Kecepatan Adopsi Inovasi Hak Kekayaan Intelektual Merek Dagang Usaha Kecil Menengah Di Kota Bandung

KECEPATAN ADOPSI INOVASI HAK KEKAYAAN
INTELEKTUAL MEREK DAGANG USAHA
KECIL MENENGAH DI KOTA BANDUNG

FADZRIANI NUR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kecepatan Adopsi
Inovasi Hak Kekayaan Intelektual Merek Dagang Usaha Kecil Menengah di Kota
Bandung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, November 2016
Fadzriani Nur
NIM I352130111

RINGKASAN
FADZRIANI NUR. Kecepatan Adopsi Inovasi Hak Kekayaan Intelektual Merek
Dagang Usaha Kecil Menengah di Kota Bandung. Dibimbing oleh SARWITITI
SARWOPRASODJO dan MUSA HUBEIS.
Pelaksanakan masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) merupakan kesepakatan
yang dibuat oleh sepuluh negara Asia Tenggara untuk kestabilan kawasan ini.
Pemerintah Indonesia melakukan persiapan untuk menghadapi diberlakukannya
kesepatan ini. Begitu pula dengan kota Bandung, melalui program Fasilitasi Hak
Kekayaan Intelektual (HKI) Merek Dagang Usaha Kecil Menengah (UKM).
Selain untuk mempersiapkan UKM dalam menghadapi MEA 2015, program ini
ditujukan untuk melindungi merek dagang UKM di kota Bandung. Penelitian ini
bertujuan untuk: (1) mengetahui Kecepatan adopsi HKI merek dagang di kota
Bandung, (2) menganalisis pengaruh faktor -faktor yang memengaruhi kecepatan
pelaku UKM seperti atribut inovasi, saluran komunikasi dan komunikator
terhadap kecepatan adopsi inovasi HKI merek dagang UKM di kota Bandung, (3)

menganalisis pengaruh karakteristik pemilik UKM terhadap kecepatan adopsi
inovasi UKM terkait HKI merek dagang di kota Bandung.
Penelitian didesain sebagai penelitian survei deskriptif eksplanatori yang
bersifat pengaruh unsur-unsur adopsi inovasi terhadap kecepatan adopsi.
Penelitian ini dilaksanakan di kota Bandung, Jawa Barat. Data meliputi data
primer dan sekunder. Penetapan jumlah responden berdasarkan teknik Slovin
yang diikuti dengan penarikan contoh acak sederhana (simple random sampling),
sehingga menghasilkan 66 pelaku UKM di kota Bandung dijadikan responden
dalam penelitian ini. Analisis data menggunakan analisis regresi untuk melihat
pengaruh antara peubah bebas dengan peubah tidak tidak bebas.
Hasil penelitian ini menunjukan sebagian besar pelaku UKM adalah lakilaki (60.60%), tingkat penghasilan Rp 1 000 000 – Rp 20 000 000, berpendidikan
terakhir Sarjana (S1), dengan kepemilikan pegawai kerja sebanyak 0 – 4 orang.
Sebagian besar merupakan pengusaha muda berusia 20 – 27 tahun. Pelaku UKM
relatif memiliki pengetahuan mengenai HKI merek dagang. Kecepatan adopsi
responden pada program fasilitasi HKI merek dagang sebagian besar pelaku UKM
yang mendaftar HKI merek dagang adalah tergolong kategori lambat. Sebesar
51.50 persen pelaku UKM mendaftar pada bulan September dan Oktober 2014.
Atribut inovasi berpengaruh nyata dan positif terhadap kecepatan adopsi inovasi
program ini. Serta saluran komunikasi dan komunikator UKM tidak berpengaruh
terhadap kecepatan adopsi inovasi program fasilitasi HKI merek dagang UKM di

kota Bandung.
Secara umum, tidak cukup bukti untuk menyatakan bahwa karakteristik
pelaku UKM berpengaruh terhadap kecepatan adopsi. Hal ini sejalan dengan tidak
terdapat pengaruh karakteristik pelaku UKM dalam kecepatan untuk mengadopsi
program fasilitasi HKI merek dagang. Keputusan pelaku UKM untuk mengadopsi
program tersebut dipengaruhi oleh tidak dikenakan biaya untuk mendaftarkan
HKI merek dagang bagi produknya.

Kata kunci: adopsi inovasi, hak kekayaan intelektual, usaha kecil menengah,
masyarakat ekonomi asean

SUMMARY
FADZRIANI NUR. Rate of Adoption Innovation of Intellectual Property Rights
Trademark for Small and Medium Enterprises in Bandung City. Supervised by
SARWITITI SARWOPRASODJO and MUSA HUBEIS.
The implementation of ASEAN Economic Community (AEC) was an
agreement made by ten Southeast Asian countries for the stability of this region.
The government of Indonesia made preparations to deal with the implementation
of this agreement. As well as the city of Bandung, through Intellectual Property
Rights (IPR) trademark facilitation program for SMEs. In addition to preparing

SMEs in facing the 2015 AEC, this program was also intended to protect the
trademark of SMEs in Bandung. This research was aimed to: (1) identify the
adopting rate of IPR trademark in Bandung city, (2) analyze the factors
influencing the decision of SMEs, such as attributes of innovations,
communication channels and communicators, to the adopting level of IPR
trademark for SMEs in Bandung city, (3) analyze the influence of SMEs’
characteristics to the adopting level of their businesses related to the IPR
trademark in Bandung city.
This research was designed as the explanatory descriptive survey research
influencing the level of adoption of innovation adoption. This research was
conducted in Bandung, West Java. Primary and secondary data were included.
The determination of the respondents number was based on Slovin followed by
simple random sampling, resulting in 66 SMEs in Bandung as respondents in this
research. Regression analysis was used as the data analysis to see the influence of
independent and dependent variables.
This research result showed that most of the SMEs are males (60,60%), with
income level of Rp 1 000 000–Rp 20 000 000, Bachelor (S1) with employee
ownership level of employment for 0–4 people. Most of them are young
entrepreneur aged 20–27. SMEs were relatifly knowledgeable about the IPR
trademark. From the respondents’ adoption rate in IPR trademark facilitating

program, it showed that most of SMEs registering IPR trademark were late.
Around 51,50% of respondents registered on September and October 2014. The
ignorance of SMEs about the program was the reason for this case. Attributes of
innovations had a real dan positive influence to the rate of adoption this program.
Whereas, communication channel and communicator did not have any influence
for rate of adoption innovation IPR trademark facilitating program for SME’s in
Bandung city.
Generally, there was not enough evidence to say that the characteristics of
SMEs influenced the level of adoption. This is in line with the unavailability of
the characteristics of SMEs in decision to adopt the IPR trademark facilitating
program. The decision to adopt the program was because the SMEs did not charge
IPR trademark registration for their products.
Keywords:

Innovation adoption, Intellectual Property Rights (IPR), ASEAN
Economic Community (AEC), Small and Medium Enterprise
(SME)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KECEPATAN ADOPSI INOVASI HAK KEKAYAAN
INTELEKTUAL MEREK DAGANG USAHA
KECIL MENENGAH DI KOTA BANDUNG

FADZRIANI NUR
I352130111
Penguji pada Ujian Tesis:
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan

Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Pudji Muljono, M.Si

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2015 ini ialah difusi
inovasi, dengan judul “Kecepatan Adopsi Inovasi Hak Kekayaan Intelektual
Merek Dagang Usaha Kecil Menengah di kota Bandung.”
Terima kasih penulis ucapkan kepada berbagai pihak yang telah membantu
dan memberikan dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Penghargaan dan ucapan
terima kasih penulis sampaikan kepada:
(1) Ibu Dr Ir Sarwititi Sarwoprasodjo, MS sebagai Ketua Komisi Pembimbing
dan Bapak Prof Dr Ir H Musa Hubeis, MS, Dipl. Ing, DEA selaku Anggota

Komisi Pembimbing yang telah banyak memberi saran.
(2) Koperasi Usaha Kecil Menengah (KUKM) dan Perindustrian Perdagangan
(Perindag) kota Bandung yang telah membantu selama pengumpulan data.
Serta semua responden pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) di kota
Bandung yang telah memberikan data dan informasi selama penelitian.
(3) Kedua orang tua penulis, Ayahanda Soleh Hidayat dan Ibunda Sumiati, serta
kakak Julmardriandrie Nur Hidayat dan adik Ervindianie Anzarsauria Nur
Hidayat terima kasih atas semua cinta, kasih sayang, semangat, doa dan
nasehatnya.
(4) Tim lapangan (Dhea Pritamondya, M Dio Fabianto, Gusmia Arianti, Testa
Pradia Nirwana, Putri Asih Sulistyo) terima kasih bantuan dan dukungannya.
(5) Rekan-rekan Program Pascasarjana Komunikasi Pembangunan, Pertanian dan
Pedesaan (KMP) Angkatan 2013 atas kebersamaan, kerjasama dan diskusidiskusinya selama ini.
(6) Semua pihak yang telah membantu penulisan dalam menyelesaikan tesis ini.
Penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan program inovasi bagi pelaku UKM di Indonesia.

Bogor, November 2016

Fadzriani Nur


DAFTAR ISI
RINGKASAN

iii

DAFTAR ISI

vii

DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN


x

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian

1
1
3
4
4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Komunikasi Pembangunan
Difusi Inovasi
Hak Kekayaan Intelektual
HKI Merek Dagang
Usaha Kecil dan Menengah

Kerangka Pemikiran

5
5
7
12
14
16
24

3 METODOLOGI PENELITIAN
Desain Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Populasi dan Sampel
Pengumpulan Data
Uji Validitas dan Reliabilitas

30
30
30
30
31
32

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Kota Bandung
Program Fasilitasi HKI Merek Dagang di kota Bandung
Deskripsi Karakteristik Pelaku UKM
Jenis Kelamin
Usia
Pendidikan
Penghasilan Perusahaan
Jumlah Tenaga Kerja
Kecepatan Adopsi Pelaku UKM terhadap Program Fasilitasi HKI
Merek Dagang di kota Bandung
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pelaku UKM terhadap Kecepatan
Adopsi Program HKI merek Dagang di kota Bandung
Pengaruh Atribut Inovasi terhadap Kecepatan Adopsi
Keuntungan Relatif
Kesesuaian
Kerumitan
Pengaruh Saluran Komunikasi terhadap Kecepatan Adopsi
Pengaruh Komunikator terhadap Kecepatan Adopsi

33
33
35
36
38
39
39
40
40
41
43
44
45
46
46
48
49

Pengaruh Karakteritik Pelaku UKM terhadap Kecepatan Adopsi
Pembahasan Umum

54
57

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

58
58
59

DAFTAR PUSTAKA

60

LAMPIRAN

64

RIWAYAT HIDUP

80

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19

20

21

22
23
24
25
26

Perkembangan UMKM di Indonesia Periode 2009-2012, 2013
Perbandingan Definisi Pembangunan
Latar Belakang tidak Mendaftar HKI berdasarkan Hasil Penelitian
Kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Pengelompokan Usaha
Karakteristik UMKM
Definisi operasional peubah atribut inovasi
Definisi operasional peubah saluran komunikasi
Definisi operasional peubah komunikator
Definisi operasional peubah karakteristik individu
Definisi operasional peubah kecepatan adopsi
Jumlah unit usaha dan tenaga kerja usaha kecil dan mikro di kota
Bandung
Sebaran pelaku UKM menurut pendidikan pelaku UKM dalam program
fasilitasi HKI merek dagang
Sebaran pelaku UKM menurut penghasilan perusahaan dalam per bulan
Kategori kecepatan adopsi program fasilitasi HKI merek dagang di kota
Bandung
Jumlah dan persentase pelaku UKM menurut kategori adopter
pendaftaran program fasilitasi HKI merek dagang UKM di Bandung
Koefisien dan signifikansi uji regresi peubah bebas (X) terhadap peubah
tidak bebas (Y)
Koefisien dan signifikansi indikator atribut inovasi terhadap peubah
kecepatan adopsi inovasi
Jumlah dan persentase pelaku UKM menurut kecepatan keuntungan
mendaftar HKI merek dagang UKM melalui program fasilitasi
pemerintah
Jumlah dan persentase pelaku UKM menurut kecepatan kesesuaian
mendaftar HKI merek dagang UKM melalui program fasilitasi
pemerintah
Jumlah dan persentase pelaku UKM menurut kecepatan kerumitan
mendaftar HKI merek dagang UKM melalui program fasilitasi
pemerintah
Jumlah dan persentase pelaku UKM menurut jenis media komunikasi
yang digunakan responden
Sebaran pelaku UKM menurut komunikator yang digunakan
Sebaran pelaku UKM menurut kompetensi komunikator
Sebaran pelaku UKM menurut penilaian kepercayaan pelaku UKM
terhadap kinerja komunikator
Koefisien dan signifikansi pelaku UKM menurut karakteristik pelaku
UKM terhadap kecepatan adopsi

2
6
15
16
16
18
26
27
27
28
29
35
39
40
42
43
53
44

45

46

47
48
50
51
52
55

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Grafik kategori inovasi (Rogers 2003)
Proses Keputusan Inovasi (Rogers 2003)
Kerangka pemikiran penelitian
Peta kota Bandung
Desain iklan Program Fasilitasi HKI Merek Dagang UKM
Sebaran pelaku UKM menurut jenis usaha
Sebaran pelaku UKM menurut usia
Sebaran pelaku UKM menurut tenaga kerja
Iklan Program Fasilitasi HKI Merek Dagang UKM di akun twitter
miliki Ridwan Kamil

9
11
25
34
36
38
39
41
51

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Hasil uji regresi antara peubah bebas terhadap peubah tidak bebas
Hasil uji regresi sederhana indikator dari atribut inovasi terhadap
kecepatan adopsi inovasi
Hasil validitas dan reliabilitas kuisioner
Sebaran karakteristik pelaku UKM
Hasil wawancara dengan staf Dinas KUKM dan Perindag Kota Bandung
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2001 BAB 3
Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10

64
65
68
71
74
78

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemerintah Indonesia, setelah diberlakukannya pasar bebas, dituntut untuk
mempersiapkan diri menghadapi tantangan persaingan usaha di arena Asean
Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) tahun
2015. Mengingat pelaksanaan MEA akan memudahkan masyarakat di kawasan
Asia Tenggara untuk bebas bergerak melakukan transaksi barang dan jasa, modal,
investasi dan tenaga kerja. Dibutuhkan kesiapan dalam mengikuti kesepakatan ini,
baik dari segi finansial, skill dan mental.
Persiapan Indonesia untuk menghadapi MEA masih belum 100 persen.
Berdasarkan matrik penilaian yang dirilis oleh Sekretariat ASEAN, skor kesiapan
yang dilakukan Indonesia baru mencapai 84.0 persen, masih di bawah negaranegara pesaing lainnya seperti Thailand, Malaysia, Laos, Singapura dan Kamboja
yang berada pada kisaran skor 84.3–87.7 persen (Departemen Perindustrian dan
Perdagangan 2013). Hal ini menjadi kekhawatiran bagi pelaku pasar di Indonesia.
Pelaksanaan pasar bebas dapat menjadi suatu ancaman bagi pelaku pasar
lokal apabila pemerintah tidak memberikan perhatian khusus terhadap proses
pelaksanaan tersebut. Monopoli pasar dapat terjadi apabila regulasi dari
pemerintah Indonesia tidak dapat melindungi produksi lokal. Apabila terjadi
monopoli pasar, hal ini dapat memengaruhi harga pasar dan berdampak buruk
bagi produksi lokal (Sukirno 2006). Dampak dari diberlakukannya pasar bebas
dirasakan pula oleh pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) di Indonesia. UKM
mulai mengkhawatirkan keberlangsungan usahanya.
Kerjasama yang dilakukan pemerintah diharapkan menciptakan persaingan
yang adil bagi para pengusaha lokal. Pelaksanaan pasar bebas dapat menjadi suatu
ancaman bagi pelaku pasar lokal apabila pemerintah tidak memberikan perhatian
khusus terhadap proses pelaksanaan tersebut. Tambunan (2013) menyatakan
kendala yang dihadapi UKM Indonesia dalam menghadapi MEA adalah
keterbatasan modal kerja dan maupun investasi, kesulitan dalam pemasaran,
distribusi dan pengadaan bahan baku, keterbatasan komunikasi, biaya tinggi
akibat prosedur administrasi dan birokrasi yang kompleks, dan ketidakpastian
kebijakan-kebijakan ekonomi yang tidak jelas atau tak menentu (Tambunan 2013).
UKM selama ini memiliki peran aktif dalam perekonomian Indonesia. Pasca
terjadi krisis ekonomi dunia tahun 2008 yang disebabkan oleh subprime mortgage
di Amerika Serikat yang berdampak kepada seluruh negara di dunia. Indonesia
menjadi salah satu negara yang tahan akan dampak dari krisis ekonomi dunia
dengan pertumbuhan ekonominya terus meningkat. Bersama India dan Cina,
Indonesia dapat melewati krisis tersebut dengan baik, sehingga sektor makro di
Indonesia tidak merasakan dampak negatif dari krisis dunia tersebut. Salah satu
sektor strategis yang memperlihatkan peningkatan setiap tahunnya, adalah sektor
UKM. UKM Indonesia memperlihatkan trend positif pasca krisis ekonomi dunia
2008, kondisi disebabkan sebagian besar bahan baku UKM Indonesia
menggunakan bahan baku lokal. Oleh sebab itu, UKM dapat bertahan dari
keadaan krisis dan mengalami pertumbuhan. Serta membantu pemerintah dalam

2
berbagai masalah perekonomian negara ini. Hal tersebut dapat dilihat dari tabel
perkembangan UMKM di Indonesia periode 2009-2012 (Tabel 1).
Tabel 1 Perkembangan UMKM di Indonesia periode 2009-2012, 2013
Indikator (Satuan)
2009
2010
2011
Jumlah UMKM (Unit)
Pertumbuhan Jumlah
UMKM (%)
Jumlah Tenaga Kerja
UMKM (Orang)
Pertumbuhan Jumlah
Tenaga Kerja UMKM
(%)
Sumbangan PDB
UMKM (Rp Miliar)
Pertumbuhan sumbangan
PDB UMKM (%)
Nilai Ekspor UMKM
(Rp Miliar)
Pertumbuhan Nilai
Ekspor UMKM (%)

2012

52 764 603
2.64

53 823 732
2.01

55 206 444
2.57

56 534 592
2.41

96 211 332

99 401 775

101 722 458

107 657 509

2.33

3.32

2.33

5.83

1 212 599.30

1 282 571.80

1 369 326.00

1 504 928.20

4.02

5.77

6.76

9.90

162 254.52

175 894.89

187 441.82

208 067.00

-8.85

8.41

6.56

11.00

Sumber: Badan Pusat Statistik (2013)

UKM tetap bertahan dan memberikan kontribusi yang besar dalam
perekonomian Indonesia, salah satunya dengan mengatasi masalah pengangguran
dan tenaga kerja di Indonesia (Pratiwi et al. 2013; Fauzi & Tjokropandojo 2013).
Melihat kekhawatiran para UKM dalam menghadapi MEA, Pemerintah daerah
Kota Bandung mengupayakan beragam cara agar UKM kota Bandung tidak kalah
saing ketika pasar bebas mulai berjalan di tahun 2015. Pemerintah kota Bandung
melalui Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah Perindustrian dan Perdagangan
(KUKM dan Perindag) kota Bandung, Kementerian Hukum dan HAM
(Kemenkumham) kota Bandung, beserta gabungan kelompok UKM, melakukan
pelatihan untuk memberikan pembekalan agar UKM agar siap menghadapi pasar
bebas. Selain itu, salah satu upaya lain yang dilakukan Dinas KUKM dan
Perindag Kota Bandung adalah membuat program pendaftaran fasilitasi Hak
Kekayaan Intelektual (HKI) merek dagang bagi UKM yang berada di kota
Bandung.
Program fasilitasi pendaftaran HKI merek dagang ini dilaksanakan periode
triwulan IV-2014. Pentingnya HKI merek dagang bagi UKM adalah untuk
melindungi kekayaan intelektual yang dimiliki pengusaha. Di negara maju
ataupun di negara yang sedang berkembang, kesadaran akan pentingnya peranan
UKM terutama terhadap kemampuannya menyerap tenaga kerja dan sifat fleksibel
terhadap gejolak ekonomi, sehingga keberadaan UKM dipandang berperan
penting dalam struktur ekonomi suatu negara. Oleh sebab itu, dalam
mengembangkan serta menumbuhkan daya saing UKM merupakan upaya
menghadapi fenomena globalisasi menjadi prioritas dari banyak negara.
Mengingat karakteristik UKM yang berskala kecil, padat karya, berbasis
sumberdaya lokal serta dengan berbagai keterbatasannya, maka perlu dipilih
strategi pengembangan UKM yang memiliki keunggulan (Taufiq 2004).

3
Untuk mengoptimalkan partisipasi UKM dalam program pendaftaran
fasilitasi HKI merek dagang, Dinas KUKM dan Perindag membuka stan khusus
untuk pendaftaran HKI fasilitasi di acara pameran Bandung Trend Kulit dan
Sepatu 2014. Program pendaftaran fasilitasi HKI merek dagang UKM yang
dilaksanakan di kota Bandung merupakan suatu inovasi dari Dinas KUKM
Perindag kota Bandung. Inovasi merupakan ide baru produk (Hoffman 2011).
Permasalahan yang dihadapi oleh Dinas KUKM dan Perindustrian Perdagangan
kota Bandung adalah pelaku UKM belum memiliki kesadaran akan pentingnya
merek dagang bagi barang-barang yang UKM hasilkan. Penelitian terdahulu
mengungkapkan pentingnya perlindungan merek dan lisensi untuk meningkatan
hasil penjual produk (Avagyan et al. 2014; Anand dan Khanna 2000; Arora &
Ceccagnoli 2006; Florea 2015; Gambardella et al. 2007). Maka dari itu, Dinas
KUKM Perindustrian Perdagangan melakukan upaya pendaftaran fasilitasi HKI
merek dagang.
Perbedaan lainnya terdapat dari segi obyek penelitian. Obyek penelitian
terdahulu cenderung kepada sistem managemen perusahaan, karena bertujuan
untuk peningkatan keuntungan ekonomi (Maruli & Uli 2013; Peres et al. 2010).
Sedangkan penelitian ini, obyek penelitiannya terfokus pada legalitas bagi produk
UKM yang terkadang kurang diperhatikan oleh pelaku UKM. Unsur legalitas
sering di kesampingkan oleh pelaku UKM, karena manfaat yang didapatkan tidak
langsung terlihat oleh pelaku UKM. Namun, legalitas seperti HKI merek dagang
lebih pada keuntungan jangka panjang, sehingga berdampak pada
keberlangsungan perusahaan dalam menghadapi persaingan pasar lokal maupun
internasional.
Proses komunikasi yang dilakukan dalam mensosialisasikan program
pendaftaran fasilitasi HKI merek dagang sangat memengaruhi penyebaran
informasi, sehingga dapat merubah sikap dan perilaku UKM terhadap program
tersebut. Oleh karena itu penelitian ini ingin menganalisis proses komunikasi,
dimana Dinas KUKM dan Perindustrian Perdagangan kota Bandung dalam
memberikan informasi, serta kecepatan adopsi inovasi program fasilitasi HKI
merek dagang pelaku UKM di kota Bandung.
Rumusan Masalah
Tahap awal persiapan diberlakukannya MEA di Indonesia terdapat
kelemahan dan ketidakjelasan atas program-program yang dilakukan oleh
pemerintah. Ketidakjelasan program yang dilakukan pemerintah dapat terlihat dari
kekhawatiran para pelaku pasar, salah satunya UKM. Pemerintah melalui
Kementerian Koperasi dan UKM melakukan langkah-langkah persiapan UKM
menghadapi MEA. Langkah-langkah antisipasi yang telah disusun Kementerian
Koperasi dan UKM untuk membantu pelaku KUKM menyongsong era pasar
bebas ASEAN itu, meliputi peningkatan wawasan pelaku KUKM terhadap MEA,
peningkatan efisiensi produksi dan manajemen usaha, peningkatan daya serap
pasar produk KUKM lokal, penciptaan iklim usaha yang kondusif. Menurut data
Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM, selama periode
Januari-Juli tahun 2014, sekitar 96% permohonan desain industri berasal dari
kelompok non-UKM, sedangkan milik UKM relatif kecil (www.depkop.go.id
2015).

4
Wilayah kota Bandung yang merupakan daerah dimana masyarakatnya
sangat berperan aktif dalam melakukan usaha-usaha mandiri di Provinsi Jawa
Barat, banyak pelaku UKM merasa belum siap menghadapi MEA. Seperti halnya
yang dikatakan Budi Satria Isman selaku Dewan Pembina Yayasan Pemberdayaan
Mayarakat Indonesia Mandiri (Proindonesia) yang mengungkapkan mayoritas
pelaku UKM belum siap dalam menghadapi MEA seperti perusahaan-perusahaan
profesional, dalam hal pengetahuan, pasar, modal, branding dan teknologi
(www.ekbis.sindonews.com, 2015). Melihat permasalahan tersebut, Pemerintah
Daerah Kota Bandung bekerjasama dengan kementerian dan dinas terkait
melakukan program pendaftaran fasilitasi hak kekayaan intelektual (HKI) merek
dagang UKM. Program ini sebagai bentuk dari protektif legal formil agar para
pelaku UKM lebih taat secara administrasi dalam menjalankan usahanya. Karena
ketika berjalannya pasar bebas ASEAN tahun 2015, UKM dapat menjaga merek
gadang usahanya dari pencurian merek dan bersaing dengan merek-merek luar
negeri. Jika tidak bisa bersaing dari segi legal formal, Pemerintah Daerah kota
Bandung merasa sulit bagi UKM untuk bersaing dalam tantangan perdagangan ini.
Sosialisasi yang dilakukan oleh Pemda kota Bandung terkait program
pendaftar fasilitasi HKI merek dagang UKM kurang diketahui oleh seluruh pelaku
UKM. Dari 200 UKM yang menjadi target, hanya 68 UKM yang turut serta
melakukan pendaftaran fasilitasi HKI merek dagang hingga bulan Oktober 2014
(www.sindonews.com 2015). Ketidakmerataan penyebaran informasi seperti ini
sangat disayangkan oleh banyak pihak. Dari penjelasan tersebut, rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah:
1.
Seperti apa kecepatan adopsi inovasi HKI merek dagang di kota Bandung?
2.
Bagaimanakah pengaruh faktor-faktor kecepatan seperti atribut inovasi,
saluran komunikasi dan komunikator terhadap kecepatan adopsi UKM
terkait HKI merek dagang di kota Bandung?
3.
Bagaimanakah pengaruh karakteristik pemilik UKM terhadap kecepatan
adopsi UKM terkait HKI merek dagang di kota Bandung?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menjawab beberapa masalah penelitian yang
berkaitan dengan teori difusi inovasi pada proses adopsi UKM terhadap fasilitasi
pendaftaran HKI merek dagang di kota Bandung adalah:
1.
Mengetahui kecepatan adopsi inovasi HKI merek dagang bagi UKM di kota
Bandung.
2.
Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kecepatan pelaku UKM
seperti atribut inovasi, saluran komunikasi dan komunikator terhadap
kecepatan adopsi HKI merek dagang UKM di kota Bandung.
3.
Menganalisis pengaruh karakteristik pemilik UKM terhadap kecepatan
adopsi UKM terkait HKI merek dagang di kota Bandung.
Kegunaan Penelitian
Diterapkannya kebijakan MEA merupakan suatu program yang bertujuan
mensejahterakan masyarakat dengan pasar mandiri ASEAN, sehingga Indonesia

5
dapat melakukan pembangunan pedesaan. Begitu pula dengan dilakukannya
program HKI merek dagang bagi pengusaha kecil dan menengah. Maka penelitian
ini diharapkan dapat berguna untuk:
1. Memberikan masukan bagi pengembang ilmu pengetahuan, khususnya
disiplin Ilmu Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaaan.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi
Pemda Kota Bandung dalam memaksimalkan peran UKM bagi perekonomian
daerah. Kebijakan yang akan datang diharapkan dapat disesuaikan dengan
kebutuhan masyarakat, sehingga pengusaha di kota Bandung tidak merasa
khawatir untuk bersaing dengan pihak asing di pasar bebas, serta UKM tidak
merasa dirugikan atas kesepakatan yang telah dilakukan oleh Indonesia
dengan negara-negara anggota ASEAN.
3. Menjadi referensi untuk penelitian lanjutan yang berhubungan dengan proses
adopsi komunikasi khususnya pada program HKI.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Komunikasi Pembangunan
Komunikasi adalah suatu proses yang disengaja untuk menyampaikan
rangsangan, sehingga mendapatkan respon dari orang lain. Dalam konteks ini,
komunikasi dilakukan dengan sengaja oleh seseorang untuk menyampaikan pesan
kepada orang lain demi memenuhi kebutuhannya, seperti membujuk atau
menjelaskan suatu hal. Komunikasi melibatkan komunikator yang menyampaikan
pesan, baik verbal dan nonverbal kepada komunikan yang langsung memberikan
respon berupa verbal maupun nonverbal secara aktif, dinamis dan timbal balik.
Terkait dengan hal tersebut, Harun dan Elvinaro (2011) menjelaskan
komunikasi memiliki sifat transaksional, komunikasi pada dasarnya menuntut
adanya dua tindakan yaitu memberi dan menerima. Dua tindakan tersebut perlu
dilakukan secara seimbang atau proporsional oleh masing-masing pelaku yang
terlibat dalam komunikasi (Harun & Elvinaro 2011). Berdasarkan teori dan
pengertian tentang komunikasi tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa komunikasi
merupakan suatu proses berbagi pesan atau informasi melalui pesan yang
disampaikan oleh pengirim pesan kepada penerima. Antara pengirim dan
penerima pesan memiliki kedudukan yang sama untuk mencapai pemahaman,
sehingga dapat menentukan sikap terhadap pesan yang diterima.
Proses komunikasi memiliki tujuan, salah satu tujuannya adalah
pembangunan. Menurut Mardikanto (2010), pembangunan adalah upaya yang
dilakukan secara sadar dan terencana, dilaksanakan terus menerus oleh
pemerintah bersama-sama segenap warga masyarakatnya atau dilaksanakan oleh
masyarakat dengan difasilitasi oleh pemerintah, dengan menggunakan teknologi
yang terpilih, untuk memenuhi segala kebutuhan atau memecahkan masalahmasalah yang sedang dan akan dihadapi, demi tercapainya mutu-hidup atau
kesejahteraan seluruh warga masyarakat demi suatu bangsa yang merencanakan
dan melaksanakan pembangunan tersebut (Mardikanto 2010). Berikut ini adalah
Gambaran perbandingan dari definisi pembangunan (dimuat pada Tabel 2):

6
Berdasarkan Tabel 2, peneliti mengungkapkan pembangunan merupakan
suatu proses dari perubahan dari masyarakat di suatu negara, dimana perubahan
tersebut dapat meningkatkan kondisi masyarakat. Sedangkan peneliti lain
mengungkapkan bahwa pembangunan sebagai dampak dari hubungan dari faktor
eksternal dan internal sosial-ekonomi, lingkungan dan politik. Selain itu, peneliti
lainnya menyatakan bahwa pembangunan merupakan alat dari suatu sistem politik
ekonomi suatu negara untuk membuka kerjasama dengan pihak swasta. Jadi dapat
disimpulkan pembangunan merupakan suatu proses strategi dalam perubahan
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat dengan
dipengaruhi oleh lingkungan, sosial-ekonomi dan politik, sehingga masyarakat
dapat hidup penuh percaya diri atas kemampuan yang dimiliki.
Tabel 2 Perbandingan definisi pembangunan
Judul
Pengarang
Definisi
Application of
Imoh
Pembangunan merupakan
Development
(2013)
implikasi perubahan dalam
Communication
hubungan internal fisik, serta
in Africa’s Rural
lingkungan sosial-ekonomi dan
Developmentpolitik eksternal yang tentunya
Need for a
dikendalikan oleh itu,
Paradigm Shift
perubahan dari impotensi
menjadi potensi.
Development
Servaes
Pembangunan sebagai replika
Communication
and
dari sistem politik ekonomi itu
Approaches in an Malikhao
sendiri dan menjadi pembuka
International
(2007)
jalan bagi perusahaan
Perspective
transnasional
The Impact of Adedokun, Pembangunan sebagai proses
Communication
Adeyemo
peningkatan pengetahuan
on
Community and
manusia, keterampilan, sikap,
Development
Olorunsola meningkatkan rasa percaya
(2010)
diri, kemandirian dan
kebanggaan diri untuk
menghadapi dunia

Keterangan
Pengaruh

Alat

Proses

Quebral mengemukakan bahwa komunikasi pembangunan adalah
komunikasi yang dilakukan untuk melaksanakan rencana pembangunan suatu
negara. Dikemukakannya pula bahwa komunikasi pembangunan merupakan salah
satu terobosan (break-through) di lingkungan ilmu-ilmu sosial dan inovasi yang
harus diusahakan agar diketahui orang dan diterima sebelum ia digunakan
(Nasution 1996). Selanjutnya Gomez merumuskan komunikasi pembangunan
sebagai berikut komunikasi pembangunan merupakan disiplin ilmu dan praktikum
komunikasi dalam konteks negara-negara sedang berkembang, terutama kegiatan
komunikasi untuk perubahan sosial yang berencana. Komunikasi pembangunan
dimaksudkan untuk secara sadar meningkatkan pembangunan manusiawi, dan itu
berarti komunikasi yang akan menghapuskan kemiskinan, pengangguran,
ketidakadilan (Nasution 1996).

7
Harun dan Elvinaro (2011) mengemukakan tujuan komunikasi
pembangunan adalah untuk memajukan pembangunan, agar masyarakat
mengetahui adanya perkembangan teknologi dan ide-ide baru yang dapat
diterapkan (Harun & Elvinaro 2011). Kedudukan media massa sebagai alat
komunikasi yang terkait peranannya dengan pembangunan. Nasution (1996)
menyatakan bahwa media massa dapat membantu dalam hal
1. Menyebarluaskan informasi tentang pembangunan, yakni perlunya
keterangan mengenai pembangunan ke seluruh penjuru masyarakat, karena
pada pokoknya untuk mengubah kehidupan seluruh lapisan masyarakat.
2. Mengajarkan melek huruf dan keterampilan lainnya, yakni melakukan caracara atau kegiatan yang lebih modern dibanding cara-cara dahulu serta
mampu melakukannya sendiri.
3. Masyarakat berkesempatan turut ambil bagian dalam pembuatan keputusan di
negaranya, yakni masyarakat perlu dimotivasi untuk mengubah nasibnya dan
mencapai kehidupan yang lebih baik.
Pendapat di atas menunjukkan bahwa bagi masyarakat yang ingin maju,
memerlukan wawasan yang luas sebagai titik tolak untuk mendorong dan
mengembangkan hasrat mengubah kehidupan ke arah kemajuan. Perhatian
masyarakat perlu difokuskan pada upaya pembangunan sehingga diharapkan
kreasi, aspirasi dan keikutsertaan masyarakat dapat didayagunakan secara lebih
bermanfaat. Harun dan Elvinaro (2011) mengemukakan bahwa dimasa kini
komunikasi pembangunan dituntut untuk bisa mendalami konteks glocal
(globalization and local). Artinya, perkembangan yang terjadi saat ini tidak hanya
globalisasi (mendunia), tetapi harus terintegrasi dengan konteks lokal (salah
satunya kearifan lokal), tidak cukup hanya perspektif internasional, tetapi perlu
disertai perspektif lokal.
Difusi Inovasi
Difusi Inovasi pada dasarnya menjelaskan proses bagaimana suatu inovasi
disampaikan (dikomunikasikan) melalui saluran-saluran tertentu sepanjang waktu
kepada sekelompok anggota dari sistem sosial. Hal tersebut sejalan dengan
pengertian difusi dari Rogers (2003), yaitu “as the process by which an innovation
is communicated through certain channels over time among the members of a
social system.” Lebih jauh dijelaskan bahwa difusi adalah suatu bentuk
komunikasi yang bersifat khusus berkaitan dengan penyebaranan pesan-pesan
yang berupa gagasan baru, atau dalam istilah Rogers (2003) difusi menyangkut
“which is the spread of a new idea from its source of invention or creation to its
ultimate users or adopters” (Zericka 2013). .
Difusi diartikan sebagai sebuah proses dimana inovasi dikomunikasikan
melalui saluran-saluran tertentu dari waktu ke waktu di antara anggota dalam
sistem sosial tertentu. Komunikasi adalah sebuah proses dimana partisipan
menciptakan dan berbagi informasi dengan satu sama lain dengan tujuan
membentuk kesamaan pemahaman. Komunikasi adalah sebuah proses dua arah
dan bukan sebuah proses yang searah dimana pesan disampaikan oleh seseorang
dan dipahami olah orang yang lain (Rogers 2003). Konsepsi ini penting untuk
dipahami karena di dalam proses difusi, seorang agen berusaha untuk

8
memengaruhi orang lain untuk mengadopsi perubahan dengan cara
mempertukarkan informasi di antara orang-orang tersebut (Rogers 2003).
Difusi adalah jenis komunikasi tersendiri, karena berhubungan dengan ide
yang baru. Sesuatu yang baru itu menyangkut ketidakpastian, informasi dan
perubahan sosial. Ketidakpastian adalah derajat dimana jumlah atau pilihan yang
diterima oleh seseorang menjadi probabilitas relatif. Ketidakpastian berhubungan
dengan kurangnya prediksi dari struktur dan informasi. Informasi adalah energi
yang dapat mengubah ketidakpastian dimana alternatif disediakan. Perubahan
sosial adalah sebuah proses dimana pilihan tersedia dalam struktur dan fungsi dari
suatu sistem sosial. Ketika sebuah ide baru diperkenalkan, didifusikan dan
diterima atau ditolak, menghasilkan konsekuensi pada perubahan sosial (Rogers
2003).
Rogers (2003) terdapat empat unsur yang harus ada dalam proses difusi dari
inovasi:
1. Inovasi, yaitu ide, praktek atau obyek yang dikategorikan baru oleh individu,
atau unit lain dari adopsi. Karakteristik inovasi ada empat, yakni keuntungan
relatif yakni derajat dimana inovasi diterima sebagai ide. Kompatibilitas,
derajat dimana inovasi yang diterima dapat konsisten dengan nilai,
pengalaman terdahulu, dan kebutuhan adopters. Kompleksitas adalah derajat
dimana inovasi diterima secara lambat dan lama oleh sebuah sistem sosial.
Trialabilitas, derajat dimana inovasi dicobakan secara terbatas. Ada satu
konsepsi yaitu reinvention, yang didefinisikan sebagai derajat dimana inovasi
diubah atau dimodifikasi oleh pengguna dalam proses adopsi dan
implementasi.
2. Saluran komunikasi, alat-alat atau cara-cara yang digunakan dalam proses
penyampaian pesan dari satu individu ke individu yang lain. Ada dua hal
yang harus diperhatikan yakni homofili dan heterofili. Homofili, yaitu derajat
dimana individu-individu yang terlibat berinteraksi dengan atribut yang sama,
seperti pendidikan, status sosial, keyakinan dan lainnya. Kita cenderung
untuk berinteraksi dengan orang yang memiliki kesamaan dengan kita,
sehingga komunikasi menjadi efektif. Didalam proses inovasi, hal yang
paling sulit adalah jika keadaannya adalah heterofili, dimana orang-orang
yang terlibat di dalamnya tidak memiliki atribusi yang sama sehingga sulit
untuk berkomunikasi secara efektif.
3. Waktu, tiga dimensi waktu di antaranya inovasi-proses kecepatan, waktu
relatif dimana inovasi diadopsi, dan innovation’s rate of adoption. Pada
dimensi waktu ini, terdapat kategori adopter. Pengelompokan kategori
adopter yaitu:
a. Innovators
Sekitar 2.5% individu yang pertama kali mengadopsi inovasi, Rogers
menyebutkan karakteristik innovator berikut: (1) berani mengambil risiko,
(2) mampu mengatur keuangan yang kokoh agar dapat menahan
kemungkinan kerugian dari inovasi tidak menguntungkan, (3) memahami
dan mampu mengaplikasikan teknik dan pengetahuan yang kompleks dan
(4) mampu menanggulangi ketidakpastian informasi.
b. Early Adopters (Perintis/Pelopor)
Sebanyak 13.5% yang menjadi para perintis dalam penerimaan
inovasi. Karakteristik yang dimiliki oleh early adopter adalah: (1) bagian

9

c.

d.

e.

yang terintegrasi dalam sistem lokal sosial, (2) opinion leader yang
paling berpengaruh, (3) role model dari anggota lain dalam sebuah sistem
sosial, (4) dihargai dan disegani oleh orang-orang disekitarnya dan (5)
sukses.
Early Majority (Pengikut Dini)
Golongan ini biasanya orang yang pragmatis, nyaman dengan ide yang
maju, tetapi tidak akan bertindak tanpa pembuktian yang nyata tentang
keuntungan yang didapatkan dari sebuah produk baru. Sekitar 34% dari
kelompoknya, mereka adalah orang-orang yang sensitif terhadap
pengorbanan dan membenci risiko untuk mencari sesuatu yang sederhana,
terjamin, cara yang lebih baik atas apa yang telah dilakukan. Terdapat
beberapa karakteristik mayoritas dini, yakni: (1) sering berinteraksi
dengan orang-orang sekitarnya, (2) jarang mendapatkan posisi sebagai
opinion leader, (3) sepertiganya adalah bagian dari sistem dan (4)
berhati-hati sebelum mengadopsi inovasi baru.
Late Majority (Pengikut Akhir)
Orang-orang dari golongan ini adalah orang-orang yang konservatif
pragmatis yang sangat membenci risiko dan tidak nyaman dengan ide
baru, sehingga belakangan mendapatkan inovasi setelah mendapatkan
contoh. Golongan ini lebih dipengaruhi oleh ketakutan dan golongan
laggard. Sebanyak 34% yang menjadi pengikut akhir dalam
penerimaan inovasi. Rogers mengidentifikasi karakteristik golongan late
majority berikut: (1) berjumlah sepertiga dari suatu sistem sosial, (2)
mendapatkan tekanan dari orang-orang sekitarnya, (3) terdesak ekonomi,
(4) skeptic dan (5) sangat berhati-hati.
Laggards (Kelompok Kolot/Tradisional)
Laggard adalah golongan akhir yang memandang inovasi atau sebuah
perubahan tingkah laku sebagai sesuatu yang memiliki risiko tinggi.
Sebanyak 16% terakhir adalah kaum kolot/tradisional. Terdapat
beberapa karakteristik Laggard, yakni: (1) tidak terpengaruh opinion
leader, (2) terisolasi, (3) terorientasi terhadap masa lalu, (4) curiga
terhadap inovasi dan (5) mempunyai masa kecepatan lama dan (5)
sumber terbatas.

Gambar 1 Grafik kategori inovasi (Rogers 2003)

10

4.

Sistem Sosial, ditetapkan sebagai bagian dari unit yang saling berhubungan,
berguna untuk memecahkan masalah dan mencapai tujuan bersama yang telah
ada. Kesepakatan pada struktur sistem sosial berdampak pada keputusan
untuk difusi suatu inovasi. Terdapat tiga tipe penggambilan keputusan atas
inovasi, yaitu: (a) optional, keputusan untuk menerima atau menolak suatu
inovasi bebas dilakukan oleh individu dari sistem sosial; (b) colective,
kecepatan untuk menerima atau menolak inovasi dilakukan secara bersamasama dan konsensus antar anggota sistem; dan (c) authority, keputusan dalam
menerima atau menolak inovasi dibuat secara individu dari sistem yang
memiliki kekuasaan, status, dan keahlian teknikal. Selain terdapat tipe
kecepatan, Rogers (2003) menyatakan pula terdapat konsekuensi dari
penerapan inovasi. Sistem sosial melibatkan konsekuensi inovasi karena
perubahan-perubahan tertentu memengaruhi sistem. Sistem sosial, sebuah
kumpulan dari unit-unit yang saling terhubung yang terikat dalam proses
kecepatan untuk mencapai tujuan tertentu. Setiap sistem sosial tidak selalu
sama dalam perilakunya, sehingga dibutuhkan pemahaman tentang struktur.
Struktur adalah pengaturan terpola dari unit-unit dalam sebuah sistem.
Struktur memberikan regularitas dan stabilitas pada perilaku manusia dalam
sistem sosial dan membuat perilaku dapat diprediksi dengan tingkat akurasi
tertentu. Struktur komunikasi adalah pola-pola komunikasi yang ada dalam
suatu sistem. Di dalam struktur ada norma yakni pola-pola perilaku yang
sudah baku dari anggota-anggota dari sistem sosial “Norms are the
established behavior patterns for the members of a social system” (Rogers
2003).
Penyampaian inovasi kepada anggota sistem sosial tidak hanya mutlak
menggunakan suatu perantara. Seseorang dapat terkena efek disebarkannya
inovasi secara langsung dari agen perubahan. Model komunikasi multi tahap
(multi step of communication) merupakan gabungan di antara model
komunikasi satu tahap (powerful effect) dengan komunikasi dua tahap (two step
flow of communication). Beberapa komunikan menerima pesan langsung
melalui saluran komunikasi dari sumber yang telah berpindah beberapa kali.
Model ini tidak membeda-bedakan kedudukan atau peran masing-masing anggota
masyarakat dalam proses penyebaran informasi.
Rogers (2003) keputusan inovasi merupakan proses mental sejak seseorang
mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau
menolaknya dan kemudian mengukuhkannya. Model proses keputusan inovasi
terdiri dari lima tahap yaitu: pengetahuan (knowledge), persuasi (persuasion),
keputusan (decisions), implementasi (implementation) dan konfirmasi
(confirmation) (Rogers 2003). Proses keputusan inovasi (the innovation-decision
process) merupakan proses mental sejak seseorang mengetahui adanya inovasi
sampai mengambil keputusan untuk menerima atau menolaknya dan kemudian
mengukuhkannya. Model proses keputusan inovasi terdiri dari lima tahap, yaitu
(Gambar 2):
1. Pengetahuan (knowledge), dimana seseorang mengetahui adanya inovasi
dan memperoleh beberapa pengertian tentang bagaimana inovasi itu
berfungsi.

11
2.
3.
4.
5.

Persuasi (persuasion), dimana seseorang membentuk sikap berkenan atau
tidak berkenan terhadap inovasi
Keputusan (decisions), dimana seseorang terlibat dalam kegiatan yang
membawanya pada pemilihan untuk menerima atau menolak inovasi
Implementasi (implementation), ketika seorang individu atau unit
pengambil keputusan lainnya menetapkan penggunaan suatu inovasi.
Konfirmasi (confirmation), dimana seseorang mencari penguat bagi
keputusan inovasi yang telah dibuatnya. Pada tahap ini mungkin terjadi
seseorang merubah keputusannya, jika ia memperoleh informasi yang
bertentangan.

Gambar 2 Proses Keputusan Inovasi (Rogers 2003)
Proses adopsi dikemukakan pula Harun dan Elvinaro (2011), adopsi
diartikan sebagai proses individu dalam mengambil keputusan untuk mengadopsi
atau menolak inovasi dari ketika menyadari adanya inovasi. Tahap adopsi
dimulai dari kesadaran, ketertarikan, evaluasi, percobaan dan adopsi (Harun &
Elvinaro 2011). Proses kecepatan inovasi bisa juga dipengaruhi oleh keberadaan
opinion leader. Pada kenyataannya ada orang-orang tertentu yang merupakan
opinion leader dari sebuah inovasi. Opinion leader adalah derajat dimana
seseorang sanggup memengaruhi perilaku orang lain dengan cara yang diinginkan
dalam frekuensi relatif. Opinion leader didapatkan dan dipelihara dari kompetensi
teknis seseorang, aksesibilitas sosial, dan kesesuaian dengan norma sistem
bersangkutan. Menurut Rogers (2003), ketika dibandingkan dengan pengikutnya,
opinion leader cenderung (1) lebih terekspose dengan segala bentuk komunikasi,
(2) lebih kosmopolit, (3) memiliki status sosial yang lebih tinggi, dan (4) lebih
inovatif (Rogers 2003).
Ada pula orang-orang yang dikategorikan menjadi agen perubahan (Rogers
2003) yakni orang-orang yang mendapatkan pelatihan lebih sering bergelar
akademis tertentu dalam teknis lapangan atau profesional, biasanya bersifat
heterofilus dari tipikal kliennya dan menempatkan diri dalam inovasi dengan

12
melakukan komunikasi efektif. Schiffman dan Kanuk (2010), terdapat lima
karakteristik untuk menentukan keputusan yaitu:
1. Keuntungan relatif (relatif advantages) merupakan tingkatan dimana suatu
ide dianggap suatu yang lebih baik dari pada ide-ide yang ada sebelumnya
dan secara ekonomis menguntungkan.
2. Kesesuaian (compability) adalah masa lalu suatu inovasi dianggap konsisten
dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu dan kebutuhan adopter
(penerima). Oleh karena itu, inovasi yang tidak kompatibel dengan ciri-ciri
sistem sosial yang menonjol akan tidak diadopsi secepat ide kompatibel.
3. Kerumitan (complexity) adalah suatu tingkatan dimana inovasi dianggap
relatif sulit dimengerti dan digunakan. Kesulitan untuk dimengerti dan
digunakan merupakan hambatan bagi proses kecepatan adopsi inovasi.
4. Kemungkinan untuk dicoba (trialibility) adalah suatu tingkat dimana suatu
inovasi dalam skala kecil. Ide baru yang dapat dicoba dalam skala kecil
biasanya diadopsi lebih cepat daripada inovasi yang tidak dapat dicoba
lebih dahulu.
5. Mudah diamati (observability), adalah suatu tingkat hasil-hasil suatu inovasi
dapat dengan mudah dilihat sebagai keuntungan teknis ekonomis, sehingga
mempercepat proses adopsi. Calon-calon pengadopsi lainnya tidak perlu lagi
menjalani tahap percobaan, dapat terus ke tahap adopsi.
Difusi inovasi ikatannya kuat dengan pembangunan, Harun dan Elvinaro
(2011) menjelaskan pembangunan menjadi suatu jenis perubahan sosial melalui
gagasan baru yang diperkenalkan ke dalam sistem sosial agar memicu
peningkatan pendapatan per kapita dan tingkat kehidupan (Harun dan Elvinaro
2011).
Hak Kekayaan Intelektual
Kekayaan intelektual secara sederhana merupakan kekayaan yang timbul
atau lahir dari kemampuan intelektual manusia. Karya-karya yang timbul atau
lahir dari kemampuan intelektual manusia dapat berupa karya-karya di bidang
teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Karya-karya tersebut dihasilkan atas
kemampuan manusia dengan mencurahkan waktu, pikiran, tenaga, rasa dan
karsanya. Bukan sesuatu yang mudah untuk menghasilkan suatu karya dengan
nilai orisinalitas. Kekayaan atau aset berupa karya-karya yang dihasilkan dari
pemikiran ataupun kecerdasan manusia mempunyai nilai dan manfaat ekonomi
bagi kehidupan manusia, sehingga dapat dianggap sebagai aset komersial. Karyakarya yang dilahirkan atau dihasilkan atas kemampuan intelektual manusia sudah
sewajarnya diamankan dengan menumbuhkembangkan sistem Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) (Setiyowati, et al., 2005).
Menurut Setyowati et. al (2005) HKI merupakan hak privat (private rights)
bagi seseorang yang menghasilkan suatu karya intelektual. HKI pun sebagai cara
perlindungan kekayaan intelektual dengan menggunakan instrumen-instrumen
hukum yang ada, yakni Hak Cipta, Paten, Merek dan Indikasi Geografis, Rahasia
Dagang, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan Perlindungan
Varietas Tanaman. Ciri khas dari HKI adalah seseorang dapat dengan bebas untuk
mengajukan permohonan atau mendaftarkan karya intelektualnya atau tidak. Hak
ekslusif yang diberikan negara kepada individu pelaku HKI (investor, pencipta,

13
pendesain,dan sebagainya) dimaksudkan sebagai penghargaan atas hasil karyanya
(kreativitasnya) dan agar orang lain terpacu untuk dapat lebih lanjut
mengembangkannya lagi, sehingga dengan sistem HKI tersebut kepentingan
masyarakat ditentukan oleh mekanisme pasar. Di samping itu, sistem HKI
menunjang diadakannya sistem dokumentasi yang baik atas segala bentuk
kreativitas manusia sehingga kemungkinan dihasilkannya teknologi atau hasil
karya lainnya yang sama dapat dihindari. Dukungan dokumen yang baik,
diharapkan masyarakat dapat memanfaatkannya dengan maksimal untuk
keperluan hidupnya atau mengembangkannya lebih lanjut untuk memberikan nilai
tambah yang lebih tinggi lagi.
Tujuan perlindungan kekayaan intelektual melalui HKI secara umum
meliputi:
1. Memberi kejelasan hukum mengenai hubungan antara kekayaan dengan
investor, pencipta, desainer, pemilik, pemakai, perantara yang
menggunakannya, wilayah kerja pemanfaatannya dan yang menerima akibat
pemanfaatan HKI untuk jangka waktu tertentu;
2. Memberikan penghargaan atas suatu keberhasilan dari usaha atau upaya
menciptakan suatu karya intelektual;
3. Mempromosikan publikasi invensi atau ciptaan dalam bentuk dokumen HKI
yang terbuka bagi masyarakat;
4. Merangsang terciptanya upaya alih informasi melalui kekayaan intelektual
serta alih teknologi melalui paten;
5. Memberikan perlindungan terhadap kemungkinan ditiru karena adanya
jaminan dari negara bahwa pelaksanaan karya intelektual hanya diberikan
kepada yang berhak.
Selain itu, sistem HKI juga telah menimbulkan suatu perubahan budaya dan
cara pandang suatu bangsa dengan:
1. Mendorong dokumentasi yang baik pada kegiatan riset
2. Mendorong semangat kompetisi
3. Mendorong kreativitas ilmuan melalui inisiatif yang membuat mereka
berkonsentrasi dan menjadi sejahtera sebagai peneliti tanpa harus menjadi
usahawan
4. Menciptakan kepedulian dan perhatian pada sistem ekonomi global, karena
HKI terkait dengan masalah-masalah perdagangan dan perindustrian
5. Mendorong perlindungan hasil riset dan implementasi atau komersialisasinya.
Irawan (2013) mengungkapkan manfaat dari pendaftaran Hak Kekayaan
Intelektual adalah sebagai berikut:
1. Bagi dunia usaha, adanya perlindungan terhadap penyalahgunaan atau
pemalsuan karya intelektual yang dimilikinya oleh pihak lain di dalam negeri
maupun di luar negeri.
2. Perusahaan yang telah dibangun mendapat citra yang positif dalam
persaingan apabila memiliki perlindungan hukum di bidang HKI.
3. Bagi inventor dapat menjamin kepastian hukum baik individu maupun
kelompok serta terhindar dari kerugian akibat pemalsuan dan perbuatan
curang pihak lain.
4. Bagi pemerintah, adanya