Analisis Yuridis Tndak Pidana Narkotika Yang dilakukan oleh Anak

(1)

1

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

(Studi Putusan No.23/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn.)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

DENI HAMDANI 110200390

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis ucapkan kepada ALLAH SWT, karena atas rahmat dan karuniaNya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Sholawat dan Salam kepada junjungan nabi kita Baginda Muhammad S.A.W. Skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Judul skripsi ini adalah “Analisis Yuridis Tndak Pidana Narkotika Yang dilakukan oleh Anak”. Penulisan skripsi ini, penulis menyadari terdapat kekurangan namun dengan lapang dada Penulis menerima kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari semua pihak yang menaruh perhatian terhadap skripsi ini.

Demi terwujudnya penyelesain dan penyusunan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-bearnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini juga Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syarifuddin Hasibuan, S.H., M.H., D.F.M, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. H. OK. Saidin, S.H.,M.hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr .M. Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu


(3)

ii

untuk memberika bimbingan, arahan dan perhatian serta memberikan masukan-masukan dalam penulisan skripsi ini.

7. Bapak Alwan, S.H.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbngan, arahan dan perhatian serta memberikan masukan-masukan dalam penulisan skripsi ini.

8. Bapak Malem Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dosen Penasihat Akademik yang telah banyak membantu dalam pengurusan perkuliahan selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Bapak Prof. Dr. Karsono Apt, selaku dosen yang telah banyak memotifasi penulis dalam menempuh perkuliahan di fakultas Hukum Universitas Sumatra.

10. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu serta mendidik dan membimbing Penulis selama mengikuti perkuliahan sampai Penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan baik, serta Bapak/Ibu Staf Administrasi ( Pegawai Tata Usaha) yang telah banyak membantu dan memberikan pelayanan terbaiknya sehingga Penulis dapat menyelesaikan urusan-urusan administrasi dengan baik.

11. Tersayang, teristimewa, surga duniaku, kedua orang tua Penulis yaitu Ayahanda Gunawan dan Ibunda tercinta Bariyem yang telah mendidik dan membesarkan penulis yang tidak pernah bosan dan mengeluh untuk memberikan dukungan dan doa hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

12. Tersayang, kakakku Desi Leli, Lisa dan Aziza, abangku Dedi Suprapto & Dena Marianto adikku Dewi Nurhayati yang telah membantu, memberikan dukungan dan doa agar dapat menyelesaikan skripsi ini

13. Teman dan Adinda tercinta Muhamad Krissandy Rizki yang telah banyak membantu melancarkan prosesnya penyelesaian skripsi ini, sehingga penulis dapat dengan lancar menyelesaikan skripsi ini.


(4)

iii

14. Sahabat tercinta Randa Morgan Tarigan, Arif Dermawan Purba,SH., dan Yogi Chaniago,SH., yang telah banyak memotivasi dan memberikan wawasan yang luas terhadap penulis selama menjani pendidikan di fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

15. Teman-teman tercinta Yudha Aditya Kirana, Adis, Ibnu, Eliezer Sianturi, Guslihan, Imron, Aris, Arman, Roni, Jefry, Imam, Herman, Marsel dan Teman- teman penulis stambuk 2011 dan kawan-kawan yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang bersama-sama menyelesaikan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera, terima kasih atas dukungan serta masukannya dalam penyelesaian skripsi ini.

16. Teman-teman Ikatan Mahasiswa Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara “IMADANA USU” Stambuk 2011 yang turut memebantu Penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Akhir kata, Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi bahan masukan untuk kita semua.

Medan, 25 Juni 2015 Penulis,

Deni Hamdani


(5)

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………...i

DAFTAR ISI………..ii

ABSTRAK………...v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………...1

B. Permasalahan………...5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………..5

D. Keaslian Penulisan……….6

E. Tinjauan Kepustakaan………6

F. Metode Penelitian………...13

G. Sistematika Penulisan……….16

BAB II FAKTOR – FAKTOR PENYEBAB TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK……….17

A. Teori-teori penyebab terjadinya kejahatan menurut teori kriminologi dan Deliquency Juvenile……… 17

B. Faktor-faktor penyebab tindak pidana yang narkotika yang dilakukan oleh anak…….52

C. Hasil penelitian di LP Anak tentang tindak pidana Narkotika yang dilakukan oleh Anak……….53

BAB III PENGATURAN SANKSI TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA………...55

A. Ketentuan sanksi pidana Tindak PidanaNarkotika dalam UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika……….55

B. Ketentuan sanksi bagi anak menurut UU No. 11Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak………61 C. Pengaturan sanksi Tindak Pidana Narkotika bagi anak menurut Undang-Undang


(6)

v

No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika JO Undang-Undang No. 11 Tahun2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak……….……….95

BAB IV PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP ANAK YANG SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNA NARKOTIKA STUDI PUTUSAN NO.23/Pid.SusAnak/2014/PN.Mdn………101

A. Posisi Kasus………..101

B. Analisa Kasus………105

BAB V PENUTUP………... 111

A. Kesimpulan………..111

B. Saran……….112

DAFTAR PUSTAKA………113 LAMPIRAN


(7)

vi

ABSTRAK Liza Erwina,SH.,M.H.

Alwan,SH,M.Hum.**

Deni Hamdani.***

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normative yaitu menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis yang dimuat di media massa yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak dan berupa pendapat para sarjana dan disertai dengan Penelitian kasus ke LP kelas II A Anak Tanjung Gusta dan wawancara langsung dengan petugas Lapas dan para terpidana.

Penerapan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana Narkotika tentulah berbeda dengan penerapan sanksi pidana terhadap orang dewasa yang melakukan tindak pidana narkotika, sehingga penting bagi hakim untuk mempertimbangkan dalam menjatuhkan putusannya terhadap Anak yang melakukan tindak pidana narkotika. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana akan sangat menentukan apakah putusannya dapat dianggap adil atau tidak dan apakah putusannya dapat dipertanggung jawabkan atau tidak, Maka, hakim harus dapat memformulasikan seluruh Undang-Undang yang terkait terhadap kasus tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak dengan cermat agar

putusannya dapat mencerminkan rasa keadilan bagi seluruh pihak dan dapat dipertanggung jawabkan. Skripsi ini berbicara mengenai Analisis Yuridis terhadap putusan hakim dalam penjatuhan

hukuman terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana Narkotita dalam perkembangan dewasa ini, tindak pidana Narkotika bukan saja dilakukan oleh orang dewasa, tetapi perbuatan tersebut juga dilakukan oleh anak. Tindakan tersebut merupakan suatu keadaan yang mengganggu ketertiban kehidupan masyarakat.Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, lingkungan sekitar maupun faktor sosial ekonomi. Upaya pemerintah dalam menanggulangi hal tersebut yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan dalam hal anak yang melakukannya, maka dikaitkan dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang sistem Peradilan Pidana Anak.

*Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

**

Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(8)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harhat dan martabat sebagai manusia seutuh nya yang juga sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan Negara pada masa depan.

Berkembangnya kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi semakin lama semakin bertambah pesat, maka hal ini akan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan tingkat kriminalitas apabila kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut menyimpan dalam penggunaan dan pelaksanaannya dalam kehidupan bangsa dan Negara. Salah satunya anak adalah sebagai objek dampak negatif dari perkembangan kemajuan di bidang ilmu dan teknologi tersebut.

Pembangunan Nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, sejahtera dan damai berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera tersebut perlu peningkatan secara terus menerus usaha-usaha di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan termasuk kesediaan narkotika sebai obat.1

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,


(9)

2

mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang.2

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan III” adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika membagi narkotika menjadi tiga golongan, sesuai dengan pasal 6 ayat 1:

Huruf a

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan I” adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Huruf b

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan II” adalah Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Huruf c

3

2 Undang-undang no 35 tahun 2009 tentang narkotika pasal 1 ayat 1 3

Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika

Narkotika pada awalnya hanya digunakan sebagai alat bagi upacara-upacara ritual keagamaan dan disamping itu juga dipergunakan untuk pengobatan. Dalam upaya peningkatan dibidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, narkotika cukup diperlukan ketersediaannya, namun apabila disalahgunakan akan menimbulkan dampak yang berbahaya bagi penggunaannya karena pengguna akan mengalami ketergantungan yang sangat merugika, sehinnga harus dilakukan pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama.


(10)

3

Saat ini perkembangan pengguna narkotika semakin meningkat dengan pesat dan tidak untuk tujuan pengobatan atau tujuan pengembangn ilmu pengetahuan, melainkan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang sangat besar, yaitu dengan melakukan perdagangan narkotika secara illegal ke berbagai Negara.

Hal tersebut menimbulkan keprihatinan bagi masyarakat internasional, mengingat dampak yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan narkotika yang sangat berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan Negara khususnya bagi keberlangsungan pertumbuhan dan perkembangan generasi muda.4

Dalam pemberitaan dimedia massa, seringkali terdengar bagaimana orang yang menggunakan narkotika ditemukan sudah merenggang nyawa dalam penggunaan dosis yang berlebihan/ over dosis. Terdengar pula bagaimana seorang anak tega menghabisi nyawa orang tua nya hanya karena tidak tidak diberi uang padahal sang orang tua mungkin tidak menyadari kalau si anak adalah pecandu narkotika. Sungguh sebuah pengaruh luar biasa dari bahaya pengguna narkotika yang perlu untuk ditanggulangi lebih komprehensif.5

Untuk mencegah dan memberantas penyalahguna dan peredaran gelap narkotika yang sangat merugika dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara, maka pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Undang-Undang tersebut mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana narkotika melaui ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati.6

Pembentukan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika merupakan upaya pemerintah untuk mengatasi masalah narkotika, namun terhadap anak yang melakukannya tindak pidana secara teoritis dan secara yuridis penggunaan sanksi pidana bagi anak tetap dimungkinkan, walaupun

4 Prof. Dr. Koesno Adi, SH.,MS., Diversi Tindak Pidana Narkotika Anak, Semarang, Setara Pres, 2014, hal 4 5

AR. Sujono, S.H.,M.H & Bony Daniel, S.H., Komentar & Pembahasan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Jakarta, Sinar Grafika, 2011, hal 2.


(11)

4

ditentukan persyaratan-persyaratan yang sangat ketat. Artinya, penjatuhannya harus sangat selektif dan pelaksanaannya harus disesuaikan dengan kondisi kejiwaaan si anak.

Pengguaan sanksi pidana bagi anak tidak dapat disamakan dengan penggunaan sanksi pidana bagi orang dewasa. Oleh karenanya juga sangat ironis dan tidak dapat dibenarkan, apabila ada anak yang menjalani pidana bersamaan dengan orang dewasa.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah memberikan landasan hukum yang kuat untuk membedakan perlakuan terhadap anak yang terlibat suatu tindak kejahatn. Landasan hukum yang kuat tersebut dilator belakangi oleh penjelasan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yang menyatakan sebagai berikut :

“ Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan dan bangsa di masa depan. Dalam berbagai hal upaya pembinaan dan perlindungan tersebut, dihadapkan pada berbagai permasalahan dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai penyimpangan perilaku di kalangan anak, bahkan lebih dari itu terdapat anak yang melakukan perbuatan melanggar hukum, tanpa mengenal status sosial dan ekonomi. Di samping itu terdapat pula anak yang karena satu dan lain hal tidak mempunyai kesempatan memperoleh perhatian, baik secara fisik, mental maupun sosial. Karena keadaan diri yang tidak memadai tersebut, maka baik sengaja maupun tidak sengaja. sering juga anak melakukan tindakan atau berperilaku yang dapat merugikan dirinya dan atau masyarakat”. 7

7 Ibid, hal 131.

Adapaun untuk ketentuan mengenai sanksi pidana yang diterapkan menurut batasan usia anak yang melakukan tindak pidana tersebut diatur dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak. Dalam penelitian ini penulis akan mencoba meneliti tentang sanksi pidana yang dapat diterapkan terhadap anak yang melakukan tindak pidana narkotika.


(12)

5

Berdasarkan alasan tersebut diatas, penulis berkeinginan untuk melakukan penelitian yang berjudul : ANALISIS YURIDIS PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (STUDI PUTUSAN NO. 23/PID.SUS-ANAK/2014/PN.MDN).

B. PERMASALAHAN

1. Bagaiman faktor – faktor penyebab tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak ?

2. Bagaimanakah pengaturan sanksi terhadap anak yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika?

3. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap anak sebagai pelaku penyalahgunaan narkotika Studi putusan No.23/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulis

1. Tujuan

a. Untuk mengetahui faktor penyebab anak melakukan tindak narkotika.

b. Untuk mengetahui sanksi hukuman yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak.

c. Untuk mengetahui pertanggung jawaban pidana tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak.

2. Manfaat

a. Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi bagi usaha pembaharuan hukum pidana khususnya memberikan sumbangan pemikiran untuk pengenmbangan pertanggung jawaban pidana penyalahgunaan narkotika golongan I bentuk bukam tanaman yang dilakukan oleh anak dibawah umur.

b. Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan manfaat bagi para pembuat kebijakan dan penegak hukum dalam kerangka penegan hukum pidana.


(13)

6

D. Keaslian Penulis

Berdasarkan penelusuran kepustakaan dalam lingkungan Universitas Sumatera Utara (USU), penelitian skripsi mengenai “Analisis Yuridis Tindak Pidana Narkotika Golongan I Bentuk Bukan Tanaman Oleh Anak Dibawah Umur” belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Objek kajian dalam penelitian ini merupakan suatu permasalahan yang belum mendapatkan kajian komprehensif dalam suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya, penelitian ini merupakan sesuatu yang baru dan asli sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka, sehingga dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka terhadap masukan dan kritik yang kontruktif terkait dengan data dan analisis dalam penelitian ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

(A)Pengertian Tentang Tindak Pidana menurut UU No. 35 tahun 2009 Tentang Narkotika

1. Pokok-Pokok Pengertian Tindak Pidana Narkotika

Untuk mempermudah pemahaman atas pengertian tindak pidana narkotika, maka terlebih dahulu akan dijelaskan perbedaan istilah hukuman dan pidana.

Dalam sistem hukum, bahwa hukuman atau pidana yang dijatuhkan adalah menyangkut tentang perbuatan-perbuatan apa yang diancam pidana, haruslah terlebih dahulu telah tercantum dalam undang-undang pidana, artinya jika tidak ada undang-undang-undang-undang yang mengatur, maka pidana tidak dapat dijatuhkan.

Di dalam Bab I Pasal 1 ayat (1) KUHP ada asas yang disebut “nullum delictum nulla poena sina pravea lege poenale”, yang pada intinya menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali sudah ada ketentuan undang-undang yang mengatur sebelumnya. Jadi disinilah letak perbedaan istilah


(14)

7

hukum dan pidana. Artinya adalah bahwa pidana harus berdasarkan ketentuan undang-undang, sedangkan hukuman lebih luas pengertiannya.8

1. Prof. Sudarto, SH., menyatakan tentang pidana :

Ada banyak definisi yang dikemukakan para ahli hokum mengenai pidana, hukum, dan hukum pidana, diantaranya :

Pidana ialah penderita yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu.9

2. Sedangkan tentang hukum, Simongkir dalam bukunya Pelajaran Hukum Indonesia menyebutkan: Merumuskan hukum sebagai peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman yang tertentu.10

3. Definisi hukum pidana yaitu sebagai berikut :

a. Hukum pidana adalah hukum sanksi. Definisi ini diberikan berdasarkan ciri yang melekat pada hukum pidana yang membedakan dengan lapangan hukum lain.

b. Hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat di hukum.

c. Hukum pidana adalah keseluruhan aturan mengenai (i) perbuatan yang dilarang yang disertai ancaman berupa pidana bagi pelanggarnya, (ii) dalam keadaan apa terhadap pelanggarnya dapat dijatuhi hukuman, dan (iii) bagaimana cara penerapan pidana terhadap pelakunya.11

Dari pendapat atau definisi diatas, bahwa hukum pidana dapat dilihat melalui pendekatan dua unsur, yaitu norma dan sanksi, selain itu, bahwa antara hukum dan pidana juga mempunyai persamaan,

8 Moh. Taufik Makarao,S.H.,M.H.,Tindak Pidana Narkotika, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2003, hal 36 9

Sudarto, Hukum Pidana, Jilid I A, 1975, hal 7

10

Simongkir, Pelajaran Hukum Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, cet XI, 1962, halaman 6.


(15)

8

keduanya berlatar belakang tata nilai (value) seperti ketentuan yang membolehkan dan larangan berbuat sesuatu dan seterusnya.

Dengan demikian, bahwa norma dan sanksi sama-sama merujuk kepada tata nilai, seperti norma dalam kehidupan kelompok manusia ada ketentuan yang harus diataati dalam pergaulan yang menjamin ketertiban hukum dalam masyarakat. Sedangkan sanksi mengandung arti suatu ancaman pidana agar norma yang dianggap suatu nilai dapat ditaati.

Jadi pidana itu berkaitan erat dengan hukum pidana. Dan hukum pidana merupakan suatu bagian dari tata hukum, karena sifatnya yang mengandung sanksi. Oleh karena itu, seorang yang dijatuhi pidana ialah orang yang bersalah melanggar suatu peraturan hukum pidana atau melakukan tindak kejahatan.

Guna mencari alasan pembenaran terhadap penjatuhan sanksi pidana atau hukuman kepada pelaku kejahatan, ada 3 (tiga) teori dalam hukum pidana., yaitu :

1. Teori Absolut/teori pembalasan 2. Teori Relatif/teori tujuan 3. Teori Gabungan

Jadi, Tindak Pidana Narkotika dapat diartikan dengan suatu pebuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum narkotika, dalam hal ini adalah Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan ketentuan-ketentuan lain yang termasuk dan atau tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut.12

2. Pengertian Narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,


(16)

9

mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang.13

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun bukan sintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran dan hilangnya rasa. Zat ini dapat mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. 14Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, ”Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini” .15

Narkotika golongan I adalah narkotika yang paling berbahaya, karena daya aditifnya sangat tinggi. Golongan ini tidak boleh digunakan untuk kepentingan apapun, kecuali untuk penelitian atau ilmu pengetahuan. Contohnya adalah ganja, heroin, kokain, morfin, opium, dan lain-lain. Narkotika golongan II adalah narkotika yang memiliki daya aditif kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah petidin, dan turunannya, benzetidin, betametadol, dan lain-lain. Sedangkan narkotika golongan III adalah narkotika yang memiliki daya aditif ringan, tetapi bermanfaat untuk pengbatan dan penelitian. Contohnya adalah kodein, dan turunannya.

Narkotika memiliki daya adikasi (ketagihan) yang sangat berat. Narkotika juga memiliki daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual (kebiasaan) yang sangat tinggi. Ketiga sifat narkotika ini yang menyebabkan pemakai narkotika tidak dapat lepas dari cengkeramannya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, jenis jenis narkotika dibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III.

16

13 Undang-undang no 35 tahun 2009 tentang narkotika pasal 1 ayat 1. 14

Ibid

15

Pasal 1 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.


(17)

10

(B) Batasan Usia Anak Menurut Undang-Undang

1. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak :

Dalam Ketentuan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana dikenal terminology Anak yang berhadapan dengan hukum dalah Anak yang berkonflik dengan hukum, Anak yang menjadi korban tindak pidana dan anak yang menjadi sanksi tindak pidana. Anak yang berkonflik dengan hukum atau dalam UU SPPA dipergunakan terminology anak adalah anak yang telah berusia 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berusia 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.17

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan :

Dalam pasal 47 ayat (1) dan pasal 50 ayat (1) undang-undang ini menyebutkan bahwa batasan untuk disebut anak adalah belum mencapai 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

Berdasarkan ketentuan pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka anak adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin.

4. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana :

KUHP tidak secara eksplisit menyebutkan tentang kategori anak, akan tetapi dapat dijumpai dalam pasal 45 dan dan 72 yang memakai batasan umur 16 tahun dan pasal 283 yang member batasan 17 tahun.

5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana :

Undang-Undang ini tak secara eksplisit mengatur mengenai batas usia anak. Akan tetapi bila dilihat dalam pasal 171 KUHAP menyebutkan bahwa batasan umur anak di siding pengadilan yang boleh diperiksa tanpa sumpah dipergunakan batasan umur dibawah 15 (lima belas) tahun.

17

Dr. Lilik Mulyadi, S.H.,M.H., Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia, Bandung, PT.Alumni, 2014, hal 4


(18)

11

Selanjutnya dalam pasal 153 menyebutkan bahwa dalam hal-hal tertentu hakim dapat menentukan anak yang belum mencapi umur 17 tahun tak diperkenankan mengahdiri sidang.

6. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia :

Dalam pasal 1 sub 5 dinyatakan bahwa anak adalah tiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya

7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan :

Dalam Pasal 1 angka 8 huruf a, b dan c Undang-Undang ini menyebutkan bahwa anak didik pemasyarakatan baik anak pidana, anak Negara dan anak sipil untuk dapat dididik di Lapas Anak adalah paling lama sampai berusia 18 (delapan belas) tahun dan untuk anak sipil guna dapat ditempatkan di Lapas Anak maka perpanjangan penempatannyahanya boleh paling lama sampai berumur (delapan belas) tahun.18

8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun2002 tentang Perlindungan Anak jo Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak :

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menentukan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

9. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan :

Pada ketentuan pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan bahwa Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.

10. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Jalan Raya dan Angkutan Jalan

Raya :

Dalam ketentuan pasal 77 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 2009 ditegaskan bahwa, “setiap orang

18

Angger Sigit Pramukti,S.H. & Fuady Primaharsya,S.H., Sistem Peradilan Pidana Anak, Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2015,hal 8


(19)

12

yang mengemudikan kendaraan bermotor dijalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudikannya” kemudian pasal 81 ayat (1) huruf a ditentukan,”syarat usia untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi adalah usia 17 tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi B dan Surat Izin Mengemudi C.

11. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi :

Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 disebutkan Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun.

12. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang :

Ketentuan Pasal 1 angka 5 UU Nomor 21 tahun 2007 disebutkan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pada UU ini tidak ditentukan tentang batasan minimal untuk menentukan seorang anak, tidak seperti UU Nomor 11 Tahun 2012 yang menentukan batas minimalnya adalah 12 (dua belas) tahun sebagaimana ketentuan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RepublikIndonesia Nomor 1/PUU-VIII/2010 tanggal 24 Februari 2012.

13. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia :

Ketentuan Pasal 4 huruf h UU Nomor 12 Tahun 2006 menentukan bahwa, “Anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga Negara asing yang diakui oleh seorang ayah warga Negara Indonesia sebagai Anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum Anak tersebut berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin”.

14. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris :

Ketentuan Pasal 39 ayat (1) dan (2) UU Nomor 30 Tahun 2004 jo UU Nomor 2 Tahun 2014 menentukan bahwa seseorang yang dapat melakukan perbuatan hukum baik sebagai penghadap maupun sebagai saksi paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah.


(20)

13

15. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak :

Menurut Ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 1979 Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

16. Kompilasi Hukum Islam :

Pasal 98 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa,”batas umur anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan”.19

Berdasarkan uraian diatas, dapat disiimpulkan bahwa menurut

perundang-undangan Negara Indonesia, anak adalah manusia yang belum mencapai usia 18 tahun

termasuk anak yang msih dalam kandungan dan belum menikah. Oleh karena itu, anak

tidak dapat diperkenakan pertanggungjawaban pidana secara penuh, karena seorang anak

masih mempunyai keterbatasan kemampuan berfikir dan berada dalam pengawasan orang

tua atau walinya.

20

F. Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.21 Sedangkan penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.22 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya.23

19 Dr. Lilik Mulyadi, S.H.,M.H., Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia, Op.Cit, hal 14 20 Dr. Marlina, S.H., M.Hum., Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Tahun 2009, hlm. 36. 21

Soerjono Soekanto., Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106.

22 Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tijnjauan Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo

Persada, 2001), hal. 1.

23 Bambang Waluyo., Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 6.

Dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha


(21)

14

semaksimal mungkin untuk mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan atau mencari data yang terdapat dalam praktik, metode-metode pengumpulan bahan ini anatara lain:

1.

Jenis Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto menyatakan 2 (dua) jenis penelitian hukum adalah

a. Penelitian hukum normatif (normative legal research) yaitu penelitian atas pasal pasal

aturan hukum untuk menentukan asas-asas hukum,

mengetahuisinkronisasi vertical,

horizontal, mengetahui aspek sejarah hukum dan mengetahui perbandingan antara sistem

hukum

b.Penelitian hukum empiris (empirical legal research) yaitu penelitianhukum dilapangan

yang ingin mengetahui efektifitas

aturan hukum, ketaatan masyarakat akan hukum,

persepsi masyarakat akan hukum dan

ingin mengetahui faktor-faktor non-hukum yang

mempengaruhi pembuatan dan penerapan hukum.

24

a.

Penelitian terhadap asas-asas hukum.

b.

Penelitian terhadap sistematika hukum.

c.

Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal.

d.

Penelitian perbandingan hukum.

e.

Penelitian sejarah hukum.

Soetandyo Wignyosoebroto menyebutkan, penelitian hukum normatif dengan istilah

“Penelitian Hukum Doktrinal” (Doctrinal Legal Research), sementara penelitian hukum empiris

disebutnya dengan istilah “Penelitian Hukum Non Doktrinal” (Non Doctrinal Research).

Penelitian hukum normatif meliputi 5 (lima) jenis penelitian yaitu:

25

Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian hukum normative (normative legal

24

Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif, Penerbit Rajawali, Jakarta, hlm. 40.

25

Soetandyo Soekanto, 1989, Penelitian Hukum Sebuah Tipologi Masyarakat Indonesia, Penerbit Unair, Surabaya. Selanjutnya disebut Soetandyo Wignyosoebroto I, hlm.. 98.


(22)

15

research) yaitu menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan,

keputusan pengadilan, teori hukum, buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis yang

dimuat di media massa yang berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan

berupa pendapat para sarjana.

2.

Data dan Sumber Data

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari:

a.

Bahan hukum primer, yaitu KUHP,Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak.

b.

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan objek telaahan penelitian ini;26

c.

Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, majalah dan jurnal ilmiah

Surat kabar dan majalah mingguan juga menjadi tambahan bahan bagi penulisan skripsi ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.

3.

Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi studi kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan berbagai literatur yang relevan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

4.

Analisis Data

Data sekunder yang diperoleh kemudian dianalisis. Data yang dianalisis secara kualitatif akan

26

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), hal. 14-15.


(23)

16

dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dinyatakan secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.

G.Sistematika Penulisan

BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang. Pokok Permasahan, Tujuan dan Manfaat Penulis, Keaslian Penulis, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.

BAB II : Bab ini akan membahas tentang faktor penyebab anak menyalahgunakan Narkotika, yang isinya memuat antara lain tentang faktor penyebab terdakwa melakukan tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dan dampak bagi anak dalam menyalahgunakan Narkotika.

BAB III : Bab ini akan membahas tentang ketentuan pidana yang berkaitan dengan tindak pidanaPenyalahgunaan Narkotika yang dilakukan Oleh Anak , yang isinya antara lain memuat tentang penyalahgunaan Narkotika Golongan I Bentuk Bukan Tanaman dalam prespektif Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009, perbuatan tindak pidana dalam prespektif pasal 55 KUHP dan sitem peladilan anak dalam prespektif Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012

BAB IV : Bab ini akan membahas tentang pertanggung jawaban pidana penyalahgunaan Narkotika oleh anak dibawah umur dalam kasus perkara No.23/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn, yang memuat tentang deskripsi dan analisis kasus.

BAB V : Bab ini merupakan Bab terakhir, yaitu sebagai bab kesimpulan dan saran yang berisi kesimpulan dan saran mengenai permasalahan yang dibahas.


(24)

17

BAB II

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA YANG

DILAKUKAN OLEH ANAK

A.Teori-teori penyebab terjadinya kejahatan Menurut teori kriminologi dan Deliquency

Juvenile

1. Menurut teori kriminologi

Kejahatan merupakan suatu istilah yang tidak asing lagi dalam kehidupan bermasyarakat. Pada dasarnya istilah kejahatan ini diberikan kepada suatu jenisperbuatan atau tingkah laku manusia tertentu yang dapat dinilai sebagai perbuatan jahat.

Oleh karena itu perbuatan jahat bersumber dari alam nilai, tentu penafsiran yang diberikan kepada perbuatan atau tingkah laku tersebut sangat relative sekali.

Kerelatifannya terletak pada penilaian yang diberikan oleh masyarakat dimana perbuatan tersebut terwujud.27

Permasalahan kejahatan bukanlah semata-mata permasalahan abad teknologi modern dewasa ini. Meskipun manusia sudah demikian pesat maju dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan telah dilakukan banyak penerobosan dan penemuan baru dalam pelbagai bidang ilmu dan teknologi, terutama dalam bidang ilmu eksakta, permasalahan kejahatan masih tetap merupakan “duri dalam daging dan pasir dalam mata”.28

27

Chainur Arrasyid ,Suatu pemikiran tentang Psikologi Kriminal,, 1999, hal. 25


(25)

18

Masyarakat manusia cukup banyak, berkelompok dan Bergolong-golongan serta mempunyaivariasi kehidupan yang berbeda-beda. Variasi kehidupan masyarakat manusia tersebut terlihat pada cirri-ciri khas kebudayaan manusia tertentu yang bertebar didalam ini.

Ciri-ciri khas kebudayaan masyarakat manusia tertentu itu menimbulkan sikap penilaian yang berbeda-beda terhadap setiap kebudayaan umat manusia. Demikian juga terhadap tingkah laku atau perbuatanyang merupakan satu aspek dari kebudayaan itu.29

Kerugian masyarakat karena kejahatan adalah besar sekali. Kita berhadapan dengan suatu gejala yang luas dan mendalam, yang bersarang sebagai penyakit dalam tubuh masyarakat, sehingga sering membahayakan hidupnya, sedikitnya sangat merugikannya. Kejahatan yang diperbuat saban tahunnya tak terhitung banyaknya dan jutaan penjahat dihukum. Dipandang dari sudut perekonomian, kerugian masyarakat sangat besar.30

Sedangkan kebudayaan yang hidup dan dijunjung oleh masyarakat tersebut mempunyai nilai yang bervariasi pula. Sebab itulah dalam rangka memberikan pengertian terhadap istilah kejahatan sangat tergantung kepada penilaian dan jenis reaksi yang diberikan oleh masyarakat dimana terjadinya perbuatan itu.

Perbuatan atau tingkah laku yang dinilai serta mendapat reaksi yang bersifat tidak disukai oleh masyarakat itu, merupakan suatu tindakan yang tidak dibenarkan untuk muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

31

Memang kejahatan adalah erat dengan tingkat kesusilaan penduduk tapi sebaliknya juga member pengaruh jelek kepada penduduk biasa. Jika ditambah dengan kerugian dan kesusahan, yang diderita oleh

29

Chainur Arrasyid, , Suatu pemikiran tentang Psikologi Kriminal, Op. cit 1999, hal. 25

30

Prof. Mr. W.A.Bonger, pengantar tentang kriminologi, hal. 25


(26)

19

para korban kejahatan, juga ancaman terhadap masyarakat yang selalu dating dari kejahatan, maka semuanya ini merupakan jumlah yang tak terhitung besarnya.32

Kejahatan sebagai gejala social mempunyai ciri khas yang dapat dirasakan dan diketahui masyarakat tertentu. Masalahnya terletak pada penilaian terhadap perbuatan yang telah dilakukan yang dihadapkan kepada kaedah-kaedah yang berlaku didalam masyarakat itu.

Perbuatan-perbuatan mienyimpang tersebut dalam kehidupan kemasyarakatan meliputi pen yimpangan dari kaedah-kaedah yang tertulis maupun tidak tertulis yang berupa kebiasaan-kebiasaan serta adat yang berlaku dalam masyarakat tertentu. Begitu pula apakah kaedah-kaedah itu berasal dari atas maupun dari bawah yakni kaedah-kaedah yang muncul dari masyarakat yang telah dipatuhi.

Perbuatan- perbuatan yang menyimpang itu tidak dikehendaki, oleh karena itu tidak boleh dibiarkan. Meskipun demikian perbuatan-perbuatan tersebut tidak dapat terlepas dari kehidupan manusia, karena hal tersebut sudah merupakan salah satu jenis gejala social dari kehidupan manusia. Gejala social jenis ini sering disebutkan oleh masyarakat dengan kejahatan.

33

Berdasarkan uraian dan pendapat kedua tokoh tersebut, bahwa masyarakat tidak menghendaki adanya perbuatan tersebut, dan seandainya terjadi harus dikenakan sanksi.

Sehubungan dengan pengertian kejahatan, kami dengan tidak mengabaikan yang lain hanya mengemukakan dua buah pengertian yang telah dikemukakan secara definitive oleh :

Paul Mudikdo Muliono, yang berbunyi : kejahatan adalah perbuatan manusia yang merupakan pelanggaran norma, yang dirasa merugikan, menjengkelkan, sehingga tidak boleh dibiarkan.

W. A. Bonger menyatakan bahwa kejahatan adalah merupakan perbuatan yang immoral dan a-sosial yang tidak dikehendaki oleh masyarakat dan harus dihukum oleh masyarakat.

34

32

Prof. Mr. W.A.Bonger, pengantar tentang kriminologi, Op. cit hal. 25


(27)

20

Adapun teori-teori sebab terjadinya kejahatan, W.A. Bonger, E.H. Sutherland dan Paul Moedikno

Moeliono mengemukakan didalam bukunya pengantar “tentang kriminologi” (terjemahan) W.A. Bonger membagi aliran-aliran tentang sebab-sebab kejahatan, sebagai berikut :

a. Mashab sosiologi menyelenggarakan Statistik Kriminal. b. Mashab antropologi-mashab Italia.

c. Mashap lingkungan – mashab Prancis d. Mashab bio-sosiologi

e. Mashab Agama.

1. Mashab sosiologi menyelenggarakan Statistik Kriminal.

Mashab Sosiologi yang menyelenggarakan Statistik Kriminal ini muncul sekitar tahun 1830M yakni dengan ditandainya pengertian sosiologi. Petumbuhan ini akibat perkembangan ilmu sosial disatu pihak, juga karena diadakannya Statistik Kriminil dilain pihak.

Statistikadalah pernyataan-pernyataan kejadian yang digambarkan dengan angka-angka, juga mendorong dengan keras majunya ilmu pengetahuan sosial.35

Dengan jalan ini, permulaan mempergunakan statistic sudah ada, tapi juga hanya sampai demikian. Pertama dalam statistic ini tidak terdapat dasar-dasar teoritis, karena yang mempergunakannya melakukannya umumnya hanya berdasarkan pengalaman. Kedua bahan-bahan yang dicatat belum dapat dipercaya, karena hanya berdasarkan pemikiran saja, tidak berdasarkan perhitungan Negara pada waktu itu belum mempergunakan statistik. Dalam kedua hal ini akan terjadi perubahan yang hebat.36

Pengguna Statistik sudah banyak dipakai oleh ahli-ahli sejak abad ke 17 M. Tetapi Ad. Quetelet (1796-1874) seorang bangsa Belgi ilmu pasti dan Sosiologi menciptakan dasar-dasar statistic yang praktis

34

Ibid, hal. 27

35

Ibid, hal 37


(28)

21

dan menjadi organ istoris dari kongres-kongres statistic internasional. Belia adalah ahli statistik criminal yang pertama di Prancis yang pada tahun 1826 telah mulai mengadakan statistic kriminil.

Juga A.M.Guerry (1802-1866) bangsa Prancis mempergunakan nama “Statistique”. Didalam salah satu bukunya beliau mengumpulkan bahan-bahan mengenai kelamin dan umur berhubungan dengan kejahatan, begitu juga adanya hubungan atau korelasi antara tempat dengan kejahatan di Prancis diterangkan dalam statistic, misalnya di provinsi yang terkaya terdapat banyak kejahatan terhadap hak milik. Begitu juga dibicarakannya tentang kekayaan yang tidak merata dengan kemiskinan.

Kembali kepada Ad. Quetelet beliau mempergunakan statistic kriminil sebagai alat dalam sosiologi kriminil. Dan membuktikanuntuk pertama kalinya bahwa kejahatan adalah suatu hal yang asalnya dari keadaan masyarakat.

Adanya unsure dinamis dalam kejahatan oleh Ad. Quetelet tidak di ingkari, bahkan diakui dengan tegas. Memang kita akui bahwa penyelidikan yang berjalan dalam beberapa tahun saja dan dimana tidak ada perubahan besar dilapangan social, maka terlihatlah adanya unsur yang tetap. Tetapi jika kita bandingkan dengan beberapa Negara dalam benerapa tahun, maka ternyata adanya perubahan dalam kejahatan, dengan tidak melupakan bahwa sebagian besar masih dalam keadaan tetap.

Antara lain tokohnya adalah L.M. Christone (1791-1848) yang mengatakan bahwa di Inggris (1814-1848) ada hubungannya antara industry dengan pertambahan kemiskinan yang mengakibatkan naiknya kejahatan.

A. Von Oettingen (1827-1905) yang beraliran keagamaan menyatakan bahwa dalam waktu-waktu krisis, Pencurian dan lain-lain akan meningkat, terutama dilakukan oleh wanita dan anak-anak, sedangkan kejahatan penyerangan akan bertambah pada keadaan makmur.37


(29)

22

2. Mashab antropologi-mashab Italia.

Mashab Anthropologi –Italia disekitar permulaan tahun 30 dan 70 abad ke 19. Antara lain pelopor mashab ini adalah ahli pherenolog Gali dan Spurzheim walaupun pelajarannya tidak berdasarkan ilmu pengetahuan.38 Olehnya juga diadakan penyelidikan mengenai tengkorak-tengkorak dari penjahat, yang memeberikan kesimpulan bahwa kadang-kadang kelainan yang ditemukan tersebut mempunyai sifat pathologis.39

Pelajut teori ini antara lain H. Lauvergne (1797-1859) disamping menguraikan pendapatnya yang bersifat phrenology yang kemudian tidak benar, tetapi terdapat juga hasil penelitian yang penting mengenai kewajiban dan masyarakat.40

Arti dari pada komponen-komponen pathologi berhubungan erat dengan kejahatan. Terbukti dari penyelidikan Pinel dan esquirol bahwa sakit gila dalam beberapa hal, dapat menyebabkan kejahatan,41. Kita sudah mengetahui bahwa Pinel dan Esquirol juga membuktikan bahwa sakit gila dalam beberapa hal dapat menyebabkan kejahatan. Ilmu kedokteran pada waktu itu cenderung sekali untuk memandang seorang penjahat sebagai penderita penyakit.42

C.G. Carus (1789-1869) yang menyatakan adanya cirri-ciri pada tengkorak orang-orang jahat sebagai tanda-tanda yang menggambarkan bahwa jiwanya kurang sehat. P. Brosca (1824-1880) mengatakan berdasarkan penyelidikan tentang tengkorak dari si penjahat, ternyata keadaannya yang tidak biasa mempunyai sifat pathologis. Pinel dan Esquirol menyatakan bahwa sakit gila dapat menyebabkan kejahatan.43

38 Ibid, hal 38

39 Edi Warman, Selayang pandang tentang kriminologi, Medan, USU PRESS, 1994, hal 30 40 Chainur Arrasyid, Suatu pemikiran tentang Psikologi Kriminal, Op.cit 1999, hal 38 41

Edi Warman, Selayang pandang tentang kriminologi, Op.cit 1994, hal 30

42

Prof. Mr. W.A.Bonger, pengantar tentang kriminologi, Op. cit hal 74


(30)

23

Sealiran dengan ajaran dari Esquirol tentang monomani, ialah pekerjaan dari J.C. Prischard (1786-1848) seorang Inggris ahli anthropologi dan psychiatri pengarang dari “Treatise on insanity and other disorders affecting the mind’ (1835). Diagnosa gejala penyakit ‘moral insanity’ (tidak dapat merasakan baik-buruknya suatu perbuatan menurut moral, tanpa ada gangguan jiwa lainnya), dilakukan pertama-tama olehnya.44

P. Lucas (1805-1885) menyatakan sifat jahat pada hakekatnya sudah dimulai dari kelahiran dan didapat dari keturunan. Keadaan sekitarnya juga mempunyai pengaruh tetapi kadang-kadang saja. A.B. Morel (1809-1873) mengajarkan teori degenerasi yang menerangkan bahwa manusia biasa karena pengaruh-pengaruh keadaan-keadaan yang tidak baik dalam beberapa keturunan merosot sifatnya. Kemerosotan sifat-sifat dapat menyebabkan kejahatan.45

H. Maudsley (1835-1818) dalam bukunya : Physiology and pathology of mind (1867) dan terutama dalam bukunya : Crime and Insanity (1872) ; bahwa sebagian dari penjahat adalah sejenis umat manusia yang merosot sifatnya. Ia menyatakan : Antara kejahatan dan kegilaan terdapat suatu daerah yang netral ; pada suatu pihak, kita lihat sedikit hal kegilaan dan banyak kebusukan ; pada pihak yang bertentangan tampak bahwa kebusukan adalah kurang dan kegilaan berkuasa.46

Yang paling terkemuka dari mashab Italia ialah seorang dokter C. Lombroso (1835-1909), mula-mula guru besar dalam ilmu kedokteran kehakiman, kemudian juga dalam ilmu penyakit jiwa di

E. Dally (1833-1887) dalam penentangannya yang sangat baik terhadap ajaran mengenai kemauan bebas, ‘Considerations surles criminels et sur les alienes criminels au point de vue de la responsabilite’ (1863), menunjuk kepada kesejenisan, dalam kasus-kasus tertentu daripada sakit gila dan kejahatan.’ Le crime et la folie sont deux forms de la decheance organique-cerebromentale’ 1a.b.

44 Prof. Mr. W.A.Bonger, pengantar tentang kriminologi, Op. cit, hal 74 45

Chainur Arrasyid, Suatu pemikiran tentang Psikologi Kriminal, Op.cit ,1999, hal 39


(31)

24

Turijin.47Lombroso berpendapat bahwa manusia yang pertama adalah penjahat sejak lahirnya.48

Suatu contoh : Pembunuhan anak (anak yang baru lahir ) banyak terjadi dikalangan orang yang masih sederhana peradabannya (yang hidup masih mengembara) dan oleh mereka sendiri tidak dipandang sebagai perbuatan jahat. Keterangan mengapa mereka berbuat demikian ialah berhubungan dengan sulitnya penghidupan, yang memaksa mereka berbuat demikian, jika tidak berbuat demikian seluruh kelompok akan musnah.

Namun, pada suatu masa tertentu pandangan terhadap orang-orang buas, jahat bukanlah suatu pengecualian, tetapi suatu aturan hukum, karena itu pula tak ada yang memandangnya sebagai kejahatan dan perbuatab demikian disamakan saja dengan tindakan-tindakan yang sama sekali tak dapat dicela.

Lombroso membuktikan rumusan ini tanpa kritikan dan sering dicari dari sumber yang paling buruk, bahan-bahan untuk membuktikan, bahwa orang lelaki yang peradabannya penjahat dari sejak lahirnya (pencuri, suka memperkosa dan membunuh) dan kalau perempuan adalah pelacur.

49

Ini semua bukan karena kebengisan atau kurang cinta terhadap anaknya. Steimetz membuktika, bahwa bangsa yang sederhana peradabannya memelihara anak-anaknya yang dapat hidup langsung dengan segala kecintaan dan perhatian. Kejadian yang sama ialah membunuh orang yang sudah tua atau bunuh diri dalam suku bangsa yang mengembara.50

Kesimpulan dari penyelidikan ialah : bahwa para penjahat dipandang dari sudut anthropologi, mempunyai tanda-tanda tertentu umpamanya pencuri isi tengkoraknya kurang dari pada yang lain, terdapat kelainan dari pada tengkoraknya. Juga dalam otaknya terdapat keganjilan yang seakan-akan memperingatkan pada otak hewan, biarpun tidak dapat ditunjukan adanya kelainan-kelainan penjahat yang khusus.

Berdasarkan pandangan ini, Lombroso mengadakan penyelidikan secara anthropologi mengenai penjahat-penjahat yang terdapat dalam rumah penjara dan terutama mengenai tengkoraknya.

47 Prof. Mr. W.A.Bonger, pengantar tentang kriminologi, Op. cit hal 74-75. 48

Chainur Arrasyid, Suatu pemikiran tentang Psikologi Kriminal, Op.cit ,1999, hal 39

49

Edi Warman, Selayang pandang tentang kriminologi, Op.cit ,1994, hal 31


(32)

25

Roman mukanya juga lain dari pada orang biasa; tulang rahang lebar, muka menceng, tulang dahi melekung kebelakang dan lain-lain, terdapat padanya. Juga kurang perasaannya, suka akan tatouage (seperti halnya pada orang yang masih sederhana peradabannya).

Kesimpulan ialah : penjahat umumnya dipandang dari sudut anthropologi, merupakan suatu jenis manusia tersendiri, seperti halnya dengan bangsa Negro yang dilahirkan sedemikian rupa tidak mempunyai predisposisi untuk kejahatan, tetapi suatu predistinasi, dan tidak ada pengaruh lingkungan yang dapat merobah bentuk rupa. Sifat sejak lahir ini juga dapat dikenal dari adanya stigma-stigma lahir, jadi terdapat suatu type Nego yang dapat dikenal, demikian juga halnya dengan penjahat.51

Untuk menerangkan bagaimana caranya terjadi makhluk yang abnormal (penjahat dari kelahiran) Lombroso memajukan hypotesa bahwa mausia yang masih rendah peradabannya sifatnya tidak susila, jadi seorang penjahat adalah suatu kejahatan yang atavistis, artinya bahwa ia dengan sekonyong-konyong mendapat sifat-sifat yang dekat, tetapi didalamnya kembali dari yang lebih dahulu (yang dinamakan kemunduran dari keturunan).

Di samping itu beliau berpendapat bahwa para penjahat dipandang dari sudut anthropologi mempunyai tanda-tanda tertentu. Juga dikatakannya bahwa penjahat pada umunya dipandang dari sudut anthropologi merupakan suatu macam manusia tersendiri(genus homo deliquens).

52

51

Edi Warman, Selayang pandang tentang kriminologi, Op.cit ,1994, hal 32

52 Chainur Arrasyid, Suatu pemikiran tentang Psikologi Kriminal, Op.cit ,1999, hal 39-40

Jelgersma dalam bukunya : De geboren misdadiger, mengupas hyphotese tentang timbulnya kejahatan tersebut. Sesudah melihat bahwa beberapa hasil pengamatan sesuai dengan sifat atavistis, ia menyatakan lebih lanjut : bahwa pada umumnya pendapat Lombroso menurut pendapat Jelgersma salah. Teori atavisme umumnya tidak berlaku untuk kebanyakan tanda-tanda degenerasi, semua ini merupakan penyimpangan yang tidak terdapat pada suku bangsa yang masih sederhana peradabannya.


(33)

26

Selanjutnya oleh Ottolenghi menyatakan bahwa pendapat ini tidak berlaku untuk degenerasi yang funsional. Penyimpangan pada panca indra lainnya tidak merupakan sifat-sifat yang dapat dinamakan atavistis malah sebaliknya mengikatkan kita pada kekuatan perobahan-perobahan yang pathologis53

a. Setiap kejahatan adalah resultante dari keadaan individu, disatu pihak dan social.

Winkler dalam hal ini lebih berhati-hati dari pada Lombroso dalam mengeluarkan pendapatnya. Beliau tidak menyebutkan type penjahat, tetapi menyatakan berhubungan dengan bahan-bahan tersebut diatas, maka dengan insyaf hakim akan memilih orang-orang yang dahinya sempit dan tulang dagunya lebar.

Enrico Ferri seorang murid dari Lombroso mengadakan beberapa perbaikan demi kelanjutan dari ajran-ajaran gurunya tersebut.

Hal ini disebabkan Ferri menyadari bahwa pelajaran-pelajaran Lombroso dalam bentuk aslinya tidak dapat dipertahankan. Karena itu tanpa mengobah intinya, Ferri mengobah bentuknya dengan mengatakan faktor lingkungan ada juga mempengaruhinya.

Di dalam bukunya Sosiologi Criminelle ia memberikan rumusan tentang timbulnya kejahatan :

b. Keadaan social member bentuk pada kejahatan, tetapi berasal dari bakatnya yang biologis dalam arti sosial (organis dan psikhis).

Jadi berarti unsur individu tetap paling penting, walaupun ada faktor lain yang juga turut mempengaruhinya.

Demikianlah pendapat-pendapat Lombroso yang senantiasa berobah-obah karena mendapat kritik sehat dan kemudian diselamatkan oleh Ferri.54

53

Edi Warman, Selayang pandang tentang kriminologi, Op.cit, 1994, hal 33


(34)

27

3. Mashap lingkungan – mashab Prancis

Mashab lingkungan Prancis, terdiri dari mashab Prancis Khusus; mashab berdasarkan perekonomian lingkungan; hasil aetiologi dalam sosiologi kriminil; dan keadaan sekelilingnya.

Mashab Prancis khusus adalah mashab yang dating dari diri kalangan para dokter Prancis yang mengajuka tantangan terhadap mashab anthropologi Lombroso.

Para dokter Prancis ini menganut garis-garis yang diberikan oleh J. Lamarck, E. Geoffrey St Hileire, L. Pasteur yang menekan pada arti lingkungan sebagai sumber dari bermacam-macam dan sebab dari segala penyakit.

Golongan ini tidak menggabungkan pada golongan ahli sosiologi statistik yang pada dasarnya termasuk golongan ahli teori keadaan sekeliling atau teori lingkungan dengan lingkaran pelajaran yang mengajarkan bahwa kejahatan berasal dari kelahiran.

Mereka adalah dokter yang bukan ahli sosiologi, biarpun mereka mempunyai penglihatan yang tajam; tentang keadaan masyarakat.55

55 Ibid, hal 41

Ketika Lombroso dengan penganutnya memajukan ajarannya tentang kejahatan yang bercorak antropologi pada tahun 70-an dari abad ke 19, sejak permulaan dunia kedokteran, Perancis sudah menentangnya.

Tokoh yang termuka ialah A. Lacassagne (1848-1924); sesudah menolak hypotesa atavisme, ia merumuskan ajarannya mashab lingkungan sebagai berikut: “ Yang penting adalah keadaan social sekeliling kita. Keadaan sekeliling kita adalah suatu pembenihan untuk kejahatan. Kuman mempunyai arti apabila menemukan pembenihannya kemudian baru dapat ia menjadi jahat.


(35)

28

Penjahat dengan cirri-ciri anthropo-metrik dan cirri-cirinya yang lain itu hanyalah mempunyai arti yang sangat terbatas. Semua cirri-ciri inipun sebenarnya dapat kita jumpai pada orang yang tak ada cacat celanya.

G. Trade (1843-1904) dalam bukunya: Lacriminalite compare (1886) dengan keras menentang mashab Italia. Menurut pendapatnya kejahatan bukan suatu gejala yang anthropologis tetapi sosiologis yang seperti kejadian-kejadian masyarakat lainnya, dikuasai oleh peniru: “Semua perbuatan penting dalam kehidupan social dilakukan dibawah pengaruh peniruan”, demikian dinyatakan dalam bukunya: Philosophi panele.

Harus diakui bahwa peniruan dalam masyarakat memang mempunyai pengaruh yang besar sekali. Biarpun setiap kehidupan manusia bersifat khas, namun dapat disetujui bahwa banyak orang dalam kebiasaan hidupnya dan pendapatnya sangat mengikuti keadaan lingkungannya, dimana mereka hidup. Dengan jelas hal ini terlihat dari adanya kelangsungan yang tetap dari masyarakat dan perobahan-perobahan yang lambat.56 Peranan peniruan dalam masyarakat, biarpun memang terjadi, tetapi ole Trade sangat dilebih-lebihkan. Siapa yang menyamakan orang-orang gelandangan zaman sekarang dengan para pemain music kelilingdalam abad pertengahan, agaknyameminta cemooh. Selanjutnya gejala peniruan tentu sama sekali tidak menerangkan tentang sebab timbulnya hal yang ditiru.57

Ahli anthropologi kriminil Jerman A. Baer (1834-1908) juga termasuk golongan mashab lingkungan, dengan bukunya ‘Der Verbrecher in anthropologischer Beziehung’ (1893) dan juga perlu disebutkan P. Naecke (1851-1913), dengan bukunya ‘Verbrechen und Wahnsinn beim Weibe’ (1894).58

56

Edi Warman, Selayang pandang tentang kriminologi, Op.cit 1994, hal 37-38

57

Prof. Mr. W.A.Bonger, pengantar tentang kriminologi, Op. cit, hal 98

58 Ibid, hal 98

Mashab berdasarkan perekonomian lingkungan mulai berkembang pada penghabisan abad ke 19 ketika timbul system baru dalam perekonomian dan kejahatan kelihatan bertambah.


(36)

29

Teoti baru dalam kemasyarakatan yang timbul pada pertengahan abad ke 19 yang pandangan masyarakatnya berdasarkan keadaan ekonomi (historis materialisme) akan mengarah ke dalam kriminologi. Menurut teori ini unsure-unsur ekonomi dalam masyarakat dipandang dari sudut dinamis adalah primair dan dipandang dari sudut statis merupakan dasarnya.

Semuanya ini terdapat dalam ajaran K. Mark didalam bukunya “Zur Kritik dert Politischen Oekonomie (1895) Pengarang pertama dari aliran ini adalah F. Turrati didalam bukunya “Ildelito e la question sosiale” (1883) terutama mengeritik mashab Itali; dalam bagian positif ia juga nafsu ingin memiliki yang berhubungan erat dengan sistem ekonomi pada waktu sekarang mendorong kejahatan perekonomian.

Juga dikatakan mengenai kejahatan terhadap orang (kejahatan penyerangan) menunjukan akan pengaruh dari keadaan materil terhadap jiwa manusia; kesengsaraan membuat jiwa menjadi tumpul, kebodohan dan keindahan juga merupakan sebab-sebab yang mengakibatkan kejahatan yang semacam. Begitu juga keadaan tempat tempat tinggal yang jelek merosotnya kesusilaan dan menyebabkan kejahatan kesusilaan.

F. Turati, dalam bukunya : Il delitto e, la questione sosiale (1883) ia terutama mengeritik mashab Italia. Dalam bagian yang positif ia menyatakan bahwa tidak hanya kekurangan keksengsaraan saja, tetapi juga nafsu ingin memiliki, yang berhubungan erat dengan sistim ekonomi pada waktu sekarang, mendorong kejahatan ekonomi.

Mengenai kejahatan terhadap orang (kejahatan agresif), Turati menunjukan akan pengaruh dari keadaan materil terhadap jiwa manusia: “kesengsaraan membuat pikiran menjadi tumpul, kebodohan dan ketidakadaban merupakan faktor yang berkuasa dalam timbulnya kejahatan. Keadaan tempat tinggal yang buruk, merosotnya moraliteit, seksual menyebabkan kejahatan kesusilaan.

N. Colajanni (1847-1921) dalam bukunya : Sosiologia Criminale (1887) yang menentang aliran anthropologi. Ia ia menunjukan adanya hubungan kritis dengan bertambahnya kejahatan ekonomi,


(37)

30

timbulnya kejahatan dengan gejala patologis-sosial seperti pelacuran yang juga berasal dari keadaan perekonomian dan kejahatan politik.59 Beliau juga menekankan adanya hubungan antara system ekonomi dan unsur-unsur umum dalam kejahatan, yakni hak milik mendorong untuk mementingkan diri sendiri, dan oleh karyawan yang mendekatkan pada kejahatan. Untuk mencegah kejahatan adalah dengan suatu sitem ekonomi yang dapat mencapai perimbangan yang tetap dan pembagian kekayaan yang serata-ratanya.60

Beberapa hasil aetiologi daripada sosiologi kriminil, bahwa sosiologi kriminil sudah berumur kira-kira satu abad : beberapa unsur yang turut menyebabkan terjadinya kejahatan dipelajarinya, dan penyelidikan ini tidak dapat dipungkiri, menyebabkan kita mempunyai pandangan yang lebih dalam. Dalam uraian kriminologi ini tidaklah mungkin menguraikan seluruh bahan-bahan yang didapatnya, apalagi dengan mendalam. Terpaksa cukup dengan memajukan beberapa hasil yang penting saja.

Jasa dari para ahli ini ialah, bahwa mereka dalam segi tertentu, telah menyempurnakan teori lingkungan. Oleh para pengarang Prancis kebanyakan dokter teori tersebut diterangkan dengan samar-samar. Bagaimanapun besarnya jasa-jasa mereka dipandang dari sudut dynamis teristimewa mengenai penyelidikan dari Lafargue, tetapi tidaklah dapat dipertahankan bahwa mereka telah membuktikan dalil-dalilnya, paling jauh mereka hanya membuatnya dapat diterima.

61

a. Terlantarnya anak-anak

Menurut Mr. W.A. Bonger, berdasarkan hasil Aetiologi daripada Sosiologi kriminil bawha terdapat beberapa unsur yang turut menyebabkan terjadinya kejahatan menurut penyelidikanya dikarennakan :

Kejahatan anak-anak dan pemuda-pemuda sudah merupakan bagian yang terbesar dalam kejahatan, lagipula kebanyakan penjahat yang sudah dewasa umumnya sudah sejak kecil mudanya

59

Edi Warman, Selayang pandang tentang kriminologi Op.cit, 1994, hal 38-39

60

Chainur Arrasyid, Suatu pemikiran tentang Psikologi Kriminal, Op.cit ,hal 43


(38)

31

menjadi penjahat, sudah merosot kesusilaannya sejak kecil.62

Terutama pertumbuhan perisdustrian menyebabkan adanya banyak sekali kejahatan pada anak-anak, yang dalam keadaan luar biasa, terutama waktu perang, sering hampir-hampir merupakan bencana.

Kejahatan anak-anak,dapat mencari tindakan-tindakan pencegahan kejahatan, yang kemudian akan berpengaruh baik pula terhadap kejahatan orang dewasa.

Jika kita meneliti bahan-bahan yang ada, akan terlihat denganjelas pentingnya keaadan lingkungannya sewaktu masih muda untuk terjadinya kejahatan, yang menimbulkan pertanyaan apakah dengan adanya keadaan lingkungan yang sangat buruk, tak dapat diakui adanya apa yang dinamakan kejahatan lingkungan yang murni.

63

Terlantarnya anak-anak merupakan suatu unsur dalam semua kejahatan, karena itu merupakan unsur umum.

Di Nederland, jumlah anak-anak yang belum cukup dewasa oleh pengadilan dinyatakan bersalah menurut hukum pidana (yaitu dibawah umur 18 tahun), naik dari 2.809 kejahatan pada tahun 1939 menjadi tidak kurang 6.740 kejahatan pada tahun 1943 terutama golongan yang berumur 14-17 tahun bertambah dengan pesat dan pada tahun 1947 jumlah ini turun lagi menjadi 4356.

64

b. Kesengsaraan

Pengaruh kesengsaraan terhadap kejahatan ekonomi sudah sudah terbukti sangat besar, yang dinaksud dengan kesengsaraan bukan hanya ‘hampir mati karena kelaparan’. Suatu bukti mengenai hal ini dapat juga dikemukakan. Lepas dari gelombang, yang disebabkan oleh konyunktur, gerak umum (trend) dari kejahatan ekonomi yang paling banyak disebabkan karena kesengsaraan, yaitu pencurian biasa, yang

62

Edi Warman, Selayang pandang tentang kriminologi, Op.cit , hal 39

63

Prof. Mr. W.A.Bonger, pengantar tentang kriminologi, Op. cit. hal 101


(39)

32

berkurang sejak penghabisan abad ke-19, sesuai dengan berjurangnya kemiskinan di kalangan rakyat jelata.65

c. Nafsu Ingin Memiliki

Bahwa kesengsaraan dalam masyarakat merupakan suatu unsur yang bersifat sosiologis mengakibatkan terjadinya kejahatan.

Kejahatan karena kesengsaraan harus dibedakan dengan kejahatan karena nafsu ingin memiliki. Harus diakui, bahwa antara dua golongan tersebut terdapat banyak bentuk peralihan tetapi tidaklah masuk akal, jika kita hanya berdasarkan ini lalu mengingkari dua golongan yang berlawanan itu.66

Masyarakat sekarang dengan nafsunya yang besar untuk memiliki dan ingin hidup mewah sukar dapat memahamkan, bahwa pada waktu dulu hal yang demikian tidak terdapat. Pada waktu sekarangpun masih dapat diketahui bahwa umpamanya dalam daerah pertanian yang agak terpencil letaknya dimana para petani masih mempunyai tanah sendiri, jalan pikiran mereka dalam hal ini sangat berbeda.67

Rupanya nafsu ingin memiliki timbul karena adanya keinginan mencapai kemakmuran yang lebih besar, dan terkadang untuk mendaptkannya harus dengan jalan kejahatan karena tidak dapat diperoleh dengan jalan yang wajar (halal).

Selama masyarakat masih terbagi dalam golongan kaya dan miskin, nafsu ingin memiliki dari si miskin dibandingkan dengan adanya kekayaan yang ditonjolkan disekrlilingnya.

Dapat dikatakan bahwa pencurian biasa banyak dilakukan karena maksud-maksud yang berhubungan dengan faktor kesengsaraan, sedangkan kejahatan terhadap kekayaan lebih berbelit-belit bentuknya sering disebabkan karena nafsu ingin memiliki.

68

65 Prof. Mr. W.A.Bonger, pengantar tentang kriminologi, Op. cit hal 106 66

Edi Warman, Selayang pandang tentang kriminologi, Op.cit, hal 41

67

Prof. Mr. W.A.Bonger, pengantar tentang kriminologi, Op. cit hal 107


(40)

33

d. Demoralisai Seksuil.

Lingkungan pendidikan sewaktu masih muda besar sekali pengaruhnya terhadap kelainan-kelainan seksual yang biasanya berhubungan dengan kejahatan.69

Dalam masyarakat sekarang banyak sekali anak-anak yang hidup dilingkungan yang buruk dari segi sosial, tetapi juga terutama segi psycologis dan paedagogis. Banyak anak-anak terutama dari golongan rendah dalam masyarakat, mengenal penghidupan kesusilaan sedemikian rupa, sehingga menyebabkan mereka dapat memperoleh kerusakan dalam jiwanya, yang dapat bersifat hebat sekali.70

Sebagai contoh dapat dikemukakan: Pada tahun 1936 di Wina oleh F. Breunlich, Enquete yang dilakukan meliputi 67.524 anak sampai umur 18 tahun, hanya 55 persen dari mereka yang mempunyai tempat tidur sendiri ; makin naik umurnya makin berkurang persentasenya, tapi tidak kurang dari 12 persen masih harus tidur dalam suatu tempat tidur dengan orang tuanya. Dari golongan ini kira-kira separuhnya sudah berumur lebih dari 5 tahun.71 Seluruhnya menempati 35.128 rumah dengan penghuni 213.188 jiwa, dari rumah-rumah tersebut, hanya 17.915 dalam keadaan baik; 9317 gelap, 6327 basah, 5240 kurang udaranya, 5666 kotor, 1712 sama sekali tidak terpelihara.72

e. Alkoholisme

Pengaruh alkoholisme terhadap kejahatan, biarpun sudah berkurang daripada dulu, sekarang masih juga tetap besar dan banyak segi-seginya. 73

69

Ibid hal 41

70 Prof. Mr. W.A.Bonger, pengantar tentang kriminologi, Op. cit hal 109 71 Edi Warman, Selayang pandang tentang kriminologi, Op.cit, 1994, hal 42

72 F. Breunch,’Kinder ohne.Bett : so schlafen Groszadkinder’ 1936, dalam buku Prof. Mr. W.A.Bonger, pengantar

tentang kriminologi, hal 109

73

Lihat penyelidikan statistic yang teliti oleh Th.W.vd.Woude;’Alchohol en misdaad’(1935), Prof. Mr. W.A.Bonger, pengantar tentang kriminologi, hal 109


(41)

34

penyalahgunaanminuman keras mempunyai akibat tidak baik terhadap keturunan karena merusak benih manusia, karana tidak diterima lagi oleh umum, tapi pembahasan persoalan ini pastilah belum seslesai.74

Makin lama makin diinsyafi bahwa masalah alkoholisme pada waktu sekarang terutama merupakan masalah psychopathologis dan baru csundair merupakan masalah sosial. Dalam cara bekerjanya Biro Konsultasi yang besar untuk alkoholisme, unsur psychiatris makin mendapat perhatian.

Pengaruh langsung dari alkoholisme terhadap kejahatan dibedakan antara yang chronis dan yang akut yang tentu saja beralih dari yang satu ke yang lain dan memperoleh pengaruh atau kerusakan subjektif yang berbeda tergantung dari kebiasaan minuman-minuman keras dalam diri yang bersangkutan.

75

Golongan pengemis dan gelandangan yang penuh dengan bermacam-macam kejahatan, kebanyakan dari mereka adalah peminum yang chronis.

Alkoholisme yang Chronis pada seseorang, pada perkembangannya akan merusak jiwa yang sehat hingga menyebabkan kejahatan yang beraneka ragam.

76

74

Prof. Mr. W.A.Bonger, pengantar tentang kriminologi, Op.cit, hal 109

75

Prof. Mr. W.A.Bonger, pengantar tentang kriminologi, Op. cit hal 109

76 Edi Warman, Selayang pandang tentang kriminologi, Op.cit, hal 42

Alkoholisme yang atut sangat berbahaya, karena ia menyebabkan hilangnya dengan sekonyong-konyong daya menahan diri dari sipeminum. Di luar beberapa hal yang jarang terjadi, dalam mana maksud sipeminum justru untuk menimbulkan masuk akal, bahkan alcohol jika dipergunakan dengan demikian akan membahayakan manusia pertama-tama dimana jiwanya paling lemah.

Begitulah seseorang yang mempunyai gangguan-gangguan dalam kehidupan seksuilnya, jika minum alkohol dengan melampaui batas, yang menyebabkan ia tak dapat menahan hawa nafsu lagi, akan mencari kepuasan seksuilnya dengan cara yang melanggar undang-undang, dan akibatnya ia akan dituntut didepan pengadilan.


(42)

35

Orang yang mempunyai sifat agresif akan mudah melakukan perbuatan kekerasan, sedangkan orang lain akan melakukan kejahatan terhadap kekayaan jika ia dalam keadaan mabuk. Dalam hal demikian, perbuatannya karena sifat dan cara melakukannya, adalah khas untuk apa yang hidup dalam lapisan-lapisan jiwa yang ‘tak disadari’.77

f. Kurangnya Peradaban

Bagaimanapun pengaruh alkoholisme sebagai sebagai faktor dari kejahatan, kekerasan tetapi juga harus ditambah dengan unsur lain.

Unsur lain ini ialah peradaban dan pengetahuan yang terlalu sedikit dan kurangnya daya menahan menahan diri. Adanya kelompok-kelompok besar yanh hidup dalam keadaan kerohanian yang menyedihkan, kebudayaannya untuk mereka semata-mata merupakan kata hampa saja. Negara-negara atau daerah-daerah dan golongan-golongan penduduk yang paling terbelakang, menunjukan kejahatan & kekerasan yang paling menonjol.

Di Jerman kejahatan kekerasan yang dilakukan diantara para cerdik pandai kira-kira 25 dari 100.000 penduduk, dikalangan kaum buruh di daerah perindustrian kira-kira 500 dan diantaranya para buruh tak terdidik ada 1680.78

g. Lingkungan Physik (Alam)

Pengaruh alam sekelilingnya (iklim, tanah dan lain-lainnya) atas manusia dan masyarakat dari dulu kala sudah diketahui.

Montesquieu yang menginsyafi arti dari ajaran tersebut untuk kriminologi menegaskan: “dalam daerah utara akan diketemukan orang yang mempunyai sedikit sifat-sifat jahat dan banyak sifat-sifat baik, dengan kejujuran yang besar dan sifat terus terang.

77

Prof. Mr. W.A.Bonger, pengantar tentang kriminologi, Op. cit, hal 111


(43)

36

Kalau kita mendekati daerah selatan, maka seolah-olah kita menjauhi moral itu sendiri : bahwa nafsu yang lebih bergejolak mempropagandakan kejahatan. Setiap orang mencoba dengan merugikan orang lain mencari keuntungan untuk mempermudah pemuasan nafsu. Pada daerah beriklim sedang, akan diketemukan bangsa-bangsa yang cara hidupnya bahkan dalam perbuatan-perbuatan jahat dan baiknya lebih cepat berubah-ubah.

Sebagai garis besarnya jenis-jenis kejahatan tersebut dapat kita bagi kepada :

1. Kejahatan ekonomi 2. Kejahatan seksual 3. Kejahatan agresif 4. Kejahatan politik

Ad.1). Kejahatan Ekonomi

Kejahatan ini terjadi karena tekanan ekonomi, dimana rakyatnya berada dalam kemiskinan yang serba kekurangan dibidang pangan, apalagi sandang dan perumahan.

Pencurian dimana-mana terjadi terlebih-lebih pada musim dingin atau musim rontok, kemudian menurun lagi pada musim semi dan musim panas.

Ad.2). Kejahatan Seksual

Bahwa kejahatan seksual di Eropa Selatan lebih menonjol dibandingkan dengan yang di Eropa Utara. Beliau tidak mengomentari apa sebabnya.

Kejahatn seksual ini meningkat terjadi pada musim semi daripada dimusim dingin dan lebih banyak pula dilakukan oleh mereka yang belum kawin.

Peningkatan kejahatan pada musim semi ini ada kemungkinan karena adanya kesempatan yang banyak diluar rumah sedangkan pada musim dingin kurang kesempatan keluar rumah.


(44)

37

Juga kejahatan seksual ini lebih banyak terjadi dikota-kota besar daripada dikota-kota kecil apalagi didesa-desa, karena masyarakat kota sudah merasa lebih bebas dari ikatan-ikatan kekeluargaan dan juga karena dituntut oleh kebutuhan hidup yang sangat tinggi.

Ad.3). Kejahatan Agresif

Kejahatan agresif di Eropa Selatan lebih banyak dari pada di Eropa Utara, tetapi ini tidak berarti bahwa kejahatan ini makin mendekati khatulistiwa makin besar.

Perbedaannya juga terletak pada tingkatan peradaban yang berlainan dalam Negara-negara tersebut, dapat dilihat dari angka-angka buta huruf.

Ferri menerangkan, bahwa sebab kenaikan tadi terletak dalam pengaruh physiologis hawa panas, yang mengakibatkan kelebihan kekuatan dalam diri manusia daripada hawa dingin, dan dalam makanan yang lebih baik untuk rakyat dalam musim panas dan dalam bertambah besarnya nafsu lekas marah.

Sebab yang terpenting dalam naiknya kejahatan ialah bahwa orang-orang pada musim panas, lebih banyak diminum-minuman keras dengan cara bergaul satu sama lain.

Ad.4). Kejahatan Politik

Hubungan antara kejahatan Politik dan iklim sangat diragukan. Revolusi timbul bila pertumbuhan masyarakat bertentangan dengan badan-badan politik yang btidak dapat diikutinya. Percobaaan pembunuhan dan lain-lain timbul karena suatu kompleks kemasyarakatan yang tidak bersangkut paut dengan iklim. Pada musim panas banyak orang berada dijalan-jalan dan dengan mudah mengadakan kelompok-kelompok dengan orang banyak, sehingga juga dengan mudah dapat terjadi kejahatan.

Mengingat hal-hal diatas ternyata bahwa arti alam sekeliling dalam etiologi kejahatan barangkali hanya bersifat scunder saja.79


(45)

38

4. Mashab bio-sosiologi

Sudah diterangkan bahwa synthese dari aliran anthropologi dan aliran keadaan lingkungan berpendapat bahwa sebab kejahatan sama dengan/berasal dari rumus Ferri yang berbunyi : “Tiap kejahatan adalah hasil dari unsure-unsur yang terdapat dalam individu masyarakat dan keadaan fisik”.80Sedangkan unsure tetap yang penting menurutnya adalah individu.81

(1) Tiap-tiap kejahatan berlainan satu sama lain sesuai dengan unsur individu dan unsur

lingkungan

Yang dimaksud dengan unsur yang terdapat dalam individu ialah unsur-unsur apa yang diterangkan oleh Lombroso yaitu :

Bila ditekankan pada perkataan : “tiap-tiap”, maka suatu kejahatan tertentu adalah hasil dari dua unsur tadi dan rumus tersebut berlaku untuk semua perbuatan manusia jahat ataupun baik. Pada dasarnya manusia itu tidak ada yang sama dalam hal apa saja.

Sebelum mulai mengupas bagaimana pengertian rumus tersebut untuk ilmu kriminologi, maka perlu diterangkan terlebih dahulu unsur individu itu pada saat sesuatu perbuatan dilakukan, yaitu :

a. Keadaan lingkungan individu dari lahir sampai saat ia melakukan perbuatan. b. Bakat yang terdapat dalam individu.

Rumus dari Ferri seharusnya berbunyi : Tiap-tiap kejahatan = (lingkungan + bakat) + lingkungan lagi; karena lingkungan terhadap manusia selalu berpengaruh dua kali. 82

80

Ibid hal 46

81

Chainur Arrasyid, Suatu pemikiran tentang Psikologi Kriminal, Op.cit ,hal 44

82 Edi Warman, Selayang pandang tentang kriminologi, Op.cit , hal 47

Jadi berarti keadaan sekelilingnya terhadap manusia selalu berpengaruh dua kali dilakukan terdiri dari dua unsur khusus, yakni : keadaan yang mempengaruhi individu dari lahirnya, sehingga pada saat melakukan perbuatan


(46)

39

tersebut dan dengan bakatnya terdapat dalam individu. Dalam hal ini penting artinya keadaan sekelilingnya yang merupakan unsur menentukan.83

Jadi jawabannya adalah pendapat Manouvier yang menyatakan bahwa beberapa orang mempunyai bakat lebih dari pada lainnya untuk menjadi penjahat walaupun seandainya lingkungan

Bagaimana sebetulnya sifat dari unsur individu itu? Ferri mengatakan sesuai dengan pendapat Lombroso, bahwa unsur individu itu adalah bersifat pathologis, tapi mula-mula dikiranya juga atavistis.Cara pemecahan soal yang disebut oleh Ferri lebih mudah dari apa yang diperkirakan sebelumnya.

Seperti contoh : dua orang betul-betul hidup dalam keadaan yang sama, dan mempunyai kesempatan yang sama dan mempunyai kesempatan yang baik untuk melakukan kejahatan, dan dua-duanya sama sekali tidak terhalang menurut rasa budi pekertinya.

Pada saat harus berbuat sesuatu yang satu berani bertindak, sedangkan yang lain takut dan tidak bertindak. Jadi apakah dapat dikatakan bahwa keberanian adalah suatu unsur kejahatan dan ketakutan suatu unsur kebaikan ?

Dan sebaliknya yang satu sedemikian cerdiknya dapat mengetahui kemungkinan yang terjadi lalu tidak berbuat; dan yang satu bodoh lalu berbuat. Apakah juga dapat dikatakan bahwa kecerdikan adalah unsur kebaikan dan kebodohan unsur kejahatan ?

Kedua hal ini sering terjadi ditengah-tengah masyarakat. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa semua sifat dapat mendorong manusia untuk berbuat jahat ataupun mencegahnya.

Pertanyaan yang terkenal dari Ferri : mengapa dari suatu lingkungan buruk yang tertentu hanya satu orang yang menjadi penjahat ? Suatu pertanyaan yang oleh Winkler disebut sebagai urat tumit Achiles dari aliran yang mementingkan keadaan lingkungan sebagai sebab kejahatan.


(1)

110

b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.

c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

Dan jika pelakunya adalah anak maka ketentuan pasal 127 tersebut harus di kaitkan dengan pasal 79 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sitem Peradilan Pidana anak dalam menetukan penjatuhan pidana terhadap tersebut.

Berdasarkan ketentuan pidana yang diatur dalam formulasi ketentuan diatas, maka para terdakwa diancam dengan hukuman pidana paling lama selama 2 (dua) tahun, namun dalam putusan majelis hakim memvonis terdakwa-terdakwa dengan vonis penjara selama 6 bulan. Menurut hemat penulis, berdasarkan uraian kasus diatas, putusan majelis hakim ini telah mencerminkan rasa keadilan, sebab para terdakwa mengakui perbuatannya secara terus terang dan menyesalinya dan para terdakwa berlaku sopan dalam proses persidangan serta para terdakwa belum pernah dihukum, sehingga vonis 6 (enam) bulan penjara sudah sepadan dengan tindakan yang diperbuatnya.


(2)

111

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian kesimpulan diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Faktor penyebab anak melakukan tindak pidana narkotika ialah karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan pergaulan di sekelilingnya dan anak jauh dari pantauan orang tua sehingga anak cenderung bergaul dengan teman-teman yang mempengaruhinya untuk melakukan tindak pidana narkotika tersebut.

2. Ketentuan pidana yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia, diantaranya diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan peraturan perundang-undangan lain. Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut, secara jelas disebutkan bahwa tindak pidana narkotika sangat dilarang dan diancam dengan sanksi pidana yang tegas, namun dalam prakteknya masih sangat banyak terjadi terhadap pelanggaran ini terutama generasi muda yang menjadi sasarannya.

3. Pertanggung jawaban pidana tindak pidana narkotika berdasarkan kasus putusan nomor : 23/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn yang dianalisis dalam penelitian ini berbentuk vonis hakim berupa penjara selama 6 (enam) bulan kepada para terdakwa pelaku tindak pidana narkotika.

Putusan hakim ini tidak menggunakan konsep diversi yang ada dalam UU SSPA, hakim

masih menerapkan Undang-Undang Pengadilan Anak. Hakim dalam hal ini tidak

mengedepankan adanya keadilan restoratif justice dan diversi, lebih menekankan kepada

retributive justice. Seorang anak, jika dimasukkan ke dalam lembaga pembinaan akan

berdampak buruk bagi anak.


(3)

112

B. Saran

1. Pemerintah harus melakukan pengawasan ekstra ketat terhadap peredaran gerap narkotika yang saat ini tersebar diselur penjuru Indonesia yang telah banyak memakan korban, dan sasaran utama korban penyalagguna narkotika adalah mereka yang masih usia anak dan remaja yang diharapkan sebagai cita-cita bangsa dalam mempertahankan bangsa dan Negara karena kepada merekalah Negara ini akan diserahkan nantinya. Sehingga perlu dilakukan upaya perlindungan terhadap anak dan remaja Indonesia agar tidak menjadi sasaran korban pemakai narkotika.

2.

Adanya Undang–Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak,hakim haruslah lebih mengedepankan konsep keadilan restoratif dan Diversi

daripada mengedepankan konsep retributive atau pembalasan, hakim yang menyelesaikan

perkara pidana anak secara tepat dan adil dengan memperhatikan kondisi anak, agar

anak tersebut tidak merasa kehilangan haknya sesuai dan mengalihkan penyelesaian

perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana dengan apa

yang diatur dalam Undang–Undang SPPA.

3.

Hakim dalam menangani perkara terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana harus mengutamaka keadilan restoratif justice dan Diversi. dengan adanya Undang–Undang Nomor 11 tahun

2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, hakim harus mempertimbangkan apakah

putusannya membuat anak jera atau mencederai keadaan psikologi anak dimasa depan.

Anak– anak yang melakukan kenakalan ringan sedapat mungkin diversi dilakukan


(4)

113

Daftar Pustaka

A. Buku

1. AR.Sujono, S.H.,M.H & Bony Daniel,S.H., Komentar & Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Jakarta, Sinar Grafika, 2011

2. Prof. Dr. Koesnadi Adi, SH.,MS. Diversi Tindak Pidana Narkotika Anak, Semarang, Setara Press 2015

3. Moh. Taufik Makarao,S.H.,M.H.,Tindak Pidana Narkotika, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2003 4. Sudarto, Hukum Pidana, Jilid I A, 1975

5. Simongkir, Pelajaran Hukum Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, cet XI, 1962

6. Chaerudin. Materi Pokok Asas-Asas Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Islam As-syafi’iyah

7. Dr. Lilik Mulyadi, S.H.,M.H., Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia, Bandung, PT.Alumni, 2014

8. Angger Sigit Pramukti,S.H. & Fuady Primaharsya,S.H., Sistem Peradilan Pidana Anak, Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2015

9. Dr. Marlina, S.H., M.Hum., Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Tahun 2009

10. Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tijnjauan Singkat, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001

11. Bambang Waluyo., Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.

12. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Press, 1990.

13. Suatu pemikiran tentang Psikologi Kriminal, Chainur Arrasyid, Medan, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 1999.

14. Prof. (Em).Dr.J.E.Sahetapy,S.H.,M.A. Pisau analisis kriminologi ,Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, 2005.


(5)

114

15. Prof. Mr. W.A.Bonger, pengantar tentang kriminologi,PT. Pembangunan Gahlia Indonesia, Cetakan Ke enam, 1982.

16. Edi Warman, Selayang pandang tentang kriminologi, Medan, USU PRESS, 1994, 17. Topo santoso, S.H.,M.H., Eva Achjani Zulva,S.H., Kriminologi, Jakarta, 2012.

18. Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, Cetakan I, 1995

19. Made Sadhi Astuti, Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku TindakPpidana, Penerbit IKIP Malang, 1997

20. R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lenkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1988.

21. Prof.Dr. Maidin Gultom, SH.,M.Hum., Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2014

22. Dr. Lilik Mulyadi, S.H.,M.H., Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia, Bandung, PT.Alumni, 2014

23. Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Penerbit Rajawali, Jakarta, 1985

24. Soetandyo Soekanto, Penelitian Hukum Sebuah Tipologi Masyarakat Indonesia, Penerbit Unair, Surabaya. Selanjutnya disebut Soetandyo Wignyosoebroto I, , 1989

25. Lilik Mulyadi, Pengadilan Pidana di Indonesia, Mandar Maju, 2015 26. Hasil penelitian di LP kelas II A Anak Tanjung Gusta Medan

27. Hasil wawancara dengan para Narapidana di LP kelas II A Anak Tanjung Gusta Medan B. Undang-Undang

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2. UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 3. Undang-undang no 35 tahun 2009 tentang narkotika


(6)

115

C. Internet

1. Diakses melalui