Aspek Reproduksi Ikan Sapu-Sapu (Pterygoplichthys Pardalis) Di Sungaiciliwung, Kebun Raya Bogor

ASPEK REPRODUKSI IKAN SAPU-SAPU
(Pterygoplichthys pardalis) DISUNGAI CILIWUNG, KEBUN
RAYA BOGOR

ALFANIA HARIANDATI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aspek Reproduksi Ikan
Sapu-Sapu (Pterygoplichthys pardalis) di SungaiCiliwung, Kebun Raya Bogor
adalah benar karya saya denganarahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.


Bogor, Juli 2015

Alfania Hariandati
NRP C24080059

ABSTRAK
ALFANIA HARIANDATI. Aspek Reproduksi Ikan Sapu-Sapu (Pterygoplichthys
pardalis) di SungaiCiliwung, Kebun Raya Bogor. Dibimbing oleh YUNIZAR
ERNAWATI dan MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL.
Ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) merupakan jenis
ikanintroduksi dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan yang sekarang
keberadaannya mengancam ikan asli Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk
menentukan musim pemijahan, dan tipe pemijahan. Penelitian dilakukan pada
bulan Maret, Juli, dan Agustus 2014 di sungai Ciliwung. Jumlah total individu
ikan yang ditangkap adalah 97 individu, terdiri atas 60 individu betina dan 37
individu jantan. Faktor kondisi ikan jantan dan betina, masing-masing 0.63190.7639 dan 0.7485-0.8487. Nisbah kelamin ikan sapu-sapu adalah 1:1.87 atau
38%:62%. Ukuran pertama kali matang gonad untuk betina adalah 373-434 mm.
Puncak musim pemijahan ikan sapu-sapu di sungai Ciliwung berada pada bulan
Agustus. Tipe pemijahan ikan sapu-sapu yang diperoleh dari penelitian ini adalah

total spawner.
Kata kunci: Ikan sapu-sapu, Pterygoplichthys pardalis, reproduksi, sungai
Ciliwung.

ABSTRACT
ALFANIA HARIANDATI. Reproduction Aspects of Suckermouth Catfish in
Ciliwung river, Kebun Raya Bogor. Supervised by YUNIZAR ERNAWATI and
MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL.
Suckermouth fish (Pterygoplichthys pardalis) wasintroductionfish from
Central America and South America which now threatening the existence of its
native fish Indonesia.This study aims to determine the spawning season and type
of spawning. This study was done in March, July, and August 2014 in Ciliwung
river.The amount of fish caught as many as 97 individual, consists of 60
individual female and 37 individualmale.A factor of the condition of fish male and
female each 0,6319-0,7639 and 0,7485-0,8487 . The ratio of suckermouth fish is
1: 1,87 or 38%: 62%. The size of the first ripe to the gonads of the female is 373434 mm. The top of the spawning suckermouth fish in Ciliwung river was in
August.A spawning type of suckermouth fish obtained from this study is the total
spawner.
Kata kunci: Ciliwung river, Pterygoplichthys pardalis, reproduksi, suckermouth
fish


ASPEK REPRODUKSI IKAN SAPU-SAPU
(Pterygoplichthys pardalis) di SUNGAI CILIWUNG, KEBUN
RAYA BOGOR

ALFANIA HARIANDATI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian ini adalah reproduksiyang dilaksanakan pada bulan Maret, Juli,
dan Agustus dengan judul Aspek Reproduksi Ikan Sapu-Sapu (Pterygoplichthys
pardalis) Di Sungai Ciliwung, Kebun Raya Bogor.
Terima kasih Penulis sampaikan kepada:
1.
Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan untuk studi.
2.
Ibu Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS sebagai dosen pembimbing skripsi yang
telah memberikan masukan dan arahan kepada penulis.
3.
Bapak Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, MSc sebagai dosen pembimbing skripsi
yang telah memberi arahan, dan masukan dalam penulisan karya ilmiah ini.
4.
Bapak Ali Mashar, S Pi, M Si sebagai dosen penguji tamu yang telah
memberi banyak masukan kepada penulis.
5.
Ibu Dr. Ir. Niken TM Pratiwi, Msi sebagai ketua komisi pendidikan yang
telah memberikan motivasi, masukan dan arahan dalam penulisan karya

ilmiah ini.
6.
Bapak Drs. H. Hari Parwanto, MBA (alm), Ibu Hj. Sri Juwarti, Tante Puji
Maryati, kakak, adik, serta seluruh keluarga tercinta yang selalu
memberikan do’a dan dukungannya dalam penyusunan skripsi.
7.
Teman-teman dari MSP angkatan 45-49 yang telah membantu penulis
dalam penulisan skripsi.
8.
Semua pihak yang telah membantu penyusunan skripsi yang tidak dapat
disebutkan satu per satu.
Demikian skripsi ini disusun, semoga bermanfaat.

Bogor, Juli 2015

Alfania Hariandati

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI


ix

DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

x

PENDAHULUAN
Latar Belakang

1


Perumusan Masalah

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian

2

Alat dan Bahan

3


Prosedur Kerja

3

Analisis Data

4

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan

7
15

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan

17


Saran

17

DAFTAR PUSTAKA

18

LAMPIRAN

20

RIWAYAT HIDUP

26

DAFTAR TABEL
1.
2.

3.

Alat dan Bahan yang digunakan dalam penelitian dan kegunaannya
Tingkat Kematangan Gonad Ikan Belanak (Mugil dussumieri)
Nisbah kelamin ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis)

3
6
10

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

10.
11.
12.
13.
14.
15.

Peta lokasi pengambilan sampel
Ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis)
Sebaran selang kelas panjang ikan sapu-sapu jantan dan betina
(Pterygoplichthys pardalis)
Hubungan panjang berat ikan sapu-sapu jantan
(Pterygoplichthys pardalis)
Hubungan panjang berat ikan sapu-sapu betina
(Pterygoplichthys pardalis)
Faktor kondisi ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) jantan dan
betina berdasarkan bulan pengamatan
Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ikan sapu-sapu jantan
(Pterygoplichthys pardalis) berdasarkan selang kelas panjang
Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ikan sapu-sapu betina
(Pterygoplichthys pardalis) berdasarkan selang kelas panjang
Tingkat Kematangan gonad ikan sapu-sapu jantan
(Pterygoplichthys pardalis) berdasarkan bulan pengamatan
Tingkat Kematangan gonad ikan sapu-sapu betina
(Pterygoplichthys pardalis) berdasarkan bulan pengamatan
Indeks Kematangan Gonad ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis)
berdasarkan bulan pengamatan
Hubungan Indeks Kematangan Gonad dengan Tingkat Kematangan
Gonad ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis)
Hubungan fekunditas dengan panjang total ikan sapu-sapu
(Pterygoplichthys pardalis)
Hubungan fekunditas dengan berat total ikan sapu-sapu
(Pterygoplichthys pardalis)
Sebaran diameter telur ikan sapu-sapu betina
(Pterygoplichthys pardalis)

2
4
8
8
9
9
10
11
11
12
12
13
14
14
15

DAFTAR LAMPIRAN
1. Data Ikan Sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis)
2. Hubungan panjang berat ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis)
jantan dan betina
3. Faktor kondisi ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis)
4. Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad ikan sapu-sapu betina
(Pterygoplichthys pardalis)

20
22
23
23

5. Nisbah kelamin ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) jantan dan
betina
6. TKG ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) jantan dan betina
7. IKG ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) jantan dan betina
8. Sebaran diameter telur

23
24
25
25

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan sapu-sapu merupakan jenis ikan yang diintroduksi dari Amerika
Tengah dan Amerika Selatan. Namun sekarang, jenis ikan ini sudah banyak
ditemukan di perairan tawar di seluruh Indonesia. Salah satunya ialah Sungai
Ciliwung. Sungai ini mengalir melalui kota Bogor, Depok, dan bermuara di Teluk
Jakarta. Kondisi pencemaran sungai Ciliwung di dominasi oleh limbah domestik.
Beban limbah domestik yang masuk ke sungai Ciliwung sudah terlihat cukup
tinggi di awal masuk wilayah Jakarta, hal ini mengindikasikan bahwa pencemaran
terjadi tidak hanya di wilayah Jakarta tetapi juga di wilayah Depok atau Bogor.
Meningkatnya perkembangan pembangunandisepanjang bantaran sungai Ciliwung
dan maraknya pertokoan di sepadan sungai di wilayah Depok dan Bogor
merupakan beberapa faktor yang menyebabkan kualitas sungai Ciliwung terus
memburuk (Yudo2010). Kondisi ini menyebabkan hanya ikan tertentu yang dapat
hidup di sungai Ciliwung yang salah satunya adalah ikan sapu-sapu.
Ikan sapu-sapu mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi karena
memiliki dua alat pernafasan. Alat pernafasan utama adalah insang yang digunakan
saat berada di air yang jernih. Alat pernafasan lainnya adalah labirin. Labirin adalah
alat pernafasan binatang lumpur atau air yang keruh. Karena memiliki alat pernafasan
tambahan, maka ikan sapu-sapu mampu hidup dalam perairan dengan kadar oksigen
terlarut yang rendah dan juga dapat hidup di perairan yang tercemar limbah. Ikan
ini juga dikenal sebagai pemakan alga atau lumut dan sangat populer sebagai ikan
pembersih akuarium (Ariana 2013). Sebagaimana halnya jenis-jenis makhluk
hidup lain yang merupakan hasil introduksi, saat ini ikan sapu-sapu telah menjadi
ancaman yang mengkhawatirkan bahkan telah dianggap sebagai gulma. Ikan ini
dianggap sebagai gulma bukan karena sifatnya yang suka memakan hewan lain
(predator), namun karena hidupnya yang berada didasar perairan yang bisa saja
memakan telur dari hewan di perairan tersebut secara tidak sengaja ketika dia
sedang berenang.
Oleh karena itu diperlukan pengamatan mengenai aspek reproduksi
sehingga dapat diketahui pola pemijahan dan produktivitasnya. Penilaian terhadap
aspek reproduksi dilakukan melalui pengamatan ukuran panjang dan berat tubuh,
tingkat kedewasaan dan waktu serta tempat ikan memijah. Beberapa metode yang
dapat digunakan dalam pengamatan aspek reproduksi ikan antara lain,
pengamatan secara visual dan pengamatan langsung terhadap gonad yang meliputi
tingkat kematangan gonad, indeks kematangan gonad, fekunditas, dan diameter
telur pada ikan betina (Jabarsyah dkk2006)
Perumusan Masalah
Keberadaan ikan sapu-sapu sangat penting secara ekologis karena dapat
mengancam diversitas ikan-ikan lain yang ada di Sungai Ciliwung, karena hanya
ikan sapu-sapu yang dapat hidup di kondisi perairan tercemar. Adanya dominasi
oleh ikan sapu-sapu diduga menjadi pemicu semakin sedikitnya spesies ikan di
Sungai Ciliwung dari tahun ke tahun, karena hanya ikan sapu-sapu yang dapat
bertahan dalam kondisi perairan yang tercemar (Hadiaty dan Wowor 2011).Oleh
karena itu perlu dilakukan kajian mengenai reproduksi guna memberi informasi

2
dalam pengelolaan ikan sapu-sapu. Penelitian ini difokuskan pada aspek
reproduksi ikan sapu-sapu yang ada di Sungai Ciliwung, Kebun Raya Bogor.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat kematangan gonad,
indeks kematangan gonad, serta menduga waktu pemijahan ikan sapu-sapu
sehingga dapat memberikan informasi mengenai reproduksi ikan sapu-sapu yang
ditangkap di Sungai Ciliwung.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai pola
pemijahan ikan sapu-sapu serta pendugaan produktivitas nya sehingga produksi
ikan sapu-sapu dapat terkontrol dan tidak lagi menjadi ancaman serta dapat
dijadikan data dasar untuk pengelolaan sumberdaya ikan sungai Ciliwung

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret, Juli, dan Agustus 2014.
Penelitian dilakukan di hulu sungai Ciliwung yang berlokasi di tempat wisata
Kebun Raya Bogor. Sampel ikan sapu-sapu diperoleh dengan meminta bantuan
salah satu warga bantaran sungai ciliwung untuk menangkap. Selanjutnya,
pengukuran serta analisis aspek reproduksi akan dilakukan di Laboratorium
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Gambar 1. Peta Lokasi Pengambilan Sampel

3
Alat dan Bahan
Berikut adalah alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian reproduksi
ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis)
Tabel 1.Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian dan kegunaannya.
Jenis

Kegunaan

Alat
1.
Penggaris 50 cm dengan
ketelitian 1mm
2.
Timbangan manual berkapasitas
1kg dengan ketelitian 0,1 gram
3.
Alat bedah
4.
Plastik bening ukuran ¼ kilo
5.
Alat tulis
6.
Kamera digital
7.
Timbangan digital dengan
ketelitian 0,0001 gram
8.
Cawan petri
9.
Label nama
10. Jangka sorong
Bahan
1.
Ikan sapu-sapu
(Pterygoplichthys pardalis)
2.
Larutan formalin konsentrasi
40%

Mengukur ikan
Menimbang bobot ikan
Membedah ikan
Mengawetkan gonad ikan
Dokumentasi
Menimbang gonad ikan
Mengamati gonad ikan
Memberi nama pada
gonad
Mengukur diameter telur

sampel

Objek penelitian
Mengawetkan gonad ikan

Prosedur Kerja
Pengambilan contoh di lapang
Pengambilan sampel dilakukan di daerah hulu sungai Ciliwung Bogor,
tepatnya di lokasi wisata Kebun Raya Bogor. Pengambilan ikan dilakukan oleh
petani ikan dengan menggunakan alat tangkap jala. Ikan yang ditangkap kemudian
dimasukkan terlebih dahulu ke dalam bak yang berisi air, agar ketika dibedah ikan
masih segar. Baru setelah itu dimasukkan ke dalam karung untuk kemudian di
bedah untuk dianalisis.
Pengamatan contoh di lapang
Ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) (Gambar 2) yang didapat dari
sungai Ciliwung diukur panjang dan berat nya, lalu dibedah untuk diambil gonad
nya.Pengukuran panjang total ikan ini dilakukan dengan menggunakan penggaris
yang memiliki tingkat ketelitian 1 mm, sedangkan untuk penimbangan bobot
tubuh ikan digunakan timbangan kue karena besarnya nilai bobot ikan.

4

Gambar 2. Ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis)
Pengamatan contoh di laboratorium
Gonad ikan sapu-sapu yang telah disimpan didalam plastik dan diberi
larutan formalin 40% dianalisis dengan menggunakan metode gravimetrik yaitu
metode analisis yang didasarkan pada pengukuran berat gonad ikan. Gonad ikan
sapu-sapu yang telah di formalin lalu ditimbang berat totalnya, kemudian dibagi
menjadi 3 (tiga) sub gonad contoh yaitu bagian anterior, tengah dan posterior.
Masing-masing dari ketiga sub gonad tersebut lalu ditimbang kembali sehingga
nanti didapat bobot sub gonad contoh. Setelah itu, telur pada masing-masing sub
gonad contoh tersebut diambil (sebanyak 10% dari bobot sub gonad contohnya)
untuk kemudian dihitung jumlah telur nya.Untuk pengukuran diameter telur,
dilakukan pengambilan 100 butir telur secara acak dan diukur dengan
menggunakan jangka sorong.Pengukuran diameter telur ini tidak memakai
mikroskop karena ukuran telur yang besar sehingga tidak memungkinkan untuk
melakukan pengukuran dengan mikroskop.
Analisis Data
Hubungan panjang dan berat
Menurut Hile (1936) dalamEffendie (1997), hubungan panjang-berat
dihitung dalam suatu bentuk rumus umum sebagai berikut :

W= aLb
Keterangan :
W
= berat ikan (gram)
L
= panjang ikan (mm)
a
= intercept
b
= slope
Rumus di atas digunakan untuk mendapatkan nilai b yang dapat digunakan
untuk menentukan pola pertumbuhan ikan tersebut. Menurut Effendie (1997)
berdasarkan persamaan tersebut, bila b=3 maka bentuk pertumbuhan tersebut
bersifat isometrik (pertambahan panjang dan bobot seimbang); b < 3 maka bentuk

5
pertumbuhan ikan tersebut allometrik negatif (pertambahan panjang lebih
dominan daripertambahan bobot); b>3 maka bentuk pertumbuhan ikan tersebut
allometrik positif (pertambahan bobot lebih dominan dibanding panjang).
Faktor kondisi
Faktor kondisi ditentukan setelah mengetahui pola pertumbuhan. Jika
pertumbuhan ikan yang didapat saat pengamatan bersifat allometrik (b 3), maka
faktor kondisi dihitung dengan rumus (Effendie, 1997):
K=

aL b

sedangkan bila pola pertumbuhan yang didapat saat pengamatan bersifat
isometrik (b = 3), maka faktor kondisi dihitung dengan menggunakan rumus
(Effendie, 1997):
��

=

Keterangan:
K
= faktor kondisi
W
= berat tubuh ikan (gram)
L
= panjang total ikan (mm)
a dan b = konstanta

� 10 5
3

Ukuran pertama kali matang gonad
Untuk mengetahui pertama kali ikan matang gonad dapat digunakan rumus
berdasarkan tabel tingkat kematangan gonad yang ditransformasikan ke dalam
tabel kelas panjang (Andy Omar 2002 dalam Jabarsyah 2006). Ukuran pertama
kali matang gonad (Lm) dapat diduga dengan cara sebagai berikut:
m = Xk + ( ) - ( X.Pi)
2
Jika σ = 0,05 maka batas-batas kepercayaan dari (m) adalah
Antilog m ± 1,96

2 Σ (Pi x qi)

−1

Keterangan:
m
= logaritma ikan pada saat pertama kali matang gonad
Xk
= logaritma nilai tengah kelas panjang pada saat semua ikan
(100%) sudah matang gonad
X
= selisih logaritma nilai tengah
Pi
= proporsi ikan matang gonad pada kelas ke-i (p=n/ni)
n
= jumlah ikan matang gonad selang ke-i
ni
= jumlah ikan pada kelas ke-i, (qi = 1 pi)
Nisbah kelamin
Proporsi jantan dan betina penting dalam perbandingan jenis kelamin di
suatu perairan. Nisbah kelamin ditentukan dengan membandingkan antara jumlah
ikan jantan dengan jumlah ikan betina yang tertangkap selama penelitian dengan
menggunakan rumus (Effendie, 1997):

6
Pj (%) =

100

Keterangan:
Pj = nisbah kelamin (jantan atau betina) (%)
A = jumlah jenis ikan tertentu (jantan atau betina)
B = jumlah total individu ikan yang ada
Untuk selanjutnya, keseragaman nisbah kelamin diuji dengan menggunakan uji
Chi-square (Steel dan Torrie 1993 dalam Rahmawati 2006)
�( � −��)2
X =
��
2

Keterangan:
X2
= Nilai bagi peubah acak yang sebaran penarikan contoh nya mendekati
sebaran Chi-square
oi
= Frekuensi ikan jantan dan betina yang teramati
ei
= Frekuensi harapan dari ikan jantan dan betina
Tingkat kematangan gonad (TKG)
Tingkat Kematangan Gonad merupakan tahap tertentu perkembangan
gonad sebelum dan sesudah ikan memijah (Effendie 1997).Standar penentuan
yang dipakai adalah ikan Belanak (Mugil dussumieri). Keterangan tentang TKG
diperlukan untuk perbandingan antara ikan yang sudah matang gonad dengan
yang belum dan umur ikan atau ukuran ikan yang pertama matang gonad. Dasar
penentuan tingkat kematangan gonad antara lain dengan pengamatan ciri-ciri
morfologis secara makroskopis, yaitu bentuk, ukuran panjang, berat, dan warna.
Dalam menganalisis TKG digunakan klasifikasi Skala Kematangan Gonad dari
modifikasi Cassie dalam Effendie 1997.
Tabel 2. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Belanak (Mugil dussumieri)
(Effendie, 1997)
TKG
I

II

Jantan
Testes seperti benang, lebih pendek,
ujungnya di rongga tubuh, warna
jernih
Ukuran testes lebih besar, berwarna
putih susu, bentuk lebih jelas dari
TKG I

III

Permukaan testes nampak bergerigi,
warna makin putih,

IV

Seperti TKG III tampak lebih jelas,
testes makin pejal dan rongga tubuh
mulai penuh, warna putih susu

V

Testes bagian belakang kempis dan
bagian testes yang dekat pelepasan
masih terisi

Betina
Ovari seperti benang, panjang sampai ke
depan tubuh, warna jenih, permukaan
licin.
Ukuran lebih besar, pewarnaan gelap
kekuning-kuningan, telur belum terlihat
jelas
Ovari
berwarna
kuning,
secara
morfologi telur mulai kelihatan dengan
mata. Butir minyak terlihat
Ovari bertambah besar, telur berwarna
kuning, mudah dipisahkan, butir minyak
tidak tampak, ovari mengisi ½ - 2/3
rongga tubuh, usus terdesak
Ovari berkerut, dinding tebal, masih
terdapat sisa butir telur terdapat di
bagian posterior

7
Indeks kematangan gonad (IKG)
IKG adalah perbandingan dari berat gonad terhadap tubuh ikan.Nilai IKG
sebenarnya bisa dijadikan tingkat kematangan gonad. Peningkatan IKG akan
seiring dengan meningkatnya TKG ikan. Indeks gonad merupakan indikator
pengukur kematangan seksual ikan betina (Effendie, 1997).
IKG =
Keterangan:

IKG
BG
BT




x 100%

= Indeks Kematangan Gonad
= berat gonad
= berat tubuh

Fekunditas
Dalam analisis fekunditas digunakan dua metode, yaitu metode hitung
langsung dan metode gravimetrik. Cara metode hitung langsung ialah telur ikan
dihitung satu persatu. Sedangkan metode gravimetrik menggunakan pengukuran
berdasarkan bobot gonad (Effendie, 1997) :
F:x=G:Q
F = jumlah telur yang dicari
x = jumlah telur contoh
G = bobot gonad total
Q = bobot gonad contoh
Perhitungan fekunditas dapat dicari dengan rumus : F =
Keterangan:

��





F = fekunditas yang dicari
G = berat gonad total
V = volume pengenceran
X = jumlah telur yang ada dalam 10% dari sub gonad
Q = berat telur contoh

Diameter telur
Diameter telur merupakan garis tengah telur. Diameter telur diukur dengan
cara menaruh 100 butir telur diatas cawan petri kemudian diamati satu persatu
dengan menggunakan jangka sorong.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hubungan Panjang dan Berat
Ikan sapu-sapu yang ditangkap dan diamati selama penelitian berjumlah
97 ekor yang terdiri atas 37 ekor ikan sapu-sapu jantan dan 60 ekor ikan sapusapu betina (Lampiran 1). Pada ikan sapu-sapu betina jumlah ikan terbanyak

8
didapat pada selang kelas panjang antara 39,93-44 cm, sedangkan pada ikan sapusapu jantan jumlah terbanyak didapat pada selang kelas panjang antara 44,1048,18 cm (Gambar 3). Hubungan panjang berat ikan sapu-sapu jantan (Gambar 4)
diperoleh berdasarkan persamaan W = 0,068L2,403 dengan koefisien determinasi
(R2) sebesar R² = 63,80%dan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,7987
menunjukkan bahwa pertambahan panjang tidak mempengaruhi pertambahan
berat ikan. Hubungan panjang berat ikan sapu-sapu betina (Gambar 5) diperoleh
berdasarkan persamaan W =0,010L2,922 dengan koefisien determinasi (R2) sebesar
R² = 87,40%dan koefisien korelasi (r) yang mendekati nilai 1, yaitu sebesar
0,9348 menunjukkan bahwakorelasi antara panjang dan berat ikan sangat erat.
Hubungan panjang berat ikan sapu-sapu disajikan pada Lampiran 2.
25

Frekuensi

20
15
10
Jantan
5

Betina

0

Selang Kelas (cm)

Gambar 3. Sebaran selang kelas panjang ikan sapu-sapu jantan dan betina
(Pterygoplichthys pardalis)
1400
W = 0,068L2,403
R² = 63,80%
n = 37

1200

Berat (gr)

1000
800
600
400
200
0
0.0

10.0

20.0

30.0

40.0

50.0

60.0

Panjang (cm)

Gambar 4. Hubungan panjang berat ikan sapu-sapu jantan
(Pterygoplichthys pardalis)

70.0

9
1800
1600

W = 0,010L2,922
R² = 87,40%
n = 58

Berat (gram)

1400
1200
1000
800
600
400
200
0
0.0

20.0

40.0

60.0

80.0

Panjang (cm)

Gambar 5. Hubungan panjang berat ikan sapu-sapu betina
(Pterygoplichthys pardalis)
Hasil uji statistik terhadap nilai b pada ikan sapu-sapu jantan sebesar 2,403,
sedangkan nilai b pada ikan sapu-sapu betina sebesar 2,922. Pola pertumbuhan
ikan sapu-sapu jantan maupun betina ialah isometrik (pertumbuhan berat sama
cepat dengan pertumbuhan panjang).

Faktor kondisi rata-rata

Faktor kondisi
Faktor kondisi rata-rata ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis)
berfluktuasi pada masing-masing bulan pengamatan, baik ikan jantan maupun
ikan betina disajikan pada Gambar 6. Ikan sapu-sapu jantan memiliki nilai faktor
kondisi rata-rata tertinggi pada bulan Juli yaitu sebesar 0,7639 dan nilai terendah
sebesar 0,6319 yaitu pada bulan Maret. Pada ikan sapu-sapu betina nilai faktor
kondisi rata-rata tertinggi pada bulan Juli yaitu sebesar 0,8487 dan nilai terendah
pada bulan Maret yaitu sebesar 0,7485. Puncak faktor kondisi ikan sapu-sapu
jantan dan betina tertinggi terjadi pada bulan Juli, sedangkan nilai faktor kondisi
rata-rata terendah terjadi di bulan Maret. Nilai faktor kondisi dan standar deviasi
ikan sapu-sapu jantan dan betina disajikan pada Lampiran 3.
1.00
0.90
0.80
0.70
0.60
0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
0.00

Jantan
Betina

Maret

Juli

Agustus

Bulan Pengamatan

Gambar 6. Faktor kondisi ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) jantan
dan betina berdasarkan bulan pengamatan

10
Ukuran pertama kali matang gonad
Ukuran pertama kali matang gonad merupakan ukuran panjang ikan
tertentu saat pertama kali matang gonad. Ukuran yang didapat pada ikan sapusapu betina adalah pada kisaran panjang 37,3 cm – 43,4 cm. Untuk ikan sapu-sapu
jantan tidak didapatkan hasil karena TKG 4 tidak ditemukan selama penelitian.
Nisbah kelamin
Nisbah kelamin merupakan perbandingan jumlah proporsi ikan jantan dan
betina di suatu perairan. Nilai nisbah kelamin bervariasi pada setiap pengamatan.
Total jumlah ikan sapu-sapu jantan yang tertangkap sebanyak 37 ekor dan ikan
betina sebanyak 60 ekor. Dari analisa data dengan menggunakan uji Chi-square
(Lampiran 5) didapatkan perbandingan rasio jantan dan betina adalah 1:3,25 pada
bulan Maret, rasio 1:1,06 pada bulan Juli, dan rasio 1: 1,31 pada bulan Agustus.
Kondisi ini menunjukkan bahwa selama bulan penelitian didapatkan ikan betina
lebih dominan di perairan dibanding ikan jantan (Tabel 3).
Tabel 3. Nisbah kelamin ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis)
Bulan Pengamatan

n

Maret
Juli
Agustus

34
33
30

Jumlah (ind)
jantan
betina
8
16
13

26
17
17

Perbandingan (%)
jantan
betina
24
48
43

76
52
57

Tingkat Kematangan Gonad
Nilai frekuensi relatif dari tingkat kematangan gonad (TKG) ikan sapusapu dihitung berdasarkan selang kelas maupun berdasarkan bulan pengamatan.
Dilihat berdasarkan selang kelas panjang nya, nilai frekuensi relatif tertinggi ikan
sapu-sapu jantan terdapat pada TKG 1 sebesar 18,92% dan nilai terendah terdapat
pada TKG 3 yaitu sebesar 2,7%, sedangkan pada ikan sapu-sapu betina, nilai
frekuensi relatiftertinggi terdapat pada TKG 4 yaitu sebesar 25% dan nilai
frekuensi terendah sebesar 1,7% terdapat pada TKG 1, 2, 3, dan 4.

Frekuensi Relatif (%)

35.00
30.00
25.00

TKG 4

20.00

TKG 3

15.00

TKG 2

10.00

TKG 1

5.00
0.00

Selang Kelas

Gambar 7. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ikan sapu-sapu jantan
(Pterygoplichthys pardalis) berdasarkan selang kelas panjang

11

Frekuensi Relatif (%)

35.0
30.0
25.0
20.0
15.0

TKG 4

10.0

TKG 3

5.0

TKG 2

0.0

TKG 1

Selang Kelas

Gambar 8. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ikan sapu-sapu betina
(Pterygoplichthys pardalis) berdasarkan selang kelas panjang
Jika dilihat berdasarkan bulan pengamatan nya, pada ikan sapu-sapu jantan
nilai frekuensi relatif tertinggi terdapat pada TKG 1 di bulan Agustus, yaitu
sebesar 62% (Gambar 7). Pada ikan sapu-sapu betina, nilai frekuensi relatif
tertinggi terdapat pada TKG 4 di bulan Juli dan Agustus, sedangkan nilai
frekuensi relatif terendah terdapat pada bulan Maret (Gambar 8). Pada bulan Juli
dan Agustus, ikan sapu-sapu betina diduga sedang mengalami matang gonad
karena pada bulan-bulan ini TKG 4 paling banyak ditemukan.

Frekuensi Relatif (%)

120
100
80
TKG 4

60

TKG 3
40

TKG 2

20

TKG 1

0
Maret

Juli

Agustus

Bulan Pengamatan

Gambar 9. Tingkat Kematangan gonad ikan sapu-sapu jantan
(Pterygoplichthys pardalis) berdasarkan bulan pengamatan

12

Frekuensi Relatif (%)

120
100
80
TKG 4

60

TKG 3
40

TKG 2

20

TKG 1

0
Maret

Juli

Agustus

Bulan Pengamatan

Gambar 10. Tingkat Kematangan gonad ikan sapu-sapu betina
(Pterygoplichthys pardalis) berdasarkan bulan pengamatan
Indeks Kematangan Gonad
Nilai indeks kematangan gonad (IKG) rata-rata ikan sapu-sapu betina
bervariasi dengan nilai IKG tertinggi pada selang kelas antara 41,2–45,8 yaitu
sebesar 18,1239 dan nilai terendah terdapat pada selang kelas 27,4–31,9 yaitu
sebesar 0,0506. Sedangkan pada ikan sapu-sapu jantan nilai indeks kematangan
gonad tertinggi terdapat pada selang kelas antara 41,2–45,8 yaitu sebesar 0,4145
dan nilai terendah terdapat pada selang kelas 36,6-41,1 yaitu sebesar 0,0579. Pada
selang kelas 27,4–31,9 dan selang kelas 32,0–36,5 nilai IKG adalah 0.
Hasil perhitungan nilai indeks kematangan gonad (IKG) berdasarkan
tingkat kematangan gonad (TKG) menunjukkan bahwa nilai IKG tertinggi pada
ikan sapu-sapu betina ialah pada TKG IV yaitu sebesar 8,45%, sedangkan pada
ikan sapu-sapu jantan nilai IKG tertinggi pada TKG III yaitu sebesar 0,14%.
4.00

IKG rata-rata (%)

3.50
3.00
2.50
2.00

Jantan

1.50

Betina

1.00
0.50
0.00
Maret

Juli

Agustus

Bulan Pengamatan

Gambar 11. Indeks Kematangan Gonad ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys
pardalis) berdasarkan bulan pengamatan

13

Nilai indeks kematangan gonad ikan sapu-sapu jantan pada bulan Maret
sebesar 0,0375, pada bulan Juli sebesar 0,0701, dan pada bulan Agustus sebesar
0,0718. Pada ikan sapu-sapu betina, nilai indeks kematangan gonad pada bulan
Maret sebesar 3,0635, pada bulan Juli sebesar 2,2406, dan pada bulan Agustus
sebesar 1.3689.
9.00

IKG rata-rata (%)

8.00
7.00
6.00
5.00
4.00

Jantan

3.00

Betina

2.00
1.00
0.00
I

II

III

IV

Tingkat Kematangan Gonad

Gambar 12. Hubungan Indeks Kematangan Gonad dengan Tingkat Kematangan
Gonad ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis)
Pada grafik hubungan indeks kematangan gonad dengan tingkat
kematangan gonad terlihat bahwa nilai IKG tertinggi pada ikan sapu-sapu betina
terdapat pada TKG IV sedangkan pada ikan sapu-sapu jantan nilai IKG tertinggi
terdapat pada TKG III. Pada ikan sapu-sapu jantan, nilai IKG pada TKG IV
bernilai 0 karena tidak ditemukan TKG IV pada ikan jantan.
Fekunditas
Berdasarkan perhitungan dengan metode grafimetrik, dari jumlah total
ikan sapu-sapu betina memiliki kisaran nilai fekunditas sebesar 207–1445 butir.
Pada bulan Maret, jumlah ikan betina TKG IV yang tertangkap sebanyak 14 ekor
dan memiliki kisaran nilai fekunditas sebesar 299–872 butir. Pada bulan Juli,
kisaran nilai fekunditas sebesar 478–1275 butir, sedangkan pada bulan Agustus,
kisaran nilai fekunditas sebesar 207–1445 butir. Hubungan antara fekunditas
dengan panjangtotal ikan sapu-sapu (Gambar 13) menunjukkan persamaan F=
0,000L2,220 yang memiliki koefisien korelasi (r) sebesar 0,5357. Hal ini
menunjukkan bahwa antara fekunditas dengan panjang totaltidak memiliki
korelasi yang erat. Hubungan fekunditas dengan berat total ikan sapu-sapu
(Gambar 14) menunjukkan persamaan F= 4,611W0,747 dengan nilai koefisien
korelasi (r) sebesar 0,5908 menunjukkan bahwa korelasi antara bobot total ikan
dengan fekunditas tidak erat.

14
1600

F= 0,000L2,220
R² = 0,287
r = 0.5357
n = 42

1400
Fekunditas

1200
1000
800
600
400
200
0
0

100

200

300

400

500

600

Panjang (mm)

Gambar 13. Hubungan fekunditas dengan panjang total ikan sapu-sapu
(Pterygoplichthys pardalis)
1600
F = 4,611W0,747
R² = 0,349
r = 0.5908
n = 42

1400
Fekunditas

1200
1000
800
600
400
200
0
0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

Berat (gram)

Gambar 14. Hubungan fekunditas dengan berat total ikan sapu-sapu
(Pterygoplichthys pardalis)
Diameter Telur
Ikan sapu-sapu memiliki ukuran diameter telur yang bervariasi dengan
ukuran berkisar antara 0,19 – 0,45 mm. Diameter telur dengan frekuensi tertinggi
terdapat pada selang kelas 0,25 – 0,27 dengan persentase 49% atau sebanyak 2046
butir. Sedangkan diameter telur dengan frekuensi terendah terdapat pada selang
kelas 0,43 – 0,45 mm dengan persentase sebesar 0,17% atau sebanyak 3 butir
(Lampiran 8). Dari sebaran diameter telur (Gambar 15) diperoleh modus
penyebaran satu puncak. Hal ini menunjukkan bahwa pola pemijahan ikan sapusapu adalah (total spawner) yaitu ikan yang memijah dengan mengeluarkan telur
sekaligus.

15
2500

Frekuensi

2000
1500
1000
500
0

Selang Kelas Diameter Telur (mm)

Gambar 15. Sebaran diameter telur ikan sapu-sapu betina
(Pterygoplichthys pardalis)

Pembahasan
Menurut Wakida-Kusunoki 2007, ikan sapu-sapu memiliki pola geometris
padakepala dan macan tutul seperti bintik hitam pada bagian bawah tubuh nya.
Kecepatan arus sungai yang rendah, predator yang sedikit, toleransi terhadap
perairan dengan kadar oksigen yang rendah, migrasi sesekali keatas tanah, dan
peluang makanan yang lebih besar, merupakan beberapa faktor ikan sapu-sapu
beralih habitat selama tahap kehidupan yang berbeda. Kulit sisik ikan sapu-sapu
merupakan sisik yang menyerupai lempengan lapisan yang keras dan tajam.
Potensi predator ikan sapu-sapu yang sedikit, menjadikan adaptasi habitat seperti
kecepatan air atau persediaan makanan, berperan lebih penting dalam membentuk
distribusinya.
Ikan sapu-sapu di sungai Ciliwung memiliki kisaran panjang total ikan 27,460 cm dengan kisaran panjang sapu-sapu betina berkisar antara 27,4-59 cm dan
berat total 140–1350 gram. Jika dibandingkan dengan penelitian Abdurrahman
1997, yaitu dengan jenis ikan sapu-sapu lainnya yaitu Hyposarcus pardalis yang
ditangkap di Situ Rawa Besar Depok, maka ukuran ikan sapu-sapu
Pterygoplichthys pardalis mempunyai kisaran panjang dan berat total yang lebih
besar dibanding ikan sapu-sapu Hyposarcus pardalis yang hanya memiliki kisaran
panjang total 25,8-46,5 cm dan berat total 176,1-676,4 gram. Hasil penelitian
Dhika 2013, menyebutkan bahwa ikan sapu-sapu Pterygoplichthys pardalis di
sungai Ciliwung di wilayah Depok memiliki kisaran panjang 26-38 cm dan di
wilayah Jakarta memiliki kisaran panjang 22-38,5 cm. Adanya perbedaan panjang
ikan antara wilayah Bogor, Depok, dan Jakarta diduga karena sungai Ciliwung
daerah Depok dan Jakarta lebih tercemar dibanding dengan sungai Ciliwung di
wilayah Bogor.
Persamaan hubungan panjang berat ikan sapu-sapu jantan adalah
W=0,068L2,403 (R2= 63,80%) sedangkan ikan betina adalah W=0,010L2,922 (R² =
87,40%). Hasil analisis pada uji t untuk nilai b pada ikan sapu-sapu jantan sebesar

16
2,4035 dan nilai b pada ikan sapu-sapu betina sebesar 2,9219. Nilai b pada ikan
jantan hampir memiliki nilai yang sebanding dengan penelitian ikan sapu-sapu
oleh Samat dkk 2008 dengan nilai b sebesar 2,538. Baik ikan jantan maupun ikan
betina memiliki pola pertumbuhan isometrik. Nilai faktor kondisi baik ikan sapusapu jantan maupun betina memiliki nilai tertinggi pada bulan Juli. Hal ini diduga
karena pada saat bulan Juli ikan sapu-sapu memiliki kemampuan hidup yang baik
serta mendapat asupan nutrisi yang cukup untuk mencapai matang gonad sehingga
nilai faktor kondisi tinggi pada bulan ini. Faktor kondisi ikan betina lebih tinggi
dibanding ikan jantan. Nilai faktor kondisi ikan jantan dan betina masing-masing
0,6319-0,7639 dan 0,7485-0,8487 dengan rata-rata 0,6987 dan 0,7955 (Lampiran
3). Ini menunjukkan bahwa ikan betina lebih mampu untuk bertahan hidup
dibanding ikan jantan. Faktor kondisi ikan bergantung pada berbagai faktor
eksternal lingkungan dan faktor biologis, diantaranya kematangan gonad untuk
reproduksi (Manik 2009).
Selama penelitian diperoleh 97 ekor ikan sapu-sapu yang terdiri atas 60 ekor
betina dan 37 ekor jantan. Hasil analisis uji Chi-square yang didapat
menghasilkan perbandingan rasio ikan jantan dan betina pada penelitian ini
sebesar 1:1,87 atau 38%:62%. Kondisi ini menunjukkan perbedaan yang nyata
sehingga dapat dikatakan tidak seimbang (1:1), karena proporsi ikan betina lebih
dominan daripada ikan jantan. Adanya perbedaan dalam proporsi kelamin bisa
disebabkan karena faktor eksternal maupun faktor internal. Faktor internal dapat
berupa tingkah laku ikan, perbedaan laju mortalitas dan pertumbuhan, sedangkan
faktor eksternal berupa ketersediaan makanan dan kepadatan populasi (Effendie
2002).
Ukuran pertama kali matang gonad ikan sapu-sapu betina adalah 37,3-43,4
cm (Lampiran 4). Pada ikan jantan tidak ditemukan adanya TKG 4 pada penelitian
ini. Menurut Najamuddin dkk 2004, ukuran ikan pada saat pertama kali matang
gonad menjadi indikator ketersediaan stok reproduktif.
Nilai indeks kematangan gonad (IKG) ikan sapu-sapu jantan lebih kecil
dibanding dengan ikan sapu-sapu betina baik berdasarkan bulan pengamatan
maupun berdasarkan tingkat kematangan gonad (Gambar 11,12). Berdasarkan
bulan pengamatan, nilai IKG rata-rata ikan jantan dan betina masing-masing
sebesar 0,0701-0,0735 dan 1,3689-3,0365. Ikan betina memiliki nilai IKG
tertinggi di bulan Maret. Berdasarkan tingkat kematangan gonad, ikan sapu-sapu
jantan dan betina memiliki nilai IKG rata-rata masing-masing sebesar 0,13-0,14 %
dan 0,14-8,45 %. Nilai IKG rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Agustus. Hal ini
diduga karena pada bulan Agustus, nilai bobot gonad total yang didapat lebih
besar dibanding bulan lainnya. Semakin tinggi tingkat perkembangan gonad,
maka perbandingan antara berat tubuh dan berat gonad semakin besar. Tingginya
nilai rata-rata indeks kematangan gonad ikan sapu-sapu pada bulan Agustus
menunjukkan bahwa pada bulan tersebut merupakan puncak pemijahan.
Nilai fekunditas total yang dihitung berdasarkan metode gravimetrik
berkisar antara 207-1445 butir. Abdurrahman 1997 menyatakan bahwa ikan sapusapu Hyposarcus pardalis di Situ Rawa Besar Depok memiliki kisaran nilai
fekunditas sebesar 1338-9037 butir. Ikan sapu-sapu P. Pardalis memiliki nilai
fekunditas yang lebih kecil jika dibandingkan dengan Hyposarcus pardalis.
Perbedaan nilai fekunditas ini diduga karena kondisi sungai Ciliwung yang sudah
tercemar dibanding wilayah Situ Rawa Besar Depok. Menurut Alfisyahrin 2013,

17
kandungan logam berat timbal (Pb) pada ikan sapu-sapu di sungai Ciliwung telah
melewati ambang batas baku mutu yang telah ditetapkan pemerintah. Diameter
telur ikan sapu-sapu berkisar antara 0,19-1,45 mm dengan nilai rata-rata sebesar
0,27085 mm. Modus diameter telur berada pada selang kelas antara 0,25-0,27 mm
dengan frekuensi sebesar 2046 butir (Gambar 15). Hoar dalam Abdurrahman 1997
menyatakan bahwa jika waktu pemijahan pendek, maka semua telur masak yang
terdapat dalam ovarium akan berukuran sama.
Kondisi lingkungan perairanyang tercemar akan berpengaruh terhadap
fekunditas dan diameter telur ikan, seperti hasil dari penelitian Setyawati 2011
yang menunjukkan bahwa senyawa pestisida organofosfat yang dipaparkan pada
ikan nila akan menurunkan berat ovarium, menyebabkan kerusakan pada struktur
histologi ovarium, serta menurunkan fekunditas yang ditandai penurunan jumlah
produksi telur dalam ovarium ikan nila merah. Selain itu juga pada penelitian
Gueye 2013 menyatakan bahwa padat polutan dari industri dan domestik juga
dapat menyebabkan kerusakan pada insang ikanyang menyebabkan respirasi
menjadi terganggu. Secara bersama-sama, faktor-faktor ini akan mengakibatkan
ikan stresssehingga hal ini menjadi faktor pembatas ikan untuk reproduksi
individu di daerah ini. Saat musim hujan, peningkatan masukan air tawar dari
curah hujan dapat membantu mengencerkan polutan sehingga meringankan ikan
dari stress. Oleh karena itu, pemijahan tertinggi selama musim penghujan dapat
dikaitkan dengan tingginya pengenceran kontaminan dari curah hujan.Tingkat
pencemaran yang semakin tinggi akan menyebabkan persentase daya tetas telur
yang kecil seperti penelitian Prahastuti 2013 yang menyatakan bahwa semakin
besar konsentrasi deterjen, maka semakin kecil persentase daya tetas telur
(hatching rate) pada setiap harinya. Dari penelitian Syamsuri 2006 juga
menyatakan bahwa pencemaran oleh estradiol-17β di sungai Brantas menurunkan
jumlah telur ikan nila secara signifikan dan tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap pertumbuhan gonad dan kualitas telur ikan nila yang meliputi berat
gonad, penampang telur, dan berat telur.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Tingkat kematangan gonad ikan sapu-sapu jantan tertinggi terdapat pada
TKG 1 di bulan Agustus, sedangkan ikan sapu-sapu betina nilai tertinggi terdapat
pada TKG 4 di bulan Juli dan Agustus. Nilai indeks kematangan gonad tertinggi
pada ikan sapu-sapu betina terdapat pada TKG IV, sedangkan ikan sapu-sapu
jantan pada TKG III. Musim pemijahan ikan sapu-sapu di sungai ciliwung adalah
bulan Juli dan Agustus. Tipe pemijahan ikan sapu-sapu adalah total spawner.
Saran
Penelitian berkelanjutan mengenai reproduksi ikan sapu-sapu di sungai
Ciliwung agar lebih mendapatkan informasi lengkap mengenai pola pemijahan
ikan setiap tahun sehingga dapat dikendalikan jumlah populasi nya serta agar ikan
asli sungai Ciliwung dapat dilestarikan.

18

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, I. 1997. Beberapa aspek Biologi Reproduksi Ikan Sapu-Sapu
(Hyposarcus pardalis Castelnau) di situ Rawa Besar Depok, Jawa
Barat. Depok (ID): Universitas Indonesia. 34 hlm.
Alfisyahrin, N. F. 2013. Distribusi Logam Berat Timbal (Pb) Dalam Daging Ikan
Sapu-Sapu (Pterygoplichthys pardalis) di Sungai Ciliwung. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor. 32 hlm.
Ariana. 2013. Makalah Kultur Hias; Ikan Sapu-sapu (Hypostomus plecostomus).
Makassar (ID): Universitas Hasanuddin. 14 hlm.
Dhika, L. R. 2013. Kandungan Logam Berat Kadmium (Cd) Dalam Daging Ikan
Sapu-Sapu (Pterygoplichthys pardalis) di Sungai Ciliwung. Bogor
(ID). Institut Pertanian Bogor: 30 hlm.
Effendie, M. I. 1997. Metoda Biologi Perikanan. Bogor (ID): Yayasan Dewi Sri.
112 hlm
Effendie, M. I. 2002. Biologi Perikanan. Yogyakarta (ID): Yayasan Pustaka
Nusatama. 163 hlm.
Gueye, M, Kantoussan J, and Tine M. 2013. The Impact Of Environmental
Degradation On Reproduction OfThe Black-Chinned Tilapia
Sarotherodon melanotheron From Various Coastal Marine,
Estuarine and Freshwater Habitats. C R Biologies Volume 336 issue
7. 342–353.
Hadiaty.R & Wowor, D. 2011.Study of Fish Diversity and the Lost of Fish
Species of River Ciliwung and R. Cisadane. Pusat Penelitian
Biologi-LIPI.Cibinong.
Jabarsyah, H.A, Cahyadi J, Usman D. 2006.Aspek Reproduksi Ikan Kurisi Bali
(Aprion Virescens) di Perairan Pulau Derawan dan Sekitarnya. FPIK
Universitas Borneo Tarakan. Tarakan
Manik, N. 2009. Hubungan Panjang-Berat dan Faktor Kondisi Ikan Layang
(Decapterus russelli) dari Perairan Sekitar Teluk Likupang Sulawesi
Utara. UPT Loka Konservasi Biota Laut Bitung – LIPI. 65-74 hlm
Najamuddin, Mallawa A, Budimawan, dan Muh. Y. N. Indar. 2004. Pendugaan
Ukuran Pertama Kali Matang Gonad Ikan Layang Deles (Decapterus
macrosoma bleeker). Makassar (ID): J. Sains & Teknologi, April
2004,Vol. 4 No. 1:1-8 hlm
Prahastuti M. S, Ain C, dan Sulardiono B. 2013. Dampak Surfaktan Berbahan
Aktif Na-ABS Terhadap Daya Tetas Telur Ikan Karper
(CyprinusCarpio) Dalam Skala Laboratorium. Diponegoro Journal
Of Maquares. Volume 2, No. 4.11-17 hlm.
Rahmawati, I. 2006. Aspek Biologi Reproduksi Ikan Beunteur (Puntius Binotatus
C. V. 1842, Famili Cyprinidae) Di Bagian Hulu Daerah Aliran
Sungai (Das) Ciliwung, Jawa Barat. Bogor: (ID). Institut Pertanian
Bogor. 86 hlm.
Samat A, Shukor M. N, Mazlan A.G, Arshad A and Fatimah, M.Y. 2008. LengthWeight Relationship and Condition Factor of Pterygoplichthys
pardalis (Pisces: Loricariidae) in Malaysia Peninsula. Research
Journal of Fisheries and Hydrobiology, 3(2): 48-53 hlm.

19
Setyawati I, Wiratmini N. I, Wiryatno J. 2011. Pertumbuhan, Histopatologi
Ovarium Dan Fekunditas Ikan Nila Merah(Oreochromis niloticus)
Setelah Paparan Pestisida Organofosfat. Bali (ID): Jurnal Biologi
Volume XV No.2. 44-48 hlm.
Syamsuri, 2006. Pencemaran Oleh Estradiol-17β di sungai Brantas Dapat
Menimbulkan Feminisasi Organisme Perairan. Biologi FMIPA
Universitas Negeri Malang. 25 hlm.
Wakida-Kusunoki A. T, Ruiz-Carus R, And Amador-Del-Angel E. 2007. Amazon
Sailfin Catfish, Pterygoplichthys Pardalis (Castelnau, 1855)
(Loricariidae), Another Exotic Species Established In Southeastern
Mexico. The Southwestern Naturalist: vol. 52, no. 1
Yudo, Satmoko. 2010. Kondisi Kualitas Air Sungai Ciliwung di Wilayah DKI
Jakarta Ditinjau Dari Parameter Organik, Amoniak, Fosfat, Deterjen,
dan Bakteri Coli. Pusat Teknologi Lingkungan (BPPT). Jakarta.

20

LAMPIRAN
Lampiran 1 Data Ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis)
Waktu
Maret
2014

Panjang Berat
Jenis
(gr) Kelamin
(cm)
36
42,3
46,8
46,9
52,7
53,8
54,9
58
38,5
39,9
43,8
37,6
40,2
42,2
42,2
45,6
46,8
46,9
47,5
49
49,2
49,4
51,3
51,9
53,5
56,2
42,2
43
43,1
48,2
42,1
48

280 Betina
450
800
790
1200
1180
890
1230
420
420
650
400
480
500
610
790
1150
700
780
870
1050
920
1080
1100
1230
1240
540
530
440
760
410
740

Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan

Berat
Gonad

TKG

IKG
(%)

0,32

1

0,11

0,94
1,43
1,65
2,14
2,69
1,83
1,56
2,70
5,57
7,37
36,61
33,33
52,82
66,26
68,41
29,47
64,39
49,05
43,20
66,51
62,16
60,39
84,18
85,91
58,39
0,53
0,42
1,14
0,63
0,89
1,11

1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
1
1
1
1
2
2

0,21
0,18
0,21
0,18
0,23
0,21
0,13
0,64
1,33
1,13
9,15
6,94
10,56
10,86
8,66
2,56
9,20
6,29
4,97
6,33
6,76
5,59
7,65
6,98
4,71
0,10
0,08
0,26
0,08
0,22
0,15

Fekunditas

405
314
574
347
442
426
767
560
299
756
620
418
540
642
669
798
872
615

21

Juli 2014

Agustus
2014

51
60
27,4
28,9
37
55
35,5
40
40,5
42
42,1
42,3
43,5
43,6
43,7
44,4
44,5
45,7
49,1
33,2
37,2
40,8
43,9
45,7
46,3
49,1
39
42,6
46
46,1
50
51,2
51,6
52,7
47,8

880
1210
140
180
360
1240
465
670
440
850
590
630
1000
730
590
810
630
850
820
270
385
560
880
775
920
600
580
560
700
590
1125
890
910
1010
750

Jantan
Jantan
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan

0,68
1,90
0,07
0,09
0,35
1,58
0,79
56,43
48,19
61,06
56,94
63,94
62,41
83,83
80,09
67,16
43,71
55,35
75,54
0,21
0,27
0,41
0,61
0,62
0,36
0,53
0,17
0,66
1,00
1,14
1,24
1,48
1,66
1,29
0,90

2
3
1
1
1
1
2
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
1
1
1
1
1
1
1
2
2
2
2
2
2
2
2
3

0,08
0,16
0,05
0,05
0,10
0,13
0,17
8,42
10,95
7,18
9,65
10,15
6,24
11,48
13,58
8,29
6,94
6,51
9,21
0,08
0,07
0,07
0,07
0,08
0,04
0,09
0,03
0,12
0,14
0,19
0,11
0,17
0,18
0,13
0,12

44,4

610 Betina

1,09

1

0,18

59

1220 Betina

2,01

1

0,16

665
543
781
860
814
750
1275
1011
934
478
688
1064

22
41,1
42,5
48,2
36
36,4
38,5
40
40
41,2
42
45,5
49
52,7
53
53
41,5
43,5
45
47,1
47,2
47,2
48
48,6
39
41,3
43,7
46,5
55

420
520
865
325
450
430
470
750
550
660
640
1050
1300
1100
1350
520
800
790
650
590
680
790
400
550
530
500
570
1330

Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Betina
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan

0,61
1,01
0,71
20,93
52,47
27,48
50,82
79,92
19,17
60,89
68,90
141,95
161,80
102,82
122,73
0,26
1,58
2,89
0,99
0,56
1,02
0,74
1,15
0,89
0,88
0,58
0,21
2,14

2
2
2
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
1
1
1
1
1
1
1
1
2
2
2
2
2

0,15
0,19
0,08
6,44
11,66
6,39
10,81
10,66
3,49
9,23
10,76
13,52
12,45
9,35
9,09
0,05
0,20
0,37
0,15
0,09
0,15
0,09
0,29
0,16
0,17
0,12
0,04
0,16

212
521
279
671
755
207
565
762
1387
1445
991
1301

Lampiran 2 Hubungan panjang berat ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis)
jantan dan betina
a. Ikan sapu-sapu jantan
Koefisien
Perpotongan
Kemiringan
thit
ttab

0,068
2,403
1,94961
2,030108

thit