Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Yang Dilakukan Oleh Anak Di Bawah Umur Dan Penerapan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Padang Sidimpuan No:770/Pid.Su

(1)

KEBIJAKAN PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA

PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH

ANAK DI BAWAH UMUR DAN PENERAPAN UNDANG-UNDANG

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009

TENTANG NARKOTIKA

(Analisis Putusan Pengadilan Negeri Padang Sidimpuan

No:770/Pid.Sus/2011/PN.Psp; Putusan Pengadilan Negeri Padang Sidimpuan No: 41/Pid.Sus.A/2012/PN.PSP dan Putusan Pengadilan Negeri Jayapura No:

229/Pid.B/2012/PN.Jpr)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

LOWRIA LIVIA NAPITUPULU NIM : 100200237

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KEBIJAKAN PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA

PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH

ANAK DI BAWAH UMUR DAN PENERAPAN UNDANG-UNDANG

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009

TENTANG NARKOTIKA

(Analisis Putusan Pengadilan Negeri Padang Sidimpuan

No:770/Pid.Sus/2011/PN.Psp; Putusan Pengadilan Negeri Padang Sidimpuan No: 41/Pid.Sus.A/2012/PN.PSP dan Putusan Pengadilan Negeri Jayapura No:

229/Pid.B/2012/PN.Jpr)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

LOWRIA LIVIA NAPITUPULU NIM : 100200237

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan, S.H., M.H. NIP: 195703261986011001

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Dr. Madiasa Ablisar, S.H.,MS. Rafiqoh Lubis., S.H., M.Hum. NIP : 19610408198611002 NIP : 197407252002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRAK

Dr. Madiasa Ablisar, SH.,M.S.* Rafiqoh Lubis.,S.H.,M.Hum**

Lowria Livia Napitupulu***

Anak yang menjadi pelaku tindak pidana penyalahguna narkotika sudah menjadi tindak pidana yang sudah sering terjadi di Indonesia. Data yang diperoleh melalui penelitian BNN serta berbagai universitas negeri terkemuka mendapati pada Tahun 2005 terdapat 1,75 persen pengguna narkoba dari jumlah penduduk di Indonesia. Prevalensi itu naik menjadi 1,99 persen dari jumlah penduduk pada 2008. Tiga tahun kemudian, angka sudah mencapai 2,2 persen. Pada 2012, diproyeksikan angka sudah mencapai 2,8 persen atau setara dengan 5,8 juta penduduk. Di Tahun 2013, tercatat sebanyak 22 persen pengguna narkoba di Indonesia berasal dari kalangan pelajar, jumlah tersebut menempati urutan kedua terbanyak setelah pekerja yang menggunakan narkoba.

Keadaan di atas yang kemudian memunculkan pertanyaan bagi penulis yang kemudian diangkat menjadi rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini yaitu bagaimana kebijakan penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak di bawah umur dari perspektif undang-undang no.35 Tahun 2009 tentang narkotika dan undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak dan bagaimana penerapan undang-undang No.35 tahun 2009 terhadap anak pelaku penyalahgunaan narkotika dalam putusan pengadilan. Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, dilakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan skripsi ini. Bersifat normatif maksudnya adalah penelitian hukum yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan dengan peraturan lainnya dan penerapannya dalam praktek (studi putusan).

Dalam perspektif Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tidak mengatur secara khusus mengenai anak sebagai pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Oleh karena itu kebijakan yang dilakukan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana penyalahguna narkotika dari tahap penyelidikan sampai dengan pembimbingan anak, diatur oleh Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Di dalam Undang-undang ini juga, memberikan alternatif lain dalam penyelesaian kasus anak pelaku tindak pidana penyalahguna narkotika yaitu secara diversi, sehingga tidak melibatkan anak kedalam proses peradilan yang panjang dan cukup rumit bagi anak yang masih di bawah umur.

Hakim dalam memutus kasus penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak masih cenderung memberikan sanksi berupa penjara bagi anak yang menggunakan narkotika untuk konsumsi pribadinya.1

*Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Penulis, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena berkat Kasih dan Karunia-Nya akhrinya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Yang Dilakukan Oleh Anak Di Bawah Umur dan Penerapan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Analisis Putusan No:770/Pid.Sus/2011/PN.Psp; No: 41/Pid.Sus.A/2012/PN.PSP dan No: 229/Pid.B/2012/PN.Jpr)”

Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam pembuatan skripsi ini penulis tidak sendirian, ada banyak pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,


(5)

4. Bapak Muhammad Husni, SH, S.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Sumatera Utara,

5. Bapak Dr. M. Hamdan, SH, MH, selaku Ketua Jurusan Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

6. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana,

7. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS selaku Dosen Pembimbing I, yang membimbing dan mendukung penulis selama masa penulisan dan penyelesaian skripsi ini,

8. Ibu Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II, yang membimbing, mengarahkan, memberi motivasi, dukungan, ide, waktu dan sarannya selama penyelesaian skripsi ini,

9. Bapak Dr. Jusmadi Sikumbang, SH, MS, selaku Dosen Wali Penulis yang telah membimbing penulis selama menjalankan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

10.Terkhusus kepada kedua orang tua, ayah L.Napitupulu, SH, dan ibu P.Manurung, untuk setiap doa dan dukungan, semangat dan masukan yang diberikan kepada penulis dan adik-adik saya Putri Napitupulu dan Ruth Napitupulu, terimakasih buat setiap doa dan dukungannya,

11.Seluruh keluarga yang telah mendukung dan memberikan motivasi yang mungkin tidak dapat disebutkan satu per satu,


(6)

12.Sahabat-sahabat selama perkuliahan Swanti, Merty, Meirita, Sonya, Dona, Jerry dan teman-teman lainnya yang memberikan dukungan serta semangatnya kepada penulis,

13.Buat abang-abang dan kakak-kakak yang telah membantu penulis dalam berbagai hal, motivasi, semangat, informasi, B Frans, B Ode, B Samuel, B Tondy, B David, K Rumia dan yang lainnya yang mungkin tidak tersebutkan dalam skripsi ini, terimakasih,

14.Sahabat-sahabat saya di Chicks Fams, Debora, Monika, Agustina, Ruth, Ronauli, Vicera, terimakasih buat motivasi dan dukungan kalian,

15.Teman-teman tim di TKMS yang selalu setia mendoakan penulis dan memberikan motivasi serta dukungan kepada penulis,

16.Saudara-saudara saya di Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) terimakasih buat dukungan, informasi, kebersamaan selama perkuliahan dan penyelesaian skripsi penulis

Penulis


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….…………...…….i

DAFTAR ISI………..iv

DAFTAR SKEMA………...………vii

DAFTAR TABEL………...viii

ABSTRAKSI………..…………...…….ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………….………...………..…………1

B. Perumusan Masalah………..……….8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………..9

D. Tinjauan Kepustakaan 1. Batas Usia Anak……..………10

2. Pengertian Tindak Pidana………13

3. Pengertian Penyalahgunaan Narkotika………18

4. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan………21

E. Metode Penelitian………...26

F. Keaslian Penulisan………..28

G. Sistematika Penulisan……….……28

BAB II KEBIJAKAN PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAN ANAK DI BAWAH UMUR


(8)

DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NO.35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DAN UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

A. Kejahatan Anak Kaitannya Dengan Kebijakan

Penanggulangan Kejahatan (Politik Kriminal)………..30 B. Faktor-faktor Penyebab Penyalahgunaan Narkotika yang

Dilakukan Anak………..37 C. Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Yang

Dilakukan Anak Dibawah Umur Dari Perspektif

Undang-Undang No.35 Tahun 2009 dan Undang-Undang No.11 Tahun 2012

1. Ruang Lingkup Tindak Pidana Narkotika….………47

2. Kebijakan Penal dan Non Penal Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Menurut

UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika……….………70 3. Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika yang

Dilakukan Anak Di bawah Umur Ditinjau Dari UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak…...……87

BAB III PENERAPAN UU NO.35 TAHUN 2009 TERHADAP ANAK PELAKU PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI

(Analisis Putusan Pengadilan Negeri Padang Sidimpuan No:770/Pid.Sus/2011/PN.Psp; Putusan Pengadilan Negeri Padang Sidimpuan No: 41/Pid.Sus.A/2012/PN.PSP dan Putusan Pengadilan Negeri Jayapura No:

229/Pid.B/2012/PN.Jpr)

A. Menggunakan Narkotika Tanpa Hak dan Melawan Hukum Sebagai Salah Satu Bentuk Tindak Pidana

Penyalahgunaan Narkotika yang dapat Dilakukan

Oleh Anak di Bawah Umur………..101 B. Analisis Putusan Pengadilan Terhadap Tindak Pidana

Penyalahgunaan Narkotika yang Dilakukan Oleh Anak di Bawah Umur


(9)

1.1 Kronologis Kasus Putusan Pengadilan Negeri

Padang Sidimpuan No:770/Pid.Sus/2011/PN.Psp; 108 1.2 Kronologis Kasus Putusan Pengadilan Negeri

Padang Sidimpuan No: 41/Pid.Sus.A/2012/PN.PSP 109 1.3 Kronologis Kasus Putusan Pengadilan Negeri

Jayapura No: 229/Pid.B/2012/PN.Jpr…..109 2. Karakteristik Penyalahgunaan Narkotika dan Pasal

yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum...………..110 3. Kaitan Tuntutan Pidana (Requisitoir) dengan Pasal

yang Didakwakan Oleh Jaksa Penuntut Umum …...……116 4. Putusan Pengadilan Negeri dikaitkan dengan Tuntutan

Pidana JPU………120 5. Kaitan Fakta Hukum dengan Hal-hal yang Memberatkan

dan Meringankan terhadap Pasal dan Sanksi yang diputuskan Hakim bagi Penyalahgunaan Narkotika yang Dilakukan Oleh Anak di Bawah Umur………...……...128

BAB IV KESIMPULAN dan SARAN

A. Kesimpulan………...139 B. Saran……….141


(10)

DAFTAR SKEMA

1.Skema 1: Hubungan Politik Kriminal Dengan Politik Sosial dan Politik Kesejahteraan Anak.………..………34

2.Skema: Lingkup Kajian Tentang Perilaku Kejahatan


(11)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1: Perumusan Pidana dan Jenis Pidana dalam

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009………...79 2. Tabel 2: Kasus Penyalahgunaan Narkotika yang Dilakukan

Oleh Anak Di bawah umur dilihat dari Kronologis kasus dan Dakwaan Jaksa Penuntut

umum……….………..110 3. Tabel 3: Kasus Penyalahgunaan Narkotika yang Dilakukan

oleh Anak di bawah umur dilihat dari Tuntutan

Jaksa Penuntut Umum………...117 4. Tabel 4: Kasus penyalahgunaan narkotika yang dilakukan

oleh anak di bawah umur dilihat dari putusan

Pengadilan Negeri………...120 5. Tabel 5: Kasus Penyalahgunaan Narkotika yang Dilakukan

Oleh Anak di Bawah Umur Dilihat dari Fakta Hukum dan Pertimbangan Hakim Dikaitkan


(12)

ABSTRAK

Dr. Madiasa Ablisar, SH.,M.S.* Rafiqoh Lubis.,S.H.,M.Hum**

Lowria Livia Napitupulu***

Anak yang menjadi pelaku tindak pidana penyalahguna narkotika sudah menjadi tindak pidana yang sudah sering terjadi di Indonesia. Data yang diperoleh melalui penelitian BNN serta berbagai universitas negeri terkemuka mendapati pada Tahun 2005 terdapat 1,75 persen pengguna narkoba dari jumlah penduduk di Indonesia. Prevalensi itu naik menjadi 1,99 persen dari jumlah penduduk pada 2008. Tiga tahun kemudian, angka sudah mencapai 2,2 persen. Pada 2012, diproyeksikan angka sudah mencapai 2,8 persen atau setara dengan 5,8 juta penduduk. Di Tahun 2013, tercatat sebanyak 22 persen pengguna narkoba di Indonesia berasal dari kalangan pelajar, jumlah tersebut menempati urutan kedua terbanyak setelah pekerja yang menggunakan narkoba.

Keadaan di atas yang kemudian memunculkan pertanyaan bagi penulis yang kemudian diangkat menjadi rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini yaitu bagaimana kebijakan penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak di bawah umur dari perspektif undang-undang no.35 Tahun 2009 tentang narkotika dan undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak dan bagaimana penerapan undang-undang No.35 tahun 2009 terhadap anak pelaku penyalahgunaan narkotika dalam putusan pengadilan. Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, dilakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan skripsi ini. Bersifat normatif maksudnya adalah penelitian hukum yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan dengan peraturan lainnya dan penerapannya dalam praktek (studi putusan).

Dalam perspektif Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tidak mengatur secara khusus mengenai anak sebagai pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Oleh karena itu kebijakan yang dilakukan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana penyalahguna narkotika dari tahap penyelidikan sampai dengan pembimbingan anak, diatur oleh Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Di dalam Undang-undang ini juga, memberikan alternatif lain dalam penyelesaian kasus anak pelaku tindak pidana penyalahguna narkotika yaitu secara diversi, sehingga tidak melibatkan anak kedalam proses peradilan yang panjang dan cukup rumit bagi anak yang masih di bawah umur.

Hakim dalam memutus kasus penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak masih cenderung memberikan sanksi berupa penjara bagi anak yang menggunakan narkotika untuk konsumsi pribadinya.1

*Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Penulis, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Proses perubahan sosial yang tengah berlangsung di Indonesia menandai pula perkembangan kota-kota dengan kompleksitas fungsinya yang tidak lagi hanya mempunyai fungsi administratif dan komersial, melainkan tumbuh sebagai simpul interaksi sosial yang mempengaruhi sistem nilai dan norma serta perilaku warga masyarakat.2

Kehidupan di kota modern sangat jauh dari kata ramah, ini terlihat dari tingginya tingkat kesibukan masyarakatnya, tingginya angka depresi, banyaknya anak-anak yang kurang perhatian orang tua, begitu beragamnya kegiatan yang dilakukan, sampai dengan ramainya kegiatan di jam-jam malam, ini terlihat dari banyaknya tempat hiburan malam yang buka dan berkembang. The National Youth Anti-Drug (USA, 1998) memaparkan hasil penelitian mereka yang menyatakan bahwa anak-anak pemakai narkoba bukan hanya dipaksa oleh teman atau bandar/penjual untuk menggunakan narkoba, namun alasan lainnya adalah untuk mencoba keluar dari kebosanan/kejenuhan, untuk merasa enak, melupakan masalah dan santai, untuk bersenang-senang, memuaskan rasa ingin tahu, mengurangi rasa sakit hati/kecewa, mencoba tantangan, untuk merasa dewasa, menunjukkan kemandirian, merasa menjadi anggota kelompok tertentu, supaya

2

Mulyana W. Kusumah, Kejahatan dan Penyimpangan, Jakarta : Yayasan LBH Jakarta,1988, hal.64.


(14)

terlihat keren, adalah alasan yang mereka pakai untuk mengkonsumsi narkotika.3 Pada awalnya, pelajar yang mengonsumsi narkoba biasanya diawali dengan perkenalannya dengan rokok. Karena kebiasaan merokok ini sepertinya sudah menjadi hal yang wajar di kalangan pelajar saat ini. Dari kebiasaan inilah, pergaulan terus meningkat, apalagi ketika pelajar tersebut bergabung ke dalam lingkungan orang-orang yang sudah menjadi pencandu narkoba.4

Keberadaan obat bius dan zat-zat narkotika di Indonesia sendiri sudah mulai dikenal sebelum Tahun 1927, ini terlihat dari adanya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dengan mengeluarkan V.M.O Staatblad 1927 No.278 jo No.536, yaitu peraturan tentang obat bius dan candu.5 Awal Tahun 1970-an penyalahgunaan narkotika semakin tak terkendali sehingga pada tanggal 8 September 1971, Presiden mengeluarkan Instruksi No.6 Tahun 1971 yang intinya adalah memberantas kenakalan remaja, penyalahgunaan narkotika, penyeludupan, uang palsu subversif, dan pengawasan orang asing.6

Khusus penyalahgunaan narkotika diangggap cukup mendesak sehingga mendorong lahirnya Undang-Undang No.9 Tahun 1976, yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Pemerintah menilai Undang-Undang No.22 Tahun 1997 tidak lagi mencegah secara efektif tindak pidana narkotika yang semakin lama semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif, serta bentuk kejahatannya terorganisir, maka

3

Alasan Menjajal Narkoba, diakses tanggal 17 oktober 2013.

4

Penyebaran Narkoba di Kalangan Anak-anak dan Remaja, diakses tanggal 17 oktober 2013.

5

Moh.Taufik Makarao, Suhasril, dan Moh. Zakky , Tindak Pidana Narkotika, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003, hal.10.

6


(15)

Undang-undang No.22 Tahun 1997 direvisi kembali dengan disahkannya Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang narkotika pada tanggal 14 desember 2009.7

Sekarang istilah ini sudah sangat akrab di telinga masyarakat. Berbagai berita, himbauan, peringatan mengenai narkoba sudah sering diselenggarakan. Namun, kasus peredaran dan penyalahgunaan narkoba saat ini semakin marak terjadi di Indonesia. Bahkan Indonesia saat ini sudah menjadi wilayah tujuan pemasaran utama.8

Karena perkembangan peredaran narkotika yang begitu cepat maka banyak kasus-kasus kejahatan narkotika yang muncul di masyarakat, kasus kejahatan narkotika itu hampir kebanyakan menimpa kalangan remaja.9 Prevalensi penyalahgunaan narkoba dalam penelitian BNN10 dan Puslitkes UI serta berbagai universitas negeri terkemuka, pada Tahun 2005 terdapat 1,75 persen pengguna narkoba dari jumlah penduduk di Indonesia.Prevalensi itu naik menjadi 1,99 persen dari jumlah penduduk pada 2008. Tiga tahun kemudian, angka sudah mencapai 2,2 persen. Pada 2012, diproyeksikan angka sudah mencapai 2,8 persen atau setara dengan 5,8 juta penduduk.11

7

Kusno Adi, Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, Malang: UMM Press, 2009, hal.9.

diakses tanggal 11 september 2013.

9

Kusno Adi, Op.cit., hal.10.

10

BNN merupakan Badan Narkotika Nasional merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden, dibentuk berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 64 Undang-undang Narkotika

Pengguna Narkoba 5,8 Juta Tahun 2012. diakses tanggal 17 oktober 2013.


(16)

Tindak kejahatan narkotika saat ini tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tetapi sudah kerap kali dilakukan secara terang-terangan dilakukan oleh pemakai dan pengedar dalam menjalankan operasi barang haram tersebut. Banyaknya fakta yang disajikan para penyaji berita, baik melalui media cetak maupun melalui media elektronik, mengemukakan ternyata barang haram tersebut telah merebak kemana-mana tanpa pandang bulu, terutama dikalangan remaja yang diharapkan menjadi generasi penerus bangsa dalam membangun bangsa dimasa mendatang.12

Di Tahun 2013, tercatat sebanyak 22 persen pengguna narkoba di Indonesia berasal dari kalangan pelajar. Jumlah tersebut menempati urutan kedua terbanyak setelah pekerja yang menggunakan narkoba.

13

Pelajar menempati posisi kedua setelah pemakai yang didominasi oleh kaum pekerja sebesar 70 persen. Namun beberapa alasan yang mengejutkan mengatakan ke-70 persen pecandu yang berasal dari kalangan pekerja itu, disamping karena tekanan pekerjaan dan gaya hidup adalah karena mereka memang sudah terbiasa mengkonsumsinya sejak dibangku sekolah. Delapan persen lainnya adalah perempuan atau lelaki yang dilacurkan, dan aparat negara.14

Kota-kota besar kerap kali menjadi sasaran empuk bagi para pengedar narkotika misalnya saja Kota Jakarta dan Kota Palembang yang kini menjadi kota yang paling konsumtif untuk barang haram ini. Medan, Bandung dan Bali juga

12

Kusno Adi, Op.cit., hal.1.

13

22 persen pengguna narkoba adalah pelajar, diakses pada tanggal 11 september 2013.

Pelajar di Urutan Kedua Pengguna


(17)

berhasil menduduki peringkat 5 besar peredaran narkotika terbanyak di Indonesia. Keadaan kota besar ini mempengaruhi kota lainya yang lebih kecil bahkan jauh dari pada modernitas, Padangsidempuan misalnya terhitung sejak Januari hingga Juni 2013, Polres Padangsidimpuan sudah menangani 32 kasus narkoba, terdiri dari 20 kasus ganja dan 12 kasus sabu-sabu. Dari jumlah itu, 51 tersangka yang masuk kategori pengguna, pengedar, perantara (kurir), bahkan Bandar, ditangkap.15

Di Makassar misalnya, seorang anak yang baru berusia 16 Tahun telah menjadi pengedar bersama 3 rekannya yang lain, dan telah mengedarkan shabu-shabu sampai dengan 10 kali.16 Di kota lainnya Yogyakarta, polisi terpaksa mengamankan 3 (tiga) orang anak (berusia 17 Tahun) yang kedapatan mengkonsumsi narkotika yang tertangkap bersama orang dewasa.17 Data di Direktorat Polda Jatim menyebutkan sedikitnya 39 orang anak terlibat kasus narkotika baik sebagai pemakai ataupun pengedar,18 angka ini juga tidak kalah mengejutkan dengan angka di Jakarta Selatan, data selama tahun 2013 untuk anak yang terlibat dalam kasus narkotika, naik dari tahun sebelumnya dari 80% menjadi 82%.19

Ini membuktikan bahwa keberadaan barang haram ini memang tidak memilih yang akan menjadi tuan dan tempatnya sehingga diperlukan suatu

16

2014.

17

http://m.republika.co.id/berita /nasional/jawa-tengah-diy-nasional/13/09/19/mtdshi-duh-tiga-anak-diamankan-karena-konsumsi-narkoba, diakses tanggal 4 februari 2014.

18

19

http://m.inilah.com/read/detail/2060300/pemakai -narkoba-di-jakarta-selatan-kalangan-anak, diakses tanggal 4 februari 2014.


(18)

penanganan dan upaya yang cepat dan tepat untuk menanggulangi ancaman bahaya narkoba ini sebelum semakin parah. Penyalahgunaan narkotika merupakan jenis kejahatan yang mempunyai (potensi) dampak sosial yang sangat luas dan kompleks, lebih-lebih ketika yang melakukan adalah anak-anak. Dampak sosial penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak-anak itu bukan hanya disebabkan oleh karena akibat yang ditimbulkan akan melahirkan penderitaan dan kehancuran baik fisik maupun mental yang teramat panjang, tetapi juga oleh karena kompleksitas di dalam penanggulangannya terutama ketika pilihan jatuh pada penggunaan hukum pidana sebagai sarananya.20

Sesuai dengan kharakteristik yang ada pada anak-anak, mereka memerlukan perhatian secara khusus, mengingat anak memiliki kharakteristik di mana kondisi fisik dan mental yang belum matang. Penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak hakikatnya merupakan pilihan yang bersifat dilematis. Di satu sisi, kemampuan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak sangat terbatas. Indikasi terhadap hal ini antara lain terlihat semakin meningkatnya penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak, sementara di sisi lain ada kecenderungan selalu digunakannya hukum pidana sebagai sarana penanggulangan narkotika yang dilakukan oleh anak padahal realitas menunjukan, bahwa peradilan pidana sebagai sarana penanggulangan penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak seringkali

20


(19)

menampilkan dirinya hanya sebagai “mesin” hukum yang hanya menghasilkan “keadilan prosedural”(procedural justice).21

Diperlukan suatu langkah yang bijaksana dalam menangani permasalahan penyalahgunaan narkotika ini, khususnya anak sebagai terpidana, mengingat sangat rentannya usia anak dan masih dalam usia imitasi. Beberapa ahli mengemukakan, peradilan pidana terhadap pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana konvensional lebih banyak menimbulkan bahaya dari pada kebaikan. Sementara itu, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pidana penjara membawa pengaruh lebih jahat, sehingga sering dikatakan bahwa rumah penjara adalah perguruan tinggi kejahatan atau pabrik kejahatan. Pada anak-anak mencapai 50%, untuk mereka yang pernah dipidana berusia 21 tahun ke bawah, mencapai 70%, residivis, lebih tinggi daripada yang bukan residivis setelah dijatuhi pidana penjara daripada pidana lainnya.

22

Dalam hal ini mekanisme peradilan akan memberikan stigma terhadap pelaku atas tindakan yang dilakukannya, sehingga lebih baik untuk menghindarkan pelaku dari sistem peradilan pidana konvensional ke mekanisme penyelesaian di luar sistem peradilan pidana.23

Di sisi lainnya anak yang terlibat dalam penyalahgunaan narkotika tentunya tidak lahir dengan tiba-tiba, melainkan melalui proses pertimbangan dari

21

Ibid. hal.55-56.

22

23


(20)

organisasi-organisasi kejahatan atau sindikat peredaran narkoba, dimana kejahatan tersebut memang menjanjikan keuntungan yang cukup menggiurkan.24

Hal-hal di ataslah yang melatarbelakangi penulisan skripsi ini dan menuangkannya dalam sebuah skripsi yang berjudul “Kebijkan Penanggulangan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika yang Dilakukan Oleh Anak Di bawah Umur dan Penerapan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika(Analisis Putusan No.41/Pid.Sus.A/2012/PN.PSP; Putusan No.770/Pid.Sus/2011/PN.Psp. dan Putusan No. 229/Pid.B/2012/PN.Jpr)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dijelaskan bahwa penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak di bawah umur ini menjadi masalah yang sangat serius mengingat anak adalah generasi penerus bangsa. Maka penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan peraturan hukum yang lainnya memegang peranan penting dalam upaya mencegah dan menanggulangi terjadinya tindak pidana penyalahgunaan narkotika dikalangan anak di bawah umur.

Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini, yaitu :

1. Bagaimana Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika yang Dilakukan Anak Di bawah Umur Dari Perspektif

Undang-24

Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, Malang : UMM Press, 2009, hal.67.


(21)

Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak?

2. Bagaimana Penerapan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Terhadap Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkotika Dalam Putusan No.41/Pid.Sus.A/2012/PN.PSP, Putusan No.770/Pid.Sus/2011/PN.Psp. dan Putusan No. 229/Pid.B/2012/PN.Jpr?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Penulisan skripsi ini bertujuan :

1. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika dikalangan anak di bawah umur dari perspektif Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

2. Untuk mengetahui penerapan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak di bawah umur.

Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah : 1. Secara teoritis :

Dapat menambah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pengaturan tindak pidana dipenyalahgunaan narkotika dari perspektif Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang dilakukan oleh anak di bawah umur.


(22)

Dapat mengetahui bagaimana penerapan Undang-Undang Nomor.35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam penegakan hukum dalam tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak di bawah umur dan memberikan masukan bagi perkembangan hukum pidana di masa yang akan datang.

D. Tinjauan Kepustakaan

1. Batas Usia Anak

Batas usia anak memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk dapat disebut sebagai seorang anak. Yang dimaksud dengan batas anak adalah pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subjek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan hukum yang dilakukan anak itu.25

Sebelum menjelaskan lebih dalam apa itu batas anak, beberapa definisi anak di bawah ini dapat memberikan batasan pemikiran tentang konsep anak itu sendiri, di antaranya ada :

a) Nicholas Mcbala dalam buku Juvenile Justice System mengatakan anak yaitu periode di antara kelahiran dan permulaan kedewasaan. Masa ini merupakan masa perkembangan hidup, juga masa dalam keterbatasan kemampuan termasuk keterbatasan untuk membahayakan orang lain.26

25

Maulana Hassan Wadong, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Grasindo, 2000, hal.24.

26


(23)

b) Poerwadarminta, memberikan pengertian anak sebagai manusia yang masih kecil.27

c) Made Sadhi Astuti menyimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan pengertian anak adalah mereka yang masih muda usia dan sedang menentukan identitas, sehingga berakibat muda kena pengaruh lingkungan sekitar.28

d) Ter Haar menyatakan, bahwa menurut hukum adat, masyarakat hukum kecil itu, yaitu saat orang yang menjadi dewasa ialah saat (laki-laki dan perempuan) sebagai seorang yang sudah berkawin meninggalkan rumah ibu bapaknya atau ibu bapak mertuanya untuk berumah tangga lain sebagai laki-laki bini muda yang merupakan keluarga yang berdiri sendiri.29

Beberapa Undang-undang dan peraturan kini, banyak memberikan batasan umur yang mana yang dikatakan sebagai anak. Namun semua bentuk peraturan yang ada di Indonesia kini, diadaptasi dari hukum adat, yang merupakan hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia dari dahulu. Karena itu terhadap orang-orang Indonesia berlaku hukum adat, yang akhirnya membuat Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Staatblad No. 54 tentang batas usia anak, Isi daripada staatblad, 1931-54, adalah :

30

27

W.J.S Purwadadarinta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Batavia : Balai Pustaka, 1976, hal.735.

28

Made Sadhi Astuti, Hukum Pidana Anak dan Perlindungan Anak, Malang :Universitas Negeri Malang, 2003, hal.6.

29

Kusno Adi, Kebijakan Kriminal dalam…Op.cit, hal.6.

30

Soedjono Dirjosisworo, Hukuman Dalam Berkembangnya Hukum Pidana, Bandung: Tarsito, 1983, hal .230.


(24)

a) Mereka yang belum berumur 21 tahun dan sebelumnya belum pernah kawin;

b) Mereka yang telah kawin sebelum mencapai umur 21 tahun dan kemudian bercerai-berai dan tidak kawin lagi di bawah umur;

c) Yang dimaksud dengan perkawinan bukanlah perkawinan anak-anak.

Seiring perkembangan zaman, Indonesia kini sudah memiliki berbagai undang-undang yang mencantumkan batas usia anak. Untuk dapat disebut sebagai anak maka orang itu harus berada pada batas usia bawah atau minimum nol (0) tahun (terhitung dalam kandungan) sampai dengan batas usia atas atau maksimum 18 tahun sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku untuk meletakkan batas usia seseorang yang layak dalam pengertian hukum nasional. Beberapa peraturan perundang-undangan memberikan batas usia anak sebagai berikut :31

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, batas usia anak adalah 21 tahun dan belum kawin.

2. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, batas usia anak adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki dan belum kawin.

3. Undang-Undang No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak, batas usia anak adalah 21 tahun dan belum kawin.

4. Keputusan Presiden Republik Indonesia No.36 Tahun 1990 tentang pengesahan convention of the rights (konvensi tentang hak-hak anak, batas usia anak adalah di bawah18 tahun.

5. Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, batas usia anak adalah 18 tahun dan belum kawin.

6. Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, batas usia anak adalah 18 tahun dan belum kawin.

7. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, batas usia anak adalah di bawah/ belum berusia 18 tahun termasuk mereka yang masih dalam kandungan seorang ibu.

8. Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, batas usia anak adalah belum berumur 18 tahun dan belum kawin.

31


(25)

9. Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, batas usia anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.32

Pengertian batas usia anak pada hakikatnya mempunyai keanekaragaman bentuk dan spesifikasi tertentu. Maksudnya pengelompokan batas usia maksimum anak (batas usia atas) sangat tergantung dari kepentingan hukum anak yang bersangkutan.33

2. Pengertian Tindak Pidana

Para pembentuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana telah menggunakan perkataan strafbaar feit untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai “tindak pidana” di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan perkataan strafbaar feit tersebut.34

Pompe menyatakan, strafbaar feit itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum yang terjaminnya kepentingan umum.35

Simons telah merumuskan strafbaar feit itu sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan

32

Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 1 butir ke-3

33

Maulana Hassan Wadong, Op.cit., hal.26.

34

PAF.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 1997, hal.181.

35


(26)

sengaja oleh seorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang yang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.36

a. Untuk adanya suatu strafbaar feit diisyaratkan bahwa disitu harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang-undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.

Alasan dari Simons, apa sebabnya strafbaar feit itu harus dirumuskan seperti di atas adalah karena :

b. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan di dalam undang-undang, dan

c. Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut undang-undang, pada hakikatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu onrechtmatige handeling.

Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikan beliau sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.37

36

Ibid.,hal 185

Ia tidak menyetujui apabila kata straf diterjemahkan menjadi “hukuman” dan kata wordt gestraf diartikan “dihukum”. Selanjutnya ia mengalternatifkan terjemahan lain, yaitu “pidana” untuk kata straf

37

Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I,Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2002, hal.71.


(27)

dan “diancam dengan pidana” untuk kata wordt gestraf. Pertimbangannya adalah apabila kata straf diartikan ”hukuman”, maka kata strafrecht harus mengandung arti “hukuman-hukuman”.38

Kata straf dalam penggunaanya akan sangat tergantung dengan situasi dalam kerangka apa istilah tersebut dipergunakan, karena istilah ini tidak memiliki arti yang pasti. Berikut beberapa penjelasan tentang arti “pidana dan “hukum pidana”, berikut ini beberapa kutipan definisi para ahli :39

1. Mr. W. P. J. Pompe memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan umum menegnai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya.

2. Moelyatno mengartikan bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar untuk, menentukan perbuatan mana yang dilarang, kapan dan bagaimana pengenaan pidana dilaksanakan.

3. Sudarto mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

4. Roeslan Saleh mengartikan bahwa yang dimaksud dengan pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik.

38

Waludi, Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2003, hal.1.

39


(28)

Setiap tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu pada umumnya dapat dijabarkan kedalam unsur-usur yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif.40

Unsur-unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah :

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).

2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.

Unsur-unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan yaitu dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah:41

1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid

40

PAF.Lamintang, Op.cit.,hal.193.

41


(29)

2. Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri’ keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP

3. Kausalitas, yakni hubungan antar sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Moeljatno menyatakan suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :42

1. Subjek 2. Kesalahan

3. Bersifat melawan hukum (dari tindakan)

4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/perundang-undangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana;

5. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya).

C.S.T Kansil menyatakan,Tindak pidana atau delik ialah tindakan yang mengandung 5 unsur yakni:43

1. Harus ada suatu kelakuan (gedraging);

2. Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian undang-undang (wattelijke omschrijving);

3. Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak; 4. Kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku; 5. Kelakuan itu diancam dengan hukuman. 42

Ibid.,hal.211.

43

C.S.T.Kansil. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia,Jakarta :PN Balai Pustaka, 1983, hal.276.


(30)

3. Pengertian Penyalahgunaan Narkotika

Istilah narkotika yang dikenal di Indonesia dari sisi tata bahasa berasal dari bahasa Inggris Narcotics yang berarti obat bius, yang sama artinya dengan kata Narcosis dalam bahasa Yunani yang berarti menidurkan atau membiuskan. Secara umum Narkotika diartikan suatu zat yang dapat menimbulkan perubahan perasaan, suasana pengamatan/penglihatan karena zat tersebut mempengaruhi susunan pusat syaraf.44

Undang-undang No. 35 Tahun 2009, di Pasal 1-nya menyebutkan narkotika merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-undang ini.

Tindak pidana narkotika adalah merupakan salah satu sebab terjadinya berbagai macam bentuk tindak pidana kejahatan dan pelanggaran, yang secara langsung menimbulkan akibat demoralisasi terhadap masyarakat, generasi muda dan terutama bagi si pengguna zat berbahaya sendiri, seperti: pembunuhan, pencurian, penjambretan, pemerkosaan, penipuan, pelanggaran rambu lalu lintas, pelecehan terhadap keamanan dan lain-lain.45

Narkotika disatu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat dibidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan, dan sisi

44

Kusno Adi, Kebijakan Kriminal dalam..Op.cit. hal.12.

45 Ibid.


(31)

lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama.

Oleh karena itu, dilakukan pengaturan narkotika dalam bentuk undang-undang narkotika secara tegas menyebutkan tujuannya, dan dituangkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Narkotika, sebagai berikut.

Pengaturan narkotika bertujuan untuk :

a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan tegnologi;

b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika;

c. Memberantas peredaran gelap narkotika dan Prekusor Narkotika; dan d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah

Guna dan pecandu Narkotika.

Memahami pengertian penyalahgunaan yang diatur dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Narkotika, maka secara sistematis dapat diketahui tentang pengertian penyalahgunaan narkotika, yaitu penggunaan narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter.

Secara sederhana dapat disebutkan bahwa penyalahgunaan narkotika adalah pola penggunaan narkotika yang patologi46

46

Pathology/ patologi adalah keadaan sakit karena terganggunya jaringan fungsi tubuh, pengetahuan tentang perubahan-perubahan fisik dan fungsional pada tubuh akibat penyakit. Med. Ahmad Ramali dan K. St. Pamoentak, Kamus Kedokteran, Jakarta : Djambatan, 1996, hal.255.

sehingga mengakibatkan hambatan dalam fungsi sosial. Hambatan fungsi sosial dapat berupa kegagalan untuk memenuhi tugasnya bagi keluarga atau teman-temannya akibat perilaku yang tidak wajar dan ekspresi perasaan agresif yang tidak wajar pula , dapat pula


(32)

membawa akibat hukum karena kecelakaan lalu lintas akibat mabuk atau tindak kriminal demi mendapatkan uang untuk membeli narkotika.

Widjono, dkk., mendefinisikan penyalahgunaan narkotika sebagai pemakaian obat secara terus-menerus, atau sesekali tetapi berlebihan, dan tidak menurut petunjuk dokter atau praktek kedokteran.47

Sementara itu Gordon membedakan pengertian pengguna, penyalahguna, dan pecandu narkoba. Menurutnya, pengguna adalah seseorang yang menggunakan narkoba hanya sekedar untuk, bersenang-senang, rileks atau relaksasi, dan hidup mereka tidak berputar disekitar narkoba. Pengguna jenis ini disebut juga sebagai pengguna sosial rekreasional. Penyalahguna, adalah seorang yang mempunyai masalah yang secara langsung berhubungan dengan narkoba. Masalah tersebut bisa muncul dalam ranah fisik, mental, emosional maupun spritual. Penyalahguna selalu menolak untuk berhenti sama sekali dan selamanya. Sedangkan pecandu adalah seorang yang sudah mengalami hasrat/ obsesi secara mental dan emosional serta fisik. Bagi pecandu, tidak ada hal yang lebih penting selain memperoleh narkoba, sehingga jika tidak mendapatkannya, ia akan mengalami gejala-gejala putus obat dan kesakitan.48

Narkotika apabila dipergunakan secara proporsional, artinya sesuai menurut asas pemanfaatan baik untuk kesehatan maupun untuk kepentingan penelitian ilmu pengetahuan, maka hal tersebut tidak dapat diklasifikasi sebagai tindak pidana narkotika. Akan tetapi dipergunakan untuk maksud-maksud yang lain dari itu, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan

47

Tina Afiatin, Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Dengan Program AJI, Yogyakarta :Gajah Mada University Press, 2008, hal.13.

48


(33)

tindak pidana narkotika dan atau penyalahgunaan narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.

Penyalahgunaan narkotika merupakan tindak pidana yang mempunyai kekhususan tersendiri dibandingkan tindak pidana umumnya. Ciri-ciri khusus tindak pidana narkotika adalah sebagai berikut:49

a. Suatu kejahatan terorganisir dalam jaringan sindikat, jarang kasus narkotika tidak merupakan sindikat terutama heroin

b. Berlingkup internasional, tidak lokal sifatnya. Walaupun di Indonesia tanaman ganja dapat tumbuh, tapi konsumennya diseluruh dunia sehingga dapat dikirim keluar negeri

c. Pelakunya dengan sistem sel artinya antara konsumen dan pengedar tidak ada hubungan langsung (terputus) sehingga apabila konsumen tertangkap akan sulit mengetahui pengedarnya, demikian pula sebaliknya

d. Dalam tindak pidana narkotika pelaku juga korban sehingga kejahatan narkotika pelaporannya sangat minim.

Jadi pengertian penyalahgunaan Narkotika yang dimaksudkan di dalam skripsi ini adalah seperti yang tercantum di dalam Undang-undang Narkotika Pasal 1 butir 15, yaitu orang yang menggunakan narkotika tanpa hak dan melawan hukum, dan kemudian dipersempit lagi kedalam penggunaan narkotika tanpa hak dan melawan hukum yang digunakan untuk konsumsi terhadap diri sendiri, dan penyalahgunaan narkotika seperti yang diatur di dalam Pasal 127 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

4. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan

Kebijakan penanggulangan kejahatan dalam bahasa Hoefnagels disebut Criminal Policy, namun Mahmud Mulyadi dalam bukunya “Criminal Policy”, menyatakan istilah kebijakan kriminal seolah mencari suatu kebijakan untuk

49

Djoko Prakoso, Bambang Riyadi Lany dan Mukhsin, Kejahatan-kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hal.480.


(34)

membuat kejahatan (kriminal). Kebijakan penanggulangan kejahatan menurut Hoefnagels dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan penal (penerapan hukum pidana) dan pendekatan non penal (pendekatan diluar hukum pidana). Integrasi dua pendekatan ini disyaratkan dan diusulkan dalam United Nations Congress on The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. Hal ini dilatarbelakangi bahwa kejahatan adalah masalah sosial dan masalah kemanusiaan. Oleh karenanya upaya penanggulangan kejahatan tidak hanya dapat mengandalkan penerapan hukum pidana semata, tetapi juga melihat akar lahirnya persoalan kejahatan ini dari persoalan sosial, sehingga kebijakan sosial juga sangat penting dilakukan.50

a. Kebijakan Hukum Pidana (penal policy)

Istilah “kebijakan” berasal dari bahasa Inggris policy atau bahasa Belanda politiek. Istilah ini di dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan kata politik, oleh karena itu kebijakan hukum pidana biasa disebut juga politik hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum pidana, maka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai politik hukum secara keseluruhan karena hukum pidana adalah salah satu bagian dari ilmu hukum.

Marc Ancel pernah menyatakan, bahwa modern criminal science terdiri dari tiga komponen criminology, criminal law, dan penal policy. Dikemukakan olehnya, bahwa penal policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberikan pedoman tidak hanya kepada

50

Mahmud Mulyadi,Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008, hal.51.


(35)

pembuat undang-undang, tetapi juga kepada penggadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.51

Bertolak dari pengertian demikian Soedarto selanjutnya menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain, beliau menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.52

Ruang lingkup kebijakan hukum pidana sebenarnya lebih luas daripada pembaharuan hukum pidana. Muladi mengungkapkan bahwa, aspek ini berorientasi pada kenyataan kebijakan hukum pidana dilaksanakan melalui tahap-tahap konkretasi/operasionalisasi/fungsionalisasi hukum pidana terdiri dari :53

a. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini disebut tahap kebijakan legislatif.

b. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan. Tahap ini disebut tahap kebijakan yudikatif.

c. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat disebut kebijakan eksekutif atau administratif.

Berdasarkan pengertian tentang politik hukum, maka secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa politik hukum pidana merupakan upaya menentukan

51

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta : Kencana, 2008, hal.19.

52

Moh. Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : Rajawali Pers, 2010, hal.1.

53


(36)

kearah mana pemberlakuan hukum pidana Indonesia masa yang akan datang dengan melihat penegakannya saat ini. Hal ini juga berkaitan dengan konseptualisasi hukum pidana yang paling baik untuk diterapkan.54

A.Mulder mengemukakan secara rinci tentang ruang lingkup politik hukum pidana yang menurutnya bahwa politik hukum pidana adalah garis kebijakan untuk menentukan:55

a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dilakukan perubahan atau diperbaharui.

b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya kejahatan.

c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminl. Dengan kata lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan pula bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).56

b. Kebijakan Non Penal (non penal policy).

Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Oleh krena itu, sasaran utamanya

54

Mahmud Mulyadi,Op.cit.,hal.66.

55 Ibid. 56


(37)

adalah menangani faktor-faktor kondusif peyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian dilihat dari kebijakan penanggulangan kejahatan, maka usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang strategis dan memegang peranan kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan.57

Kondisi sosial yang yang ditengarai sebagai faktor penyebab timbulnya kejahatan, seperti yang telah dikemukakan adalah masalah-masalah yang sulit dipecahkan bila hanya mengandalkan pendekatan penal semata. Oleh karena itu, pemecahan masalah diatas harus didukung oleh pendekatan non penal berupa kebijakan sosial dan pencegahan kejahatan berbasiskan masyarakat.58

Pendekatan non penal menurut Hoefnagels adalah pendekatan pencegahan kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan (prevention without punishment), yaitu antara lain perencanaan kesehatan mental masyarakat secara nasional (national mental health), social worker and child welfare (kesejahteraan anak dan pekerja sosial), serta penggunaan hukum civil dan hukum aministrasi (administration and civil law).59

Secara kasar dapat dibedakan bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitikberatkan kepada sifat repressive (penindasan/ pemberantasan/ penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non penal lebih menitikberatkan pada sifat preventive (pencegahan/ penangkalan/

57

Mahmud Mulyadi,Op.cit.,hal 55.

58

Ibid, hal. 57.

59


(38)

pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.60 Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif antara lain, berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan dan menumbuhsuburkan kejahatan.

E. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif. Dalam hal penelitian yuridis normatif, dilakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan skripsi ini.

2. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder, data sekunder diperoleh dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan diterapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yaitu berupa peraturan perundang-undangan, seperti Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

60


(39)

b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang tindak pidana penyalahgunaan narkotika meliputi kasus dari Pengadilan Negeri Padangsidimpuan dan Pengadilan Negeri Jayapura (Putusan No No.41/Pid.Sus.A/2012/PN.PSP, Putusan No.770/Pid.Sus/2011/PN.Psp. dan Putusan No. 299/Pid.B/2012/PN.Jpr), buku-buku karya ilmiah dan beberapa sumber ilmiah dan beberapa sumber ilmiah serta sumber internet yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan sebagainya. 3. Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah studi kepustakaan (library research), yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai literatur yang relevan dengan permasalahan skripsi ini seperti, buku-buku, makalah, artikel dan berita yang diperoleh penulis dari internet yang bertujuan untuk mencari atau memperoleh konsepsi-konsepsi, teori-teori atau bahan-bahan yang berkenaan dengan tindak pidana penyalahgunaan narkotika.

4. Analisis data

Secara umum ada 2 (dua) metode analisis data yaitu metode kualitatif dan metode kuantitatif. Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode analisis


(40)

kualitatif, dimana data yang berupa asas, konsepsi, doktrin hukum serta isi kaedah hukum dianalisis secara kualitatif.

F. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “ Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika yang Dilakukan Oleh Anak Di bawah Umur dan Penerapan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Sumatera Utara. Judul skripsi ini belum pernah ditulis dan diteliti dalam bentuk yang sama sehingga tulisan ini asli atau dengan kata lain tidak ada judul yang sama dengan mahasiswa Fakultas Hukum Sumatera Utara, dengan demikian penulis dapat mempertanggungjawabkan secara ilmiah.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar memberikan kemudahan bagi pembaca dalam memahami makna dari penulisan skripsi ini. Keseluruhan sistematika itu merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain yang dapat dilihat sebagai berikut:

Bab pertama merupakan bab pendahuluan, yang memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian , keaslian Penelitian dan sistematika penulisan.

Pada bab kedua akan dibahas mengenai perbuatan yang termasuk sebagai tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak di bawah umur dari perspektif undang-undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan No.11


(41)

Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang meliputi faktor penyebab penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak, kaitan kejahatan anak dengan kebijakan penanggulangan kejahatan serta kebijakan penanggulangan tindak pidana narkotika yang dilakukan anak di bawah umur dari perspektif UU No.35 Tahun 2009 dan UU No.11 Tahun 2012.

Pada bab ketiga akan dibahas mengenai penggunaan narkotika tanpa hak dan melawan hukum sebagai bentuk tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak di bawah umur beserta analisis kasus Putusan No.41/Pid.Sus.A/2012/PN.Psp, Putusan No.770/Pid.Sus/2011/PN.Psp. dan Putusan No.229/PidB/2012/PN.Jpr.

Bab keempat ini berisi kesimpulan dan saran yang berfungsi memberikan masukan bagi perkembangan hukum pidana di masa yang akan datang.


(42)

BAB II

KEBIJAKAN PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAN ANAK DI BAWAH UMUR DARI PERSPEKTIF

UNDANG-UNDANG NO.35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DAN UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG

SISTEM PERADILAN ANAK

A. Kejahatan Anak Kaitannya Dengan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan (Politik Kriminal)

Salah satu bentuk dari perencanaan perlindungan sosial adalah usaha-usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan yang biasa disebut dengan politik kriminal (criminal politic). Tujuan akhir dari politik kriminal adalah suatu perlindungan masyarakat. Dengan demikian politik kriminal adalah merupakan bagian dari perencanaan perlindungan masyarakat, yang merupakan bagian dari keseluruhan kebijakan sosial. Upaya penanggulangan kejahatan yang dilakukan terhadap anak sebenarnya tidaklah jauh berbeda dengan kebijakan yang diterapkan terhadap orang dewasa. Di dalam upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti:61

1. Ada keterpaduan antara politik kriminil dan politik sosial

2. Ada keterpaduan antara upaya penggulangan kejahatan dengan penal maupun non penal

Kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan cara/upaya untuk menanggulangi kejahatan baik dengan penerapan sistem pemidanaan (kebijakan pidana/penal) maupun tanpa sistem pidana (non penal).

61

Paulus Hadisuprapto, Juvenile Delinquency, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1997, hal.75.


(43)

Hawkins menyebutkan jalannya pembuatan kebijakan didasari oleh :62

1. Ideologi: memilih pembuat kebijakan dengan hati-hati karena khawatir dalam menghukum terjadi kebijakan yang memberatkan atau terlalu meringankan. Oleh karena itu diperlukan panduan ideologi dalam sebuah kerangka (master frame) yang tepat sehingga melindungi keadilan masyarakat.

2. Pensimbolan: merupakan bentuk representatif dari harapan masyarakat bahwa kenetralan harus selalu ditegakkan oleh para pembuat kebijakan. 3. Sosial-politik: para pembuat kebijakan tidak dapat mengabaikan

peningkatan sosial dan politik yang berkembang di masyarakat. Kesesuaian kebijakan harus dilandasi pada harapan masyarakat luas.

4. Ekonomi: memikirkan biaya yang dikeluarkan dalam menangani pelaku kriminal bagi operasional persidangan apabila harus dilanjutkan dan bila mereka berada di penjara.

5. Organisasi: keterpaduan pengelolaan lembaga pembuat kebijakan sehingga mempermudah proses. Ketidakjelasan fungsi masing-masing dalam proses akan membuat perbedaan pendapat setiap pembuat kebijakan atas suatu kasus.

6. Interaksi: merupakan hubungan dengan lembaga lain yang bekerja saling berhubungan. Setiap lembaga yang berhubungan dengan penegakan hukum harus saling berkomunikasi untuk mencapai kesamaan visi putusan.

Muladi menyatakan kebijakan kriminal atau kebijakan penanggulangan kejahatan bila dilihat lingkupnya, sangat luas dan tinggi kompleksitasnya. Hal ini wajar karena karena pada hakikatnya kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan sekaligus masalah sosial yang memerlukan pemahaman tersendiri. Kejahatan sebagai masalah sosial ialah merupakan gejala yang dinamis selalu tumbuh dan terkait dengan gejala dan struktur kemasyarakatan lainnya yang sangat kompleks, ia merupakan socio-political problems.63

62

Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana, Medan: USU Press, 2010, hal.24.

Kebutuhan untuk mengaitkan usaha-usaha penanggulangan kejahatan (yang nantinya terumuskan dalam suatu kebijakan Kriminal) dengan Politik Sosial adalah wajar karena pada hakikatnya

63


(44)

tujuan daripada Kebijakan Kriminal itu adalah Kesejahteraan Masyarakat, dengan kata lain, politik kriminal adalah merupakan bagian integral dari kebijakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Aspek hukum perlindungan anak secara luas mencakup hukum pidana, hukum acara, hukum tata negara, dan hukum perdata. Di Indonesia pembicaraan mengenai perlindungan hukum mulai Tahun 1977 dalam seminar perlindungan anak/remaja yang diadakan Prayuwana, menghasilkan dua hal penting yang harus diperhatikan dalam perlindungan anak yaitu :64

1. Segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang ataupun lembaga pemerintah dan swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan, dan pemenuhan kesejahteraan fisik, mental dan sosial anak dan remaja yang sesuai dengan kepentingan dan hak asasinya.

2. Segala daya upaya bersama yang dilakukan dengan sadar oleh perseorangan, keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta untuk pengamanan, pengadaan dan pemenuhan kesejahteraan rohani dan jasmani anak yang berusia 0-12 tahun, tidak dan belum pernah nikah, sesuai dengan hak asasi dan kepentingan agar dapat mengembangkan hidupnya seoptimal mungkin.

Diungkapkan secara tegas bahwa kepentingan anak dan kesejahteraan anak tidak boleh dikorbankan demi kepentingan masyarakat, ataupun kepentingan nasional, mengingat hal itu tidak lain justru akan dapat menimbulkan bentuk kesejahteraan lain atau korban lain. Dengan demikian terhadap anak delikuen yang terbukti melakukan kejahatan tetap harus mendapat perlindungan dan mendapatkan kesejahteraan, walaupun dalam kondisi anak delikuen sudah dijatuhi sanksi pidana.65

64

Marlina, Peradilan Pidana .., Op.Cit.,hal.42.

65


(45)

Asas-asas yang mendasari kebijakan penanggulangan kejahatan usia muda, termasuk perilaku kejahatan anak, itu berbeda dengan kejahatan orang dewasa, maka ada satu kebutuhan untuk sedikit melakukan modifikasi langkah-langkah penal maupun nonpenal dalam konteks politik kriminal bagi kejahatan usia muda dan perilaku kejahatan anak.66

Dalam kaitannya dengan kebutuhan akan keterpaduan (integritas) antara kebijakan penanggulangan kejahatan dengan politik sosial dan politik penegakan hukum, maka dalam konteks kebijakan penanggulangan kejahatan usia muda dan perilaku kejahatan anak, hal ini perlu dimodifikasi, bukan hanya politik kesejahteraan masyarakat dan politik perlindungan masyarakat secara umum, melainkan diarahkan secara khusus pada politik kesejahteraan anak dan politik perlindungan hak-hak anak, baik anak pada umumnya maupun anak yang menjadi korban kejahatan orang dewasa atau anak pelaku kejahatan. Berikut skematis uraian dari paparan di atas:

66


(46)

Hubungan Politik Kriminal Dengan Politik Sosial dan Politik Kesejahteraan Anak67

Dari skema tersebut, maka terlihat bahwa penanggulanagn kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti:68

a. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial. b. Ada keterpaduan (integralitas) antara upaya penganggulangan kejahatan

dengan “penal” dan “non penal”.

Dalam kaitan dengan pengguna sarana penal dan nonpenal, khusus untuk kebijakan penanggulangan kejahatan usia muda dan perilaku kejahatan anak, kondisi tidak berbeda, hanya saja penggunaan sarana nonpenal seharusnya diberi porsi yang lebih besar daripada pengguna sarana penal. Bila saja hal ini

67

Paulus Hadisuprapto, Op.Cit., hal.73.

68

Barda Nawawi Arief, Op.Cit.,hal.6. Kebijakan Sosial

Kebijakan Kesejahteraan Anak

Kebijakan Perlindungan Anak

TUJUAN

Kebijakan Kriminal

Sarana Penal


(47)

disepakati, maka berarti ada kebutuhan dalam konteks penaggulangan kejahatan usia muda dan perilaku kejahatan anak, pemahaman-pemahaman yang berorientasi untuk mencari faktor-faktor kondusif yang menyebabkan timbulnya kejahatan usia muda dan perilaku kejahatan anak. Disinilah muncul peranan kriminologi dalam melakukan penelitian baik yang bersifat klasik, positivis, maupun interaksionis, kiranya memberikan sumbangan pemahaman tentang hakikat dan latar belakang timbulnya kejahatan usia muda dan perilaku kejahatan anak. Di samping perannya di bidang penelusuran dan penemuan sarana-saran non-penal, pendekatan kriminologi ini diperlukan juga dalam konteks sarana penal. Sepert diketahui bahwa dalam konteks sarana penal, dikenal adanya permasalahan tentang hukum pidana dalam arti ius constitutum dan ius constituendum. Keduanya bersifat saling berkaitan dan menunjang dalam pembicaraan tentang penggunaan sarana penal dalam kebijakan penanggulangan kejahatan pada umumnya dan perilaku delikuensi anak pada khususnya.

Khusunya dalam kaitan dengan yang terakhir, tampaknya pemahaman terhadap dua masalah itu menjadi semakin penting saja, mengingat bahwa ketentuan yang tertuang dalam sistem hukum kita, masalah pidana anak dan peradilan anak masih merupakan persoalan yang cukup serius.

Lingkup kajian menempatkan anak dalam 2 (dua) posisi, yakni sebagai korban dan sebagai pelaku kejahatan maka hal itu berarti bahwa ada permasalahan dalam perilaku anak tersebut, maka untuk mengatasinya adpat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu melalui Sarana Penal dan Sarana Non Penal. Penyelesaian dengan Sarana Penal berarti memberlakukan hukum positif dan tidak menutup


(48)

kemungkinan akan menciptakan suatu pembaharuan hukum di masa mendatang sesuai dengan yang dicita-citakan (ius constituendum), namun apabila sedelesaikan dengan Sarana Non Penal maka akan dilakukan pendekatan secara kriminologik terhadap anak baik terhadap perilaku/pribadi anak maupun lingkungan sekitarnya. Pendekatan kriminologi terhadap anak baik pelaku kejahatan juga berfungsi dalam konteks sarana penal, karena melalui pendekatan kriminologi maka akan mempengaruhi hukum pidana anak dalam arti ius constitutum dan ius constituendum.

Lingkup Kajian mengenai kejahatan anak tersebut digambarkan dengan skema berikut:

Lingkup Kajian Tentang Perilaku Kejahatan Anak69

69

Paulus Hadisuprapto, Op.Cit.,hal.79.

ANAK

KORBAN

PELAKU ANAK BERMASALAH

DALAM PERILAKUNYA

SARANA PENAL SARANA NON

PENAL

PENDEKATAN KRIMINOLOGIK

IUS CONSTITUTUM

IUS CONSTITUENDUM


(49)

B. Faktor-faktor Penyebab Penyalahgunaan Narkotika yang Dilakukan Anak

Penyalahgunaan narkotika kerap terjadi karena berbagai faktor yang melatarbelakangainya yang kemudian terjalin menjadi satu, diantaranya:70

a. Faktor Individu

Perkembangan jiwa manusia yang terdiri dari tiga aspek (kognisi-pikiran; afeksi-emosi; dan konasi-kehendak) sangat dipengaruhi oleh dinamika perkembangan konsep dirinya, yang pastinya berbeda dari individu lainnya. Dalam kaitannya dengan penyalahgunaan narkotika faktor-faktor yang menyebabkan seseorang dapat dengan mudah terjerumus, sedang yang lain tidak terjerumus, yakni:71

1. Adanya ganguan kepribadian; 2. Faktor usia;

3. Pandangan dan keyakinann yang keliru; 4. Religiusitas yang rendah.

b. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan memiliki pengaruh yang besar terhadap jatuhnya seseorang ke dalam penyalahgunaan narkotika, terutama faktor keluarga, dimana keluarga merupakan wadah pembentukan karakter dan kepribadian, pertumbuhan dan perkembangan hidup seseorang tidak terlepas dari apa yang disediakan dan diberikan keluarganya. Faktor lingkungan sekitar juga merupakan sarana pembentuk kepribadian seseorang, misalnya seseorang yang tumbuh di

70

Dwy Yanny L., Narkoba Pencegahan dan Penanggulangannya, Jakarta :PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, 2001, hal.35.

71


(50)

lingkungan yang kurang baik akan tumbuh sebagai anak yang kurang baik pula, walaupun tidak menutup kemungkinan akan ada seseorang yang akan tumbuh menjadi baik di lingkungan yang kurang baik, ataupun seseorang tumbuh dengan tidak baik di lingkungan yang baik.Teman kelompok ataupun teman sepergaulan mempunyai pengaruh besar yang dapat menjadi pendorong ataupun pencetus seseorang menjadi penyalahguna narkotika. Pengaruh teman ini sangat besar karena menciptakan keterikatan dan kebersamaan.

c. Faktor karena Terjadinya Tindak Pidana (kejahatan) lainnya di Bidang Narkotika

Kejahatan penyalahgunaan narkotika dapat juga terjadi karena dipicu/didorong oleh terjadinya kejahatan di bidang narkotika yang lainnya, misalnya menyangkut produksi narkotika, jual beli, dan menyangkut penguasaan narkotika. Tindak pidana tersebut akhirnya membuka kesempatan bagi peredaran narkotika secara ilegal yang akhirnya menyebabkan terjadinya penyalahgunaan narkotika.

Faktor-faktor di atas merupakan faktor yang mendasari seseorang menyalahgunakan narkotika secara umum, namun faktor-faktor di atas juga dapat dikaitkan dengan anak sebagai pelaku penylahgunaan narkotika. Namun bila diidentifikasi lebih lanjut untuk mengetahui penyebab penyalahgunaan narkotika atau obat-obatan yang dilakukan oleh anak, terdapat beberapa teori yang dapat memberikan penjelasan tentang latar belakang mengapa anak berperilaku menyimpang, salah satunya dari persfektif kriminologi. Teori ini secara umum


(51)

dapat dibagi menjadi dua yaitu, mempergunakan pendekatan sosiologis dan pendekatan psikologis.72

a. Pendekatan psikologis

Pendekatan Psikologis mengkaji hanya sebatas keadaan psokologis anak pada saat melakukan tindak pidana dan setelah menjalani pidana. Sehingga lebih banyak berkaitan dengan batas umur minimum dan maksimum seorang anak dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan agar perkembangan dan pertumbuhan fisik dan jiwanya tidak terganggu. Aspek psikologis juga mempengaruhi penyalahgunaan narkoba pada anak, hal ini disebabkan karena pada umumnya anak mengalami ketidakstabilan emosional dan adanya perubahan kepribadian, dan ini merupakan faktor yang kondusif baggi tindak penyalahgunaan narkoba. Aspek intrapersonal yang diidentifikasi berperan penting dalam penyalahgunaan narkoba pada anak adalah rendahnya harga diri, mereka memilih menggunakan narkoba sebagai saranana untuk mengembalikan kestabilan emosinya, sehingga menimbulkan rasa aman pada diri mereka.

Mencari tahu tentang faktor yang melatar belakangi anak melakukan kejahatan tidak terlepas dari dasar sebab-sebab terjadinya kejahatan dalam pandangan kriminologi. Secara umum, ada 2 (dua) faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan yaitu:73

1. Faktor intern, adalah faktor-faktor yang terdapat pada individu seperti umur, sex, kedudukan individu, pendidikan individu, masalah rekreasi/liburan individu, agama individu;

2. Faktor ekstern, adalah faktor-faktor yang berada di luar iindividu. Faktor ekstern ini berpokok pangkal pada lingkungan individu seperti waktu

72

Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya Alternatif …Op.Cit.,hal.101.

73


(52)

kejahatan, tempat kejahatan, keadaan keluarga dalam hubungannya dengan kejahatan.

b. Pendekatan Sosiologis

Pada teori-teori yang mempergunakan pendekatan sosiologis maka JE. Sahetapy menyebutkan bahwa secara umum teori-teori sosiologis dapat dibagi berdasarkan pendekatan pada :74

a. Aspek konflik kebudayaan yang terdapat dalam sistem sosial bersangkutan (terdapat konflik antara kebudayaan-kebudayaan dari berbagai kelompok masyarakat yang bersangkutan, yang menyebabkan dalam masyarakat tadi tidak terdapat pedoman yang jelas mengenai benar dan salah);

b. Aspek disorganisasi sosial yang terdapat dalam daerah-daerah tertentu, di mana terdapat konflik kebudayaan tadi (karena heterogenitas penduduk, maka sebagian penduduk tidak dapat turut berpatisipasi dalam aktifitas-aktifitas masyarakat setempat dan karena itu pula tidak dapat mengontrol anak-anaknya). Kedua-duanya juga disebut dengan teori kontrol, karena mencoba menerangkan gejala delikuensi anak berdasarkan ketiadaan kontrol (pengendalian) efektif dari orangtua dan masyarakat:

a. Aspek ketiadaan norma (anomi) dalam sistem sosial dari masyarakat bersangkutan (disebabkan karena adanya jurang perbedaan yanglebar antara aspirasi dalam bidang ekonomi yang telah melembaga dalam masyarakat dengan kesempatan-kesempatan yang diberikan sistem sosial bersangkutan kepada warga-warga masyarakatnya untuk mencapai aspirasi tersebut.

b. Aspek subbudaya (sub culture) yang terdapat dalam kebudayaan induk (domain culture) masyarakat yang bersangkutan (dan subbudaya mana mempunyai nilai dan norma yang berbeda atau kadang-kadang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma kebudayaan induk). Adapun teori-teori tersebut diantaranya yaitu :

a. Teori kontrol sosial

Atau sering disebut dengan teori kontrol, berangkat dari asumsi dasar, bahwa individu dalam masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama kemungkinannya untuk menjadi “baik” atau “jahat”. Baik jahatnya

74


(53)

seseorang tergantung kepada masyarakatnya. Teori kontrol menggambarkan bahwa individu-individunya bebas melanggar hukum, karena mereka secara sosial tidak mampu menyesuaikan dirinya dalam masyarakat yang mematuhi norma-norma yang berlaku.

Teori kontrol memandang bahwa penyebab kenakalan terletak pada kekuatan hubungan antara seorang anak dengan individu-individu kenfensional dan kelompok-kelompok. Oleh karena itu, penganut paham ini berpendapat bahwa ikatan sosial (social bond) seseorng dengan masyarakatnya dipandang sebagai faktor pencegah timbulnya penyimpangan.

b. Teori Subbkultur Delikuen

Di teori ini, memfokuskan perhatiannya kepada satu pemahaman bahwa perilaku delikuen di kalangan usia muda, kelas bawah merupakan cerminan ketidakpuasan terhadap norma-norma dan nilai-nilai kelompok kelas menengah yang mendominasi kultur masyarakat. Karena kondisi sosial yang ada dipandang sebagai kendala upaya mereka untuk mencapai kehidupan sesuai trend yang ada sehingga mendorong kelompok kelompok usia muda kelas bawah mengalami konflik budaya, yang disebut “status frustation” . Akibatnya meningkat keterlibatan anak-anak kelas bawah itu pada kegiatan geng-geng dan berperilaku menyimpang yang sifatnya “nonutilitarian, nonmaliciaous dan nonnegativistics”. Reaksi penolakan terhadap anak-anak kelas bawah, cenderung membawa anak-anak kelas bawah tidak punya pengakuan


(54)

akan posisi kemasyarakatannya. Hal ini yang kemudian mendorong mereka kepada perilaku corner boy atau deliquent boy.

Sementara itu latar belakang kondisi biologis yang berbeda-beda juga menyebabkan kemungkinan anak menjadi penyalahguna narkoba tidak sama. Sejumlah hal-hal yang terkait dengan faktor ini yaitu aspek organobiologis dan aspek psikologis.75

Selanjutnya Cohen membuat klasifikasi dari sub-sub budaya delikuen menjadi :

Kepekaan remaja terhadap narkoba secara psikologis yang berbeda-beda diduga dipengaruhi oleh faktor-faktor konstitusional dan genetik. Siregar (1995) menyatakan bahwa pendekatan biologis makin berkembang sejak ditemukannya reseptor opiat dalam tubuh manusia (terutama di otak) dan opiat endogen (endorfin,enkafalin), lalu disusul penemuan reseptor benzo diazepin. Secara biologis mekanisme respons terhadap narkoba, selain dipengaruhi oleh faktor genetik, juga ditentukan oleh mekanisme kerja zat reseptor, yaitu organ tubuh yang menangkap zat tersebut agar mempunyai khasiat.

1. Sub-kultur orang tua- subkultur negativistic yang diidentifikasikan ada pada diri anak-anak nakal;

2. Sub-kultur berorientasi konflik-kultur suatu geng besar yang terlibat dalam kekerasan kolektif;

3. Sub kultur pecandu obat-obatan-kelompok anak-anak muda yang kehidupannya berputar pada pembelian, penjualan, dan penggunaan narkotika; dan

75


(55)

4. Sub-kultur kelas menengah-kelompok anak-anak nakal yang timbul karena tekanan-tekanan kehidupan dalam lingkungan kelompok kelas menengah.

c. Teori Anomi

Diajukan oleh Rober K.Merton, di mana melihat keterkaitan anara tahap-tahap tertentu dari struktur sosial dengan perilaku delikuen, ia melihat bahwa tahapan tertentu dari struktur sosial akan menumbuhkan suatu kondisi di mana pelanggaran terhadap norma-norma kemasyarakatan merupakan wujud reaksi “normal” (jadi seolah-olah terjadi keadaan tanpa norma/anomi).

Secara garis besar ada tiga faktor yang mempengaruhi terjadinya penyalahgunaan narkoba pada anak, yakni faktor narkobanya sendiri, faktor individual dan faktor lingkungan.

a. Faktor narkobanya sendiri menjadi faktor penting terjadinya penyalahgunaan narkoba karena pemakaiannya menimbulkan efek atau sensasi tertentu sehingga pengguna terdorong untuk mencari dan menikmati sensasi-sensasi itu.76

Seperti penjelasan sebelumnya, dengan munculnya narkoba itu sendiri, munculnya tindak pidana dibidang narkotika itu, membuka kesempatan menyalahgunakan narkotika, khususnya anak yang masih dalam tahap ingin tahu dan coba-coba yang besar, sehingga berdampak kepada pemakaian yang berkelanjutan.

76


(1)

berjalan diatur oleh Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (berlaku efektif juli 2014 dan saat ini masih menggunakan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak) terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika, di dalam undang-undang ini sendiri mengatur tentang bagaimana sikap dan perlakuan yang diperbolehkan dilakukan penyelidik dan penyidik kepada anak pelaku tindak pidana, bagai mana sikap penuntut umum, dan bagaimana proses pengadilan yang dilaksanakan kepada anak pelaku tindak pidana narkotika. Dan Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur bagaimana penerapan sanksi yang sesuai untuk anak sebagai pelaku tindak pidana penyalahguna narkotika. Kebijakan lain yang ditemukan di dalam Undang-undang sistem Peradilan Pidana Anak ini, memberikan kesempatan bagi anak pelaku tindak pidana penyalahguna narkotika untuk diproses secara diversi agar tidak melibatkan anak kedalam proses peradilan yang panjang dan cukup rumit untuk anak di bawah umur.

2. Penerapan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap kasus penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak dibawah umur pada putusan Pengadilan Negeri Padang Sidimpuan dengan nomor register 770/Pid.Sus/2011/PN.Psp; dan 41/Pid.Sus.A/2012/PN.Psp, serta putusan Pengadilan Negeri Jayapura dengan nomor register 229/Pid.B/2012/PN.Jpr. merupakan bentuk penegakan hukum terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak.


(2)

Perbuatan para terdakwa telah memenuhi unsur sebagai penyalahguna narkotika, namun putusan hakim untuk ketiga putusan tersebut adalah berbeda-beda. Untuk putusan Nomor: 770/Pid.Sus/2011/PN.Psp; hakim menjatuhkan putusan kepada para terdakwa dengan mengembalikan mereka kepada orangtuanya masing-masing; pada putusan dengan nomor register 41/Pid.Sus.A/2012/PN.Psp hakim menjatuhkan sanksi 2(dua) bulan penjara untuk para terdakwanya, dan pada putusan dengan nomor register 229/Pid.B/2012/PN.Jpr.hakim memutus terdakwa dengan menjatuhkan sanksi selama 8 (delapan) bulan penjara. Dari ketiga kasus di atas, hakim sama-sama memutus para pelaku penyalahguna narkotika dengan pasal penyalahgunaan narkotika yaitu Pasal 127 Undang-undang Narkotika. Hal ini menunjukkan bahwa hakim masih cenderung memberikan sanksi berupa penjara bagi anak yang menggunakan narkotika untuk konsumsi pribadinya.

B. Saran

1. Masih perlu ditingkatkan fungsi peraturan serta penerapan hukum oleh hakim, dan juga sosialisasi terhadap aparat penegak hukum serta masyarakat tentang tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak agar terbentuk kerjasama yang terpadu antara masyarakat dan aparat dalam rangka memberantas tindak pidana penyalahgunaan narkotika khususnya yang dilakukan oleh anak di bawah umur sebagai penerus bangsa. Disamping itu pula diperlukan pendekatan terhadap sistem pertanggungjawaban dilihat dari aspek kejiwaan yang


(3)

masih labil dari pada anak-anak terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika ini.

2. Terkait penerapkan pidana hendaknya para penegak hukum memperhatikan anak adalah korban dari pada lingkungan sekitarnya khususnya orang tua dan pergaulannya, oleh karena itu sistem pemidanaan yang memfokuskan kepada teori pembalasan kurang tepat diterapkan dalam hal ini, karena anak-anak yang masih labil sebenarnya belum mengerti apa yang sedang dan akan terjadi terhadap kegiatan yang sedang mereka kerjakan. Jadi, pemberi hukuman baiknya memberikan rehabilitasi kepada pecandu narkotika yang masih dibawah umur dengan maksud untuk memulihkan dan/atau mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penderita yang bersangkutan.

3. Para orang tua diharapkan pula dapat memberikan kasih sayang yang cukup kepada anak dan pengawasan yang baik kepada mereka, karena anak mendapatkan semua pengetahuan dan pelatihan diri dari rumah, sehingga dengan adanya campur tangan dari orangtua anak dapat terhindar dari jerat narkotika karena telah merasa nyaman dan tidak perlu mencari kesenangan ditempat lain.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Kusno. 2009. Diversi Sebagai Upaya Alternnatif Penanggulangan Tindak

Pidana Narkotika Oleh Anak. Malang : UMM Press

Adi, Kusno. 2009. Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana

Narkotika Oleh Anak. Malang: UMM Press

Adisti,Susi. 2002. Belenggu Hitam Pergaulan. Jakarta : Restu Agung

Afiatin,Tina. 2008. Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Dengan Program

AJI. Yogyakarta :Gajah Mada University Press

Chazawi, Adam. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Jakarta: PT. Grafindo Persada

Dirjosisworo, Soedjono. 1983. Hukuman Dalam Berkembangnya Hukum Pidana. Bandung: Tarsito

Hadisuprapto, Paulus. 1997. Juvenile Delinquency. Bandung : PT Citra Aditya Bakti

Kansil,CST. 1983. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta :PN Balai Pustaka

Kusumah, Mulyana W.1988. Kejahatan dan Penyimpanga. Jakarta : Yayasan LBH Jakarta

Lamintang, PAF. 1997. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : PT.Citra Aditya Bakti

Mahfud,Moh. 2010. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers

Makarao, Moh.Taufik, Suhasril, dan Moh. Zakky. 2003. Tindak Pidana

Narkotika. Jakarta: Ghalia Indonesia

Marlina. 2009. Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. Bandung : Refika Aditama Marlina. 2010. Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum

Pidana. Medan : USU Press

Marlina. 2011. Hukum Penitensier. Bandung : Refika Aditama

Mulyadi, Lilik. 2005. Pengadilan Anak di Indonesia. Bandung: Mandar Maju Mulyadi, Lilik. 2008. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung : PT Alumni Mulyadi, Mahmud. 2008. Criminal Policy. Medan: Pustaka Bangsa Press


(5)

Nawawi Arief, Barda. 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana:

Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru. Jakarta : Kencana

Prakoso, Djoko. 1987. Bambang Riyadi Lany dan Mukhsin. Kejahatn-kejahatan

yang Merugikan dan Membahayakan Negara,Jakarta: Bina Aksara

Poernomo, Bambang. 1986. Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem

Pemasyarakata.Jogjakarta :Liberty

Poerwadadarinta, WJS. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Batavia : Balai Pustaka

Ramali, Med. Ahmad dan K. St. Pamoentak. 1996. Kamus Kedokteran. Jakarta : Djambatan

Reksodiputra, Mardjono. 1995. Pembaharuan Hukum Pidana Pusat Pelayanan

dan Pengendalian Hukum. Jakarta :(d/h Lembaga Kriminologi) UI

Sadhi Astuti,Made. 2003. Hukum Pidana Anak dan Perlindungan Anak. Malang :Universitas Negeri Malang

Siswanto,H. 2012. Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika. Jakarta: Rineka Cipta

Sudarto. 1981. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung :Alumni

Sujono, AR. dan Bony Daniel. 2011. Komentar dan Pembahasan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Jakarta: Sinar Grafika

Supramono, Gatot.2004. Hukum Narkotika Indonesia. Jakarta : Djambatan Soesilo,R. 1988. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta

Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia

Soetodjo,Wagita. 2005. Hukum Pidana Anak. Bandung :Refika Aditama

Wadong, Maulana Hassan. 2000. Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Grasindo

Waludi. 2003. Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Djambatan

Waluyadi. 2009. Hukum Perlindungan Anak. Bandung: Mandar Maju

Sumber Undang-undang :

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Undang-undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.


(6)

Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Sumber Internet :

Alasan Menjajal Narkoba. diakses tanggal 17 oktober 201

Penyebaran Narkoba di Kalangan Anak-anak dan Remaja, diakses tanggal 17

oktober 2013.

Pengguna Narkoba 5,8 Juta Tahun 2012. Penulis :Nina

Susilo., diakses tanggal 17 oktober 2013.

22 persen pengguna narkoba adalah

pelajar.Penulis : Andika Prabowo, diakses pada tanggal 11 september

2013.

Pelajar di Urutan Kedua Pengguna Narkoba!.Sumber

:Kompas, diakses tanggal 11 oktober 2013.

Drs. Sofyan Lubis S.H., diakses tanggal 25 November 2013.


Dokumen yang terkait

Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika Diluar Golongan yang Diatur dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

4 89 158

Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Yang Dilakukan Oleh Anak Di Bawah Umur Dan Penerapan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Padang Sidimpuan No:770/Pid.Su

1 85 157

Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Analisis Mengenai Penyalahgunaan Metilon Salah Satu Senyawa Turunan Katinona sebagai Tindak Pidana Narkotika)

0 85 174

Penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Terhadap Tindak Pidana Permufakatan Jahat Jual Beli Narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri No. 675/Pid.B/2010/PN.Mdn dan Putusan No. 1.366/Pid.B/2011/PN.Mdn)

3 76 145

Peranan Badan Narkotika Nasional (BNN) Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

33 230 74

Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Kurir Narkotika dalam Tinjauan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kebumen Perkara Nomor 139/Pid.B/2010/PN.Kbm )

3 111 106

Penerapan Hukum Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Analisis Terhadap Beberapa Putusan Hakim di Pengadilan Negeri Medan)

0 47 117

Tinjauan Hukum Terhadap Rehabilitasi Sebagai Sanksi Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

0 13 114

Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika Diluar Golongan yang Diatur dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

0 0 15

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Terhadap Tindak Pidana Permufakatan Jahat Jual Beli Narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri No. 675/Pid.B/2010/PN.Mdn dan Putusan No. 1.366/Pid.B/201

0 0 38