Runoff and Soil Erosion on Tea Plantation of Gunung Mas PT. Perkebunan Nusantara VIII

(1)

PADA LAHAN PERKEBUNAN TEH GUNUNG MAS

DI

PT PERKEBUNAN NUSANTARA VIII

ROCI FIRMANDA MUKLIS A14070063

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012


(2)

ROCI FIRMANDA MUKLIS. Aliran Permukaan dan Erosi Tanah pada Lahan Perkebunan Teh Gunung Mas di PT Perkebunan Nusantara VIII. Dibimbing oleh KUKUH MURTILAKSONO dan YAYAT HIDAYAT

Sebagian besar perkebunan teh di Indonesia berada pada lahan miring di daerah pegunungan dengan curah hujan tinggi. Hal tersebut berpotensi menimbulkan aliran permukaan dan erosi tanah. Akan tetapi, pada lahan perkebunan teh dewasa kejadian erosi hampir tidak berarti karena lahan telah tertutup secara sempurna dan beberapa erosi mungkin terjadi setelah proses pemangkasan dan pemindahan tanaman teh (Hartemink, 2006). Untuk menjaga ketinggian bidang petik dan memperbaiki produktifitas tanaman teh, manajemen perkebunan teh Gunung Mas (PTPN VIII) melakukan pemangkasan secara berkala dan hasil pangkasan (daun, ranting, dan cabang) dikembalikan ke sekeliling tanaman teh. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji aliran permukan dan erosi tanah di perkebunan teh pada beberapa umur pemangkasan. Penelitian ini menggunakan 3 petak pengukuran aliran permukaan berukuran 2m x 8m. Plot ditempatkan pada blok kebun berbeda secara acak dengan umur pangkas: T1 = tanaman teh umur tahun ke-1 setelah pemangkasan (lereng 17 %), T2 = tanaman teh umur tahun ke-3 setelah pemangkasan (lereng 18 %), dan T3 = tanaman teh umur tahun ke-4 setelah pemangkasan (lereng 16 %).

Curah hujan lokasi penelitian periode Desember 2010 – Desember 2011 sebesar 2627,3 mm dengan erosivitas hujan tahunan sebesar 1711,1 ton-m ha-1, cm jam-1. Erosivitas tertinggi terjadi pada bulan Januari sebesar 299,1 ton-m ha-1, cm jam-1 dan terendah pada bulan Agustus sebesar 2,01 ton-m ha-1, cm jam-1.

Perbedaan umur pemangkasan tanaman teh mempengaruhi aliran permukaan dan erosi tanah. Aliran permukaan (AP) tertinggi yakni pada petak T3 sebesar 325,57 m3 ha-1 th-1 dengan koefisien AP = 0,0205 dan terendah pada petak T1 sebesar 146,19 m3 ha-1 th-1 dengan koefisien AP = 0,0092. Sedangkan aliran permukaan pada petak T2 sebesar 208,89 m3 ha-1 th-1 dengan koefisien AP = 0,0131. Tingginya aliran permukaan pada T3 disebabkan oleh tekstur tanah yang didominasi oleh fraksi debu. Fraksi debu mudah terdispersi dan menutupi pori-pori tanah sehingga menurunkan kapasitas infiltrasi tanah. Pada petak T1, kecilnya jumlah aliran permukaan disebabkan oleh keberadaan bahan organik


(3)

fisik tanah oleh bahan organik menyebabkan yanah mampu meresapkan air hujan lebih banyak sehingga menurunkan jumlah dan kecepatan aliran permukaan.

Sama seperti halnya aliran permukaan, erosi tanah tertinggi pada petak T3 sebesar 55,36 kg ha-1 th-1 dan erosi terendah pada petak T1 sebesar 25,80 kg ha-1 th-1 Sedangkan petak T2 menghasilkan erosi tanah sebesar 32,06 kg ha-1 th-1. Rata-rata erosi tanah ketiga petak pengukuran = 0,03774 ton ha-1 th-1 jauh lebih kecil dari nilai TSL (Tolerable Soil Loss) sebesar 18 ton ha-1 th-1, sehingga erosi yang terjadi pada perkebunan teh Gunung Mas (PTPN VIII) masih tergolong rendah dan dapat ditoleransi.


(4)

ROCI FIRMANDA MUKLIS. Runoff and Soil Erosion on Tea Plantation of Gunung Mas PT. Perkebunan Nusantara VIII. Supervised by KUKUH MURTILAKSONO and YAYAT HIDAYAT.

Most of tea plantations in Indonesia are located on sloping land and mountainous areas with high rainfall. It has the potential to cause runoff and soil erosion. In the land of mature tea plantation, however, erosion almost meaningless because the land is completely covered and some erosion may occured after the process of pruning and removal of the tea plant (Hartemink, 2006). In order to maintain area of picking and improve the productivity of the tea plant, Gunung Mas Tea Plantation Management (PTPN VIII) use to do the periodic pruning and the produces (leaves, twigs, and branches) use to be returned surrounding the plants. This research aims to examine the runoff and soil erosion on tea plantation at some age of pruning. This research had applied three plots measurement of runoff where in the size is 2m x 8m. The plots were randomly located in different plantation blocks with age of pruning: T1 = tea plant first year after pruning (17% of slope), T2 = tea plant third years after pruning (18% of slope), T3 = tea plant fourth years after pruning (16% of slope).

The rainfall of study location is equal to 2,627.3 mm. Annual rainfall erosivity of 1,711.1 ton-m ha-1, cm hour-1 with the highest erosivity occured in January of 299.1 ton-m ha-1, cm hour-1 and the lowest occured in August of 2.01 ton-m ha-1, cm hour-1.

The age of tea plant pruning affected runoff and soil erosion in the research plots. The highest runoff was in T3 plot of 325.57 m3 ha-1 yr-1 with runoff coefficient = 0.0205 and the lowest was in T1 plot of 146.19 m3 ha-1 yr-1 with runoff coefficient = 0.0092 afterward, the runoff on T2 plot of 208.89 m3 ha-1 yr-1 with the runoff coefficient = 0.0131. The high runoff on T3 was caused by soil texture that is dominated by the fraction of silt. The fraction of silt is easily dispersed and filled the soil pores; therefore, it reduce the infiltration capacity. At T1 plot, less amount of runoff due to the presence of organic matter pruning resulted (leaves, twigs, branches) on the soil surface. Organic matter and branch is able to absorb more rain water and thus decrease the amount and velocity of runoff.


(5)

yr-1 and the lowest was on T1 plot of 25.80 kg ha-1 yr-1 whereas T2 plot obtained soil erosion of 32.06 kg ha-1 yr-1. The average of soil erosion from the three plots is 0.03774 ton ha-1 yr-1. It is much less than the value of TSL (Tolerable Soil Loss) of 18 ton ha-1 yr-1, therefore the erosion that occurs in the tea plantations of Gunung Mas (PTPN VIII) is still relatively permisible and tolerated.


(6)

PADA LAHAN PERKEBUNAN TEH GUNUNG MAS

DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA VIII

ROCI FIRMANDA MUKLIS A14070063

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian

Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(7)

Teh Gunung Mas di PT Perkebunan Nusantara VIII Nama Mahasiswa : Roci Fimanda Muklis

Nomor Pokok : A14070063

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, M.Sc Dr. Ir. Yayat Hidayat, M.Si NIP. 19600808 198903 1 003 NIP. 19650103 199212 1 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

Dr. Ir Syaiful Anwar, M.Sc NIP. 196211131 198703 1 003 Tanggal Lulus:


(8)

Penulis bernama lengkap Roci Firmanda Muklis, dilahirkan di Bogor pada tanggal 2 November 1989. Penulis merupakan anak dari pasangan Bapak Muchlis dan Ibu Satri Hartati. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dengan kakak bernama Deni Yuli Putra Marjan, S. Kom dan adik bernama Sriwinda Martilova, Am. Keb.

Penulis mengawali pendidikan formal di SDN Pabuaran IV Cibinong Kabupaten Bogor pada tahun 1995 dan menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2001. Pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) diselesaikan pada tahun 2004 di SMPN 1 Cibinong. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Cibinong dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui program USMI (Undangan Saringan Masuk IPB) di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama menempuh pendidikan universitas, penulis terlibat dalam berbagai kegiatan kepanitiaan agenda kampus dan aktif di beberapa organisasi, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB sebagai staff Kementrian Kebijakan Nasional pada tahun 2009 - 2011 dan sebagai ketua pelaksana Simposium Gerakan Antikorupsi IPB tahun 2010 serta Ketua Pelaksana Soilidarity Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya lahan tahun 2009. Selain aktif di lembaga kemahasiswaan, penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan kesenian, seperti band dan perkusi. Selama menempuh Studi, penulis mendapatkan beasiswa prestasi akademik dari Djarum Beasiswa Plus tahun 2009-2010


(9)

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Rabb semesta alam atas segala limpahan nikmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini dibuat sebagai syarat tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini berjudul “Aliran Permukaan dan Erosi Tanah pada Lahan

Perkebunan Teh Gunung Mas di PT Perkebunan Nusantara VIII”. Penelitian ini mempelajari sifat hujan, sifat fisik tanah, aliran permukaan, dan erosi pada lahan perkebunan teh Gunung Mas di PT Perkebunan Nusantara VIII.

Ungkapan terima kasih penulis sampaikan untuk keluarga atas segala dukungan dan doa, IPB untuk segala fasilitas yang diberikan, dosen pembimbing skripsi untuk kegiatan pembimbingan penelitian dan penyusunan skripsi, PT Perkebunan Nusantara VIII Gunung Mas atas izin dan bantuannya dalam menjalankan penelitian ini serta semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak – pihak yang memerlukan.

Bogor, September 2012 Penulis


(10)

Segala puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT atas segala limpahan nikmat, rahmat, dan anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberi bantuan, dukungan, serta doa dalam penyusunan skripsi ini, terutama kepada: 1. Orang tua tercinta, Bapak Muchlis dan Ibu Satri Hartati atas dukungan, kasih

sayang, cinta, pengertian, semangat dan doa yang tak pernah putus diberikan untuk penulis.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS dan Bapak Dr. Ir. Yayat Hidayat, MSi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah mengarahkan, mendidik, dan banyak memberikan ilmu pengetahuan dan moral kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Ir. D. P. Tedjo Baskoro selaku dosen penguji skripsi yang telah memberi banyak masukan dan saran terhadap penyelesaian skripsi ini.

4. Deni Yuli Putra Marjan, abang yang selalu memberi dukungan, kasih sayang, cinta, dan kasih serta Sriwinda Martilova, adik yang selalu memberi dukungan, pengertian, hiburan, dan doa. Dina Wahyuni seseorang yang selalu menemani hari-hari penulis dengan kasih sayang, dukungan, pengertian, dan doa setiap harinya

5. PTPN VIII Gunung Mas atas izin melakukan penelitian, Bapak Ediatna serta keluarga, Bapak Yayat serta keluarga, Bapak Ujang, Bapak Dede serta keluarga, Bapak Karmana, BMKG Citeko, dan instansi terkait yang telah membantu penulis dalam mendapatkan data penelitian dan membantu penulis dalam menjalankan penelitian.

6. Andi Suryadi, Ardita Oktaviana, Bagus A. H., Novi Prihatin, Devi Mayasari, Eni Winarti atas bantuan tenaga, pemikiran, semangat dan doanya.


(11)

pembelajaran, kekeluargaan, dukungan dan pengertian yang telah diberikan kepada penulis.

8. Teman – teman MSL 44, 43, 42 yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih atas kebersamaan, canda tawa, yang diberikan kepada

penulis selama mengenyam pendidikan di DITSL. D’ Arpeggio, Annisa Nur Fajrina, Riza, Daulay, Widya, Fauzan, Fauzi terimakasih untuk keceriaan dan semangat yang diberikan oleh penulis selama ini.


(12)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. Aliran Permukaan dan Erosi Tanah ... 3

2.2. Proses Erosi Tanah ... 4

2.3. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Aliran Permukaan dan Erosi...3

2.3.1. Iklim ... 4

a. Erosivitas Hujan... b. Erosivitas Aliran Permukaan..... 2.3.2. Topografi ... 6

2.3.3. Vegetasi ... 6

2.3.4. Tanah ... 7

2.3.5. Manusia ... 8

2.4. Dampak Erosi Tanah ... 8

2.5. Petak Erosi Menurut Wischmeier dan Smith ... 9

2.6. Teh (Camelia sinensis(L)) ... 9

2.6.1. Syarat Tumbuh Tanaman Teh ... 9

2.6.2. Pemangkasan Teh ... 10

2.7. Pemangkasan Teh dan Erosi Tanah ... 11 4

5 5


(13)

3.1. Waktu dan Tempat ... 13

3.2. Bahan dan Alat ... 13

3.3. Metode Penelitian ... 14

3.3.1. Pembuatan Petak Ukur Aliran Permukaan dan Erosi ... 14

3.3.2. Peralatan yang Dipergunakan untuk Membuat Petak Erosi dan Cara Pengukuran Aliran Permukaan dan Erosi ... 15

3.3.3. Analisis Sifat Fisik Tanah ... 17

3.3.4. Pengukuran Infiltrasi Tanah ... 18

3.3.5. Analisis Data Hujan ... 19

3.3.6. Pengukuran Persentase Tutupan Lahan ... 20

3.3.7. Pengukuran Lolosan Tajuk ... 20

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 22

4.2. Klasifikasi Iklim ... 22

4.3. Karakteristik Hujan ... 24

4.4. Sifat Fisik Tanah ... 27

4.5. Infiltrasi Tanah... 31

4.6. Aliran Permukaan dan Erosi ... 32

V. KESIMPULAN ... 43

5.1. Kesimpulan ... 43

5.2. Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Teks

1. Jenis Analisis Sifat Fisik Tanah dan Metode Analisisnya... 18 2. Karakteristik Hujan Desa Citeko Periode Desember 2010 – Desember

2011... 25 3. Karakteristik Tanah di Ketiga Petak Pengukuran Aliran Permukaan dan

Erosi Tanah... 29 4. Permeabilitas Tanah Ketiga Petak Ukur... 30 5. Kapasitas Infiltrasi Tanah pada Ketiga Petak Pengukuran... 31 6. Aliran Permukaan, Erosi Tanah, dan Tutupan Tajuk pada Ketiga Petak

Pengukuran Erosi... 39

Lampiran

1. Curah Hujan Bulanan dan Penentuan Tipe Iklim Menurut Schmidth – Ferguson di Lokasi Penelitian... 49 2. Karakteristik Hujan di Lokasi Penelitian (Stasium Klimatologi Citeko).. 50 3. Suhu dan Kelembaban Udara (Stasiun Klimatologi Citeko)... 54 4. Data Infiltrasi Tanah pada Ketiga Petak Pengukuran... 55 5. Klasifikasi Infiltrasi Menurut Kohnke (1968)... 56 6. Aliran Permukaan pada Petak T1 di Perkebunan Teh Gn Mas PTPN

VIII Periode Desember 2010 – Desember 2011... 57 7. Aliran Permukaan pada Petak T2 di Perkebunan Teh Gn Mas PTPN

VIII Periode Desember 2010 – Desember 2011... 60 8. Aliran Permukaan pada Petak T3 di Perkebunan Teh Gn Mas PTPN

VIII Periode Desember 2010 – Desember 2011... 63 9. Erosi Harian pada Ketiga Petak Pengukuran di Perkebunan Teh Gn Mas

PTPN VIII Periode Desember 2010 – Desember 2011... 66 10. Nilai Lolosan Tajukdi Ketiga Petak Ukur... 70


(15)

11. Riwayat Jadwal Pemangkasan Teh di Perkebunan Teh Gn Mas PTPN VIII Periode Tahun 2008 – 2012... 71


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Teks

1. Sketsa Berbagai Jenis Pemangkasan Teh... 11

2. Lokasi Penelitian; a) Letak Lahan Penelitian di Perkebunan Teh Gn. Mas PTPN VIII, b) Letak Desa Citeko Kecamatan Cisarua... 13

3. Alat Pengukur Infiltrasi Tanah... 18

4. Sketsa Alat Pengukur Lolosan Tajuk... 21

5. Rata-rata Curah Hujan Bulanan Desa Citeko (2004 – 2011)... 23

6. Kurva pF Tanah Lapisan Atas (a) dan Bawah (b) pada Ketiga Petak Ukur... 27

7. Rata-rata Aliran Permukaan Ketiga Petak Ukur Periode Des 2010 – Des 2011 di Perkebunan Teh Gn. Mas PTPN VIII... 33

8. Rata-rata Erosi Tanah Ketiga Petak Ukur Periode Des 2010 – Des 2011 di Perkebunan Teh Gn. Mas PTPN VIII... 35

9. Perbandingan Erosivitas Hujan (EI30) Bulanan terhadap Rata-rata Erosi Bulanan 2011 Perkebunan Teh Gn. Mas PTPN VIII Periode Desember 2010 – Desember... 36

10. Tanaman Teh Setelah Pangkas dan Sisa Pemangkasan... 41

Lampiran 1. Layout Ketiga Petak Pengukuran Erosi di Perkebunan Teh Gn Mas PTPN VIII... 72

2. a) Sketsa Petak Ukur Aliran Permukaan dan b) Penampung Erosi (bak) 73 3. Layout Pertanaman Teh di Perkebunan Teh Gn Mas PTPN VIII... 74

4. Foto yang Digunakan Untuk Analisis Tutupan Tajuk pada Awal (a & b) dan Akhir Pengamatan (c & d) di Petak T1... 75

5. Foto yang Digunakan Untuk Analisis Tutupan Tajuk pada Awal (a & b) dan Akhir Pengamatan (c & d) di Petak T2... 76


(17)

6. Foto yang Digunakan Untuk Analisis Tutupan Tajuk pada Awal


(18)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Sebagian besar perkebunan teh di Indonesia berada pada lahan miring di daerah pegunungan dengan curah hujan tinggi. Menurut Setyamidjaja (2000), di Indonesia pertanaman teh dilakukan pada ketinggian antara 400 m - 1200 m dari permukaan laut. Curah hujan tinggi yang jatuh pada lahan miring di perkebunan teh berpotensi menimbulkan aliran permukaan dan erosi tanah. Akan tetapi, pada lahan perkebunan teh dewasa kejadian erosi hampir tidak berarti karena lahan telah tertutup secara sempurna dan beberapa erosi mungkin terjadi setelah proses pemangkasan dan pemindahan tanaman teh (Hartemink, 2006).

Arsyad (2006) menyatakan bahwa erosi merupakan suatu peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Tingkat aliran permukaan dan erosi yang tinggi dapat menurunkan produktifitas dan kualitas tanah (Sinukaban, 1985).

Perkebunan teh Gunung Mas PTPN VIII telah sejak lama melakukan usaha perkebunan produksi teh. Lokasi perkebunan sebagian besar berada pada dataran tinggi dengan ketinggian 900 - 1200 mdpl dan meliputi areal seluas 1182 Ha (Direktori Wisata Agro Indonesia, 2010). Topografi lahan perkebunan sebagian besar terdiri dari bergelombang hingga berbukit dan curah hujan tahunan mencapai 2500 – 5000 mm th-1.

Selain itu, untuk menjaga ketinggian bidang petik dan memperbaiki produktifitas pucuk tanaman teh, manajemen perkebunan melakukan pemangkasan tanaman teh secara berkala. Kegiatan pemangkasan dilakukan pada saat musim hujan. Hal demikian dilakukan untuk mengurangi risiko kekurangan air pada tanaman teh saat fase pertumbuhan kembali bagian tanaman yang telah dipangkas. Metode pemangkasan yang digunakan adalah metode pemangkasan bersih yakni pemangkasan dengan bidang pangkas rata, semua cabang yang berukuran kurang dari 1 cm dibuang (Prihartono, 2000).

Kegiatan pemangkasan tanaman teh pada areal yang cukup luas dikhawatirkan akan semakin meningkatkan aliran permukaan dan erosi tanah sebagai akibat dari berkurangnya pengaruh tutupan tajuk tanaman teh dalam menahan curah hujan tinggi. Oleh karena itu, kajian mengenai pengaruh


(19)

pemangkasan tanaman teh terhadap aliran permukaan dan erosi tanah di perkebunan teh menjadi cukup penting.

1.2. Tujuan Penelitian

Mengkaji aliran permukan dan erosi tanah di perkebunan teh pada beberapa umur pemangkasan serta faktor-faktor yang mempengaruhi aliran permukaan dan erosi tanah.


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Aliran Permukaan dan Erosi Tanah

Aliran permukaan adalah air yang mengalir diatas permukaan tanah atau bumi dan bentuk aliran inilah yang paling penting sebagai penyebab erosi (Arsyad, 2006). Di dalam bahasa inggris dikenal kata runoff yang berarti bagian air hujan yang mengalir ke sungai atau saluran, danau, atau laut berupa aliran di atas permukaan tanah atau aliran di bawah permukaan tanah. Akan tetapi di dalam hidrologi istilah runoff digunakan untuk aliran di atas permukaan tanah bukan aliran di bawah permukaan tanah. Dalam pengertian ini runoff dapat berarti aliran air di atas permukaan tanah sebelum air itu sampai ke dalam saluran atau sungai, dan aliran air di dalam sungai (Arsyad, 2006).

Kohnke dan Bertrand (1959) menyatakan bahwa aliran permukaan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya : presipitasi, intensitas hujan, lamanya hujan, distribusi hujan dalam daerah pengaliran, arah pergerakan hujan, curah hujan terdahulu dan kelembaban tanah, keadaan penggunaan tanah, jenis tanah, kondisi topografi dalam daerah pengaliran, temperatur, lapisan bawah, tanaman penutup tanah, dan lain-lain.

Menurut Arsyad (2006) erosi merupakan suatu peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Sedangkan definisi menurut Sarief (1985) erosi adalah proses pengikisan lapisan tanah permukaan sebagai akibat dari tumbukan butir hujan dan aliran air di permukaan. Kejadian erosi merupakan fungsi dari beberapa faktor utama penyebab terjadinya erosi yakni curah hujan, topografi, sifat tanah (terutama sifat fisik), jenis penggunaan tanah dan faktor pengolahan (Morgan, 1979).

Menurut Baver et al. (1972) terjadinya erosi tanah tergantung dari beberapa faktor yaitu karakteristik hujan, kemiringan lereng, tanaman penutup, dan kemampuan tanah untuk menyerap dan melepas air ke dalam lapisan tanah dangkal.


(21)

2.2. Proses Erosi Tanah

Erosi tanah merupakan fenomena kompleks alami yang meliputi proses pelepasan (detachment), pengangkutan (transport), dan pemindahan (deposition) partikel tanah (Blanco dan Lal, 2008). Sedangkan menurut Arsyad (2010), proses erosi oleh air merupakan kombinasi dua sub proses yaitu : a.) penghancuran struktur tanah menjadi butir-butir primer oleh energi tumbuk butir-butir hujan yang menimpa tanah (Dh) dan pemindahan butir-butir primer tersebut oleh percikan air hujan (Th), b.) perendaman oleh air yang tergenang di permukaan tanah yang mengakibatkan tanah terdispersi (D1) yang diikuti pengangkutan butir-butir tanah oleh air yang mengalir di permukaan tanah (T1). Jika (Dh + D1) > (Th + T1) maka besarnya erosi lebih kecil dari (Dh + D1), artinya hanya sebagian saja tanah yang telah terdispersi terangkut ke tempat lain dan jika (Dh + D1) < (Th + T1) maka besarnya erosi sama dengan (Dh + D1).

2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aliran Permukaan dan Erosi

Erosi tanah terjadi akibat interaksi kerja antara faktor-faktor seperti : iklim, topografi, tumbuhan (vegetasi), tanah dan manusia terhadap tanah yang dinyatakan dalam persamaan deskriptif : E = f (i, r, v, t, m); yang menyatakan E adalah besarnya erosi, i adalah iklim, r adalah topografi, v adalah tumbuhan, t adalah tanah dan m adalah manusia (Arsyad, 2006).

2.3.1. Iklim

Semua faktor iklim seperti hujan, kelembaban, suhu, evapotranspirasi, radiasi surya dan kecepatan angin merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi erosi (Blanco dan Lal, 2008). Faktor iklim yang paling mempengaruhi erosi adalah hujan (Arsyad, 2006). Selama terjadi hujan, jumlah hujan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap jumlah aliran permukaan, sedangkan penyebaran hujan menentukan luasan erosi (Kohnke dan Bertrand, 1959). Menurut Blanco dan Lal (2008) bahwa intensitas hujan merupakan faktor paling penting dalam mempengaruhi tingkat erosi tanah.

Besarnya curah hujan, intensitas, dan distribusi hujan menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah, jumlah dan kekuatan aliran permukaan serta tingkat kerusakan erosi yang terjadi (Arsyad, 2006). Pukulan butir hujan


(22)

menghancurkan agregat tanah dan partikel tanah mengalir masuk mengisi pori-pori permukaan tanah sehingga membentuk lapisan cadas pada lapisan permukaan tanah. Infiltrasi lambat pada lapisan tersebut menyebabkan peningkatan aliran permukaan dan erosi (Troeh et al., 2004).

Menurut Wischmeier dan Smith (1978), intensitas maksimum 30 menit mempunyai korelasi lebih baik terhadap besarnya erosi bila dibandingkan dengan intensitas maksimum 5, 15, dan 60 menit. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa EI30 berkorelasi lebih erat dengan erosi dibandingkan dengan sifat sifat hujan lainnya.

Dua agen utama yang mempengaruhi erosi tanah oleh air adalah erosivitas curah hujan dan erosivitas aliran permukaan.

a. Erosivitas Hujan

Erosivitas hujan menunjuk pada kapasitas intrinsik hujan dalam menyebabkan erosi tanah. Sifat hujan yang mempengaruhi erosivitas antara lain: jumlah, intensitas, kecepatan jatuh, distribusi ukuran butir hujan. Parameter tersebut mempengaruhi total erosivitas hujan. Namun kenyataannya data terukur terhadap parameter diatas tidak selalu tersedia pada semua wilayah sehingga mempengaruhi tingkat keakuratan hasil analisis erosivitas hujan.

Erosivitas hujan penting untuk memahami proses erosi, memperkirakan tingkat erosi tanah, dan merancang cara untuk mengendalikan erosi. Erosivitas hujan dan pengaruhnya dibedakan oleh wilayah iklim. Hujan pada daerah tropis lebih erosif daripada di wilayah temperate dikarenakan kehadiran angin kuat dan suhu yang tinggi. Distribusi tahunan curah hujan juga mempengaruhi erosivitas hujan (Blanco dan Lal, 2008).

b. Erosivitas Aliran Permukaan

Erosivitas aliran permukaan merupakan kemampuan aliran permukaan dalam menyebabkan erosi tanah. Pukulan butir hujan memberikan pengaruh yang kuat dalam memercik partikel tanah dan melepaskan agregat di permukaan tanah, sementara aliran permukaan melepaskan dan membawa partikel tanah. Kemampuan aliran permukaan dalam memindahkan partikel tanah meningkat seiring dengan penambahan jumlah, kecepatan, dan turbulensi (Blanco dan Lal, 2008).


(23)

2.3.2. Topografi

Kemiringan dan panjang lereng adalah dua sifat topografi yang paling berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi (Kohnke dan Bertrand, 1959). Unsur lain yang mungkin berpengaruh adalah konfigurasi, keseragaman dan arah lereng (Arsyad, 2006). Sedangkan Wischmeier dan Smith (1978) menyatakan bahwa sifat-sifat lereng yang mempengaruhi erosi adalah kemiringan, panjang, dan bentuk lereng.

Baver (1959) mengemukakan bahwa derajat kemiringan lebih penting pengaruhnya terhadap erosi daripada panjang lereng. Makin besar lereng makin besar erosi yang terjadi, sehingga pada lereng lebih dari 30 persen sudah sangat besar risiko yang akan terjadi jika tanah digarap untuk tanaman semusim. Panjang lereng juga mempengaruhi erosi pada dasarnya makin panjang lereng maka makin besar erosi. Thompson (1957) menyatakan bahwa dengan bertambahnya panjang lereng menjadi dua kali maka jumlah erosi total menjadi dua kali dari jumlah pertama, tetapi erosi per satuan luas (per hektar) tidak menjadi dua kali.

Kemiringan lereng dinyatakan dalam derajat atau persen. Dua titik yang berjarak 100 m yang mempunyai selisih tinggi 10 m membentuk lereng 10 %. Kecuraman lereng 100 % sama dengan kecuraman lereng 45 derajat. Selain dari memperbesar jumlah aliran permukaan, semakin curam lereng juga memperbesar kecepatan aliran permukaan yang dengan demikian memperbesar energi angkutan aliran permukaan. Selain daripada itu, dengan semakin miringnya lereng, maka jumlah butir-butir tanah yang terpercik ke bagian bawah lereng oleh tumbukan butir-butir hujan semakin banyak (Arsyad, 2006).

2.3.3. Vegetasi

Menurut Baver (1959) pengaruh vegetasi terhadap aliran permukaan dan erosi dapat dibagi dalam (1) intersepsi hujan, (2) mengurangi kecepatan aliran permukaan, (3) pengaruh akar, bahan oganik sisa-sisa tumbuhan yang jatuh dipermukaan tanah, dan kegiatan-kegiatan biologi yang berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif dan pengaruhnya terhadap stabilitas struktur porositas tanah, dan (4) transpirasi yang mengakibatkan kurangnya kandungan air tanah.


(24)

Asdak (1995) mengemukakan bahwa yang lebih berperan dalam menurunkan besarnya erosi adalah tumbuhan bawah karena ia merupakan stratum vegetasi terakhir yang akan menentukan besar kecilnya erosi percik.

Vegetasi merupakan lapisan pelindung atau penyangga antara atmosfer dan tanah. Suatu vegetasi penutup tanah yang baik seperti rumput yang tebal atau rimba yang lebat akan menghilangkan pengaruh hujan dan topografi terhadap erosi. Bagian vegetasi yang ada di atas permukaan tanah, seperti daun dan batang, menyerap energi perusak hujan, sehingga mengurangi dampaknya terhadap tanah, sedangkan bagian vegetasi yang ada di dalam tanah, yang terdiri atas sistem perakaran, meningkatkan kekuatan mekanik tanah (Styczen dan Morgan, 1995). Vegetasi merubah energi hujan yang menimpa butir-butir tanah dan pengaruh butir-butir tersebut terhadap penghancuran agregat tanah, melalui pengaruhnya terhadap massa hujan yang sampai di permukaan tanah, distribusi ukuran butir dan intensitas lokalnya. Energi butir-butir hujan akan teredam oleh tajuk tumbuhan sehingga ketika sampai dipermukaan tanah kekuatan perusaknya telah berkurang dan menjadi lebih kecil atau menjadi sama dengan energi hujan yang jatuh langsung ke permukaan tanah. Ketinggian tajuk dan kerapatan tajuk menutupi tanah mempengaruhi erosivitas butir-butir hujan yang menimpa permukaan tanah. Semakin rendah tajuk dan semakin rapat tajuk, semakin rendah erosivitas butir-butir hujan dan semakin relatif memperkecil risiko terjadi erosi (Arsyad, 2006).

2.3.4. Tanah

Arsyad (2006) mengemukakan bahwa sifat tanah yang mempengaruhi nilai erosi adalah erodibilitas tanah dan berbagai tipe tanah mempunyai kepekaan terhadap erosi yang berbeda-beda. Erodibilitas merupakan kepekaan tanah terhadap proses pelepasan dan transportasi. Erodibilitas merupakan atribut yang selalu berubah menurut ruang dan waktu dengan sifat tanah (Blanco dan Lal, 2008). Erodibilitas bervariasi terhadap tekstur tanah, stabilitas agregat, kekuatan partikel, kapasitas infiltrasi, kadar bahan organik, dan kimia tanah (Morgan, 1979).

Baver (1959) menyatakan bahwa pengaruh sifat tanah terhadap erosi ditentukan oleh kapasitas infiltrasi tanah dan daya tahan tanah terhadap dispersi.


(25)

Daya tahan terhadap dispersi terutama ditentukan oleh agregat tanah. Agregat yang yang besar dan stabil akan lebih tahan terhadap dispersi (Kohnke dan Bertrand, 1959).

Wischmeier dan Smith (1978) juga menyatakan bahwa kepekaan erosi tanah merupakan pernyataan keseluruhan pengaruh sifat-sifat tanah dan bebas dari pengaruh faktor-faktor penyebab erosi lainnya.

2.3.5. Manusia

Keberadaan manusia menjadi penting dalam menentukan besarnya erosi pada suatu areal. Karena manusia yang mengusahakan areal tersebut. Bentuk pengolahan lahan dan orientasi pengolahan menjadi faktor penting yang mempengaruhi terhadap besarnya erosi. Pengolahan lahan yang tidak tepat dapat meningkatkan risiko kejadian erosi. Penggunaan alat berat akan membuat tanah semakin padat sehingga meningkatkan aliran permukaan. Bentuk baris tanam searah kontur pada lahan miring dapat mengurangi erosi tanah dibandingkan searah lereng (Arsyad, 2006).

2.4. Dampak Erosi Tanah

Menurut Blanco dan Lal (2008) dampak erosi terbagi menjadi dua yakni

on-site dan off-site. Efek on-site yang paling utama yakni pengurangan ketebalan tanah sehingga menghasilkan degradasi struktur tanah, pemadatan tanah, deplesi nutrisi, kehilangan bahan organik tanah, timbulnya persemaian yang buruk, dan mengurangi hasil panen. Pelepasan nutrisi kaya pada lapisan topsoil menyebabkan pengurangan kesuburan tanah dan penurunan hasil panen. Erosi tanah menurunkan kapasitas fungsional tanah dalam memproduksi hasil tanam, kemampuan filter polutan, dan penyimpanan C organik dan nutrisi tanah. Dampak

off-site yakni polusi pada daerah penerima (reservoir) akibat proses transportasi sedimen dan kimia dari daerah on-site. Sedimen hasil transportasi merubah karakteristik bentang lahan, pengurangan habitat alam liar, dan kehilangan ekonomi. Erosi juga mengurangi produksi ternak melalui pengurangan bobot hewan ternak dan produksi makanan ternak, kerusakan reservoir air, dan meningkatkan kematian pohon. Akumulasi bahan tererosi pada daratan aluvial mengakibatkan banjir di daerah pertanaman. Erosi tanah juga berkontribusi pada


(26)

perubahan pemanasan global, C organik dalam jumlah besar akan mudah teroksidasi selama terjadi erosi, memperburuk pelepasan CO2 dan CH4 ke atmosfer (Lal, 2003).

2.5. Petak Erosi Standar

Petak kecil yang banyak dilakukan merupakan salah satu metode pengukuran erosi menggunakan petak standar Wischmeier dan Smith (1978) yang bertujuan untuk membandingkan erosi yang terjadi pada berbagai penggunaan

lahan (Sa’ad, 2004). Erosi dan aliran permukaan yang terukur hanya menggambarkan skala petak. Menurut Van Noordwijk et al. (1998), hasil pengukuran erosi pada skala petak belum dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya terjadi pada skala DAS. Demikian juga pendapat Dickinson dan Collins (1998) bahwa hasil pengukuran erosi dan aliran permukaan pada skala petak tidak dapat di scale up untuk mengevaluasi erosi seluruh daerah tangkapan (catchment) yang luas karena terdapat faktor-faktor yang tidak dapat ditentukan pada petak kecil seperti erosi parit, erosi tebing sungai dan pengendapan sementara pada lahan.

2.6. Teh (Camelia sinensis (L))

Tanaman teh merupakan tanaman subtropis yang telah sejak lama dikenal di Indonesia. Teh memiliki nama latin (Camelia sinensis (L)). Tanaman teh termasuk dalam marga (genus) Camelia dari suku (famili) Theaceae. Agar dapat tumbuh dan berproduksi optimal, tanaman teh menghendaki persyaratan iklim dan tanah yang sesuai dengan keperluan pertumbuhannya. Daerah pertanaman teh yang lebih cocok di Indonesia adalah daerah pegunungan (Setyamidjaja, 2000).

2.6.1. Syarat Tumbuh Tanaman Teh

Secara umum, lingkungan fisik yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman teh adalah keadaan iklim dan tanah. Faktor iklim yang berpengaruh terhadap pertanaman teh adalah curah hujan, suhu udara, tinggi tempat, sinar matahari, dan angin (Setyamidjaja, 2000).

Iklim. Tanaman teh menghendaki daerah pertanaman yang lembab dan sejuk. Tanaman teh tidak akan tahan terhadap kekeringan, oleh karena itu memerlukan daerah yang mempunyai ciri hujan yang cukup tinggi dan merata


(27)

sepanjang tahun. Curah hujan tahunan yang diperlukan adalah 2000 - 2500 mm tahun-1, dengan jumlah hujan pada musim kemarau rata-rata tidak kurang dari 100 mm tahun-1 (Setyamidjaja, 2000). Selain curah hujan, tanaman teh juga memerlukan daerah pertanaman dengan suhu udara berkisar antara 13 - 250C dan cahaya matahari yang cerah serta kelembaban relatif pada siang hari tidak kurang dari 70 % (Ditjenbun, 2007).

Tanah. Tanaman teh cocok hidup pada tanah dengan derajat kemasaman (pH) antara 4,5 - 5,6. Jenis tanah yang cocok yaitu Latosol dan Podsolik. Kedalaman efektif struktur remah tanah lebih dari 40 cm (PPTK, 2006).

Tinggi tempat. Tanaman teh di Indonesia hanya ditanam di dataran tinggi. Daerah pertanaman ini umumnya terletak pada ketinggian lebih dari 400 meter di atas permukaan laut. Ada kaitan erat antara elevasi dan suhu, yaitu semakin rendah elevasi, suhu udara makin tinggi. Di Indonesia pertanaman teh dilakukan pada ketinggian antara 400 m - 1200 m dari permukaan laut (Setyamidjaja, 2000). Menurut Schoorel et al. (2000) terdapat tiga kategori perkebunan teh berdasarkan ketinggian tempat yaitu :

1. Daerah dataran rendah : elevasi dibawah 800 mdpl, dengan suhu rata-rata 23,860 C

2. Daerah dataran sedang : 800 - 1200 mdpl, dengan suhu rata-rata 21,420 C 3. Daerah dataran tinggi : di atas 1200 mdpl, dengan suhu rata-rata 18,980 C. 2.6.2. Pemangkasan Teh

Dalam perjalanan pertumbuhan tahunan tanaman teh terdapat aktifitas pembuangan salah satu organ vegetatif tanaman. Pada jangka waktu pendek dilakukan dengan proses pencabutan dan waktu panjang dengan proses pemangkasan. Proses pemangkasan dilakukan pada semua daun dan sebagian batang muda pada pucuk tanaman teh (Eden, 1958).

Pemangkasan dilakukan dalam siklus setiap 4 tahun dimana pada saat itu hasil teh mulai mengalami penurunan dan pencabutan yang terlalu tinggi (McDonald dan Low, 1984). McDonald dan Low (1984) telah menyebutkan bahwa pada masing-masing pemangkasan, seharusnya ketinggian tanaman teh akan bertambah tinggi sekitar 5 cm tiap tahunnya setelah pemangkasan sebelumnya. Setelah beberapa kali pemangkasan semak/kanopi teh dipotong


(28)

kembali hingga menjadi 45 cm yakni pada tahun ke-5 setelah pemangkasan sebelumnya (McDonald dan Low, 1984).

Gambar 1. Sketsa Berbagai Jenis Pemangkasan Tanaman Teh

Eden (1958) telah mengemukakan bahwa terdapat beberapa tujuan dilakukannya pemangkasan, yaitu untuk :

1. Menjaga tumbuhan secara permanen agar tetap berada pada fase vegetatif 2. Merangsang, khususnya tunas muda yang merupakan bagian terpotong

dari semak

3. Tetap menjaga ketinggian semak pada batas yang mudah dan efisien dalam proses pemetikan

4. Pertumbuhan tunas muda (flush) akan semakin cepat dan regenerasi secara terus menerus

5. Memperbarui pertumbuhan aktif cabang sehingga dapat menggantikan kayu dan dedaunan sehat yang segera mati atau rusak; tetap menjaga kecukupan volume dedaunan dewasa agar seimbang dengan kebutuhan fisiologi tanaman, dan mempercepat proses pembaharuan “flush” yang cocok untuk meningkatkan kualitas teh.

2.7. Pemangkasan Teh dan Erosi Tanah

Erosi tanah adalah permasalahan yang timbul pada awal mendirikan perkebunan dalam hal ini perkebunan kelapa sawit, kakao, kopi, dan teh dimana sebagian besar dari wilayah tersebut mendapati curah hujan berlebih dari iklim tropis (Hartemink, 2003). Pada lahan pertanaman teh dewasa, kejadian erosi hampir tidak berarti karena lahan telah tertutup secara sempurna dan beberapa erosi mungkin terjadi setelah proses pemangkasan dan pemindahan tanaman teh (Hartemink, 2006). Erosi tanah mungkin akan menjadi permasalahan yang serius


(29)

ketika terjadi penurunan tutupan yang sempurna pada perkebunan teh (Hartemink, 2006).

Pemangkasan akan menurunkan/menghilangkan kerapatan kanopi sempurna teh untuk beberapa waktu. Penurunan kerapatan kanopi pada suatu tanaman akan memperbesar berkurangnya air hujan tertahan akibat intersepsi (Arsyad, 2006).

Erosi tanah pada pertanaman teh dapat menjadi sebuah masalah ketika perkebunan berkurang. Hal tersebut telah ditemukan di Sri Lanka dimana perkebunan teh telah diabaikan sejak pertengahan tahun 1970 dan menyebabkan erosi tanah terberakan (Botschek et al., 1998). Menurut Salim (2000) berdasarkan penelitiannya mengenai tingkat erosi pada kebun teh di tanah Andosol setelah pemangkasan, disebutkan bahwa lahan kontrol (lahan sehabis pangkas tanpa pengendalian erosi) menghasilkan erosi sebesar 5.961 ton ha-1 th-1. Pemberian mulsa daun teh sisa pemangkasan memberi pengaruh yang nyata terhadap jumlah erosi tanah dan laju aliran permukaan karena lahan lebih terlindung dari daya tumbuk butir-butir hujan dan daya kikis aliran permukaan dengan adanya penutup permukaan tanah oleh mulsa yang lebih rapat (Salim, 2000).


(30)

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2010 sampai Desember 2011 dan terbagi menjadi 2 tempat yakni lapang dan laboratorium. Kegiatan penelitian lapang berlokasi di Afdeling Cikopo Selatan Perkebunan Teh PTPN VIII Gunung Mas (Gambar 2), sedangkan kegiatan analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium Konservasi Tanah dan Air, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Gambar 2. Lokasi Penelitian: a) Lokasi Lahan Penelitian di PTPN VIII Gn.Mas Afdeling Cikopo Selatan, b) Letak Desa Citeko, Kecamatan Cisarua Lokasi penelitian berada pada DAS (Daerah Aliran Sungai) Ciliwung Hulu (Gambar 2) dengan topografi berbukit hingga bergunung dan berada pada ketinggian 900 - 1200 mdpl. Secara administratif, lahan kebun teh Afdeling Cikopo Selatan berada di wilayah Desa Citeko, Kecamatan Cisarua. Menurut Peta Tanah Semi Detail skala 1 : 50.000, tanah di Desa Citeko Kecamatan Cisarua tergolong jenis tanah Andosol (Puslittanak, 1992).

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian adalah lahan perkebunan teh berumur 40 – 45 tahun yang berada pada ketinggian ± 1000 - 1100 mdpl dengan lereng antara 16 – 18%. Bahan lain yang digunakan adalah data pias hujan harian selama 1 tahun yang dikumpulkan dari Stasiun Klimatologi Citeko. Peralatan yang digunakan berupa seng, bonet, paku, drum kaleng, drum plastik, pipa pralon,

a) b)


(31)

gelas ukur, ember, double ring infiltrometer, palu, ring sampel, kayu balok, botol plastik, dan lain-lain.

3.3. Metode Penelitian

Aliran permukaan dan erosi tanah diukur dari petak ukur aliran permukaan berukuran 2m x 8m yang ditempatkan secara acak pada 3 blok kebun berbeda (Gambar Lampiran 1). Petak ukur T1 terdapat pada blok 2, petak ukur T2 terdapat pada blok 3 dan petak ukur T3 terdapat pada blok 6. Pemilihan blok kebun didasarkan pada perbedaan umur pemangkasan tanaman teh dengan jenis umur pemangkasan :

1. T1 : tanaman teh umur tahun ke-1 setelah pemangkasan (lereng 17 %) 2. T2 : tanaman teh umur tahun ke-3 setelah pemangkasan (lereng 18 %) 3. T3 : tanaman teh umur tahun ke-4 setelah pemangkasan (lereng 16 %)

Pada penelitian kali ini ketiga nilai kemiringan lereng tersebut diasumsikan termasuk kedalam satu kelompok. Sehingga pengaruhnya terhadap nilai aliran permukaan dan erosi tanah menjadi tidak ada dan hasil pengukuran menjadi dapat dibandingkan.

3.3.1. Pembuatan Petak Ukur Aliran Permukaan dan Erosi

Petak ukur dibuat dengan arah memotong kontur dan terbuat dari plat seng berukuran 50 cm yang dimasukkan ke dalam tanah secara vertikal hingga setengah bagian (25 cm) seng tertanam (Gambar Lampiran 2). Bagian bawah petak merupakan daerah outlet aliran permukaan yang akan tertampung pada bak penampung.

Pada lereng bawah setiap petak dipasang bak penampung utama dan drum penampung tambahan (Gambar Lampiran 2). Bak penampung utama terbuat dari drum berkapasitas ± 210 liter yang dipotong menjadi dua bagian. Bagian dekat mulut drum yang mengarah lereng bawah dibuatkan lubang sebanyak 11 buah mengelilingi drum. Lubang-lubang tersebut berkedudukan horizontal, masing-masing berdiameter ±3 cm dan berjarak ±8 cm. Permukaan bak dilapisi dengan penutup berbahan kain kasa. Kain pelapis tersebut mampu ditembus oleh air namun tidak diharapkan mampu ditembus oleh sedimen tanah hasil erosi terkecuali partikel tanah yang berbentuk suspensi dan menyatu dengan aliran


(32)

permukaan yang ditampung. Bak penampung utama diberikan penutup yang terbuat dari seng. Hal demikian dilakukan agar aliran permukaan dan erosi yang tertampung tidak lain berasal dari daerah tangkapan petak erosi dan bukan berasal dari air hujan langsung dan erosi di luar petak ukur

Bak penampung tambahan merupakan tong berbahan plastik berkapasitas ±60 liter yang ditempatkan pada ketinggian yang lebih rendah dari bak penampung utama. Fungsi dari bak penampung tambahan adalah untuk menampung kelebihan air yang diterima oleh bak penampung utama.

Bak penampung utama dan penampung tambahan dihubungkan oleh pipa plastik. Pipa plastik tersebut dipasang pada lubang tengah bak utama dan ujung lainnya dipasang pada lubang tunggal bak penampung tambahan.

3.3.2. Peralatan yang Dipergunakan untuk Membuat Petak Erosi dan Cara Pengukuran Aliran Permukaan dan Erosi

A. Peralatan

1. Bak penampung aliran permukaan 2. Alat pengambil contoh tanah

ring sampel, pacul, sekop, pisau cutter, kertas label, kantong plastik 3. Alat pengukur dan pengambilan contoh aliran permukaan

teko piala plastik ukuran 1 liter, ember, gelas plastik, gayung, spons 4. Alat untuk mengukur sedimen erosi

alat penyaring, kertas saring, gelas ukur, oven, timbangan 5. Alat-alat lain :

abney level untuk mengukur kelerengan lahan, double ring infiltrometer untuk mengukur infiltrasi dan pengukur waktu (stop watch).

B. Pengukuran Aliran Permukaan

Pengukuran aliran permukaan dilakukan dengan mengukur volume keseluruhan air yang tertampung pada bak penampung utama (sebagai aliran permukaan) menggunakan teko piala plastik berskala liter. Pengukuran volume air juga dilakukan pada tong penampung tambahan jika terdapat air berlebih dari bak penampung utama dan mengalir mengisi tong penampung tambahan. Volume air


(33)

yang terukur pada bak penampung tambahan, nilainya dikalikan dengan banyak lubang yang terdapat pada bak penampung utama (11 lubang).

Contoh aliran permukaan sebanyak 0,5 liter dibawa ke laboratorium dan dilakukan analisis pemisahan suspensi tanah. Pengambilan contoh air dilakukan bersamaan dengan waktu pengukuran aliran permukaan.

Jumlah aliran permukaan yang tertampung dihitung dengan menggunakan rumus :

Vap = VI + 11VII dimana :

Vap = Volume aliran permukaan (m3)

VI = Volume air bak penampung utama (m3) VII = Volume air bak penampung tambahan (m3)

Komponen rumus perhitungan VII diatas hanya digunakan kedalam rumus Vap jika terdapat aliran permukaan berlebih yang mengisi tong penampung tambahan. Jika tidak ada, aliran permukaan hanya dihitung berdasarkan volume air yang tertampung pada bak penampung utama saja (VI). Pada penelitian kali ini, aliran permukaan yang terjadi pada perkebunan bernilai kecil dan tidak menghasilkan air pada bak penampung tambahan sehingga perhitungan aliran permukaan total (Vap) hanya menggunakan komponen rumus VI.

C. Pengukuran Erosi

Erosi yang dihasilkan pada petak pengukuran relatif kecil dan hanya berasal dari suspensi tanah yang tercampur pada aliran permukaan. Pengukuran erosi dilakukan dengan mengambil 0,5 liter sampel aliran permukaan yang mengandung suspensi tanah dari bak penampung utama. Pengambilan sampel dilakukan dengan terlebih dahulu mengaduk seluruh air di dalam bak penampung sampai merata dan homogen. Tahap tersebut dilakukan bersamaan pada saat melakukan pengukuran aliran permukaan. Sampel air dimasukkan pada botol plastik berukuran 600 ml. Sampel air dibawa ke Laboratorium untuk selanjutnya dilakukan analisis pemisahan suspensi tanah terhadap aliran permukaan.


(34)

Kegiatan pemisahan suspensi tanah dilakukan di Laboratorium Konservasi Tanah dan Air, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya lahan. Tahap pemisahan suspensi tanah dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Pengukuran terhadap bobot masing-masing kertas saring yang akan digunakan 2. Penyaringan suspensi tanah terhadap sampel aliran permukaan menggunakan

kertas saring yang telah diketahui bobotnya. Pencatatan bobot air (ml) yang lolos dari proses penyaringan.

3. Proses pengeringan terhadap kertas saring yang digunakan saat penyaringan menggunakan oven pada suhu 1050 C selama ± 24 jam

4. Penimbangan kembali terhadap bobot kertas + tanah setelah oven.

5. Selisih bobot antara kertas sebelum penyaringan dengan kertas + suspensi (setelah oven) merupakan jumlah bobot kering dari sedimen tanah yang tersuspensi dalam aliran permukaan.

Jumlah suspensi tanah tererosi pada penelitian kali ini merupakan erosi total yang terjadi pada perkebunan teh dan jumlahnya dihitung dengan rumus :

E = V x B, dimana :

E = erosi total (kg ha-1 th-1)

V = volume aliran permukaan (m3 ha-1 th-1)

B = bobot kering sedimen yang tersuspensi dalam aliran permukaan 3.3.3. Analisis Sifat Fisik Tanah

Sifat-sifat fisik tanah yang dianalisis meliputi kadar air, menentukan nilai pF, tekstur tanah (4 fraksi), bobot isi, kadar bahan organik, dan permeabilitas tanah. Analisis bobot isi dan tekstur tanah dilakukan untuk mengetahui kapasitas meloloskan air pada tanah penelitian dan analisis kadar bahan organik dilakukan untuk mengetahui kondisi kadar bahan organik tanah pada lahan penelitian. Jenis analisis tanah dan metode analisisnya tertera pada Tabel 1.


(35)

Tabel 1. Jenis Analisis Sifat Fisik Tanah dan Metode Analisisnya

Sifat Fisik Tanah Metode Analisis

Kadar Air Gravimetrik

Kurva pF Membrane/plate apparatus

Tekstur (4 fraksi) Pipet

Bobot Isi Gravimetrik

C organik Walkley and Black

Permeabilitas De boodt (1974) berdasarkan Hukum Darcy

3.3.4. Pengukuran Infiltrasi Tanah

Pengukuran infiltrasi tanah pada lahan penelitian dilakukan untuk mengukur kapasitas tanah dalam menyerap dan meneruskan air yang masuk melalui permukaan tanah. Kegiatan pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat double ring infiltrometer seperti yang tertera pada Gambar 3. Pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali ulangan pada masing-masing petak dimana satu ulangan dilakukan didalam petak dan 2 kali ulangan disekitar petak.

Gambar 3. Alat Pengukur Infiltrasi Tanah

Double ring infiltrometer terdiri dari 2 ring dimana masing-masing ring memiliki ukuran diameter yang berbeda (diameter kecil dan diameter besar). Salah satu bagian mulut ring berbentuk lebih pipih dan bagian lainnya lebih tebal. Mulut ring yang lebih pipih diarahkan ke tanah agar lebih mudah masuk menembus tanah ketika dipatok. Sedangkan mulut ring yang lebih tebal digunakan sebagai alas untuk mematok. Instalasi alat dilakukan dengan mematok


(36)

Q = X 100 %

kedua ring menggunakan palu hingga tertanam ± 5 dari permukaan tanah seperti yang terlihat pada Gambar 3.

3.3.5. Analisis Data Hujan

Analisis data hujan meliputi penentuan klasifikasi iklim wilayah menurut Schmidth-Ferguson dan penentuan nilai EI30. Pada sistem klasifikasi Schmidth – Ferguson kriteria yang digunakan adalah penentuan bulan kering, bulan lembab dan bulan basah dengan pengertian sebagai berikut :

Bulan Kering (BK) : bulan dengan hujan < 60 mm

Bulan Lembab (BL) : bulan dengan hujan antara 60 – 100 mm Bulan Basah (BB) : bulan dengan hujan > 100 mm

Penentuan tipe iklim mempergunakan nilai Q yaitu : Rata-rata Bulan Kering (BK)

Rata-rata Bulan Basah (BB)

EI30 ditentukan dengan menganalisis data curah hujan harian berupa data pias hujan. Sifat-sifat hujan dianalisis dari grafik hujan kertas pias. Garis ordinat (Y) menyatakan jumlah hujan, sedangkan garis absis (X) menyatakan waktu. Kurva hujan yang didapat dari penakar hujan automatik dengan faktor konversi sendiri yang melekat pada alat tersebut.

Sifat-sifat hujan yang ditetapkan terdiri dari : a). Jumlah hujan harian, b). Intensitas maksimum selama 30 menit (I30), c). Energi kinetik total (KE), d). Satuan interaksi energi - intensitas hujan maksimum selama 30 menit (EI30) sebagai indeks erosi hujan.

Untuk menghitung energi kinetik hujan digunakan rumus : E = 210,3 + 89 log I

Sedangkan indeks erosi hujan dari satuan interaksi energi-interaksi maksimum selam 30 menit dihitung dengan rumus :


(37)

dimana :

EI30 = indeks erosi hujan dengan intensitas maksimum selama 30 menit,

∑ E = total energi kinetik hujan untuk satu hari hujan, dalam joule per meter persegi

I30 = intensitas maksimum selama 30 menit, dalam cm jam-1

3.3.6. Pengukuran Persentase Tutupan Lahan

Analisis untuk menentukan persentase tutupan lahan dilakukan pada setiap petak pengamatan. Data yang digunakan adalah foto terhadap kondisi tutupan kanopi tanaman teh pada awal dan akhir pengamatan di ketiga petak pengamatan. Foto diambil menggunakan kamera digital. Softcopy foto dirubah ke dalam format

.jpeg kemudian diolah menggunakan bantuan software Adobe Photoshop CS 5

untuk mengetahui berapa persen tutupan kanopi tanaman teh terhadap lahan pada masing-masing petak.

3.3.7. Pengukuran Lolosan Tajuk

Pengukuran lolosan tajuk pada lahan penelitian dilakukan dengan menggunakan alat sederhana yang terbuat dari jerigen minyak, corong, selang plastik, vaselin, dan alat perkakas. Seperti yang terlihat pada Gambar 4.

Alat tersebut terdiri dari dua bagian utama, yakni bagian penangkap air hujan dan bagian penampung air hujan yang tertangkap. Dalam hal ini, corong minyak digunakan sebagai bagian alat yang berfungsi sebagai penangkap air hujan dan jerigen minyak berfungsi sebagai alat penampungnya. Ujung corong minyak dihubungkan dengan jerigen minyak menggunakan selang plastik. Pada bagian sambungan di kedua ujung selang, digunakan vaseline untuk menutupi rongga pada kedua sambungan baik sambungan antara selang dan corong maupun antara selang dan jerigen. Hal demikian dilakukan supaya air hujan tidak mengalir menembus rongga persambungan dan air hujan yang tertampung hanya berasal dari hujan yang masuk melalui mulut corong penangkap. Alat ditempatkan persis di bawah tajuk sehingga air yang tertangkap merupakan air hujan yang lolos melewati tajuk tanaman teh. Selanjutnya dilakukan pengukuran terhadap volume air yang tertampung.


(38)

Gambar 4. Sketsa Alat Pengukur Lolosan Tajuk

Pengukuran dilakukan sesaat setelah hujan bersamaan dengan pengukuran aliran permukaan. Volume air hujan yang tertampung pada alat pengukuran selanjutnya dilakukan konversi terhadap satuan luas lahan penelitian dan dibandingkan terhadap curah hujan (persen hujan).

Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai lolosan tajuk dan perbandingan nilai lolosan tajuk terhadap curah hujan (CH) adalah sebagai berikut

Lolosan Tajuk = dimana :

P = volume air hujan yang tertampung jerigen

Q = jumlah pohon teh dalam 1 petak pengamatan erosi, R = luas petak

± 1 m

P x Q R Wadah Penampung


(39)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian merupakan kawasan Perkebunan Teh Gunung Mas PT Perkebunan Nusantara VIII yang berada pada ketinggian 900-1200 mdpl dengan topografi berbukit hingga bergunung. Suhu rata-rata harian antara 14-280 C dan kelembaban udara 70 % dengan curah hujan rata-rata per tahun 3355 mm. Tanaman teh pada perkebunan teh Gunung Mas ditanam dengan searah kontur (Gambar Lampiran 3).

Perkebunan Teh Gunung Mas (PTPN VIII) memiliki areal produksi seluas 587,10 ha, yang terbagi menjadi empat lokasi yaitu Afdeling Gunung Mas I, Afdeling Gunung Mas II, Afdeling Cikopo Selatan I, dan Afdeling Cikopo Selatan II. Afdeling Gunung Mas I dan Afdeling Gunung Mas II terletak di Desa Tugu Selatan Kecamatan Cisarua, sementara Afdeling Cikopo Selatan I dan Afdeling Cikopo Selatan II tersebar di tiga desa yaitu Desa Sukagalih dan Kuta di Kecamatan Megamendung serta Desa Citeko di Kecamatan Cisarua (Sulityorini, 2006).

Berdasarkan data administrasi PTPN VIII Gunung Mas tahun 2012, Afdeling Cikopo Selatan I dan II terdiri atas 18 blok kebun dengan luas total sebesar 214,93 Ha. Selain itu, terdapat tiga jenis tanah pada areal perkebunan teh Gunung Mas PTPN VIII yaitu jenis tanah Andosol yang merupakan jenis tanah yang paling banyak terdapat yaitu sekitar 53,50% dari seluruh jenis tanah yang terdapat di perkebunan, jenis tanah yang lain adalah jenis Tanah Latosol dan Regosol. PH tanah di perkebunan Gunung Mas berkisar 4,5 – 5,0 (Prihartono, 2000).

4.2. Klasifikasi Iklim

Hujan pada tiap wilayah mungkin memiliki karakteristik yang berbeda. Perbedaan karakteristik tersebut akan menentukan klasifikasi iklim pada tiap wilayah tertentu. Karakteristik hujan dapat digunakan untuk memprediksi pengaruh hujan terhadap nilai aliran permukaan dan erosi melalui mekanisme erosivitas hujan.


(40)

Untuk menentukan karakteristik iklim pada wilayah Perkebunan Teh Gunung Mas, maka dilakukan klasifikasi iklim menurut Schmidth – Ferguson terhadap data curah hujan tahunan di lokasi penelitian. Data curah hujan yang digunakan berupa pias hujan yang berasal dari penakar hujan otomatis Hellman yang dikumpulkan dari Stasiun Klimatologi Citeko.

Hasil klasifikasi terhadap data curah hujan bulanan di Stasiun Klimatologi Citeko periode tahun 2004 - 2011, menunjukkan bahwa iklim wilayah lokasi penelitian memiliki nilai Q sebesar 18,42 % dan tergolong pada tipe B1 yakni daerah sangat basah (Tabel Lampiran 1).

Selain klasifikasi iklim lokasi penelitian, hasil pengolahan data curah hujan juga menunjukkan bahwa hujan yang jatuh pada lokasi penelitian memiliki jumlah bulan basah (CH > 100 mm) yang selalu lebih banyak daripada jumlah bulan kering (CH < 60 mm) dan bulan lembab (CH 60 - 100 mm) pada setiap tahunnya. Bulan basah terjadi sebanyak sepuluh bulan yakni pada bulan Januari hingga Juni, kemudian pada bulan September hingga Desember. Bulan kering terjadi dua bulan yakni pada bulan Juli, dan Agustus, sedangkan bulan lembab tidak ditemukan (Gambar 5).

Gambar 5. Rata-rata Curah Hujan Bulanan Desa Citeko (2004 – 2011)

Sedangkan menurut klasifikasi yang digunakan BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika), telah disebutkan bahwa yang termasuk

kedalam musim hujan yakni apabila CH ≥ 150 mm/bulan dan termasuk musim

kering yakni apabila CH ≤ 150 mm/bulan. Berdasarkan klasifikasi tersebut, maka curah hujan yang jatuh pada lokasi penelitian memiliki periode musim hujan

0 100 200 300 400 500 600

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept Ok

t N ov D es Cura h H uja n B ula na n ( m m )


(41)

sebanyak 8 bulan yakni pada periode bulan Januari – Mei dan periode Oktober – Desember. Sedangkan musim kering ditemukan sebanyak 4 bulan, yakni pada periode bulan Juni – September.

Curah hujan yang jatuh di lokasi penelitian tergolong kedalam pola hujan monsun yakni terdapat satu kali maksimum curah hujan bulanan dalam setahun. Grafik curah hujan bulanan (Gambar 5) yang membentuk pola huruf (V) merupakan salah satu karakteristik pola hujan monsun yang dipengaruhi oleh angin monsun. Seperti yang telah dikemukakan oleh Tukidi (2010) bahwa tipe monsun dipengaruhi oleh angin laut dalam skala yang sangat luas dan dicirikan oleh adanya perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan kemarau dalam setahun dan hanya terjadi satu kali maksimum curah hujan bulanan dalam setahun.

4.3. Karakteristik Hujan

Menurut Dariah et al. (2003) faktor-faktor hujan yang menentukan kekuatan erosivitas hujan terhadap tanah, jumlah aliran permukaan dan besarnya erosi adalah jumlah curah hujan, intensitas, distribusi, dan indeks erosivitas hujan (EI30). Hasil pengamatan data hujan Stasiun Klimatologi Citeko menunjukkan bahwa curah hujan total di lokasi penelitian periode Desember 2010 – Desember 2011 tergolong tinggi yakni sebesar 2.627,3 mm (Tabel 2). Curah hujan bulanan tertinggi terjadi pada bulan Januari 2011 sebesar 391,5 mm dengan jumlah hari hujan sebanyak 28 hari dan curah hujan bulanan terendah ditemukan pada bulan Agustus 2011 sebesar 14,3 mm dengan hari hujan sebanyak 4 hari (Tabel 2). Selain itu, hasil juga menunjukkan bahwa distribusi curah hujan tertinggi (musim penghujan) berada pada periode bulan Januari – Mei dan Oktober – Desember, serta periode curah hujan rendah (musim kering) ditemukan pada bulan Juni – September (Tabel 2). Terlihat bahwa periode musim hujan dan periode musim kering yang terjadi pada lokasi penelitian telah mengalami pergeseran waktu dibandingkan periode musim hujan pada sebagian wilayah barat di Indonesia yang biasanya ditemukan pada bulan September – Februari dan musim kering pada bulan Maret – Agustus (Handoko, 1993) .

Dinamika perubahan jumlah dan waktu hujan harian di lokasi penelitian mempengaruhi hasil analisis I30. Hasil analisis I30 terhadap data curah hujan


(42)

Stasiun Klimatologi Citeko periode Desember 2010 – Desember 2011 menujukkan bahwa I30 total yakni sebesar 245,33 cm jam-1. Selain itu, I30 bulanan tertinggi terjadi pada bulan Januari 2011 sebesar 34,57 cm jam-1 dan terendah terjadi pada bulan Agustus sebesar 1,23 cm jam-1 (Tabel 2).

Tabel 2. Karakteristik Hujan Desa Citeko Periode Desember 2010 – Desember 2011

Bulan Curah Hujan

(mm) Hari Hujan I30 (cm jam -1

) EI30 ton-m ha-1

Desember 208,0 22 24,47 96,19

Januari 391,5 28 34,57 299,19

Februari 245,5 16 22,21 143,88

Maret 222,7 23 21,93 75,82

April 261,5 27 28,43 174,13

Mei 281,9 22 28,43 189,89

Juni 131,8 9 9,77 79,74

Juli 19,3 8 2,17 3,12

Agustus 14,3 4 1,23 2,01

September 64,2 9 8,91 23,91

Oktober 171,5 14 19,83 115,71

November 309,9 27 22,93 263,03

Desember 309,6 20 20,45 244,48

Total 2.627,3 230 245,33 1711,1

Data didapatkan dari pias hujan hasil pengukuran penakar hujan otomatis Hellman Stasiun Pengamatan Klimatologi Pos Polusi Udara Cibeureum, Kecamatan Cisarua tahun 2010 – 2011.

Selain jumlah dan I30, erosivitas hujan (EI30) merupakan mekanisme paling penting dari faktor hujan dalam mempengaruhi tingkat erosi suatu tanah. Erosivitas hujan merupakan kemampuan hujan untuk menimbulkan atau menyebabkan erosi pada suatu tanah. Daya erosivitas yang dihasilkan hujan berasal dari energi kinetik yang terjadi saat hujan turun (Arsyad, 2006).

Tabel 2 menunjukkan bahwa erosivitas (EI30) tertinggi terjadi pada bulan Januari 2011 yakni sebesar 299,19 ton-m ha-1. cm jam-1 dan terendah terjadi pada bulan Agustus 2011 sebesar 2,01 ton-m ha-1, cm jam-1. Secara umum terlihat bahwa peningkatan curah hujan sejalan dengan peningkatan hasil analisis EI30.

Namun ternyata Tabel 2 juga menunjukan bahwa peningkatan curah hujan (CH) harian/bulanan pada waktu tertentu tidak selalu berkorelasi linear terhadap peningkatan nilai erosivitasnya. Hal demikian terlihat pada hasil analisis erosivitas hujan pada bulan Maret 2011 (Tabel 2). Jika dibandingkan dengan CH bulan Juni


(43)

2011 dan Oktober 2011, CH bulanan pada bulan Maret memiliki jumlah yang lebih besar dibandingkan CH bulanan pada bulan Juni dan Oktober yakni dengan nilai berturut-turut 222,7; 131,8; dan 171,5 mm. Namun dengan CH bulanan yang lebih tinggi, justru erosivitas hujan bulanan pada bulan Maret bernilai lebih kecil daripada erosivitas bulanan pada bulan Juni dan Oktober yakni dengan nilai erosivitas berturut-turut sebesar 75,82; 79,74; dan 115,71 ton-m ha-1, cm jam-1. Hal demikian mungkin disebabkan oleh hujan pada bulan Maret 2011 yang sering terjadi pada intensitas tinggi namun dalam waktu yang sangat singkat (Tabel Lampiran 2). Hujan pada kondisi demikian tidak termasuk kedalam kategori perhitungan EI30 yang menggunakan intensitas hujan harian ≥ 30 menit waktu kejadian hujan, sehingga memperkecil hasil perhitungan analisis erosivitas hujan pada bulan Maret 2011.

Hasil analisis erosivitas hujan pada Tabel Lampiran 2 menunjukkan bahwa erosivitas hujan harian tertinggi terjadi pada bulan Desember 2010, Januari 2011, Februari 2011, dan Maret 2011 yakni pada tanggal 15 Desember, 9 Januari, 27 Februari, dan 17 Maret dengan nilai erosivitas berturut-turut 42,59; 100,85; 60,54, dan 10,05 ton-m ha-1, cm jam-1. Erosivitas harian tertinggi pada bulan April 2011, Mei 2011, Juni 2011, Juli 2011 terjadi pada tanggal 22 April, 7 Mei, 28 Juni, dan 19 Juli dengan nilai erosivitas berturut-turut 53,33; 55,91; 57,34; 2,56 ton-m ha-1, cm jam-1. Erosivitas harian tertinggi pada bulan Agustus 2011, September 2011, Oktober 2011, November 2011, Desember 2011 terjadi pada tanggal 30 Agustus, 17 September, 29 Oktober, 17 November, 27 Desember dengan nilai erosivitas berturut-turut 2,01; 10,42; 43,56; 94,9; 139,72 ton-m ha-1, cm jam-1.

Erosivitas harian terendah pada bulan Desember 2010, Januari 2011, Februari 2011, dan Maret 2011 terjadi pada tanggal 9 Deesember 2010, 30 Januari, 2 Februari, 28 Maret dengan nilai erosivitas berturut-turut 0,01; 0,0017; 0,31; 0,015 ton-m ha-1, cm jam-1. Erosivitas harian terendah pada bulan April 2011, Mei 2011, Juni 2011, Juli 2011 terjadi pada tanggal 13 April, 8 Mei, 29 Juni, dan 20 Juli dengan nilai erosivitas berturut-turut 0,004; 0,028; 0,161; 0,0017 ton-m ha-1, cm jam-1. Erosivitas harian terendah pada bulan Agustus 2011, September 2011, Oktober 2011, November 2011, dan Desember 2011 terjadi pada tanggal (Agustus tidak ada), 19 September; 30 Oktober; 4 November; 20


(44)

Desember, dengan nilai erosivitas berturut-turut 0,085; 0,29; 0,0046; 0,007 ton-m ha-1, cm jam-1 (Tabel Lampiran 2).

4.4. Sifat Fisik Tanah

Berdasarkan hasil pengamatan lapang terhadap tanah di lahan Perkebunan Teh Gunung Mas, ditemukan perbedaan sifat fisik yang begitu jelas antara tanah lapisan atas dan bawah. Oleh karena itu, analisis sifat fisik tanah dilakukan pada tanah lapisan atas dan bawah untuk mengetahui perbedaan sifat fisik tanah dari kedua lapisan.

Hasil pengukuran nilai pF pada masing-masing tanah ketiga petak ukur tertera pada Gambar 6. Gambar 6 menunjukkan bahwa tanah lapisan atas pada petak T3 dan T2 memiliki kadar air kapasitas lapang (pF) 2,54 lebih besar dibandingkan dengan tanah lapisan bawahnya dengan nilai berturut-turut 51,5 % >50,97 % dan 44,82 % > 33,40%. Sedangkan pada petak pengukuran T1 nilai KAL tanah lapisan bawah lebih besar dari lapisan bawah yakni 54,97 % > 45,68 %. Kondisi iklim perkebunan teh yang lembab membuat nilai air kapasitas lapang yang ditemukan tergolong cukup besar yakni berada pada kisaran 30 – 55 % (Gambar 6).

Gambar 6. Kurva pF Tanah Lapisan Atas (a) dan Bawah (b) pada Ketiga Petak Ukur

Menurut Blanco dan Lal (2008) kelembaban udara yang tinggi berasosiasi dengan kadar air tanah yang lebih tinggi sehingga semakin mempertahankan


(45)

kadar air tanah. Selain itu, kadar air lapang titik layu permanen pada ketiga petak pengamatan berada pada kisaran 20 – 35 % baik tanah lapisan atas maupun bawah.

Hasil penentuan nilai kadar air pF 1; 2; 2,54 dan 4,2 pada masing-masing tanah petak ukur juga digunakan untuk menetapkan distribusi ukuran pori yang terdiri dari : pori drainase, pori pemegang air, dan air tersedia pada tanah di lahan penelitian. Porositas total didapatkan dari perbandingan antara bobot isi (BI) dan Kerapatan Jenis Tanah (KJP), sedangkan pori drainase didapatkan dari selisih antara porositas total tanah dengan kadar air (%-volume) pada pF 2,54. Air tersedia didapatkan dari selisih antara kadar air pada pF 2,54 dengan pF 4,2.

Hasil penetapan porositas total tanah di ketiga petak ukur tertera pada Tabel 3. Hasil menunjukkan bahwa tanah pada petak T1 dan T3 memiliki porositas total lebih besar dibandingkan dengan petak T2. Hal demikian disebabkan oleh perbedaan tekstur pada masing-masing tanah di ketiga petak ukur. Tekstur tanah petak T1 dan T3 didominasi oleh fraksi debu sedangkan petak T2 didominasi oleh fraksi pasir (Tabel 3). Menurut Blanco dan Lal (2008) tanah dengan tekstur dominan berpasir memiliki persentase pori makro yang lebih tinggi daripada pori mikro sedangkan pada tanah berdebu atau berliat, ruang pori lebih didominasi oleh ruang pori mikro yang jumlah persentase totalnya lebih banyak daripada pori makro.

Tabel 3 juga menunjukkan hasil analisis tekstur tanah lapisan atas dan bawah di ketiga petak ukur. Hasil menunjukkan bahwa pada petak T1, tektur tanah lapisan atas didominasi oleh fraksi pasir sebesar 66,6 % dan tanah lapisan bawah didominasi oleh fraksi debu sebesar 79,3 %. Pada petak T2, tekstur tanah lapisan atas dan bawah didominasi oleh fraksi pasir dengan nilai berturut-turut 61,60 % dan 69,60 %. Sedangkan tekstur tanah lapisan atas dan bawah pada petak T3 didominasi fraksi debu dengan nilai berturut–turut 51,7 % dan 84,8 %. Perbedaan relatif komposisi persen pasir tekstur tanah lapisan atas dan lapisan bawah pada petak pengamatan berpengaruh pada gerakan perkolasi air di dalam tanah dan berimplikasi pada besarnya nilai aliran permukaan dan erosi tanah.


(46)

Tabel 3. Karakteristik Tanah di Ketiga Petak Pengukuran Aliran Permukaan dan Erosi Tanah

Karakteristik Tanah Petak T1 Petak T2 Petak T3

Atas Bawah Atas Bawah Atas Bawah

Porositas Porositas Total

(%-volume) 64,5 67,9 65,3 60 68,3 71.3

Pori Dainase

(%-volume) 18,82 12,93 30,48 20,99 16,8 16,48

Pori Pemegang Air

(%-volume) 45,68 54,97 34,82 33,40 51,5 50,97

Air Tersedia

(%-volume) 18,24 19,94 14,42 11 18,05 19,94

Tekstur (%)

Pasir (50 µm-2 mm) 66,60 5,50 61,60 69,60 20,40 3,40

Debu (2-50 µm) 19,00 79,30 22,20 24,40 51,70 84,80

Liat Kasar (0,2-2 µm) 4,50 3,70 8,20 1,70 7,50 4,10

Liat Halus (< 0,2 µm) 9,90 11,50 8,00 4,30 20,40 7,70

Kelas Tekstur (USDA) Lempung Berpasir Lempung Berdebu Lempung Berpasir Lempung berpasir Lempung Berdebu Lempung Berdebu

Bobot Isi (gr/cm3) 0,94 0,85 0,92 1,06 0,84 0,76

C-organik (%) 3,60 0,66 2,65 4,25 3,22 3,27

Keterangan :

T1 : petak pengamatan erosi teh umur pangkas 1 tahun T2 : petak pengamatan erosi teh umur pangkas 3 tahun T3 : petak pengamatan erosi teh umur pangkas 4 tahun Atas : tanah lapisan atas 0 – 15 cm

Bawah : tanah lapisan bawah 15 – 35 cm

Menurut Arsyad (2006), sifat lapisan bawah tanah yang menentukan kepekaan erosi tanah adalah permeabilitas lapisan bawah. Permeabilitas ditentukan oleh tekstur dan struktur tanah. Tanah yang lapisan bawahnya berstruktur granular dan permeabel kurang peka erosi dibandingkan dengan tanah yang lapisan bawahnya padat dan permeabilitasnya rendah.

Hasil pengukuran permeabilitas tanah pada ketiga petak ukur tertera pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan bahwa tanah lapisan atas petak T2 menghasilkan permeabilitas tertinggi dibandingkan petak lainnya yakni sebesar 65,64 cm jam-1. Sedangkan nilai permeabilitas tanah lapisan atas petak T1 dan T3 bernilai lebih kecil daripada petak T1 yakni berturut-turut sebesar 25,17 cm jam-1 dan 27,18 cm jam-1 (Tabel 4). Nilai permeabilitas yang tinggi pada petak T2 disebabkan oleh tekstur tanah yang didominasi oleh fraksi pasir sehingga porositas total tanah sebagian besar terdiri dari pori makro. Menurut Blanco dan Lal (2008), tanah berpasir juga memiliki kemampuan meloloskan air yang tinggi dibandingkan


(47)

dengan tanah berdebu atau berliat. Hal tersebut dikarenakan tanah berpasir didominasi oleh pori makro yang merupakan pori meloloskan air.

Berdasarkan klasifikasi permeabilitas tanah menurut Uhland dan O’Neal

(1951), bahwa tanah lapisan atas pada ketiga petak ukur tergolong dalam kelas permeabilitas sangat cepat dan tanah lapisan bawah tergolong klasifikasi agak cepat (Tabel 4).

Tabel 4. Permeabilitas Tanah Ketiga Petak Ukur Petak Lapisan

Tanah

Permeabilitas Tanah (cm jam-1)

Klasifikasi Permeabilitas

(Uhland dan O’Neal, 1951)

T1 Atas 25,17 Sangat cepat

Bawah 10,47 Cepat

T2 Atas 65,64 Sangat cepat

Bawah 6,89 Cepat

T3 Atas 27,18 Sangat cepat

Bawah 7,47 Cepat

Lapisan tanah atas : kedalaman tanah 0 – 15 cm Lapisan tanah bawah : kedalaman tanah 15 – 35 cm

Hasil analisis sifat fisik tanah pada Tabel 3 juga menunjukkan bahwa kadar C organik pada ketiga petak pengamatan baik tanah lapisan atas maupun bawah tergolong tinggi dengan nilai > 2,5 % kecuali pada tanah lapisan bawah petak T1 yakni sebesar 0,66 %. Kecilnya kadar bahan organik pada tanah lapisan bawah petak T1 mungkin disebabkan oleh minimnya suplai bahan organik dari tanah lapisan atas. Selain ditentukan oleh sifat genesis dan pedogenesis, keberadaan bahan organik juga sangat mempengaruhi karakteristik dan perubahan sifat fisik tanah pada suatu lahan. Menurut Dariah (2004) bahan organik sangat berperan pada proses pembentukan dan pengikatan serta penstabilan agregat tanah.

Tingginya cadangan bahan organik pada lokasi penelitian dipengaruhi aktifitas pengembalian bahan organik yang tinggi baik dari sisa pemetikkan atau dari sisa pemangkasan. Selain input tinggi, tingginya kandungan bahan organik pada lahan penelitian juga disebabkan oleh pengaruh suhu udara yang terbilang rendah pada lokasi penelitian. Menurut data yang didapatkan dari BMKG Citeko, perkebunan teh Afdeling Cikopo Selatan berada pada ketinggian > 920 m, memiliki suhu rata-rata maksimum 24,80 C dan rata-rata minimum 18,60 C dengan


(48)

kelembaban udara rata-rata bulanan sebesar 83,7% (Tabel Lampiran 3). Kondisi tersebut akan semakin memperbesar cadangan bahan organik tanah di perkebunan teh akibat minimnya aktifitas dekomposisi oleh mikroorganisme tanah.

4.5. Infiltrasi Tanah

Infiltrasi tanah merupakan salah satu parameter untuk mengamati kemampuan tanah dalam meresapkan air. Infiltrasi tanah biasanya dinyatakan dalam kapasitas infiltrasi tanah. Menurut Arsyad (2006) kapasitas infiltrasi merupakan kemampuan tanah dalam meresapkan air melalui permukaan tanah per satuan waktu dan biasanya dinyatakan dalam satuan cm jam-1. Hasil Pengukuran infiltrasi tanah lapang pada ketiga petak pengukuran disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 menunjukkan bahwa tanah pada petak pengukuran T1, T2, dan T3 memiliki nilai kapasitas infiltrasi (cm jam-1) yakni berturut-turut sebesar 38, 40, dan 34. Perbedaan nilai infiltrasi tanah pada ketiga petak pengamatan disebabkan oleh perbedaan sifat fisik tanah terutama tekstur dan struktur tanah.

Tabel 5. Kapasitas Infiltrasi Tanah pada Ketiga Petak Pengukuran Petak Kapasitas Infiltrasi Konstan

(cm jam-1)

Klasifikasi Infiltrasi (Kohnke, 1968)

T1 38 sangat cepat

T2 40 sangat cepat

T3 34 sangat cepat

Rata-rata 37,3 sangat cepat

Keterangan :

T1 : petak pengamatan erosi teh umur pangkas 1 tahun T2 : petak pengamatan erosi teh umur pangkas 3 tahun T3 : petak pengamatan erosi teh umur pangkas 4 tahun.

Tanah pada petak ukur T2 memiliki nilai kapasitas infiltrasi paling tinggi dibanding petak lainnya yakni sebesar 40 cm jam-1. Hal demikian disebabkan oleh pengaruh tekstur tanah pada petak T2. Jika dibandingkan dengan petak T3, tekstur tanah pada petak T2 lebih didominasi oleh fraksi pasir baik pada lapisan atas maupun lapisan bawah sedangkan petak T3 didominasi oleh fraksi debu (Tabel 3). Sedangkan nilai infiltrasi pada petak T1 yakni sebesar 38 cm jam-1 dan nilai tersebut dipengaruhi oleh keberadaan bahan organik sisa pemangkasan teh.


(49)

Pada pengukuran infiltrasi lapang, tanah pada petak T2 dengan tekstur dominan berpasir membutuhkan waktu yang lebih singkat untuk mencapai infiltrasi konstan dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan pada tanah petak T3 dengan tekstur dominan debu (Tabel Lampiran 4). Menurut Wuest et al.

(2006) bahwa infiltrasi tanah berkorelasi positif dengan peningkatan partikel kasar tanah dan berkorelasi negatif dengan pertambahan partikel baik tanah. Tanah berpasir memiliki makropori lebih banyak daripada tanah berliat dan makropori menghantarkan air lebih cepat daripada mikropori. Disamping itu, menurut Musgrave dan Holtan (1964), tanah-tanah yang didominasi oleh liat umumnya banyak mengandung bahan koloid dan apabila tanah tersebut mengalami pembasahan, maka ikatan antar butir akan semakin lemah sehingga butir-butir tanah dengan mudah lepas satu sama lain dan akan menutup pori-pori di permukaan tanah. Hal inilah yang menyebabkan laju infiltrasi tanah bertekstur liat lebih rendah dibandingkan dengan tanah bertekstur pasir.

Menurut klasifikasi kapasitas infiltrasi yang telah dikemukakan oleh Kohnke (1968) (Tabel Lampiran 5), nilai kapasitas infiltrasi tanah pada ketiga petak pengukuran masuk kedalam kategori klasifikasi sangat cepat.

4.6. Aliran Permukaan dan Erosi

Hasil pengukuran rata-rata aliran permukaan ketiga petak ukur di perkebunan Teh Gunung Mas (PTPN VIII) periode bulan Desember 2010 – Desember 2011 menunjukkan bahwa puncak aliran permukaan terjadi pada bulan Januari, Oktober, November, dan Desember (Gambar 7). Bulan terjadinya puncak aliran permukaan, rata rata bersamaan dengan bulan terjadinya puncak musim hujan yakni pada bulan Januari – Mei, November, dan Desember. Hal demikian menunjukkan bahwa secara umum, peningkatan curah hujan akan meningkatkan risiko aliran permukaan. Sedangkan nilai aliran permukaan harian pada ketiga petak pengukuran tertera pada Tabel Lampiran 6, 7, 8.

Gambar 7 juga menunjukkan pada bulan Juli, Agustus, dan September tidak ditemukaannya aliran permukaan di ketiga pengamatan karena curah hujan bulanan pada ketiga bulan tersebut berjumlah kecil dengan nilai berturut-turut sebesar 19,3; 9,9; dan 64,2 mm (Tabel 2). Curah hujan yang sedikit tidak mampu


(50)

membuat aliran permukaan karena jumlahnya belum melebihi dari rata-rata kapasitas infiltrasi tanah.

Gambar 7. Rata-rata Aliran Permukaan Ketiga Petak Ukur Periode Desember 2010 – Desember 2011 di Perkebunan Teh Gn. Mas PTPN VIII. Tingginya jumlah curah hujan hujan yang jatuh pada lokasi penelitian tidak berkorelasi positif terhadap tingginya nilai aliran permukaan yang terjadi. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa bulan dengan curah hujan tinggi seperti Januari – Mei hanya menghasilkan rata-rata aliran permukaan yang terbilang sangat kecil yakni sebesar ≤ 5 mm (Gambar 7). Hal demikian disebabkan oleh pengaruh kanopi tanaman teh yang rapat sehingga sebagian besar curah hujan tertahan oleh kanopi tajuk tanaman teh. Menurut Arsyad (2006) keberadaan kanopi tanaman mempengaruhi kejadian aliran permukaan melalui mekanisme intersepsi dan mengurangi energi tumbuk hujan.

Selain menunjukkan distribusi curah hujan dan aliran permukaan bulanan yang terjadi pada lokasi penelitian, pada Gambar 7 juga terlihat bahwa peningkatan curah hujan total tidak selalu seiring dengan peningkatan aliran permukaan yang dihasilkan. Hal demikian terlihat pada bulan Januari 2011 dimana nilai curah hujan yang merupakan nilai tertinggi dibandingkan bulan lainnya ternyata tidak sejalan dengan tingginya aliran permukaan yang dihasilkan. Aliran permukaan bulanan tertinggi justru terjadi pada bulan November 2011. Hal

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 0 5 10 15 20 25 30 Des Ja n

Feb Mar Ap

r Mei Ju n Ju l A g st Sep t Ok t No v Des Alira n P er m uk a a n (m m )

Aliran Permukaan (mm) Curah Hujan (mm)

Cura h H uja n ( mm )


(1)

71 Gambar Lampiran 5. Foto yang digunakan untuk analisis tutupan tajuk sebelum (a & b) dan sesudah (c & d) pemangkasan pada Petak T2

a) b)

c) d)


(2)

72 Gambar Lampiran 4. Foto yang digunakan untuk analisis tutupan tajuk sebelum (a & b ) dan sesudah (c & d) pemangkasan pada petak T1

a) d)

c) d)


(3)

RINGKASAN

ROCI FIRMANDA MUKLIS. Aliran Permukaan dan Erosi Tanah pada Lahan

Perkebunan Teh Gunung Mas di PT Perkebunan Nusantara VIII. Dibimbing oleh

KUKUH MURTILAKSONO dan YAYAT HIDAYAT

Sebagian besar perkebunan teh di Indonesia berada pada lahan miring di daerah pegunungan dengan curah hujan tinggi. Hal tersebut berpotensi menimbulkan aliran permukaan dan erosi tanah. Akan tetapi, pada lahan perkebunan teh dewasa kejadian erosi hampir tidak berarti karena lahan telah tertutup secara sempurna dan beberapa erosi mungkin terjadi setelah proses pemangkasan dan pemindahan tanaman teh (Hartemink, 2006). Untuk menjaga ketinggian bidang petik dan memperbaiki produktifitas tanaman teh, manajemen perkebunan teh Gunung Mas (PTPN VIII) melakukan pemangkasan secara berkala dan hasil pangkasan (daun, ranting, dan cabang) dikembalikan ke sekeliling tanaman teh. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji aliran permukan dan erosi tanah di perkebunan teh pada beberapa umur pemangkasan. Penelitian ini menggunakan 3 petak pengukuran aliran permukaan berukuran 2m x 8m. Plot ditempatkan pada blok kebun berbeda secara acak dengan umur pangkas: T1 = tanaman teh umur tahun ke-1 setelah pemangkasan (lereng 17 %), T2 = tanaman teh umur tahun ke-3 setelah pemangkasan (lereng 18 %), dan T3 = tanaman teh umur tahun ke-4 setelah pemangkasan (lereng 16 %).

Curah hujan lokasi penelitian periode Desember 2010 – Desember 2011 sebesar 2627,3 mm dengan erosivitas hujan tahunan sebesar 1711,1 ton-m ha-1, cm jam-1. Erosivitas tertinggi terjadi pada bulan Januari sebesar 299,1 ton-m ha-1, cm jam-1 dan terendah pada bulan Agustus sebesar 2,01 ton-m ha-1, cm jam-1.

Perbedaan umur pemangkasan tanaman teh mempengaruhi aliran permukaan dan erosi tanah. Aliran permukaan (AP) tertinggi yakni pada petak T3 sebesar 325,57 m3 ha-1 th-1 dengan koefisien AP = 0,0205 dan terendah pada petak T1 sebesar 146,19 m3 ha-1 th-1 dengan koefisien AP = 0,0092. Sedangkan aliran permukaan pada petak T2 sebesar 208,89 m3 ha-1 th-1 dengan koefisien AP = 0,0131. Tingginya aliran permukaan pada T3 disebabkan oleh tekstur tanah yang didominasi oleh fraksi debu. Fraksi debu mudah terdispersi dan menutupi pori-pori tanah sehingga menurunkan kapasitas infiltrasi tanah. Pada petak T1, kecilnya jumlah aliran permukaan disebabkan oleh keberadaan bahan organik


(4)

hasil pangkasan (daun, ranting, cabang) pada permukaan tanah. Perbaikan sifat fisik tanah oleh bahan organik menyebabkan yanah mampu meresapkan air hujan lebih banyak sehingga menurunkan jumlah dan kecepatan aliran permukaan.

Sama seperti halnya aliran permukaan, erosi tanah tertinggi pada petak T3 sebesar 55,36 kg ha-1 th-1 dan erosi terendah pada petak T1 sebesar 25,80 kg ha-1 th-1 Sedangkan petak T2 menghasilkan erosi tanah sebesar 32,06 kg ha-1 th-1. Rata-rata erosi tanah ketiga petak pengukuran = 0,03774 ton ha-1 th-1 jauh lebih kecil dari nilai TSL (Tolerable Soil Loss) sebesar 18 ton ha-1 th-1, sehingga erosi yang terjadi pada perkebunan teh Gunung Mas (PTPN VIII) masih tergolong rendah dan dapat ditoleransi.


(5)

SUMMARY

ROCI FIRMANDA MUKLIS. Runoff and Soil Erosion on Tea Plantation of

Gunung Mas PT. Perkebunan Nusantara VIII. Supervised by KUKUH

MURTILAKSONO and YAYAT HIDAYAT.

Most of tea plantations in Indonesia are located on sloping land and mountainous areas with high rainfall. It has the potential to cause runoff and soil erosion. In the land of mature tea plantation, however, erosion almost meaningless because the land is completely covered and some erosion may occured after the process of pruning and removal of the tea plant (Hartemink, 2006). In order to maintain area of picking and improve the productivity of the tea plant, Gunung Mas Tea Plantation Management (PTPN VIII) use to do the periodic pruning and the produces (leaves, twigs, and branches) use to be returned surrounding the plants. This research aims to examine the runoff and soil erosion on tea plantation at some age of pruning. This research had applied three plots measurement of runoff where in the size is 2m x 8m. The plots were randomly located in different plantation blocks with age of pruning: T1 = tea plant first year after pruning (17% of slope), T2 = tea plant third years after pruning (18% of slope), T3 = tea plant fourth years after pruning (16% of slope).

The rainfall of study location is equal to 2,627.3 mm. Annual rainfall erosivity of 1,711.1 ton-m ha-1, cm hour-1 with the highest erosivity occured in January of 299.1 ton-m ha-1, cm hour-1 and the lowest occured in August of 2.01 ton-m ha-1, cm hour-1.

The age of tea plant pruning affected runoff and soil erosion in the research plots. The highest runoff was in T3 plot of 325.57 m3 ha-1 yr-1 with runoff coefficient = 0.0205 and the lowest was in T1 plot of 146.19 m3 ha-1 yr-1 with runoff coefficient = 0.0092 afterward, the runoff on T2 plot of 208.89 m3 ha-1 yr-1 with the runoff coefficient = 0.0131. The high runoff on T3 was caused by soil texture that is dominated by the fraction of silt. The fraction of silt is easily dispersed and filled the soil pores; therefore, it reduce the infiltration capacity. At T1 plot, less amount of runoff due to the presence of organic matter pruning resulted (leaves, twigs, branches) on the soil surface. Organic matter and branch is able to absorb more rain water and thus decrease the amount and velocity of runoff.


(6)

As well as runoff, the highest soil erosion was on T3 plot of 55.36 kg ha-1 yr-1 and the lowest was on T1 plot of 25.80 kg ha-1 yr-1 whereas T2 plot obtained soil erosion of 32.06 kg ha-1 yr-1. The average of soil erosion from the three plots is 0.03774 ton ha-1 yr-1. It is much less than the value of TSL (Tolerable Soil Loss) of 18 ton ha-1 yr-1, therefore the erosion that occurs in the tea plantations of Gunung Mas (PTPN VIII) is still relatively permisible and tolerated.