Resolusi Konflik Dalam Pengelolaan Hutan Untuk Mendukung Implementasi REDD+

i

RESOLUSI KONFLIK DALAM PENGELOLAAN HUTAN
UNTUK MENDUKUNG IMPLEMENTASI REDD+

GAMIN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

ii

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul ”RESOLUSI
KONFLIK DALAM PENGELOLAAN HUTAN UNTUK MENDUKUNG
IMPLEMENTASI REDD+” adalah benar-benar merupakan hasil karya sendiri
dan belum pernah digunakan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi
ataupun Lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam

teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Bogor,

Juli 2014

Gamin
NIM E161090041

i

RINGKASAN
GAMIN. Resolusi Konflik Dalam Pengelolaan Hutan Untuk Mendukung
Implementasi REDD+. Dibimbing oleh BRAMASTO NUGROHO, HARIADI
KARTODIHARDJO, LALA M KOLOPAKING dan RIZALDI BOER.
Penerapan kebijakan kepemilikan lahan sejak era kolonial sampai era Orde
Baru telah meninggalkan banyak konflik tenurial yang belum terselesaikan di
seluruh Indonesia. Suatu pendalaman dari metode Rapid Land Tenure Assessment
(RaTA) digunakan untuk memetakan konflik dalam rangka resolusi konflik.
Analisis Gaya Bersengketa (AGATA) digunakan untuk memetakan para pihak

berikut sikapnya dalam menghadapi konflik. Analisis kebijakan digunakan untuk
mengetahui kinerja kebijakan penyelesaian konflik yang dilaksanakan pemerintah
baik berupa aturan main maupun kebijakan pembangunan Kesatuan Pengelolaan
Hutan (KPH) dan pelaksanaan mekanisme pengurangan emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan serta peningkatan stok karbon (REDD+). Kebijakan-kebijakan
penyelesaian konflik terkait penyelesaian hak pihak ketiga, enclave, pelepasan
secara parsial, review tata ruang wilayah (RTRW), pemetaan partisipatif,
kemitraan antara pengelola dengan masyarakat, dan penegakan hukum didalami
dalam penelitian ini.
Penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan kontestasi kekuatan klaim
penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan masih meninggalkan rasa
ketidakadilan dalam alokasi sumberdaya lahan dari perspektif masyarakat.
Melalui pendekatan gaya bersengketa diperoleh catatan perlunya kesesuaian gaya
pihak yang berkonflik agar dapat ditempuh langkah penyelesaian dan perlunya
intervensi pihak ketiga yang tidak terkait konflik. Terdapat empat catatan kritis
atas peraturan yang tersedia untuk mengakomodasi permasalahan konflik tenurial
yakni : absennya unsur tim yang dapat memfasilitasi dan memediasi penyelesaian
konflik dalam Panitia Tata Batas, perbedaan persepsi istilah pemetaan partisipatif,
ketidaksepakatan jenis dan komposisi jenis dalam skema pengelolaan lahan
bersama masyarakat, dan belum kuatnya hak-hak tenurial termasuk kawasan

hutan negara. KPH bukanlah institusi yang dapat menyelesaikan konflik tenurial
kawasan hutan akan tetapi KPH memiliki peran penting dalam mengidentifikasi,
memfasilitasi dan menentukan pilihan penyelesaian konflik. Penataan hak-hak
tenurial terhadap penggunaan kawasan hutan oleh berbagai pihak merupakan
langkah penting yang harus ditempuh untuk menyiapkan kondisi pemungkin guna
mewujudkan pengelolaan hutan yang berkelanjutan termasuk diantaranya
implementasi skema REDD+.
Membentuk suatu lembaga penyelesaian konflik yang dapat dijangkau para
pihak termasuk masyarakat merupakan pilihan yang layak dipertimbangkan.
Strategi resolusi konflik tersebut dapat dilakukan secara internal di Kementerian
Kehutanan maupun secara eksternal. Memperkuat peran Direktorat Jenderal
Planologi Kehutanan dan Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan dengan
mewujudkan Unit Pelaksana Teknis Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH)
merupakan langkah internal. Memperkuat institusi Panitia Tata Batas dengan

ii

tambahan unsur fasilitator dan mediator penyelesaian konflik merupakan langkah
praktis terdekat. Mewujudkan suatu lembaga seperti Satuan Tugas Penyelesaian
Konflik Sosial yang dapat menyentuh konflik tenurial kawasan hutan merupakan

suatu alternatif eksternal.
Sebagai institusi di tingkat tapak, KPH memiliki peran penting pada
semua strategi penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan. Peran KPH tersebut
terkait identifikasi konflik, fasilitasi tindak lanjut pilihan, maupun rekomendasi
arah penyelesaian konflik. Terlaksananya strategi penyelesaian konflik ini
diharapkan dapat membantu mempercepat pemantapan kawasan hutan yang
berkontribusi terhadap kepastian tenurial untuk menghadapi tekanan yang makin
tinggi kebutuhan lahan di masa depan.
Implikasi teoritis dari penelitian ini adalah bahwa tidak tepat untuk
membenturkan klaim hukum dengan klaim sosial. Penelitian ini setidaknya
memiliki tiga implikasi kebijakan. Pertama, resolusi konflik tenurial kawasan
hutan hendaknya lebih mengedepankan penyelesaian di luar pengadilan (out of
court) atau (ADR). Kedua, pemerintah perlu membentuk organisasi penyelesaian
konflik tenurial di daerah agar dapat dijangkau semua pihak. Ketiga, pemerintah
perlu mensyaratkan kriteria penyelesaian konflik dan kriteria kelestarian hutan
dalam setiap skema operasional seperti skema REDD+. Dari segi metodologis
berimplikasi bahwa penggunaan AGATA akan lebih lengkap bila memperhatikan
kekuatan politik, sosiologi politik dan politik hukum yang melandasi para pihak
dalam menentukan gaya berkonflik.***
Kata kunci: bukti klaim, fasilitasi, gaya konflik, konflik, penguasaan kawasan

hutan, penyelesaian konflik.
SUMMARY
GAMIN. Conflict Resolution in Forest Management to Support Implementation
of REDD+. Supervised by BRAMASTO NUGROHO,
HARIADI
KARTODIHARDJO, LALA M KOLOPAKING and RIZALDI BOER.
The implementation of policy on land tenure since the colonial era to the era
of the New Order has left many unresolved land tenure conflicts in Indonesia. A
more exploring of the Rapid Land Tenure Assessment (RaTA) method was used
to map the conflicts for conflict resolution. Conflict Style Analysis (AGATA) was
used to map the parties with their attitude in facing of conflict. Policy analysis
was used to assess the performance of conflict resolution policies implemented by
the government in the form either of rules or policies for Forest Management Unit
(KPH) development and implementation mechanisms of reducing emissions from
deforestation and forest degradation (REDD+) and enhancement of carbon stocks.
Conflict resolution policies involve to the settlement of third parties rights,
enclave, partial forest change, regional land use plan (RTRW), participatory
mapping, the partnership between the community and forest business and law
enforcement were explored.


iii

This study shows that forest tenure conflict resolution based on the
contestation strength of the claim remain conflict unfairness in the allocation of
land resources from community perspective. Through stylistic approach, it noted
that there was conformity from conflicting parties for the settlement steps and the
need for non partisan third party intervention. There were four critical notes of
requirement of regulations for accommodating the tenure conflict problems: the
absence of the team who can facilitate and mediate conflict resolution in the
Boundary Management Committee, differences in the perception of the
participatory mapping term, disagreement in species and composition in land
management with the community scheme, and no strong tenure rights including
state forest land. KPH is not an institution that could resolve conflicts forest
tenure but KPH has an important role in identifying, facilitating and determining
the choice of conflict resolution. Tenure rights arrangement toward forest use by
various stakeholders was an important step to be taken to prepare the enabling
conditions
for
sustainable
forest

management
including
the
REDD+implementation.
Establishment of institution for conflict resolution which can be reached by
the parties including the community was feasible option to be considered.
Conflict resolution strategy can be done both internally and externally. Within the
Ministry of Forestry strengthening of the Directorate General of Forestry Planning
(Ditjenplan) and the Center of Forestry Development Control (PUSDAL).
Strengthening of Boundary Management Committee with additional elements of
facilitator and mediator conflict resolution were more practical and effective.
Establishment of an institution such as the Task Force on Social Conflict
Resolution which can touch the forest tenure conflict was an external approach.
As an institution at the site level, KPH has an important role in all conflict
resolution strategies of forest tenure. The roles of KPH were concerned to conflict
identifying, follow-up options facilitation, as well as recommendations towards
resolving the conflict. This implemented conflict resolution strategy was expected
to accelerate the consolidation of forest areas that contribute to the legitimate land
tenure the higher pressure due to more land needed in the future.
The theoretical implication of this study indicated that it was not right to

crash legal claim with social claim. This study had at least three policy
implications. Firstly, forest tenure conflict resolution should be more focus on of
court settlement or alternative dispute resolution (ADR). Secondly, the
government should to establish local tenure conflict resolution organizations that
can be reached by all parties. Thirdly, the government should set conflict
resolution sustainable forest criteria in every operational scheme such as REDD+.
In terms of methodology implied that the use of AGATA would be more complete
if considering political power, political sociology and legal political as foundation
for the parties in determining their conflict style. ***
Keywords : conflict, conflict styles, conflict resolution, evidence claims,
facilitation, forest land tenure.

iv

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

v

RESOLUSI KONFLIK DALAM PENGELOLAAN HUTAN
UNTUK MENDUKUNG IMPLEMENTASI REDD+

GAMIN

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014


vi

Penguji pada Ujian Tertutup:

1 . Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat, MScFTrop
Staf Pengajar Bidang Kebijakan Kehutanan
Departemen Manajemen Hutan
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
2 . Dr Ir R Iman Santoso, MSc
Senior Terrestrial Policy Adviser,
Conservation International

Penguji pada Ujian Terbuka:

1 . Dr Ir Bambang Soepijanto, MM
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan,
Kementerian Kehutanan RI
2 . Prof Dr Ir Didik Suharjito, MS
Guru Besar Bidang Kebijakan Kehutanan

Departemen Manajemen Hutan
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor

vii

Judul Penelitian

:

Nama
NIM

:
:

Resolusi Konflik Dalam Pengelolaan Hutan Untuk
Mendukung Implementasi REDD+
Gamin
E161090041

Disetujui :
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Bramasto Nugroho, MS
Ketua

Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo, MS
Anggota

Dr Ir Lala M Kolopaking, MS
Anggota

Prof Dr Ir Rizaldi Boer, MSc
Anggota

Diketahui :
Ketua Program Studi
Ilmu Pengelolaan Hutan,

Dekan
Sekolah Pascasarjana,

Prof Dr Ir Hardjanto, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 30 Juni 2014
.
(tanggal pelaksanaan ujian terbuka)

Tanggal Lulus:
.
(tanggal penandatanganan disertasi oleh
Dekan Sekolah Pascasarjana)

viii

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga Disertasi dengan judul ”Resolusi Konflik Dalam Pengelolaan Untuk
Mendukung Implementasi REDD+” ini dapat diselesaikan. Lokus penelitian
adalah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Lakitan di Kabupaten Musi
Rawas, Provinsi Sumatera Selatan sebagai suatu kasus. Penelitian dilaksanakan
pada Mei 2012 hingga Pebruari 2013 dengan diawali studi pendahuluan pada
Maret, April dan Juni 2011. Disertasi ini diajukan sebagai syarat memperoleh
gelar Doktor pada Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Bramasto Nugroho,MS;
Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo,MS; Dr Ir Lala M Kolopaking,MS dan Prof Dr
Ir Rizaldi Boer,MSc selaku komisi pembimbing yang telah memberikan
kesempatan, arahan, bimbingan, pandangan, motivasi dan ilmu hingga
tersusunnya disertasi ini. Kepada Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat, MscTrop dan
Dr Ir R Iman Santoso, MSc yang telah banyak memberikan masukan melalui
pertanyaan kritis pada Ujian Tertutup kami sampaikan terima kasih, demikian
juga kesediaan Dr Ir Bambang Soepijanto, MM dan Prof Dr Ir Didik Suharjito,
MS yang bersedia menjadi penguji luar komisi pada Sidang terbuka.
Kepada Kepala Pusat Diklat Kehutanan dan jajarannya sebagai sponsor
utama pendidikan dan penelitian ini kami ucapkan banyak terima kasih, demikian
juga kepada Carbon and Environmental Research Indonesia (CERIndo) atas
bantuan pendanaan untuk studi pendahuluan penelitian ini. Peran Kepala BDK
Kadipaten beserta stafnya sangat berarti dalam mengurus kami selama studi,
untuk itu kami ucapkan terima kasih. Terima kasih kepada Working Group on
Forest Land Tenure (WG Tenure) yang memberikan kesempatan kepada kami
untuk belajar cara memetakan konflik tenurial dan berbagai kesempatan
melakukan assesment tenurial di lapangan. Terima kasih secara khusus saya
sampaikan kepada Ir Gamma Galudra, MSc, Dr Gamal Pasya (alm), dan Ir Martua
Sirait, MSc yang telah berbagi tools RaTA dan AGATA yang digunakan dalam
disertasi ini. Kepada Pusat Penelitian Perubahan Iklim dan Kebijakan (Puspijak)
Kementrian Kehutanan kami ucapkan terimakasih atas kesempatan untuk ikut
serta melakukan kajian Tata Kelola REDD+, Pengembangan KPH Konservasi,
Tipologi KPH yang sebagian dilakukan pada lokasi studi ini. Kepada Paul
Kimman, Team Leader kegiatan Provision Baseline Data and Cadastral Maps for
South Sumatra, terimakasih telah memberikan kesempatan kepada kami untuk
tinggal dan memahami persoalan berbagi data untuk Baseline Data REDD+ di
Sumatera Selatan termasuk Musi Rawas. Terima kasih kepada KKPH Lakitan Edi Cahyono, SHut, MSi beserta staf dan Pemda Musi Rawas yang telah
menerima kami dan memberikan dukungan fasilitas selama penelitian di KPH
Lakitan.
Kepada pimpinan Sekolah Pascasarjana dan pimpinan Prodi IPH Institut
Pertanian Bogor beserta jajarannya kami sampaikan terima kasih atas pendidikan
dan pelayanan dalam studi ini sehingga menjadi seorang Doktor. Kepada rekan-

ix

rekan seperjuangan prodi IPH, Dr Emi Roslinda-UNTAN, Dr Eno SuwarnoUNILAK, Dr Samsuri-USU, Dr Manifas Zubayr-DITJENPLAN, Dr SudarmalikPuspijak, Mas Dani Sunandar, Mbak Sukadaryati, Bu Yelin Adelina dan Mas
Dian Lazuardi dari Puspijak atas kebersamaannya selama studi. Terima kasih
kepada Pak Edy Marbyanto (GIZ) dan Bu Dwi Suciana (WGT) yang telah
bersedia membaca draf disertasi dan memberikan beberapa catatan penting.
Terima kasih saya ucapkan kepada Istriku tercinta Nia Kurniasih yang
dengan sabar dan setia menemani selama studi ini bahkan pada saat riset di
lapangan. Ini adalah studi pada kampus keempat yang Mama temani sejak kita
menikah. Anakku Gina Novita dan Gessa Kurniawan, terima kasih atas
kerelaannya berbagi biaya untuk studi dan kerelaannya untuk hal-hal yang
tertunda karena studi ini. Kepada Ibu saya Hj. Saminem saya haturkan terima
kasih atas ketulusan restu dan do‟anya kepada ananda dalam studi ini. Bunda
mertuaku Ibu Iyoh Hasbiah, saya haturkan beribu terima kasih telah tulus berdo‟a
dan ikut berjuang menjaga anak-anak saya ketika mereka harus saya tinggalkan ke
lapangan. Kakak-kakak dan adik ipar serta adikku Nyomo, terima kasih selalu
mendukung dan mendo‟akan dalam studi ini.
Kepada Ibu angkatku Ny. Aries Widianto dan keluarga, kami haturkan
terima kasih atas bantuan rumah gratis selama tiga tahun. Kepada keluarga kakak
Supoyo Benyamin dan keluarga kakak Suprapto di Bogor kami ucapkan terima
kasih atas dukungan dan perlindungan selama studi.
Kepada semua pihak yang berkenan mendukung pelaksanaan penelitian ini
dalam berbagai bentuk, kami ucapkan banyak terima kasih, semoga kerja sama
yang erat dapat dibangun bersama-sama dan ditingkatkan pada masa berikutnya.
Semua dukungan yang telah diberikan kepada kami adalah bagian penting dari
penyelesaian disertasi ini. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat atas budi
baik yang diberikan kepada kami.
Bogor, Juli 2014
Gamin

x

DAFTAR ISI
Hal
i
ii
viii
x
xii
xii
xii
xiii
1
1
6
7
8
8
9
10

RINGKASAN
SUMMARY
PRAKATA
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR SINGKATAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kerangka Pemikiran
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kebaruan (Novelty)
Metode Penelitian
Lokasi Penelitian
2 PENYELESAIAN KONFLIK PENGUASAAN LAHAN HUTAN
BERDASARKAN KONTESTASI KLAIM
11
Pendahuluan
11
Metode
12
Hasil dan Pembahasan
13
Dinamika Perundangan Pertanahan yang Diterapkan di Indonesia Sejak
Rezim Kolonial Sampai Sekarang
13
Sejarah Administrasi Hutan di Indonesia Sejak Rezim Kolonial sampai
sekarang
15
Sejarah Penguasaan Tanah di Masyarakat Pedesaan dan Pengembangan
Kawasan Hutan di Lokasi Studi
16
Konflik
17
Lahan sebagai Obyek Konflik
20
Para Pihak Sebagai Subyek Konflik
21
Kebijakan-kebijakan Terkait Konflik
22
Menyelesaikan Konflik Penguasaan Kawasan Hutan Berdasarkan Tuntutan
Hak dan Bukti Klaim
24
Tinjauan Adaptive Governance Atas Penyelesaian Konflik
27
Simpulan
28
3 MENYELESAIKAN KONFLIK PENGUASAAN KAWASAN HUTAN
MELALUI PENDEKATAN GAYA SENGKETA PARA PIHAK
29
Pendahuluan
29
Metode
31
Analisis Kepentingan, Pengaruh, dan Hubungan Para Pihak
31
Analisis Gaya Bersengketa Para Pihak
31
Analisis Penyelesaian Konflik Berdasarkan Gaya Bersengketa Para Pihak 33
Hasil dan Pembahasan
34
Pemetaan Para Pihak
34

xi

Gaya Bersengketa Para Pihak
Penyelesaian Konflik yang Dapat Dilakukan
Simpulan
4 KETERSEDIAAN PERATURAN TERKAIT PENYELESAIAN
KONFLIK KAWASAN HUTAN
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Peraturan yang Tersedia
Mekanisme Alternatif
Simpulan
5 PERAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN DALAM RESOLUSI
KONFLIK KAWASAN HUTAN
Pendahuluan
Metode
Hasil
Kapasitas dan Kewenangan Resolusi Konflik Tenurial Kehutanan
Peran KPH Dalam Resolusi Konflik pada Teks dan Peraturan
Status Hukum dan Kedudukan KPHP Lakitan
Implementasi Peran KPHP Lakitan Dalam Resolusi Konflik
Harapan Masyarakat akan Peran KPH Dalam Resolusi Konflik
Hambatan KPH Dalam Melaksanakan Peran Resolusi Konflik
Pembahasan
Simpulan
6 PENYIAPAN KONDISI PEMUNGKIN IMPLEMENTASI REDD+
Pendahuluan
Metode
Data yang Diperlukan dan Pengumpulan Data
Analisis Informasi
Hasil dan Pembahasan
RAD-GRK di Sumatera Selatan
REDD+ di Sumatera Selatan
REDD+ di Musi Rawas
KPH di Sumatera Selatan
Persiapan Sosial KPH Lakitan untuk Menjalankan Kerangka Pengaman
REDD+ Prisai Sosial
Persiapan Lingkungan KPH Lakitan untuk Menjalankan Kerangka
Pengaman REDD+ Prisai Lingkungan
Penataan Tenurial sebagai Kondisi Pemungkin Implementasi REDD+
Kondisi hak atas lahan, hak atas pohon, hak atas hasil hutan
Simpulan
7 STRATEGI RESOLUSI KONFLIK PENGELOLAAN KAWASAN
HUTAN
8 SIMPULAN
Simpulan
Implikasi Hasil Penelitian

35
37
40
41
41
41
42
42
44
45
45
45
50
51
51
52
53
53
57
58
59
60
61
61
65
65
65
66
66
67
68
69
70
74
74
76
79
79
82
82
83

xii

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

84
92
108

DAFTAR TABEL
Tabel 1 Alat Bukti Klaim Masyarakat dan Negara
Tabel 2 Progress Pembangunan KPH Model sampai Januari 2014.
Tabel 3 Penataan Tenurial pada Blok Lakitan Selatan KPHP Lakitan
Tabel 4 Rezim kepemilikan SDH berdasarkan jenis usaha pada skema HD di
Hutan Produksi
Tabel 5 Tipe rezim kepemilikan SDH di HLBC dalam skema IUPHKm

26
48
75
77
78

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian
7
Gambar 2 Peta Lokasi Studi
10
Gambar 3 Langkah Kerangka Kerja dan Analisis RaTA untuk Resolusi Konflik 13
Gambar 4 Sejarah Masyarakat Desa dan Status Kawasan Hutan
16
Gambar 5 Tuntutan Hak Atas Tanah
17
Gambar 6 Wujud Konflik
18
Gambar 7 Peta Konflik di HP Lakitan
21
Gambar 8 Penyelesaian Konflik Berdasarkan Tuntutan Hak dan Bukti Klaim 25
Gambar 9 Gaya berkonflik para pihak
32
Gambar 10 Alur pengambilan keputusan dalam menawarkan cara penyelesaian
konflik
33
Gambar 11 Gaya sengketa para pihak
35
Gambar 12 Alur pengambilan keputusan resolusi konflik di KPH Lakitan
37
Gambar 13 KKPH Lakitan sedang Sosialisasi KPH di ds Campursari
71
Gambar 14 Bukti setoran Hasil Pengelolaan Hutan Wisata Bukit Cogong
73
Gambar 15 Penataan Tenurial dan Peran KPH
75
Gambar 16 Skema Penguatan Organisasi Penyelesaian Konflik Tenurial
80

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Data yang Dapat Dikumpulkan
Lampiran 2 Daftar Informan pada Penelitian ini
Lampiran 3 Dokumen Proses Pengumpulan Data
Lampiran 4 Rekapitulasi Hasil RaTA
Lampiran 5 Kunci AGATA
Lampiran 6 Peta Aktor dan Konflik tiap Desa di Lokasi Studi
Lampiran 7 Ekspresi Gaya Bersengketa Aktor
Lampiran 8 Surat Usulan Hutan Desa ke Menteri Kehutanan
Lampiran 9 Dokumen Penetapan Areal Kerja HD dan HKm

92
92
95
96
101
102
104
106
107

xiii

DAFTAR SINGKATAN
AB
AGATA
APBD
AW
BAL
BBWS
BCPF
BFL
BLH
BP2HP
BPDAS
BPKH
BPN
BPS
BW
CBS
CDM
CERIndo
CPRs
DA
Dephut
DitWP3H
DKN
FGD
FLUA
FMU
GERHAN
GRK
HD
HGU
HKm
HLBC
HLS
HMS
HP
HPHD
HRS
HTI
HTR
HTSTP
HuMa
IUHD

Agrarische Besluit
Analisis Gaya Bersengketa
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Agrarische Wet
Basic Agrarian Law
Balai Besar Wilayah Sungai
Bukit Cogong Protected Forest
Basic Forestry Law
Badan Lingkungan Hidup
Balai Pemantauan dan Penilaian Hutan Produksi
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Balai Pemantapan Kawasan Hutan
Badan Pertanahan Nasional
Badan Pusat Statistik
Burgerlijk Wetboek
Central Bureau of Statistic
Clean Development Mekanism
Carbon and Environmental Research
Common-pool resources
Demonstration Activity
Departemen Kehutanan
Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal
Pemanfaatan Kawasan Hutan
Dewan Kehutanan Nasional
Focused Group Discussions
Forest Land Use Agreement
Forest Management Unit
Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Gas Rumah Kaca
Hutan Desa
Hak Guna Usaha
Hutan Kemasyarakatan
Hutan Lindung Bukit Cogong
Hutan Lemah Status
Hutan Mantap Status
Hutan Produksi
Hak Pengelolaan Hutan Desa
Household Responsibility System
Industrial Plantation Forest
Hutan Tanaman Rakyat
Hutan Tanaman Sebagai Tabungan Pendidikan
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat
dan Ekologis
Ijin Usaha Hutan Desa

xiv

IUHKm
JDSP
JFM
KBR
KKPH
KPH
MoF
MoU
MTs
NSPK
PBDCMSS
PES
PF
PFMU
PP
PRA
PRISAI
PRONA
RAD GRK
RAN-GRK
RaTA
REDD
REDD+
RPJP
RTRWP
SD
SDA
SDM
SHM
SID
SIT
SKPD
SKT
SP
SPH
SPKP
SPPT
SRDP
TGHK
TN
TPL
UKP4
UNDP
UNFCCC

Ijin Usaha Hutan Kemasyarakatan
Jaringan Data Spasial Provinsi
Joint Forest Management
Kebun Bibit Rakyat
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan
Kesatuan Pengelolaan Hutan
Ministry of Forestry
Memorandum of Understanding (kesepahaman bersama)
Madrasah Tsanawiyah
Norma Standar Panilaian Kinerja
Provision Baseline Data and Cadastral Maps for South Sumatra
Payment for Environmental Services
Production Forest
Production Forest Management Unit
Peraturan Pemerintah
Participatory Rural Appraisal
Prinsip, Kriteria, Indikator Safeguard Indonesia
National Land Certificate Program
Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
Rapid Land Tenure Asessment
Reducing Emission from Deforestation and Forest Degraadation
Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation
Plus
Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Rencana Tata Ruang Provinsi
Sekolah Dasar
Sumberdaya Alam
Sumber Dasa Manusia
Sertifikat Hak Milik
System Investigasi dan Desain
Surat Ijin Tebang
Satuan Kerja Perangkat Daerah
Surat Keterangan Tanah
Satuan Pemukiman
Surat Pengakuan Hak
Sentra Penyuluhan Kehutanan dan Pertanian
Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang
Smallholder Rubber Development Program
Tata Guna Hutan Kesepakatan
Taman Nasional
PT. Toba Pulp Lestari
Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan Perencanaan
Pembangunan
United Nation Development Programme
United Nations Framework Convention on Climate Change

xv

UPT
UPTD
UU
VOC
WG-Tenure
WKS

Unit Pelaksana Teknis
Unit Pelaksana Teknis Daerah
Undang-Undang
Vereenigde Oost Indische Compagnie
Working Group on Forest Land Tenure
Wira Karya Sakti (PT. WKS)

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konflik tenurial sepanjang pemerintahan Orde Baru di Indonesia hingga
tahun 2003 terdapat 1920 kasus dengan luas cakupan sebesar 10.5 juta hektar
lebih dan korban sebanyak 622450 keluarga (Galuadra et al. 2006). Pada tahun
2008, sedikitnya ada 7491 konflik agraria yang sedang ditangani BPN dan
Kepolisian RI (Scale Up 2011). Menurut Dephut dan BPS (2009) terdapat 9103
desa berada di dalam dan di sekitar hutan. Sebanyak 359 konflik menimpa sektor
kehutanan selama periode Januari 1997 hingga Juni 2003 (Wulan et al. 2004).
Catatan Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum berbasis Masyarakat dan
Ekologis (HuMa), sampai akhir Nopember 2011 terdapat 69 konflik terjadi di
kawasan hutan yang tersebar di 10 Propinsi dalam empat pulau besar yakni
Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi.
Perbedaan pengalaman, pemahaman, dan pandangan tentang berbagai aspek
kehidupan menyebabkan manusia yang satu dan lainnya berbeda, bersengketa,
dan berkonflik yang dapat berujung pada kekerasan. Kekerasan meliputi tindakan,
perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan
secara fisik, mental, sosial atau lingkungan, dan/atau menghalangi seseorang
untuk meraih potensinya secara penuh (Fisher et al. 2001). Berbeda adalah
situasi alamiah yang terjadi karena kodrat manusia (Malik et al. 2003).
Bersengketa adalah suatu situasi persaingan antara dua atau lebih orang/kelompok
yang ingin meletakkan haknya atas suatu benda atau kedudukan (Malik et al.
2003). Istilah konflik dan sengketa dalam praktek maupun tulisan-tulisan sering
dipakai dengan maksud dan arti yang sama (Firdaus 2013). Dalam tulisan ini
istilah konflik dan sengketa dipandang memiliki arti sama dalam hal perbedaan
kepentingan atau persaingan dua atau lebih pihak untuk mendapatkan hak atas
suatu lahan yang sama.
Pengertian konflik dapat dilihat dari beberapa definisi berikut ini:
a) Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau
kelompok) yang memiliki, atau merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak
sejalan (Fisher et al. 2001).
b) Konflik adalah suatu situasi yang menunjukkan adanya praktik-praktik
penghilangan hak seseorang atau lebih dan atau kelompok atas suatu benda
atau kedudukan (Malik et al. 2003).
c) Konflik adalah persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived
divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak
yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan (Pruitt dan Rubin 1986).
d) Konflik adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih, yang
disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan
sumberdaya (Suporaharjo 2000).
e) Suatu konflik sosial terjadi ketika dua atau lebih orang atau kelompok
menyatakan keyakinannya bahwa mereka mempunyai tujuan-tujuan yang
tidak berkesesuaian (Kriesberg 1998).

2

f) Konflik adalah suatu perwujudan perbedaan cara pandang antara berbagai
pihak terhadap obyek yang sama (Wulan et al. 2004)
Dalam penelitian ini digunakan definisi sesuai Suporaharjo (2000) yang
memandang konflik sebagai suatu benturan yang terjadi antara dua pihak atau
lebih, yang disebabkan adanya perbedaan cara pandang, kepentingan, nilai, status,
kekuasaan, dan kelangkaan sumberdaya.
Winarto (2006, 2012) mendefinisikan sumberdaya sebagai unsur
lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam, baik
hayati maupun non hayati, dan sumber daya buatan. Sumber daya alam adalah
unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan non hayati yang
secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem. Sumber daya alam yang
dibicarakan dalam tulisan ini difokuskan pada hutan sebagai sumber daya hayati
dan tanah sebagai sumber daya non hayati yang kemudian banyak ditemui sebagai
kawasan hutan.
Tanah adalah suatu komponen lahan, berupa lapisan teratas kerak bumi
yang terdiri dari bahan mineral dan bahan organik serta mempunyai sifat fisik,
kimia, biologi, dan mempunyai kemampuan menunjang kehidupan manusia dan
makhluk hidup lainnya (Winarto 2012). Lahan menurut Undang-Undang
Kehutanan No. 41 tahun 1999 adalah daratan dari permukaan bumi sebagai suatu
lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi
penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan hidrologi yang terbentuk
secara alami maupun akibat pengaruh manusia. Secara umum, tanah merujuk
kepada tanah pertanian, tanah rawa, peternakan dan kehutanan (IFAD 2008).
Definisi tanah dalam tulisan ini merujuk pada lahan (land) sehingga tanah
didefinisikan sebagai daratan dari permukaan bumi sebagai suatu lingkungan fisik
yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi.
Tenure berasal dari bahasa latin “tenere” yang mencakup arti: memelihara,
memegang, memiliki. Dalam bahasa Inggris, istilah land tenure dijelaskan dalam
konteks legal sebagai sistem pemanfaatan dan/atau kepemilikan tanah. Istilah land
tenure bisa juga menjelaskan bagaimana seseorang atau pihak tertentu memangku
dan/atau memiliki tanah. Galudra et al. (2006) menggunakan istilah sistem
penguasaan tanah sebagai pengganti istilah land tenure tanah.
Hutan, menurut UU 41/1999 tentang Kehutanan, adalah suatu kesatuan
ekosistem berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan.
Menurut Pasal 1 Angka 3 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, kawasan hutan
adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Luas kawasan hutan darat yang
telah ditunjuk Menteri Kehutanan pada tahun 2011 seluas 131.28 juta hektar
(Kemenhut 2012). Setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi No 45/PUUIX/2011 tgl 21 Februari 2012, kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang
ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan
tetap. Pada tahun 2007 baru sebesar 12% atau seluas 14.24 juta hektar kawasan
hutan yang dikukuhkan (Kartodihardjo et al. 2011). Kondisi tersebut
menunjukkan keadaan kawasan hutan yang lemah statusnya (Nurrochmat et al.
2014), dalam tulisan ini disebut hutan lemah status (HLS).

3

Penguasaan kawasan hutan (forest land tenure) merujuk pada istilah forest
tenure yang memiliki makna sebagai konsep umum yang mencakup kepemilikan,
sewa dan pengaturan lain untuk pemanfaatan hutan (FAO 2014). Konflik
penguasaan kawasan hutan (forest land tenure conflict) sebagai suatu benturan
yang terjadi antara dua pihak atau lebih, yang disebabkan adanya perbedaan cara
pandang, kepentingan, nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan sumberdaya hutan.
Tipologi konflik kehutanan dapat dilihat berdasarkan berbagai aktor yang
terlibat (Epistema 2011): 1) masyarakat adat dengan Kemenhut, 2) masyarakat,
Kemenhut, Badan Pertanahan Nasional (BPN), 3) masyarakat transmigran,
masyarakat adat/lokal, Kemenhut, Pemda, BPN, 4) masyarakat petani pendatang,
Kemenhut, Pemda, 5) masyarakat desa, Kemenhut, 6) calo tanah, elit politik,
petani, Kemenhut, BPN, 7) masyarakat lokal (adat), pemegang ijin, 8) pemegang
ijin kehutanan, ijin-ijin lain, 9) gabungan berbagai aktor 1-8.
Tipologi berdasarkan penyebab konflik (Handoyo et al. 2011):
1)pelanggaran pola kemitraan, penyerobotan tanah milik warga, 3) pelegalan yang
tersistematis. Penyebab konflik menurut Wulan et al. (2004): perambahan hutan,
pencurian kayu, penataan batas, perusakan lingkungan, dan alih fungsi atas status
kawasan. Lain halnya menurut Yasmi et al. (2010), penyebab tidak langsung
(underlying causes) konflik adalah: kontestasi penguasaan tanah dan
tumpangtindih klaim; lemahnya koordinasi antar lembaga pemerintah; serta
kebijakan pembangunan konservasi dan ekonomi yang memrioritaskan
kepentingan gobal dan nasional di atas kepentingan, kebutuhan dan aspirasi lokal.
Sedangkan penyebab langsung menurut Yasmi et al. (2010) adalah: perusakan
aset masyarakat, hilangnya pendapatan dan peluang kesejahteraan akibat
pembangunan area konservasi, pengusiran masyarakat lokal dari lahannya, polusi,
dan minimnya kesempatan kerja.
Tahapan konflik menurut Winardi (2003) dapat berupa : laten, dipersepsi,
dirasakan, termanifestasikan, dan setelah konflik usai. Sedangkan jenisnya,
konflik dapat dipisahkan (Winardi 2003): tanpa konflik, laten, terbuka, dan di
permukaan. Malik et al. (2003) menjelaskan bahwa konflik dapat berwujud:
konflik tertutup (laten), konflik mencuat (emerging) dan konflik terbuka
(manifest).
Konflik di kawasan hutan bila tidak segera diatasi akan kontra produktif
terhadap penurunan emisi GRK dimana Indonesia
telah sepakat untuk
menurunkan emisi sebesar 26% pada tahun 2020 dengan usaha sendiri dan 41%
dengan bantuan internasional. Penelitian di Afrika menemukan bahwa
permasalahan penguasaan lahan (land tenure) adalah faktor yang perlu diperbaiki
dalam implementasi carbon sequestration dalam rangka mitigasi perubahan iklim
(Unruh 2008). Kepastian hak atas kawasan hutan (forest tenure) memegang
peranan penting dalam konteks manfaat jasa lingkungan (payment for
environmental services-PES) melalui pengurangan emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan (reducing emission from deforestation and forest degradationREDD+)1 (Larson 2011, Handoyo et al. 2011).
1

Skema REDD mewajibkan negara peng-emisi (emitter) memberikan penghargaan finansial untuk deforestasi dan
degradasi hutan yang berhasil dicegah yang umumnya di negara-negara berkembang. Setelah Rencana Aksi Bali
(The Bali Action Plan), selain pengurangan deforestasi dan degradasi hutan (REDD), skema ini memasukkan

4

REDD adalah suatu pendekatan dan aksi yang akan mengurangi emisi dari
deforestasi dan degradasi hutan (Angelsen dan Atmadja 2010). Skema REDD
mewajibkan negara peng-emisi (emitter) memberikan penghargaan finansial untuk
deforestasi dan degradasi hutan yang berhasil dicegah yang umumnya di negaranegara berkembang. Sesuai prinsip pembayaran jasa lingkungan (payment for
environmental services-PES)2, menurut (Nugroho dan Kartodihardjo 2009),
pemanfaat jasa membayar kepada penyedia jasa. Dari perspektif kelembagaan,
pembayar akan membayar jasa penyerapan karbon dari hutan yang diperjanjikan
apabila ada jaminan kelestarian atas hutannya. Kelestarian hutan akan dijamin
ketika hak-hak atas hutan dapat ditegakkan. KPH sebagai pengelola di tingkat
tapak mempunyai peranan penting dalam skema REDD+ memberikan jaminan
kepastian hak atas hutan yang terbebas dari konflik. Apa saja kondisi pemungkin
(enabling condition) yang harus terpenuhi agar skema REDD+ dapat
dilaksanakan?
Konflik, secara teoritis, dapat bersifat disfungsional yaitu berkembang dari
konflik konstruktif menjadi konflik destruktif (Wirawan 2010), dilihat dari aspek
negatif maupun positif (Yasmi et al. 2009). Aspek positif konflik hutan menurut
Yasmi adalah dapat menciptakan kesempatan untuk berpartisipasi pada
pengelolaan hutan, memberi ruang negosiasi dan untuk memperoleh
pembelajaran. Bila konflik lahan dapat terselesaikan dengan baik maka masingmasing pihak yang berkonflik (aktor) akan mengakui hak-hak atas lahan hutan,
dan derajat pemindahan hak-hak kepemilikan atas masing-masing lahan hutan
dapat didefinisikan dengan baik (well define property right) atau dikatakan hutan
pada status yang pasti/mantap (hutan mantap status-HMS). Kalau hutan pada
kondisi HMS, maka kelestarian pengelolaan hutan (sustainable forest
management-SFM) yang juga merupakan prasarat skema REDD+ dapat terwujud.
Hutan yang mantap statusnya adalah kawasan hutan yang dapat ditegakkan
hak-hak dan kewajiban atas statusnya. Sebagai sumberdaya yang merupakan milik
negara (state property), dipandang dari rejim kepemilikan (Bromley 1992), maka
untuk menjaga kemantapan haknya agar memiliki kekuatan hukum (legality) dan
mendapat pengakuan pihak lain (legitimate) diperlukan kecukupan (sufficiency)
biaya dan tenaga untuk menegakkannya. Kekurangan salah satu pilar legalitas,
legitimasi dan kecukupan tersebut akan mengakibatkan kawasan hutan sebagai
sumberdaya lahan yang berada pada kharakteristik open access. Hutan pada
kondisi open access cenderung mudah diklaim berbagai pihak yang kemudian
berpotensi terjadi konflik. Jadi dengan menyelesaikan konflik, kemantapan
kawasan hutan dapat terwujud, deforestasi dan degrasasi hutan dapat terkurangi,
dan dengan sendirinya emisi dapat diturunkan atau dalam kata lain REDD+ dapat
diwujudkan.
Konflik atau potensi konflik perlu diidentifikasi apa jenisnya, sebabsebabnya, lokasi kejadiannya dan apa jalan penyelesaiannya (Galudra et al. 2006).

2

peran konservasi, pengelolaan hutan yang lestari, dan peningkatan cadangan-cadangan karbon hutan di
negara-negara berkembang. Gabungan kedua area ini selanjutnya disebut REDD+
Pengembangan mekanisme PES pada dasarnya merupakan intervensi dengan penyediaan insentif yang diarahkan untuk
menciptakan suatu kondisi yang memungkinkan terjadinya transfer langsung antara penyedia (individual, kelompok,
bahkan pemerintah) dengan pengguna jasa lingkungan (local, regional, nasional, bahkan internasional).

5

Menurut Heitler (1993), resolusi konflik adalah sekumpulan teori dan
penyelidikan yang bersifat eksperimental dalam memahami sifat-sifat konflik,
meneliti strategi tejadinya konflik, kemudian membuat resolusi terhadap konflik.
Resolusi konflik dapat diartikan sebagai penyelesaian konflik (Conflict
Resolution) adalah usaha yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik dengan
cara mencari kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik
(Heitler 1993). Dalam tulisan ini istilah penyelesaian konflik dan resolusi konflik
digunakan secara bergantian.
Ada tiga cara untuk resolusi konflik (Dana 2001) yakni, kontestasi
kekuatan (power contests), kontestasi hak (rights contests), dan saling menerima
kepentingan pihak lain (interest reconsiliation). Seorang manajer yang cerdas
akan menghindari cara pertama-kontestasi kekuatan (power contests), dan cara
kedua-kontestasi hak (rights contests), serta akan fokus menemukan cara resolusi
yang ketiga- saling menerima kepentingan pihak lain (interest reconsiliation).
Bagaimana penyelesaian konflik di kawasan hutan di Indonesia melalui kontestasi
kekuatan (power contests) dan kontestasi hak (rights contests)?
Malik et al. (2003) menyebutkan ada dua cara yang dapat ditempuh dalam
menangani konflik. Pertama dengan menempuh jalur pengadilan, dan kedua
melalui jalur di luar peradilan. Penyelesaian konflik melalui pengadilan
membutuhkan waktu yang lama dan dana yang tidak sedikit. Karena itu dibuatlah
mekanisme penyelesaian di luar pengadilan. Informasi yang penting mencakup
sejarah terjadinya sengketa, akar perbedaan kepentingan yang membuat beberapa
pihak bersengketa, serta gaya para pihak menghadapi sengketa (conflict style)
diperlukan guna penyelenggaraan penyelesaian sengketa yang efektif (Pasya dan
Sirait 2011). Bagaimana konflik penguasaan kawasan hutan dapat diselesaikan
melalui pendekatan gaya bersengketa para pihak di Indonesia sehingga diperoleh
keadaan saling menerima pihak lain (interest reconsiliation)?
Resolusi terhadap konflik-konflik penguasaan sumberdaya alam dapat
diselesaikan melalui cara negosiasi, jalur pengadilan, atau bahkan ditunda (Fisher
et al. 2001), (Schwedersky 2010). Meminimalisasi konflik di India dilakukan
dengan melakukan pengelolaan hutan bersama masyarakat (Joint Forest
Management-JFM) (Kant dan Cooke 1999), di Philipina melalui reformasi agraria
(land reform) (Hayami dan Otsuka 1993), di China dengan Household
Responsibility System (HRS) (Hu 1997), di India dengan National Urban Housing
Programme. Di Kabupaten Merangin, Propinsi Jambi, Indonesia, konflik antara
masyarakat desa Guguk dengan swasta pemegang konsesi diselesaikan dengan
penetapan lahan menjadi Hutan Adat melalui Keputusan Bupati (Handoyo et al.
2011).
Dewan Kehutanan Nasional (DKN) memiliki setidaknya tiga pengalaman
dalam memediasi konflik (Kartodihardjo 2011). Pertama di Kontu-Sulawesi
Tenggara, dimana masyarakat terlanjur berada di dalam kawasan yang ditetapkan
sebagai hutan lindung, mediasi DKN menghasilkan pengakuan akses masyarakat
dalam skema Hutan Kemasyarakatan oleh Kementrian Kehutanan. Kedua di
PT.Wira Karya Sakti (WKS)-Jambi, resolusi konflik dilakukan melalui kemitraan
antara masyarakat dengan PT. WKS. Terakhir di Sumatera Utara, konflik antara

6

PT. Toba Pulp Lestari (TPL) diselesaikan dengan adanya kesepakatan peta antara
kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan kelompok Pemerintah.
Pembangunan institusi3 yang tepat sebagai pengelola di tingkat tapak
penting dipertimbangkan guna mengantisipasi konflik atas sumberdaya
(Wollenberg et al. 2006, Kant dan Berry 2005, Kartodihardjo 1998, Kartodihardjo
et al. 2011, Nugroho 2003, CERIndo et al. 2010; CERIndo dan CCAP 2010;
2011). Apa saja institusi dalam arti aturan main yang dibangun pemerintah
Indonesia dalam mengantisipasi konflik pengelolaan kawasan hutan?
Institusi dibangun untuk mengurangi ketidakpastian kontrol atas
sumberdaya dan untuk menekan perilaku oportunistik membahayakan sehingga
perilaku manusia dalam memaksimalkan kesejahteraannya lebih dapat diprediksi
(Kasper dan Streit 1998). Jadi dengan menggunakan teori kelembagaan perilaku
manusia untuk mengelola, memperoleh manfaat, memindah tangankan, ataupun
merusak sumberdaya hutan yang dimilikinya lebih dapat diatur dan diprediksi.
Lemahnya institusi pengelolaan hutan periode 1999 hingga 2009 mengurangi
fungsi kontrol ata hutan sebagai sumberdaya milik umum-CPRs (Ostrom 2008)
dan kawasan hutan secara de facto open access. Ostrom (2008) menawarkan
Adaptive Governance yang menyatakan "solusi ideal sederhana yang dipaksakan
dari luar bisa membuat segalanya lebih buruk daripada lebih baik". Tata
Pemerintahan Adaptif ini membutuhkan 5 persyaratan dasar, yaitu: 1) mencapai
informasi yang akurat dan relevan, 2) menangani konflik, 3) meningkatkan
kepatuhan aturan, 4) menyediakan prasarana jalan, dan 5) mendorong adaptasi
dan perubahan.
Di Indonesia, pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dianggap
sebagai strategi transformasi untuk mendorong terwujudnya HMS. Apa peran
KPH dalam resolusi konflik kawasan hutan di Indonesia? Bagaimana strategi
kelembagaan yang harus dibangun agar konflik dapat diselesaikan sehingga
REDD+ dapat diimplementasikan?
Kerangka Pemikiran
Luasnya kawasan hutan yang dikuasai negara tidak sebanding dengan
kemampuan untuk menjaga dan menegakkan hak-haknya sehingga hutan menjadi
berstatus (HLS). Dibangunnya KPH dipandang sebagai solusi strategis untuk
dapat mendorong terjadinya kepastian hak atas lahan (HMS). Wilayah KPH
ditetapkan pada kawasan yang tidak dibebani hak (KTDH) yang secara de jure
hutan negara tetapi secara de facto berada pada situasi open access. Sumberdaya
lahan yang pada situasi open access mendorong banyak pihak untuk
memanfaatkan lahan. Benturan kepentingan atas lahan yang sama seperti ini pada
giliran selanjutnya sangat berpotensi menjadi konflik. (Gambar 1).
Institusi dibangun untuk mengurangi ketidakpastian kontrol atas
sumberdaya dan untuk menekan perilaku oportunistik dan membahayakan
sehingga perilaku manusia dalam memaksimalkan kesejahteraannya lebih dapat
diprediksi (Kasper dan Streit 1998). Jadi dengan menggunakan teori kelembagaan
3

Institusi merupakan aturan main, norma, larangan, dan aturan yang mengatur dan mengontrol perilaku individu di
masyarakat atau organisasi (North 1990).

7

perilaku manusia untuk mengelola, memperoleh manfaat, memindah tangankan,
ataupun merusak sumberdaya hutan, sebagai sumberdaya milik umum (CPRs),
yang dimilikinya lebih dapat diatur dan diprediksi. Konflik perlu diidentifikasi
oleh KPH dan dicari solusinya di lapangan, sehingga status kawasan hutan
menjadi mantap (HMS). Kondisi hutan yang HMS diperlukan untuk menjamin
kelestarian hutan yang mutlak diperlukan pada skema REDD+. Skema REDD+
dalam arti kompensasi imbal jasa melibatkan dua pihak pembayar jasa dan
SKEMA
REDD+

Teori
CPRs

KAWASAN
HUTAN

NEGARA
MAJU

Teori
Property
Right

HUTAN
NEGARA

EMISI
TINGGI

HMS

SOLUSI

Fakta

aTeori
Konflik

Pengelola tk
Tapak

KPH

KTDH

EMISI
RENDAH

WAJIB
KURANGI
EMISI

HLS

Model lain

NEGARA
BERKEMBNG

SURPLUS
STOK
KARBON

KOMPENSASI

De facto:
Open access

Pemanfaatan
Lahan

PENYERAP
TINGGI

2 PIHAK
Hak-hak
atas
tanah
Dijamin

Jaminan
Kelestarian
PrincipleAgent
Collective
Action

KONFLIK

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian

penyedia jasa. Konsep hak kepemilikan dipadang cukup baik untuk memperjelas
hak para pihak atas sumberdaya. Penelitian yang menggunakan metode analisis ini
antara lain tentang kepemilikan dalam perikanan artisanal di kota Batam (Arsyad
et al. 2007), pengelolaan hutan bersama masyarakat di India (Behera dan Engel
2006), dan hak atas lahan pada Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat (Nugroho
(2011).
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang dikemukakan, maka
pertanyaan utama penelitian yang dirumuskan adalah : bagaimana strategi resolusi
konflik kawasan hutan di Indonesia agar hutan / kawasan hutan dapat dikelola
secara lestari termasuk diantaranya melalui skema REDD+. Persoalan-persoalan
penelitian yang dibangun dibawah kerangka pertanyaan utama penelitian tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana penyelesaian konflik di kawasan hutan di Indonesia melalui
kontestasi kekuatan (power contests) dan kontestasi hak (rights contests).
Apakah pendekatan tersebut dapat menjawab persoalan?

8

2. Bagaimana penyelesaian konflik penguasaan kawasan hutan melalui
pendekatan gaya bersengketa para pihak di Indonesia sehingga diperoleh
keadaan saling menerima pihak lain (interest reconsiliation). Apakah
pendekatan tersebut efektif?
3. Bagaimana institusi, dalam arti aturan main, yang dibuat pemerintah Indonesia
dalam mengantisipasi konflik pengelolaan kawasan hutan bekerja. Mengapa
setelah ada aturan main tersebut masih juga terjadi konflik?
4. Dapatkah KPH yang dibangun di Indonesia menyelesaikan konflik kawasan
hutan di wilayahnya. Apa kekurangannya dari kelembagaan KPH tersebut?
5. Bagaimana kondisi pemungkin (enabling condition) dipersiapkan agar skema
REDD+ di Indonesia dapat dilaksanakan. Apakah kalau ada konflik tenure
REDD+ dapat dilaksanakan?.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan pertanyaan penelitian yang dirumuskan tersebut, maka tujuan
penelitian ini adalah untuk mendesain strategi resolusi konflik kawasan hutan di
Indonesia agar hutan / kawasan hutan dapat dikelola secara lestari termasuk
diantaranya melalui skema REDD+. Jawaban persoalan-persoalan penelitian yang
dibangun dibawah kerangka tujuan utama penelitian tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Menjelaskan sejauh mana penyelesaian konflik di kawasan hutan di Indonesia
melalui kontestasi kekuatan (power contests) dan kontestasi hak (rights
contests) dapat menjawab persoalan
2. Menjelaskan seberapa efektif penyelesaian konflik penguasaan kawasan hutan
melalui pendekatan gaya bersengketa para pihak di Indonesia sehingga
diperoleh keadaan saling menerima pihak lain (interest reconsiliation)
3. Menjelaskan sebab-sebab tidak bekerjanya institusi, dalam arti aturan main,
yang dibuat pemerintah Indonesia dalam mengantisipasi konflik pengelolaan
kawasan hutan, sehingga masih terjadi konflik
4. Menjelaskan apakah KPH yang dibangun di Indonesia dapat menyelesaikan
konflik kawasan hutan, bila belum apa kekurangannya
5. Menjelaskan kondisi pemungkin (enabling condition) apa yang harus
dipersiapkan agar skema REDD+ di Indonesia dapat dilaksanakan, apakah
kalau ada konflik tenure REDD+ dapat dilaksanakan.
Kebaruan (Novelty)
Implementasi REDD+ mensyaratkan resolusi konflik dalam rangka
kepastian tenurial untuk mewujudkan kelestarian hutan. Selama ini kriteria
pengaman skema REDD+ lebih fokus pada teknik budidaya dalam rumusan hasil
produksi guna mengamankan resiko investasi pemberi dana. Kebaruan ini
termasuk kebaruan tipe-1 atau invention (Sukardi 2009). Invention lain dari
penelitian ini adalah perlunya anggota Panitia Tata Batas kawasan hutan yang
memiliki kompetensi pemetaan, fasilitasi dan mediasi konflik. Dalam peraturan
terkait PTB selama ini tidak terdapat unsur yang memiliki kompetensi tersebut.

9

Kajian ini juga menemukan bahwa resolusi konflik pengelolaan kawasan
hutan sebaiknya mengedepankan penyelesaian luar pengadilan (out of court) atau
alternative dispute resolution (ADR) berdasarkan gaya bersengketa para pihak
karena penyelesaian secara administratif dan hukum selama ini ternyata tidak
efektif. Temuan kedua yang mengedepankan jalur luar pengadilan tersebut,
menurut Sukardi (2009) merupakan kebaruan tipe-2 (improvement), yang
menguatkan teori Dana (2001). Improvement terhadap metode AGATA (Pasya
dan Sirait 2011) terletak pada pemetaan para pihak secara kualitatif. Selama ini
pemetaan gaya para pihak dalam bersengketa dilakukan secara kuantitatif.
Penelitian ini mencatat bahwa fasilitator dan mediator dari pihak ketiga
diperlukan untuk mendampingi dan memediasi para pihak dalam menyelesaikan
konflik tenurial kehutanan. Catatan ini menurut Sukardi (2009) merupakan
kebaruan tipe-3 (refutation) atas fungsi fasilitasi dan mediasi penyelesaian konflik
tenurial kehutanan yang disediakan oleh Kementerian Kehutanan yang merupakan
bagian dari konflik itu sendiri.
Berdasarkan kriteria kebaruan yang harus fokus (specific), terdepan
(advance), dan ilmiah (scholar) maka penelitian ini memenuhi ketiga kriteria
tersebut. Fokus karena memusatkan perhatian pada resolusi konflik tenurial
diantara berbagai persoalan yang ada dalam pengelolaan kawasan hutan. Terdepan
mengingat masih sangat terbatas penelitian yang mengkaitkan isu konflik, KPH
dan REDD+. Penelitian berbasis KPH dilakukan Ekawati (2012) dengan
perhatian pada proses pembuatan kebijakan di KPH lindung, Karsudi (2010)
fokus pada KPH de