antara nyamuk Anopheles spp dengan insecticide impregnated paper (bendiocarb 80 WP
0,2 gr/m2, etofenproks 20 WP 0,1 gr/m2, lamdasihalotrin 10 WP 0,025 gr/m2) serta
empat kali pengulangan.
Hasil uji Anova untuk insektisida bendiocarb dengan nilai p = 0.000 < α = 0.05, etofenproks dengan nilai p = 0.001 < α = 0.05, dengan nilai p = 0.004 < α = 0.05 Ho ditolak yang berarti ada perbedaan yang bermakna terhadap kematian nyamuk Anopheles spp pasca perlakuan ketiga jenis insektisida. Insektisida
lamdasihalothrin dapat membunuh 69 ekor (86,25%) nyamuk Anopheles spp dalam
waktu pengamatan 24 jam. Sedangkan untuk resistensi kematian nyamuk Anopheles
spp sebesar 75%, hal ini menunjukan resistensi terhadap insektisida bendiocarb. Kematian nyamuk Anopheles spp sebesar 85% disebabkan oleh insektisida
etofenproks dan 90% oleh insektisida lamdasihalotrin termasuk kerentanan yang
meragukan.
Kesimpulan penelitian yaitu ada pengaruh jenis insektisida lamdasihalotrin
terhadap kerentanan vektor nyamuk Anopheles spp di Kota Batam. Disarankan penggunaan insektisida sesuai dengan dosis anjuran dan melalui uji kerentanan sehingga efektif dan aman terhadap lingkungan.
(19)
ABSTRACT
Malaria is a tropical disease caused by the parasite plasmodium anopheles mosquito biting of Anopheles spp. Malaria morbidity in Batam is still high (27.1 = API). The vector of Anopheles spp is chemically controlled through Indoor Residual Spraying (IRS). The use of various insecticides by turns without undergoing a susceptibility test can result in the resistance to the vector of Anopheles spp and ineffectiveness in Anopheles spp control.
The purpose of this study was to analyze the influence of insecticides with the brands name of bendiocarb, etofenproks, lamdasihalotrin on the susceptibility of the vector of Anopheles spp in Batam in 2010. This study was based on Quasi Experiment with Non-Factorial. This experiment used three contact treatments between Anopheles spp. and insecticide impregnated paper (bendiocarb 80 WP 0.2 gr/m2, etofentroks 20 WP 0.1 gr/m2, lamdasihalotrin 10 WP 0.025 gr/m2, in four replication.
The result of Anova for bendiocarb insecticide with p = 0.000 < α = 0.05, etofenproks with p = 0.001 < α = 0.05, and lamdasihalotrin with p = 0.004 < α = 0.05 Ho was rejected means that there was a significant difference in the death of Anopheles spp. in the treatment to the three kinds of insecticides. Lamdasihalotrin could kill 69 Anopheles spp. (86.25%) in a 24 hour observation. While for the resistance of the death of Anopheles spp. for 75% showed that it was resistant to bendiocarb insecticide. The death Anopheles spp. for 85% was caused by etofenproks insecticide and 90% by lamdasihalotrin insecticide including the doubtful susceptibility.
The conclusion of this study is that lamdasihalotrin insecticide had an influence on the susceptibility of the vector of Anopheles spp. in Batam. It is suggested that the use of insecticide follow the suggested dosage and the insecticide must have undergone a susceptibility test that it is effective and safe for the environment.
(20)
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Penyakit malaria merupakan penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit genus plasmodium yang termasuk golongan protozoa melalui perantaraan gigitan nyamuk Anopheles spp. Penyebaran penyakit malaria berhubungan dengan perubahan iklim baik musim kemarau maupun penghujan. Pergantian musim berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan vektor penyakit malaria. Kondisi iklim yang menyangkut temperatur, kelembaban, curah hujan, cahaya dan pola tiupan angin, mempunyai dampak langsung pada reproduksi vektor, perkembangannya, lama hidup dan perkembangan parasit dalam tubuh vektor. Sedangkan dampak tidak langsung karena pergantian vegetasi dan pola tanam pertanian yang dapat memengaruhi kepadatan populasi vektor (Depkes, 2001).
Penyakit malaria merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat, karena setiap tahun 500 juta manusia terinfeksi malaria dan lebih dari 1 juta diantaranya meninggal dunia. Kasus terbanyak berada di Afrika namun juga melanda Asia, Amerika Latin, Timur Tengah dan beberapa negara Eropa. Diduga sekitar 36% penduduk dunia terkena risiko malaria (Depkes, 2008). Menurut Marsaulina (2002), WHO mengembangkan suatu program satu respon terpadu untuk mengatasi masalah endemis malaria di negara-negara berkembang. Respon tersebut berupa Roll Back
(21)
bersama, terpadu antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, lembaga donor dan masyarakat. Gerakan malaria bertujuan untuk mengurangi beban malaria sebanyak 50% yang dimulai sejak April 2000.
Di Indonesia pada tahun 2007 telah terjadi 1.700.000 kasus klinis malaria dengan 700 kematian. Dari 576 kabupaten yang ada, 424 kabupaten diantaranya merupakan daerah endemis malaria dan diperkirakan 45% penduduk Indonesia berisiko tertular.
Pengukuran angka kesakitan menggunakan Annual Parasite Incidence (API)
dan Annual Malariae Incidence (AMI). Untuk provinsi Kepulauan Riau yang
merupakan daerah endemis malaria pada tahun 2007 melaporkan, bahwa dalam upaya pemberantasan malaria dengan API 0.87 per 1000 penduduk, AMI 0.88 per 1000 penduduk. Pada tahun 2008 API 0.88 per 1000 penduduk, AMI 1.18 per 1000 penduduk (Dinkes Prop. Kepri, 2009). Hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Depkes RI pada tahun 1991 dan Dewi (2004), mengkonfirmasi dan merekomendasikan bahwa vektor dominan penyakit malaria di Kota Batam, Rempang dan Galang adalah Anopheles sundaicus.
Anopheles maculatus dan Anopheles letifer.
Kota Batam memiliki angka malaria yang masih tinggi dengan API 27.1 per 1000 penduduk terutama di Kampung Nongsa Pantai dan Kampung Teluk Mata Ikan Kelurahan Sambau Kecamatan Nongsa. Tingginya angka kesakitan malaria dikarenakan banyaknya tempat berkembangbiaknya nyamuk Anopheles spp, baik
(22)
alami maupun yang dibuat oleh manusia seperti muara sungai tertutup pasir, rawa bakau, kolam bekas galian pasir, tanah kavling masyarakat, lopak bekas penebangan hutan bakau dan kolam/ tambak udang (ikan) (Dinkes Kota Batam, 2008).
Kelurahan Sambau merupakan salah satu kelurahan yang tergolong High
Case Incidence (HCI) dengan API > 5 per 1000 penduduk. Kasus penyakit malaria
di daerah ini tetap tinggi diakibatkan berbagai faktor seperti faktor lingkungan terdapat tempat-tempat potensial bagi perindukan nyamuk Anopheles spp vektor penular penyakit malaria, seperti sungai yang mengalir perlahan-lahan, rawa-rawa dan lubang/lagoon bekas galian pasir (Dinkes Kota Batam, 2008).
Pemberantasan penyakit malaria yang telah dilaksanakan di Kota Batam meliputi penemuan dan pengobatan penderita, Indoor Residual Spraying (IRS), larvaciding, manipulasi lingkungan (pembersihan tanaman air atau lumut) dan modifikasi lingkungan (penimbunan dan pengeringan). Pemberantasan secara kimia terhadap nyamuk Anopheles spp dewasa dilaksanakan dengan IRS, namun angka kejadian malaria masih tetap tinggi.
Dinas Kesehatan Kota Batam (2008) menginformasikan bahwa pengendalian vektor Anopheles spp secara kimiawi dengan IRS yang lama dan beragam jenis insektisida menimbulkan resistensi terhadap vektor bersangkutan. Insektisida yang digunakan di Kota Batam sejak Januari 1991 sampai dengan Desember 1999 yaitu
Bendiocarb 80 WP dosis 0.2 gram bahan aktif per m2. Bulan Januari 2000 sampai
(23)
Lamdasihalotrin 10 WP mulai Januari 2004 sampai dengan sekarang. Pemakaian insektisida yang silih berganti kemungkinan sudah tidak efektif dalam memberantas nyamuk Anopheles sppatau sudah resisten.
1.2. Permasalahan
Berbagai program telah dilakukan untuk pemberantasan malaria di Kota Batam dengan menggunakan beberapa jenis insektisida yaitu bendiocarb,
etofenproks, lamdasihalotrin. Pada kenyataannya masalah penyakit malaria akibat
gigitan nyamuk Anopheles spp masih tinggi hal ini terlihat dari data tersebut diatas. Untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh jenis insektisida
(bendiocarb, etofenproks, lamdasihalotrin) terhadap kerentanan vektor nyamuk
Anopheles sppdi Kota Batam tahun 2010.
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis pengaruh jenis insektisida (bendiocarb, etofenproks,
lamdasihalotrin) terhadap kerentanan vektor nyamuk Anopheles spp di Kota Batam
Tahun 2010.
1.4. Hipotesis
Ho : Tidak ada perbedaan antara jenis insektisida bendiocarb, etofenproks,
lamdasihalotrin terhadap kerentanan vektor nyamuk Anopheles spp di Kota
(24)
Ha : Ada perbedaan jenis insektisida bendiocarb, etofenproks, lamdasihalotrin terhadap kerentanan vektor nyamuk Anopheles spp di Kota Batam Tahun
2010.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Bagi ilmu pengetahuan, sebagai bahan informasi dasar dalam pengembangan ilmu pengetahuan tentang pengaruh jenis insektisida terhadap kerentanan vektor nyamuk Anopheles sppdi Kota Batam Tahun 2010.
2. Bagi Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan, sebagai bahan masukan dan informasi dalam perencanaan dan evaluasi program pengendalian vektor Anopheles spp.
3. Bagi Dinas Kesehatan Propinsi Kepulauan Riau dan Dinas Kesehatan Kota Batam, sebagai bahan masukan dan informasi dalam melakukan berbagai upaya strategis dalam program pengendalian vektor Anopheles spp penular penyakit malaria di Batam, Rempang dan Galang.
4. Bagi Peneliti selanjutnya, sebagai bahan informasi awal dalam penelitian berikutnya mengenai pengaruh jenis insektisida terhadap kerentanan vektor nyamuk Anopheles sppdi Kota Batam Tahun 2010.
(25)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Malaria
Penyakit malaria adalah infeksi yang disebabkan oleh parasit malaria, yang merupakan suatu protozoa darah termasuk :
Filum : Apicomplexa
Klas : Sporozoa
Sub klas : Cocidiidae
Ordo : Eucoccidiidae
Sub ordo : Haemosporidiidae
Familia : Plasmodiidae
Genus : Plasmodium
Genus plasmodium secara umum dibagi menjadi 3 (tiga) sub genus yaitu sub genus
plasmodium dengan spesies yang menginfeksi manusia adalah Plasmodium vivax,
Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae, sub genus laverania dengan spesies
yang menginfeksi manusia adalah Plasmodium falciparum dan sub genus vinckeia
yang hanya menginfeksi kelelawar dan binatang pengerat lainnya (Depkes, 1999). Definisi penyakit malaria menurut World Health Organization (WHO) adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit malaria (plasmodium) bentuk aseksual yang masuk ke dalam tubuh manusia yang ditularkan oleh nyamuk malaria
(26)
penyakit menular yang disebabkan oleh agent tertentu yang infektif dengan perantara suatu vektor dan dapat disebarkan dari suatu sumber infeksi kepada host. Penyakit malaria termasuk salah satu penyakit menular yang dapat menyerang semua orang, bahkan mengakibatkan kematian terutama yang disebabkan oleh parasit Plasmodium
falciparum (Depkes, 2003a).
2.2. Angka Kejadian Malaria
Penyakit malaria menimbulkan masalah kesehatan, untuk itu perlu dilakukan pengukuran tertentu. Angka kesakitan penyakit malaria untuk Jawa Bali diukur dengan Annual Parasite Incidence (API) yang diperoleh dari Active Case Detection
(ACD), Passive Case Detection (PCD) dan kegiatan lain dengan rumus :
Angka API dikatakan rendah apabila < 1‰, sedang 1 - < 5‰ dan tinggi bila > 5‰. Sedangkan untuk luar Jawa Bali pengukuran angka kesakitan malaria digunakan
Annual Malariae Incidence (AMI) yang didapat dari catatan laporan selama setahun
dari Puskesmas dengan rumus :
AMI dikatakan rendah apabila < 10‰, sedang 10 – 50‰ dan tinggi apabila ≥ 50‰ (Depkes, 2007a).
Jumlah penderita positif selama satu tahun
API = x 1.000‰
Jumlah penduduk
Angka klinis malaria setahun
AMI = x 1.000‰
(27)
2.3. Penularan Penyakit Malaria
Secara umum penyebaran penyakit malaria sangat dipengaruhi oleh tiga faktor yang saling mendukung yaitu host, agent dan environment sesuai teori The
Traditional (Ecological) Model yang dikemukakan oleh Dr.John Gordon (Kodim,
1999).
2.3.1. Faktor Host (Manusia dan Nyamuk)
Host pada penyakit malaria terbagi atas dua yaitu Host Intermediate
(manusia) dan Host Definitif (nyamuk). Manusia disebut sebagai Host Intermediate
(penjamu sementara) karena di dalam tubuhnya terjadi siklus aseksual parasit malaria. Sedangkan nyamuk Anopheles spp disebut sebagai Host Definitif (penjamu tetap) karena di dalam tubuh nyamuk terjadi siklus seksual parasit malaria (Depkes, 1999).
1. Host intermediate
Pada dasarnya setiap orang dapat terinfeksi oleh agent biologis
(Plasmodium), tetapi ada beberapa faktor intrinsik yang dapat memengaruhi
kerentanan host terhadap agent yaitu usia, jenis kelamin, ras, riwayat malaria sebelumnya, gaya hidup, sosial ekonomi, status gizi dan tingkat immunisasi.
1. Usia, bagi anak laki-laki lebih rentan terhadap infeksi penyakit malaria.
2. Jenis kelamin, perbedaan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap kerentanan individu, tetapi bila malaria terjadi pada wanita hamil akan menimbulkan
(28)
dampak buruk bagi kesehatan ibu dan anaknya, seperti anemia berat, berat badan lahir rendah (BBLR), abortus, partus prematur dan kematian janin intrauterine. 3. Ras, beberapa ras manusia atau kelompok penduduk mempunyai kekebalan
alamiah terhadap malaria, misalnya : orang Negro di Afrika Barat dan keturunannya di Amerika dengan golongan darah Duffy (-) tidak dapat terinfeksi oleh Plasmodium vivax karena golongan ini tidak mempunyai reseptornya (Pribadi, 1994).
4. Riwayat malaria sebelumnya, orang yang pernah terinfeksi malaria sebelumnya biasanya akan terbentuk immunitas sehingga akan lebih tahan terhadap infeksi malaria berikutnya.
5. Cara hidup, kebiasaan tidur tidak memakai kelambu dan sering berada di luar rumah pada malam hari sangat rentan terhadap infeksi malaria.
6. Sosial ekonomi, keadaan sosial ekonomi masyarakat yang bertempat tinggal di daerah endemis malaria erat hubungannya dengan infeksi malaria.
7. Status gizi, keadaan gizi agaknya tidak menambah kerentanan terhadap malaria. Ada beberapa studi yang menunjukkan bahwa anak yang bergizi baik justru lebih sering mendapat kejang dan malaria selebral dibandingkan dengan anak yang bergizi buruk. Tetapi anak yang bergizi baik dapat mengatasi malaria berat dengan lebih cepat dibanding anak yang bergizi buruk.
(29)
8. Immunitas, masyarakat yang tinggal di daerah endemis malaria biasanya mempunyai immunitas alami sehingga mempunyai pertahanan alamiah terhadap infeksi malaria (Depkes, 1999).
2. Host definitif
Host definitif yang paling berperan dalam penularan penyakit malaria dari
orang yang sakit malaria kepada orang yang sehat adalah nyamuk Anopheles spp betina. Hanya nyamuk Anopheles spp betina yang menghisap darah untuk pertumbuhan telurnya. Host definitif ini sangat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu : perilaku nyamuk itu sendiri dan faktor-faktor lain yang mendukung (Depkes, 1999). 1. Perilaku nyamuk, pada prinsipnya perilaku nyamuk dapat dibagi menjadi empat
kategori, yaitu perilaku hidup, perilaku berkembangbiak, perilaku mencari darah dan perilaku beristirahat.
a. Perilaku nyamuk, suatu daerah akan disenangi nyamuk sebagai habitatnya apabila daerah tersebut memenuhi syarat sebagai berikut : tersedia tempat beristirahat, tersedia tempat untuk mencari darah dan tersedia tempat untuk berkembangbiak.
b. Perilaku berkembangbiak, masing-masing jenis nyamuk mempunyai kemampuan untuk memilih tempat berkembangbiak sesuai dengan kesenangan dan kebutuhannya, misalnya Anopheles sundaicus lebih senang di air payau dengan kadar garam 12 – 18‰ dan terkena sinar matahari
(30)
langsung, sedangkan Anopheles maculatus lebih senang di air tawar dan terlindung dari sinar matahari (teduh).
c. Perilaku mencari darah, hanya nyamuk Anopheles sppbetina yang menghisap darah dibutuhkan untuk pertumbuhan telurnya. Bila dipelajari lebih jauh perilaku nyamuk mencari darah terbagi atas empat hal yaitu : (1) berdasarkan waktu menggigit, mulai senja hingga tengah malam dan menggigit mulai tengah malam hingga dini hari pagi, (2) berdasarkan tempat, eksopagik (lebih suka menggigit di luar rumah) dan endopagik (lebih suka menggigit di dalam rumah), (3) berdasarkan sumber darah, anthropofilik (lebih suka menggigit manusia) dan zoofilik (lebih suka menggigit hewan) dan Anthrozoofilik (lebih suka menggigit manusia dan hewan), (4) berdasarkan frekuensi menggigit, tergantung spesiesnya dan dipengaruhi oleh temperatur dan kelembaban yang disebut dengan siklus gonotrofik. Untuk daerah tropis biasanya siklus ini berlangsung sekitar 48-96 jam.
d. Perilaku istirahat, (1) istirahat berdasarkan kebutuhan yaitu istirahat sebenarnya yang merupakan masa menunggu proses perkembangan telur dan istirahat sementara, yaitu masa sebelum dan sesudah mencari darah, (2) istirahat berdasarkan kesukaan, eksofilik (lebih suka beristirahat di luar rumah) dan endofilik (lebih suka istirahat di dalam rumah).
(31)
2. Faktor lain yang mendukung :
a. Umur nyamuk, semakin panjang umur nyamuk semakin besar kemungkinannya untuk menjadi penular atau vektor malaria.
b. Kerentanan nyamuk terhadap infeksi gametosit. c. Frekuensi menggigit manusia.
d. Siklus gonotrofik yaitu waktu yang diperlukan untuk mematangkan sel telur sebagai indikator untuk mengukur interfal menggigit nyamuk pada objek yang digigit (manusia).
3. Syarat-syarat nyamuk sebagai vektor :
a. Tingkat kepadatan Anopheles spp disekitar pemukiman manusia yang sesuai dengan daya jangkau atau kemampuan terbang nyamuk antara 2-3 km.
b. Umur nyamuk, lamanya hidup nyamuk harus cukup lama sehingga parasit dapat menyelesaikan siklus sporogoni di dalam tubuh nyamuk.
c. Adanya kontak dengan manusia, jika nyamuk yang ada kesukaannya menghisap darah manusia (Anthropofilik).
d. Kerentanan nyamuk terhadap parasit, hanya spesies nyamuk Anopheles spp tertentu yang efektif sebagai penular malaria kepada manusia.
e. Adanya sumber penular, pada umumnya nyamuk yang baru menetas tidak mengandung parasit dan baru akan menjadi vektor bila terdapat parasit yang berasal dari objek gigitan dan menjadi infektif setelah menyelesaikan siklus hidupnya (Depkes, 2007c).
(32)
2.3.2. Faktor Agent (Plasmodium)
Pada tahun 1880 Charles Louis Alphonso Laveran di Al Jazair menemukan parasit malaria dalam darah manusia. Selanjutnya pada tahun 1886 Golgi di Italia menemukan Palasmodium vivax dan Plasmodium malariae, serta pada tahun 1890 Celli dan Marchiava menemukan Plasmodium falciparum (Pribadi, 1994).
Parasit malaria yang terdapat pada manusia ada empat spesies yaitu :
1. Plasmodium falciparum penyebab malaria tropika yang menyebabkan malaria
berat.
2. Plasmodium vivax penyebab malaria tertiana.
3. Plasmodium malariae penyebab malaria quartana.
4. Plasmodium ovale spesies ini banyak dijumpai di Afrika dan Fasifik Barat
(Depkes, 1999).
2.3.3. Faktor Environment (Lingkungan)
Faktor lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan dimana manusia dan nyamuk berada yang memungkinkan terjadinya penularan malaria setempat
(indigenous), lingkungan tersebut terbagi atas lingkungan fisik, lingkungan kimia,
lingkungan biologik dan lingkungan sosial budaya.
1. Lingkungan fisik : meliputi suhu, kelembaban, hujan, ketinggian, angin, sinar matahari dan arus air.
2. Lingkungan kimia : meliputi kadar garam yang cocok untuk berkembangbiaknya nyamuk Anopheles sundaicus.
(33)
3. Lingkungan biologik : adanya tumbuhan, lumut, ganggang, ikan kepala timah, gambusia, nila sebagai predator jentik Anopheles spp, serta adanya ternak sapi, kerbau dan babi akan mengurangi frekuensi gigitan nyamuk pada manusia.
4. Lingkungan sosial budaya : meliputi kebiasaan masyarakat berada di luar rumah, tingkat kesadaran masyarakat terhadap bahaya penyakit malaria dan pembukaan lahan dengan peruntukannya yang memengaruhi derajat kesehatan masyarakat dengan banyak menimbulkan breading places potensial untuk berkembangbiaknya nyamuk Anopheles spp (Depkes, 2003b).
2.4. Pemberantasan Malaria
Program pemberantasan malaria dapat didefinisikan sebagai usaha terorganisir untuk melaksanakan berbagai upaya menurunkan penyakit dan kematian yang diakibatkan malaria, sehingga tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama dengan upaya-upaya : (1) menghindari atau mengurangi kontak gigitan nyamuk Anopheles spp dengan memakai kelambu, penjaringan rumah, pemakaian repellent dan obat nyamuk, (2) membunuh nyamuk dewasa dengan menggunakan berbagai insektisida, (3) membunuh jentik (tindakan anti larva) baik secara kimiawi
(larvacida) maupun biologi (ikan, tumbuhan, jamur, bakteri), (4) mengurangi tempat
perindukan (source reduction), (5) mengobati penderita malaria, (6) pemberian pengobatan pencegahan (profilaksis) dan vaksinasi (masih dalam tahap riset dan clinical trial) (Harijanto, 2000).
(34)
2.5. Klasifikasi Nyamuk Anopheles spp
Nyamuk Anopheles spp mempunyai klasifikasi binomium nomenklatur sebagai berikut :
F i l u m : Arthropoda
K l a s : Hexapoda
O r d o : Diptera
Sub Ordo : Nematocera
Familia : Culicidae
Sub Familia : Culicinae
T r i b u s : Anophelini
G e n u s : Anopheles
S p e s i e s : Anopheles sundaicus, Anopheles maculatus,
Anopheles letifer (Depkes, 2003b).
Di Indonesia sampai saat ini nyamuk Anopheles spp berjumlah 90 jenis, beberapa diantaranya sebagai penular penyakir malaria. Nyamuk Anopheles spp penular penyakit malaria hanya berjumlah 18 spesies (Depkes, 2007c).
2.5.1. Identifikasi Nyamuk 1. Siklus Hidup Nyamuk
Siklus hidup nyamuk secara umum adalah sebagai berikut (Depkes, 2007b) : 1. Telur
(35)
b. Ukuran telur ± 0.5 mm.
c. Jumlah telur (sekali bertelur) 100-300 butir, rata-rata 150 butir. d. Frekuensi bertelur dua atau tiga hari.
e. Lama menetas dapat beberapa saat setelah kena air, hingga dua sampai tiga hari setelah berada di air.
f. Telur menetas menjadi jentik (larva). 2. Jentik
a. Terletak di air dan mengalami empat masa pertumbuhan (stadium) yaitu :
• Stadium I ± 1 hari
• Stadium II ± 1-2 hari
• Stadium III ± 2 hari
• Stadium IV ± 2-3 hari
b. Masing-masing stadium ukurannya berbeda-beda dan juga bulu-bulunya. c. Tiap pergantian stadium disertai dengan pergantian kulit.
d. Belum ada perbedaan jantan dan betina.
e. Pada pergantian kulit terakhir berubah menjadi kepompong.
f. Umur rata-rata pertumbuhan mulai jentik sampai menjadi kepompong berkisar antara 2-3 hari.
g. Kepompong. h. Terdapat di air.
(36)
j. Memerlukan udara.
k. Belum ada perbedaan jantan dan betina. l. Menetas 1-2 hari menjadi nyamuk.
m.Pada umumnya nyamuk jantan menetas lebih dahulu daripada nyamuk betina. n. Umur nyamuk mulai telur, larva, kepompong, nyamuk dewasa antara 2-14
hari.
o. Jumlah nyamuk jantan dan nyamuk betina yang menetas dari sekelompok telur pada umumnya sama banyak (1 : 1).
p. Perkawinan biasanya terjadi pada waktu senja, cukup sekali, sebelum nyamuk betina pergi untuk menghisap darah.
q. Nyamuk jantan umurnya lebih pendek dari nyamuk betina ± seminggu. r. Umur nyamuk betina lebih panjang daripada nyamuk jantan.
s. Nyamuk jantan makanannya cairan buah-buahan atau sari madu tumbuhan. t. Nyamuk betina menghisap darah untuk pertumbuhan sel telurnya.
u. Nyamuk jantan tidak jauh dari tempat perindukannya. v. Nyamuk betina dapat terbang jauh antara 0.5-3 km. 2. Morfologi Nyamuk Anopheles spp Dewasa
Bagian-bagian tubuh nyamuk Anopheles sppterdiri dari (Depkes, 2001) a. Bagian tubuh nyamuk terdiri dari kepala, dada dan perut
Kepala : proboscis, palpi (pembelai), antena
(37)
Perut : ruas-ruas abdomen
b. Sayap terdiri dari costa, sub costa, urat-urat sayap, jumbai. c. Kaki terdiri dari coxa, femur, tibia, tarsus.
3. Ciri – Ciri Nyamuk Dewasa
1. Ciri-ciri umum nyamuk Anopheles sppdewasa yaitu : a. Proboscis dan palpi sama panjang.
b. Scutellum bebentuk satu lengkungan (½ lingkaran). c. Urat sayap bernoda pucat dan gelap.
d. Jumbai biasanya terdapat noda pucat.
e. Pada palpi bergelang pucat atau sama sekali tidak bergelang. f. Kaki panjang dan langsing.
2. Ciri-ciri khusus nyamuk Anopheles sppdewasa a. Pada palpi bergelang pucat atau tidak sama sekali.
b. Pada sayap ditekankan pada urat-urat sayap dengan noda gelap dan pucat. c. Pada jumbai kadang-kadang bernoda pucat atau gelap sama sekali.
d. Pada kaki belakang sering terdapat bintik-bintik (bernoda pucat).
3. Pada nyamuk betina dewasa palpi dan proboscis sama panjang sedangkan pada nyamuk jantan palpi pada bagian ujung berbentuk alat pemukul.
4. Pada saat menggigit nyamuk Anopheles sppmembentuk sudut 45o - 60o.
5. Nyamuk Anopheles spp lebih menyukai mengisap darah di luar bangunan (endofagik) dan istirahat di dalam bangunan (endofilik) (Depkes, 2007b).
(38)
4. Ciri – Ciri Jentik Anopheles spp 1. Ciri-ciri jentik Anopheles spp
a. Tidak mempunyai tabung udara.
b. Beberapa ruas abdomen memiliki bulu kipas. c. Pada beberapa ruas abdomen terdapat tergal plate. 2. Ciri-ciri khusus jentik Anopheles spp
a. Adanya bulu kipas pada jentik.
b. Adanya utar-utar pada beberapa ruas abdomen sebagai salah satu ciri. c. Pencirian bagian kepala biasanya melalui clypeal.
d. Pada waktu istirahat jentik sejajar dengan permukaan air, bebas berenang di air.
3. Ciri-ciri telur Anopheles spp
Telur nyamuk Anopheles spp mempunyai pelampung, satu persatu diletakan di atas permukaan air (Depkes, 2000).
5. Pengaruh Tempat 1. Ketinggian tempat
Setiap kenaikan 100 meter maka selisih suhu udara tempat semula adalah 0.5 oC. Bila perbedaan tempat cukup tinggi, maka perbedaan suhu udara juga cukup banyak dan akan memengaruhi faktor-faktor yang lain seperti penyebaran nyamuk, siklus pertumbuhan parasit dalam tubuh nyamuk dan musim penularan.
(39)
2. Letak geografis
Letak geografis tempat memengaruhi iklim yang akan memengaruhi populasi nyamuk. Berdasarkan jarak dari khatulistiwa, untuk penyakit malaria dibagi menjadi empat daerah yaitu :
a. Daerah khatulistiwa (Equatorial zone), suhu udara sepanjang tahun 25 oC atau lebih dengan kelembaban nisbi udara 70% atau lebih.
b. Daerah tropis (Tropical zone), suhu udara 25 oC atau lebih selama bulan-bulan terpanas, kelembaban 50% atau kurang selama satu atau beberapa bulan.
c. Daerah sub tropis (Sub-tropical zone), suhu udara 20-25 oC selama berbulan-bulan terpanas, kelembaban 50% atau lebih.
d. Daerah dingin (Temperate zone), suhu udara 16-20 oC selama berbulan-bulan terpanas dan kelembaban 70% atau lebih (Depkes, 2003b).
6. Pengaruh Iklim
a. Nyamuk termasuk binatang berdarah dingin dan karenanya proses metabolisme dan siklus kehidupannya tergantung pada suhu lingkungannya. Nyamuk tidak dapat mengatur suhu tubuhnya. Suhu rata-rata optimum untuk perkembangan nyamuk adalah 25-27 oC. Nyamuk dapat bertahan hidup dalam suhu rendah tetapi proses metabolismenya menurun atau bahkan terhenti bila suhu turun sampai dibawah suhu kritis pada suhu yang sangat tinggi akan mengalami perubahan proses fisiologis. Pertumbuhan nyamuk
(40)
akan terhenti sama sekali bila suhu < 10 oC sampai > 40 oC. Toleransinya terhadap suhu tergantung pada spesies nyamuknya, tetapi pada umumnya suatu spesies tidak akan tahan lama bila suhu lingkungan meninggi 5-6 oC diatas, dimana spesies normal dapat beradaptasi.
b. Kelembaban udara berpengaruh terhadap kehidupan nyamuk, apabila udara ada kekurangan air yang besar, maka udara mempunyai penguapan yang besar. Sistem pernafasan nyamuk menggunakan trachea dengan lubang-lubang pada dinding tubuh nyamuk yang disebut spiracle. Adanya spiracle yang terbuka tanpa ada mekanisme pengaturnya, pada waktu kelembaban rendah akan menyebabkan penguapan air dari dalam tubuh nyamuk yang mengakibatkan keringnya cairan pada tubuh nyamuk. Pada kelembaban < 60%, umur nyamuk akan menjadi pendek sehingga tidak cukup untuk siklus pertumbuhan parasit didalam tubuh nyamuk (Depkes, 2007c).
2.5.2. Ciri-ciri Nyamuk Anopheles sundaicus
Nyamuk Anopheles sundaicus hidup disepanjang pantai dan berkembang biak pada lagoon, bekas tambak-tambak, bekas galian pasir dekat pantai, tempat terbuka dan kena sinar matahari langsung, jentik berlindung pada tanaman air seperti lumut sutera dan lumut perut ayam. Kadar garam pada air yang disenangi nyamuk
(41)
2.5.3. Ciri-ciri Nyamuk Anopheles letifer
Nyamuk Anopheles letifer mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : a. Terdapat didaerah dataran rendah dekat pantai.
b. Sarang jentiknya yaitu genangan air yang coklat tua dengan pH 5-8. c. Tidak di dalam hutan.
d. Sangat Anthropofilik.
e. Hidupnya lebih dekat dengan kediaman manusia.
f. Nyamuk dewasa masuk rumah dari senja sampai pagi hari. g. Tempat hinggapnya di luar rumah.
h. Kedudukannya sebagai vektor malaria masih diragukan karena mungkin masih dicampur adukan dengan Anopheles umbrosus.
i. Nyamuk besar, palpi kurang begitu lebat, tidak ada proleural setae, kaki depan tidak ada hubungan putih, sedangkan hubungan putih kaki belakang sempit. j. Jentiknya berbeda dengan spesies umbrosus group lainnya pada
rambut-rambutnya yang bercabang yaitu jumlah cabang lebih sedikit inner clypeals 4-7 cabangnya : posterior clypeals pendek, tidak mempunyai pangkal inner clypeals, bercabang 3-4 : lateral hair ruas abdomen ke-3 dengan 3-4 cabang (Iskandar, 1985).
(42)
2.5.4. Ciri-ciri Nyamuk Anopheles maculatus
Nyamuk Anopheles maculatus mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
a. Penyebaran di Indonesia sangat luas, kecuali Maluku dan Irian terdapat di daerah pegunungan sampai 1600 m di atas permukaan air laut.
b. Jentik tidak menyukai tempat yang sama sekali teduh, tapi yang banyak kena sinar matahari.
c. Lebih banyak terdapat dalam air jernih. Rupanya tidak begitu memilih dan dapat dijumpai pada genangan air disamping aliran utama sungai besar, dalam parit-parit didaerah pegunungan, mata air, kolam, sawah, rawa, tepi danau, kadang-kadang juga dalam genangan air yang terbatas seperti bekas tapak binatang dan tempat-tempat semacam itu ada kalanya terdapat dalam air kotor.
d. Nyamuk dewasa suka menggigit manusia dan binatang, tapi dibeberapa tempat sering mengabaikan manusia sama sekali. Kegiatan yang tertinggi pada malam hari antara jam 2100 - 0200 malam. Tidak suka hinggap dalam rumah dan sering kedapatan hinggap pada tumbuh-tumbuhan.
e. Nyamuk dewasa mudah dikenal yaitu kakinya fermora dan tibia berbintik, tersale ke-5 seluruhnya putih, tersale ke-4 tidak seluruhnya putih.
f. Jentik mempunyai onter clypsala dengan sedikit cabang-cabang halus, inner natural hair simple, filomen kipas pada ruas abdomen runcing (Iskandar, 1985).
(43)
2.6. Pestisida
Pestisida adalah semua bahan kimia, binatang maupun tumbuh-tumbuhan yang dipergunakan untuk mengendalikan hama. Secara umum pestisida dapat didefinisikan sebagai bahan yang dipergunakan untuk mengendalikan jasad hidup yang dianggap hama (pest) yang secara langsung ataupun tidak langsung merugikan kepentingan manusia (Djojosumarto, 2008).
2.6.1. Klasifikasi Pestisida
Pestisida yang dipergunakan dalam pemberantasan hama dikelompokan menjadi 3 kelompok yaitu :
a. Pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. b. Pestisida yang berasal dari hewan.
c. Pestisida yang berasal dari bahan kimia.
Pestisida yang banyak dipergunakan dilapangan yaitu pestisida yang berasal dari bahan kimia. Pestisida yang berasal dari bahan kimia dapat digolongkan sebagai berikut :
1. Berdasarkan bentuk fisiknya
a. Bentuk padat : debu (dust), umpan (bait), seed dressings, granules.
b. Bentuk cair : solution, suspention, emultion, vapours.
c. Bentuk gas : yang diaplikasikan berbentuk gas sebagai fumigant, yang diaplikasikan dalam bentuk padatan tapi cepat sekali menguap.
(44)
d. Berdasarkan target spesies : pestisida berdasarkan target spesiesnya yaitu
insecticides (racun serangga), herbicides (racun gulma), acaricides (racun
acarina seperti caplak, pinjal, tungau), miticides (racun caplak), fungicides
(racun jamur), rodenticides (racun tikus), mollucicide (racun keong), avicide
(racun burung), pesticide (racun ikan). 2. Berdasarkan tujuan penggunaannya
a. Yang mempunyai effek langsung terhadap hama yaitu mereduksi populasi hama yang secara extrem diartikan sebagai pembasmian (eradication), mencegah/menolak kehadiran hama (repellent).
b. Yang mempunyai effek tidak langsung terhadap hama yaitu mengarahkan pestisida pada salah satu tempat yang menjadi kebiasaan hidup pest, mengaplikasikan pestisida pada bagian dari tanaman atau binatang yang menjadi carrier dari suatu hama, menggunakan attractant.
3. Berdasarkan cara kerja atau pengaruh fisiologis
Dilihat dari cara kerjanya dalam mematikan serangga atau hama tanaman. pestisida digolongkan menjadi : racun perut (stomach poisson), racun kulit (contact poisson), racun nafas, sistemik (Iskandar, 1985).
(45)
2.6.2. Formulasi Insektisida
Bahan insektisida yang bekerja aktif terhadap jasad sasaran disebut bahan aktif atau aktif ingredient. Oleh produsen bahan aktif tidak dihasilkan sebagai bahan murni 100%, tetapi telah dicampur bahan pengantar. Produk pertama yang dihasilkan ini disebut bahan teknis atau technical grade.
Bahan teknis mempunyai kadar bahan aktif yang tinggi untuk pengaman penggunaan dan pemasaran, bahan ini masih perlu diubah bentuk dengan sifat-sifat fisik tertentu dengan mencampurkan bahan yang lain. Produk yang merupakan campuran bahan teknis dengan bahan lain. Produk yang merupakan campuran bahan teknis dengan bahan lain tersebut dinamakan produk formulasi atau formulated
product. Depkes (1987) menguraikan jenis formulasi pestisida sebagai berikut :
1. Formulasi Cair
a. Emulsifiable Consentrate (EC), yaitu formulasi pekatan yang dapat diemulsikan.
Formulasi berbentuk cair yang dibuat dengan melarutkan bahan aktif ke dalam pelarut tertentu dan ditambah bahan pengemulsi. Di lapangan digunakan dengan mengencerkannya dengan air dan perlu diaduk.
b. Water Soluble Consentrate (WSC), yaitu formulasi pekatan yang larut dalam air.
Formulasi ini terdiri bahan aktif yang dilarutkan dalam pelarut tertentu yang dapat bercampur baik dengan air. Di lapangan diencerkan dengan air kemudian dapat langsung disemprotkan.
(46)
c. Oil Consentrate (OC), yaitu formulasi pestisida yang didapat dari bahan aktif dilarutkan dalam pelarut hidrokarbon aromatic (xilin). Di lapangan diencerkan dengan pelarut hidrokarbon yang murah misalnya solar, kemudian dikabutkan atau disemprotkan.
d. Aerosol, formulasi ini didapat dari bahan aktif yang dilarutkan dalam pelarut
organik. Ke dalam larutan ini ditambahkan gas yang bertekanan dan dikemas hingga menjadi siap pakai.
e. Gas yang dicairkan, yaitu formulasi yang didapat dari bahan aktif dalam bentuk gas, yang dimampatkan pada tekanan tertentu dalam suatu kemasan. Di lapangan digunakan untuk fumigasi di dalam ruangan (CH3Br).
2. Formulasi Padat
a. Wetable Powder (WP) atau Dispersible Powder (DP), yaitu formulasi tepung
yang dapat disuspensikan. Pada formulasi ini tepung kering yang halus dengan air akan membentuk suspensi, ditambah bahan aktif dan bahan lain untuk mencegah pengendapan dan penggumpalan tepung. Di lapangan dicampur dengan air yang kemudian disemprotkan.
b. Soluble Powder (SP), adalah formulasi yang dapat larut dengan baik di dalam
air. Pada dasarnya formulasi ini sama dengan WP, tetapi ketiga bahan penyusunnya (pembawa, bahan aktif dan surfaktan) larut dengan baik dalam air.
(47)
c. Granula (G), formulasi ini berupa sebagai butiran. Pada formulasi ini bahan aktif menempel dan melapisi bahan pembawa yang berupa butiran-butiran pasir, tanah kering dan sebagainya.
d. Dust Consentrate (Pekatan Debu), formulasi terdiri dari tepung kering halus
yang mengandung bahan aktif. Di lapangan perlu dicampur lagi dengan bahan lain yang sesuai.
e. Bait (Umpan), adalah formulasi yang terdiri atas bahan aktif dan bahan penambah. Di lapangan dicampurkan pada bahan makanan (Depkes, 2003b).
2.6.3. Penggolongan Pestisida Berdasarkan Cara Bekerja
Pestisida yang digunakan dalam pengendalian vektor berdasarkan cara bekerja atau cara masuknya racun ke dalam tubuh vektor yaitu (Iskandar, 1985) : a. Racun perut (stomach poisons)
Racun hama yang bekerja melalui peracunan perut harus diberikan secara umpan. Racun ini dicampur dengan bahan-bahan lain sebagai penarik (attractant) hama. Untuk lalat, bahan penarik ini berupa gula, buah-buahan dll. b. Racun pernafasan (respiratory poisons)
Racun ini dapat masuk ke dalam tubuh hama melalui saluran pernafasan yang disebut spirakel dan pori-pori pada permukaan tubuhnya. Bahan kimianya berbentuk fumigant yang sering dipergunakan dalam pemberantasan hama bahan-bahan makanan, kertas-kertas arsip, tikus dll.
(48)
c. Racun kontak (contact poisons)
Racun ini masuk ke dalam tubuh hama melalui dinding tubuh/kulit tubuh atau bagian kaki (tarsus). Yang termasuk pada jenis racun kontak ini yaitu residu
(residual poisons) yang disemprotkan pada dinding dan langit-langit rumah
untuk membunuh hama yang berada ditempat itu. d. Debu dessikan (dessicants)
Dessikan ini lebih banyak berbentuk debu hydroscopik yang dapat menyerap cairan tubuh serangga dalam bentuk air maupun lemak-lemak tubuh, sehingga serangga tadi mengalami kekurangan cairan untuk kemudian mati setelah proses dehidrasi. Salah satu contoh dessikan yang dipergunakan dalam pengendalian hama terutama serangga kecoak adalah silica gels (Iskandar, 1985).
2.6.4. Penggolongan Pestisida Berdasarkan Senyawa Kimia
Pestisida kimia diklasifikasikan berdasarkan pengaruh fisiologisnya yang disebut farmakologis biasanya digunakan oleh toksikologis atau klinis sebagai berikut (Iskandar, 1985) :
a. Senyawa organofosfat
Racun ini merupakan penghambat yang kuat daripada enzim cholinesterase pada syaraf. Asetyl choline berakumulasi pada persimpangan-persimpangan syaraf
(neural junctions) yang disebabkan oleh aktifitas cholinesterase dan
menghalangi penyampaian rangsangan syaraf kelenjar dan otot-otot. Yang termasuk senyawa organofosfat yaitu diazinon, dimethyl phosphate, dimeton,
(49)
dimethoate, phorate, dinitrodimeton, oxydimeton methyl, azinophosmethyl, carbophenothion, ethion, methyl parathion, ethyl parathion, trichlorfon, malathion.
b. Senyawa organokhlorin
Dari golongan ini yang paling jelas pengaruh fisiologisnya seperti ditunjukan oleh adanya susunan syaraf pusat, senyawa ini berakumulasi pada jaringan lemak. Yang termasuk senyawa organokhlorin yaitu DDT, BHC, chlorobenzilate, dicotol, aldrin, dieldrin, chlordane, neptachlor, metoxychlor, lindane, endrin, toxophene, methyl bromide, ethylene dichloride, carbon tetra bromide, ethylene dibromide.
c. Senyawa karbamat
Pengaruh fisiologis yang primer dari racun golongan karbamat adalah menghambat aktifitas enzim cholinesterase darah, dengan gejala-gejala yang sama seperti pada senyawa organofosfat. Ciri khas golongan ini mengandung unsur nitrogen. Yang termasuk golongan karbamat yaitu pyrolan, isolan, dimethilan, karbaryl (baygon, banol, mesurol, zectran).
d. Senyawa arsenat
Pada keadaan keracunan akut racun ini menimbulkan gastroenteristis dan diarhoea menyebabkan kekejangan yang hebat sebelum menimbulkan kematian. Pada keadaan kronis menyebabkan pendarahan pada ginjal dan hati (Iskandar, 1985).
(50)
e. Sintetik piretroid
Insektisida dari kelompok piretroid merupakan insektisida sintetik yang merupakan tiruan atau analog dari piretrum. Efikasi biologis piretroid bervariasi, tergantung pada bahan aktif masing-masing. Kebanyakan piretroid yang memiliki efek sebagai racun kontak yang sangat kuat. Insektisida piretroid merupakan racun yang memengaruhi saraf serangga (racun saraf) dengan berbagai macam cara kerja pada susunan saraf sentral (Djojosumarto, 2008). Piretroid adalah racun saraf yang bekerja dengan cepat dan menimbulkan paralisis yang bersifat sementara. Efek piretroid sama dengan DDT tetapi piretroid memiliki efek tidak persisten. Generasi pertama piretroid adalah alletrin bersifat stabil dan persisten yang cukup efektif untuk membunuh lalat rumah dan nyamuk. Piretroid yang lain adalah flucythrinate, decametrin, sipermetrin, lamdasihalotrin yang memiliki spectrum luas (Subiyakto, 1991).
2.6.5. Insektisida Bendiocarb
Ficam 80 WP adalah sutau jenis insektisida yang digunakan untuk pengendalian vektor. Ficam mengandung bahan aktif bendiocarb 80% yang merupakan senyawa C-H-N-O yang terdiri dari unsur karbon, hydrogen, nitrogen dan oksigen (Bayer Chemical, 2001).
1. Ilmu kimia
(51)
Rumus bangun :
Nama dagang : ficam 80 WP Nama bahan aktif : bendiocarb 80 %
Rumus kimia : 2.2-dimethyl-1, 3-benzodioxol-4-yl methylcarbamate Rumus molekul : C11H13NO4
Nomor kode WHO : [ 22781-23-3] 2. Petunjuk penggunaaan
Setiap saset terdiri atas 53 gram ficam 80 WP disuspensikan dengan penambahan air menjadi 8.5 liter untuk menyemprot permukaan seluas 212.5 m2.
3. Waktu dan cara aplikasi
Penyemprotan pada dinding/permukaan bagian dalam rumah diaplikasikan 1 bulan sebelum puncak kepadatan vektor malaria atau 2 bulan sebelum puncak insidens malaria.
4. Petunjuk keamanan
(52)
2.6.6. Insektisida Etofenproks
Vectron adalah suatu jenis insektisida yang dirancang untuk pengendalian vektor. Vectron mengandung bahan aktif etofenproks yang merupakan senyawa C-H-O yang hanya terdiri dari unsur karbon, hydrogen dan oksigen (Mitsui Chemical, 1998).
1. Ilmu kimia
Vectron 20 WP termasuk insektisida golongan organofosfat. Rumus bangun :
CH3 O
C2H5O CH2 O CH2
CH3
Nama dagang : vectron
Nama bahan aktif : etofenproks 20.5 %
Rumus kimia : 2 – (4-ethoxyphenyl) – 2 – methylpropyl 3 – phenoxybenzyl ether
Nomor kode WHO : OMS3002 2. Sifat-sifat vectron
a. Mempunyai spectrum efektifitas yang sangat luas terhadap berbagai hama antara lain nyamuk, lalat, kecoak, kutu triatoma, kutu hewan dll.
b. Tidak mudah hilang dari permukaan tembok dan serabut-serabut jarring. c. Daya racunnya sangat rendah terhadap mamalia.
(53)
d. Tidak menimbulkan iritasi kulit atau mata (WP, EW). e. Berdampak rendah pada lingkungan.
f. Tidak berbau.
g. Lebih sedikit menimbulkan noda pada tembok atau dinding karena hanya dibutuhkan pemakaian dalam dosis rendah.
h. Mudah diterima masyarakat di daerah-daerah.
i. Stabilitas penyimpanan tetap stabil setidak tidaknya selama 3 tahun dalam kondisi normal.
3. Dekomposisi di tanah
a. Studi dekomposisi tanah menunjukkan bahwa waktu paruh etofenproks
adalah sekitar 1-3 minggu di tanah aerob.
b. Test peluluhan pada tanah mengungkapkan bahwa etofenproks tidak meluluh habis dan disimpulkan bahwa etofenproks tidak mengalir ke dalam lingkungan air.
4. Untuk pengendalian malaria
a. Untuk pengendalian malaria dengan target nyamuk Anopheline digunakan dosis antara 0.1 – 0.3 gram per m2, jumlah produk per 1 liter air 12.5 – 37.5 gram dan volume pemakaian 40 ml per m2.
b. Setiap saset terdiri atas 104 gram vectron 20 WP disuspensikan menjadi 8.5 liter larutan insektisida + air untuk menyemprot permukaan seluas 212.5 m2.
(54)
5. Penyimpanan dan pembuangan vectron
a. Simpan ditempat tertutup, dingin, kering dan jauh dari api dan sinar matahari. b. Simpan dalam kotak aslinya ditempat yang aman dan jauh dari jangkauan
anak-anak.
c. Bakar atau tanam kotak kosong disuatu areal terisolasi sesuai dengan peraturan setempat dan jauh dari sumber air serta jangan digunakan ulang. 6. Pencegahan dan pengobatan keracunan
a. Hindari kontak dengan mata, kulit atau pakaian : sewaktu mengukur dan mencampur produk, pakailah pakaian pelindung, sarung tangan kedap air, masker dan kacamata pelindung, sepatu karet, rok kerja dan topi. Sewaktu menyemprot pakailah pakaian pelindung, sepatu dan topi.
b. Cucilah kulit yang terpapar dengan cermat menggunakan sabun dan air setelah penanganan dan pemakaian.
c. Jangan gunakan pada tambak ikan atau pada tambak/kolam pembibitan udang, remis atau kepiting.
d. Bila vectron WP atau EW tertelan, paksa muntah dengan menyentuh bagian belakang tenggorokan dengan jari. Jangan sekali-kali memaksa muntah bila korban tidak sadarkan diri dan segera mencari pertolongan medis.
e. Bila vectron EC atau produk ULV tertelan jangan paksa muntah. Berikan satu atau dua gelas air untuk diminum dan segera mencari pertolongan medis.
(55)
Jangan sekali-kali memberikan memberikan apapun melalui mulut kepada orang yang tidak sadarkan diri (Mitsui Toatsui Chemical, 1998).
2.6.7. Insektisida Lamdasihalotrin
Icon 10 WP adalah suatu jenis insektisida yang dirancang untuk pengendalian vektor. Icon mengandung bahan aktif lamdasihalotrin yang merupakan senyawa C-H-O-N-F-Cl (Syngenta, 2003).
1. Ilmu kimia
Icon 10 WP termasuk insektisida golongan piretroid. Rumus bangun :
Nama dagang : Icon 10 WP
Nama bahan aktif : Lamdasihalotrin 10 % Rumus molekul : C23H19ClF3NO3
Rumus kimia : a-cyano-3-phenoxybenzyl 3-(2chloro-3.3.3- trifluoroprop-1-enyl)-2.2-dimethylcy-clopropane carboxylate. a 1: mixture of the (Z)-(1R.3R). S-ester and the (Z)-(1S.3S).R-ester
(56)
2. Insektisida lamdasihalotrin 10 WP merupakan insektisida racun kontak dan lambung berbentuk tepung yang dapat disuspensikan, berwarna putih susu sampai kuning pucat, untuk mengendalikan nyamuk Anopheles spp di dalam ruangan.
3. Sifat lamdasihalotrin 10 WP senyawa peritroid a. Keunggulan
i. Lebih ramah lingkungan dikarenakan dosis pemakaian rendah. ii. Knockdown period lebih cepat terhadap serangga uji.
iii. Tidak menyebabkan korosif terhadap jenis permukaan uji.
iv. Tidak memerlukan pencegahan kolinesterase darah terhadap pelaku operasional pengendalian vektor.
b. Kelemahan
1. Mudah terurai oleh faktor alam seperti jika terkena sinar matahari langsung, temperatur tinggi dan kelembaban tinggi.
2. Jika tercuci bahan aktif sintetik peritroid langsung larut atau hilang. 4. No Pendaftaran : RI. 947/6-2002/T
Rozendall A (1997) menyebutkan bahwa lamdasihalotrin merupakan racun kontak dan racun perut yang banyak dipergunakan untuk pengendalian serangga. Insektisida golongan ini seperti icon, kenanga, origin dan procon tergolong racun dengan toksisitas rendah bila terpapar melalui kulit tetapi sangat beracun bila terhirup. Insektisida golongan lamdasihalotrin dilarutkan didalam pelarut
(57)
bersama-sama dengan formulasi lainnya menjadi formulasi murni, stabil, homogen, bebas dari endapan.
2.7. Faktor-Faktor yang Harus Diperhatikan Dalam IRS
Penyemprotan rumah dengan efek residual (IRS = Indoor Residual Spraying) telah lama dilakukan dalam pemberantasan malaria di Indonesia. Sampai sekarang cara ini masih dipakai karena dipandang paling tepat dan besar manfaatnya untuk memutuskan transmisi, murah dan ekonomis. Penyemprotan IRS adalah suatu cara pemberantasan vektor dengan menempelkan racun serangga tertentu dengan jumlah (dosis) tertentu secara merata pada permukaan dinding yang disemprot dengan tujuan untuk memutus rantai penularan karena umur nyamuk menjadi lebih pendek sehingga tidak sempat menghasilkan sporozoit didalam kelenjar ludahnya (Depkes, 2003). Dalam melaksanakan penyemprotan IRS (indoor residual spraying)
diperlukan beberapa persyaratan sebagai berikut : 1. Cakupan bangunan yang disemprot (coverage)
Rumah atau bangunan dalam daerah tersebut harus diusahakan agar semuanya disemprot. Yang dimaksud rumah atau bangunan yaitu tempat tinggal yang digunakan malam hari untuk tidur.
2. Cakupan permukaan yang disemprot (completeness)
Cakupan permukaan yang disemprot adalah semua permukaan (dinding, pintu, jendela, almari dsb) yang seharusnya disemprot.
(58)
3. Pemenuhan dosis (sufficiency)
Dosis yang dipergunakan yaitu dosis sesuai petunjuk pemakaian yang tertera pada tiap saset insektisida.
Untuk memperoleh hasil yang maksimal dari kegiatan tersebut diperlukan pengetahuan dan keterampilan mengenai tujuan penyemprotan, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam penyemprotan, cara membuat suspensi dan cara menyemprot. 2.7.1. Sasaran
Sasaran penyemprotan Indoor Residual Spraying dalam kegiatan program pemberantasan penyakit malaria sebagai berikut (Depkes, 2003) :
1. Sasaran lokasi
a. Daerah/desa endemis malaria tinggi.
b. Desa dengan angka positif malaria > 5‰ penduduk adanya bayi positif malaria.
c. Daerah potensi KLB atau pernah terjadi KLB 2 (dua) tahun terakhir. d. Daerah bencana.
e. Terjadinya perubahan lingkungan sehingga memungkinkan adanya tempat perindukan.
f. Bercampurnya penduduk dari daerah non endemis dengan daerah endemis. g. Penanggulangan KLB.
(59)
2. Sasaran bangunan
Semua bangunan yang pada malam hari digunakan sebagai tempat menginap atau kegiatan lain (masjid, gardu ronda) kandang ternak besar disekitar rumah tinggal. Penyemprotan efektif apabila :
a. Penularan terjadi di dalam rumah (indoor bitting, kejadian bayi positif). b. Vektor resting di dinding.
c. Kandang ternak besar disekitar rumah tinggal.
2.7.2. Kualitas Penyemprotan
Tujuan operasional penyemprotan adalah menempelkan racun serangga tertentu dengan jumlah (dosis) tertentu secara merata pada permukaaan yang disemprot. Untuk mendapatkan dosis yang telah ditentukan perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut (Depkes, 2003) :
a. Konsentrasi suspensi
Sesuai ketentuan WHO, larutan suspensi yang optimal diperlukan untuk menyemprot 1 m2 permukaan dinding adalah 40 ml. Dengan demikian suspensi (kepekatan) yang diperlukan dengan rumus suspensi/ kepekatan larutan sebagai berikut :
Dosis (gr)
x 100 ml 40 ml
(60)
Contoh : untuk mendapatkan dosis Bendiocarb 0.2 gr/m2 konsentrasi suspensi yang diperlukan adalah
0.2 gr
x 100 % = 0.5%
40 ml
b. Alat
Alat semprot yang dipakai adalah merk Hudson X pert dengan volume 8.5 liter. Untuk Bendiocarb dengan kepekatan 0.5% diperlukan Bendiocarb murni (100%) sebanyak 8.5 x 1000 ml x 0.5% = 42.5 gram. Oleh karena pada umumnya yang dipakai adalah bentuk formulasi 80 WP maka untuk mendapatkan Bendiocarb
murni dibutuhkan : 100
x 42.5 gr = 53 gram
80
Dengan mengikuti cara yang tersebut diatas, konsentrasi suspensi insektisida dan jumlahnya dalam bentuk formulasi yang diperlukan untuk setiap spraycan seperti pada tabel berikut.
Tabel 2.1. Insektisida yang saat ini dipakai dalam pemberantasan malaria dan banyaknya untuk setiap spraycan
No Jenis Insektisida (Dosis)
Konsentrasi Bahan Aktif (Suspensi)
Jumlah yang diperlukan per
Spraycan (Formulasi) 1. Bendiocarb 80 WP (0.2 gr/m2) 0.5% 53 gram 2. Etofenproks 20 WP (0.1 gr/m2) 0.25% 104 gram 3. Lamdasihalotrin 10 WP (0.025 gr/m2) 0.0625% 53 gram
(61)
2.7.3. Nozzle yang Dipakai
Nozzle untuk kegiatan penyemprotan terdiri atas 4 jenis yaitu : 1. Solid stream, tebaran/larutan pestisida berbentuk lurus.
2. Flat spray/berbentuk kipas, tebaran/larutan pestisida berbentuk kipas.
3. Hollow cone berbentuk lingkaran kosong tengah, dipergunakan untuk menebarkan larvisida dan pemberantasan vegetasi dalam pengendalian caplak atau tungau.
4. Solid cone bentuk lingkaran penuh. dipergunakan untuk penebaran larvisida dan pengendalian/ pengawasan vegetasi didaerah tertentu.
Sedangkan nozzle tip yang dipergunakan dalam penyemprotan IRS adalah yang berkode 8002 E HSS yang berarti :
a. Mempunyai sudut pancaran 80 derajat pada tekanan 2.8 kg/cm2. b. Memancarkan 0.2 galon (757 cc) suspensi setiap menitnya.
c. HSS singkatan Hardened Stainless Steel (tahan karat) (Depkes, 2003b).
2.7.4. Tekanan Dalam Tangki
Alat penyemprot tangan (hand sprayers) merupakan salah satu alat yang paling banyak dipergunakan dalam aplikasi pestisida. Jenis-jenis alat penyemprot ada 3 macam yaitu :
1. Alat semprot tekanan udara (compressed air sprayers). 2. Alat semprot atomizer (hand pump atomizer).
(62)
Tekanan dalam tangki sangat menentukan efektifitas penyemprotan. Sedapat mungkin harus dijaga agar tekanan tetap stabil yaitu 2.8 kg/cm2. Dalam prakteknya sangat sulit mempertahankan tekanan sebesar itu sehingga diambil interval tekanan antara 1.8 - 3.8 kg/cm2 atau 25-55 PSI.
Untuk mendapatkan tekanan 3.8 kg/cm2 (55 PSI) dalam tangki spraycan yang berisi 8.5 liter perlu dipompa sempurna 55 kali. Yang dimaksud dipompa sempurna adalah cara memompa yang baik dan benar yaitu dengan menarik pegangan pompa sampai maksimal dan menekannya kembali sampai kebawah secara maksimal pula. Hal ini dilakukan berulang kali sampai 55 kali untuk mengetahui jumlah tekanan dalam tangki setelah dipompa sempurna sebanyak 55 kali maka dapat diukur dengan alat khusus.
Setelah disemprot selama 3 menit terus menerus, tekanan dalam tangki akan turun menjadi 2.1 kg/cm2 (30 PSI) dan telah mengeluarkan suspensi sebanyak 3 x 757cc = 2.271 liter. Supaya tekanan dalam tangki berada antara 1.8 – 3.8 kg/cm2 maka setelah disemprotkan selama 3 menit perlu dipompa sebanyak 25 kali. Jadi untuk menghabiskan sebanyak 8.5 liter dilakukan tindakan sebagai berikut (Depkes, 2003b) :
a. Pompa sebanyak 55 kali.
b. Semprotkan selama 3 menit, cairan yang keluar sebanyak 2.3 liter. c. Pompa lagi sebanyak 25 kali.
(63)
e. Pompa lagi 25 kali dan semprotkan sampai cairan dalam tangki habis. 2.7.5. Jarak Nozzle & Permukaan yang Disemprot
Untuk mendapatkan dosis yang telah ditentukan diperlukan jarak nozzle dengan permukaan dinding sejauh 46 cm. Pada jarak 46 cm ini tekanan dalam tangki 2.8 kg/cm2, nozzle yang dipakai 8002 HSS akan diperoleh lebar pancaran 75 cm. Dalam prakteknya lebar pancar 70 cm (bagian tengah) artinya racun serangga yang menempel dibagian tepi pancaran ditumpangkan 5 cm pada kolom pancaran sebelumnya.
2.7.6. Kecepatan Menyemprot
Mengingat larutan yang keluar per menit sebanyak 757 cc, maka larutan yang keluar per menit untuk insektisida bendiocarb 80 WP dosis 0.2 gram per m2 dan konsentrasi 0.5% adalah :
757 x 0.5
= 3.78 gram dibulatkan jadi 3.8 gram 100
Luas permukaan yang disemprot dalam 1 menit adalah 3.8 : 0.2 = 19 m2. Dengan ketentuan bahwa tinggi penyemprotan maksimal 3 meter dari lantai dengan luas 19 m2, panjang permukaan yang disemprot adalah 19 m2 : 3 m = 6.33 m.
(64)
2.8. Uji Kerentanan Vektor (Susceptibility Test)
Uji kerentanan dilakukan untuk mengetahui data dasar dari status kerentanan vektor terhadap setiap jenis racun serangga (insektisida) yang akan digunakan. Selain itu uji kerentanan ini juga bertujuan untuk mengetahui perubahan-perubahan tingkat kerentanan vektor sebelum, selama dan setelah penyemprotan dilakukan.
Pengujian dilaksanakan dengan menggunakan 10 tabung uji (exposure tube) yang di dalamnya ada kertas poles (impregnated paper yang mengandung racun) dengan konsentrasi sesuai kebutuhan. Demikian juga digunakan 1 tabung kontrol yang diberi kertas poles (impregnated paper tanpa mengandung racun serangga) atau hanya dengan minyak risella.
Pada setiap tabung uji maupun tabung kontrol dimasukkan sebanyak 20 ekor nyamuk dengan kondisi penuh darah (kenyang). Lamanya 1 jam, tergantung dari insektisida yang akan digunakan. Setelah kontak 1 jam, nyamuk itu dipindahkan dan disimpan dalam cangkir kertas (paper cup) selama 24 jam. Selama pengamatan disimpan dicatat temperatur dan kelembaban. Setelah disimpan selama 24 jam kemudian diperiksa jumlah nyamuk yang mati baik nyamuk kontrol maupun nyamuk yang diuji. Bila kematian nyamuk kontrol 5 – 20%, maka harus ada faktor koreksi dengan menggunakan rumus Abbot’s. Interpretasi dari hasil test kerentanan ini, bila kematian nyamuk :
1. 98% - 100% : rentan (susceptible) 2. 80% - 98% : meragukan
(65)
3. < 80% : resisten
Bila kematian nyamuk kontrol lebih dari 20% maka uji dianggap gagal dan harus diulang kembali. Kematian kontrol lebih 20% standar WHO harus dibawah angka jumlah tersebut yang disebabkan beberapa faktor antara lain :
a. Kontaminasi saat pelaksanaan uji
- Alat atau bahan uji kurang steril (seharusnya alat/bahan dalam keadaan bersih bebas bahan kimia atau bahan lain yang dapat mematikan nyamuk uji).
- Specimen uji kurang memenuhi standar uji (specimen uji dan kontrol harus diseleksi dalam keadaan sehat dan umur specimen relative sama).
- Pasca uji observasi nyamuk uji tidak diperlakukan standar uji (tempat observasi kurang steril, ventilasi ruangan kurang memenuhi syarat. temperatur tinggi, kelembaban terlalu rendah, air gula 10% untuk minum serangga uji terkontaminasi bahan kimia atau kering).
b. Kesalahan saat pelaksanaan teknis uji
- Pemaparan nyamuk uji kurang sesuai prosedur (seharusnya saat melakukan pemindahan kontak nyamuk uji pada masing-masing tabung susceptibility
test tidak diperkenankan terlalu cepat/keras yang dapat mengakibatkan nyamuk uji mengalami gangguan fisik).
- Pemasangan lapisan impregnated paper control kurang sempurna (seharusnya pemasangan kertas impregnated paper control yang berada di tabung susceptibility testkit menggunakan penjepit kawat ring secara
(66)
sempurna, agar pada setiap masing-masing lapisan kertas pada tabung benar-benar rapat sehingga nyamuk uji tidak terjepit oleh celah kertas yang terpasang ditabung) (Depkes, 2003).
2.9. Kerangka Konsep
Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Variabel Independen Variabel Dependen
Kerentanan Nyamuk Anopheles spp
(Jumlah nyamuk yang mati)
Lingkungan : 1. S u h u
2. Kelembaban Jenis Insektisida :
1. Bendiocarb 80 WP (0.2 gr/m2)
2. Etofenproks 20 WP (0.1 gr/m2)
3. Lamdasihalotrin 10 WP
(67)
BAB 3
METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah rancangan eksperimen semu (Quasi
Experiment) yaitu untuk mengetahui jenis insektisida (bendiocarb, etofenproks.
lamdasihalotrin) yang efektif sebagai insektisida yang digunakan dalam
pengendalian nyamuk Anopheles spp dengan cara mengkontakkan Insecticide
impregnated paper. Penelitian ini disebut eksperimen semu karena syarat-syarat
sebagai penelitian eksperimen tidak mencukupi yaitu tidak adanya randomisasi
(randomization) yaitu berarti pengelompokan anggota sampel pada kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol tidak dilakukan dengan random atau acak (Notoatmodjo, 2005).
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) Non Faktorial. RAK Non Faktorial merupakan rancangan untuk percobaan lapangan (field experiment) dimana di lapangan umumnya sulit untuk mendapatkan kondisi yang benar-benar homogen (Hanafiah, 1993). Dimana percobaan dilakukan dengan tiga perlakuan kontak antara nyamuk Anopheles spp dengan Insecticide impregnated paper (bendiocarb 80 WP 0.2 gr/m2, etofenproks 20
WP 0.1 gr/m2, lamdasihalotrin 10 WP 0.025 gr/m2) serta empat kali pengulangan
(68)
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian susceptibility test (uji kerentanan) dilaksanakan di laboratorium Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Batam.
3.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan April s/d Mei tahun 2010. 3.2.3. Alat dan Bahan Penelitian
1. Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : 1. Aspirator
2. Karet gelang 3. Kapas
4. Cangkir kertas 5. Lampu senter
6. Timer / pengukur waktu 7. Thermometer
8. Sling Hygrometer
9. 10 buah tabung percobaan dengan tanda merah, terbuat dari bahan plastik. 10.10 buah tabung penyimpanan nyamuk dengan tanda hijau untuk
(69)
dengan slide plastik yang dapat digeser-geser pada waktu memindahkan nyamuk.
11.20 buah cincin yang terbuat dari tembaga (cooper). 12.20 buah cincin yang terbuat dari perak (silver).
13.Tempat kotak penyimpanan tabung percobaan yang mengandung nyamuk untuk penyimpanan selama 24 jam (24 hours holding period).
2. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian yaitu :
1. Nyamuk berjumlah 320 ekor, setiap percobaan 80 ekor (setiap ulangan).
2. Insecticide impregnated paper.
3. Risella oil impregnated paper.
4. Larutan air gula kadar 10%. 3.2.4. Cara Kerja Penelitian
1. Cara Menangkap Nyamuk Anopheles spp
Penangkapan nyamuk sebagai bahan penelitian ditangkap dengan umpan badan
(Human Bait), adapun langkahnya sebagai berikut :
a. Siapkan peralatan yang akan digunakan untuk penangkapan nyamuk yaitu : aspirator 20 buah, cangkir kertas 20 buah, lampu senter 20 buah, kain kasa, kapas, karet gelang, kertas label, petugas umpan 20 orang.
(70)
b. Satu minggu sebelum dilakukan penangkapan umpan badan, petugas penangkap nyamuk diberi obat profilaksis untuk mencegah terjadinya penularan parasit plasmodium.
c. Untuk memudahkan nyamuk mendekati umpan sebaiknya petugas tidak mandi menggunakan sabun mandi.
d. Tentukan tempat dimana penangkapan nyamuk akan dilakukan.
e. Penangkapan nyamuk dilakukan di luar bangunan yang biasa masyarakat duduk-duduk santai pada malam hari.
f. 20 orang petugas yang akan menangkap nyamuk masing-masing membawa lampu senter, aspirator, cangkir kertas yang ditutup kain kasa dan kapas masing-masing satu.
g. Penangkapan dilakukan selama 9 jam mulai pukul 18.00 – 03.00.
h. Petugas penangkap nyamuk duduk dengan baik, dengan cara menggulung celana panjangnya hingga batas lutut dan tidak merokok selama melakukan penangkapan.
i. Bila ada nyamuk yang hinggap atau menggigit segera sedot/hisap dengan menggunakan aspirator.
j. Nyamuk yang tertangkap langsung dimasukan ke dalam cangkir kertas yang telah dipersiapkan.
k. Nyamuk hasil tangkapan selanjutnya dimasukan secara keseluruhan ke kandang nyamuk yang didalamnya sudah ada hewan umpan berupa marmut.
(71)
l. Nyamuk dalam kandang dalam keadaan kenyang setelah mengisap darah marmut.
2. Cara Kerja Uji Kerentanan
a. Pada tiap-tiap tabung uji (10 tabung standar WHO) dimasukan impregnated paper (kertas berinsektisida bendiocarb, etofenproks, lamdasihalotrin).
b. Kemudian dimasukan 20 ekor Anopheles spp dengan kondisi yang sama dengan cara memberi makan.
c. Lama kontak antara nyamuk dengan insektisida selama 1 jam.
d. Untuk kontrol, pada 1 tabung uji dimasukan kertas yang tidak mengandung insektisida (risella oil paper), kemudian dimasukan 20 ekor nyamuk.
e. Lama kontak antara nyamuk dengan risella oil paper 1 jam.
f. Setelah waktu kontak, seluruh nyamuk baik kontrol maupun yang diuji, dimasukan dalam cangkir kertas dan disimpan selama 24 jam.
g. Selama pengamatan dicatat suhu dan kelembaban. 3.3. Objek Penelitian
Yang menjadi objek penelitian ini adalah :
1. Insektisida bendiocarb, etofenproks, lamdasihalotrin.
2. Nyamuk Anopheles spp betina sebanyak 320 ekor, hasil tangkapan yang kontak dengan manusia di Kampung Teluk Mata Ikan Kelurahan Sambau Kecamatan Nongsa Kota Batam.
(1)
(2)
Gambar lampiran 8, Lokasi breading places nyamuk Anopheles spp Lamdasihalothrin)
Gambar lampiran 9, Petugas sedang menangkap nyamuk Anopheles spp
Gambar lampiran 10, Marmut sebagai bahan umpan makanan nyamuk Anopheles spp
(3)
Gambar lampiran 11, Marmut dimasukan ke kandang nyamuk sebagai umpan nyamuk Anopheles spp
(4)
Gambar lampiran 13, Hewan uji sedang dimasukan ke tabung sebagai kontrol
Gambar lampiran 14, Tabung uji sedang digabungkan antara bagian tabung berisi hewan uji dengan tabung berisi kertas berinsektisida
(5)
Gambar lampiran 15, Hewan uji sedang dikontakan dengan Insecticide Impregnated paper
Gambar lampiran 16, Hewan uji setelah dikontakan dengan Insecticide Impregnated
(6)
Gambar lampiran 17, Hewan uji sedang dimasukan ke paper cup untuk dilakukan pengamatan
Gambar lampiran 18, Hewan uji dalam paper cup sedang diamati dan dicatat dalam formulir pengamatan