Masa Lahirnya Kompilasi Hukum Islam

Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum

E. Masa Lahirnya Kompilasi Hukum Islam

Uraian pada sub judul sebelumnya tentang lahirnya Undang-Undang Peradilan Agama, telah memberikan gambaran sepintas tentang pengakuan yang lebih konkrit dari sistem hukum dan perundangan, terhadap keberlakuan hukum Islam di Indonesia. Namun seperti juga sudah disinggung sebelumnya, meskipun peradilan agama sudah seragam di seluruh Indonesia, namun dalam rujukan hukum materilnya masih terjadi saling perbedaan di antara pengadilan agama. Sehingga banyak kasus yang pada kenyataannya sama, namun ketika diputuskan berbeda antara pengadilan agama yang satu dengan pengadilan agama yang lainnya. Kondisi demikian terjadi karena hukum materil yang digunakan di peradilan agama, masih dalam bentuk hukum tidak tertulis yang tersebar dalam berbagai macam kitab fikih. Sehingga hakim-hakim pengadilan agama yang memutus terhadap kasus konkrit yang diajukan kepadanya tidak dapat merujuk hukum materil yang sama, akibatnya terjadilah perbedaan pendapat di antara hakim pengadilan agama yang satu dengan pengadilan agama lainnya dalam kasus yang sama, karena masing-masing mereka dalam memutuskan perkara merujuk pada hukum materil tidak tertulis kitab fikih yang berbeda. Keadaan tersebut tentunya tidak baik untuk terus dipertahankan, karena selain menimbulkan silang pendapat yang terus menerus, juga membuat kepastian hukum di negeri ini khususnya dalam bidang hukum Islam menjadi tidak terjamin. Untuk itulah diperlukan segera lahirnya sebuah hukum materil yang dapat dijadikan rujukan satu- satunya, oleh seluruh hakim di lingkungan peradilan agama di Indonesia dalam memutuskan setiap perkara yang diajukan kepada mereka. Bila dicermati lebih jauh, kebutuhan terhadap hukum materil yang seragam untuk menjadi rujukan di peradilan agama sudah sejak lama didambakan. Sebagai buktinya adalah keluarnya Surat Edaran Kepala Biro Peradilan Agama Nomor B1737 tanggal 18 Februari 1958 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan AgamaMahkamah Syar‟iyah di luar Jawa dan Madura. Dalam huruf B Surat Edaran tersebut dijelaskan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutuskan perkara, maka para hakim Pengadilan Agama Mahkamah Syar‟iyah dianjurkan agar menggunakan sebagai pedoman kitab-kitab: 1. Al- Bâjûrî; 2. Fath al-Mu ‟în; 3. Syarqawî al-Tahrîr; 4. QalyubîMahallî; 5. Fath al- Wahhâb dengan syarahnya; 6. Tuhfah; 7. Targhîb al-Musytâq; 8. Qawânî n Syar‟iyyah li LEGITIMASI, Vol.1 No. 2, Januari-Juni 2012 al-Sayyid bin Yahyâ; 9. Qawânî n Syar‟iyah li al-Sayyid Shadaqah Dahlân; 10. Syamsuri fi al-Farâidh; 11. Bughyah al-Mustarsyidîn; 12. Al- Fiqh „Alî Madzîhib al-Arba‟ah; dan, 13. Mughnî al-Muhtâj. Keadaan ini dapat dicatat sebagai pergeseran ke arah kesatuan hukum dalam bentuk hukum tertulis, dari beberapa bagian hukum Islam yang menjadi kewenangan Peradilan Agama. 14 Dengan menunjuk ketiga belas kitab ini maka langkah ke arah kepastian hukum semakin nyata dan bukan lagi sebagai sebuah embrio, karena telah mengarah kepada langkah-langkah konkrit. 15 Ide untuk segera mempercepat lahirnya sebuah hukum materil bagi peradilan agama, muncul setelah beberapa tahun peradilan agama berada di bawah pembinaan Mahkamah Agung dalam hal pelaksanaan teknis yustisialnya. Selama pembinaan oleh Mahkamah Agung tersebut dirasakan adanya beberapa kelemahan, seperti hukum Islam yang diterapkan di peradilan agama yang cenderung simpang siur, karena adanya perbedaan pendapat ulama hampir dalam setiap persoalan. Untuk mengatasi hal ini diperlukan adanya satu buku hukum yang menghimpun semua hukum terapan yang berlaku di lingkungan peradilan agama, yang dapat dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan tugasnya, untuk menjamin akan adanya kesatuan dan kepastian hukum. 16 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah mengamanatkan dalam Pasal 49 ayat 1 bahwa: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang a. Perkawinan; b. Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. Wakaf dan sedekah”. Dengan demikian maka hukum materil yang harus segera dibentuk oleh pemerintah, tentunya hukum materil yang dibutuhkan oleh peradilan agama sesuai dengan lingkup kewenangan yang telah diberikan undang-undang kepada lembaga ini. Menindak lanjuti amanah undang-undang dan kebutuhan yang mendesak dari peradilan agama akan hukum materil inilah, pada bulan Februari 1998 setelah melalui perjalanan yang cukup panjang maka ketiga buku dari Kompilasi Hukum Islam selanjutnya disingkat KHI, yang 14 Tim Penyusun, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Badan Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama, 1976, h. 117. 15 Ibid., h. 129-133. 16 Ibid., h. 139. Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum telah dibuat oleh tim khusus yang dibentuk untuk pelaksanaan proyek pembuatan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia di lokakaryakan. Dalam lokakarya ini Rancangan Kompilasi Hukum Islam mendapat dukungan yang cukup luas dari para ulama di seluruh Indonesia, meskipun masih terdapat perdebatan pendapat di antara mereka dalam beberapa hal. Akhirnya pada tanggal 10 Juni 1991 Presiden Soeharto menandatangani Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 dengan tegas menyebutkan dalam diktumnya bahwa, Kompilasi Hukum Islam dilahirkan untuk digunakan oleh instansi pemerintah dan masyarakat dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh tanggung jawab. Penyebutan “digunakan oleh instansi pemerintah” tentunya bermakna bahwa KHI, harus dijadikan rujukan oleh setiap instansi pemerintah, khususnya oleh hakim-hakim pengadilan agama dalam memutuskan hukum. Menurut Abdurrahaman kata “digunakan” dalam Instruksi Presiden tersebut bermakna “dipedomani”, karena itu, pengertian sebagai pedoman harus dipahami sebagai tuntutan atau petunjuk yang harus dipakai, baik oleh Pengadilan Agama maupun warga masyarakat dalam menyelesaikan sengketa mereka dalam bidang hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan. 17 Abdurrahman juga menilai bahwa KHI mempunyai “kesederajatan” dengan undang-undang lain yang mengatur tentang perkawinan, kewarisan dan perwakafan yang berlaku di Indonesia. Karena bila dikaitkan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1978 yang hanya mengatur persoalan administratif prosedural, maka KHI merupakan ketentuan khusus yang lebih berfungsi sebagai ketentuan hukum substansial. 18 Selanjutnya Abdurrahman menyimpulkan fungsi Kompilasi Hukum Islam di Indonesia adalah: 1. Sebagai suatu langkah awal atau sasaran antara untuk mewujudkan kodifikasi dan unifikasi hukum nasional yang berlaku untuk warga masyarakat khususnya yang beragama Islam. Ketentuan-ketentuan hukum yang sudah dirumuskan dalam KHI, kemungkinan di masa akan datang akan diangkat sebagai materi hukum nasional. 2. Sebagai pegangan dari para hakim pengadilan agama dalam memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menjadi kewenangannya. 17 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992, h. 55. 18 Ibid., h. 57-58. LEGITIMASI, Vol.1 No. 2, Januari-Juni 2012 3. Sebagai pegangan bagi warga masyarakat mengenai hukum Islam yang berlaku baginya, yang sudah merupakan hasil rumusan yang diambil dari berbagai kitab fiqh berbahasa Arab yang semua tidak dapat mereka baca secara langsung. 19 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, Kompilasi hukum Islam sebagai sebuah produk pemikiran para ulama dan umat Islam di Indonesia yang telah mereka sepakati ijma‟, dan secara hukum telah pula dikeluarkan secara legal oleh pemerintah. Menurut Ahmad Rafiq para hakim dan para pihak yang berperkara, terikat dan berkewajiban untuk tunduk serta patuh melaksanakan seluruh ketentuan di dalamnya dengan sepenuhnya. 20

F. Masa Lahirnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan