Sifat Fisiologi Dan Agronomi Padi Ratun Dengan Sistem Salibu Pada Budidaya System Of Rice Intensification (Sri).

SIFAT FISIOLOGI DAN AGRONOMI PADI RATUN
DENGAN SISTEM SALIBU PADA BUDIDAYA
SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI)

PINTA OMAS PASARIBU

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Sifat Fisiologi dan
Agronomi Padi Ratun dengan Sistem Salibu pada Budidaya System of Rice
Intensification (SRI) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Pinta Omas Pasaribu
NIM G353130151

RINGKASAN
PINTA OMAS PASARIBU. Sifat Fisiologi dan Agronomi Padi Ratun
dengan Sistem Salibu pada Budidaya System of Rice Intensification (SRI).
Dibimbing oleh TRIADIATI dan ISWANDI ANAS.
Upaya peningkatan produktivitas padi dapat dilakukan dengan
meningkatkan produktivitas lahan melalui pemanfaatan tanaman ratun
dengan sistem salibu yang dibudidayakan dengan metode System of Rice
Intensification (SRI). Budidaya padi System of Rice Intensification (SRI)
merupakan suatu metode dalam pengelolaan tanaman, tanah, air, dan unsur
hara untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi.
Ratun adalah kemampuan tanaman padi dalam menghasilkan anakan baru
setelah tanaman pertama dipanen. Keunggulan ratun dapat memberikan
tambahan produksi padi per musim tanam, hemat input produksi, tenaga,
dan waktu. Sistem salibu merupakan modifikasi pada tanaman ratun yang
berkembang di daerah Sumatera Barat yang mampu menghasilkan produksi

lebih baik dibandingkan dengan sistem yang umum dilakukan oleh petani
(non-salibu).
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor internal yang
mendukung fisiologi dan agronomi padi ratun pada sistem salibu yang
dibudidayakan dengan metode SRI, sehingga diperoleh informasi dan data
mengapa sistem salibu dapat menghasilkan produksi lebih baik dibanding
sistem non-salibu. Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok
(RAK) untuk mengkaji metode SRI dan konvensional pada tanaman
pertama, sedangkan pada tanaman ratun menggunakan rancangan acak
kelompok (RAK) dua faktor yaitu teknik pemotongan dan metode budidaya
dengan lima ulangan. Teknik pemotongan terdiri dari sistem salibu dan
sistem non-salibu, sedangkan metode budidaya terdiri dari metode SRI dan
konvensional. Data pada tanaman pertama dianalisis secara statistik
menggunakan Independent t-test dan pada tanaman ratun dianalisis dengan
ANOVA pada tingkat kepercayaan α = 5%. Pengamatan pada penelitian ini
meliputi pengamatan peubah vegetatif, generatif, dan fisiologi pada padi
tanaman pertama dan tanaman ratun.
Peubah agronomi meliputi pertumbuhan vegetatif dan pertumbuhan
generatif pada tanaman pertama dan tanaman ratun. Peubah pertumbuhan
vegetatif yang diamati yaitu tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah daun,

bobot kering tajuk, dan akar umur 105 HSS dan 75 HSP, jumlah anakan
produktif per rumpun, serta jumlah anakan produktif per m2. Peubah
pertumbuhan generatif yang diamati yaitu bobot 1000 gabah, bobot gabah
kering per rumpun, bobot gabah kering panen per m2, dan bobot gabah
kering giling per m2.
Peubah fisiologi yang diamati meliputi laju fotosintesis (A) pada dua
fase pertumbuhan (puncak vegetatif dan generatif pada tanaman pertama
dan tanaman ratun), serapan hara N, P, dan K pada daun diamati pada saat
panen tanaman pertama dan tanaman ratun, kandungan karbohidrat total
pada jaringan meristem interkalar pada saat panen tanaman pertama dan
tujuh hari setelah panen tanaman pertama, analisis fitohormon (giberelin,

kinetin, dan auksin) pada jaringan meristem interkalar pada saat panen
tanaman pertama dan tujuh hari setelah panen tanaman pertama.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan vegetatif dan
pertumbuhan generatif, laju fotosintesis, serapan hara (N dan P) pada
tanaman pertama pada metode SRI lebih tinggi dibandingkan dengan
metode konvensional. Hasil gabah pada metode SRI lebih tinggi (sekitar
24.2%) dibandingkan dengan metode konvensional. Pertumbuhan vegetatif
dan pertumbuhan generatif, laju fotosintesis, serapan hara (N dan P) pada

tanaman ratun lebih tinggi pada sistem salibu dan metode SRI dibandingkan
dengan perlakuan lainnya. Hasil gabah pada sistem salibu dan metode SRI
lebih tinggi (sekitar 50.3% dari tanaman pertama) dibandingkan dengan
perlakuan lainnya. Kemampuan padi dalam menghasilkan ratun dipengaruhi
oleh kandungan karbohidrat total dan fitohormon seperti giberelin, kinetin,
dan auksin yang terdapat pada meristem interkalar. Kandungan fitohormon
yang ditemukan pada sistem salibu dan metode SRI lebih tinggi sehingga
produktivitas ratun meningkat dibandingkan dengan perlakuan lainnya,
namun kandungan karbohidrat total yang ditemukan lebih sedikit
dibandingkan dengan non-salibu.
Kata Kunci : Fitohormon, Fotosintesis, Karbohidrat total, Meristem
interkalar.

SUMMARY
PINTA OMAS PASARIBU. Physiological Characteristics and Agronomy
of Ratoon Rice Under Salibu System in System of Rice Intensification
(SRI). Supervised by TRIADIATI dan ISWANDI ANAS.
Rice productivity can be increased by improving land productivity
with a ratoon crop of salibu system cultivated with System of Rice
Intensification (SRI) method. Rice cultivation of SRI is a method to increase

the rice growth and development by managing the plants, soil, water, and
nutrients. Ratooning, the ability of the rice plant to regenerate new tillers
after harvested. The beneficial aspects of ratoon provide the increase of rice
productivity at once in harvesting and efficient in time, labor, and cost.
Local people in West Sumatra commonly re-cut the rice stalk at seven days
after first harvesting. This method is called as salibu system which is a
modification of ratoon crop and produce a higher yield than non-salibu
system (no cutting after first harvesting).
The aim of this study was to analyze internal factors affecting the
physiological traits of ratoon rice under the salibu system with the SRI
method, in order to obtain information and data why the salibu system can
generate the higher production than the non-salibu system. Randomized
Block Design (RBD) was used for first crop to compared SRI and
conventional methods, while RBD with factorial cutting techniques (salibu
and non-salibu system) and cultivation methods was used for ratoon crop.
There were five replications for each treatment. All first crops’data were
statistically analyzed using Independent t-test and ratoon crop was analyzed
by ANOVA with α = 5% level of probability. This research observed the
parameters of vegetative, generative, and physiology of first and ratoon
crop.

Agronomical parameters observed were the vegetative and
generative growth parameters of first and ratoon crop. The vegetative
growth parameters measured were plant height, tiller number, leaf number,
shoot dry weight at 105 days after sowing (DAS), and at 75 days after
harvest (DAH), number of productive tillers per hill, and number of
productive tillers per m2. The generative growth parameters observed were
weight of 1000 grains, grain dry weight per hill, grain dry weight at harvest
per m2, and grain dry weight (yield) per m2.
Physiological parameters observed were the photosynthetic rate (A)
at two phases of growth (the peak stage of vegetative and generative of first
and ratoon crop), N, P, and K uptake in leaves at first and ratoon crop,
carbohydrate contents in the stubbles’ intercalary meristem tissues of first
crop and seven days after frist harvesting, and the phytohormones content
(gibberellins, cytokinins, and auxins) in the stubbles’ intercalary meristem
tissues of first crop and seven days after first harvesting.
The results indicated that the vegetative and generative parameters,
photosynthetic rate, and nutrient (N and P) uptake of first crop using SRI
method were higher than those of conventional method. The grain yield

using SRI method (approximately 24.2%) was also higher than that of

conventional method. The vegetative and generative parameters,
photosynthetic rate, and nutrient (N and P) uptake of ratoon crop using
salibu system and SRI method were higher than those of other treatments.
The grain yield of ratoon crop using salibu system with SRI method was
higher (approximately 50.3 % of first crop production) than that of other
treatments. The ability of rice plants to produce a ratoon crop was influence
by their carbohydrate content and the phythormones such as gibberellins,
cytokinins, and auxins that remain in the intercalary meristem tissues of
stubbles after being harvested. The higher rice productivity of salibu system
and SRI method was determined by higher phytohormones instead of lower
carbohydrate content.
Keywords

:

Carbohydrates,
Phythormones

Intercalary


meristem,

Photosynthetic,

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan
tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

SIFAT FISIOLOGI DAN AGRONOMI PADI RATUN
DENGAN SISTEM SALIBU PADA BUDIDAYA
SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI)

PINTA OMAS PASARIBU
Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Sugiyanta, MSi

Judul Tesis : Sifat Fisiologi dan Agronomi Padi Ratun dengan Sistem
Salibu pada Budidaya System of Rice Intensification (SRI)
Nama
: Pinta Omas Pasaribu
NIM
: G353130151

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Dra Triadiati, MSi
Ketua

Prof Dr Ir Iswandi Anas, MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Biologi Tumbuhan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Miftahudin, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 24 Juni 2016


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
selalu melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya ilmiah ini dengan judul Sifat Fisiologi dan Agronomi
Padi Ratun dengan Sistem Salibu Pada Budidaya System of Rice
Intensification (SRI). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2014
sampai Februari 2015, di Sindang Barang Jero dan Laboratorium Fisiologi,
Departemen Biologi Fakultas MIPA, Institut Pertanian Bogor.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Dr Dra Triadiati, MSi dan Prof
Dr Ir Iswandi Anas, MSc selaku pembimbing atas bimbingan, masukan dan
arahan yang diberikan. Demikian pula, penulis ucapkan terima kasih kepada
penguji luar komisi Dr Ir Sugiyanta, MSi dan Dr Ir Miftahudin, MSi selaku
Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan IPB, yang telah memberikan
masukan pada saat ujian sidang tesis untuk membuat karya ilmiah ini
menjadi lebih baik. Kepada DIKTI melalui Beasiswa Unggulan 2013/2014
terima kasih atas kepercayaannya untuk memberikan beasiswa kuliah
selama menempuh pendidikan pascasarjana di IPB. Kepada teman-teman
Pascasarjana Biologi Tumbuhan IPB 2013 terima kasih atas kebersamaan
yang singkat dan sangat indah. Ungkapan terimakasih yang tak terhingga
juga penulis ucapkan kepada orang tua tercinta Bapak Sumihar Pasaribu
(Alm), Ibu Lamsetiur Sihite, abang dan kakak, serta seluruh keluarga besar,
atas segala doa, dukungan, motivasi dan kasih sayangnya selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2016

Pinta Omas Pasaribu

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

xi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Tahapan Penelitian

2

2 TINJAUAN PUSTAKA
System of Rice Intensification (SRI)

3

Sistem Pertanian Konvensional

4

Ratun

4

Sistem Salibu

5

Fisiologi Padi Ratun

5

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian

7

Bahan dan Alat Penelitian

7

Rancangan Penelitian

7

Analisis Tanah

7

Pelaksanaan Penelitian di Lapang

7

Pengamatan

9

Analisis Data

10

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil

11

Pembahasan

16

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

21

Saran

21

DAFTAR PUSTAKA

22

LAMPIRAN

27

RIWAYAT HIDUP

31

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

Jumlah anakan produktif/rumpun, jumlah anakan produktif/m2,
bobot kering tajuk/rumpun, dan bobot kering akar/rumpun (g) pada
tanaman pertama dan ratun
Bobot 1000 gabah (g), bobot gabah kering/rumpun (g), bobot gabah
kering panen (g m-2), dan bobot gabah kering giling (g m-2) pada
tanaman pertama dan tanaman ratun
Perbandingan produksi tanaman ratun terhadap tanaman pertama
Laju fotosintesis pada fase puncak vegetatif dan generatif pada
PAR 2000 µmol CO2 m-2 s-1 pada tanaman pertama dan tanaman
ratun
Serapan hara N, P, dan K pada daun tanaman pertama dan tanaman
ratun
Pengaruh teknik pemotongan dan metode budidaya terhadap
kandungan
karbohidrat total dan fitohormon pada meristem
interkalar padi

12
13
14
14
15
16

DAFTAR GAMBAR
1
2

Tahapan penelitian pada tanaman pertama dan tanaman ratun
2
Tinggi tanaman, jumlah daun total/rumpun, dan jumlah
anakan/rumpun pada tanaman pertama dan tanaman ratun
11

LAMPIRAN
1
2

Tata letak satuan percobaan di lapang
29
Hasil analisis kimia dan fisik tanah percobaan di persawahan
Sindang Barang Jero Bogor sebelum tanam
30

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu teknologi budidaya dengan inovasi baru pada tanaman padi,
yang dikenal dengan System of Rice Intensification (SRI) telah dilaporkan mampu
meningkatkan produksi padi (Kabir & Uphoff 2007; Sato & Uphoff 2007; Thakur
et al. 2010). SRI merupakan sebuah inovasi yang masih berkembang, namun
konsep dan praktiknya telah terbukti mampu meningkatkan produksi padi dan
pendapatan petani, sekaligus mengurangi input seperti benih, pupuk sintetik,
pestisida, dan air. Metode SRI dapat meningkatkan produksi padi dengan cara
mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air, dan unsur hara (Ahmed et al. 2015).
Metode SRI terdiri dari empat komponen penting, yaitu penanaman bibit muda (812 hari), penanaman bibit tunggal (satu lubang tanam untuk satu benih), jarak
tanam lebar (25 cm x 25 cm atau lebih), dan kondisi tanah lembap (irigasi
berselang). Selain empat komponen tersebut biasanya metode SRI dianjurkan
menggunakan pupuk organik untuk memperbaiki sifat tanah agar tanaman padi
dapat tumbuh dengan baik. Pengembangan metode SRI ini ada yang diarahkan
pada pertanian organik (Barison & Uphoff 2011). Walaupun demikian, metode
SRI dengan menggunakan pupuk sintetik atau campuran antara pupuk sintetik dan
pupuk organik juga berkembang di tempat lain yang bertujuan untuk
mengoptimalkan pertumbuhan tanaman dan produksi.
Metode budidaya padi SRI dikembangkan pertama sekali di Madagaskar
pada tahun 1980an dan menghasilkan produksi padi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan metode konvesional (Laulanie 1993). Praktik penerapan
metode SRI ini telah diterapkan oleh lebih dari 54 negara termasuk oleh produsen
beras besar di dunia seperti India, Cina, Vietnam, dan Filipina (Katambara et al.
2013). Metode SRI yang diterapkan di Afganistan dapat meningkatkan produksi
padi sebesar 66% dibandingkan metode konvensional (Thomas & Ramzi 2010).
Demikian juga di Irak, produksi padi juga meningkat sebesar 42% dengan metode
SRI (Hameed et al. 2013). Praktik metode SRI yang diterapkan di Indonesia
bagian timur (Nusa Tenggara) mampu meningkatkan produksi padi sebesar 78%
(Sato et al. 2011). Praktik metode SRI yang telah diterapkan di kota Bogor juga
mampu meningkatkan produksi padi berkisar antara 24% sampai 32.6% (Bakrie et
al. 2010; Hutabarat 2011; Hidayati 2015).
Selain metode budidaya padi SRI, salah satu bentuk upaya peningkatan
produksi padi yang lain adalah dengan meningkatkan produktivitas lahan melalui
pemanfaatan tanaman ratun. Ratun adalah rumpun padi yang menghasilkan
anakan baru setelah rumpun tanaman pertama dipanen dengan cara dipotong
menggunakan pisau arit (Vergara et al. 1988; Oad et al. 2002a; Harrell et al.
2009; Akhgari & Niyaki 2014). Waktu untuk berproduksi tanaman ratun lebih
pendek jika dibandingkan dengan penanaman kembali, serta tidak memerlukan
areal baru, pengolahan tanah, bibit, dan penanaman (Chauhan et al. 1985; Oad et
al. 2002a,b; Akhgari & Niyaki 2014). Ratun dapat dipanen pada umur 45 hari
setelah panen tanaman pertama, namun hasilnya masih relatif rendah yaitu 1
ton/ha (Suwandi et al. 2012). Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan dan kecepatan
kematangan ratun tidak seragam, adanya serangan hama, dan penyakit (Chauhan

2
et al. 1985; Oad et al. 2002a,b), sehingga hasil yang diperoleh lebih rendah jika
dibandingkan dengan tanaman pertamanya. Akan tetapi, produksi ratun dapat
ditingkatkan melalui teknologi yang dikenal dengan sistem salibu. Sistem salibu
merupakan teknik pemotongan kembali sisa batang panen padi pada tanaman
pertama yang dapat menghasilkan tunas baru. Erdiman (2013) melaporkan bahwa
ratun dengan sistem salibu telah dikembangkan di daerah Sumatera Barat dan
menghasilkan produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem yang umum
digunakan oleh petani (non-salibu). Dengan demikian, pemanfaatan ratun dapat
memberikan keuntungan bagi petani dari segi waktu untuk mencapai panen lebih
singkat, biaya produksi menjadi lebih murah, tanpa pengolahan tanah, dan tanpa
penyemaian (Nair & Rosamma 2002; Sanni et al. 2009; Tari 2011; Faruq et al.
2014). Sistem salibu pada ratun dengan metode budidaya SRI belum banyak
dilakukan oleh petani di Indonesia dan karakter fisiologi dan agronomi tanaman
ratun dengan sistem salibu pada metode SRI juga masih belum banyak diketahui.
Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian yang dilakukan untuk penyelesaian permasalahan
diatas sebagai berikut:

Gambar 1 : Tahapan penelitian pada tanaman pertama dan tanaman ratun

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor internal yang
mendukung fisiologi dan agronomi padi ratun pada sistem salibu yang
dibudidayakan dengan metode SRI, sehingga diperoleh informasi dan data
mengapa sistem salibu dapat menghasilkan produksi lebih baik dibanding sistem
non-salibu.

3
2 TINJAUAN PUSTAKA
System of Rice Intensification (SRI)
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan produksi padi
adalah dengan menggunakan metode System of Rice Intensification (SRI). Metode
SRI merupakan sistem pertanian budidaya padi yang pertama kali dibudidayakan
di Madagaskar pada tahun 1980 oleh Fr. Henry de Laulanie. Metode SRI mampu
memberikan hasil berlipat dibanding dengan metode konvensional (Laulanie
1993). Penerapan metode SRI telah terbukti berhasil meningkatkan produksi padi
sebesar 50% bahkan di beberapa tempat mencapai lebih dari 100% (Setiajie et al.
2008). Metode SRI pertama sekali diperkenalkan di Indonesia oleh Prof Dr N
Uphoff dari Cornell University, USA pada tahun 1997 dengan memberikan
seminar di Lembaga Penelitian dan Pengembangan Padi di Sukamandi Jawa
Barat. Metode SRI ini diterapkan dengan menghasilkan rata-rata hasil panen
sebesar 7.61 ton/ha, sedangkan dengan metode konvensional rata-rata hanya 4.27
ton/ha (Uphoff 2011).
Pengaturan air sangat diperhatikan pada metode SRI yaitu kondisi tanah
lembap (tidak tergenang) untuk memperbaiki kondisi perakaran tanaman padi.
Pada dasarnya tanaman padi tidak membutuhkan keadaan tergenang selama
proses pertumbuhannya, karena tanaman padi bukan tanaman air. Penggenangan
secara terus menerus dianggap suatu pemborosan pemakaian sumberdaya air.
Penggenangan secara terus menerus selain menyebabkan terjadinya peningkatan
gas metan juga menyebabkan meningkatnya jaringan aerenkim yang menghambat
proses penyerapan air dan unsur hara oleh akar tanaman padi, yang
konsekuensinya menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Sumardi
2007).
Prinsip dasar dari budidaya SRI menurut Barison dan Uphoff (2011)
sebagai berikut:
1. Umur bibit dipindahkan (transplantasi) ke lahan lebih awal. Pada metode SRI
bibit yang digunakan pada saat berumur 8-12 hari setelah semai.
2. Penanaman bibit tunggal yaitu satu lubang untuk satu bibit. Hal ini bertujuan
agar tanaman memiliki cukup ruang untuk menyebar dan memperdalam
perakarannya.
3. Jarak tanam lebar. Pada metode SRI dianjurkan jarak tanam lebar dengan jarak
minimal 25 cm x 25 cm agar akar tanaman mempunyai cukup ruang untuk
berkembang sehingga anakan maksimum dapat tercapai.
4. Kondisi tanah tetap lembap, tidak tergenang air (irigasi berselang). Pada
metode SRI dianjurkan teknik irigasi berselang agar tercipta kondisi perakaran
yang teroksidasi, untuk meningkatkan kesuburan tanah dan mendapatkan akar
tanaman yang panjang dan lebat. Pada metode SRI ini kondisi tidak tergenangi
dipertahankan selama pertumbuhan vegetatif dan reproduktif.
5. Penggunaan bahan organik (kompos) untuk pupuk. Pada metode SRI
dianjurkan pemakaian bahan organik untuk memperbaiki struktur tanah agar
padi dapat tumbuh baik dan hara tersuplai kepada tanaman secara baik
sehingga tidak tergantung pada pupuk sintetik.

4
Sistem Pertanian Konvensional
Pertanian secara konvensional menggunakan tanah sawah untuk
pertumbuhan padi. Dalam aplikasinya, pertanian konvensional menggunakan
prinsip sebagai berikut:
1. Umur bibit dipindahkan (transplantasi) ke lahan sawah saat berumur 25-30
hari.
2. Penanaman bibit sebanyak 5-10 bibit untuk satu lubang tanam, sehingga
terjadi persaingan dalam memperoleh cahaya, unsur hara dan ruang tumbuh.
3. Penggunaan jarak tanam yang lebih sempit daripada metode SRI yaitu 20 cm
x 20 cm.
4. Kondisi lahan yang selalu tergenang air sehingga terjadi pembororsan air dan
perakaran padi tidak teroksidasi dengan baik.
5. Pemupukan pada metode konvensional sebagian besar menggunakan pupuk
sintetik.
Ratun
Peningkatan produksi padi dapat dicapai melalui peningkatan indeks
panen dan peningkatan produksi tanaman setiap musim melalui teknologi
budidaya atau dengan menanam varietas padi baru yang memiliki sifat unggul.
Padi ratun merupakan salah satu alternatif yang dapat dikembangkan oleh petani
sebagai tanaman setelah padi pertama dipanen, karena padi ratun lebih hemat
sumberdaya dan lebih singkat. Ratun atau singgang (Jawa) atau turiang (Sunda)
merupakan tunas yang tumbuh dari tunggul batang yang telah dipanen dan
menghasilkan anakan baru hingga dapat dipanen kembali (Krishnamurthy 1988).
Budidaya ratun dapat dijadikan sebagai alternatif untuk meningkatkan indeks
tanam per tahun, misalnya dari 1 kali menjadi 2 kali atau dari 2 kali menjadi 3 kali
tanam dalam satu tahun.
Ratun bukanlah hal yang baru bagi petani, praktek budidaya tanaman padi
ratun telah lama dilakukan petani di daerah tropis dan di daerah beriklim sedang.
Manfaat ratun telah dipelajari dalam banyak negara seperti India, Jepang,
Amerika Serikat, Filipina, Brasil, Kolombia, Swaziland, Thailand, dan Taiwan.
Secara genetik, setiap jenis padi memiliki kemampuan menghasilkan ratun yang
berbeda-beda. Beberapa varietas padi dilaporkan menghasilkan ratun antara 1.43.8 t/ha. Varietas-varietas tersebut adalah IR8 menghasilkan ratun 1.4 t/h di India
(Mahadevappa 1988), IR 29 menghasilkan ratun 3.8 t/ha di China, IR28 dan IR 42
masing-masing menghasilkan ratun 2.1 t/ha dan 2.9 t/ha di Filipina
(Krishnamurthy 1988).
Keuntungan penerapan ratun adalah cepat, mudah dan murah serta dapat
meningkatkan produktivitas padi per unit area dan per unit waktu (Nair &
Rosamma 2002). Beberapa keuntungan ratun lainnya antara lain : (a) tidak
melakukan pengolahan tanah, penyemaian, dan penanaman kembali, (b) tenaga
kerja yang dibutuhkan lebih sedikit, (c) waktu untuk mencapai panen singkat, (d)
kebutuhan air irigasi lebih sedikit (Krishnamuthy 1988; Santoso 2014).
Pada dasarnya membudidayakan padi ratun sangat mudah karena dengan
memotong dan membiarkan tunggul sisa panen, tunas akan tumbuh. Akan tetapi,

5
pertumbuhan ratun tidak baik dan hasilnya sangat rendah. Oleh karena itu, untuk
mendapatkan hasil yang baik, perlu diterapkan teknik budidaya yang baik. Baik
atau tidaknya padi ratun sangat bergantung kepada pengelolaan tanaman padi
pertamanya, misalnya pengolahan tanah, perataan, sistem tanam, dan pengelolaan
gulma. Perataan tanah yang baik akan memudahkan pengelolaan air, sehingga
tanaman tumbuh seragam (Santoso 2014).
Sistem Salibu
Salah satu sistem budidaya ratun yang sedang dikembangkan saat ini
adalah sistem salibu. Sistem salibu pada padi sudah berhasil dikembangkan di
daerah Sumatera Barat. Padi salibu merupakan tanaman padi yang tumbuh
kembali setelah batang sisa panen dipotong, tunas akan muncul dari ruas yang ada
di dalam tanah. Tunas ini akan mengeluarkan akar baru, sehingga suplai hara
tidak lagi tergantung pada batang lama, tunas ini bisa membelah atau bertunas lagi
seperti pada padi tanaman pertama. Padi salibu berbeda dengan padi ratun. Ratun
adalah padi yang tumbuh dari batang sisa panen tanpa dilakukan pemotongan
batang kembali, tunas akan muncul pada ruas paling atas, suplai hara tetap dari
batang lama. Pertumbuhan tunas setelah dipotong sangat dipengaruhi oleh
ketersedian air tanah dan pada saat panen sebaiknya kondisi air tanah dalam
keadaan kapasitas lapang.
Sistem salibu akan meningkatkan indeks panen, karena tidak lagi
melakukan pengolahan tanah, persemaian, dan penanaman, sehingga rentang
waktu produksi lebih pendek. Budidaya ini secara tidak lansung juga dapat
menanggulangi keterbatasan varietas unggul, karena pertumbuhan tanaman
selanjutnya terjadi secara vegetatif, maka mutu varietas tetap sama dengan
tanaman pertama. Hasil uji coba padi salibu pada beberapa daerah di Sumatera
Barat cukup bagus antara lain; di Nagari Pauh, Kecamatan Matur, Kabupaten
Agam hasil (7,2 t/ha) meningkat 20 % dibanding tanaman pertamanya, di Lima
Kaum, Kabupaten Tanah Datar hasil (6,4 t/ha) meningkat (10 -15 %) dibanding
tanaman pertama dan didaerah ini sudah ada petani yang mensalibukan padinya
lebih 2 kali, berarti 1 kali tanam telah 3 kali panen dan hasilnya tetap stabil. Di
Kota Nan Ampek Payakumbuh hasil padi salibu juga sama dengan tanam
pertamanya (Erdiman 2013). Budidaya padi salibu meningkatkan indeks panen
(IP), karena waktu produksi menjadi lebih pendek, hanya membutuhkan 80-90 %
waktu dibandingkan tanaman pertamanya.
Fisiologi Padi Ratun
Morfologi padi ratun berbeda secara signifikan dari tanaman pertama.
Pada umumnya, tinggi tanaman ratun lebih rendah dari tanaman pertama dan
jumlah anakan produktif lebih sedikit dibandingkan dengan tanaman pertama
(Vergara et al. 1988). Mahadevappa (1988) mengemukakan bahwa faktor utama
yang dapat menentukan kemampuan tanaman padi untuk menghasilkan ratun
antara lain: sifat genetik, lingkungan dan praktek budidaya seperti tinggi
pemotongan, pemupukan, dan pengelolaan air.

6
Beberapa karakter agronomi lainnya yang merupakan prasyarat tanaman
ratun adalah vigoritas sistem perakaran dan konsentrasi karbohidrat yang tinggi
pada batang saat panen tanaman pertama. Kondisi tanaman setelah panen tanaman
pertama menunjukkan bahwa kelebihan asimilat yang tersusun dalam bentuk
karbohidrat, lipid, dan protein, akan dimanfaatkan tanaman sebagai cadangan
makanan dan sebagian akan ditranslokasikan ke daerah pemanfaatan vegetatif.
Akar dan batang adalah bagian pemanfaatan hasil fotosintesis selama
pertumbuhan ratun. Penyimpanan hasil fotosintesis ke bagian akar dan batang
sangat diperlukan, agar batang tanaman padi yang telah dipanen tetap berwarna
hijau. Dengan demikan, asimilat yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk
pertumbuhan tunas ratun (Chauhan et al. 1985; Vergara et al. 1988).
Secara morfologi, tanaman ratun pada beberapa varietas padi tumbuh dari
semua ruas yang ada pada rumpun, tetapi ditemukan juga tunas yang keluar dari
ruas yang tinggi atau yang rendah. Jumlah tunas yang tumbuh ditentukan oleh
tinggi pada pemotongan batang tanaman pertama, tetapi kodisinya sangat
dipengaruhi oleh sisa asimilat yang terdapat pada sisa batang padi saat panen
tanaman pertama yang berfungsi sebagai cadangan pada batang, sehingga
dimanfaatkan untuk pertumbuhan tanaman ratun dan tingkat vigor ratun (Vergara
et al. 1988). Tinggi pemotongan dapat mempengaruhi jumlah anakan, periode
pertumbuhan, vigor ratun dan hasil biji (De Datta dan Bernasor 1988).
Umur tanaman ratun umumnya lebih pendek dibandingkan tanaman
pertama, hal ini disebabkan ratun memiliki fase pertumbuhan yang berbeda
dengan tanaman pertama. Pada tanaman pertama terdapat tiga fase pertumbuhan,
yaitu fase vegetatif, reproduktif, dan pemasakan, sedangkan ratun memiliki dua
fase, yaitu fase reproduktif dan pemasakan. Kedua fase ini umumnya berlangsung
sama pada semua genotipe padi. Fase yang lebih pendek disebabkan munculnya
anakan ratun sering diikuti atau bersamaan dengan keluarnya malai atau bunga
(Susilawati et al. 2012).
Waktu pemanenan tanaman pertama berperan penting dalam menghasilkan
ratun. Saat terbaik untuk panen tanaman padi yang dipersiapkan untuk padi ratun
adalah pada saat batang masih hijau, bulir padi belum matang penuh, dan kering.
Hal ini penting karena pada kondisi seperti itu, batang padi secara fisiologis masih
aktif untuk pertumbuhan anakan ratun. Jika pemanenan dilakukan terlambat pada
tanaman pertama akan menyebabkan daya tumbuh tunas berkurang (Tari 2011;
Mobasser et al. 2012; Akhgari & Niyaki 2014). Waktu pemanenan yang baik pada
tanaman pertama untuk menghasilkan ratun sekitar tujuh sampai sepuluh hari
lebih cepat dari pemanenan normal yang umum dilakukan oleh petani (Akhgari &
Niyaki 2014). Selain itu, pengaturan air pada awal pertumbuhan merupakan kunci
utama untuk pertumbuhan tunas dan anakan. Penggenangan yang dilakukan ketika
tunas belum tumbuh secara merata dapat menyebabkan pertumbuhan tunas
terlambat dan bahkan batang padi menjadi busuk (Santoso 2014).

7

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni 2014 sampai dengan Februari
2015 di Desa Sindang Barang Jero, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor dan
Laboratorium Fisiologi, Departemen Biologi Fakultas MIPA, Institut Pertanian
Bogor.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan adalah benih padi varietas Ciherang, pupuk Urea
(45.7% N), pupuk SP-36 (36.3% P2O5), pupuk KCl (61.1% K2O) dan pupuk
kompos merk CV. Laksmi (0.69% N; 0.34% P2O5; 0.20% K2O). Pengukuran laju
fotosintesis dilakukan dengan menggunakan LICOR 6400XT (Nebraska, USA).
Rancangan Penelitian
Penelitian dirancang menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)
faktorial dengan perlakuan yang terdiri dari 2 faktor. Faktor pertama adalah teknik
pemotongan pada batang padi yang meliputi dua taraf perlakuan yaitu sistem
salibu dan sistem non-salibu. Faktor kedua adalah metode budidaya yang meliputi
dua taraf perlakuan yaitu metode SRI dan konvensional. Masing-masing
perlakuan terdiri atas lima ulangan sehingga terdapat 20 unit percobaan. Petak
percobaan berukuran 2 m x 2.5 m (Lampiran 1).
Analisis Tanah
Kualitas tanah yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada
Lampiran 2. Analisis tanah dilakukan sebelum penanaman padi dilaksanakan.
Sampel tanah diambil secara komposit pada empat titik yang berbeda dari seluruh
petakan pada kedalaman 0-20 cm dengan menggunakan bor tanah. Analisis tanah
meliputi sifat kimia dan fisik tanah. Sifat kimia tanah meliputi pH-tanah, Corganik, N-total, P, Ca, Mg, K, Na, KTK, Al, H, dan Fe, sedangkan sifat fisik
tanah meliputi tekstur tanah. Analisis tanah dilakukan di Balai Besar Sumberdaya
Lahan Pertanian Balai Penelitian Tanah, Cimanggu, Bogor.
Pelaksanaan Penelitian di Lapang
Tanaman Pertama
Pengelolahan lahan untuk budidaya SRI dan konvensional terdiri dari
pengolahan tanah, pelumpuran, dan pembuatan petakan percobaan. Pengolahan
lahan, pembuatan saluran irigasi, dan pengaturan air dilakukan dua minggu
sebelum tanam dengan menggunakan bajak dan cangkul. Permukaan tanah

8
diratakan untuk mempermudah mengontrol dan mengendalikan air. Benih varietas
Ciherang direndam pada air biasa selama 24 jam, ditiriskan, dan diperam dalam
keadaan gelap selama 48 jam sampai benih berkecambah. Pada metode SRI, benih
disemai pada media tanah dan pupuk organik dalam baki selama 10 hari. Pindah
tanam bibit dilakukan pada saat bibit berumur 10 hari setelah semai dengan jarak
tanam 25 cm x 25 cm sebanyak 1 bibit per lubang tanam. Pengaturan air diberikan
dengan kondisi yang basah dan air diberikan hanya di parit sekeliling petakan.
Penggenangan dilakukan hanya pada saat penyiangan dengan ketinggian 1-2 cm.
Penyiangan dilakukan pada saat 10, 20, dan 30 hari setelah tanam dengan
menggunakan alat penyiang padi (landak) yang berfungsi juga untuk memberikan
aerasi di bagian topsoil.
Pada metode konvensional, benih disemai dengan menebarkan benih yang
telah berkecambah langsung di lahan sawah sampai berumur 25 hari. Pindah
tanam bibit dilakukan pada saat bibit berumur 25 hari setelah semai dengan jarak
tanam 20 cm x 20 cm sebanyak 5 bibit per lubang tanam. Pengaturan air diberikan
secara tergenang terus-menerus dengan ketinggian 5 cm sampai pemasakan bulir.
Penyiangan dilakukan pada saat 10 dan 20 hari setelah tanam dengan cara
mencabut gulma menggunakan tangan. Pemupukan budidaya metode SRI dan
konvensional persis sama yaitu dengan pemberian 50% dosis pupuk sintetik yang
umum digunakan di daerah tersebut (125 kg urea/ha, 100 kg SP 36/ha, dan 50 kg
KCl/ha atau setara dengan 250 g urea/petak, 200 g SP 36/petak, dan 100 g
KCl/petak) dan 50% pupuk organik (2.5 ton/ha setara dengan 5 kg/petak). Pupuk
SP 36, KCl diberikan pada saat penanaman, sedangkan pupuk urea diberikan pada
saat tanam dan pada umur 42 hari setelah semai. Pemberian pupuk organik
diberikan pada saat tanam di sekitar lubang tanam. Pemberian insektisida hanya
dilakukan apabila terdapat gejala serangan hama penyakit. Pada metode SRI dan
konvensional air dikeringkan saat pemberian pupuk dan 5 hari sebelum panen.
Pemanenan pada tanaman pertama dilakukan dengan memotong batang padi
menggunakan pisau arit saat bulir padi telah menguning sekitar 80%.
Tanaman Ratun
Sistem Salibu. Setelah panen lahan segera digenangi air setinggi 5 cm
selama 3 hari dan kemudian lahan dikeringkan kembali. Empat hari kemudian,
sisa batang panen padi dipotong kembali dengan ketinggian 5 cm di atas
permukaan tanah. Pengaturan air pada lahan diberikan setelah tujuh hari kemudian
sama seperti halnya dengan tanaman pertama. Penyiangan dan penyulaman
dilakukan sepuluh hari setelah pemotongan. Pemberian pupuk diberikan dengan
dosis 50% pupuk sintetik (125 kg Urea/ha, 100 kg SP 36/ha, dan 50 kg KCl/ha).
Pemberian Pupuk SP 36 dan KCl diberikan pada saat umur 10 hari setelah
pemotongan, sedangkan pupuk Urea diberikan pada saat umur 10 dan 30 hari
setelah pemotongan. Pemanenan dilakukan dengan memotong batang padi
menggunakan pisau arit saat bulir padi telah menguning sekitar 80%.
Sistem Non-Salibu. Batang tanaman padi dipotong pada ketinggian 20 cm
dari permukaan tanah pada saat panen berumur 105 hari setelah semai. Setelah
panen, lahan segera digenangi air setinggi 5 cm selama 3 hari dan kemudian lahan
dikeringkan kembali. Pengaturan air pada lahan diberikan setelah tunas baru

9
sudah tumbuh merata sama seperti halnya dengan tanaman pertama. Pemberian
pupuk Urea, SP 36 dan KCl diberikan secara bersamaan pada hari ke-5 setelah
panen tanaman pertama dengan dosis 50% pupuk sintetik (125 kg Urea/ha, 100 kg
SP 36/ha, dan 50 kg KCl/ha).
Pengamatan
Pengamatan Agronomi Padi
Pertumbuhan Vegetatif. Peubah pertumbuhan vegetatif yang diamati
pada tanaman pertama dan tanaman ratun adalah meliputi tinggi tanaman, jumlah
daun, dan jumlah anakan pada umur 38, 53, 68 hari setelah semai dan umur 15,
30, 45 hari setelah panen.
Pertumbuhan Generatif. Peubah pertumbuhan generatif yang diamati
adalah jumlah anakan produktif per rumpun, jumlah anakan produktif per m2,
bobot 1000 gabah, bobot gabah kering per rumpun, bobot gabah kering panen per
m2, bobot gabah kering giling per m2 dilakukan pada saat panen.
Pengamatan Fisiologi Padi
Laju Fotosintesis. Laju fotosintesis pada tanaman pertama dan tanaman
ratun diamati dengan LI-COR Biosciences (Nebraska, USA) yaitu laju asimilasi
bersih/tingkat fotosintesis (A). Laju fotosintesis diukur pada PAR 2000 µmol CO2
m-2 s-1. Pengukuran fotosintesis dilakukan sebanyak 2 kali pada saat fase puncak
vegetatif dan generatif. Pengukuran fotosintesis menggunakan daun lebar penuh
(daun bendera).
Serapan Hara N, P, dan K pada Daun. Serapan hara N, P, dan K pada
daun dianalisis pada panen tanaman pertama dan panen tanaman ratun. Contoh
daun padi diambil dari seluruh bagian atas tanaman dan dikeringkan pada oven
suhu 80oC sampai bobotnya konstan. Kemudian daun kering dihaluskan menjadi
bubuk. Untuk analisis kandungan N pada daun ditentukan dengan metode
Kjeldhal, kandungan P dan K dianalisis dengan metode pengabuan basah
menggunakan HNO3 dan HClO4, dan diukur menggunakan spektrofotometer UV
VIS di Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian Balai Penelitian Tanah,
Cimanggu, Bogor.
Karbohidrat Total pada Meristem Interkalar Padi. Pengukuran
karbohidrat total pada meristem interkalar padi dilakukan pada saat panen
tanaman pertama dan tujuh hari setelah panen tanaman pertama. Perhitungan
kadar karbohidrat total pada meristem interkalar menggunakan metode Asam
fenol suflat/Spektrofotometri (Dubois et al. 1956). 0.1 g batang padi ditimbang
kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer, ditambahkan 200 ml larutan HCl 3%
dan didihkan selama 3 jam, setelah dingin dinetralisir dengan NaOH 30% dan
ditambahkan sedikit CH3COOH 3% agar suasana larutan sedikit asam. Larutan
sampel dimasukkan dalam labu ukur 500 ml dan digenapkan hingga garis tera
kemudian disaring. Dipipet 1 ml larutan sampel, ditambahkan 1 ml aquades dan 1
ml larutan fenol 5% selanjutnya di vorteks. Ditambahkan 5 ml asam sulfat pekat
dan didiamkan selama 10 menit. Selanjutnya diukur absorbansi pada panjang
gelombang 490 nm. Pengukuran karbohidrat total pada batang padi dilakukan di
Laboratorium Terpadu Institusi Pertanian Bogor.

10
Analisis Fitohormon (Giberelin, Kinetin, dan Auksin) pada Meristem
Interkalar Padi. Analisis giberelin, kinetin, dan auksin pada meristem interkalar
dilakukan pada saat panen tanaman pertama dan tujuh hari setelah panen tanaman
pertama dengan mengikuti metode yang digunakan Unyayar et al. (1996). Sampel
batang yang diambil secara komposit dari setiap ulangan seberat ± 5 gr diekstrak
dengan cara digerus, kemudian dilarutkan dengan metanol, kloroform, dan 2N
ammonium hidroksida (12:5:3 v/v/v) sebanyak 100 ml. Ekstrak yang diperoleh
kemudian disaring. Air destilat sebanyak 22.4 ml ditambahkan ke dalam ekstrak
yang diperoleh, selanjutnya ekstrak dimasukkan ke dalam corong pemisah dan
didiamkan selama 24 jam. Fase cair diambil sedangkan fase kloroform dibuang.
Selanjutnya, pH pada fase air diatur menjadi 2.5 dengan menambahkan HCL 5N,
kemudian diekstraksi sebanyak 3 kali dengan menggunakan 15 ml etilasetat.
Ekstrak didiamkan beberapa menit agar fase air terpisah dari fase etilasetat. Fase
etilasetat diambil dan fase air dilanjutkan untuk perlakuan berikutnya. Fase
etilasetat yang diperoleh diharapkan mengandung IAA dan GA3. Fase air
berikutnya diatur pH nya menjadi 7 dengan menambahkan 4N NaOH kemudian
diekstraksi kembali sebanyak 3 kali menggunakan 15 ml etilasetat. Perlakuan ini
akan menghasilkan kinetin bebas. Ekstrak IAA, GA3, dan kinetin yang diperoleh
selanjutnya dievaporasi. Ekstrak kering yang diperoleh kemudian ditimbang ±
0.1-0.5 mg dan dilarutkan menggunakan 10 ml metanol kemudian diukur
menggunakan spektrofotometri UV-VIS pada panjang gelombang 253 untuk
GA3, 280 untuk IAA, dan 269 untuk kinetin.
Analisis Data
Data hasil penelitian tanaman pertama dianalisis menggunakan
Independent t-test dan tanaman ratun dianalisis menggunakan ANOVA pada taraf
kepercayaan α = 5%. Jika terdapat perbedaan, dilanjutkan dengan menggunakan
Uji DMRT/Duncan.

11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pengamatan Agronomi Padi
Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Pertama. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perlakuan metode budidaya SRI pada tanaman pertama
menghasilkan tinggi tanaman, jumlah daun total per rumpun, dan jumlah anakan
per rumpun berbeda nyata (P