TINJAUAN ETIOLOGI KRIMINAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH MAHASISWA DI KABUPATEN SLEMAN

(1)

TINJAUAN ETIOLOGI KRIMINAL DALAM

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG

DILAKUKAN OLEH MAHASISWA DI KABUPATEN

SLEMAN

Disusun Oleh:

Nama

: Wahyuni

NIM

: 20120610238

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2016


(2)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Yogyakarta menjadi salah satu target pasar narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba). Saat ini Yogyakarta bukan lagi sebagai daerah transit jalur distribusi narkoba, tapi sudah menjadi pasar potensial dan lahan distribusi narkoba dari jaringan internasional.1 Tercatat pada tahun 2015 DIY menduduki peringkat ke-5 pengguna narkoba di Indonesia atau sebesar 62.028 jiwa dengan segmen pengguna narkoba terdiri dari siswa, mahasiswa hingga pekerja.2

Wilayah Sleman merupakan pengguna narkotika tertinggi kedua di DIY setelah kota Yogyakarta. Berdasarkan data dari Badan Narkotika Nasional Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta3, terdapat banyak kasus penyalahgunaan narkoba yang berhasil diungkap BNNP. Selama kurun waktu 3 tahun mulai tahun 2012 hingga 2014 data penyalahgunaan narkoba di DIY fluktuatif, dimana pada tahun 2012 kasus di Sleman sebanyak 41 kasus dengan jumlah tersangka 73 orang, tahun 2013 sebanyak 47 kasus dengan jumlah tersangka 67 orang, dan tahun 2014 sebanyak 43 kasus dengan jumlah tersangka 69 orang,

1 Fathi Mahmud, 2015, “BNN DIY: Yogyakarta Jadi Pasar Jaringan Narkoba

Internasional”, http://news.liputan6.com/read/2355544/bnn-diy-yogyakarta-jadi-pasar-jaringan-narkoba-internasional, diakses pada tanggal 29 Maret 2016 jam 05.37 WIB

2 Anonim, 2015, “BNNP : DIY Peringkat 5 Pengguna Narkoba di Indonesia”,

http://www.slemankab.go.id/7383/bnnp-diy-peringkat-5-pengguna-narkoba-di-indonesia.slm, diakses pada tanggal 12 November 2015 jam 22.10 WIB

3Badan Narkotika Nasional Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2004, “

Data Ungkap Kasus Narkoba di DIY tahun 2008 s/d Juli 2014”, http://bnnp-diy.com/posting-234-data-ungkap-kasus-narkoba-di-diy-tahun-2008-sd-juli-2014.html, diakses pada tanggal 13 Juni 2016 pukul 08.06 WIB


(3)

sedangkan data tahun 2015 yang diperoleh dari Polres Sleman menunjukkan ada sebanyak 53 kasus narkotika dengan jumlah tersangka sebanyak 63 orang.

Penyalahgunaan narkoba merupakan suatu tindak pidana atau kejahatan, dimana kejahatan selalu ada dan akan berlangsung terus menerus, dalam bahasa Belanda disebut Strafbaarfeit (kejahatan atau kriminalitas atau tindak pidana).4 Penggunaan obat dan narkotika di Indonesia sudah menjadi semacam way of life, khususnya di kalangan artis, yuppies (young urban professionals), dan kelas menengah lainnya.5

Penyalahgunaan juga sudah merambah ke lingkungan peserta didik. Pemakai narkoba di kalangan mahasiswa dan pelajar di DIY cukup tinggi. Data dari Badan Narkotika Nasional (BNNP) DIY, pelajar dan mahasiswa DIY menduduki posisi kedua sebagai pemakai narkoba terbanyak di masyarakat DIY, sementara peringkat pertama diduduki pekerja. Jauh dari pengawasan orang tua adalah salah satu faktor rentannya pemakaian narkoba di kalangan pelajar dan mahasiswa.6 Data yang diperoleh dari Polres Sleman menunjukkan bahwa pada tahun 2013 terdapat 7 mahasiswa yang terlibat tindak pidana narkotika, tahun 2014 sebanyak 9 mahasiswa dan tahun 2015 sebanyak 8 orang mahasiswa, sehingga total mahasiswa yang menghuni Lapas Narkotika di Yogyakarta sebanyak 24 orang.

4

Soedjono Dirdjosisworo, 2006, Narkoba dan peradilannya di Indonesia, Jakarta, O.C. Kaligis & Associates, hlm. 236

5

Ibid., hlm. 249

6 Patricia Vinka, 2015, “Mahasiswa dan Pelajar Pemakai Narkoba Kedua

Tertinggi di Yogyakarta”, http://jateng.metrotvnews.com/read/2015/10/17/181279/mahasiswa -dan-pelajar-pemakai-narkoba-kedua-tertinggi-di-yogyakarta, diakses pada tanggal 12 November 2015 jam 22.35. WIB


(4)

Keberadaan mahasiswa dalam edar gelap narkoba tercatat paling besar sebagai pengguna pemula. Dari awal coba-coba bersama temannya dengan membeli secara patungan. Ada indikasi di kalangan anak muda yang memakai narkoba jenis baru sebagai permulaan memakai narkotika. Penggunaan tembakau kingkong, good shit serta metilon yang berhasil terungkap juga dari pengguna kalangan mahasiswa dan kemungkinan masih ada narkoba jenis baru lainnya yang mulai masuk DIY. Transaksi narkotika juga dilakukan dengan sistem online, karena belum ada aturan hukum sehingga mereka bebas.7

Dari banyaknya jenis narkotika yang ada, ada 2 jenis yang paling banyak digunakan yaitu sabu dan ganja. Sabu banyak disalahgunakan penggunaannya karena cenderung soft atau ringan dan ganja paling banyak karena biasanya digunakan untuk mengurangi depresi atau stres karena suatu masalah.

Mahasiswa sebagai salah satu generasi bangsa yang dianggap terdidik sudah banyak yang terjerat dalam penyalahgunaan narkotika. Sebagai seorang yang terdidik, mahasiswa seharusnya dapat mengendalikan diri dan menghindari perbuatan-perbuatan terlarang seperti mengkonsumsi dan memperjualbelikan narkotika. Meningkatnya kasus tindak pidana narkotika menyebabkan keresahan bagi masyarakat bahkan sampai ranah akademisi sehingga pihak berwenang perlu menanggulanginya. Terdapat berbagai teori yang menyebabkan terjadinya kejahatan yang disebut dengan etiologi kriminal. George B. Vold menyebutkan teori adalah bagian dari suatu penjelasan yang

7Subartono, 2015, “Mahasiswa Pemula Pengguna Narkoba,

Sleman dan Jogja Incaran Bandar”, http://www.harianjogja.com/read/20151017/1/5586/mahasiswa -pengguna-pemula-narkoba-sleman-jogja-incaran-bandar, diakses pada tanggal 12 November 2015 jam 20.45. WIB


(5)

muncul manakala seseorang dihadapkan pada suatu gejala yang tidak dimengerti. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk mendalami mengenai teori-teori yang menyebabkan mahasiswa melakukan kejahatan (etiologi kriminal) berupa tindak pidana narkotika di Sleman dan penanggulangan Polres Sleman dalam kasus tindak pidana narkotika yang dilakukan mahasiswa tersebut.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apa saja sebab-sebab terjadinya tindak pidana (etiologi kriminal) narkotika oleh mahasiswa di wilayah hukum Sleman?

2. Bagaimana upaya Polres Sleman dalam penanggulangan tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh mahasiswa tersebut?

C.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan penelitian adalah untuk: 1. Mengetahui sebab-sebab terjadinya tindak pidana (etiologi kriminal)

narkotika oleh mahasiswa di wilayah hukum Sleman.

2. Mengetahui upaya Polres Sleman dalam penanggulangan tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh mahasiswa tersebut?

D.Tinjauan Pustaka 1. Etiologi Kriminal

Etiologi kriminal merupakan salah satu cabang kriminologi yang menjelaskan mengenai penyebab terjadinya suatu kejahatan. Kriminologi


(6)

merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan dari berbagai aspek. Nama kriminologi pertama kali dikemukakan oleh P.Topinard,

seorang ahli antropologi Perancis. Kriminologi berasal dari kata “crime

yang berarti kejahatan atau penjahat dan “logos” yang berarti ilmu

pengetahuan. Apabila dilihat dari kata-kata tersebut, maka kriminologi mempunyai arti sebagai pengetahuan tentang kejahatan. Beberapa ahli terkemuka memberikan definisi kriminologi sebagai berikut8,

a. J. Constant : Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menentukan faktor-faktor yang menjadi sebab musabab terjadinya kejahatan dan penjahat.

b. WME. Noach : Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki gejala-gejala kejahatan dan tingkah laku yang tidak senonoh, sebab-musabab serta akibat-akibatnya.

c. W. A. Bonger : Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya.

Faktor-faktor yang menjadi sebab musabab terjadinya kejahatan dan penjahat berkaitan dengan teori-teori yang menyebabkan terjadinya kejahatan (breaking of laws) yang berada dalam ruang lingkup etiologi kriminal. George B. Vold menyebutkan teori adalah bagian dari suatu penjelasan yang muncul manakala seseorang dihadapkan pada suatu gejala yang tidak dimengerti. Adapun aliran-aliran atau mazhab-mazhab kriminologi yang sering dikenal sebagai schools dalam kriminologi menunjukkan pada proses perkembangan pemikiran dasar dan konsep-konsep tentang kejahatan.

8


(7)

Teori etiologi kriminal dikemukakan oleh seorang kriminolog yaitu Edwin Hardin Sutherland. Menurut Sutherland pengertian kriminologi adalah seperangkat pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena sosial, yang termasuk didalamnya terdapat proses pembuatan Undang-Undang, pelanggaran terhadap Undang-Undang dan reaksi terhadap pelanggaran Undang-Undang. Sutherland mengungkapkan bahwa kriminologi dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu sosiologi hukum, etiologi kejahatan atau kriminal dan penologi. Etiologi kejahatan merupakan cabang ilmu kriminologi yang mempelajari tentang sebab musabab terjadinya kejahatan. Sebab musabab timbulnya kejahatan sangat kompleks dikarenakan banyak sekali faktor-faktor yang melatar belakanginya, dimana faktor yang satu dengan faktor lainnya saling mempengaruhi. Sutherland menyatakan bahwa kejahatan adalah hasil dari faktor-faktor yang beraneka ragam dan bermacammacam dan faktor-faktor itu dewasa ini dan selanjutnya tidak bisa disusun menurut suatu ketentuan yang berlaku umum tanpa ada pengecualian atau dengan perkataan lain untuk menerangkan kelakuan kriminil tidak ada teori ilmiah.9 Etiologi kriminal juga menjelaskan tentang teori-teori yang menyebabkan terjadinya kejahatan (breaking of laws). George B. Vold menyebutkan teori adalah bagian dari suatu penjelasan yang muncul manakala seseorang dihadapkan pada suatu gejala yang tidak dimengerti. Adapun aliran-aliran atau mazhab-mazhab kriminologi yang sering dikenal sebagai schools dalam kriminologi

9


(8)

menunjukkan pada proses perkembangan pemikiran dasar dan konsep-konsep tentang kejahatan.10

Siswanto Sunarso11 berpendapat bahwa dewasa ini kriminologi memperhatikan tidak hanya kepada para pelaku kejahatan, tetapi mulai memperhatikan pula orang-orang selain penjahat, khususnya korban kejahatan yang dirugikan oleh suatu tindak pidana. Peranan korban dalam sistem peradilan pidana sangat menentukan dalam hal pembuktian, mengingat korban seringkali memiliki kualitas sebagai saksi (saksi korban) di samping saksi-saksi yang lain sebagai alat bukti yang sah dalam pemeriksaan perkaran pidana.

V.V. Stanciu dikutip oleh Siswanto Sunarso12menyatakan bahwa ada dua sifat yang mendasar (melekat) dari korban, yaitu penderitaan (suffering) dan ketidakadilan (injustice). Timbulnya korban tidak dapat dipandang sebagai akibat perbuatan yang ilegal, sebab hukum (legal) sebenarnya juga dapat menimbulkan ketidakadilan yang menimbulkan korban, misalnya korban akibat prosedur hukum. Siswanto Sunarso juga mengutip M. Arief Amrullah, seperti dalam kasus kejahatan, konsep tentang korban seharusnya tidak saja dipandang dalam pengertian yuridis, sebab masyarakat sebenarnya selain dapat menciptakan penjahat, juga dapat menciptakan korban. Dengan demikian korban ditempatkan pada posisi sebagai akibat

10

Romli Atmasasmita, 1984, Bunga Rampai Kriminologi, Jakarta, Rajawali 1984, hlm. 24

11

Siswanto Sunarso, 2014, Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Sinar Grafika,hlm. 52

12


(9)

kejahatan yang dilakukan terhadapnya, baik dilakukan secara individu, kelompok, ataupun negara.

Kejahatan dapat dilakukan oleh siapa saja termasuk mahasiswa. Seorang mahasiswa dikategorikan pada tahap perkembangan yang usianya 18 sampai dengan 25 tahun. Tahap ini dapat digolongkan pada masa remaja akhir sampai masa dewasa awal dan dilihat dari segi perkembangan, tugas perkembangan pada usia mahasiswa ini ialah pemantapan pendirian hidup.13 Pada masa remaja akhir berada pada rentang 18-21 tahun14 sehingga pada usia setelah 22 tahun hingga 25 tahun merupakan usia dewasa awal.

Menurut Siswoyo15, mahasiswa dapat didefinisikan sebagai individu yang sedang menuntut ilmu di tingkat perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta atau lembaga lain yang setingkat dengan perguruan tinggi. mahasiswa dinilai memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, kecerdasan dalam berpikir dan kerencanaan dalam bertindak. Berpikir kritis dan bertindak dengan cepat dan tepat merupakan sifat yang cenderung melekat pada diri setiap mahasiswa, yang merupakan prinsip saling melengkapi. 2. Tindak Pidana Narkotika

Berdasarkan Surat Edaran Badan Narkotika Nasional No.03/IV/2002/BNN, istilah narkoba sebagai akronim dari narkotika, psikotropika dan bahan-bahan adiktif lainnya. Menurut Pasal 1 ayat (1) UU

13

Syamsu Yusuf, 2012, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung, Remaja Rosdakarya, hlm. 27

14

Singgih Gunarsa dan Yulia Gunarsa, 2001, Psikologi Praktis Anak, Remaja dan Keluarga, Jakarta, Gunung Mulia, hlm. 129

15


(10)

No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika, “Narkotika adalah zat atau obat yang

berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya

rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan”. Adapun penggolongan

narkotika dituangkan dalam Lampiran UU No.22 Tahun 1997 yang telah diperbaharui dengan UU No.35 Tahun 2009.

Narkotika umumnya berkaitan dengan tindak pidana. Dalam bahasa Belanda tindak pidana disebut “strafbaar feit” yang terdiri dari kata

strafbaar dan feit”. Strafbaar diartikan dihukum dan feit berarti kenyataan. Jadi strafbaar feit adalah sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum.16

Strafbaar feit telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai17: a. Perbuatan yang dapat atau boleh dihukum.

b. Peristiwa pidana; c. Perbuatan pidana; d. Tindak pidana; dan e. Delik.

Moeljatno merumuskan tindak pidana sebagai “perbuatan pidana”

yaitu terjemahan dari strafbaar feit, yakni perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana (barang siapa melanggar barang tersebut) dan perbuatan itu harus betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang

16

Erdianto, 2010, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Pekanbaru, Alfa Riau, hlm. 99.

17


(11)

tidak boleh atau menghambat akan terciptanya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu.18

Tindak pidana narkotika itu adalah salah satu sebab terjadinya berbagai macam bentuk tindak pidana kejahatan dan pelanggaran, yang secara langsung menimbulkan akibat demoralisasi terhadap masyarakat, generasi muda, dan terutama bagi si pengguna zat berbahaya itu sendiri.19 Perbuatan tindak pidana narkotika adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang disertai dengan sanksi yang berupa pidana dan denda bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut, akan tetapi disebutkan dalam Pasal 1 KUHP, bahwasanya tiada suatu perbuatan yang dihukum melainkan atas kekuatan dan ketentuan pidana dalam Undang-Undang yang ada terdahulu daripada perbuatan tersebut, asas ini disebut asas legalitas.20

Prinsip hukum pidana dapat disimpulkan dalam 2 pokok yaitu, menuntaskan segala perbuatan pidana dan memperbaiki sikap terpidana sekaligus memberantas segala bentuk pidana. Pelanggaran terhadap hukum atau norma, khususnya dalam hukum pidana dapat dikenakan sanksi atau hukuman, begitu pula dengan pelanggaran terhadap penggunaan narkotika, Undang-Undang No.22 Tahun 1997 dan diperbarui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika telah mengatur dan menjelaskan berbagai

18

Ibid

19

Taufik Makaro, Suhasril, Zakky, 2005, Tindak Pidana Narkotika, Bogor, Ghalia Indonesia, hlm 16.

20

Jodia Putra, 2013, Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika dan Upaya Rehabilitasinya (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Yogyakarta), Skripsi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta


(12)

hal tentang narkotika. Hukum pidana positif khususnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah memberikan hukuman yang jelas dan memberatkan terhadap pengguna narkotika. Sanksi pidana yang dijatuhkan oleh Undang-Undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika terhadap pihak yang terlibat pada masalah narkotika adalah hukuman berupa penjara dan denda secara komulatif.

3. Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika

Penanggulangan adalah suatu suatu cara untuk menyelesaikan suatu masalah tindak pidana. Hal-hal ini bisa dilakukan oleh semua pihak, termasuk upaya kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana yang sudah terjadi maupun yang belum terjadi. Masalah kejahatan bukanlah yang baru, meskipun tempat dan waktunya berlainan tetap saja modusnya dinilai sama. Upaya penanggulangan kejahatan sudah dilakukan oleh semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat pada umunya, berbagai program serta kegiatan telah dilakuan sambil terus mencari yang paling efektif dalam mengatasi masalah tersebut. Menurut E.H. Sutherland dan Creseey

mengemukakan bahwa dalam crime prevention dalam pelaksanaanya ada

dua buah metode yang dipakai untuk mengurangi kejahatan, yaitu: “metode

mengurangi pengulangan kejahatan dan metode mencegah the frist crime”.

Metode mengurangi pengulangan kejahatan merupaka satu cara yang ditunjukan kepada pengurangan jumlah residivis (pengulangan kejahatan) dengan suatu pembinaan yang dilakukan secara konseptual, sedangkan upaya the frist crime merupakan satu cara untuk mencagah terjadinya


(13)

kejahatan yang pertama kali (the first crime) yang dilakukan oleh seseorang dan metode ini juga dikenal sebagai metode prevention (preventif).21

E.Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Berdasarkan fokus penelitian, penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris. Penelitian yuridis empiris adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.22

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan di Polres Sleman dan Lapas Narkotika Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.

3. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan sumber data primer dan skunder.

a. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari objeknya.23 Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari Aiptu Supriyadi, Bagian Penanganan Narkotika Polres Sleman dan Bapak Todi Laksnono, Bagian Lapas Yogyakarta melalui wawancara dan mahasiswa

21

Romli Atmasasmita, 1983, Bunga Rampai Kriminologi, Jakarta, Rajawali, hlm. 66

22

Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 134

23

J. Supranto, 2003, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta, PT. Rineka Cipta, hlm. 2


(14)

yang terlibat tindak pidana narkotika di Sleman melalui angket/kuesioner.

b. Data sekunder

Sumber data sekunder adalah data-data yang diperoleh dari bahan-bahan hukum yaitu bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.

1) Bahan Hukum Primer. Bahan hukum ini mencakup peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan obyek penelitian antara lain:

a) Undang-Undang Dasar 1945 1945 Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28J ayat 1 dan ayat 2.

b) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika c) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

d) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

e) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia

f) Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Terhadap Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif

g) Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 20 Tahun 2014 Tentang Penegakan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Terhadap


(15)

Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif

2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer yaitu laporan hasil penelitian, pendapat para ahli dalam bentuk buku, makalah dan lain sebagainya.

3) Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan penunjang yang menjelaskan dan memberikan informasi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berupa kamus-kamus hukum.

4. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara

Wawancara merupakan pengumpulan data penelitian langsung dari informan yang memahami berbagai hal yang berkaitan dengan penelitian ini. Wawancara dilakukan dengan Aiptu Supriyadi, Bagian Penanganan Narkotika Polres Sleman dan Bagian Lapas Yogyakarta. b. Kuesioner/Angket

Angket atau kuesioner adalah teknik pengumpulan data melalui formulir yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan secara tertulis pada seseorang atau sekumpulan orang untuk mendapatkan jawaban/informasi yang diperlukan dalam penelitian. Penyebaran kuesioner dilakukan kepada mahasiswa yang menghuni Lapas Narkotika Yogyakarta yaitu sebanyak 24 orang.


(16)

c. Dokumentasi

Metode dokumentasi yaitu pengumpulan data dimana peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, dan sebagainya. Metode ini digunakan untuk memperoleh data mengenai mahasiswa yang terlibat tindak pidana narkotika di Sleman. Data dokumentasi juga digunakan untuk menunjang pembahasan dalam penelitian seperti peraturan perundang-undangan dan jurnal penelitian yang mendukung.

5. Analisis Data

Dalam penelitian yuridis empiris, peneliti mengolah data dengan deskriptif kualitatif. Data penelitian kemudian dianalisis secara yuridis untuk menguraikan materi peristiwa hukum yang diteliti dan ditulis dalam penelitian ini dengan pertimbangan bahwa penelitian ini menitikberatkan pada sumber data primer yaitu wawancara serta data sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang terkait dengan tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh mahasiswa di Sleman.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dalam menjabarkan pembahasan maka skripsi ini dibagi dalam 5 bab yang masing-masing bab dibagi lagi menjadi beberapa sub bab, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN yaitu Bab ini memuat mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi.


(17)

BAB II TINJAUAN ETIOLOGI KRIMINAL yaitu Dalam bab ini dijelaskan tentang pengertian mengenai etiologi kriminal, teori kriminologi penyebab kejahatan dan faktor penyebab terjadinya kejahatan (etiologi kriminal) dalam tindak pidana narkotika.

BAB III PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA yaitu Pada bab ini dijelaskan mengenai pengertian narkotika, tindak pidana narkotika, dan bentuk-bentuk penanggulangan tindak pidana narkotika.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS yaitu Bab ini berisi mengenai data lapangan yang diperoleh di Polres Sleman dan mahasiswa yang terlibat dalam tindak pidana narkotika mengenai sebab-sebab terjadinya tindak pidana (etiologi kriminal) narkotika oleh mahasiswa dan upaya penanggulangan tindak pidana narkotika yang dilakukan mahasiswa di wilayah hukum Sleman.

BAB V PENUTUP Dalam bab ini dikemukakan mengenai kesimpulan dan saran atas permasalahan dalam penelitian ini.


(18)

BAB II

TINJAUAN ETIOLOGI KRIMINAL

A.Pengertian Etiologi Kriminal

Dalam kriminologi dikenal suatu istilah etiologi kriminal. Menurut Wahju Muljono24, etiologi kriminal adalah ilmu yang menyelidiki atau yang membahas asal usul atau sebab musabab kejahatan (kausa kejahatan). Menurut Mudzakkir dalam Siswanto Sunarso25, menerangkan bahwa konsep kejahatan dan siap yang menjadi korban kejahatan adalah pangkal tolak untuk menjelaskan bagaimana posisi hukum korban. Ada dua konsep kejahatan yaitu sebagai berikut:

1. Kejahatan dipahami sebagai pelanggaran terhadap negara atau kepentingan publik yang dipresentasikan oleh instrumen demokratik negara. Konsep ini dilandasi oleh pemikiran yang berbasis pada konsep keadilan retributif.

2. Kejahatan yang dipahami sebagai pelanggaran terhadap kepentingan orang perseorangan dan juga melanggar kepentingan masyarakat, negara dan esensinya juga melanggar kepentingan masyarakat. Konsep ini dilandasi oleh pemikiran yang berbasis pada konsep keadilan restoratif (restorative justice)

24

Wahju Muljono, 2012, Pengantar Teori Kriminologi, Yogyakarta, Pustaka Yustisia, hlm. 97

25

Siswanto Sunarso, 2014. Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 42


(19)

Dalam etiologi kriminal, fokus perhatiannya pada objek studi kriminologi, yakni penjahat, yaitu mempelajari alasan seseorang melanggar hukum pidana, atau melakukan tindak kejahatan sementara orang lain tidak melakukannya.

B.Teori Kriminologi Penyebab Kejahatan

Berdasarkan etiologi kriminal, tindak kejahatan dilihat dari beberapa perspektif yaitu sosiologis, biologis dan psikologis.26 Dipandang dari sudut formil (menurut hukum), kejahatan adalah suatu perbuatan, yang oleh masyarakat (dalam hal ini negara) diberi pidana. Hukum pidana semacam itu tidak bertujuan melindungi masyarakat, tetapi memperkuat alasan untuk menentang perbuatan sewenang-wenang dari penguasa. Lebih jauh lagi kejahatan merupakan sebagian dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan, bahkan di negara modern hampir tiap perbuatan yang dicap sebagai kejahatan oleh hampir semua penduduknya dirasakan sebagai perbuatan yang melanggar kesusilaan.27

Kejahatan dapat dilakukan oleh siapa saja termasuk mahasiswa. Seorang mahasiswa dikategorikan pada tahap perkembangan yang usianya 18 sampai dengan 25 tahun. Tahap ini dapat digolongkan pada masa remaja akhir sampai masa dewasa awal dan dilihat dari segi perkembangan, tugas perkembangan pada usia mahasiswa ini ialah pemantapan pendirian hidup.28

26

Koentjoro, dalam http://koentjoro-psy.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/Kriminologi-2.pdf

27

W.A. Bonger, 1982, Pengantar tentang Kriminologi, Jakarta, PT. Pembangunan, hlm. 19-20

28


(20)

Pada masa remaja akhir berada pada rentang 18-21 tahun29 sehingga pada usia setelah 22 tahun hingga 25 tahun merupakan usia dewasa awal.

Menurut Dwi Siswoyo30, mahasiswa dapat didefinisikan sebagai individu yang sedang menuntut ilmu di tingkat perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta atau lembaga lain yang setingkat dengan perguruan tinggi. mahasiswa dinilai memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, kecerdasan dalam berpikir dan kerencanaan dalam bertindak. Berpikir kritis dan bertindak dengan cepat dan tepat merupakan sifat yang cenderung melekat pada diri setiap mahasiswa, yang merupakan prinsip saling melengkapi.

Kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak muda disebut dengan

juvenile deliquancy, yaitu perilaku jahat (dursila), atau kejahatan/kenakalan anak muda; merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang.31 Kecanduan dan ketagihan bahan narkotika (obat bius, drugs) yang erat bergandengan tindak kejahatan merupakan salah satu wujud perilaku delinkuen.32

Anak-anak delinkuen mempunyai sifat kepribadian khusus yang menyimpang, yaitu:

1. Hampir semua anak muda jenis ini cuma berorientasi pada “masa

sekarang”, bersenang-senang dan puas pada hari ini. Mereka tidak mau

29

Singgih Gunarsa dan Yulia Gunarsa, Loc. Cit., hlm. 129

30

Dwi Siswoyo, Loc. Cit., hlm. 121

31

Kartini Kartono, 2014, Patoogi Sosial 2: Kenakalan Remaja, Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 6

32


(21)

mempersiapkan bekal hidup bagi hari esok. Mereka tidak mampu membuat rencana bagi hari depan.

2. Kebanyakan dari mereka itu terganggu secara emosional.

3. Mereka kurang tersosialisasi dalam masyarakat normal, sehingga tidak mampu mengenal norma-norma kesusilaan, dan tidak bertanggung jawab secara sosial.

4. Mereka senang menceburkan diri dalam kegiatan “tanpa pikir” yang merangsang rasa kejantanan, walaupun mereka menyadari besarnya risiko dan bahaya yang terkandung di dalamnya.

5. Pada umumnya mereka sangat impulsif, dan suka menyerempet bahaya. 6. Hati nurani tidak atau kurang lancar fungsinya.

7. Mereka kurang memiliki disiplin diri dan kontrol diri, sebab mereka memang tidak pernah dituntun atau dididik untuk melakukan hal tersebut. Tanpa pengekangan diri itu mereka menjadi liar, ganas, tidak bisa dikuasai oleh orang dewasa. Muncullah kemudian kebiasaan jahat yang mendarah daging dan kemudian menjadi stigma.33

Seorang mahasiswa yang dinilai memiliki intelektual yang tinggi, kecerdasan berpikir, dan perencanaan dalam bertindak dapat terlibat dalam suatu tindakan pelanggaran hukum. Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana mungkin seorang mahasiswa yang dengan karakter tersebut dapat melakukan kejahatan sehingga ada kemungkinan dipicu sesuatu atau penyebab terjadinya kejahatan oleh mahasiswa.

33


(22)

Transisi dari sekolah dasar menuju Sekolah Menengah Pertama yang melibatkan perubahan dan kemungkinan stres, begitu pula masa transisi dari Sekolah Menengah Atas menuju universitas dimana terdapat perubahan yang sama dalam dua transisi itu. Transisi ini melibatkan gerakan menuju satu struktur sekolah yang lebih besar dan tidak bersifat pribadi, seperti interaksi dengan kelompok sebaya dari daerah yang lebih beragam dan peningkatan perhatian pada prestasi dan penilaiannya.34 Setiap mahasiswa tidak lepas dari masa kehidupan anak-anak.

Penyebab terjadinya kejahatan telah menjadi subjek yang cukup banyak mengundang spekulasi, teoritis, penelitian dan perdebatan di antara para ahli maupun masyarakat umum. Salah satu pendekatan yang menjelaskan sebab kejahatan tersebut, misalnya ada teori yang mengasumsikan kejahatan adalah bagian dari manusia alamiah, keberadaan manusia tidak terlepas dari sifat iblis.35

Kejahatan anak-anak remaja ini merupakan produk sampingan dari: 1. Pendidikan massal yang tidak menekankan pendidikan watak dan

kepribadian watak.

2. Kurangnya usaha orang tua dan orang dewasa dalam menanamkan moralitas dan keyakinan beragam pada anak-anak muda.

3. Kurang ditumbuhkannya tanggung jawab sosial pada anak-anak remaja.36

34

John W. Santrock, 2002, Life Span Development. Jakarta, Erlangga, hlm. 74

35

Susanto, 2011, Kriminologi, Yogyakarta, Genta Publishing, hlm.v

36


(23)

Anak-anak remaja yang melakukan kejahatan itu pada umumnya kurang memiliki kontrol-diri, atau justru menyalahgunakan kontrol-diri tersebut, dan suka menegakkan standar tingkah laku sendiri, disamping meremehkan keberadaan orang lain. Kejahatan yang mereka lakukan pada umumnya disertai unsur-unsur mental dengan motif-motif subyektif, yaitu untuk mencapai satu obyek tertentu dengan disertai kekerasan dan agresi. Pada umumnya anak-anak muda sangat egoistis, dan suka sekali menyalahgunakan atau melebih-lebihkan harga dirinya.37

Adapun motif yang mendorong mereka melakukan tindakan kejahatan dan kedursilaan itu antara lain adalah:

1. Untuk memuaskan kecenderungan keserakahan 2. Meningkatnya agresivitas dan dorongan seksual.

3. Salah asuh dan salah didik orang tua, sehingga anak menjadi manja dan lemah mentalnya.

4. Hasrat untuk berkumpul dengan kawan senasib dan sebaya, dan kesukaan untuk meniru-niru.

5. Kecenderungan pembawaan yang patologis atau abnormal.

6. Konflik batin sendiri, dan kemudian menggunakan mekanisme pelarian diri serta pembelaan diri yang irrasional.38

Pengaruh sosial dan kultural memainkan peranan yang besar dalam pembentukan atau pengkondisian tingkah-laku kriminal anak-anak remaja. Perilaku anak-anak remaja ini menunjukan tanda-tanda kurang atau tidak

37

Ibid., hlm. 9

38


(24)

adanya konformitas terhadap norma-norma sosial, mayoritas juvenile deliquancy berusia di bawah 21 tahun. Angka tertinggi tindak kejahatan ada pada usia 15-19 tahun; dan sesudah umur 22 tahun, kasus kejahatan yang dilakukan oleh geng-geng delinkuen jadi menurun.39

Pembawaan dan lingkungan juga dianggap berpengaruh pada terjadinya kejahatan. Menurut Moeljanto40, pengaruh lingkungan dahulu sedikit banyak ada dalam keperibadian seseorang sekarang. Dalam batas-batas tertentu kebalikannya juga benar, yaitu lingkungan yang telah mengelilingi seseorang untuk suatu waktu tertentu mengandung pengaruh pribadinya. Faktor-faktor dinamis yang bekerja dan saling mempengaruhi adalah baik faktor pembawaan maupun lingkungan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi dan membentuk anak pada masa mudanya adalah faktor-faktor terpenting dari lingkungan kehidupannya yaitu keluarga atau rumahnya (family or home). Memang menurut kriminologi modern, golongan faktor lingkungan ini merupakan suatu kesatuan yang penting sekali bagi pembentukan kelakuan sosial si anak, yang akan disoroti ialah tentang keadaan keluarga dan rumah antara lain: (1) keadaan keluarga tidak wajar (a-typical) karena kelahiran anak di luar pernikahan, (2) penempatan anak di luar rumah, (3) keadaan keluarga lain terutama mencakup

broken home dan (4) keadaan-keadaan ekonomi keluarga, hubungan antar keluarga dan lain-lain.41

39

Kartini Kartono, Op. Cit. hlm. 7

40

NY. L. Moeljanto, 1982, Kriminologi, Jakarta, PT. Bina Aksara, hlm. 44

41


(25)

1. Anak tidak sah

Sebab-sebab golongan anak tidak sah lebih besar kemungkinannya untuk menjadi kriminal ialah:

a. Ibu-ibu di luar nikah dibanding dengan yang nikah, secara relatif mempunyai fisik dan mental kurang, sedang diantara bapak-bapaknya ada yang mempunyai depresi mental

b. Keadaan-keadaan lingkungan yang merugikan terutama mengancam masa kanak-kanak dan remaja sebagai penyebab yang langsung dan tidak langsung

Sebagian merupakan faktor-faktor ekonomi, sebagian keadaan-keadaan keluarga yang tidak wajar, misalnya ada bapak tiri atau ibu tiri, atau tanpa bapak, atau berada di rumah penitipan anak, dan sebagian lagi karena ada prasangka sosial dan perasaan dari si ibu yang tidak menghendaki si anak, yang secara sadar atau tidak sadar dapat mempengaruhi si anak.

2. Penempatan anak di luar rumah

Ada perbedaan pendapat antara ahli kriminologi beraliran sosial (A) dan yang beraliran modern (B) tentang lembaga keluar rumah. Menurut (B) kehidupan dalam lingkungan keluarga yang normal dan baik, adalah penting bagi pertumbuhan anak, agar ia dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat lingkungannya (dalam istilah sekarang sehat sosial). Sebaliknya menurut (A) lembaga keluarga merupakan sesuatu yang buruk dan harus diganti


(26)

dengan pendidikan dalam lembaga-lembaga pemerintah yang bersifat kolektif.

3. Broken home (keluarga a-typical/tidak wajar)

Sudah sejak lama perhatian kriminolog tertuju pada pentingnya arti

broken home bagi timbulnya kejahatan. Broken home terutama mengenai rumah tinggal sebagai berikut: dimana salah satu orang tua sudah meninggal, atau dimana orang tua tidak lagi hidup bersama karena perceraian, perpisahan atau sebab-sebab lain.

Kondisi-kondisi keluarga tersebut dapat digolongkan dalam golongan-golongan yang menyangkut faktor-faktor lebih luas yaitu: keadaan keluarga rusak atau tidak wajar. Jadi meliputi semua keadaan dengan susunan keluarga yang menyimpang dari normal.

4. Keadaan ekonomi rumah

Perumusan tentang kondisi ekonomi keluarga merupakan soal lain, maka kurang tepat jika hanya memperhatikan keadaan penghasilan saja. Faktor-faktor yang secara umum harus dipertimbangkan, langsung mempengaruhi kondisi-kondisi penghasilan seperti keadaan perumahan buruk, kontak dengan organisasi bantuan sosial atau sifat pekerjaan orang tua, adanya pengangguran dalam keluarga, jumlah anak, jatuh sakitnya si pencari uang dan lain-lain.

Dalam menilai pentingnya kondisi-kondisi ekonomi rumah bagi perkembangan si anak, hendaknya diperhatikan arti relatifnya


(27)

kondisi-kondisi demikian, misalnya lingkungan dimana si anak hidup dan sejarah perkembangan mental keluarga.

Mengenai faktor penyebab munculnya kejahatan hal ini harus dikaji sebelum dimungkinkan menjawab pertanyaan, apakah satu faktor, dan jika demikian, mana dari keduanya yang memainkan peranan terpenting dalam terjadinya kejahatan.

1. Pengaruh dari bakat terhadap lingkungan. Berkali-kali telah tampak bagaimana faktor-faktor bakat dapat mengarahkan seseorang berada dalam suatu lingkungan yang tidak dapat diharapkan, apakah itu berdasarkan asal usul dan kelahiran. Hal ini berlaku baik untuk mobilitas vertikal maupun yang horizontal dan dapat berakibat baik atau buruk terhadap lingkungan semula.

Untuk sebagian, suatu perubahan lingkungan yang demikian adalah akibat dari suatu pilihan pekerjaan khusus. Pilihan pekerjaan khusus itu dapat pula ditentukan oleh bakat, terutama dalam kasus-kasus dimana pilihan pekerjaan khusus itu dalam keluarga atau kelompok, dimana si individu berasal, terutama tidak lazim, dan dimana faktor imitasi (meniru) atau pengaruh lingkungan tidak berperan.

2. Pengaruh dari lingkungan terhadap bakat. Dalam hal ini perlu dibedakan:

a. Pengaruh yang “tidak sebenarnya”, dimana akibat dari lingkungan terhadap sifat-sifat yang ada dalam bakat:


(28)

1) Tidak tampak keluar atau tidak dapat berkembang. Misalnya dalam suatu lingkungan dimana setiap orang buta aksara, maka bakat menulis tidak akan tampak keluar.

2) Dengan sengaja dikekang, terutama oleh orang tua atau para pendidik. Misalnya sifat rasa seni dalam suatu keluarga dimana ada pendapat dominan, bahwa semua seni adalah tidak susila atau seniman tidak ada akan dalam kemelaratan.

b. Pengaruh “yang sebenarnya”, dimana lingkungan mempengaruhi

bakat terutama para pengikut “behaviorism” berpendapat bahwa

bakat pada hakekatnya tidak berbeda-beda, sehingga sangat dipengaruhi oleh lingkungan melalui jalan pembentukan kebiasaan. Kejahatan dari seorang manusia normal adalah akibat kebersamaan dari bakat dan lingkungan, dimana kali ini yang satu, kemudian faktor lain lagi yang berpengaruh, dan dimana kedua faktor tersebut dapat saling mempengaruhi.42

Telah disadari bahwa kejahatan dari segi apapun tidak boleh dibiarkan merajalela dalam pergaulan hidup, oleh karena itu berbicara mengenai kejahatan maka harus dibedakan mengenai kejahatan dalam arti yuridis (Perbuatan yang termasuk tindak pidana) dan kejahatan dalam arti sosiologis (perbuatan yang patut dipidana). Perbuatan yang termasuk tindak pidana adalah perbuatan dalam arti melanggar undang-undang, dan perbuatan yang patut

42

J.E. Sahetapy, 1992, Kriminologi Suatu Pengantar, Bandungg, PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 124-126


(29)

dipidana adalah perbuatan yang melanggar norma atau kesusilaan yang ada di masyarakat tetapi tidak diatur dalam perundang-undangan.43

Ada beberapa teori mengenai sebab terjadinya juvenile deliquancy yaitu teori biologis, teori psikogenesis (psikologis dan psikiatris), teori sosiogenesis dan teori subkultur.44

1. Teori biologis

Tingkah laku sosiopatik atau delinkuen pada anak-anak dan remaja dapat muncul karena faktor-faktor fisiologis dan struktur jasmaniah seseorang, juga dapat cacat jasmaniah yang dibawa sejak lahir.45 Faktor pembawaan sejak lahir/keturunan yang bersifat biologis, misalnya: cacat fisik, cacat mental dan sebagainya.46

2. Teori psikogenesis (psikologis dan psikiatris)

Teori ini menekankan sebab-sebab tingkah laku delinkuen anak-anak dari aspek psikologis atau isi kejiwaannya. Antara lain faktor inteligensi, ciri kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah, frustasi, rasionalisasi, internalisasi diri yang keliru, konflik batin, emosi yang kontroversial, kecenderungan psikopatologis dan lain-lain.47 Pembawaan (sifat, watak) yang negatif, yang sulit diarahkan/dibimbing dengan baik misalnya terlalu bandel, Tingkat intelegensi yang kurang menguntungkan misalnya berpikir lamban/kurang cerdas, serta pemenuhan kebutuhan pokok yang tidak

43

Rena Yulia, 2010, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Yogyakarta, Graha Ilmu, hlm. 86

44

Kartini Kartono, Op.Cit., hlm. 25

45

Ibid., hlm. 25

46

Bunadi Hidayat, 2010, Pemidanaandan Pertanggungjawaban Pidana Anak di Bawah Umur, Bandung, Alumni, hal. 77

47


(30)

seimbang dengan keinginan anak/remaja menjadi faktor internal yang mempengaruhi kenakalan remaja.48

3. Teori sosiogenesis

Para sosiolog berpendapat bahwa penyebab tingkah laku delinkuen pada anak-anak remaja ini adalah murni sosiologis atau sosial-psikologis sifatnya. Misalnya dipengaruhi oleh struktur sosial yang deviatif, tekanan kelompok, peranan sosial, status sosial atau oleh internalisasi simbolis yang keliru. Maka faktor-faktor kultural dan sosial itu sangat mempengaruhi, bahkan mendominasi struktur lembaga-lembaga sosial dan peranan sosial setiap individu di tengah masyarakat, status individu di tengah kelompoknya partisipasi sosial, dan pendefinisian diri atau konsep dirinya.49 Kurangnya tingkat pendidikan anak baik dari visi agama maupun ilmu pengetahuan, tidak memiliki hobi dan bakat yang jelas dan kuat sehingga mudah dipengaruhi oleh hal-hal negatif, dan jiwa anak yang masih terlalu labil misalnya kekanak-kanakan, manja dan sebagainya menjadi faktor internal yang mempengaruhi kenakalan remaja.50

4. Teori subkultur

Subkultur delinkuen remaja mengaitkan sistem nilai, kepercayaan/keyakinan, ambisi-ambisi tertentu (misalnya ambisi materiil, hidup bersantai, pola kriminal, relasi heteroseksual bebas, dan lain-lain) yang memotivasi timbulnya kelompok-kelompok remaja berandalan dan kriminal. Perangsangnya berupa hadiah untuk mendapatkan status sosial

48

Bunadi Hidayat, Op.Cit., hal. 77

49

Ibid., hlm. 32

50


(31)

“terhormat” di tengah kelompoknya, prestise sosial, relasi sosial yang intim,

dan hadiah-hadiah materiil lainnya.51 Dapat dilihat bahwa teori subkultur delinkuen remaja lebih banyak berhubungan dengan lingkungan sosial atau dipengaruhi faktor di luar dirinya. Bunadi Hidayat52 mengemukakan beberapa faktor yaitu:

a. Kesalahan pendidikan yang diterapkan orang tua terhadap anak, baik dalam pendidikan keluarga, formal maupun masyarakat dan akibat dari rendahnya tingkat pendidikan orang tua.

b. Kurangnya sosok teladan yang baik dari orang tua dalam mendidik dan membimbing anak, termasuk tingkat kejujuran dan kedisiplinan orang tua itu sendiri.

c. Kurang tertanamnya rasa tanggung jawab yang terlatih di rumah, misalnya tanpa ada jadwal kegiatan tertentu bagi anak, seperti; waktu belajar, membantu orang tua, bermain, makan dan sebagaianya.

d. Lingkungan rumah yang kurang menguntungkan bagi anak

e. Bergaul dengan teman yang kurang menguntungkan, misalnya; di masyarakat, di sekolah dan sebagainya.

C.Narkotika Menurut Hukum Islam

Narkotika tidak dikenal pada masa Rasulullah SAW, walaupun demikian ia termasuk kategori khamr, bahkan narkotika lebih berbahaya dibandingkan dengan khamr. Istilah narkotika dalam konteks Islam, tidak disebutkan secara langsung dalam Al-Qur’an hanya menyebutkan istilah

51

Ibid., hlm. 35

52


(32)

khamr. Akan tetapi karena dalam teori ilmu ushul fiqih, bisa sesuatu hukum belum ditentukan status hukumnya, maka bisa diselesaikan melalui metode qiyas (analogi hukum).53

Minuman khamr menurut bahasa Al-Qur’an adalah minuman yang terbut dari biji-bijian atau buah-bahan yang melalui proses begitu rupa sehingga dapat mencapai kadar minuman yang memabukkan.54 Dengan demikian, kata itu berarti dari setiap sari buah anggur, jelai, kurma, madu, atapun yang lainnya yang dapat membuat seseorang mabuk setelah meminumnya. Kata khamr boleh jadi meliputi pula setiap cairan ataupun barang yang memiliki akibat yang sama.55 Secara garis besar khamr adalah cairan yang dihasilkan dari peragian biji-bijian atau buah-buahan dan mengubah sari patinya menjadi alkohol dengan menggunakan katalisator (enzim) yang mempunyai kemampuan untuk memisahkan unsur-unsur tertentu yang berubah melalui proses peragian.56

Dalil Imam Abu Hanifah adalah hadist yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau pernah menuunjuk pohon kurma dan anggur

lalu berkata “khamr berasal dari dua pohon ini, diharamkannya khamr karena

bendanya dan setiap minuman yang memabukkan.”57 Dengan demikian Imam Abu Hanifah membedakan antara minuman keras dan minuman yang

53

Laili Maulida, 2009, Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif Kasus Penyalahgunaan Narkotika Oleh Anak di Bawah Umur, Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, hlm. 53

54

Zainuddin Ali, 2007, Hukum Pidana Islam, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 78

55

A. Rahman I, 1996, Hudud dan Kewarisan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hlm. 84

56

Sayyid Sabiq,1984, Fiqih Sunnah 9, Bandung, Al-Ma’arif, hlm. 46

57

Abdul Qadir Audah, 2008, At-Tasyri Al-Jinaiy Al Islamiy Muqaranan Bil Qanunil Wadhi (Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Jilid V), (pen.) Ali Yafie, et al, Bogor, Kharisma Ilmu, hlm. 61-62


(33)

memabukkan. Menurutnya meminum khamr (minuman keras) itu haram, baik sedikit maupun banyak. Minuman selain khamr yang terbuat dari materi lainnya disebut sebagai minuman yang memabukkan (muskir). Orang yang mabuk karena minuman tersebut tidak dihukum karena meminumnya seperti halnya minuman keras, tetapi karena mabuknya. Menurutnya mabuk disini bukan haram karena mabuknya, melainkan karena kadar paling akhir yang mengakibatkannya mabuk. Jadi, jika seseorang meminum tiga gelas minuman dan tidak mabuk lalu minum gelas keempat dan mabuk, yang haram adalah gelas keempat tersebut.58

Ada beberapa nama yang diberikan untuk jenis minuman keras (khamr):

1. Khamr, perasan anggur yang telah menjadi minuman keras 2. Sakar, rendaman kurma matang yang belum dimasak 3. Bata’, rendaman madu

4. Ji’ah, rendaman sya’ir

5. Mazar, yang dibuat dari jagung

6. Fadlieh, yang dibuat dari perasan putik kurma tanpa dimasak

7. Chiltin, yang dibuat dari campuran putik kurma dan kurma matang.59 Dalam pandangan ulama, hal yang dapat dipastikan adalah mengkonsumsi segala sesuatu, baik dalam bentuk cairan atau benda padat, yang mengandung unsur-unsur tertentu yang dalam kadar tertentu dapat merusak fungsi akal, hukumnya adalah haram, apakah menurut kenyataannya

58

Ibid., hlm. 63

59

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, 2001, Koleksi Hadis-Hadis Hukum 9, Semarang, Pustaka Riszki Putra, hlm. 391


(34)

sampai mabuk atau tidak, dalam kadar sedikit atau banyak. Termasuk dalam kategori ini minuman beralkohol, narkotika dan sejenisnya yang disebut psikotropika atau dalam sebutan narkoba.60

Pada zaman klasik, cara mengkonsumsi benda yang memabukkan diolah oleh manusia dalam bentuk minnuman sehingga para pelakunya disebut dengan peminum. Pada era moder, benda yang memabukkan dapat dikemas menjadi aneka ragam kemasan berupa benda padat, cair dan gas yang dikemas menjadi bentuk makanan, minuman, tablet, kapsul, atau serbuk, sesuai dengan kepentingan dan kondisi si pemakai.61 Akal adalah salah satu sendi kehidupan manusia yang harus dilindungi dan dipelihara. Dalam rangka pemeliharaan terhadap akal itu, maka segala sesuatu tindakan yang dapat merusaknya adalah dilarang.62

Islam melarang khamr (minuman keras), karena khamr dianggap sebagai induk keburukan (ummul khabaits), disamping merusak akal, jiwa, kesehatan, dan harta sejak dari semula, Islam telah berusaha menjelaskan kepada umat manusia, bahwa manfaatnya tidak seimbang dengan bahaya yang ditimbulkannya.63

Prinsip tentang larangan khamr ini dipegang teguh oleh negara-negara Islam sampai akhir abad ke-18. Akan tetapi pada awal abad 20, negara-negara Islam mulai berorientasi ke Barat dengan menerapkan hukum positif dan meninggalkan hukum Islam. Maka jadilah khamr (minuman keras) pada

60

Laili Maulida, Op. Cit., hlm 56

61

Zainuddin Ali, Op. Cit., hlm.78

62

Amir Syarifudin, 2003, Garis-Garis Besar Fiqih, Jakarta, Kencana, hlm. 289

63


(35)

prinsipnya tidak dilarang dan orang yang meminumnya tidak dincam hukuman, kecuali ia mabuk di muka umum.64 Sementara negara-negara Islam tenggelam dalam pengaruh Barat karena menjadi jajahan negara Barat, negara-negara non-Islam sendiri mulai aktif menggiatkan kampanye anti minuman keras, karena mereka sudah menyadari bahaya dari minuman keras ini, baik terhadap kesehatan maupun ketertiban masyarakat.65

Hal-hal yang mendorong mengkampanyekan anti minuman keras adalah bukti ilmiah yang memastikan bahwa minum minuman keras dapat membahayakan kesehatan. Minuman keras bahkan dapat melemahkan raga dan akal, menyebabkan gila dan kemandulan. Jika bukan mandul, dampak yang muncul paling tidak berkurangnya kesuburan dan menurunnya kualitas keturunan dari fisik dan akal. Minuman keras juga terbukti menyebabkan turunnya produktivitas seseorang. Temuan ilmu pengetahuan modern ini sungguh menguatkan teori hukum Islam.66

Larangan meminum khamr dalam AlQur’an tidak diturunkan sekaligus

tetapi berangsur-angsur. Hal ini disebabkan kebiasaan mengkonsumsi minuman keras di kalangan bangsa Arab sudah merajalela. Ayat pertama turun adalah Surat An-Nisa ayat 43, “Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati salat, ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa

yang kamu ucapkan....”. Dalam ayat tersebut, Allah SWT melarang kaum muslimin melaksanakan salat dalam keadaan mabuk, karena salat adalah ibadah wajib yang harus ditunaikan, berarti kaum muslimin diwajibkan untuk

64

Ahmad Wardi Muslich, 2005, Hukum Pidana Islam, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 71

65

Ibid., hlm. 71

66


(36)

tidak mengkonsumsi minuman keras dengan kuantitas seperti biasa agar dapat melaksanakan salat lima waktu tidak dalam kondisi mabuk.67

Larangan ini mungkin yang mendorong kaum muslim waktu itu untuk bertanya-tanya tentang hukum minuman keras itu sendiri. Setelah itu, turunlah nas (ayat) kedua menjawab segala pertanyaan yang mengganjal di hati mereka dan menerangkan illat (sebab) pelarangan tersebut. Dalam surat Al-Baqarah ayat 219 Allah AWT berfirman, “Mereka menanyakan kepadamu

(Muhammad) tentang khamr dan judi. Katakanlah, „Pada keduanya terdapat

dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia tetapi dosanya lebih besar

daripada manfaatnya’”. Maksudnya kaum muslimin bertanya kepada Rasulullah tentang hukum khamr dan judi, dimana pada masa jahiliyah kedua hal tersebut sering dilakukan dan juga pada awal-awal Islam. Seolah-olah terjadi kesulitan memahami kedua perkara tersebut. Oleh karena itu, mereka bertanya tentang hukum-hukumnya. Maka Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk menjelaskan manfaat-manfaatnya dan mudharatnya kepada mereka agar hal tesebut menjadi pendahuluan untuk pengharamannya dan wajib meninggalkan kedua perbuatan itu secara total.68

Allah mengabarkan bahwa dosa dan mudharat keduanya serta apa yang diakibatkan oleh keduanya seperti hilang ingatan, harta dan menghalangi diri dari berdzikir kepada Allah, dari salat, (menimbulkan) permusuhan dan saling benci, adalah lebih besar didapatkan harta dengan berjual beli khamr atau

67

Ibid., hlm. 73

68


(37)

memperolehnya dengan cara berjudi atau kebahagiaan hati saat melakukannya.69

Penjelasan ini merupakan pencegahan dari kedua perbuatan tersebut, karena seseorang yang berakal akan lebih memilih sesuatu yang kemaslahatannya lebih besar, dan ia akan menjauhi suatu yang mudharatnya lebih besar. Akan tetapi, ketika mereka telah terbiasa dengan kedua perkara tersebut dan sulit untuk meninggalkannya secara total pada awal-awalnya, maka Allah memulai hal tersebut dengan ayat ini sebagai pendahuluan menuju pengharaman secara mutlak70, yang disebutkan dalam Surat Al-Maidah ayat 90-91,

“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk berhala) dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk dalam perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung. Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan salat maka tidakkah

kamu berhenti?”

Dalam hal melarang minuman keras, hukum Islam tidak bersahabat dengan kondisi masyarakat pada saat itu atau dengan kata lain tidak merespon keinginan mereka. Pada saat itu, ide pelarangan minuman sangat jauh dari akal manusia. Masyarakat pada waktu itu tidak siap menerima pelarangan ini. Meski demikian, hukum Islam melarang minuman keras karena itu merupakan keharusan yang harus dipenuhi hukum Islam yang sempurna dan abadi demi kesempurnaan hukumnya. Hukum pelarangan minuman keras ini mengangkat

69

Syaikh Abdurahman Bin Nashir As-Sa’di, 2006, Tafsir Al-Karim Ar-Rahman Fi Tafsir Kalam Al-Manan, Jakarta, Pustaka Sahifa, hlm. 350

70


(38)

tingkat kedudukan masyarakat dan mengarahkannya kepada keluhuran dan kesempurnaan. Jika dunia non-Islam pada masa kini telah memikirkan pelarangan minuman keras ketika jiwa manusia telah siap menerima pelarangan ini, itu berarti hukum Islam dengan ketetapan pelarangan minuman keras telah menyeru manusia untuk mendahului zaman mereka lebih dari empat belas abad ke depan.71

Ada dua unsur tindak pidana meminum minuman keras, yaitu meminum dan berniat melawan hukum.

1. Unsur pertama, meminum

Seseorang tidak dijatuhi hukuman apapun dengan meminum minuman yang sama sekali tidak memabukkan walaupun ia meminumnya dengan niat untuk mabuk meskipun ia telah berbuat dosa kepada Tuhannya. Untuk memenuhi unsur meminum, minuman tersebut disyaratkan harus diminum.72

2. Unsur kedua, melawan hukum

Seseorang dianggap berniat melawan hukum jika ia meminum minuman keras (khamr) atau minuman yang memabukkan.73

D.Faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan (Etiologi Kriminal) dalam Tindak Pidana Narkotika

Narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu narke atau narkam yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa.74 Secara etimologis narkotika

71

Ibid., hlm. 73-74

72

Ibid., hlm. 64-65

73

Ibid., hlm. 66-67

74


(39)

berasal dari bahasa Inggris yaitu narcose atau narcosis yang berrti menidurkan.75 Narkotika juga berasal dari kata narcotic yang artinya sesuatu yang dapat menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan efek stupor (bengong), bahan-bahan pembius dan obat bius.76

Kejahatan narkotika merupakan kejahatan internasional (International Crime) dan kejahatan yang terorganisir (Organize Crime), serta mempunya jaringan yang luas. Kejahatan internasional ini membuktikan adanya peningkatan kuantitas dan kualitas kejahatan ke arah organisasi kejahatan transnasional, melewati batas-batas negara dan menunjukkan kerja sama yang bersifat regional maupun internasional.77

Berdasarkan Pasal 1 ayat (15) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang dimaksud dengan penyalahgunaan narkotika ialah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Penyalahgunaan narkotika dapat diartikan sebagai tindakan atau perbuatan yang tidak sebagaimana mestinya (menyimpang atau bertentangan dengan yang seharusnya) yang mempergunakan narkotika secara berlebihan (overdosis) sehingga membahayakan diri sendiri, baik secara fisik maupun psikis.78

75

Jhon M. Elhols dan Hasan Sadili, 1996, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta, PT. Gramedia, hlm. 390

76

Ibid.

77

Siswantoro Sunarso, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologis Hukum, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, hlm. 2

78

A.W. Widjaya, 1985, Masalah kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika, Bandung, Amirco, hlm. 13


(40)

Menurut Luthfi Baraja dalam Madani79, terdapat tiga pendekatan untuk terjadinya penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika yaitu pendekatan organobiologik, psikodinamik dan psikososial. Ketiga pendekatan tersebut tidaklah berdiri sendiri melainkan saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Dari sudut pandang organobiologik (susunan syaraf pusta/otak) mekanisme terjadinya adiksi (ketagihan) hingga dependensi (ketergantungan) dikenal dengan dua istilah, yaitu gangguan mental organik atau sindrom otak organik yang ditandai dengan gaduh, gelisah, dan kekacauan dalam fungsi kognitif (alam pikiran), efektif (alam perasaan/emosi) dan psikomotor (perilaku) yang disebabkan efek langsung terhadap susunan syaraf pusat (otak).

Seseorang akan menjadi ketergantungan narkotika, apabila seseorang dengan terus menerus diberikan zat tersebut. Hal ini berkaitan dengan teori adaptasi sekuler (neuro adaption), tubuh beradaptasi dengan menambah jumlah teseptor dan sel-sel syaraf bekerja keras. Jika zat dihentikan, sel yang masih bekerja keras tadi mengalami kehausan, yang dari luar tampak sebagai hejala-gejala putus obat. Gejala putus obat tersebut memaksa orang untuk mengulangi pemakaian zat tersebut.80

Dengan teori psikodinamik dinyatakan bahwa seseorang akan terlibat penyalahgunaan narkotika sampai ketergantungan, apabila pada orang itu terdapat faktor penyebab (factor contribusi) dan faktor pencetus yang saling keterkaitan satu dengan yang lain. Faktor predisposisi seseorang dengan gangguan kepribadian (anti sosial) ditandai dengan perasaan tidak puas

79

Mardani, 2008, Penyalahgunaan Narkoba dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, hlm. 99

80


(41)

terhadap orang lain. Faktor lain yaitu yang bersangkutan tidak mampu untuk berfungsi secara wajar dan efektif dalam pergaulan di rumah, di sekolah, atau di tempat kerja, gangguan lain sebagai penyerta berupa rasa cemas dan depresi. Untuk mengatasi ketidakmampuan dan menghilangkan rasa kecemasan atau depresinya, maka orang tersebut cenderung untuk menggunakan narkotika. Semestinya orang tersebut dapat mengobati dirinya dengan datang ke dokter/psikiater untuk mendapatkan terapi yang tepat sehingga dapat dicegah keterlibatannya dalam penyalahgunaan narkotika.81

Faktor kontribusi, seseorang dengan kondisi keluarga yang tidak baik akan merasa tertekan, dan rasa tertekan inilah sebagai faktor penyerta bagi dirinya untuk terlibat dalam penyalahgunaan narkotika. Disfungsi keluarga yang dimaksud antara lain keluarga tidak utuh, kedua orang tua terlalu sibuk, lingkungan interpersonal dengan orang tua yang tidak baik. Faktor pencetus, bahwa pengaruh teman sebaya tersedia dan mudah didapatinya narkotika mempunyai andil sebagai faktor pencetus seseorang terlibat penyalahgunaan/ketergantungan narkotika.82

Pada awalnya narkotika ditemukan untuk kepentingan pengobatan dan menolong orang sakit, sejak zaman prasejarah manusia sudah mengenal zat psikoaktif (termasuk di dalamnya narkotika, psikotropika, alkohol dan zat-zat lainnya yang memabukkan). Berbagai dedaunan, buah-buahan, akar-akaran, dan bunga dari berbagai jenis tanaman yang sudah lama diketahui manusia akan efek farmatologinya, sejarah mencatat ganja sudah digunakan orang sejak

81

Ibid.

82


(42)

tahun 2700 SM. Opium telah digunakan oleh orang Mesir Kuno untuk menenangkan bagi orang yang sedang menangis. Pada kenyataannya, disamping zat-zat tersebut digunakan untuk pengobatan, tidak jarang pula digunakan untuk kepentingan kenikmatan secara pribadi.83

Penggunaan zat psikoaktif pada satu sisi terkadang memiliki keterkaitan dengan keadaan suatu masyarakat, hal ini disebabkan beberapa zat tertentu dibenarkan pemakaiannya oleh masyarakat tertentu pula, karena berhubungan dengan adat dan keberagaman, sedangkan zat yang sama ditentang oleh bangsa lain.84

Seorang penyalahguna narkotika tidak dapat hidup secara normal, ia bertingkah laku aneh dan menciptakan ketergantungan fisik dan psikologis pada tingkat yang berbeda-beda. Ketergantungan narkotika berarti tidak akan dapat hidup tanpa narkotika, hal ini dikarenakan ketergantungan fisik menyebabkan timbulnya rasa sakit bila ada usaha untuk mengurangi pemakaiannya bila pemakaiannya dihentikan. Ketergantungan secara psikologis menimbulkan tingkah laku yang kompulsif untuk memperoleh narkotika tersebut, keadaan ini semakin memburuk jika tubuh sang pemakai menjadi kebal akan narkotika, sehingga kebutuhan tubuh akan narkotika menjadi meningkat untuk dapat sampai pada efek yang sama tingginya. Dosis

83

Danny I. Yatim, 1989, Kepribadian, keluarga dan Narkotika: Tinjauan Sosial-Psikologis, Jakarta, Penerbit Arcan, hlm. 51

84

BA. Sitanggang, 1981, Pendidikan Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika, Jakarta, Karya Utama, hlm. 67


(43)

yang tinggi dan pemakaian yang sering diperlukan untuk menenangkan keinginan yang besar dan hal ini dapat menyebabkan kematian.85

Banyak penyebab seseorang menyalahgunakan obat-obatan terlarang atau narkotika sehingga menjadi korban penyalahgunaan narkotika, penyebabnya adalah:

1. Keingintahuan yang besar tanpa sadar akibatnya. 2. Keinginan untuk mencoba karena penasaran. 3. Keinginan untuk bersenang-senang (just for fun).

4. Keinginan untuk mengikuti tren atau gaya (fashionable). 5. Keinginan untuk diterima oleh lingkungan pergaulannya. 6. Lari dari kebosanan atau kegetiran hidup.

7. Pengertian yang salah bahwa penggunaan yang sekali-kali tidak akan menimbulkan ketagihan.

8. Semakin mudah untuk mendapatkan nerkotika dimana-mana dengan harga relatif murah (available).

9. Tidak siap mental untuk menghadapi tekanan pergaulan sehingga tidak mampu menolak narkotika secara tegas.86

Menurut Sudarsono87, penyalahgunaan narkotika dilatarbelakangi oleh beberapa sebab, yaitu:

1. Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya misalnya ngebut di jalanan dan bergaul bebas dengan wanita.

2. Menunjukkan tindakan menentang orang tua, guru dan norma sosial. 3. Mempermudah penyaluran dan perbuatan seks.

4. Melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalaman-pengalaman emosional.

5. Mencari dan menemukan arti hidup. 6. Mengisi kekosongan dan kesepian hidup.

7. Menghilangkan kegelisahan, frustasi dan kepepet hidup.

8. Mengikuti kemauan kawan-kawan dalam rangka pembinaan solidaritas. 9. Iseng-iseng saja dan rasa ingin tahu.

85

Hadiman, 2005, Pengawasan serta Peran Aktif Orang Tua dan Aparat dalam Penanggulangan dan Penyalahgunaan Narkoba, Jakarta, Badan Kerjasama Sosial Usaha Pembinaan Warga Tama, hlm. 5

86

Ibid., hlm. 10

87


(44)

Dari penelitian yang dilakukan oleh para ahli, setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya penyalahgunaan narkotika diantaranya adalah88:

1. Faktor individu, terdiri dari aspek kepribadian dan kecemasan/depresi. Faktor yang termasuk dalam aspek kepribadian antara lain kepribadian yang ingin tahu, mudah kecewa, sifat tidak sabar dan rendah diri, sedangkan yang termasuk dalam kecemasan/depresi adalah karena tidak mampu menyelesaikan kesulitan hidup sehingga melarikan diri dalam penggunaan narkoba.

2. Faktor sosial budaya, terdiri dari kondisi keluarga dan pengaruh teman. Kondisi keluarga disini merupakan kondisi yang disharmonis misalnya orang tua yang bercerai, orang tua yang sibuk dan jarang di rumah, serta perekonomian keluarga yang serba berlebihan maupun yang serba kekurangan. Sedangkan yang termasuk dalam pengaruh teman misalnya karena berteman dengan seseorang yang ternyata pemakai narkotika dan ingin diterima dalam suatu kelompok.

3. Faktor lingkungan, lingkungan yang tidak baik maupun tidak mendukung dan menampung segala sesuatu yang menyangkut perkembangan psikologis anak dan kurangnya perhatian terhadap anak, juga bisa mengarahkan seorang anak untuk menjadi user/pemakai narkotika.

88

AR. Sujono dan Bony Daniel, 2011, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 7


(45)

4. Faktor narkotika sendiri. Mudahnya diperoleh narkotika didukung faktor yang sudah disebut diatas, semakin memperlengkap timbulnya penyalahgunaan narkotika.

Berdasarkan uraian di atas, faktor penyebab timbulnya penyalahgunaan narkotika dapat dibedakan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi faktor individu aspek kepribadian dan kecemasan/depresi, sedangkan faktor eksternal terdiri dari faktor sosial budaya dan lingkungan.


(46)

BAB III

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA

A.Pengertian Narkotika

Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 1 ayat (1)

menyebutkan bahwa, “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari

tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan

ketergantungan”.

Dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, narkotika digolongkan menjadi 3 yaitu:

1. Narkotika Golongan I

Narkotika Golongan I adalah narkotika yang paling berbahaya dengan daya adiktif yang sangat tinggi, sehingga tidak diperbolehkan penggunaannya untuk terapi pengobatan, kecuali penelitian dan pengembangan pengetahuan.89 Narkotika golongan I berjumlah 65. Narkotika yang termasuk dalam golongan ini antara lain ganja, heroin, kokain, morfin, opium dan sebagainya.

2. Narkotika Golongan II

Narkotika Golongan II adalah narkotika yang memiliki daya adiktif kuat. Narkotika golongan II dapat dimanfaatkan untuk pengobatan dan

89


(47)

penelitian, namun penggunaan narkotika golongan II untuk terapi atau pengobatan sebagai pilihan terakhir jika tidak ada pilihan. Narkotika golongan II berjumlah 86. Contoh dari narkotika golongan II antara lain benzetidin, betametadol, petidin dan turunannya dan sebagainya.90

3. Narkotika Golongan III

Narkotika golongan III adalah jenis narkotika yang memiliki daya adiktif atau potensi ketergantungan ringan dan dapat dipergunakan secara luas untuk terapi atau pengobatan dan penelitian. Narkotika golongan III berjumlah 14. Contoh jenis narkotika golongan ini antara lain kodein dan turunannya, metadon, naltrexon dan sebagainya.

Berdasarkan proses pembuatannya, narkotika berasal dari alam, semi sintetik dan sintetik.91

1. Narkotika alam, terdiri dari:

a. Opium, diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum yang getahnya bila dikeringkan akan menjadi opium mentah

b. Koka, diperoleh dari daun tumbuhan Erythroxylon coca, dalam peredaran mempunyai efek stimulasi yang disebut kokain

c. Canabis, diperoleh dari tanaman perdu Cannabis Saliva (ganja) yang mengandung tanaman aktif yang bersifat adiktif

2. Narkotika semi sintetik

Narkotika jenis ini dibuat dari alkohol opium yang mempunyai inti Phenathren dan diproses secara kimiawi menjadi suatu bahan obat yang

90

Ibid

91


(48)

berkhasiat sebagai narkotik. Contoh: Heroin, codein, oxymorphon dan lain-lain.

3. Narkotika sintetik

Narkotika jenis ini dibuat dengan proses kimia dengan menggunakan bahan baku kimia sehingga diperoleh suatu hasil baru yang mempunyai efek narkotika.

Narkotika memberikan berbagai dampak bagi pemakaianya. Pada umumnya bagi mereka yang baru pertama kali memakai, biasanya timbul rasa tidak enak, misalnya rasa mual, muntah, kesadaran menurun, gelisah, ketakutan. Bagi mereka yang memakai untuk menghilangkan rasa sakit akan timbul rasa gembira karena rasa sakit hilang (euforia). Sebaliknya pada penyalahgunaan obat dapat menimbulkan rasa senang yang berlebihan, high

dan fly. Gejala-gejala pada penyalahgunaan narkoba bermacam-macam tergantung jenis zat/obatnya. Mereka yang mengkonsumsi narkoba berakibat kesehatannya tidak atau kurang normal. Seorang pemakai narkoba jenis ganja di persidangan mengaku setelah mengisap beberapa ganja yang dibentuk seperti rokok, badannya terasa enteng dan melayang.92

Masuknya narkotika (termasuk obat-obatan terlarang) akan mempengaruhi fungsi vital organ tubuhm yaitu jantung, peredaran darah, pernafasan, dan terutama pada kerja otak (susunan syaraf pusat). Hal ini menyebabkan kerja otak berubah (bisa meningkat atau menurun). Narkotika dan obat-obatan yang ditelan akan masuk ke lambung kemudian ke pembuluh

92


(49)

darah. Jika dihisap, zat diserap masuk ke dalam pembuluh darah lewat saluran hidung dan paru-paru, sedangkan jika masuk melalui cara disuntikkan, zat langsung masuk ke aliran darah, selanjutnya darah membawa zat itu ke otak. Narkotika dan obat-obatan terlarang berpengaruh pada bagian otak yang bertanggung jawab atas kehidupan perasaan, yang disebut dengan sistem limbus. Pusat kenikmatan pada otak (Hipotalamus) adalah bagian dari sistem limbus. Narkotika dan obat-obatan terlarang menghasilkan perasaan tinggi dengan mengubah susunan biokimia molekul pada sel otak yang disebut dengan neurotransmiter.93

B.Tindak Pidana Narkotika

Penyalahgunaan narkoba merupakan suatu tindak pidana atau kejahatan, dimana kejahatan selalu ada dan akan berlangsung terus menerus, dalam bahasa Belanda disebut Strafbaarfeit (kejahatan atau kriminalitas atau tindak pidana).94 Penggunaan obat dan narkotika di Indonesia sudah menjadi semacam way of life, khususnya di kalangan artis, yuppies (young urban professionals), dan kelas menengah lainnya.95

Penyalahgunaan narkotika merupakan tindak pidana yang mempunyai kekhususan tersendiri dibandingkan tindak pidana umumnya. Ciri-ciri khusus tindak pidana narkotika adalah sebagai berikut:96

93

http://www.bnn.go.id/portal/_uploads/post/2010/11/23/2010-11-23__19-44-55.pdf

94

Soedjono Dirdjosisworo, 2006, Narkoba dan peradilannya di Indonesia, Jakarta, O.C. Kaligis & Associates, hlm. 236

95

Ibid., hlm. 249

96

Djoko Prakoso, 1997, Kejahatan-kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara, Jakarta, Bina Aksara, hlm. 477


(50)

1. Suatu kejahatan terorganisir dalam jaringan sindikat, jarang kasus narkotika tidak merupakan sindikat terutama heroin.

2. Berlingkup internasional, tidak lokal sifatnya. Walaupun di Indonesia tanaman ganja dapat tumbuh tapi konsumennya di seluruh dunia sehingga dapat dikirim keluar negeri.

3. Pelakunya dengan sistem sel artinya antara konsumen dan pengedar tidak ada hubungan langsung (terputus) sehingga apabila konsumen tertangkap maka sulit untuk diketahui pengedarnya, demikian pula sebaliknya.

4. Dalam tindak pidana narkotika, pelaku juga korban sehingga kejahatan narkotika pelapornya sangat minim.

Kalangan muda dan remaja merupakan kalangan yang sangat rentan terhadap penyalahgunaan narkoba ini, oleh karena itu bila tidak segera diatasi akan menjadi bahaya yang sangat besar bagi bangsa dan negara kita. Kalangan muda terutama para remajanya adalah kalangan yang mudah terpengaruh ke dalam pemakaian narkoba, karena masa remaja adalah masa seorang anak mengalami perubahan cepat baik perubahan tubuh, perasaan, kecerdasan, sikap sosial, kepribadian, namun jiwanya masih labil dan mudah terpengaruh oleh lingkungan sehingga terkadang mengarah pada perilaku nakal. Demikian halnya mereka yang berusia 21 tahun sampai dengan 25 tahun, menurut Dr. Zakiah Daradjat walaupun dari perkembangan jasmani dan kecerdasan telah betul-betul dewasa, dan emosinya juga sudah stabil, namun dari segi kematangan agama dan ideologi masih dalam proses pemantapan.97

97Zakiah Daradjat, 1980 “


(51)

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Bab XV ketentuan pidana, unsur-unsur yang merupakan perbuatan-perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana narkotika adalah:

1. Menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika (dalam bentuk tanaman atau bukan tanaman), diatur dalam Pasal 111 dan Pasal 112.

2. Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan I (dalam Pasal 113).

3. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I (dalam Pasal 114).

4. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika golongan I (Pasal 115).

5. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika golongan I terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan I untuk digunakan orang lain (Pasal 116).

6. Tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan II (Pasal 117).

7. Tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan II (Pasal 118).

muda”, Kertas kerja pada Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Anak dilihat dari segi pembinaan generasi muda, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, tanggal 24-26 Januari 1980 di Jakarta.


(52)

8. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan narkotika golongan II (Pasal 119).

9. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika golongan II (Pasal 120).

10. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika golongan II terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan II untuk digunakan orang lain (Pasal 121).

11. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan III (Pasal 122).

12. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan III (Pasal 123).

13. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika dalam golongan III (Pasal 124). 14. Membawa, mengirim, mengangkut, dan mentransito narkotika golongan

III (Pasal 125).

15. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika golongan III terhadap orang lain atau memberikan nerkotika golongan III untuk digunakan orang lain (Pasal 126).

16. Setiap penyalahguna: (Pasal 127 ayat 1) yaitu narkotika golongan I, II dan III bagi diri sendiri


(1)

94 BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan

1. Sebab-sebab terjadinya tindak pidana (etiologi kriminal) narkotika oleh mahasiswa di wilayah hukum Polres Sleman yaitu faktor salah pergaulan, jauh dari pengawasan orang tua, faktor ekonomi, dan faktor broken home. Faktor salah pergaulan dan jauh dari pengawasan orang tua yang mempengaruhi yaitu pergaulan yang salah, yang disebabkan oleh pengawasan dan kontrol orang tua yang kurang karena jaraknya jauh sehingga tidak dapat mengawasi sejauhmana pergaulan anaknya secara nyata. Faktor ekonomi berkaitan dengan desakan ekonomi yang membuat stres menyebabkan mahasiswa mencari pelarian yang instan untuk memenuhi kebutuhan tersebut yaitu dengan penyalahgunaan narkoba. Faktor broken home menyebabkan anak merasa diabaikan sehingga menimbulkan beban mental dan kurang perhatian yang menyebabkan anak mencari pelarian negatif seperti narkoba.

2. Upaya Polres Sleman dalam penanggulangan tindak pidana narkotika yang dilakukan khusus terhadap mahasiswa tidak ada karena tindakan penanggulangan berlaku untuk semua kalangan termasuk mahasiswa. penanggulangan meliputi upaya preventif dan represif. Upaya preventif yang dilakukan Polres Sleman yaitu bekerjasama dengan pihak kampus dan Dikti agar memberikan kebijakan bagi mahasiswa terkait narkotika dan


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Alam, A.S. 2010. Pengantar Kriminologi. Makassar:Pustaka Refleksi Ali, Z. 2007. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika

Arief, B.N. 2005. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT. Aditya Bakti

Ash-Shiddieqy, TMH. 2001. Koleksi Hadis-Hadis Hukum 9. Semarang: Pustaka Riszki Putra

As-Sa’di, S.A. 2006. Tafsir Al-Karim Ar-Rahman Fi Tafsir Kalam Al-Manan. Jakarta: Pustaka Sahifa

Atmasasmita, A. 1984. Bunga Rampai Kriminologi. Jakarta: Rajawali

Audah, A.Q. 2008. At-Tasyri Al-Jinaiy Al Islamiy Muqaranan Bil Qanunil Wadhi (Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Jilid V), (pen.) Ali Yafie, et al. Bogor: Kharisma Ilmu

Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. 2008. Petunjuk Teknis Advokasi Bidang Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Masyarakat. Jakarta: Badan Narkotika Nasional

Bonger, W.A. 1982. Pengantar tentang Kriminologi. Jakarta: PT. Pembangunan Bungin, B. 2001. Metodologi Penelitian Sosial, Format-Format Kuantitatif dan

Kualitatif. Surabaya: Airlangga University Press

Daradjat, Z. 1980. Faktor-faktor yang merupakan masalah pembimaan generasi muda. Kertas kerja pada Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Anak dilihat dari segi pembinaan generasi muda, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, tanggal 24-26 Januari 1980 di Jakarta.

Dirdjosisworo, S. 2006. Narkoba dan peradilannya di Indonesia. Jakarta: O.C. Kaligis & Associates

Elhols, J.M., dan Hasan Sadili. 1996. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia


(3)

Erdianto. 2010. Pokok-Pokok Hukum Pidana. Pekanbaru: Alfa Riau

Gunarsa, S. dan Yulia Gunarsa. 2001. Psikologi Praktis Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta: Gunung Mulia

Hadiman. 2005. Pengawasan serta Peran Aktif Orang Tua dan Aparat dalam Penanggulangan dan Penyalahgunaan Narkoba. Jakarta: Badan Kerjasama Sosial Usaha Pembinaan Warga Tama

Hari, S.H. 1980. Pokok-Pokok Kriminologi. Jakarta: Aksara Baru

Kaligis, O.C & Associates. 2002. Narkoba dan Peradilannya di Indonesia, Reformasi Hukum Pidana Melalui Perundangan dan Peradilan. Bandung: Alumni

Kartono, K. 2014. Patologi Sosial 2: Kenakalan Remaja. Jakarta: Rajawali Pers Makaro, T., Suhasril dan Zakky. 2005. Tindak Pidana Narkotika. Bogor: Ghalia

Indonesia

Mardani. 2008. Penyalahgunaan Narkoba dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Moeljanto. 1982. Kriminologi. Jakarta: PT. Bina Aksara

Muljono, W. 2012. Pengantar Teori Kriminologi. Yogyakarta: Pustaka Yustisia Muslich, A.W. 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika

Najih, M. 2008. Politik Hukum Pidana Pasca Reformasi: Implementasi Hukum Pidana Sebagai Instrumen dalam Mewujudkan Tujuan Negara. Malang: In-trans Publishing

Prakoso, D. 1997. Kejahatan-kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara. Jakarta: Bina Aksara

Rahman, I. 1996. Hudud dan Kewarisan. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Reksodiputra, M. 1995. Pembaharuan Hukum Pidana, dan Pusat Pelayanan Pengendalian Hukum. Jakarta: Lembaga Kriminologi UI

Sabiq, S. 1984. Fiqih Sunnah 9. Bandung: Al-Ma’arif

Sadjijono. 2006. Hukum Kepolisian Perspektif Kedudukan dan Hubungannya dalam Hukum Administrasi. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo


(4)

Santrock, J.W. 2002. Life Span Development. Jakarta: Erlangga

Sahetapy, J.E. 1992. Kriminologi Suatu Pengantar. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

Sitanggang. 1981. Pendidikan Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika. Jakarta: Karya Utama

Siswoyo, D. 2007. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press Sudarsono. 1992. Kenakalan Remaja. Jakarta: Rineke Cipta Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Islam. Bandung: Alumni

Sunarso, S. 2004. Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologis Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Sunarso, S. 2014. Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Sinar Grafika

Sujono, A.R. dan Bony Daniel. 2011. Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Jakarta: Sinar Grafika Supramono, G. 2004. Hukum Narkoba Indonesia. Jakarta: Djambatan

Supranto, J. 2003. Metode Penelitian Hukum dan Statistik. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Susanto. 2011. Kriminologi. Yogyakarta: Genta Publishing Syarifudin, A. 2003. Garis-Garis Besar Fiqih. Jakarta: Kencana

Tahir, A. 2010. Cyber Crime (Akar Masalah, Solusi, dan Penanggulangan). Yogyakarta: Suka Press

Yatim, D.I. 1989. Kepribadian, keluarga dan Narkotika: Tinjauan Sosial-Psikologis. Jakarta: Penerbit Arcan

Yulia, R. 2010, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Yogyakarta, Graha Ilmu

Yusuf, S. 2012. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya

Widjaya, A.W. 1985. Masalah kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika. Bandung: Amirco


(5)

Skripsi

Maulida, L. 2009. Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif Kasus Penyalahgunaan Narkotika Oleh Anak di Bawah Umur. Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Putra, J. 2013. Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika dan Upaya Rehabilitasinya (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Yogyakarta). Skripsi. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Internet

Anonim. 2015. “BNNP : DIY Peringkat 5 Pengguna Narkoba di Indonesia”.

http://www.slemankab.go.id/7383/bnnp-diy-peringkat-5-pengguna-narkoba-di-indonesia.slm. Diakses pada tanggal 12 November 2015 jam 22.10 WIB

Koentjoro, dalam http://koentjoro-psy.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/Kriminologi-2.pdf

Subartono. 2015. “Mahasiswa Pemula Pengguna Narkoba, Sleman dan Jogja

Incaran Bandar”.

http://www.harianjogja.com/read/20151017/1/5586/mahasiswa-pengguna-pemula-narkoba-sleman-jogja-incaran-bandar. Diakses pada tanggal 12 November 2015 jam 20.45. WIB

http://www.bnn.go.id/portal/_uploads/post/2010/11/23/2010-11-23__19-44-55.pdf

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar 1945 1945 Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28J ayat 1 dan ayat 2.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 13 Tahun 2010

Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Terhadap Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif


(6)

Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 20 Tahun 2014 Tentang Penegakan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Terhadap Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif