ANALISIS ISI FILM “PEREMPUAN PUNYA CERITA” DALAM PERSPEKTIF GENDER

ABSTRAK
ANALISIS ISI FILM “PEREMPUAN PUNYA CERITA”
DALAM PERSPEKTIF GENDER

Oleh
SHINTA FERISTIQA

Gender merupakan pemilahan sifat, peran, dan posisi antara laki-laki dan
perempuan yang dibentuk dari proses sosial. Pemahaman mengenai pemilahan
gender itu berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain, tergantung dari
budaya yang dianut oleh masyarakat bersangkutan. Gender yang tidak disertai
pemahaman atas pemaknaan sifat, peran, dan posisi masing-masing jenis kelamin
akan mengakibatkan ketidakadilan gender.
Film adalah salah satu media dalam komunikasi massa yang memiliki fungsi
informasi dalam membingkai pemahaman gender melalui format audio-visual.
Hal itu dikarenakan film adalah media yang dapat menembus segala lapisan
masyarakat dan mampu merepresentasikan latar belakang suatu masyarakat dalam
format yang unik.
Salah satu film yang mampu membingkai persoalan gender, khususnya
ketidakadilan gender, yang terjadi dalam masyarakat Indonesia saat ini, adalah
film “Perempuan Punya Cerita”. Penulis menjadikan film ini sebagai objek

penelitian, dengan rumusan masalah yang akan diteliti adalah bagaimanakah
gambaran ketidakadilan gender yang dialami perempuan dalam film “Perempuan
Punya Cerita”. Maka, tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah untuk
menjelaskan gambaran ketidakadilan gender yang dialami perempuan dalam film
“Perempuan Punya Cerita”.
Penelitian ini menggunakan analisis semiotika Roland Barthes sebagai pisau
analisis dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini adalah gambaran
ketidakadilan gender dalam film “Perempuan Punya Cerita” yang dikonstruksikan
melalui akting dan dialog pemain. Berdasarkan kategorisasi yang telah ditentukan,
bentuk marginalisasi yang terjadi dalam film ini adalah perampasan mobil pribadi
seorang perempuan (Laskmi dalam “Cerita Jakarta”), oleh seorang laki-laki yang
mengaku sebagai orang yang memberikan hutang pada almarhum Reno—
suaminya. Bentuk subordinasi yang terdapat dalam film ini yaitu perempuan yang

tidak mampu melawan keperkasaan laki-laki (Sumantri dan Wulan dalam “Cerita
Pulau”; Safina dan Rahma dalam “Cerita Yogyakarta”; Maesaroh dan Cicih dalam
“Cerita Cibinong”; dan Laksmi dalam “Cerita Jakarta”), serta istri yang tidak
dapat melawan keputusan suami (Sumantri dalam “Cerita Pulau” dan sepupu
Laksmi dalam “Cerita Jakarta”). Bentuk stereotip terlihat pada perempuan yang
hanya dianggap sebagai objek seksualitas dan komersialitas semata oleh laki-laki

(Wulan dalam “Cerita Pulau”; Safina dan Rahma dalam “Cerita Yogyakarta”; dan
Esi, Cicih, dan Maesaroh dalam “Cerita Cibinong”), dan perempuan yang
dianggap sebagai sumber masalah bagi laki-laki (Laksmi dalam “Cerita Jakarta”).
Bentuk kekerasan terkonstruksi melalui kekerasan fisik pada perempuan, seperti
pemukulan (Esi dalam “Cerita Cibinong”), kekerasan seksual, yaitu perkosaan
(Wulan dalam “Cerita Pulau”) dan pelecehan seksual (Maesaroh dalam “Cerita
Cibinong”), serta kekerasan verbal, yaitu rekonstruksi perkosaan (Rahma dalam
“Cerita Yogyakarta”) dan pelecehan (Maesaroh dalam “Cerita Cibinong”).
Terakhir, bentuk beban kerja dapat dilihat pada film melalui pekerjaan ganda yang
dilakukan perempuan dalam sektor publik dan domestik (Sumantri dalam “Cerita
Pulau”; Esi dalam “Cerita Cibinong”; dan Laksmi dalam “Cerita Jakarta”).
Hal lain yang juga dihasilkan pada penelitian ini adalah adanya mitos-mitos
tentang perempuan yang berkembang dalam masyarakat, yang memiliki korelasi
sebab-akibat dari gambaran ketidakadilan gender tersebut. Mitos-mitos itu, antara
lain: ketidakberdayaan, seksualitas, patriarki dan perempuan sebagai „kelas dua‟,
eksploitasi, sumber masalah, dan emansipasi wanita.

Kata kunci: analisis isi, film, gender

ABSTRACT

CONTENT ANALYSIS OF “CHANTS OF LOTUS” THE MOVIE
IN GENDER’S PERSPECTIVE
By
SHINTA FERISTIQA

Gender is a sorting of character, role, and position between men and women
which is formed by social process. The understanding about the sorting of gender
is different between one place to another, depends on culture which is embraced
by its people. Gender without followed by understanding to the meaning of
character, role, and position of each sex will results gender‟s unjustice.
Film is one of the media in mass communication that has an information function
in framing the understanding of gender through audio-visual format. It is because
film is a penetrative media to all levels of public and it can represent nation‟s
background in an unique format.
A film that capable of framing gender‟s problem, especially gender‟s unjustice,
which is happened in the existing Indonesian people, is “Chants of Lotus” the
movie. I make this film as a research object, with a problem statement “how the
explanation of gender‟s unjustice which is experienced by women in “Chants of
Lotus” the movie?”. So, the purpose of this research is to explain gender‟s
unjustice which is experienced by women in the movie.

This research applies semiotica analysis of Roland Barthes with qualitative
approach. The result of this research contains of images of gender‟s unjustice
constructed through actor‟s acting and dialogue. Based on categorisations which
have been determined, form of marginalization that is happened in this movie is a
car hijacked of a woman (Laskmi in “Chant from the Capital City”), by men who
confess as the ones that give debt to Reno—her late husband. Forms of
subordination in the movie are women who unable of fighting against men‟s
strength (Sumantri and Wulan in “Chant from an Island”; Safina and Rahma in
“Chant from a Tourist Town”; Maesaroh and Cicih in “Chant from a Village”; and
Laksmi in “Chant from the Capital City”), and wives who cannot debate their
husband‟s decisions (Sumantri in “Chant from an Island” and Laksmi‟s cousin in
“Chant from the Capital City”). Forms of stereotype seen at the movie are women

who considered as a sexual and comercial object by men (Wulan in “Chant from
an Island”; Safina and Rahma in “Chant from a Tourist Town”; and Esi, Cicih,
and Maesaroh in “Chant from a Village”), and woman who considered as a source
of difficulty for man (Laksmi in “Chant from the Capital City”). Forms of abuse
constructed through physical abuses to women, such as hitting (Esi in “Chant
from a Village”), sexual abuses are raping (Wulan in “Chant from an Island”) and
sexual insulting (Maesaroh in “Chant from a Village”), and verbal abuses consist

of rape reconstructing (Rahma in “Chant from a Tourist Town”) and insulting
(Maesaroh in “Chant from a Village”). Last, forms of load duty seen at the movie
through multiple duties done by women in public and domestic sector (Sumantri
in “Chant from an Island”; Esi in “Chant from a Village”; and Laksmi in “Chant
from the Capital City”).
The other result of this research is an existence of women‟s myths which are
spreaded in public, that have a correlation with the explanation of the gender‟s
unjustice captured in the movie. The myths consist of disability, sexuality,
patriarki and women as „second class‟, exploitation, source of difficulty, and
emancipation of women.

Key words: content analysis, film, gender