Yield regulation method for eucalypt plantation forest based on optimization of growing stock and soil erosion

(1)

EROSI TANAH

D A R W O

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “Metode Pengaturan Hasil Hutan Tanaman Eucalyptus Berdasarkan Optimasi Tegakan Persediaan Nyata dan Erosi Tanah” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2012


(3)

The grouping of site quality and controlling of soil erosion in eucalypt plantation forest is very important to be considered in the yield regulation method establishment. The objective of this research is to establish the yield regulation method that can provide the same yield every year with soil erosion constraint that does not exceed determined threshold. To achieve this objective the following stages are required: preparation of site quality class, determination of erosion hazard level and determination of residual stand density so that soil erosion can be tolerated. Data were collected from permanent sample plots and observations in the field. Stand characteristics, soil runoff and erosion were analyzed using regression, clustering site quality and soil erosion hazard level. The research results showed that yield regulation method based on optimization between growing stock and soil erosion control may giving both the optimal sustainable annual wood production and soil erosion control, so that land productivity can be maintained continuously. With this yield regulation method, the site quality is getting better, cutting cycle is getting shorter. Group of site index (Bonita) I and II has a maximum volume increment at the age of 8 years, while the bonita III and IV have a maximum volume increment at the age of 7 years. Soil erosion will increase with the increase of sloping terrain. While increasing stand age will decrease soil erosion. The maximum limit of tolerable soil erosion was at the slope of 33%. Slopes of 34-45%, 46-58%, and more than 58% , require crown cover of 21%, 38%, and 53% respectively which are equivalent to residual stand density of 288 trees/ha, 530 trees/ha, and 735 trees/ha respectively. The study found that the optimum cutting cycle in the eucalypt plantation forest is 7 years. The yield regulation method based on modified Von Mantel formula is AY’ is annual yield based on modified Von

Mantel formula, AY is annual yield based on Von Mantel formula, AG is actual growing stock, R is cutting cycle, and FkD is Darwo correction Factor for soil erosion constraint.


(4)

DARWO. Metode Pengaturan Hasil Hutan Tanaman Eucalyptus Berdasarkan Optimasi Tegakan Persediaan Nyata dan Erosi Tanah. Dibawah bimbingan ENDANG SUHENDANG, I NENGAH SURATI JAYA, HERRY PURNOMO, dan PRATIWI.

Hutan tanaman dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi guna memenuhi kebutuhan bahan baku indutri dengan menerapkan silvikultur sesuai dengan tapaknya. Suatu hamparan lahan di areal hutan tanaman secara spasial bisa beragam kualitas tempat tumbuh dan erosi tanah yang terjadi. Beragamnya kualitas tempat tumbuh dapat menimbulkan produksi kayu yang berbeda. Perbedaan tingkat erosi tanah yang terjadi dalam satu hamparan lahan akibat adanya variasi kondisi topografi. Lahan miring jika diolah secara terus-menerus tanpa melakukan teknik konservasi tanah, maka tanah akan tererosi sehingga produktivitas lahan akan menurun. Pengelompokan kualitas tempat tumbuh dan pengendalian erosi tanah di hutan tanaman menjadi penting untuk diketahui. Untuk itu, perlu dilakukan pengaturan hasil dengan memperhatikan kedua faktor tersebut.

Tujuan utama penelitian ini adalah menyusun rumusan metode pengaturan hasil hutan tanaman eucalyptus yang dapat memberikan panenan hasil yang sama setiap tahun dengan kendala tingkat erosi tanah yang tidak melebihi ambang batas yang ditentukan. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan tahapan: (1) menyusun kelas kualitas tempat tumbuh kawasan hutan tanaman eucalyptus berdasarkan indeks tempat tumbuh, (2) menentukan tingkat bahaya erosi di kawasan hutan tanaman eucalyptus berdasarkan Permenhut Nomor P.32/Menhut-II/2009, dan (3) menentukan kerapatan tegakan tinggal per hektar agar pada kemiringan lahan tertentu erosi tanah yang terjadi masih dapat ditoleransi.

Penelitian dilakukan di kawasan hutan tanaman eucalyptus PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) Sektor Aek Nauli, dan menurut wilayah administrasi termasuk ke dalam Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Secara geografis terletak antara 02°40’00”–02°50’00” LU dan 98°50’00”–99°10’00” BT. Jenis eucalyptus yang diteliti adalah Eucalyptus urograndis. E. urograndis merupakan jenis hibrid hasil persilangan dari Eucalyptus urophylla S.T. Blake dan Eucalyptus grandis

W.Hill ex Maid. E. urograndisdiperuntukan sebagai bahan baku industri pulp. Jenis tanah di lokasi penelitian adalah sebagian besar Tropudults (Latosol) dan sisanya jenis Dystropepts(Latosol Coklat).

Penelitian memperhatikan tiga aspek yaitu (a) pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus, (b) kualitas tempat tumbuh, dan (c) tingkat bahaya erosi yang terjadi di areal hutan tanaman eucalyptus. Untuk bahan penyusunan pertumbuhan dan hasil tegakan serta kualitas tempat tumbuh menggunakan data dari Petak Contoh Permanen

(Permanent Sample Plot = PSP) dengan luas PSP 0,02 ha dalam bentuk lingkaran

berjari-jari 11,28 m. Data parameter pertumbuhan tegakan yang dikumpulkan dari PSP yaitu peninggi, diameter, tinggi, luas bidang dasar, dan volume tegakan. Pengamatan erosi tanah dilakukan dengan menggunakan metode “Petak Percobaan Lapangan” untuk setiap kejadian hujan. Petak percobaan berukuran 22 x 4 m dipasang di areal tanah kosong, tegakan kelas umur 1, 2, 3, 4 dan 5 pada kemiringan lahan 9%, 15%, dan 25%. Analisis data menggunakan regresi, selanjutnya dilakukan pendugaan pertumbuhan dan hasil tegakan, penutupan tajuk, aliran permukaan dan erosi tanah setiap kejadian hujan, pengelompokan kualitas tempat tumbuh, penentuan tingkat bahaya erosi tanah dan penentuan kerapatan tegakan tinggal yang diperlukan pada kemiringan lahan tertentu agar erosi tanah yang terjadi masih dapat ditolensi (kurang dari 60 ton/ha/tahun).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode pengaturan hasil berdasarkan optimasi antara tegakan persediaan nyata dan erosi tanah dapat menghasilkan


(5)

semakin pendek daur tebang. Bonita I dan II, riap volume maksimum pada umur 8 tahun, sedangkan bonita III dan IV riap volume maksimum pada umur 7 tahun. Bonita I, II, III, dan IV menghasilkan riap tahunan rata-rata berturut-turut adalah 20,95 m3/ha/tahun; 32,40 m3/ha/tahun; 37,48 m3/ha/tahun; dan 40,86 m3/ha/tahun. Rata-rata volume tegakan pada akhir daur untuk bonita I, II, III, dan IV masing-masing adalah 171,77 m3/ha; 265,67 m3/ha; 266,09 m3/ha; dan 290,10 m3/ha.

Erosi akan meningkat dengan kondisi lahan semakin miring, namun semakin bertambah umur tegakan erosi semakin menurun. Titik rawan tingkat bahaya erosi tanah di kawasan hutan tanaman eucalyptus adalah pada lahan kosong. Pengelolaan hutan tanaman eucalyptus di PT TPL Sektor Aek Nauli pada jenis tanah Latosol sampai batas kemiringan lahan kurang dari 34%, aman dari bahaya erosi tanah. Supaya erosi tanah dapat ditoleransi (erosi tanah kurang dari 60 ton/ha/tahun berdasarkan Permenhut No. P.32/Menhut-II/2009 pada kedalam solum lebih dari 90 cm), maka pada kemiringan lahan 34–45%; 46–58%; dan 59–75% diperlukan penutupan tajuk berturut-turut adalah 21%; 38%; dan 53%.

Jika ditebang pada umur 8 tahun, maka pada kemiringan lahan 34–45%, 46– 58%, dan 59–75% diperlukan kerapatan tegakan tinggal berturut-turut adalah 279 phon/ha, 515 pohon/ha, dan 713 pohon/ha. Daur tebang 7 tahun dengan kemiringan lahan 34–45%, 46–58%, dan 59–75% diperlukan kerapatan tegakan tinggal berturut-turut adalah 288 phon/ha, 530 pohon/ha, dan 735 pohon/ha. Daur tebang 6 tahun dengan kemiringan lahan 34–45%, 46–58%, dan 59–75% diperlukan kerapatan tegakan tinggal berturut-turut adalah 300 pohon/ha, 553 pohon/ha, dan 766 pohon/ha. Daur tebang 5 tahun dengan kemiringan lahan 34–45%, 46–58%, dan 59–75% diperlukan kerapatan tegakan tinggal berturut-turut adalah 319 phon/ha, 588 pohon/ha, dan 815 pohon/ha. Pada bonita yang sama dengan semakin pendek daur tebang, maka membutuhkan kerapatan tegakan tinggal yang semakin tinggi akibatnya volume kayu yang dipanen semakin berkurang. Daur optimum eucalyptus untuk kelas perusahaan pulp berdasarkan tegakan persediaan nyata dan erosi tanah adalah 7 tahun.

Formula metode pengaturan hasil hutan tanaman eucalyptus berdasarkan optimasi antara tegakan persediaan nyata dan erosi tanah adalah:

, dimana lpt = luas penutupan tajuk tegakan tinggal pada umur daur (setelah ditebang) (m2), Lpt = luas penutupan tajuk tegakan pada umur daur (sebelum ditebang) (m2), li = luas lahan untuk kelompok kemiringan lahan ke-i (ha), (fp)i = faktor koreksi volume kayu yang dapat dipanen pada kelompok kemiringan lahan ke-i (nilai fp: 0 ≤ fp ≤ 1), n = banyaknya kelompok kemiringan lahan, AY’ = volume hasil kayu tebangan tahunan berdasarkan Formula Von Mantel yang telah dimodifikasi (m3/tahun), AY = volume hasil kayu tebangan tahunan berdasarkan Formula Von Mantel (m3/tahun), AG = tegakan persediaan nyata (m3), R = daur tebang (tahun), FkD (Faktor koreksi Darwo untuk kendala erosi tanah), yaitu nilai rata-rata tertimbang faktor koreksi tegakan dalam seluruh areal unit pengelolaan hutan dengan pembobot luas areal untuk setiap kelompok kemiringan lahan yang terdapat dalam unit pengelolaan hutan tersebut (nilai FkD: 0 ≤ FkD ≤ 1).


(6)

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa ijin IPB.


(7)

D A R W O

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(8)

1. Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.ScF.Trop 2. Dr. Dra. Nining Puspaningsih, M.Si

Penguji luar komisi pada ujian terbuka: 1. Dr. Ir. Putera Parthama, M.Sc


(9)

Nomor Pokok : E161070081

Program Mayor : Ilmu Pengelolaan Hutan

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir. Endang Suhendang,M.S. Prof.Dr.Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr.

Ketua Anggota

Dr.Ir. Herry Purnomo, M.Comp. Prof.(Ris.) Dr.Ir. Pratiwi, M.Sc. Anggota Anggota

Diketahui:

Ketua Program Studi Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Pengelolaan Hutan

Prof.Dr.Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Dr.Ir. Dahrul Syah, Msc.Agr


(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Disertasi yang berjudul “Metode Pengaturan Hasil Hutan Tanaman Eucalyptus Berdasarkan Optimasi Tegakan Persediaan Nyata dan Erosi Tanah” telah dilaksanakan antara bulan Februari 2010 sampai dengan Maret 2012.

Dengan selesainya penelitian dan penulisan disertasi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, MS; Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya M.Agr; Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp.; dan Prof.(Ris.) Dr. Ir. Pratiwi, M.Sc. selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, perhatian, dorongan, saran, dan masukan.

2. Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.ScF.Trop; Dr. Dra. Nining Puspaningsih, M.Si; Dr. Ir. Putera Parthama, M.Sc; dan Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, M.Sc.F.Trop. sebagai penguji luar komisi atas kesediaan untuk menguji dan memberikan saran serta masukan.

3. Pimpinan PT Toba Pulp Lestari beserta staf, Laboratorium Fisik Penginderaan Jauh Fahutan IPB dan para pihak yang telah membantu dalam proses penelitian.

4. Kementerian Kehutanan yang telah memberikan beasiswa.

5. Kepada orang tua (Alm), istri, anak tercinta dan pihak-pihak lain atas segala dukungan dan doa dalam penyelesaian penelitian ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2012


(11)

Tarkiyah (Alm). Penulis menikah dengan Ir. Indah Sakti Siddik pada tahun 1996 dan kami dianugerahi seorang putra Muhammad Rafi Aulia dan dua putri, yaitu Hana Salsabila dan Maitsa Fadilah. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, lulus pada tahun 1990. Pada tahun 2000 penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pasca Sarjana IPB dan selesai pada tahun 2004. Kesempatan melanjutkan ke jenjang program doktor di Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pasca Sarjana IPB pada tahun 2007 atas beasiswa dari Kementerian Kehutanan.

Penulis bekerja sejak tahun 1992 sampai 2007 sebagai Peneliti di Balai Penelitian Kehutanan Pematang Siantar, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan, mulai tahun 2007 sampai sekarang penulis bertugas sebagai peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Penelelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan, di Bogor.


(12)

Halaman

DAFTAR TABEL ………... v

DAFTAR GAMBAR ……….... vi

DAFTAR LAMPIRAN ……… ix

PENDAHULUAN ………... 1

Latar Belakang …...………... 1

Rumusan Masalah …...………... 3

Tujuan Penelitian …...………... 4

Hipotesis ………... 5

Kerangka Pemikiran Penelitian ..……….... 5

Manfaat Penelitian ………... 6

Kebaruan (Novelty) Hasil Penelitian yang Diharapkan …….……... 7

TINJAUAN PUSTAKA ………... 9

Pembangunan Hutan Tanaman ………... 9

Karakteristik Tanaman Eucalyptus ……… 9

Pertumbuhan dan Hasil Tegakan ………... 12

Kualitas Tempat Tumbuh (Site Quality) ………... 15

Erosi Tanah ………... 16

Konservasi Tanah dan Air ………... 20

Pengaturan Hasil Hutan Kayu ………... 21

Sistem Informasi Geografis (SIG) ………... 25

Pemodelan Sistem dan Simulasi ………... 27

METODE PENELITIAN ………... 31

Waktu dan Tempat Penelitian ………... 31

Pengumpulan Data ………... 32

Pengolahan dan Analisis Data ………... 36

Analisis Spasial ... 40

Kajian Kelestarian Hasil ………... 41

Analisis Sistem ………... 42

HASIL DAN PEMBAHASAN... 45

Hasil ... 45


(13)

DAFTAR PUSTAKA ………... 99


(14)

Halaman

1 Hasil-hasil penelitian tentang pengaturan hasil ……….. 7

2 Erosi permukaan di hutan tropis dan sistem pohon-tanaman pangan ... 17 3 Kelas tingkat bahaya erosi menurut Permenhut Nomor

P.32/Menhut-II/2009 ... 20

4 Pengelompoken data PSP di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli ...

33

5 Pengelompokan data plot aliran permukaan dan erosi tanah di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli ...

35

6 Persamaan hubungan peninggi, diameter, tinggi dan volume tegakan di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli ...

45

7 Peninggi tegakan eucalyptus di setiap bonita di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli ……….

47

8 Model pendugaan diameter, tinggi dan volume tegakan untuk setiap bonita di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli ……..

48

9 Daur, riap tahunan rata-rata, dan volume tegakan untuk setiap kelas bonita di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli ...

50

10 Persamaan hubungan aliran permukaan dengan curah hujan dan persen kemiringan lahan di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli ...

52

11 Karakteristik lahan dan kondisi tegakan eucalyptus di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli ...

53

12 Pendugaan aliran permukaan, erosi tanah, dan penutupan tajuk di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli ………..

53

13 Etat luas dan etat volume tanpa mempertimbangkan faktor erosi tanah pada daur 5 tahun, 6 tahun, 7 tahun, dan 8 tahun di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli ………..

62

14 Etat luas dan etat volume dengan mempertimbangkan faktor erosi tanah pada daur 5 tahun, 6 tahun, 7 tahun, dan 8 tahun di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli ………


(15)

17. Hasil analisis biaya pembangunan hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli ……….


(16)

Halaman

1. Kerangka pemikiran penelitian ... 6 2. Ilustrasi pengaturan hasil formula Von Mantel... 25 3 Peta lokasi penelitian di hutan tanaman eucalyptus PT TPLSektor Aek

Nauli ………... 31

4. Plot pengamatan aliran permukaan dan erosi tanah di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli ...

34

5. Tahapan analisis spasial lahan yang aman dari bahaya erosi tanah di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli ………..

41

6. Kurva peninggi tegakan eucalyptus untuk setiap bonita di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli …...

47

7. Kurva pertumbuhan total diameter (A), tinggi (B), dan volume tegakan eucalyptus (C) di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli…

49

8. Kurva aliran permukaan (A) dan erosi tanah (B) pada kemiringan lahan 9%, 15%, dan 25% di lahan hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli ……...

54

9. Kurva penutupan tajuk hutan tanaman eucalyptus di PT TPL Sektor Aek Nauli .………...

54

10. Peta bonita di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli … 55 11. Tingkat bahaya erosi tanah yang terjadi di hutan tanaman eucalyptus

PT TPL Sektor Aek Nauli ………. 56

12. Hubungan keterkaitan antar sub model dalam pengaturan hasil di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli ……….….

57

13. Sub model pertumbuhan tegakan di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli ………...

58

14. Sub model pengaturan hasil di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli ………..

59

15. Sub model penutupan tajuk tegakan eucalyptus di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli ……….


(17)

eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli ………..……. 18. Erosi yang terjadi pada kemiringan lahan 34-45% (1); 46-58% (2); di

atas 58% (3); persen penutupan tajuk (4); dan ambang batas toleransi erosi (60 ton/ha/tahun) (5) di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli .……….

64

19. Titik BEP usaha pembangunan hutan tanaman eucalyptus di PT TPL Sektor Aek Nauli ……….

67

20. Grafik tingkat erosi tanah, penutupan tajuk, dan faktor koreksi volume tegakan yang dapat dipanen (fp) pada daur 5 tahun di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli ………..

68

21. Grafik tingkat erosi tanah, penutupan tajuk, dan faktor koreksi volume tegakan yang dapat dipanen (fp) pada daur 6 tahun di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli ………..

69

22. Grafik tingkat erosi tanah, penutupan tajuk, dan faktor koreksi volume tegakan yang dapat dipanen (fp) pada daur 7 tahun di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli ………..

70

23. Grafik tingkat erosi tanah, penutupan tajuk, dan faktor koreksi volume tegakan yang dapat dipanen (fp) pada daur 7 tahun di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli ………..

71

24. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita I pada daur 8 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli ……….

72

25. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita II pada daur 8 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli ……….

73

26. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita III pada daur 8 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli ……….

74

27. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita IV pada daur 8 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli ………..


(18)

tanah untuk bonita I pada daur 7 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli ……….. 29. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi

tanah untuk bonita II pada daur 7 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli ………..

77

30. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita III pada daur 7 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli ………..

78

31. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita IV pada daur 7 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli ………..

79

32. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita I pada daur 6 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli ………

80

33. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita II pada daur 6 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli ………

81

34. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita III pada daur 6 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli ………

82

35. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita IV pada daur 6 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli ………

83

36. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita I pada daur 5 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli ………...

84

37. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita II pada daur 5 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli ………

85

38. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita III pada daur 5 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli ………

86

39. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan eucalyptus serta erosi tanah untuk bonita IV pada daur 5 tahun di hutan tanaman PT TPL Sektor Aek Nauli ………


(19)

1. Data karakteristik tegakan eucalyptus di PT Toba Pulp Lestari Sektor Aek Nauli ………..

108

2. Data aliran permukaan dan erosi di lahan kosong ………. 115

3. Data aliran permukaan dan erosi di hutan tanaman eucalyptus kelas umur I ……… 118 4. Data aliran permukaan dan erosi di hutan tanaman eucalyptus kelas umur II ………... 121 5. Data aliran permukaan dan erosi di hutan tanaman eucalyptus kelas umur III ………. 124 6. Data aliran permukaan dan erosi di hutan tanaman eucalyptus kelas umur IV ………. 127 7. Data aliran permukaan dan erosi di hutan tanaman eucalyptus kelas umur V ………..…. 130 8. Persamaan penduga erosi tanah pada berbagai kemiringan lahan di hutan tanaman eucalyptus PT TPL Sektor Aek Nauli ………. 132 9. Foto kondisi lahan dan tegakan eucalyptus di PT TPL Sektor Aek Nauli ……….. 134 10. Hasil analisis regresi peninggi, diameter, tinggi, dan volume tegakan dengan umur tegakan …... 135 11. Hasil analisis regresi pada bonita I ……….………… 137

12. Hasil analisis regresi pada bonita II ………... 140

13. Hasil analisis regresi pada bonita III ………. 143

14. Hasil analisis regresi pada bonitaIV …………... 146

15. Hasil analisis regresi hubungan aliran permukaan dan erosi dengan curah hujan dan kemiringan lahan ………... 149 16. Kuantifikasi model ……… 155


(20)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Hutan tanaman dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi guna memenuhi kebutuhan bahan baku indutri dengan menerapkan silvikultur sesuai dengan tapaknya (Dephut 1999). Pembangunan hutan tanaman di Indonesia dimaksudkan untuk dapat meningkatkan produktivitas lahan hutan dengan berlandaskan kepada prinsip kelestarian hasil. Untuk mencapai kelestarian hasil diperlukan kondisi hutan normal yaitu hutan yang dibentuk oleh tegakan-tegakan yang pertumbuhannya normal yang memenuhi syarat-syarat konsep ideal susunan umur tegakan, besarnya volume tegakan persediaan, sebaran ukuran pohon-pohon dalam tegakan dan riap tegakan (Helms 1998). Kelestarian hasil menyatakan bentuk prinsip yang dipegang dalam pengelolaan tegakan hutan yang bersifat dapat memberikan hasil secara lestari, sedangkan hutan normal menyatakan bentuk wujud hutan yang menjadi syarat agar daripadanya dapat diperoleh hasil secara lestari (Suhendang 1999).

Untuk mencapai kelestarian hasil diperlukan rencana pengelolaan jangka panjang, dimana pengaturan hasil merupakan komponen utamanya. Pengaturan hasil merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengontrol hasil hutan dan produk lainnya dalam preskripsi rencana pengelolaan termasuk kapan, dimana, dan bagaimana hasil seharusnya dapat dipanen (FAO 1998). Prinsip dasar dalam pengaturan hasil adalah mengatur panenan kayu yang sama setiap tahun secara terus-menerus dalam jangka panjang (Roise et al. 2000). Kelestarian hasil tegakan akan dicapai apabila pertumbuhan dan panen berlangsung secara seimbang. Kelestarian hasil dipakai sebagai prinsip dasar dalam pemanenan dan sangat bergantung pada sistem pengaturan hasil yang digunakan.

Pada saat ini, metode pengaturan hasil dalam hutan tanaman dirumuskan hanya berdasarkan pada aspek produksi, sedangkan dampak yang terjadi seperti erosi tanah belum diperhatikan dalam metode pengaturan hasil. Pembangunan hutan tanaman tidak hanya memfokuskan keberlanjutan fungsi produksi, namun perlu juga memperhatikan keberlanjutan fungsi lindung. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa pengelolaan hutan harus dilaksanakan dalam rangka mengoptimalkan


(21)

pengelolaan hutan tanaman yang baik, maka metode pengaturan hasil yang perlu diterapkan, yaitu (1) bagaimana mengatur hasil hutan tanaman berdasarkan tingkat produktivitas lahan, dan (2) bagaimana melindungi lahan hutan tanaman agar dampak erosi tanah yang terjadi dapat diminimalisir.

Keberlanjutan panenan menunjukkan jumlah volume kayu yang ditebang sama, baik kuantitas maupun kualitas secara terus-menerus dalam periode jangka panjang. Adanya keragaman kualitas tempat tumbuh mengakibatkan produksi tegakan suatu jenis tertentu di lokasi yang satu dengan lokasi lainnya tidak selalu sama (Jayaraman & Rugmini 2008). Oleh karena itu, perlu dilakukan pengelompokkan kualitas tempat tumbuh agar setiap tahun luas tebangan dan volume kayunya sama. Pengaturan hasil dengan mengatur luas tebangan yang sesuai dengan produktivitas lahan berarti mengelola vegetasi dalam suatu bentang alam yang terkait dengan tingkat produktivitas tegakan (Krebs 1994). Pemanenan yang melebihi kapasitas pertumbuhan tegakan setempat akan menyebabkan tidak tercapainya asas kelestarian, dan sebaliknya apabila intensitas pemanenan terlampau rendah berarti pemanfaatan hutan tanaman tidak optimal. Seperti terjadi di hutan tanaman jati di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Cepu, KPH Randublatung dan KPH Blora tidak mencapai prospek pengelolaan yang baik karena penebangan lebih besar dari volume kayu yang ditentukan setiap tahunnnya (Kuncahyo 2006). Panenan harus diatur sedemikian rupa sehingga tetap tidak melampui kapasitas sumberdaya hutannya (Seydack 1995).

Kehadiran vegetasi pada suatu areal mampu mengendalikan bahaya erosi tanah. Vegetasi mampu mengendalikan laju aliran permukaan sehingga dapat mengurangi bahaya erosi tanah (Sukirno 1995). Tingkat penurunan erosi tanah tergantung pada komposisi jenis dan tipe penutupannya (Arrijani et al. 2006; Arsyad 2006; Asdak 2007). Pada lahan hutan dengan kemiringan antara 8,75 – 16,5% hampir tidak menimbulkan erosi tanah, sedangkan pada lahan yang tidak ditumbuhi tanaman erosinya hampir mencapai 45 ton/ha/tahun (Bennet 1995). Pada hutan tanaman Acacia mangium selama tiga tahun pertama setelah tanam telah menimbulkan aliran permukaan yang tinggi sehingga menimbulkan erosi


(22)

tanah yang tinggi, hal ini diakibatkan tajuk tanaman belum menutupi (Pratiwi 2007). Berkurangnya penutupan lahan oleh vegetasi terutama di lahan-lahan miring mengakibatkan laju aliran permukaan dan erosi tanah meningkat (Ispriyanto et al. 2001). Berkurangnya tutupan tajuk dan kondisi lereng yang miring akan meningkatkan potensi perusakan tanah oleh jatuhnya air hujan (Hamilton dan King 1997; Sukresnoet al. 2002). Peningkatan erosi tanah dalam jangka panjang akan mengakibatkan menurunnya kesuburan tanah. Penurunan kesuburan tanah akan menyebabkan penurunan produktifitas sumberdaya lahan (Ispriyanto et al. 2001).

Pengaturan hasil hutan menjadi sangat penting, karena hampir semua ekses yang ditimbulkan dalam kelola hutan produksi bersumber dari adanya pemanenan kayu. Hal ini perlu dilakukan suatu pengkajian yang mendalam menyangkut metode pengaturan hasil di hutan tanaman untuk mendapatkan produksi yang lestari dengan mempertimbangkan kualitas tempat tumbuh dan dampak erosi tanah yang terjadi. Untuk itu, penelitian perlu dilakukan di areal yang tingkat topografinya yang beragam. Salah satu lokasi yang dipilih adalah hutan tanaman eucalyptus di Provinsi Sumatera Utara yang dikembangkan oleh PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) untuk kelas perusahaan kayu serat (pulp) yang berada di daerah dataran tinggi. Jenis eucalyptus yang diteliti adalah Eucalyptus urograndis. E.

urograndis merupakan jenis hasil persilangan antara Eucalyptus urophylla S.T.

Blake dengan Eucalyptus grandis W.Hill ex Maid. Jenis eucalyptus ini cocok dikembangkan di daerah tropis (Harwood 1998; Leksono 2010) yang dipanen pada umur 6 - 7 tahun (Harmoko 2004; Quilho et al. 2006), dan layak untuk digunakan sebagai bahan baku pulp pada umur 4 – 5 tahun (Sihite 2008).

Rumusan Masalah

Untuk mewujudkan pengelolaan hutan tanaman eucalyptus secara

berkelanjutan, maka produktivitas harus dipertahankan bahkan ditingkatkan dari periode tebang yang satu ke periode tebang berikutnya (Nambiar 2004). Kelestarian produksi dari hutan tanaman sangat ditentukan oleh keeratan hubungan antara peubah yang saling mempengaruhi produktivitas lahan hutan, yaitu kualitas tempat tumbuh, pertumbuhan dan hasil tegakan, dan dampak erosi tanah yang terjadi (Nambiar & Brown 1997).


(23)

akan datang. Kualitas tempat tumbuh biasanya dinyatakan dengan kelas kualitas tempat tumbuh (bonita) yang dapat digunakan sebagai dasar pendelenasian kawasan hutan ke dalam unit-unit pengelolaan yang homogen (Daviset al. 2001).

Penyusunan pengaturan hasil hutan tanaman eucalyptus harus didukung tersedianya data/informasi potensi tegakan yang dihadapi saat ini, dan kemampuan memproyeksikan potensi masing-masing tegakan di setiap kelas kualitas tempat tumbuh pada saat menjelang tebangan. Data potensi tegakan saat ini dapat diketahui dengan kegiatan inventarisasi hutan, sedangkan proyeksi struktur tegakan menjelang tebangan dapat dijabarkan dengan bantuan model pertumbuhan dan hasil tegakan.

Atas dasar permasalahan di atas, maka masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Sejauhmanakah kualitas tempat tumbuh kawasan hutan tanaman eucalyptus? 2. Bagaimanakah tingkat bahaya erosi yang terjadi di kawasan hutan tanaman

eucalyptus?

3. Berapakah kerapatan tinggal per hektar pada kemiringan lahan tertentu agar erosi tanah yang terjadi masih dapat ditoleransi?

4. Dengan memperhatikan permasalahan 1, 2 dan 3, maka bagaimanakah rumusan metode pengaturan hasil hutan tanaman eucalyptus yang dapat memberikan panenan hasil yang sama setiap tahun dengan kendala tingkat erosi tanah yang tidak melebihi ambang batas yang ditentukan?

Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah menyusun rumusan metode pengaturan hasil hutan tanaman eucalyptus yang dapat memberikan panenan hasil yang sama setiap tahun berdasarkan tegakan persediaan nyata dengan kendala tingkat erosi tanah yang tidak melebihi ambang batas yang ditentukan. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan tahapan:

1. Menyusun kelas kualitas tempat tumbuh kawasan hutan tanaman eucalyptus berdasarkan indeks tempat tumbuh.


(24)

2. Menentukan tingkat bahaya erosi di kawasan hutan tanaman eucalyptus berdasarkan Permenhut No. P.32/Menhut-II/2009.

3. Menentukan kerapatan tegakan tinggal per hektar agar pada kemiringan lahan tertentu erosi tanah yang terjadi masih dapat ditoleransi.

Hipotesis

Untuk menjawab permasalahan penelitian seperti yang telah diuraikan di atas dapat diajukan tiga hipotesis sebagai berikut:

1. Kelas kualitas tempat tumbuh dapat mempengaruhi produksi tegakan eucalyptus.

2. Kondisi lahan, curah hujan dan kelas umur tegakan eucalyptus akan mempengaruhi tingkat bahaya erosi tanah.

3. Erosi tanah pada tingkat kemiringan lahan tertentu akan menentukan kerapatan tegakan tinggal per hektar.

Kerangka Pemikiran Penelitian

Beragamnya kualitas tempat tumbuh telah menghasilkan produksi kayu yang berbeda (Devis et al. 2001), dan kondisi topografi yang beragam dapat menimbulkan erosi yang berbeda (Arsyad 2006). Pengelompokan kualitas tempat tumbuh merupakan salah satu cara untuk mengatur luas dan hasil tebangan yang sama setiap tahun. Pengendalian erosi tanah sampai batas yang ditoleransi dapat mempertahan tingkat produktivitas lahan secara berkelanjutan. Dengan demikian, pengelompokan kualitas tempat tumbuh dan pengendalian bahaya erosi tanah merupakan suatu metode pengaturan hasil yang perlu dikaji di lahan hutan tanaman (Gambar 1).


(25)

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat, kepada berbagai pihak dengan rincian sebagai berikut:

a. Bagi para pengambil kebijakan di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten. Penelitian ini akan menyajikan informasi dan pembelajaran dari studi kasus untuk mendukung pengelolaan hutan tanaman.

b. Bagi kelompok akademisi. Penelitian ini akan memberikan sumbangan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dalam analisis pengaturan hasil, khususnya untuk diterapkan pada upaya pengembangan hutan tanaman.

c. Bagi pelaku pengelola hutan tanaman. Hasil penelitian akan memberikan informasi dan pembelajaran dari studi kasus, tentang hambatan yang dihadapi

Model indeks tempat tumbuh

Metode pengaturan hasil berdasarkan optimasi antara tegakan persediaan nyata dan erosi tanah

Model pertumbuhan dan

hasil tegakan

Model erosi di berbagai kondisi lahan Ya Tidak Kemiringan lahan Peninggi Umur tegakan Volume tegakan Curah Hujan Kondisi lahan Kelas kualitas tempat tumbuh Tingkat produktivitas tegakan

Erosi di berbagai kondisi & kemiringan lahan

Penutupan tajuk Jumlah pohon per hektar yang

tidak ditebang Analisis

pengaturan hasil


(26)

dan solusinya dalam rangka merumuskan metode pengaturan hasil di kawasan hutan tanaman.

Kebaruan (Novelty) Hasil Penelitian yang Diharapkan

Penelitian yang telah dilakukan dalam pengaturan hasil pada saat ini masih terfokus pada aspek produksi hal ini seperti yang telah dilakukan oleh Perum Perhutani (1974), Dephut (1989), Suhendang (1993), Seydack (1995), Wahyono (1995), Krisnawati (2001), Baroto (2001), Kuncahyo (2006), van Gardingen et al. (2006) (Tabel 1). Namun dampak lingkungan seperti erosi tanah belum ditelaah dalam metode pengaturan hasil di hutan tanaman. Oleh karena itu, rancangan kebaruan (novelty) hasil penelitian yang diharapkan dari penelitian ini adalah rumusan tentang metode pengaturan hasil berdasarkan optimasi antara tegakan persediaan nyata dan erosi tanah. Sebagai gambaran mengenai keaslian rumusan masalah penelitian yang telah dilakukan ini, dapat dilihat dari masalah-masalah yang telah diteliti dari penelitian-penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil-hasil penelitian tentang pengaturan hasil

No. Kategori Sumber

1. Pengaturan hasil berdasarkan luas dan volume Perum Perhutani (1974) 2. Pengaturan hasil berdasarkan luas dan volume Dephut (1989)

3. Pengaturann hasil berdasarkan jumlah pohon Suhendang (1993) 4. Pengaturan hasil berdasarkan volume dan riap Wahjono (1995) 5. Pengaturan hasil berdasarkan luas dan volume Seydack (1995) 7. Pengaturan hasil berdasarkan jumlah pohon Krisnawati (2001) 8. Pengaturan hasil berdasarkan luas dengan

volume, dan volume dengan riap

Baroto (2001)

9. Pengaturan hasil berdasarkan tegakan

persediaan, riap tegakan dan gangguan hutan

Kuncahyo (2006)

10. Pengaturan hasil berdasarkan luas dan volume van Gardingen et al. (2006)

Dari data pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa metode pengaturan hasil yang telah dilakukan berdasarkan: (a) luas dan volume, (b) jumlah pohon, (c) volume dan riap, dan (d) tegakan persediaan, riap tegakan dan gangguan hutan.


(27)

(28)

TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan Hutan Tanaman

Hutan Tanaman Industri (HTI) berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok industri kehutanan untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan. Indonesia telah mengupayakan pembangunan HTI dalam rangka merehabilitasi kawasan hutan yang tidak/kurang produktif atau mengalami degradasi, agar mampu menghasilkan produk kayu untuk memenuhi bahan baku industri kehutanan (Kustiawan 2006). Program HTI diharapkan dapat meningkatkan produktivitas tegakan, kualitas tempat tumbuh tetap terjaga, dan terpenuhinya pasokan bahan baku bagi kepentingan industri serta penyerapan lapangan usaha (Dephut 1999).

Pada tahun 1990-an telah dibangun HTI secara besar-besaran dengan berlandaskan kepada PP No. 7 tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI). Tujuan pembangunan HTI yaitu:

1. Meningkatkan produktivitas, potensi dan kualitas kawasan hutan produksi yang tidak produktif.

2. Memenuhi kebutuhan bahan baku industri.

3. Menunjang pengembangan industri hasil hutan guna meningkatkan nilai tambah dan devisa.

4. Memperbaiki mutu lingkungan hidup.

5. Memperluas kesempatan kerja dan kesempatan usaha.

Berdasarkan PP No. 6 Tahun 1999 bahwa tujuan pembangunan hutan tanaman adalah untuk memperbaiki potensi hutan yang terlanjur rusak dan untuk memenuhi bahan baku industri, sehingga membangun HTI sama dengan merehabilitasi kawasan hutan produksi yang kritis dan tidak produktif.


(29)

Australia, Selandia Baru, Papua New Guinea, Filipina, Kepulauan Pasifik Selatan, dan Indonesia bagian Timur (Kepulauan Timor dan sekitarnya, Irian Jaya, Pulau Seram, dan Sulawesi). Pada umumnya pohon eucalyptus berbatang bulat, lurus tidak berbanir dan sedikit cabang, berbentuk semak sampai berbentuk pohon. Daun eucalyptus pada umumnya berbentuk lanset sampai bulat telur, bagian ujung agak berkait, panjang daun 10 - 15 cm, lebar 1,5 - 5 cm. Pada pohon yang masih muda kedudukan daun berhadapan, sedangkan pada pohon yang sudah tua kedudukan daun agak bersilang. Bunga eucalyptus mengumpul atau berbongkol dan bertangkai. Buah berbentuk bulat seperti lonceng dengan ukuran 6 - 16 mm, berwarna hijau kekuningan, berisi banyak biji (Sutisna et al. 1998). Pada umumnya jenis-jenis Eucalyptus spp. berukuran besar dengan tajuk pohon jarang dan bebas cabang tinggi sekali. E.urophyllamerupakan jenis cepat tumbuh. Jenis

E.urophyllayang unggul diameter pohonnya bisa mencapai 120 cm dengan tinggi

35 m, sedangkan jenis E. grandis mempunyai keistimewaan dapat mencapat tinggi pohon 45 - 55 m dan diameter pohon 1 - 2 m dengan bebas cabang yang sangat tinggi mencapai tiga perempat dari tinggi total (Dirjen RRL 1998). E.

grandis merupakan jenis eucalyptus yang sangat cepat dalam pertumbuhannya

terutama pohon dapat mencapai tinggi di atas 75 m dengan warna kulit batang putih kehijauan yang halus (Eldridge et al.1993).

Tanaman eucalyptus dapat tumbuh mulai dari dataran rendah (di tepi pantai) sampai pada ketinggian 2.400 m dpl. Tanaman ini menyukai daerah tropis, curah hujan antara 500 - 2.000 mm/tahun, suhu antara 22 - 32,5oC dan dapat hidup pada berbagai jenis tanah. Persyaratan tumbuh, baik keadaan tanah maupun lingkungan berbeda-beda tergantung jenisnya, jenis E. urophylla merupakan jenis yang tumbuh alami di bagian Timur Indonesia yaitu di Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Gunung Mutis Soe. Jenis ini menyukai kawasan yang beriklim kering dengan type hujan C, D dan E dari Schimdt dan Ferguson, tumbuh tersebar pada ketinggian 200 – 1.500 m dpl dan masih di jumpai di daerah tertentu pada ketinggian sampai 2.300 m dpl dengan curah hujan 1.300 – 2.400 mm/tahun. Tumbuh baik pada tanah alluvial dan sarang, tanah berdrainase baik


(30)

dan bersifat toleran terhadap tanah padat dan asam, tanah miskin zat mineral dan kandungan air kurang serta relatif tahan terhadap api. Musim bunga jenis ini berlangsung antara bulan Januari hingga Maret, buah masak yang siap dipanen biasanya pada bulan Juni hingga September, dan pembuahan terjadi setiap tahun secara periodik (Yulianti & Kurniawati 2003).

Jenis E.grandismenghendaki iklim C dan D, ketinggian tempat sekitar 0 -800 m dpl, curah hujan tahunan rata-rata 1.000 – 3.500 mm dengan temperatur maksimum sekitar 24 - 300C. Tumbuh baik pada lahan datar atau dengan kemiringan yang tidak curam, serta tumbuh pada tanah alluvial di tempat-tempat dekat air tetapi tidak tergenang air dan mengandung lempung. Musim berbunga dan berbuah jenis ini antara bulan Januari sampai Agustus (Boland et al.1989).

E. urograndis (E. urophylla x E. grandis) merupakan hasil persilangan

antara E. urophylla dan E. grandis, sehingga E. urograndis diharapkan dapat tumbuh pada tempat tumbuh kedua tetuanya. Di Indonesia E. urograndis

diusahakan dalam skala luas oleh PT Toba Plup yang berada di Kabupaten Simalungun, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara. Di Brazil tanaman E.

urograndistumbuh baik pada tanah jenis Ultisol dan Oxisol yang bersolum dalam

dan memiliki kapasitas menyimpan air sedang, pada curah hujan rata-rata 900 – 1.500 mm per tahun. E. urograndis dapat tumbuh baik pada ketinggian tempat antara 0 – 3.000 m dpl dan suhu rata-rata 25°C, suhu maksimum 29°C dan suhu minimum sekitar 20°C (Gonçalves et al.1997).

Jenis eucalyptus menyukai cahaya dan selalu hijau sepanjang tahun. Pada waktu muda pertumbuhan diameter dan tingginya termasuk cepat (Napitupulu 1995). Menurut Mackensen (2000), eucalyptus membutuhkan tapak dengan tanah yang dalam dan pasokan air yang cukup serta membutuhkan perawatan yang intensif, terutama dalam hal pengendalian tanaman pengganggu. Menurut Eldridge et al. (1993), jenis Eucalyptus spp. banyak memerlukan cahaya namun kurang memberikan naungan. Perkembangan akar tunggang ke arah vertikal sangat cepat dan dapat mencapai kedalaman 4 meter dan perkembangan perakaran lateral juga intensif sehingga eucalyptus harus ditanam pada tanah dengan solum yang cukup tebal.


(31)

merupakan informasi sangat penting untuk keberhasilan pengelolaan hutan, karena informasi tersebut merupakan dasar penyusunan rencana pengelolaan yang merupakan titik tolak tingkat perolehan hasil dan pencapaian asas kelestarian. Pemanenan yang melebihi kapasitas pertumbuhan tegakan akan menyebabkan tidak tercapainya asas kelestarian, tetapi sebaliknya apabila intensitas pemanenan terlampau rendah berarti pemanfaatan sumberdaya hutan tidak optimal dan mengurangi pendapatan usaha.

Pertumbuhan dan hasil tegakan berkaitan erat satu sama lain karena hasil suatu tegakan merupakan akumulasi riap dari tegakan yang bersangkutan selama periode tumbuhnya atau sampai waktu tertentu (Spurr 1952). Pertumbuhan tegakan merupakan tulang punggung ilmu pengelolaan hutan yang bertujuan menghasilkan kayu (Simon 2007).

Pertumbuhan/Riap menyatakan pertambahan atau perubahan

dimensi/kuantitas pohon atau tegakan dalam periode waktu tertentu, sedangkan hasil adalah dimensi akhir tegakan atau total produksi yang diperoleh pada akhir periode waktu tertentu atau saat pemanenan (Vanclay 1994). Bahkan bisa menyatakan pertambahan luas bidang dasar, diameter atau tinggi pohon dalam periode tertentu (Simon 2007). Prodan (1968) mendefinisikan pertumbuhan sebagai suatu sistem organik di dalam waktu tertentu yang diukur menurut satuan panjang, berat, isi dan luas.

Dalam ukuran kuantitatif, pada umumnya informasi pertumbuhan dan hasil tegakan dirangkum dalam bentuk model pertumbuhan atau model hasil yang merupakan hubungan parameter tegakan dengan umur. Vanclay (1994) menerangkan bahwa model pertumbuhan dan model hasil dapat digunakan:

1. Untuk menilai produktivitas hutan.

2. Untuk memprediksi hasil kayu (volume kayu) pada masa yang akan datang. 3. Untuk menguji beberapa pilihan teknik silvikultur dan pemanenan.

4. Untuk menentukan pemanenan secara lestari.

5. Untuk memperoleh informasi dampak pengelolaan hutan dan pemanenan terhadap nilai hutan lainnya.


(32)

Model pertumbuhan dan hasil adalah alat penting untuk mengevaluasi karakteristik hutan (Vanclay 1994; Soareset al 1995). Sementara banyak model telah dikembangkan untuk mensimulasikan pertumbuhan dan hasil hutan, hanya beberapa model telah dikembangkan dan diterapkan untuk mendukung rencana pengelolaan hutan (van Gardingen et al. 2006). Oleh karena itu, model pertumbuhan dan hasil harus disusun di setiap unit pengelolaan hutan tanaman.

Didasari pernyataan bahwa pertumbuhan adalah perubahan dimensi tegakan dalam periode waktu tertentu. Apabila periode waktu dibuat 1 tahun, maka pertumbuhan adalah riap tahun berjalan (Current Annual Increment- CAI). CAI merupakan turunan (differential) pertama dari model hasil. Riap tahunan rata-rata

(Mean Annual Increment – MAI) merupakan bentuk informasi sederhana dari

gambaran pertumbuhan tegakan. Dengan melihat MAI secara mudah dapat dibayangkan perkembangan tegakan yang bersangkutan. Sebagai contoh suatu tegakan pada umur 8 tahun mempunyai MAI sebesar 25 m3/ha/tahun, maka dengan cepat diperhitungkan bahwa volume tegakan pada umur 8 tahun adalah 200 m3/ha.

Riap diameter dan tinggi pohon merupakan komponen yang penting dalam menentukan riap volume. Riap volume suatu tegakan bergantung pada kepadatan (jumlah) pohon yang menyusun tegakan tersebut, jenis, dan kesuburan tanah. Riap volume suatu pohon dapat dilihat dari kecepatan tumbuh diameter, yang setiap jenis mempunyai laju yang berbeda-beda (Simon 2007). Kondisi pertumbuhan tersebut dikenal dengan model sigmoid (mengikuti bentuk S terhadap waktu), yaitu pada awal pertumbuhan meningkat perlahan, kemudian cepat, selanjutnya lambat sampai konstan dan akhirnya berhenti pada umur tanaman tua (Prodan 1968).

Penentuan CAI dan MAI sangat penting dalam penentuan daur volume maksimum yaitu titik perpotongan antara kurva CAI dengan kurva MAI dimana tegakan mencapai riap volume maksimum. Oleh karena itu, umur tersebut ditetapkan sebagai daur volume maksimum (Simon 2010).

Pohon sebagai komponen penyusun ekosistem tidak dapat terlepas dari komponen ekosistem lainnya. Komponen ekosistem tersebut saling berpengaruh dan terkait satu sama lain secara simultan dan akan mempengaruhi pertumbuhan


(33)

faktor lingkungan, dan tindakan silvikultur. Faktor-faktor lingkungan yang berhubungan dengan pertumbuhan pohon dapat dipilah menjadi kerapatan tegakan, kondisi iklim dan kondisi tanah (Bruce & Schumacher 1950; Kramer & Kozlowski 1960).

Produktivitas yang tinggi dari jenis cepat tumbuh merupakan daya tarik bagi pengusaha untuk berinvestasi pada hutan tanaman. Hutan alam pada umumnya mempunyai riap yang rendah sebesar 1 - 2 m3/ha/tahun (Nambiar & Brown 1997), sedangkan riap di hutan tanaman antara 10 - 25 m3/ha/tahun dan bahkan dapat mencapai 50 m3/ha/tahun untuk jenis-jenis tertentu (Evans 1992).

Riap jenis-jenis eucalyptus sangat beragam tergantung faktor lingkungan dan managemen yang diterapkan. Di Brazil, MAI eucalyptus dengan daur tebang 8 - 10 tahun dapat mencapai 18 – 20 m3/ha/tahun, di Kongo dengan daur tebang 7 tahun mencapai 30 m3/ha/tahun, di Rwanda pada daur tebang 8 tahun menghasilkan 8,5 m3/ha/tahun, di Afrika Selatan dengan daur tebang 8 - 10 tahun mencapai 18 – 20 m3/ha/tahun, dan di Burundi pada daur tebang 8 tahun hanya mencapai antara 1 – 2 m3/ha/tahun (FAO 1993; Nambiar & Brown 1997).

E. urograndis telah dikembangkan secara luas dalam skala operasional di

Afrika Selatan dan Kongo. Produktivitas E. urograndis sangat tinggi dan memiliki riap tahunan rata-rata sebesar 70 m3/ha/tahun (Campinhos 1993). Sedangkan di Brazil E. urograndis menghasilkan MAI dengan kisaran 12 - 48 m3/ha/tahun (Gonçalves et al. 1997).

Produktivitas E. urograndissangat ditentukan oleh jenis tanah dan besarnya curah hujan tahunan. Di Brazil, MAI E. urograndis sebesar 30 m3/ha/tahun dengan curah hujan kurang dari 1.000 mm/tahun, curah hujan antara 1.000 - 1.200 mm/tahun sekitar 30 - 37 m3/ha/tahun. Sedangkan pada areal yang mempunyai curah hujan lebih dari 1.200 mm/tahun MAI mencapai 38 - 58 m3/ha/tahun (Fisher & Binkley 2000).


(34)

Kualitas Tempat Tumbuh (Site Quality)

Dalam konteks pengelolaan hutan produksi, kualitas tapak (kualitas tempat tumbuh) dipandang sebagai potensi produksi dari suatu tapak bagi jenis tertentu. Potensi produksi tersebut merupakan resultanse dari interaksi antara jenis yang bersangkutan dengan berbagai faktor meliputi kondisi tanah (sifat fisik, komposisi kimia, kandungan hara, dan mikroorganisme tanah), dan kondisi iklim (temperatur, jumlah dan distribusi hujan sepanjang tahun, dan kelembaban udara), serta karakteristik topografi (Bruce & Schumacher 1950; Husch et al. 2003).

Penentuan kualitas tempat tumbuh sangat terkait dengan banyaknya kayu yang dapat dihasilkan dari suatu lahan hutan. Produktivitas kayu dari suatu lahan hutan dan kualitas tempat tumbuh didefinisikan oleh Davis et al. (2001) sebagai jumlah volume maksimum yang dapat dihasilkan dari suatu lahan hutan dalam daur tertentu, sehingga dapat dijelaskan seberapa baik suatu lahan dan berapa banyak kayu yang dapat dihasilkan dari pertumbuhannya. Kualitas tempat tumbuh merupakan nilai petunjuk (indeks) yang berhubungan dengan produktivitas kayu. Hasil ini semakin menegaskan hubungan yang erat antara kualitas tempat tumbuh dengan produktivitas kayu yang dapat dihasilkan dari suatu lahan hutan. Semakin baik kualitas tempat tumbuh, maka produktivitas kayu yang dihasilkan juga akan semakin besar.

Indeks tempat tumbuh (site index) merupakan pendekatan yang paling umum digunakan untuk menaksir kualitas tempat tumbuh pada pengelolaan hutan.

Site index didefinisikan sebagai tinggi pohon maksimum pada umur tertentu

sebagai dasar penentuannya (Davis et al. 2001). Metode ini menduga kualitas tempat tumbuh secara tidak langsung dengan menggunakan paremeter umur dan peninggi. Dalam pengelolaan tegakan jati, kelas kualitas tempat tumbuh disebut juga dengan bonita. Menurut Davis et al. (2001) pendekatan kelas kualitas tempat tumbuh ini lebih baik daripada metode pendugaan yang menggunakan pendekatan karakterisitik tanah maupun komposisi tumbuhan bawah, karena tinggi pohon merupakan parameter yang paling praktis, bersifat konsisten dan indikator yang berguna untuk menduga produktivitas kayu dari suatu tempat tumbuh (tapak). Hal ini dikarenakan pertumbuhan peninggi pada pohon-pohon dominan dalam strata tajuk atas peka terhadap perbedaan kualitas tempat tumbuh, mempunyai


(35)

Indeks tempat tumbuh menunjukkan rata-rata tinggi dari pohon dominan pada berbagai variasi umur yang dibuat untuk spesies tertentu pada suatu daerah (Davis et al. 2001). Setiap spesies memiliki kecepatan pertumbuhan yang berbeda-beda pada berbagai macam kondisi tempat tumbuh, oleh karena itu grafik bonita hanya berlaku untuk spesies tertentu pada tempat tumbuh tertentu pula.

Kurva site index dibuat berdasarkan sebaran data pertumbuhan dalam bentuk peninggi pada setiap umur. Bentuk kurva pertumbuhan dapat mengikuti model anomorphic maupun polymorphic. Kurva anomorphic dikembangkan dengan mencocokan rata-rata peninggi dengan umur panduan (akhir daur) yang didasarkan pada data dan menyusun rangkaian dari kurva tertinggi atau terendah dengan bentuk kurva yang seragam sesuai dengan kurva panduan (Davis et al. 2001). Asumsi yang dibangun pada bentuk kurva anomorphic adalah koefisien variasi dari peninggi tegakan yang digunakan untuk menentukan kurva panduan adalah konstan. Kurva ini memiliki keterbatasan yaitu secara rinci dari hasil analisis batang, pohon yang tumbuh pada tempat yang berbeda tidak semuanya menunjukkan bentuk kurva pertumbuhan meninggi yang sama (Davis et al. 2001). Kurva anomorphic lebih banyak digunakan dalam pembuatan site index tegakan dengan variabel terikatnya berupa peninggi dan sebagai variabel bebasnya adalah umur tegakan, sehingga bentuk persamaan yang dihasilkan sederhana, mudah dan memiliki bentuk pertumbuhan yang mendekati dengan pertumbuhan tegakan yang sebenarnya (Onyekwelu 2005).

Erosi Tanah

Erosi tanah adalah suatu peristiwa hilang atau terkikisnya tanah atau bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain, baik disebabkan oleh pergerakan air, angin, dan es. Di daerah tropis seperti Indonesia, erosi terutama disebabkan oleh air hutan. Menurut Arsyad (2006), erosi terjadi akibat interaksi kerja antara faktor iklim, topografi, vegetasi dan manusia. Pratiwi (2007) menyatakan bahwa erosi sangat ditentukan antara lain oleh kelerengan, jenis tanah, dan jenis/umur tanaman. Semakin tinggi kelerengan, semakin tinggi erosi tanah. Jenis-jenis tanah yang peka terhadap erosi akan mempercepat sedimentasi. Lebih lanjut Pratiwi dan


(36)

Mindawati (2005) menyatakan bahwa pada hutan tanaman Acacia mangiumerosi akan menurun dengan bertambahnya umur tegakan. Hal ini terjadi juga di hutan tanaman E. pellita dengan semakin tua umur tegakan, tingkat erosi semakin menurun (umur tegakan 2 tahun erosi yang terjadi 6,55 ton/ha/tahun, umur 3 tahun besarnya erosi 6,07 ton/ha/tahun, dan umur 4 tahun erosinya menjadi 4,39 ton/ha/tahun) (Wibowo et. al. 2010). Semakin bertambah umur tegakan, maka akan terjadi peningkatan jumlah serasah sehingga akan menahan laju aliran permukaan dan akibatnya akan terjadi penurunan erosi tanah.

Faktor tanah yang mempengaruhi erosi dan sedimentasi yang terjadi adalah luas jenis tanah yang peka terhadap erosi, luas lahan kritis atau daerah erosi dan luas tanah berkedalaman rendah. Sedangkan kondisi sifat tanah yang baik yaitu kondisi solum yang dalam, porositas tanah yang tingi, dan permeabilitas yang tinggi akan menyebabkan besarnya nilai infiltrasi sehingga aliran permukaan menjadi kecil (Ispriyanto et al.2001).

Tabel 2. Erosi permukaan di hutan tropis dan sistem pohon – tanaman pangan

No. Penggunaan lahan Erosi (ton/ha/tahun)

Minimum Median Maksimum

1 Hutan alam 0,03 0,30 6,20

2 Ladang berpindah, periode bera 0,05 0,20 7,40

3 Perkebunan 0,02 0,60 6,20

4 Kebun pohon-pohonan multi strata 0,01 0,10 0,20

5 Tanaman pohon-pohonan dengan

tanaman penutup tanah/mulsa

0,10 0,80 5,60

6 Ladang berpindah, periode penanaman

0,40 2,80 70,00

7 Tumpang sari pertanian dengan hutan tanaman yang masih muda

0,60 5,20 17,40

8 Tanaman pohon-pohonan, disiangi bersih

1,20 48,00 183,00

9 Hutan tanaman, serasah dibersihkan atau dibakar

5,90 53,00 105,00

Sumber: Bruijnzeel (1988)dalamPurwanto dan Ruijter (2004)

Kecilnya aliran permukaan yang terjadi menyebabkan kecilnya erosi yang terjadi karena aliran permukaan merupakan media yang sangat penting sebagai pembawa masa tanah yang tererosi (Arsyad 2006; Asdak 2007). Besarnya erosi yang terjadi


(37)

Menurut Asdak (2007), proses erosi terdiri atas tiga bagian yang berurutan: pengelupasan (detachment), pengangkutan (transportation), dan pengendapan

(sedimentation). Erosi permukaan (tanah) disebabkan oleh air hujan dan juga

dapat terjadi karena tenaga angin dan salju.

Faktor-faktor yang mempengaruhi erosi

Menurut Asdak (2007), erosi merupakan akibat dari interaksi kerja antara faktor-faktor iklim, topografi, vegetasi, dan manusia. Pada daerah yang beriklim basah menurut Arsyad (2006), faktor iklim yang paling mempengaruhi erosi dan aliran permukaan adalah hujan. Jumlah intensitas dan distribusi hujan menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah, jumlah dan kecepatan aliran permukaan dan kerusakan tanah akibat erosi.

Menurut Arsyad (2006), faktor topografi yang berpengaruh terhadap erosi adalah kemiringan dan panjang lereng. Unsur lain yang berpengaruh adalah konfigurasi, keseragaman, dan arah lereng. Sedangkan pengaruh vegetasi terhadap erosi yaitu a) intersepsi hujan oleh tajuk, 2) kecepatan aliran permukaan dan kekuatan perusak air, 3) akar tanaman dan kegiatan-kegiatan biologis yang berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif dan stabilitas struktur dan porositas tanah, 4) transpirasi yang mengakibatkan kandungan air tanah berkurang. Pengaruh vegetasi terhadap erosi terutama ditentukan oleh derajat penutupan lahan dari vegetasi. Faktor pengelolaan tanaman merupakan nisbah besarnya erosi dari tanah yang ditanami tanaman dengan pengelolaan (manajemen) tertentu terhadap erosi dari suatu lahan yang tidak ditanami. Efektivitas pengendalian erosi oleh vegetasi ditentukan tinggi dan luas penutupan tajuk, kerapatan vegetasi, dan kerapatan perakaran. Menurut Ispriyanto et al. (2001) bahwa erosi yang terjadi kecil jika sifat-sifat tanahnya yang baik yaitu solum tanah yang dalam, porositas tanah yang tinggi, dan nilai permeabilitas yang tinggi. Curah hujan yang jatuh sebagian besar akan diinfiltrasikan ke dalam tanah menjadi air bawah tanah dan mengalir sebagai aliran dasar (Arsyad 2006; Asdak 2007). Hasil pemantauan Pratiwi (2000) pada lahan kemiri umur 3 bulan selama enam bulan di musim hujan telah terjadi erosi tanah sebesar 18,57 ton/ha. Sukresno et. al. (2002)


(38)

menyatakan bahwa erosi tanah cenderung rendah pada lahan hutan produksi pinus yang tidak terbakar.

Sifat-sifat fisik tanah yang berpengaruh erosi adalah tekstur, struktur, kandungan bahan organik, kerapatan tanah, dan kandungan air. Erodibilitas tanah merupakan nilai yang menunjukkan kepekaan tanah terhadap pengelupasan dan transportasi partikel-partikel tanah oleh adanya energi kinetik air hujan. Sedangkan menurut Arsyad (2006), sifat-sifat yang mempengaruhi erosi adalah tekstur, struktur, bahan organik, kedalaman, sifat lapisan tanah, dan tingkat kesuburan tanah. Peranan manusia merupakan faktor utama dalam proses erosi dimana peranan tersebut dapat positif atau negatif. Manusia berperan positif apabila tindakan manusia yang dilakukan dapat mengurangi besarnya kehilangan tanah. Faktor tindakan konservasi tanah yang dilakukan oleh manusia merupakan nisbah besarnya erosi dari lahan dengan tindakan konservasi tertentu terhadap besarnya erosi dari suatu lahan yang tanpa dilakukan tindakan konservasi.

Tingkat bahaya erosi

Tingkat bahaya erosi adalah perkiraan kehilangan tanah maksimum dibandingkan dengan tebal solum tanahnya pada setiap unit lahan bila teknik pengelolaan tanaman dan konservasi tanah tidak mengalami perubahan. Penentuan tingkat bahaya erosi menggunakan pendekatan tebal solum tanah yang telah ada dan besarnya erosi sebagai dasarnya. Semakin dangkal solum tanahnya berarti semakin sedikit tanah yang boleh tererosi, sehingga tingkat bahaya erosinya sudah cukup besar meskipun tanah yang hilang belum terlalu besar. Kelas tingkat bahaya erosi disajikan selengkapnya pada Tabel 3.


(39)

Solum Tanah I II III IV V Erosi (ton/ha/tahun)

< 15 15 – 60 60 – 120 120 – 480 >480

Dalam (> 90 cm) SR

0 R I S II B III SB IV

Sedang (60 – 90 cm) R

I S II B III SB IV SB IV

Dangkal (30 – 60 cm) S

II B III SB IV SB IV SB IV Sangat dangkal (<30 cm) B

III SB IV SB IV SB IV SB IV Keterangan: 0 (SR) = Sangat Ringan

I (R) = Ringan

II (S) = Sedang

III (B) = Berat IV (SB) = Sangat Berat

Konservasi Tanah dan Air

Pembangunan HTI termasuk upaya teknik konservasi tanah dan air yang dilakukan secara vegetatif. Konservasi tanah dan air secara vegetatif dilakukan melalui pengelolaan tanaman berupa pohon atau semak, baik tanaman tahunan maupun tanaman setahun dan rumput-rumputan (Sinukaban 2003; Arsyad 2006). Teknologi vegetatif (penghutanan) sering dipilih karena selain dapat menurunkan erosi dan sedimentasi di sungai-sungai juga memiliki nilai ekonomi (tanaman produktif) serta dapat memulihkan tata air suatu DAS (Hamilton & King 1997). Pemangkasan selektif terhadap kelebatan pohon sebesar 40% tidak menimbulkan erosi yang berarti, namun penebangan hutan dimana pohon-pohonnya ditarik keluar akan menimbulkan erosi tanah (Hamilton & King 1997). Pengelolaan tanah secara vegetatif dapat menjamin keberlangsungan keberadaan tanah dan air karena memiliki sifat:

1. Memelihara kestabilan struktur tanah melalui sistem perakaran dengan memperbesar granulasi tanah,


(40)

3. Dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme yang mengakibatkan peningkatan porositas tanah, sehingga memperbesar jumlah infiltrasi dan mencegah terjadinya erosi.

Efek penutup tanah dapat dibedakan menjadi lima kategori Foth (1995): 1. Intersepsi terhadap curah hujan.

2. Mengurangi kecepatan aliran permukaan (run off).

3. Perakaran tanaman akan memperbesar granulasi dan porositas tanah.

4. Mempengaruhi aktifitas mikroorganisme yang berakibat pada meningkatkan porositas tanah.

5. Transpirasi tanaman akan berpengaruh pada lengas tanah pada hari berikutnya. Usaha konservasi tanah pada hakekatnya mengendalikan energi akibat tetesan hujan maupun limpasan permukaan dalam proses terjadinya erosi tanah (Sukirno 1995). Prinsip pengendalian energi ini dengan usaha:

1. Melindungi tanah dari prediksi pukulan air hujan (erosi percik), dengan tanaman penutup tanah.

2. Mengurangi kecepatan energi kinetik tetesan air hujan, dengan tanaman pelindung, atau pelindung lainnya.

3. Mengurangi energi kinetik limpasan permukaan

Pengaturan Hasil Hutan Kayu

Pengaturan hasil merupakan suatu proses atau strategi untuk mewujudkan kelestarian hasil yang diterjemahkan ke dalam praktek manajemen dalam bentuk perencanaan, monitoring dan kontrol. Dalam konteks lebih operasional, pengaturan hasil adalah penentuan porsi hutan (dalam luas areal ataupun volume kayu) yang dipungut setiap tahun atau periode tertentu yang menjamin kelestarian produksi/pengusahaan dan kelestarian hutan (Parthama 2002). Secara umum pengaturan hasil hutan bertujuan untuk mencapai kelestarian hasil yaitu diperolehnya hasil hutan secara terus-menerus dengan jumlah yang relatif sama atau lebih besar setiap tahunnya (Simon 2010). Menurut Seydack (1995), untuk mencapai kelestarian suatu sistem pengaturan hasil harus menetapkan intensitas pemanenan, interval waktu pemanenan, dan besarnya pemanenan. Sedangkan menurut Osmaton (1968), pengaturan hasil hutan bertujuan untuk memperoleh hasil akhir yang berasaskan kelestarian. Ada beberapa alasan pengaturan hasil


(41)

1. Penyediaan bagi konsumen, penebangan harus dilaksanakan agar tersedia jenis, ukuran, mutu, dan jumlah kayu sesuai permintaan pasar.

2. Pemeliharaan growing stock untuk mempertahankan dan mengembangkan produksi dalam bentuk serta kualitas yang baik secepat mungkin.

3. Penyesuaian jumlah dan bentuk tegakan persediaan agar lebih sesuai dengan tujuan pengelolaan.

4. Penebangan perlindungan, terutama dipergunakan dalam sistem silvikultur untuk melindungi tegakan dari angin, kebakaran hutan dan sebagainya.

Pengaturan hasil pada hutan tanaman akan mudah dilaksanakan apabila keadaan hutannya mendekati kondisi hutan normal. Hutan normal merupakan suatu hutan yang tegakannya mempunyai susunan kelas umur yang merata, mulai dari umur 1 tahun sampai umur daur, masing-masing kelas umur tegakan mempunyai luas atau potensi pertumbuhan yang sama, sehingga tebangan tahunan selalu menghasilkan kayu dalam jumlah maksimal dan sama besar volumenya (Simon 2010). Salah satu faktor manajemen untuk menciptakan hutan normal adalah penentuan etatnya, yaitu menentukan besar/jumlah maksimum penebangan akhir yang diijinkan dari suatu kelas perusahaan. Meyer et al. (1961), menyebutkan bahwa pengaturan tebangan merupakan tujuan penting manajemen hutan. Ada tiga permasalahan pengaturan tebangan yaitu penentuan jatah tebang, distribusi jatah tebang ke dalam blok dan kompartemen, serta penentuan waktu tebang pada masing-masing blok dan kompartemen. Menurut Chapman (1950), pengaturan hasil didasarkan pada beberapa hal yaitu distribusi kelas umur dan total volume tegakan aktual, penetapan jatah tebang tahunan untuk memperoleh hasil lestari, riap tahunan nyata atau kematian penting terutama untuk mengetahui peningkatan atau penurunan volume tegakan sebelum ditebang, serta riap tahunan rata-rata mengindikasikan kemungkinan rata-rata untuk hasil lestari.

Menurut Osmaston (1968), beberapa hal yang dibutuhkan dan harus dicakup dalam pengaturan hasil, yaitu adanya penghitungan jumlah hasil yang akan diperoleh, bagaimana hasil tersebut dapat dibagi dalam hasil akhir dan


(42)

penyusunan suatu rencana penebangan yang dibatasi oleh kepadatan tegakan yang akan ditebang.

Dalam sistem kelestarian hutan ada beberapa metode yang biasa digunakan dalam mengatur hasil penebangan untuk mendapatkan kelestarian hutan atau hutan normal, yaitu metode pengaturan berdasarkan luas, metode berdasarkan volume, metode berdasarkan volume dan riap, dan metode berdasarkan luas dan volume (Davis & Johnson 1987; Meyer et al. 1961; Osmaston 1968; Simon 2010).

1. Metode berdasarkan luas

Metode pengaturan hasil berdasarkan luas masih sangat sederhana dan dipakai untuk pengelolaan hutan tingkat awal. Untuk mengatur tebangan yang berkesinambungan, kawasan hutan dibagi ke dalam petak-petak sebanyak tahun rotasi yang telah ditetapkan dan penebangan dilakukan tiap tahun. Bila dalam setiap tahun luas petak yang ditebang sama, maka hasil tahunan akan sama bila tingkat produktifitas tiap petak juga sama. Fluktuasi hasil tahunan akan dipengaruhi oleh komposisi jenis, kesuburan tanah dan kerapatan tegakan. Pengaturan hasil berdasarkan luas dikontrol dengan cara:

a. Pengendalian berdasarkan prinsip silvikultur. Jumlah pohon yang akan ditebang setiap tahun dikontrol dengan kaidah-kaidah silvikultur, atau aturan-aturan yang biasa dipakai dalam penebangan, misalnya jenis komersial dan ukuran diameter yang sudah laku dijual.

b. Pengendalian dengan rotasi dan penyebaran kelas umur. Metode pengaturan hasil hutan tidak lagi hanya dikontrol oleh kaidah-kaidah silvikultur saja, melainkan bergeser ke arah kontrol oleh rotasi dan sebaran kelas umur. Perkembangan ini terjadi karena areal bekas tebangan dari metode berdasarkan luas telah berubah menjadi hutan-hutan muda yang seumur sehingga dapat dikelompokkan ke dalam kelas-kelas umur. Secara sederhana hubungan antara rotasi dengan luas kawasan dapat digunakan untuk menaksir volume tebangan tahunan dalam satuan luas.

2. Metode berdasarkan volume

Hasil kayu dari suatu kawasan hutan tidak sama setiap tahunnya, karena adanya variasi bonita tempat tumbuh dan kerapatan tegakan. Padahal harapannya


(1)

(B)

(A)

Keterangan: V1 = volume tegakan awal, V2 = volume tegakan yang bisa ditebang, TBE = tingkat bahaya erosi, MAI = riap tahunan rata-rata, dan CAI = riap tahun berjalan

Gambar 2. Kurva pertumbuhan dan hasil tegakan serta erosi tanah yang terjadi pada (A) kemiringan lahan kurang dari 34% dan (B) kemiringan lahan 34 – 45% di hutan tanaman eucalyptus hybrid

Riap volume optimum sebesar 31,13 m3/ha/tahun terjadi pada umur 8,1 tahun. Dengan demikian, daur volume optimum tegakan eucalyptus hibrid terjadi pada umur 8,1 tahun, sehingga daurnya ditetapkan 8 tahun. Pada daur 8 tahun diperoleh rata-rata volume tegakan 249,34 m3/ha dengan MAI 31,17 m3/ha/tahun, dan CAI 31,52 m3/ha/tahun. Kemiringan lahan kurang dari 34%, erosi tanah yang terjadi di lahan kosong masih kurang dari 60,00 ton/ha/tahun. Namun pada kemiringan lahan 34 – 45% erosi tanah yang terjadi antara 61–80 ton/ha/tahun sehingga diperlukan persen penutupan tajuk 21% yang setara dengan kerapatan tegakan 279 pohon/ha. Dan pada akhir daur (8 tahun) volume tegakan menjadi 81% (202,65 m3/ha), MAI sebesar 25,33 m3/ha/tahun dan CAI sebesar 25,62 m3/ha/tahun (Gambar 2).

Keterangan: V1 = volume tegakan awal, V2 = volume tegakan yang bisa ditebang, TBE = tingkat bahaya erosi, MAI = riap tahunan rata-rata, dan CAI = riap tahun berjalan

Gambar 3. Grafik tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan serta laju erosi tanah yang terjadi pada (A) kemiringan antara 46 - 58% dan (B) kemiringan lahan 59 – 75% di hutan tanaman eucalyptus hibrid

Pada kemiringan lahan 46 - 58%, erosi tanah yang terjadi di lahan kosong antara 81–105 ton/ha/tahun. Agar bahaya erosi yang terjadi masih dapat ditoleransi (kurang dari


(2)

60 ton/ha/tahun), maka diperlukan persen penutupan tajuk 38% yang setara dengan kerapatan tegakan 515 pohon/ha. Sehingga di akhir daur, volume tegakan menjadi 66% (163,47 m3/ha), MAI sebesar 20,43 m3/ha/tahun, dan CAI sebesar 20,67 m3/ha/tahun. Sedangkan kemiringan lahan 59–75% erosi tanah yang terjadi di lahan kosong antara 106–135 ton/ha/tahun. Agar bahaya erosi yang terjadi masih dapat ditoleransi, maka diperlukan persen penutupan tajuk 53% yang setara dengan kerapatan tegakan 713 pohon/ha. Dan pada akhir daur volume tegakan menjadi 52% (130,46 m3/ha), MAI sebesar 16,31 m3/ha/tahun dan CAI sebesar 16,49 m3/ha/tahun (Gambar 3).

B. Pembahasan

Dari hasil analisis ditetapkan daur optimum eucalyptus hibrid di hutan tanaman PT Toba Pulp Lestari Sektor Aek Nauli adalah 8 tahun. Pada daur 8 tahun diperoleh rata-rata volume tegakan 249,34 m3/ha dengan MAI 31,17 m3/ha/tahun, dan CAI 31,52 m3/ha/tahun dengan rata-rata diameter 17,1 cm dan rata-rata tinggi pohon 20,9 m. Hasil penelitian di Brazil Eucalyptus urograndis pada daur 8–10 tahun dengan curah hujan kurang dari 1.000 mm/tahun diperoleh MAI 30 m3/ha/tahun, curah hujan antara 1.000– 1.200 mm/tahun antara 30–37 m3/ha/tahun, sedangkan pada areal yang mempunyai curah hujan lebih dari 1.200 mm/tahun MAI mencapai 38–58 m3/ha/tahun (Fisher & Binkley 2000). Sedangkan di Afrika Selatan dan Kongo sangat tinggi dengan MAI sebesar 70 m3/ha/tahun. Untuk jenis Eucalyptussp. di Brazil pada daur tebang 8–10 tahun diperoleh MAI 18–20 m3/ha/tahun, di Kongo daur tebang 7 tahun dihasilkan MAI 30 m3/ha/tahun, di Rwanda daur tebang 8 tahun didapat MAI 8,5 m3/ha/tahun, di Afrika Selatan daur tebang 8–10 tahun telah menghasilkan MAI antara 18–20 m3/ha/tahun (FAO 1993; Nambiar & Brown 1997). Dengan demikian, riap tegakan eucalyptus hibrid di hutan tanaman PT Toba Pulp Lestari dengan curah hujan 4.264 mm/tahun bisa menyamai di Brazil.

Dari hasil analisis untuk mencapai produksi kayu dengan erosi yang terjadi sama dengan erosi yang dapat ditoleransikan (laju erosi kurang dari 60 ton/ha/tahun berdasarkan Permenhut No. P.32/Menhut-II/2009 pada kedalam solum lebih dari 90 cm), maka pembangunan hutan tanaman eucalyptus hibrid sesuai dengan tahapan-tahapan kegiatannya dapat dilakukan pada kemiringan lahan kurang dari 34%. Sedangkan pada kemiringan lahan di atas 34% telah menimbulkan laju erosi tanah yang semakin meningkat. Untuk itu, upaya yang harus dilakukan agar erosi yang terjadi masih dapat ditoleransi, maka pada kemiringan lahan 34–45%; 46–58%; dan 59–75% masing-masing harus menyisakan pohon yang tidak ditebang sebanyak 279 pohon/ha; 515 pohon/ha; dan 713 pohon/ha. Dengan adanya pohon yang harus ditinggalkan, maka produksi kayu menjadi turun. Volume tegakan diakhir daur (8 tahun) pada kemiringan lahan 34–45%; 46–58%; dan 59–75% masing-masing berkurang sebesar 19%; 34%; dan 48%.

Penyisihan tegakan tinggal merupakan upaya mengeliminir erosi tanah. Erosi terjadi akibat interaksi kerja antara faktor iklim, jenis tanah, topografi, vegetasi dan manusia. Pratiwi (2007) menyatakan bahwa erosi sangat ditentukan antara lain kemiringan lahan, jenis tanah, dan jenis/umur tanaman. Semakin miring lahan, semakin tinggi erosi tanah. Jenis-jenis tanah yang peka terhadap erosi akan mempercepat sedimentasi. Kondisi tutupan lahan yang berbeda menunjukkan tanah tererosi berbeda. Banyaknya tanah tererosi di setiap kondisi tutupan lahan di kawasan hutan tanaman eucalyptus hibrid menunjukkan erosi tanah yang terjadi semakin meningkat dengan semakin meningkatnya kemiringan lahan. Namun dengan semakin bertambah umur tegakan menunjukkan erosi tanah semakin menurun, hal ini karena adanya peningkatan penutupan lahan.


(3)

Dalam pembangunan hutan tanaman eucalyptus hibrid, penyebab erosi tanah diantaranya adalah kegiatan penebangan, penyaradan, pemeliharaan (pembersihan gulma/tumbuhan bawah). Aktivitas penyaradan dengan menggunakan skidder

berkapasitas tinggi telah menimbulkan tanah ada yang tersingkap dan sebagian tanah menjadi padat (Satori 1998). Tanah dengan kerapatan isi yang besar berarti sulit meneruskan air. Hal tersebut menimbulkan porositas tanah menjadi rendah sehingga akan menimbulkan daya infiltrasi tanah berkurang dan akibatnya aliran permukaan dan erosi tanah menjadi tinggi. Pada saat penyiapan lahan dilakukan pembabatan gulma 2 bulan sebelum tanam, dan 1½ bulan sebelum tanam dilakukan penyemprotan gulma dengan herbisida serta ½ bulan berikutnya disemprot herbisida kembali hingga lahan bersih dari tumbuhan bawah. Selanjutnya, pada tanaman umur 1 sampai dengan 2 tahun dilakukan kegiatan pemeliharaan dengan cara penyemprotan gulma yang dimulai umur tanaman 2 bulan, 3 bulan, 5 bulan, 8 bulan, 12 bulan, 17 bulan, dan 22 bulan setelah tanam. Kondisi lahan dari umur 0 sampai 2 tahun selalu bersih dari tumbuhan bawah, dan sedangkan kondisi penutupan tajuk tanamannya masih rendah. Akibatnya erosi tanah menjadi besar. Dengan demikian, pada lahan kosong (bekas tebangan), kelas umur 1 dan 2 tersebut telah terjadi erosi tanah lebih tinggi daripada lahan di bawah tegakan kelas umur 3, 4 dan 5. Adanya peningkatan penutupan tajuk dan tumbuhnya tumbuhan bawah pada tegakan di atas 3 tahun, maka mampu menurunkan erosi tanah. Hal ini mendukung hasil penelitian Pratiwi & Mindawati (2005) yang menyatakan bahwa pada hutan tanaman Acacia mangium erosi akan menurun dengan bertambahnya umur tegakan. Di hutan tanaman E. pellita dengan semakin tua umur tegakan, tingkat erosi semakin menurun (Wibowo et. al.2010). Semakin bertambah umur tegakan, maka akan terjadi peningkatan jumlah serasahnya sehingga akan menahan laju aliran permukaan akibatnya akan terjadi penurunan erosi tanah (Arsyad 2006; Asdak 2007; Pratiwi & Mindawati 2005). Selama tiga tahun pertama setelah tanam A. mangium telah menimbulkan erosi tanah yang tinggi, hal ini diakibatkan tajuk tanaman belum menutupi (Pratiwi 2007). Berkurangnya penutupan lahan oleh vegetasi terutama di lahan-lahan miring mengakibatkan laju erosi tanah meningkat (Ispriyanto et al.2001). Berkurangnya tutupan tajuk dan kondisi lereng yang miring akan meningkatkan potensi perusakan tanah oleh jatuhnya air hujan (Sukresno et al. 2002).

Kondisi humus dan serasah di permukaan tanah berhubungan erat dengan kemampuan mengurangi energi kinetik pukul air hujan ke permukaan tanah dan dapat meningkatkan daya infiltrasi permukaan tanah. Sisa tanaman sebagai mulsa dari vegetasi sangat berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Mulsa atau serasah dapat memperkecil terjadinya erosi percikan di permukaan tanah yang disebabkan oleh air hujan, mempertinggi agregasi tanah dan memperbaiki struktur tanah serta mempertahankan kapasitas memegang air cukup tinggi untuk menekan besarnya jumlah aliran permukaan dan erosi (Arsyad 2006). Sifat tanah yang mempengaruhi kepekaan tanah terhadap erosi adalah tekstur tanah, bentuk dan kemantapan struktur tanah, daya infiltrasi, permeabilitas tanah, kandungan bahan organik, kapasitas lapang, tebal horison dan kadar air. Tanah yang banyak mengandung bahan organik akan memperbesar nilai infiltrasi (Arsyad 2006; Asdak 2007). Dalamnya solum tanah, dengan porositas tanah yang tinggi serta nilai permeabilitas yang tinggi akan meningkatkan nilai infiltrasi sehingga aliran permukaan dan erosi tanah menurun (Ispriyanto et al. 2001).

PT Toba Pulp Lestari telah menetapkan daur tebang 5 tahun. Berdasarkan penelitian ini, maka daur 5 tahun tidak tepat karena volume tegakan masih berlum maksimal. Dan menurut Mindawati et al. (2010) menyatakan bahwa Eucalyptus urograndisdi lokasi yang sama pada umur kurang dari 6 tahun, ketersediaan unsur hara


(4)

dalam tanah masih lebih rendah daripada hara yang keluar. Meskipun dari segi teknis tanaman eucalyptus dapat dipanen pada umur 6–7 tahun (Quilho et al. 2006), dan layak untuk digunakan sebagai bahan baku pulp pada umur 4–5 tahun (Sihite 2008). Diameter tegakan telah memenuhi syarat untuk bahan baku pulp (Iskandar 2004). Dengan memperhatikan hal tersebut, maka daur eucalyptus hibrid di hutan tanaman PT Toba Pulp Lestari Sektor Aek Nauli yang tepat adalah 8 tahun.

IV. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Batas maksimum kemiringan lahan yang masih aman dari bahaya erosi tanah adalah 33%. Pada kemiringan lahan di atas 34% telah menimbulkan erosi tanah yang tidak dapat ditoleransi.

2. Agar erosi tanah dapat ditoleransi, maka pada lereng 34–45%; 46–58%; dan 59–75% diperlukan penutupan tajuk masing-masing sebesar 21%; 38%; dan 53% yang setara dengan jumlah pohon yang ditinggalkan masing-masing sebanyak 279 pohon/ha; 515 pohon/ha; dan 713 pohon/ha.

3. Adanya pohon yang harus ditinggalkan, maka riap dan hasil tegakan menjadi turun. Volume tegakan diakhir daur pada lereng 34–45%; 46–58%; dan 59–75% berkurang masing-masing sebesar 19%; 34%; dan 48%.

4. Daur optimum eucalyptus hibrid dengan mempertimbangkan produktivitas tegakan dan erosi adalah 8 tahun.

B. Saran

1. Penetapan daur tebang tidak hanya memperhatikan produktivitas tegakan saja, tetapi perlu juga mempertimbangkan tingkat bahaya erosi tanah sesuai dengan kondisi lahannya.

DAFTAR PUSTAKA

Alder D. 1980. Forest Volume Estimation and Yield Prediction. FAO. Rome. Arsyad S. 2006. Konservasi tanah dan air. IPB Press. Bogor.

Asdak C. 2007. Hidrologi dan pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Avery TE, Burkhart HE. 2002. Forest Measurements. McGraw-Hill. New York.

[Dephut] Departemen Kehutanan. 1992. Manual Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta.

[FAO] Food and Agricultural Organization. 1993. Forest Resource Assesssment 1990. Tropical Countries. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome.

Fisher RF, Binkley D. 2000. Ecology and Management of Forest Soil. John Willey & Sons, Inc.

Harbagung. 2009. Model Hubungan Tinggi Tegakan dengan Peninggi pada Hutan Tanaman Jati (Tectona grandis L.f.). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. Vol. 8 (2): 109-123.

Harwood CE. 1998. Eucalyptus pellita an Annotated Bibliography. CSIRO Publishing, Victoria, Australia. 70 p.


(5)

Husch B, Beers TW, Kershaw JA. 2003. Forest Mensuration. Fourth Edition. John Wiley and Sons, Inc. New York.

Iskandar U. 2004. Kebijakan Pembangunan Hutan Tanaman Industri. Hal.: 43 – 89. Dalam

Hardiyanto, E.B. dan H. Arisman. Pembangunan Hutan Tanaman Acacia mangium

(Pengalaman di PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan). PT. Musi Hutan Persada. Palembang.

Ispriyanto R, Arifjaya NM, Hendrayanto. 2001. Aliran Permukaan dan Erosi di Areal Tumpangsari Tanaman Pinus merkusiiJungh. Et De. Vriese. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. 7 ( 1) : 37-47.

Leksono B. 2010. Efisiensi Seleksi Awal pada Kebun Benih Semai Eucalyptus pellita. Jurnal Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Vol. 7 (1): 1-13.

Mindawati N, Indrawan A, Mansur I, Rusdiana O. 2010. Kajian Pertumbuhan Tegakan

Hybrid Eucalyptus urograndis di Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. Vol. 7(1): 39 – 50.

Muhdi. 2008. Dampak Pemanenan Kayu dengan Sistem Reduced Impact Logging terhadap Pemadatan Tanah di Kalimantan Barat. Jurnal Rimba Kalimantan 13(1):42–45.

Nambiar, Brown AG. 1997. Toward Sustained Productivity of Tropical Plantations: Science and Practice. In: Nambiar EKS, Brown. (eds). Management of Soil, Nutrients and Water in Tropical Plantation Forest ACIAR, CSIRO and CIFOR: 527-557.

Permenhut [Peraturan Menteri Kehutanan] Nomor: P. 32/MENHUT-II/2009 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungan (RTkRHL-DAS). Jakarta.

Pratiwi. 2007. Laju Aliran Permukaan dan Erosi di Beberapa Hutan Tanaman dan Beberapa Alternatif Upaya Perbaikannya. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. 4 (3): 267-276.

______, Mindawati N. 2005. Laju aliran permukaan, tingkat erosi dan kehilangan unsur hara pada berbagai umur tegakan Acacia mangium Willd. di Riau. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. 2 (3): 251 – 257.

Prodan M. 1968. Forest biometrics. Perganon. Oxford-London.

Quilhó T, Miranda I, Pereira H. 2006. Within-Tree Variation in Wood Fibre Biometry and Basic Density of The Urograndis Eucalypt Hybrid (Eucalyptus grandis x E. urophylla). Journal IAWA, Vol. 27 (3): 243–254.

Rusmin Y. 2011. Penerapan Reduced Impact Logging Menggunakan Monocable Winch

(Pancang Tarik). Jurnal Manajemen Hutan Tropika. Vol. 17(3): 103 – 110.

Sihite O. 2008. Hubungan Umur Pohon Eucalyptus sp dengan Kandungan Pentosan Bahan Baku Pulp pada PT Toba Pulp Lestari [tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara. Sekolah Pascasarjana.

Simon H. 2007. Metode inventore hutan. Pustaka Belajar. Yogyakarta.

Suhendang E. 2002. Pengantar ilmu kehutanan. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sukresno, Murtiono U, Supangat AB. 2002. Evaluasi dampak kebakaran hutan terhadap limpasan dan erosi tanah pada areal hutan produksi Pinus merkusii di BKPH Pujon, Malang, Jawa Timur. Buletin Pengelolaan DAS, Surakarta. Vol. 8 (1): 59 – 66.

Supranto J. 2005. Ekonometri: Buku Satu. Ghalia Indonesia. Bogor.

Wibowo A, Lisnawati Y, Zuraida, Rostiwati T, Sukresno, Supangat AB, Apriani Y, Kunarso A, Adriyani S, Handayani W, Kurniadi R. 2010. Potensi Degradasi dan Manfaat Lingkungan Akibat Pembangunan Hutan Tanaman. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor


(6)

SEMINAR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

NAMA : DARWO

NOMOR POKOK : E161070081

MAYOR : ILMU PENGELOLAAN HUTAN

JUDUL PENELITIAN : PENETAPAN DAUR TEBANG EUCALYPTUS

HIBRID BERDASARKAN OPTIMASI ANTARA PERTUMBUHAN DAN HASIL TEGAKAN DENGAN EROSI TANAH

KOMISI PEMBIMBING : 1. Prof.Dr.Ir. ENDANG SUHENDANG, MS 2. Prof.Dr.Ir. I NENGAH SURATI JAYA, M.Agr. 3. Dr.Ir. HERRY PURNOMO, M.Comp.

4. Prof.Ris.Dr.Ir. PRATIWI, M.Sc.

KELOMPOK BIDANG ILMU: LIMU-LIMU TUMBUHAN

HARI/TANGGAL : SENIN, 18 JUNI 2012

WAKTU : 11.00 – 12.00 WIB