Model Produksi Biodiesel Berbasis Minyak Sawit Untuk Memprediksi Harga Jual dan Besaran Subsidi

MODEL PRODUKSI BIODIESEL BERBASIS MINYAK SAWIT
UNTUK MEMPREDIKSI HARGA JUAL
DAN BESARAN SUBSIDI

MEILITA TRYANA SEMBIRING

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Model Produksi
Biodiesel Berbasis Minyak Sawit Untuk Memprediksi Harga jual dan Besaran
Subsidi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Meilita Tryana Sembiring
NIM F361090151

RINGKASAN
MEILITA TRYANA SEMBIRING. Model Produksi Biodiesel Berbasis Minyak
Sawit Untuk Memprediksi Harga Jual dan Besaran Subsidi. Dibawah bimbingan
SUKARDI, ANI SURYANI, dan MUHAMMAD ROMLI
Biodiesel adalah salah satu sumber energi terbarukan, ramah lingkungan,
dan dapat mengurangi konsumsi energi fosil yang persediaannya diperkirakan
semakin menipis. Salah satu bahan baku prospektif untuk memproduksi biodiesel
adalah yang berasal dari minyak sawit. Oil World mempublikasikan data minyak
sawit Indonesia untuk Oktober 2013 hingga September 2014, produksi sebesar 30
juta ton, ekspor 20.9 ton dan digunakan untuk konsumsi dalam negeri 9.10 juta
ton, untuk produksi oleokimia, oleofood, dan biodiesel. Indonesia sebagai negara
penghasil komoditas kelapa sawit terbesar di dunia sangat berpotensi untuk
mengembangkan biodiesel berbasis minyak sawit sebagai bahan bakar nabati
(BBN) yang merupakan energi terbarukan pengganti bahan bakar minyak (BBM)
yang merupakan energi fosil. Namun permasalahan harga jual yang tinggi

menjadikan produksi biodiesel di Indonesia tidak berkembang. Kementerian
Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) merilis dari total produsen biodiesel
saat ini sebanyak 25 industri biodiesel, 13 produsen telah menghentikan
produksinya. Sementara kebutuhan biodiesel semakin meningkat dengan adanya
kebijakan pemerintah mencampur biodiesel ke dalam solar (biosolar) sesuai
mandatorinya yaitu 10%. Pada tahun 2013, kebutuhan solar nasional sebesar 33
juta kiloliter, dengan pencampuran 10% biodiesel ke dalam solar dapat
mengurangi penggunaan solar sebesar 3.3 juta kiloliter. Di lain pihak, harga jual
biodiesel ditentukan oleh harga mean oil platts Singapore (MOPS) yaitu harga
publikasi solar di Singapura, hingga saat ini harga jual biodiesel dapat dikatakan
selalu lebih tinggi dibandingkan dengan harga MOPS. Harga jual produsen yang
tinggi disebabkan juga oleh harga bahan baku yaitu minyak sawit, dimana ketika
terjadi peningkatan harga minyak sawit maka biaya produksi biodiesel akan
meningkat.
Berdasarkan permasalahan tersebut, penelitian ini mengkaji produksi
biodiesel untuk menentukan harga jual dan besaran subsidi dari biaya produksi
biodiesel. Biaya produksi dipengaruhi oleh harga bahan baku biodiesel dan
teknologi proses produksi biodiesel. Pendekatan untuk mendapatkan biaya
produksi biodiesel dilakukan dengan memodelkan secara kuantitatif produksi
biodiesel. Model produksi biodiesel dibangun dari kajian bahan baku, teknologi

proses dan komponen pembentuk biaya produksi. Biodiesel yang dikaji adalah
biodiesel berbahan baku minyak sawit yaitu crude palm oil (CPO), refined palm
oil (RPO), refined bleached deodorized palm oil (RBDPO), refined bleached
deodorized palm olein (RBD olein), refined bleached deodorized palm stearin
(RBD stearin), palm fatty acid distillate (PFAD). Teknologi proses dikaji
berdasarkan kandungan asam lemak bebas (ALB) bahan baku dengan
menggunakan perbandingan dua teknologi yaitu Teknologi Grand Inizio dan
Lurgi. Kedua teknologi digunakan sebagai dasar penentuan komponen pembentuk
biaya produksi biodiesel. Penentuan harga jual terendah berdasarkan
perbandingan teknologi yang lebih baik dilihat dari sisi biaya proses dan investasi.

Model produksi biodiesel tersebut digunakan untuk mendapatkan harga
jual terendah. Pendekatan perhitungan harga jual ini dilakukan dengan
menggunakan teknik heuristik, yaitu dengan menjumlahkan harga bahan baku,
biaya olah, pajak pertambahan nilai (PPN), dan margin penjualan. Harga jual
terendah dari perhitungan ini merupakan harga jual minimum biodiesel dan dapat
dijadikan referensi oleh pemerintah dalam menetapkan harga jual biodiesel.
Kajian selanjutnya melakukan analisis fluktuasi harga bahan baku dan
pengaruhnya terhadap harga jual biodiesel, dengan melakukan perhitungan dan
pemberian rekomendasi kebijakan subsidi yang seharusnya dikeluarkan oleh

pemerintah. Rekomendasi ini didapat dengan membandingkan antara harga jual
tertinggi dari kajian analisis fluktuasi harga bahan baku dengan harga indeks pasar
(HIP) biodiesel. Kebijakan subsidi adalah harga jual maksimum dari analisis
fluktuasi harga bahan baku dikurangi HIP biodiesel.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2013 sampai Desember
2014. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh berdasarkan observasi langsung dan wawancara
dengan pakar berkaitan dengan topik dan data sekunder diperoleh dari dokumen
dan literatur. Pengumpulan data dari PT MusimMas, PT Wilmar, PT Eterindo
Wahanatama Tbk, dan PTPN IV. Penentuan lokasi penelitian dan pakar
menggunakan purposive sampling.
Penelitian ini menghasilkan model matematis dalam bentuk sub model
bahan baku, sub model teknologi proses dan sub model biaya produksi, sub model
harga jual dan sub model besaran subsidi. Penyusunan komponen biaya produksi
digunakan untuk mendapatkan harga jual dan besaran subsidi. Perhitungan harga
jual dilakukan dengan studi kasus harga biodiesel tahun 2013 dengan hasil harga
jual biodiesel masing-masing bahan bakunya untuk setiap liter biodiesel adalah
CPO Rp 8 979, RPO Rp 8 979, RBDPO Rp 8 680, RBD olein Rp 8 784, RBD
stearin Rp 8 105, dan PFAD Rp 7 798. Harga jual terendah adalah PFAD,
sedangkan harga jual tertinggi adalah RBD olein. Biaya olah terendah adalah

bahan baku yang berasal dari refined oil yaitu RBDPO, RBD olein, dan RBD
stearin dan tertinggi adalah PFAD. Harga jual terendah ini dapat dijadikan
referensi harga jual biodiesel oleh pemerintah.
Kajian fluktuasi harga bahan baku dan pengaruhnya terhadap harga jual
memperlihatkan bahwa harga jual tertinggi selama delapan tahun terakhir adalah
Rp 12 121 Harga ini menjadi acuan perhitungan subsidi maksimum yang harus
diberikan pemerintah kepada produsen biodiesel di tahun 2014. Besaran subsidi
yang diusulkan tahun 2013 dengan HIP sebesar Rp 9 276 adalah Rp 2 845.
Kata kunci: biodiesel, harga jual, kebijakan subsidi, penyedia teknologi

SUMMARY
MEILITA TRYANA SEMBIRING. A Model of Palm Biodiesel Production to
Predict Pricing and Value of Subsidy. Supervised by SUKARDI, ANI SURYANI,
and MUHAMMAD ROMLI.
Biodiesel is a renewable energy source, environmentally friendly, and it
could reduce the consumption of fuel energy (non-renewable energy). A
prospective raw material for the production of biodiesel is palm oil. Oil World
Organization released Indonesian palm oil data for October 2013 to September
2014, the production of Indonesian palm oil is 30 million tons, exported 20.9
million tons and is used for domestic consumption 9.10 million tons. Indonesia as

world's largest palm oil commodity-producing countries has potential to
developed palm oil-based on biodiesel as biofuels (renewable energy) instead of
fossil fuels. However, the problems of high selling price makes biodiesel is not
sustainable production in Indonesia is not growing. Ministry of Energy and
Mineral Resources released from the total current biodiesel producer biodiesel
industry as much as 25, 13 manufacturers have ceased production. While
biodiesel is increasing the need for government policy, mixing biodiesel into
diesel fuel (biosolar). In 2013 consumption solar amounted 33 million kiloliters,
mixing 10% of biodiesel can reduce diesel amounted to 3.3 million kiloliters/year.
On the other hand, the selling price of biodiesel is determined by Mean Oil Platts
Singapore (MOPS) is the price of diesel in the Singapore market, until now selling
price of biodiesel can be said to be always higher than the price of MOPS. The
selling price is a manufacturer of high due to price of raw material for biodiesel
and make the cost of biodiesel production process is high.
Based on this study examines these issues biodiesel selling price of
biodiesel production costs and selling price support policy recommendations that
high biodiesel in the form of subsidies. The cost of production is influenced by the
price of raw material for biodiesel and biodiesel production process cost.
Approach to get the production process cost of biodiesel is done by modeling the
process is quantitative of biodiesel production. Biodiesel production model is

built from the sub model raw materials, process technology (Grand Inizio and
Lurgi) based on the content of free fatty acid (FFA) are used as raw materials and
components forming the cost of production. Biodiesel studied is biodiesel made
from palm oil, namely crude palm oil (CPO), refined palm oil (RPO), refined
bleached deodorized palm oil (RBDPO), refined bleached deodorized palm olein
(RBD olein), Refined Bleached Deodorized Palm Stearin (RBD stearin), Palm
Fatty Acid Distillate (PFAD). Studied process technology used two technology
provider for production process biodiesel. Comparing two techologies for
determining the cost of production of biodiesel. We selected the technology
process based on comparison of cost of process and fixed capital investment.
Biodiesel production model is used to obtain the lowest selling price.
Approach to the selling price calculation is done using a heuristic technique, by
totaling prices of raw material, process cost, taxes, and sales margin. The lowest
price of this calculation is the minimum price the biodiesel production process and

can be used as a reference by the government to determine the lowest selling price
of biodiesel.
Further study of fluctuations of raw material prices of biodiesel and
biodiesel prices and its impact on the calculation and administration of policy
recommendations subsidies to be issued by government. Recomendation is

obtained by comparing the highest selling price of raw materials to the study of
fluctuations in the price index of biodiesel production. So that the maximum
subsidy policy is the maximum selling price of reduced price index fluctuation
analysis of biodiesel production.
This research was conducted from November 2013 to December 2014.
The data used in this study are primary and secondary data. Primary data obtained
from direct observation and interview of the experts according to the research
topics and secondary data from records/documents and literature. Data collection
was conducted at PT MusimMas, PT Wilmar, PT Eterindo Wahanatama Tbk, and
PTPN IV. The choice of respondents and experts were used purposive sampling.
This research resulted in a mathematical models consist of raw materials
sub models, technology processes sub models, production costs sub models,
selling price sub models, amount of the subsidy sub models. Selling price
calculation is done with a case study of biodiesel prices in 2013 with the results of
the selling price of biodiesel each raw material for each liter of biodiesel is CPO
Rp 8 979, RPO Rp 8 979, RBDPO Rp 8 680, RBD olein Rp 8 784, Rp RBD
stearin Rp 8 105, and PFAD Rp 7 798. The lowest selling price is PFAD, and the
highest selling price is from RBD olein. The lowest production cost from refined
oil there are RBDPO, RBD olein dan RBD stearin and the production cost highest
is PFAD. The lowest selling price can be used as a reference the minimum selling

price of biodiesel by the government.
Price fluctuations in raw material and its impact on the selling price
showed that the highest selling price over the last eight years is Rp 12 121. The
price is a reference calculation of the maximum subsidy to be provided by the
government to producers of biodiesel in 2013. The amount of the subsidy
proposed in 2014 by the market price index Rp 9 276 is Rp 2 845
Keywords: biodiesel, palm oil, selling price, subsidy policy, technology provider

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

MODEL PRODUKSI BIODIESEL BERBASIS MINYAK SAWIT
UNTUK MEMPREDIKSI KEBIJAKAN HARGA

DAN BESARAN SUBSIDI

MEILITA TRYANA SEMBIRING

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof Dr Ir Syamsul Ma’arif, M.Eng (Guru Besar
Teknologi Industri, Fateta IPB)
Prof Dr Ir Erliza Hambali, MS. P (Guru Besar
Teknologi Industri, Fateta IPB)
Penguji pada Ujian Terbuka : Dr Ir Gede Wibawa, DEA (Direktur Riset dan

Pengembangan PT Riset Perkebunan Nusantara)
Prof Dr Ir Nastiti S Indrasti (Guru BesaTeknologi
Industri, Fateta IPB)

Judul Disertasi
Nama
NIM

: Model Produksi Biodiesel Berbasis Minyak Sawit Untuk
Memprediksi Harga Jual dan Besaran Subsidi
: Meilita Tryana Sembiring
: F361090151

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Sukardi, MM
Ketua

Prof Dr Ir Ani Suryani, DEA
Anggota

Prof Dr Ir Muhammad Romli, MSc St
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Teknologi industri Pertanian

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Machfud, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian:

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak tahun 2013 ini ialah mengenai
Biodiesel, dengan judul Model Produksi Biodiesel Berbasis Minyak Sawit
Untuk Memprediksi Harga Jual dan Besaran Subsidi.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan
kepada :
1. Bapak Prof Dr Ir Sukardi, MM selaku ketua komisi pembimbing, Ibu Prof
Dr Ir Ani Suryani, DEA, dan Bapak Prof Dr Ir Muhammad Romli, MSc St
selaku angggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan
bimbingan dan saran.
2. Bapak Prof Dr Ir Syamsul Ma’arif, M.Eng dan Ibu Prof Dr Ir Erliza
Hambali, MS.P yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi pada ujian
tertutup, serta memberikan evaluasi dan saran yang sangat bermanfaat untuk
kesempurnaan disertasi ini.
3. Ibu Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti dan Dr Ir Gde Wibawa, DEA yang telah
berkenan menjadi penguji luar komisi pada ujian terbuka, serta memberikan
evaluasi dan saran yang sangat bermanfaat untuk penyempurnaan disertasi.
4. Bapak Prof Dr Ir Machfud, MS selaku Ketua Program Studi Teknologi
Industri Pertanian, yang telah memberikan koreksi dan masukan pada ujian
tertutup dan terbuka.
5. Bapak Immanuel Sutarto selaku Presiden Direktur PT Eterindo
Wahanatama Tbk, Bapak M. Ghani , Bapak Abdullah Munir, Bapak Ir
Anshori Nasution, dan seluruh pihak yang telah membantu penyempurnaan
disertasi ini.
6. Keluarga: Ayahanda Prof Kitab Sembiring SH (alm) dan Ibunda Prof
Rehngena Purba, SH MS, serta suami tercinta Kombes Pol Benny Iskandar,
SIK MSi dan anak-anakku tersayang: Nia, Riezky, dan Nissa yang telah
banyak memberikan dukungan, dan pengertiannya selama ini. Ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada abang dan kakanda Ir Balaman
Tarigan MM, dan Juli Irmawaty Sembiring yang telah banyak membantu
dan memberikan semangat kepada penulis.
7. Rekan-rekan mahasiswa Pasca Sarjana Teknologi Industri Pertanian
angkatan 2009, sahabat-sahabat dan adik-adik yang telah banyak membantu
penulis selama mengikuti pendidikan sampai selesainya disertasi ini.
Penulis menyadari disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun
demikian penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2015
Meilita Tryana Sembiring

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
5
Lingkup dan Batasan Penelitian
5
TINJAUAN PUSTAKA
6
Biodiesel
6
Potensi Minyak Sawit sebagai Bahan Baku Biodiesel
9
Pemanfaatan Minyak Sawit dan Turunannya
15
Biodiesel Berbasis Minyak Sawit
17
Karakteristik Bahan Baku Biodiesel Berbasis Minyak Sawit
16
Kajian Penelitian Biodiesel Berbasis Minyak Sawit
26
Teknologi Proses Produksi Biodiesel
28
Tahapan Umum Proses Produksi Biodiesel
29
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Rendemen Biodiesel
34
Karakteristik Biodiesel
35
Standar Mutu Biodiesel
36
Pemodelan Produksi
36
Perkiraan Biaya Produksi
40
Teknik Heuristik
43
Subsidi Harga Jual Biodiesel
43
Korelasi Harga Minyak Bumi terhadap Harga Minyak Sawit
44
Penelitian Terdahulu dan Posisi Kebaruan (Novelty) Penelitian
46
METODE PENELITIAN
49
Kerangka Pemikiran Pemecahan Masalah
49
Tata Laksana Penelitian
50
PEMODELAN SISTEM
53
Analisis Sistem
53
Analisis Situasional
54
Analisis Kebutuhan Sistem
55
HASIL DAN PEMBAHASAN
60
Perkembangan Industri Biodiesel di Indonesia
60
Sub Model Bahan Baku Biodiesel Berbasis Minyak Sawit
63
Sub Model Teknologi Proses Produksi Biodiesel Berbasis Minyak Sawit 66
Sub Model Biaya Produksi
84
Perhitungan Biaya Produksi Biodiesel
95
Perbandingan Teknologi Grand Inizio dan Lurgi
96
Sub Model Harga Jual Biodiesel
100
Sub Model Kebijakan Subsidi Biodiesel
101
Simulasi Harga Jual Biodiesel Berbasis Minyak Sawit
103
Interpretasi Hasil Analisis Simulasi Harga Jual Biodiesel Berbasis Minyak
Sawit
104
Simulasi Besaran Subsidi Biodiesel
107

Pengaruh Harga Minyak Mentah Terhadap Harga Minyak Sawit dan
Biodiesel
Verifikasi dan Validasi Model Produksi, Harga Jual, Kebijakan
Subsidi
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

110
114
115
115
116
116
127
211

DAFTAR TABEL
1 Perbandingan antara biodiesel minyak sawit dengan solar
2 Perbandingan kinerja solar dan biodiesel terhadap operasi mesin
3 Komposisi biodiesel minyak sawit dan solar
4 Perkembangan produksi minyak hayati dan minyak sawit 2008-2012
5 Luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia
6 Produktivitas kelapa sawit di Indonesia
7 Beberapa industri besar pengolahan kelapa sawit di Indonesia
8 Produsen minyak goreng di Indonesia
9 Pemanfaatan bahan baku biodiesel dari minyak sawit dan turunannya
10 Komposisi asam lemak pada biodiesel dari minyak sawit
11 Komposisi asam lemak CPO
12 Karakteristik CPO
13 Karakteristik kimia RPO
14 Komposisi asam lemak RBDPO
15 Karaktersitik RBDPO
16 Komposisi kimia RBD olein
17 Karakteristik RBD olein
18 Komposisi asam lemak RBD stearin
19 Karakteristik RBD stearin
20 Kandungan asam lemak PFAD
21 Karakteristik PFAD
22 Perbandingan metode teknologi proses produksi biodiesel
23 Kebutuhan tenaga kerja untuk tiap unit operasi
24 Kajian penelitian bahan baku biodiesel berbasis minyak sawit
25 Kajian penelitian teknologi proses biodiesel
26 Kajian komponen biaya produksi biodiesel
27 Posisi penelitian terhadap penelitian sebelumnya
28 Jenis dan sumber data penelitian
29 Kebutuhan aktor dalam industri biodiesel
30 Analisis kebutuhan model produksi biodiesel berbasis minyak sawit
31 Produsen biodiesel di Indonesia
33 Proyeksi kebutuhan biodiesel Indonesia
33 Karakteristik bahan baku biodiesel berbasis minyak sawit

7
7
8
11
12
13
14
15
17
18
20
20
21
22
22
23
23
24
24
25
25
28
41
46
46
47
48
52
57
57
61
62
63

34 Deskripsi pemilik teknologi proses produksi biodiesel
35 Teknologi proses produksi menurut jenis bahan baku
36 Bahan penolong yang digunakan berdasarkan jenis bahan baku teknologi
Grand Inizio
37 Bahan penolong yang digunakan berdasarkan jenis bahan baku teknologi
Lurgi
38 Komponen biaya pemipaan industri biodiesel
39 Biaya bangunan berdasarkan tipe proses
40 Komposisi biaya perbaikan lahan
41 Komponen biaya fasilitas pendukung proses
42 Komponen biaya keteknikan dan pengawasan
43 Komponen biaya ekspansi dan konstruksi
44 Komponen biaya investasi tetap (fixed capital investment)
45 Komponen biaya perawatan dan perbaikan mesin
46 Struktur penyusun biaya produksi biodiesel
47 Perbandingan biaya investasi tetap masing-masing bahan baku
48 Perbandingan biaya proses masing-masing bahan baku
49 Rata-rata biaya produksi pengolahan biodiesel masing-masing bahan
baku berdasarkan teknologi Inizio
50 Rata-rata biaya produksi pengolahan biodiesel masing-masing bahan
baku berdasarkan teknologi Lurgi
51 Studi kasus harga jual tahun 2013
52 Hasil analisis fluktuasi bahan baku terhadap harga jual biodiesel
53 Tabel hasil uji kointegrasi menggunakan metode Johansen dengan
bantuan E views 7
54 Persentase rata-rata perubahan harga per tahun
55 Validasi model produksi biodiesel berbasis minyak sawit

67
70
77
83
89
89
89
90
91
91
92
94
95
96
96
100
100
105
106
113
114
115

DAFTAR GAMBAR
1 Pertumbuhan konsumsi minyak dan lemak dunia
2 Kondisi pasar minyak nabati dunia
3 (a) Negara pengimpor; (b) Negara pengekspor minyak sawit dunia
4 Pohon industri minyak sawit
5 Perkembangan penggunaan biodiesel oleh Pertamina tahun 2009-2014
6 Reaksi transesterifikasi
7 Reaksi trasnesterifikasi minyak/lemak menghasilkan biodiesel
8 Skema kajian simulasi
9 Tahapan pemodelan sistem
10 Harga minyak sawit tahun 1988-2012
11 Harga minyak bumi dan CPO dunia tahun 1988-2012
12 Kerangka pemikiran pemecahan masalah
13 Tahapan penelitian
14 Identifikasi model produksi biodiesel (top level)
15 Batasan kajian model produksi biodiesel berbasis minyak sawit
16 Kapasitas dan produksi biodiesel Indonesia
17 Proporsi bahan baku biodiesel

10
11
15
12
18
30
32
37
38
45
45
50
51
56
56
62
63

18 Permintaan minyak nabati
64
19 Fluktuasi harga minyak sawit dan minyak mentah (crude oil)
65
20 Varian teknologi proses produksi biodiesel berdasarkan bahan baku
66
21 Neraca massa produksi biodiesel bahan baku (sumber Grand Inizio)
71
22 Neraca massa produksi biodiesel bahan baku CPO dengan
teknologi Grand Inizio
73
23 Neraca massa produksi biodiesel bahan baku RPO dengan teknologi
Grand Inizio
74
24 Neraca massa produksi biodiesel berbasis bahan refined oil
(RBDPO, RBD olein, RBD stearin) dengan teknologi Grand Inizio
75
25 Neraca massa produksi biodiesel bahan baku PFAD dengan teknologi
Grand Inizio
78
26 Proses produksi biodiesel teknologi Lurgi
78
27 Skema proses dan peralatan/mesin teknologi Lurgi
76
28 Neraca massa produksi biodiesel bahan baku CPO dengan teknologi
Lurgi
79
29 Neraca massa produksi biodiesel bahan baku RPO dengan teknologi
Lurgi
80
30 Neraca massa produksi biodiesel bahan baku refined oil
(RBDPO, RBD Stearin, RBD Olein) dengan teknologi Lurgi
81
31 Neraca massa produksi biodiesel bahan baku PFAD dengan teknologi
Lurgi
82
32 Penentuan komponen biaya produksi biodiesel berbasis minyak sawit
pada teknologi Grand Inizio
84
33 Penentuan komponen biaya produksi biodiesel berbasis minyak sawit
pada teknologi Lurgi
85
34 Perbandingan utilitas teknologi Grand Inizio dan Lurgi
97
35 Perbandingan biaya penolong teknologi Grand Inizio dan Lurgi
97
36 Perbandingan fixed capital investment teknologi Grand Inizio dan
Lurgi
97
37 Perbandingan biaya proses teknologi Grand Inizio dan teknologi Lurgi
98
38 Perbandingan biaya bahan baku dengan biaya proses
99
39 Perbandingan biaya investasi masing-masing bahan baku
99
40 Kebijakan subsidi biodiesel saat ini
102
41 Perbandingan harga HIP biodiesel dengan biaya produksi
103
42 Perbandingan harga jual biodiesel dengan HIP biodiesel
107
43 Perbandingan harga jual dan minyak mentah dunia
108
44 Perbandingan HIP, MOPS, dan harga jual biodiesel
108
45 Grafik besaran subsidi biodiesel berdasarkan hitungan pemerintah
109
46 Rekomendasi perhitungan besaran subsidi biodiesel
109
47 Usulan subsidi biodiesel (selisih Harga Jual dengan HIP)
110
48 Simulasi subsidi usulan
110
49 Perbandingan harga jual biodiesel dengan minyak mentah
`
112
50 Pergerakan harga minyak sawit (palm oil) dan minyak mentah
(crude oil)
112
51 Persentase perubahan harga minyak mentah terhadap harga minyak sawit 114

DAFTAR LAMPIRAN
1 Harga bahan baku biodiesel berbasis minyak sawit (mempertimbangkan
nilai tukar rupiah terhadap USD dan ringgit Malaysia)
2 Kebijakan biodiesel di berbagai negara
3 Mandatori penggunaan BBN (Kepmen ESDM No 30 Tahun 2008)
4 Kelebihan dan kekurangan kelapa sawit sebagai bahan baku biodiesel
5 Negara penghasil minyak sawit dunia
6 Peraturan Pemerintah No 20 Tahun 2014 tentang Mandatori penggunaan
BBN
7 Karakteristik biodiesel
8 Standar mutu biodiesel dunia
9 Keputusan Menteri ESDM No 2185 K/12/MEM/2014
10 Perbandingan bahan baku biodiesel berbasis minyak sawit
11 Pengaruh harga minyak dunia terhadap harga minyak sawit
12 Fluktuasi harga minyak sawit dan minyak dunia
13 Perhitungan neraca massa, kapasitas peralatan, peralatan tambahan, dan
harga peralatan
14 Biaya peralatan dan mesin
15 Perhitungan biaya investasi tetap (fixed capital investment)
16 Perhitungan biaya proses produksi biodiesel
17 Perbandingan harga HIP dengan harga solar
18 Simulasi analisis fluktuasi bahan baku
19 Persentase pengaruh harga miyak mentah terhadap harga minyak sawit

128
137
139
140
141
142
146
154
155
158
159
167
170
177
188
192
197
198
208

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebutuhan minyak bumi nasional saat ini mencapai 1.50 juta barel/hari,
sementara produksi pada tahun 2013 hanya mencapai 825 000 barel/hari.
Kebutuhan akan sumber energi masih terus meningkat seiring dengan peningkatan
populasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia (Bangun 2014). Permintaan yang
lebih besar daripada penawaran tersebut mendorong pemerintah untuk melakukan
impor bahan bakar dari luar negeri. Kecenderungan peningkatan impor bahan
bakar dari luar negeri mendorong berbagai pihak untuk mengeksplorasi sumber
energi terbarukan. Eskplorasi sumber energi terbarukan bertujuan mengurangi
proporsi bahan bakar minyak (BBM), meningkatkan suplai bahan bakar dengan
mengandalkan sumber daya lokal yang bersifat renewable dan meningkatkan
kualitas lingkungan dengan mengurangi polusi udara (Nasution et al. 2006). Salah
satu sumber energi terbarukan tersebut yaitu biodiesel.
Secara teknis, biodiesel dapat didefinisikan sebagai bahan bakar yang
terdiri dari rantai metil ester dari asam lemak berantai panjang yang terbentuk
melalui transformasi minyak nabati maupun lemak hewani (Friedrich 2004; Sarin
2012). Biodiesel merupakan bahan bakar dapat diperbaharui, terdiri dari fatty acid
methyl ester (FAME) yang diperoleh melalui reaksi transesterifikasi antara
minyak/lemak dengan metanol menggunakan katalis tertentu (Supardan et al.
2011; Ivanoui et al. 2011; Taufiq-Yap et al. 2011).
Kelapa sawit saat ini merupakan sumber minyak nabati yang paling tepat
digunakan sebagai bahan baku biodiesel di Indonesia (Nasution et al. 2005;
Daryanto 2006). Kelapa sawit juga merupakan tanaman penghasil minyak nabati
tertinggi di dunia yaitu sebesar 6 ton minyak/ha/tahun (Daryanto 2006). Sejak
tahun 2006 Indonesia telah menjadi produsen minyak sawit terbesar dunia,
diperkirakan total luas lahan areal kelapa sawit Indonesia pada tahun 2013
mencapai 9.15 juta hektar (Ditjenbun 2013). Produksi minyak sawit Indonesia
akan semakin meningkat, dimana Oil World mempublikasikan data minyak sawit
Indonesia untuk periode Oktober 2013 sampai dengan September 2014 sebagai
berikut produksi 30.0 juta ton, ekspor 20.9 juta ton, dan terpakai dalam negeri
9.10 juta ton. Konsumi minyak sawit dalam negeri digunakan untuk keperluan
oleokimia (detergen, sabun, dll), oleofood (minyak makan, margarin, dan berbagai
jenis makanan). Minyak sawit yang
digunakan untuk biodiesel/FAME
diperkirakan sebanyak 3.9 juta ton (Oil World 2014).
Peluang untuk mengembangkan potensi biodiesel di Indonesia cukup besar
terutama untuk substitusi solar, mengingat saat ini penggunaan solar mencapai
sekitar 40% dari total penggunaan BBM untuk sektor transportasi. Selain sektor
transportasi penggunaan solar juga banyak digunakan pada sektor industri dan
pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) (ESDM 2013). Keseriusan pemerintah
dalam penyediaan dan pengembangan bahan bakar nabati (BBN) antara lain
biodiesel diawali dengan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang
Kebijakan Energi Nasional, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2006
tentang Pengadaan dan Penggunaan Biofuel sebagai Energi Alternatif.
Pemerintah juga menjamin pasar biodiesel dalam negeri dengan
mengeluarkan kebijakan mandatori kewajiban pentahapan penggunaan biodiesel

yang diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 25 Tahun 2013 dan
Permen ESDM No 20 Tahun 2014. Dampak mandatori tersebut semenjak Agustus
2013 signifikan terhadap konsumsi biodiesel dalam negeri. Data berkaitan hal
tersebut diatas, Kementerian ESDM mengungkapkan bahwa konsumsi biodiesel
dalam negeri meningkat hingga 101% dari 57.871 kiloliter pada bulan Agustus
2013 menjadi 116.261 kiloliter pada bulan Oktober 2013. Semenjak September
2013, sektor transportasi, industri, komersial, dan pembangkit listrik diwajibkan
memakai biodiesel minimal 10% dalam campuran solar. Berdasarkan mandatori
pencampuran biodiesel dengan solar sebesar 10% pada tahun 2013 mengurangi
penggunaan bahan bakar solar sebesar 3.3 juta kiloliter, hal ini setara dengan
pengurangan impor solar dalam negeri sebesar 2.43 milyar USD (Aprobi 2014).
Pentingnya penggunaan biodiesel tidak diimbangi peningkatan produksi
biodiesel di Indonesia. Faktanya dari 25 produsen yang memiliki izin produksi
bahan bakar nabati (BBN), 13 produsen terpaksa menghentikan produksinya
(ESDM 2013). Jika 25 produsen tersebut berproduksi maka kapasitas terpasang
sebesar 5.67 juta kiloliter namun dikarenakan hanya 50% produsen yang aktif
berproduksi, maka hanya 1.703 juta kiloliter kapasitas yang terpakai. Dari total
kapasitas produksi yang tersedia, digunakan untuk kebutuhan dalam negeri
sebesar 902 000 kiloliter digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri,
selebihnya di ekspor (Aprobi 2014).
Indonesia harus meningkatkan produksi biodiesel dalam rangka memenuhi
target mandatori untuk memenuhi pasar dalam negeri karena dengan adanya
kebijakan manadatori biodiesel sebesar 20%, maka diperkirakan kebutuhan
biodiesel dalam negeri pada tahun 2016 sebesar 7.93 juta kiloliter (Aprobi 2014).
Berdasarkan data-data diatas, maka kebutuhan biodiesel di Indonesia tidak akan
mampu terpenuhi oleh kapasitas terpasang yang ada. Oleh karena itu, terbuka
peluang untuk mendorong industri biodiesel yang menghentikan produksinya
untuk berproduksi kembali dan membuka peluang investasi baru.
Upaya tersebut tidak akan dapat tercapai apabila permasalahan dalam
industri biodiesel tidak diatasi. Berdasarkan survei lapangan, permasalahan utama
tidak berkembangnya produksi biodiesel di Indonesia adalah, produsen biodiesel
tidak memperoleh margin yang cukup untuk menutupi biaya produksi. Hal ini
disebabkan harga jual yang dihasilkan dari biaya produksi lebih besar
dibandingkan harga indeks pasar (HIP) biodiesel yang ditetapkan pemerintah.
Pemerintah menetapkan harga jual biodiesel berdasarkan mean oils platts
Singapore (MOPS) yaitu harga publikasi solar di Singapura. Kenyataannya harga
MOPS selalu lebih rendah bila dibandingkan dengan harga bahan baku biodiesel.
Permasalahan tersebut ditambah dengan adanya kebijakan subsidi solar yang
menjadikan harga solar jauh lebih ekonomis bila dibandingkan biodiesel.
Harga jual biodiesel berbasis minyak sawit tampaknya sulit ditekan,
karena sangat tergantung pada harga bahan baku CPO. Ketika terjadi peningkatan
harga CPO maka biaya produksi biodiesel akan meningkat, sehingga harga jual
biodiesel melebihi harga jual solar yang ditetapkan oleh pemerintah. Sebagai
akibatnya banyak produsen biodiesel mengurangi produksinya, sehingga kapasitas
terpasang produsen tidak termanfaatkan maksimal, bahkan beberapa produsen
biodiesel menghentikan kegiatan produksinya (Dharmosamoedero 2012).
Harga jual merupakan faktor penting agar biodiesel dapat bersaing dengan
solar di dalam negeri. Langkah yang ideal dalam mengatasi permasalahan harga

jual adalah harga jual yang menggambarkan harga pokok yang
mengakomodasikan semua komponen biaya terkait yang realistis (Mariana 2005;
Haas et al. 2006; Mahlia et al. 2012). Untuk mengatasi kesenjangan harga jual,
pemerintah harus memberikan subsidi atau insentif bagi produsen biodiesel yang
dipasarkan di dalam negeri.
Pendekatan kajian untuk mengetahui besaran subsidi dilakukan dengan
mengakomodasi semua komponen biaya yang terkait dalam produksi biodiesel,
yang memperhitungkan transformasi input berupa bahan baku dan teknologi
proses untuk menghasilkan output sesuai standar yang telah ditetapkan dengan
rendemen yang tertinggi. Proses transformasi input menjadi output dalam
produksi melibatkan beberapa subsistem yang membentuk komponen biaya
produksi (Purnomo 2004). Produksi merupakan suatu proses transformasi dalam
sistem yang kompleks, sehingga diperlukan pemodelan untuk mempermudah
pemahaman aspek-aspek relevan pada sistem sebagai penunjang pengambilan
keputusan. Kompleksitas produksi biodiesel dilihat dari domain produsen dan
domain pemerintah. Kompleksitas produksi biodiesel domain produsen
berhubungan dengan bahan baku yang digunakan, antara lain suhu reaktor, aliran
proses, alkohol, katalis, persentase asam lemak bebas (ALB), pemisahan,
pemurnian, dan daur ulang metanol (Marchetti et al. 2008). Produksi biodiesel
tergolong kepada industri proses, dimana industri proses adalah kegiatan produksi
yang berkenaan dengan peningkatan nilai tambah produk yang dihasilkan melalui
pencampuran, pemisahan, pembentukan, dan atau perlakuan proses kimia (Haas et
al. 2006).
Produksi dalam kajian ini memiliki input berupa bahan baku yang
bervariasi antara lain CPO, RPO, RBDPO, RBD olein, RBD stearin, dan PFAD.
Input tersebut diproses pada berbagai macam aliran proses produksi. Output yang
dihasilkan pada suatu produksi secara spesifik adalah fungsi dari tenaga kerja,
jumlah mesin dan berbagai komponen yang mempengaruhi proses produksi
(Wasson 2006). Jaminan terhadap ketersediaan bahan baku dalam jangka panjang
menjadi faktor pertimbangan yang sangat kritis karena industri ini bersifat padat
modal (investasi besar) (Sinulingga 2009; Marchetti et al. 2008; Vlysidis et al.
2011; Mahlia et al. 2012).
Kompleksitas produksi biodiesel akan mempengaruhi biaya produksi yang
menentukan harga jual biodiesel. Menurut Carberry et al. (2007) penentuan biaya
produksi dapat ditentukan secara akurat jika informasi tentang fasilitas produksi,
desain proses, dan spesifikasi peralatan telah diketahui. Kendala utama dalam
kajian biaya produksi biodiesel pada skala industri adalah teknologi proses yang
digunakan oleh industri selama ini belum terdeskripsi dengan jelas, sehingga tidak
dapat dilacak mutu atau kualitas dan biaya yang harus dikeluarkan dalam proses
produksi. Teknologi proses produksi merupakan komponen yang penting karena
berkaitan dengan bahan baku yang digunakan, biaya investasi, serta efisiensi
produksi (Haas et al. 2006; Marchetti et al. 2008).
Kompleksitas produksi biodiesel domain pemerintah berkaitan dengan
kebijakan. Hal ini didukung oleh penyataan Bantz dan Deaton (2007) ada
beberapa faktor yang mempengaruhi produksi biodiesel antara lain harga bahan
baku, produk biodiesel dan produk sampingnya, teknologi produksi dan kebijakan
pemerintah/insentif. Begitu juga menurut Sadewo (2012) menyatakan bahwa

diperlukan kebijakan insentif berupa subsidi yang dikeluarkan oleh pemerintah
untuk mengurangi/menekan harga jual biodiesel.
Dalam mengatasi kesenjangan harga jual biodiesel, pemerintah
mengeluarkan kebijakan pendukung yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah
(PP). Pada tahun 2011 penentuan besaran subsidi biodiesel sebesar Rp 1000/liter
dari harga MOPS, kemudian ditambah menjadi Rp 2 000/liter. Tahun 2013-2014
besaran subsidi biodiesel dinaikkan menjadi Rp 3 000/liter (ESDM 2014).
Faktanya sampai saat ini, kebijakan pendukung harga jual biodiesel berupa
subsidi masih belum mampu meningkatkan produksi biodiesel di Indonesia dan
belum mampu mendorong produsen biodiesel untuk aktif berproduksi kembali.
Berdasarkan kondisi tersebut diatas, penelitian ini digunakan untuk
memprediksi besaran subsidi biodiesel. Prediksi tersebut berdasarkan identifikasi
struktur biaya produksi pada kajian model produksi biodiesel yaitu identifikasi
teknologi proses produksi dan bahan baku. Struktur biaya produksi yang diperoleh
akan digunakan untuk menghitung harga jual biodiesel dari minyak sawit dan
besaran subsidi. Selain itu, untuk mengidentifikasi bahan baku yang dapat
menghasilkan biodiesel dengan harga jual terendah. Hal ini dapat dijadikan
referensi penentuan harga jual dan besaran subsidi oleh pemerintah.

Perumusan Masalah
Kebutuhan biodiesel dalam negeri akan semakin meningkat di masa
depan, hal ini disebabkan oleh dorongan kebijakan pemerintah yang mewajibkan
penggunaan biodiesel baik karena alasan ekonomi maupun lingkungan. Target
pemerintah memanfaatkan biodiesel untuk mensubsitusi penggunaan solar
dituangkan dalam kebijakan mandatori yang sampai saat ini masih belum
terpenuhi. Penyebabnya adalah banyak produsen biodiesel menghentikan
produksi, karena tidak dapat menutupi biaya produksi. Komponen penentu biaya
produksi biodiesel adalah harga bahan baku dan biaya proses. Kompleksitas
produksi memberikan pengaruh yang signifikasi terhadap biaya proses (Mariana
2005; Marchetti et al. 2007). Komponen penentu biaya produksi seharusnya
menjadi pertimbangan dalam menentukan harga jual, sementara kondisi saat ini
harga jual biodiesel ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan MOPS. Menurut
Atabani et al. (2012) biaya produksi biodiesel lebih tinggi sebesar 1.5-3 kali lipat
dibandingkan dengan biaya produksi solar, sehingga penentuan harga jual
biodiesel berdasarkan harga MOPS tidak relevan karena produsen tidak
memperoleh margin keuntungan yang cukup untuk menjalankan produksinya.
Kondisi inilah yang menyebabkan produsen biodiesel banyak yang menghentikan
produksinya, sehingga pasar dalam negeri tidak terpenuhi.
Penentuan harga jual biodiesel ditentukan dari beberapa aspek teknis
antara lain investasi peralatan, perlakuan terhadap bahan baku dan produk, biaya
bahan baku yang dipengaruhi oleh pasar minyak nabati dunia, harga bahan bakar
minyak dan kurs dolar (Haas et al. 2006; Marchetti et al. 2008; Mahlia et al.
2012; Purba 2012). Beberapa pertanyaan penelitian yang akan digunakan untuk
mengarahkan pelaksanaan penelitian ini adalah :

1. Bagaimana menyusun model produksi biodiesel berbasis minyak sawit yang
dapat menghasilkan struktur biaya produksi, berdasarkan teknologi yang
digunakan, investasi, biaya produksi, dan harga bahan baku?
2. Bagaimana mendapatkan harga jual biodiesel terendah dari variasi bahan baku
berbasis minyak sawit dengan pertimbangan fluktuasi harga bahan baku dan
kurs dolar?
3. Kebijakan subsidi seperti apa yang dapat mendukung harga jual biodiesel
sehingga dapat menutupi biaya produksi biodiesel?

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menyusun model produksi biodiesel berdasarkan variasi bahan baku,
teknologi proses dan analisis biaya produksi.
2. Menghasilkan harga jual terendah berdasarkan struktur biaya produksi.
3. Menentukan usulan kebijakan subsidi harga jual biodiesel .

Lingkup dan Batasan Penelitian
Ruang lingkup untuk mencapai tujuan-tujuan penelitian tersebut adalah
sebagai berikut
1. Analisis pada produksi biodiesel dari beberapa jenis bahan baku berbasis
minyak sawit, yaitu crude palm oil (CPO), refined palm oil (RPO), refined
bleached deodorized palm oil (RBDPO), refined bleached deodorized palm
olein (RBD olein), refined bleached deodorized palm stearin (RBD stearin),
dan palm fatty acid distillate (PFAD).
2. Eksplorasi teknologi yang digunakan berdasarkan penyedia teknologi proses
produksi biodiesel Grand Inizio dan Lurgi.
3. Penentuan harga jual terendah berdasarkan kombinasi bahan baku dan
teknologi proses (Teknologi Grand Inizio dan Lurgi).
4. Industri biodiesel yang dikaji pada penelitian ini diasumsikan tidak
terintegrasi dengan sumber bahan baku.
5. Jumlah tenaga kerja pada teknologi proses Grand Inizio dan Lurgi sama.
6. Kapasitas teknologi Grand Inizio dan Lurgi sama yaitu 200 000 ton
biodiesel/tahun.
7. Harga jual pada penelitian ini dibangun dari kajian teknologi, dan variasi
bahan baku di tingkat produsen biodiesel, sehingga paremeter-paremeter yang
mempengaruhi biaya produksi dan keuntungan dilihat dari sisi produsen.
8. Biaya produksi yang diperhitungkan tidak mencakup biaya lingkungan.

TINJAUAN PUSTAKA
Biodiesel
Biodiesel adalah salah satu sumber energi alternatif yang renewable,
biodegradable serta mempunyai beberapa keunggulan dari segi lingkungan
apabila dibandingkan dengan solar. Oleh karena itu Indonesia perlu mulai
mengembangkan biodiesel mengingat ketersediaan bahan baku yang melimpah
dan kenyataan bahwa produksi minyak bumi Indonesia sudah mulai menurun
(Hasan et al. 2012).
Biodiesel mempunyai sifat kimia dan fisika yang serupa dengan solar
sehingga dapat digunakan langsung untuk mesin diesel atau dicampur dengan
solar. Walaupun kandungan kalori biodiesel serupa dengan solar, tetapi karena
biodisel mengandung oksigen, maka flash pointnya lebih tinggi sehingga tidak
mudah terbakar (Lee dan Ofori-Boateng 2013). Selain itu, biodiesel tidak
mengandung sulfur dan senyawa benzene yang karsinogenik sehingga biodiesel
merupakan bahan bakar yang lebih bersih dan lebih mudah ditangani
dibandingkan dengan solar (Ahmad et al. 2013). Perbedaan antara biodiesel dan
solar terutama adalah pada komposisinya.
Secara teknis, biodiesel dapat didefinikan sebagai bahan bakar yang terdiri
dari rantai metil ester dari asam lemak berantai panjang yang terbentuk melalui
transformasi minyak nabati maupun lemak hewani (Friedrich 2004; Sarin 2012).
Biodiesel merupakan bahan bakar yang dapat diperbaharui terdiri dari FAME
yang diperoleh melalui reaksi transesterifikasi antara minyak/lemak dengan
metanol dengan menggunakan katalis tertentu (Supardan et al. 2011; Ivanoui et
al. 2011; Taufiq-Yap et al. 2011).
Luasnya lahan kelapa sawit di Indonesia menjadikan biodiesel sebagai
bahan bakar alternatif yang sangat potensial. Potensi pengembangan biodiesel di
Indonesia menurut blue print pengelolaan energi nasional 2005 hingga 2025
mencapai 2 juta ton/tahun. Menurut Pasae (2006), sejak keluarnya Inpres No. 1
Tahun 2006 pada tanggal 25 Januari 2006, yang menekankan perlunya
penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati, biodiesel menjadi bahan bakar
alternatif yang diprioritaskan oleh pemerintah Indonesia.
Biodiesel sebelum dapat digunakan sebagai substitusi penuh (B100)
dilakukan pencampuran (blending) secara bertahap. Alasan penggunaan
pencampuran bertahap antara lain belum tercapainya nilai keekonomian produksi
biodiesel di banyak negara, masih terbatasnya kapasitas produksi biodiesel dan
juga minimnya realisasi produksi (Legowo 2008). Beberapa kebijakan
pencampuran yang dilakukan oleh banyak negara di dunia terkait mandat
pencampuran biodiesel (Lampiran 2). Kebijakan pencampuran biodiesel di
Indonesia dilakukan sejak tahun 2008 dan beberapa perubahan kebijakan sampai
tahun 2014 (Lampiran 3). Rekomendasi dari asosiasi produsen automotive Jepang
(JAMA) merekomendasikan penggunaan biodiesel dalam bentuk campuran
maksimum 7.5% dengan solar berdasarkan pertimbangan teknis (Pertamina 2013).
Perbandingan antara biodiesel minyak sawit dan solar terdapat pada Tabel 1.

Tabel 1 Perbandingan antara biodiesel minyak sawit dan solar
Karakteristik
Biodiesel minyak
Solar
sawit
Sumber
Renewable
Nilai kalori (MJ/kg)
41.30
Panas pembakaran (kJ/kg)
40.14
Angka setana
65.00
174.00
Titik nyala (C)
16.00
Pour point (C)
16.00
Titik kabut (C)
0.86
Densitas pada suhu 400C (kg/L)
4.50
Viskositas pada suhu 400C (cSt)
0.04
Kandungan sulfur (% wt)
0.02
Karbon residu (% wt)
Sumber: Nagi et al. (2008)

Fosil
46.80
45.80
53.00
98.00
15.00
18.00
0.82
4.00
0.10
0.14

Biodiesel mempunyai sifat kimia dan fisika yang serupa dengan solar
sehingga dapat digunakan langsung untuk mesin diesel atau dicampur dengan
solar. Walaupun kandungan kalori biodiesel serupa dengan solar, tetapi karena
biodisel mengandung oksigen, maka titik nyala (flash point) lebih tinggi sehingga
tidak mudah terbakar (Lee dan Ofori-Boateng 2013). Disamping itu, biodiesel
tidak mengandung sulfur dan senyawa benzene yang karsinogenik sehingga
biodiesel merupakan bahan bakar yang lebih bersih dan lebih mudah ditangani
dibandingkan dengan solar (Ahmad et al. 2013). Perbandingan kinerja solar dan
biodiesel terhadap operasi mesin diperlihatkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Perbandingan kinerja solar dan biodiesel terhadap operasi mesin
No
Sifat Fisik/Kimia
Biodiesel
Solar
1 Tenaga mesin
Tenaga yang dihasilkan Tenaga yang dihasilkan
128 000 BTU
130 000 BTU
2 Putaran mesin
Sama
Sama
Tidak Perlu
Tidak Perlu
3 Modifikasi mesin
Sama
Sama
4 Konsumsi bahan
bakar
Lebih tinggi
Lebih rendah
5 Pelumasan
Lebih rendah karbon
Lebih tinggi karbon
6 Emisi
monoksida, jumlah
monoksida,
jumlah
hidrokarbon, sulfur
hidrokarbon,
sulfur
dioksida, nitrodioksida dioksida
Kurang mudah terbakar Lebih mudah terbakar
7 Handling
Toksisitas rendah
Toksisitas 10 kali lebih
8 Lingkungan
tinggi
Terbarukan
Tak terbarukan
9 Provinsi
Sumber: Nasution et al. (2005)

Perbedaan antara biodiesel dan solar terutama adalah pada komposisinya.
Biodiesel terdiri dari metil ester asam lemak nabati, sedangkan solar adalah
hidrokarbon. Komposisi biodiesel sawit dan solar dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Komposisi biodiesel minyak sawit dan solar
Biodiesel minyak sawit
Konsentrasi
Solar
Konsentrasi
(%)
(%)
Methyl laurate (12:0)
0.35
Parafin
20
Methyl myristate (14:0)
1.08
Iso parafin +
55
naphthenes
Methyl palmitate (16:0)
43.79
Alkil aromatik dan
25
additive
Methyl palmitoleate (16:1)
0.15
Methyl stearate (18:0)
4.42
Methyl oleate (18:1)
39.90
Methyl linoleate (18:2)
9.59
Methyl linolenate (18:3)
0.17
Methyl arachidate (20:0)
0.38
Methyl decanoate (20:1)
0.18
Sumber: Nasution et al. (2006)
Biodiesel murni dalam dunia perdagangan dikenal dengan istilah B100.
Sementara biodiesel campuran terdapat beberapa jenis, diantaranya yaitu B5
(campuran 5% biodiesel dengan 95% solar), B10 (campuran 10% biodiesel
dengan 90% solar), B20 (campuran 20% biodiesel dengan 80% solar), B80
(campuran 80% biodiesel dengan 20% solar). Biodiesel B5 dan B20 merupakan
biodiesel yang umum digunakan, sementara biodiesel B100 dan jenis lainnya
dengan kandungan biodiesel tinggi jarang digunakan karena harganya yang mahal
(Lee dan Ofori-Boateng 2013).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Colorado Institut terhadap
perbandingan emisi kendaraan yang menggunakan solar dan biodiesel
menunjukkan bahwa emisi kendaraan yang menggunakan biodiesel (B20) lebih
rendah dibandingkan emisi kendaraan yang menggunakan solar. Komponen emisi
yang lebih rendah adalah total partikulat 14%, hidrokarbon 13%, dan karbon
monoksida 7% pada biodiesel dibandingkan dengan solar, serta emisi biodiesel
juga tidak mengandung logam sulfur (Biodiesel Development Coporation 1999).
Biodiesel memiliki sifat biodegradable yang sangat cocok untuk
digunakan di perairan sebagai bahan bakar kapal atau perahu baik untuk
komersial, nelayan, maupun rekreasi (Rodrigues et al. 2014). Aplikasi lainnya
adalah untuk bahan bakar bus kota/kendaraan umum di daerah perkotaan yang
penduduknya padat dan sebagai bahan bakar untuk mesin-mesin industri. Hal ini
sangat penting mengingat polusi udara di perkotaan sudah demikian tingginya
sehingga dapat mengganggu kesehatan umum. Biodiesel juga sangat cocok
digunakan untuk bahan bakar mesin-mesin pada industri perkebunan seperti
traktor, generator, dan truk pengangkut bahan baku atau produk (Tan et al. 2014).

Menurut Thurmond (2009) ada beberapa faktor pendorong pertumbuhan
pasar biodiesel yaitu: mandat pemerintah (government mandates), insentif pajak
(tax incentives), keamanan nasional (national security), kebebasan energi (energy
independence), keamanan dari sisi ekonomi (economic security), dan keamanan
dari sisi lingkungan (environmental security).
Beberapa alasan perlunya pengembangan biodiesel dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Biodiesel dibuat dari bahan terbarukan (renewable) sehingga dapat
mengurangi impor dan penggunaan bahan bakar minyak bumi (Selvan dan
Nagarajan 2013)
2. Tingkat emisi dan siklus rantai karbon biodiesel lebih rendah dan lebih baik
dari minyak diesel sehingga akan mengurangi polusi udara secara keseluruhan
(Nasution et al. 2005; Daryanto 2006). Penambahan 20% biodiesel pada solar
dapat mengurangi emisi partikel sebesar 14%, total hidrokarbon sebesar 13%,
karbon monoksida sebesar 7% dan sulfur dioksida sebesar 20% (Rodrigues et
al. 2014; Biodiesel Development Coorporation 1999).
3. Jumlah produksi minyak sawit Indonesia dibandingkan dengan kebutuhan
pangan dalam negeri, masih ada kelebihan yang bisa dimanfaatkan sebagai
bahan baku biodiesel (Hasan et al. 2012; Oil World 2014)
4. Tercapainya target kebijakan mandatori BBN (Permen ESDM No 20 Tahun
2014).
5. Biodiesel dapat digunakan sebagai buffer harga pada saat harga minyak bumi
(crude oil) tinggi, karena biodiesel dapat digunakan sebagai pengganti minyak
bumi (Nasution et al. 2005).
6. Biodiesel tidak menambah efek gas rumah kaca seperti halnya solar karena
karbon yang dihasilkan masih dalam siklus karbon (Selvan dan Nagarajan
2013; Tan et al. 2014).

Potensi Minyak Sawit sebagai Bahan Baku Biodiesel
Bahan Baku Biodiesel
Minyak/lemak sebagai bahan baku biodiesel dapat diperoleh dari minyak
nabati dan lemak hewani (Supardan et al. 2011; Ivanoui et al. 2011; Taufiq-Yap
et al. 2011), maupun daur ulang minyak dari industri pan