Hubungan Kejadian Simultan El Niño Dan Indian Ocean Dipole (Iod) Terhadap Variasi Suhu Virtual Serta Estimasi Suhu Virtual Menggunakan Metode Arima Dan Holt-Winters

HUBUNGAN KEJADIAN SIMULTAN EL NIÑO DAN INDIAN
OCEAN DIPOLE (IOD) TERHADAP VARIASI SUHU
VIRTUAL SERTA ESTIMASI SUHU VIRTUAL
MENGGUNAKAN METODE ARIMA DAN HOLT-WINTERS

MUFRIDATUR ROHMAH

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Kejadian
Simultan El Niño dan Indian Ocean Dipole (IOD) terhadap Variasi Suhu Virtual
serta Estimasi Suhu Virtual Menggunakan Metode ARIMA dan Holt-Winters
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015
Mufridatur Rohmah
NIM G24110001

ABSTRAK
MUFRIDATUR ROHMAH. Hubungan Kejadian Simultan El Niño dan Indian
Ocean Dipole (IOD) terhadap Variasi Suhu Virtual serta Estimasi Suhu Virtual
Menggunakan Metode ARIMA dan Holt-Winters. Dibimbing oleh AHMAD
BEY dan EDDY HERMAWAN.
Kejadian El Niño dan IOD Indian Ocean Dipole (IOD) yang terjadi secara
simultan pada tahun 1997 menyebabkan penurunan suhu virtual. Hasil rata-rata
varians menunjukkan kenaikan index Niño 3.4 dan IOD diikuti oleh penurunan
suhu virtual. Hasil Power Spektral Density (PSD) dan Wavelet menunjukkan
bahwa osilasi dari kejadian El Niño dan IOD adalah 5 dan 3 tahunan, osilasi suhu
virtual dianalisis berdasarkan Autocorrelation Function yaitu 1 tahunan. Besarnya
suhu virtual dipengaruhi oleh indeks Niño 3.4, indeks IOD, serta Niño 3.4+IOD

sehingga diperlukan analisis regresi multivariat sebelum dilakukan prediksi.
Metode Box-Jenkins ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average) yang
digunakan untuk prediksi data deret waktu suhu virtual. Model yang dipilih untuk
Juanda ARIMA(0,2,2) Zt = 2Zt -1 - Zt -2 + (3.79E-6) + 1.051ɑt-1 – 0.054 ɑt-2 + ɑt,
Perak ARIMA(0,2,2) Zt = 2Zt -1 - Zt -2 + (2.35E-6) + 1.057ɑt-1 – 0.059 ɑt-2 + ɑt,
Ahmad Yani ARIMA(0,2,3) Zt = 2Zt -1 - Zt -2 + (5.51E-6) +1.267ɑt-1 – 0.126ɑt-2 –
0.143 ɑt-3 + ɑt, Polonia ARIMA(0,2,2) Zt = 2Zt -1 - Zt -2 - (6.55E-7) + 1.072ɑt-1 –
0.075 ɑt-2 + ɑt. Model Holt-Winters yang digunakan untuk prediksi data deret
waktu suhu virtual untuk Juanda adalah F(t+m) = (14430.369+ 100.372m)( s(t-s+m)),
Perak I adalah F(t+m) = (12987.58+ 82.507m)( s(t-s+m)), Ahmad Yani adalah F(t+m) =
(6937.954+ 25.223m)( s(t-s+m)), Polonia adalah F(t+m) = (-3803.505+ 9.272m)( s(ts+m)). Model prediksi ARIMA dan Holt-Winters dapat digunakan untuk peramalan
suhu virtual di empat lokasi.
Kata kunci: El Niño, IOD, suhu virtual, multivariat, ARIMA, Holt-Winters

ABSTRACT
MUFRIDATUR ROHMAH. In Search of Simultaneous Effects of El Niño and
Indian Ocean Dipole (IOD) Forcings on Surface Temperature and Performance
of ARIMA and Holt-Winters Methods in Temperature Forecasting. Supervised by
AHMAD BEY and EDDY HERMAWAN.
El Niño and Indian Ocean Dipole (IOD) occurred simultaneously in 1997

is suspected to cause a significant decline of virtual temperature. Trend analysis
showed an increase of Niño 3.4 index and IOD during the period had been,
subsequently, followed by a decrease of virtual temperature. Power Spectral
Density (PSD) and Wavelet analysis indicated dominant 5 and 3 years oscillations
of El Niño and IOD, respectively; autocorrelation function of virtual temperature
revealed a dominant 12-month oscillations. Multivariate regression analysis based
on least squares method is conducted to develop an equation which, specifically,
establishes the form of the relationships between Niño 3.4, IOD indices, and a
linear combinations of the indices with virtual temperatures. ARIMA
(Autoregressive Integrated Moving Average) techniques initially developed by
Box and Jenkins are utilized to attempt at developing virtual temperature
prediction equations. The best and parsimonious models obtained are as follow:
(1) Juanda is ARIMA(0,2,2) Zt = 2Zt -1 - Zt -2 + (3.79E-6) + 1.051ɑt-1 – 0.054 ɑt-2 +
ɑt, (2) Perak ARIMA(0,2,2) Zt = 2Zt -1 - Zt -2 + (2.35E-6) + 1.057ɑt-1 – 0.059 ɑt-2 +
ɑt, (3) Ahmad Yani ARIMA(0,2,3) Zt = 2Zt -1 - Zt -2 + (5.51E-6) +1.267ɑt-1 –
0.1β6ɑt-2 – 0.143 ɑt-3 + ɑt, (4) Polonia ARIMA(0,2,2) Zt = 2Zt -1 - Zt -2 - (6.55E-7) +
1.07βɑt-1 – 0.075 ɑt-2 + ɑt. A nonparametric prediction method developed by HoltWinters are also used which gives the best equations as follow: (1) Juanda is F(t+m)
= (14430.369+ 100.372m)(s(t-s+m)), (2) Perak I is F(t+m) = (12987.58+ 82.507m)(s(ts+m)), (3) Ahmad Yani is F(t+m) = (6937.954+ 25.223m)(s(t-s+m)), and (4) Polonia is
F(t+m) = (-3803.505+ 9.272m)(s(t-s+m)). Both ARIMA and Holt-Winters models
perform well, either one may be used in this study since the residual errors

between the two models are relatively small and insignificant.
Keyword : El Niño, IOD, virtual temperature, multivariate,
Winters

ARIMA, Holt-

HUBUNGAN KEJADIAN SIMULTAN EL NIÑO DAN INDIAN
OCEAN DIPOLE (IOD) TERHADAP VARIASI SUHU
VIRTUAL SERTA ESTIMASI SUHU VIRTUAL
MENGGUNAKAN METODE ARIMA DAN HOLT-WINTERS

MUFRIDATUR ROHMAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi: Hubungan Kejadian Sinultan El Niio dan Indian Ocean Dipole
(IQD) terhadap Variasi Suhu Virtual serta Estinasi Suhu Virtual
Menggunakan Metode ARIMA dan Holt-Winters
Nama

: Muridatur Ronah

NIM

: G24110001

Disetujui oleh

Pro. Dr. Ir. Ahmad Bey
Penbinbing I


Tanggal Lulus:

2 5 JUN 2015

Pro. Dr. Ir. Eddy Hermawan, M.Sc
Penbinbing II

PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat, Taufik serta
Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Hubungan Kejadian Simultan El Niño dan Indian Ocean Dipole (IOD) terhadap
Variasi Suhu Virtual serta Estimasi Suhu Virtual Menggunakan Metode ARIMA
dan Holt-Winters” sebagai salah satu syarat kelulusan program sarjana di
Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Penulis berterima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam
penyelesaian usulan penelitian ini, yaitu
1.
Bapak Prof. Ahmad Bey dan Prof. Eddy Hermawan selaku pembimbing

skripsi yang telah memberikan bimbingan, ilmu, motivasi, waktu, semangat,
dan nasihat, hingga tugas akhir ini terselesaikan.
2.
Bapak dan ibu serta keluarga besar yang telah memberikan do’a, dukungan,
kasih sayang, motivasi, nasihat.
3.
Seluruh dosen dan staff Tata Usaha Departemen Geofisika dan Meteorologi
IPB atas ilmu dan bantuannya selama kuliah.
4.
Ikrom, Nita, Gesti, Kak Himma, Via atas segala kasih sayang, dukungan,
kebersamaan, nasihat, keceriaan, selalu ada di saat suka dan duka, bersedia
merawat disaat sakit.
5.
Ina, Adit, Rizki, Fauzan atas bantuan dan dukungan, Kak Ernat, Kak
Shailla, Kak Uni, Ai, Nisa yang telah bersedia membagi ilmu dan
membantu penelitian.
6.
Squad 48 IPMRT Bogor (Rara, Pita, Dita, Rahman, Galih, Anik) atas
kebersamaannya, bantuannya, kasih sayangnya, mulai dari awal masuk IPB.
7.

Fairus atas (Pupu, Vidia, Mute, Dewi, Mimi, Kak Beti, Kiki, Ela) dan anak
fairus lainnya yang memberikan kenyamanan di kost, tawa, curhat, nasihat,
dan selalu merawat disaat sakit.
8.
Seluruh praktikan GFM 50 maupun TPB yang telah memberikan keceriaan,
semangat, dukungan, dan sebagai pencipta tawa.
9.
Teman-teman yang membantu selama di Bandung (Mufid, Maya, Vio)
10. GFM 48 yang tiga tahun ini menjalani suka duka kuliah di IPB.
11. Semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu per
satu.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu segala kritik dan saran akan ditampung guna memperbaiki penelitian
ini. Penulis juga berharap semoga penelitian ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2015
Mufridatur Rohmah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


iii

DAFTAR GAMBAR

iii

DAFTAR LAMPIRAN

iv

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian


1

METODE

2

Waktu dan Tempat Penelitian

2

Bahan

2

Alat

2

Prosedur Analisis Data


2

Analisis Kandungan Uap Air

2

Analisis Temporal

3

Analisis Spasial

3

Analisis Spektral

4

Analisis Regresi Linear Berganda (Multivariate)

4

Metode Box-Jenkins

5

Holt-Winters

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

8

Tipe – Tipe Curah Hujan di Indonesia

8

Fenomena IOD dan El Niño

10

Suhu Virtual

13

Telekoneksi Kejadian El Niño , IOD dan Suhu Virtual

15

Model Prediksi Box-Jenkins (ARIMA) dan Holt-Winters

17

Persamaan Regresi Berganda (Multivariate)

17

Model Prediksi Box-Jenkins ARIMA

18

Model Prediksi Holt-Winters

21

SIMPULAN DAN SARAN

24

Simpulan

24

Saran

25

DAFTAR PUSTAKA

25

LAMPIRAN

26

RIWAYAT HIDUP

32

DAFTAR TABEL
Tabel 1 Identifikasi model berdasarkan fungsi ACF dan PACF

6

Tabel 2 Kaitan Interaksi antara suhu virtual mingguan (Y) dengan indeks El
Niño (X1), IOD (X2), El Niño +IOD (X3) periode 1990 – 2010

18

Tabel 3 Persamaan ARIMA

20

Tabel 4 Persamaan Holt-Winters untuk peramalan Oktober 1997

21

Tabel 5 Validasi data suhu virtual mingguan di Stasiun Juanda Surabaya
menggunakan metode ARIMA dan Holt-Winters

22

Tabel 6 Validasi data suhu virtual mingguan di Stasiun Perak Surabaya
menggunakan metode Holt-Winters dan ARIMA

22

Tabel 7

Validasi data suhu virtual mingguan di Stasiun Ahmad Yani
Semarang menggunakan metode Holt-Winters dan ARIMA

22

Validasi data suhu virtual mingguan di Stasiun Polonia Medan
menggunakan metode Holt-Winters dan ARIMA

23

Prediksi Suhu Virtual Mingguan Bulan Juni Juli Agustus 2015
dengan Model ARIMA

23

Tabel 10 Prediksi Suhu Virtual Mingguan Bulan Juni Juli Agustus 2015
dengan Model Holt-Winters

24

Tabel 8
Tabel 9

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Skema Transformasi Wavelet (Tang 2009)

4

Gambar 2 Skema pendekatan Box-Jenkins

5

Gambar 3 Tipe hujan di Indonesia (Aldrian dan Susanto 2003)

9

Gambar 4 Anomali curah hujan di Indonesia pada bulan September (a),
Oktober (b), November (c)

10

Gambar 5 Fenomena Dipole Mode (+) (a) dan Dipole Mode (-) (b) Struktur
laut Samudera Pasifik pada saat Normal (c) dan El Niño (d)

11

Gambar 6 Power Spectral Density (PSD) dari El Niño, IOD, El Niño+IOD

12

Gambar 7 Wavelet Niño 3.4 (a), IOD (b), Niño 3.4+IOD (c)

13

Gambar 8 Autocorelation Function suhu virtual di Juanda Surabaya

14

Gambar 9 Wavelet suhu virtual di Juanda Surabaya (a), Perak I Surabaya (b),
Ahmad Yani Semarang (c), Polonia Medan (d)

15

Gambar 10 Rata-rata varians El Niño (a), IOD (b), IOD+El Niño (c), Suhu
Virtual Juanda (d), Suhu Virtual Perak (e), Suhu Virtual Ahmad
Yani (f), Suhu Virtual Polonia (g)

16

Gambar 11 Autocorrelation Function (a) dan Partial Autocorrelation
Function (b) suhu virtual mingguan di Juanda Surabaya tanpa
pembeda (differencing)

18

Autocorrelation Function (atas) dan Partial Autocorrelation
Function (bawah) suhu virtual mingguan di Juanda Surabaya
dengan pembeda (differencing) dua kali

20

Gambar 12

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Autocorelation function suhu virtual di Ahmad Yani Semarang
(a), Perak I Surabaya (b), Polonia Medan (c)

26

Lampiran 2 Autocorelation Function dan Partial Autocorelation Function
suhu virtual di Perak I Surabaya (a,d), Ahmad Yani Semarang
(b,e), Polonia Medan (c,f) tanpa pembeda

27

Lampiran 3 Autocorelation Function dan Partial Autocorelation Function
suhu virtual di Perak I Surabaya (a), Ahmad Yani Semarang (b),
Polonia Medan (c) dengan pembeda dua kali

27

Lampiran 4 Script Power Spectral Density (PSD)

28

Lampiran 5 Script Anomali Curah Hujan

28

Lampiran 6 Script Wavelet Bulanan

29

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Letak Indonesia yang strategis yaitu diantara Samudera Pasifik dan Hindia
menyebabkan Indonesia memiliki iklim yang unik. Pada kedua samudera tersebut
terdapat kejadian global yaitu El Niño (Pasifik) dan Indian Ocean Dipole (IOD)
(Hindia). IOD dan El Niño terjadi secara bebas, tidak saling mengikat (Kishore
2007). Namun jika keduanya terjadi secara bersamaan akan berdampak pada curah
hujan di Indonesia. Pada tahun 1997 saat keduanya pada fase positif, menyebabkan
musim kering panjang di Indonesia. Hal tersebut disebabkan bergesernya sistem
sirkulasi zonal. IOD akan membawa uap air ke Samudera Hindia bagian Barat atau
Pantai Timur Afrika sedangkan kejadian El Niño akan menggeser pusat konveksi
ke Samudera Pasifik bagian Timur dan Tengah. Kejadian El Niño pada tahun
1997/1998 menyebabkan penurunan curah hujan sekitar 33% pada musim kemarau
dibandingkan rata-rata curah hujan selama 30 tahun terakhir (Ardia 2005).
Kekeringan dapat berdampak sangat luas, dan bersifat lintas sektor khususnya
pertanian. Perubahan curah hujan di Indonesia akan berdampak pada perubahan
periode masa tanam (growing season), tipe tanam, dan awal tanam.
Uap air merupakan unsur penting di atmosfer. Perubahan uap air akan
menjadi sumber energi yang menyebabkan terjadinya cuaca. Suhu virtual (Tv)
merupakan salah satu cara untuk menyatakan kandungan uap air. Suhu virtual
dijadikan indikator kekeringan karena suhu virtual tidak hanya menyatakan suhu
udara namun juga menghitung kontribusi uap air terhadap densitas. Semakin besar
uap air yang ada di atmosfer maka suhu virtual akan semakin tinggi dan sebaliknya.
Menurut Purwaningtyas (2009) wilayah yang mendapat pengaruh dari
kejadian El Niño dan IOD adalah wilayah Jawa dan sebagian Kalimantan
sedangkan untuk Sumatera bagian utara tidak mendapat pengaruh dari kejadian El
Niño dan IOD. Pulau Jawa merupakan salah satu pusat aktivitas pertanian, industri,
perekonomian, pemerintahan di Indonesia sehingga jika terjadi kekeringan maka
akan berdampak buruk. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian lebih dalam tentang
kapan dan daerah yang rawan terhadap keduanya.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola suhu virtual di Juanda
Surabaya, Perak I Surabaya, Ahmad Yani Semarang, dan Polonia Medan saat
kejadian IOD dan El Niño terjadi secara bersamaan, serta membandingkan model
ARIMA dan Holt-Winters untuk peramalan suhu virtual.

2

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2014 hingga bulan Mei 2015
di Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer, Departemen Geofisika
dan Meteorologi, FMIPA-IPB dan Bagian Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer
(PSTA), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung.
Bahan
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Indeks Niño 3.4
bulanan dan mingguan periode 1990–2010
yang diperoleh dari
(http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indices). Data Indeks IOD bulanan dan
mingguan
periode
1990-2010
yang
diperoleh
dari
(http://www.bom.gov.au/climate/enso/iod). Data curah hujan bulanan satelit
Climate Research Unit (CRU) yang memiliki resolusi 0.5° x 0.5° periode
September – Oktober 1997, diperoleh dari website: (http://badc.nerc.ac.uk/). Data
harian dari suhu rata-rata, kelembaban udara (RH) periode 1990-2010 di Stasiun
Juanda Surabaya, Perak I Surabaya, Ahmad Yani Semarang, Polonia Medan yang
diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Laptop dengan software
MATLAB versi 2013a, Minitab versi 16, GrADS versi 2.0, Eviews versi 8,
Microsoft Excel dan Microsoft Word 2007.
Prosedur Analisis Data
Analisis Kandungan Uap Air
Kandungan uap air di atmosfer dapat ditunjukkan dengan berbagai cara,
salah satunya yaitu suhu virtual. Suhu virtual bukan suhu aktual melainkan suhu
yang digunakan untuk menyatakan kandungan uap air dimana parsel udara kering
memiliki densitas yang sama dengan udara lembab pada tekanan tertentu. Udara
lembab lebih ringan dibandingkan udara kering sehingga suhu virtual selalu lebih
tinggi dibandingkan suhu aktual (Wallace dan Hobbs 2006).
� = �(1 + 0.61 )......................(1)
dengan
Tv
adalah suhu virtual (°C)
T
adalah suhu udara (°C)
w
adalah mixing ratio (g/kg)
Parameter-parameter uap air yang diperlukan untuk mendapatkan nilai suhu
virtual yaitu tekanan uap air dan mixing ratio. Kelembaban nisbi (RH) merupakan
perbandingan antara kelembaban aktual dengan kapasitas udara untuk menampung
uap air (Handoko 1993).

3
RH =



100......................(2)

dengan
RH
adalah kelembaban nisbi (%)
ea
adalah tekanan uap aktual atau kelembaban aktual (mb)
es
adalah tekanan uap air jenuh atau kapasitas udara untuk menampung uap air
(mb)
Tekanan uap air (e) adalah tekanan parsial udara lembab yang disumbangkan
oleh uap air (Handoko 1993).
7.5 �

= 6.11 10273 +� .....................(3)
Mixing ratio (w) adalah banyaknya uap air pada volume tertentu dan dapat
didefinisikan sebagai perbandingan antara massa uap air dengan massa udara kering
(Wallace dan Hobbs 2006).
atau
= 0.622
...............(4)
=
dengan

�−

adalah massa uap air
adalah massa udara kering
adalah tekanan udara; karena e sangat kecil dibandingkan tekanan udara
maka
= 0.622 ...................(5)

Data suhu virtual diperoleh dari persamaan 2-5. Data observasi yang
digunakan adalah suhu rata-rata harian dan RH. Setelah itu suhu virtual harian
dirata-ratakan menjadi suhu virtual mingguan dan bulanan. Suhu virtual mingguan
digunakan untuk melakukan prediksi sedang suhu virtual bulanan digunakan untuk
analis spektral dan wavelet.
md
P

Analisis Temporal
Analisis temporal digunakan untuk menganalisis kapan kejadian El Niño
dan IOD terjadi secara bersamaan. Hasil yang diperoleh yaitu pada tahun 19971998.
Analisis Spasial
Data spasial adalah data yang menyediakan informasi lokasi berdasarkan
geografi yaitu lintang dan bujur. Data yang digunakan adalah curah hujan bulanan
satelit Climate Research Unit (CRU) pada bulan September hingga November 1997
karena berdasarkan analisis temporal, pada tahun tersebut kejadian El Niño dan
IOD terjadi secara bersamaan. Data tersebut diolah menggunakan software GrADS.
Analisis spasial merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mencari tipe
geografis yang meliputi ruang dan waktu. Analisis spasial menyajikan data tersebut
dalam bentuk peta tematik yang menghasilkan gambaran penggunaan ruangan pada
tempat tertentu. Peta-peta tematik menekankan pada variasi penggunaan ruangan
dari distribusi geografis. Distribusi geografis bisa berupa fenomena fisikal seperti
iklim, kepadatan penduduk atau permasalahan kesehatan (Pfeiffer dkk, 2008). Peta
ini digunakan untuk menentukan lokasi penelitian. Berdasarkan hasil dari analisis

4
spasial tersebut maka lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah Surabaya,
Semarang dan Sumatera Utara.
Analisis Spektral
Data deret waktu merupakan data yang memiliki fungsi waktu, antar
pengamatannya terdapat hubungan autokorelasi sehingga dibutuhkan analisis
spektral untuk mencari periodesitas data tersembunyi. Cara menganalisis data deret
waktu adalah menguraikan data tersebut menjadi himpunan gelombang sinus pada
frekuensi yang berbeda-beda (Makridakis et al 1999). Analisis spektral yang
digunakan adalah teknik Fast Fourier Transform (FFT) dan transformasi wavelet.
Menurut Clayton (1899) analisis spektral digunakan untuk mengetahui periodisitas
berulangnya suatu fenomena cuaca dengan metode Fast Fourier Transform (FFT).
Metode transformasi wavelet dapat digunakan untuk menganalisis sinyal
dan data sehingga dapat diketahui tipe osilasi dominan dan karakteristik temporal
dari masing-masing data.

Gambar 1 Skema Transformasi Wavelet (Tang 2009)

Analisis Regresi Linear Berganda (Multivariate)
Analisis regresi linear berganda adalah analisis regresi yang terdapat dua
atau lebih variabel bebas. Bentuk umum dari regresi berganda adalah (Makridakis
et al 1999):
Y = b0 + b1 X1+ b2 X2+…+bnXn + e
dengan
Y
= variabel terikat
b0
= konstanta
b1,b2 = koefisien regresi
X1, X2 = variabel bebas
Analisis regresi berganda dalam penelitian ini digunakan untuk menentukan
model prediksi suhu virtual (Y) dari tiga variabel bebas yaitu indeks niño 3.4 (X1),
indeks IOD (X2), dan jumlah dari kedua indeks (X 3). Analisis ini dilakukan dengan
menggunakan software Minitab 16.0 dan Microsoft Excel. Nilai suhu virtual hasil
persamaan regresi berganda (Tvʹ) akan digunakan untuk prediksi, artinya nilai T vʹ
merupakan nilai suhu virtual yang dipengaruhi oleh faktor El Niño dan IOD.

5
Metode Box-Jenkins
Model-model Autoregressive/Integrated/Moving Average (ARIMA) telah
dipelajari oleh George Box dan Gwilym Jenkins pada tahun 1976. Ada beberapa
tahapan yang perlu dilakukan sebelum membuat model (Box dan Jenkins 1976).

Gambar 2 Skema pendekatan Box-Jenkins

Tahap pertama adalah identifikasi model. Data deret berkala biasanya
bersifat non-stasioner sedangkan aspek-aspek AR dan MA dari model ARIMA
hanya berkenaan dengan deret berkala yang stasioner sehingga diperlukan notasi
yang berlainan untuk deret berkala non-stasioner yang asli dengan pasangan
stasionernya, sesudah adanya pembeda (differencing) (Makridakis 1999).
Tahap ini merupakan tahap penentuan model sementara dengan melihat plot
dari fungsi autokorelasi (ACF) dan fungsi autokorelasi parsial (PACF). Fungsi ACF
adalah korelasi deret berkala dengan deret berkala itu sendiri dengan selisih waktu
(lag). PACF digunakan untuk mengukur tingkat keeratan antara Xt dan Xt-k apabila
pengaruh time lag dianggap terpisah. Hasil dari plot ACF dan PACF akan
menghasilkan nilai p,d,q. Nilai p merupakan ordo dari proses AR sedang nilai q
merupakan ordo dari proses MA. Nilai-nilai tersebut dapat diidentifikasi
berdasarkan signifikan lag (lead time). Nilai d diperoleh dari nilai differencing
(Makridakis 1999).

6
Tabel 1 Identifikasi model berdasarkan fungsi ACF dan PACF
Model
AR(p)

ACF
Menurun secara
eksponensial atau
membentuk gelombang sinus
teredam

MA(q)

Cut off setelah lag q

ARMA(p,q)

Menurun secara
eksponensial atau
membentuk gelombang sinus
teredam

PACF
Cut off setelah lag p
Menurun secara
eksponensial atau
membentuk gelombang
sinus teredam
Menurun secara
eksponensial atau
membentuk gelombang
sinus teredam

Tahap kedua adalah penaksiran parameter. Tahap ini dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu dengan cara coba-coba dan perbaikan secara intensif. Cara
coba-coba dapat dilakukan dengan menguji beberapa nilai yang berbeda dan
memilih satu nilai yang meminimumkan jumlah kuadrat nilai sisa (sum of squared
residuals). Perbaikan secara interaktif, memilih taksiran awal dan kemudian
membiarkan program komputer memperhalus penaksiran tersebut secara interaktif
(Makridakis 1999).
Tahap ketiga adalah pengujian diagnostik dan penerapan model. Langkah
yang harus dilakukan untuk pengujian adalah mempelajari nilai sisa (residual)
untuk melihat ada tidaknya model yang dapat dipertimbangkan. Kedua dengan cara
mempelajari statistik sampling dari pemecahan optimum untuk melihat apakah
model masih dapat disederhanakan (Makridakis 1999).
Tahap terakhir adalah peramalan dengan model ARIMA. Ada tiga model,
yaitu: model Autoregressive (AR), Moving Average (MA), dan model campuran
ARIMA (Autoregresive Moving Average) yang mempunyai karakteristik dari dua
model pertama. Persamaan umum AR(p) atau ARIMA(p,0,0) :

dengan
Zt
= deret waktu stasioner
Φp
= koefisien model autoregresif
Zt-p = nilai masa lalu yang berhubungan
at
= residual pada waktu t
Persamaan umum MA(q) atau ARIMA(0,0,q) :

dengan
Zt
= deret waktu stasioner
θp
= koefisien model moving average
at-q
= residual lampau yang digunakan oleh model

7
Persamaan umum ARMA (p,q) atau ARIMA(p,0,q) :

Persamaan umum ARIMA(p,d,q)

dengan
AR:
MA:
dan (1-B)d Zt adalah pembeda atau differencing.
Setelah peramalan, langkah selanjutnya adalah menghitung nilai MAPE
(Mean Absolute Percentage Error) dengan persamaan (Ramdani 2011)
1
���� =
(1)
=1

dengan ret (1) adalah rellative forecast error. Persamaannya adalah
1 =



100

dengan xt adalah data aktual pada waktu ke-t, n adalah jumlah data yang diramal
dan ft adalah data hasil ramalan pada waktu ke-t. Semakin kecil nilai MAPE maka
menunjukkan bahwa data hasil ramalan mendekati aktual.
Holt-Winters
Exponential Smoothing merupakan teknik perbaikan terus-menerus atau
pemulusan eksponensial pada data masa lalu (sebelumnya). Model HoltWinters merupakan triple exponential smoothing. Model Holt-Winters digunakan
untuk memodelkan data dengan tipe musiman, baik mengandung tren maupun
tidak. Titik berat metode ini adalah pada nilai ramalan/tren (α), kemiringan slope
( ), maupun efek musiman (γ). Tren adalah komponen data deret waktu yang
menunjukan peningkatan atau penurunan tipe data dalam waktu yang cukup lama
selama periode waktu pengamatan. Unsur variasi musiman adalah fluktuasi data
berulang setiap hari, minggu atau bulan karena faktor tertentu misalnya cuaca
(Firdaus dalam Salamena 2011). Ada dua jenis model Holt-Winters yaitu additive
seasonals dan multiplicative seasonals (Kalekar 2004). Additive seasonals
diterapkan ketika data time series mengandung unsur musiman (seasonal). Metode
ini didasarkan pada siklus tren dan musiman. Multiplicative seasonals merupakan
metode musiman sama seperti additive namun komponen-komponen time series
didasarkan pada hasil kali dari tren dan musiman sehingga data yang dihasilkan
lebih aktif. Persamaan dasarnya adalah (Makridakis 1999)

8
xt
+ (1 − α)(αt−1 − bt−1 )
st−s
ɑt
b =
+ (1 − )( bt−1 )
ɑt−1
xt
+ (1 − )( St−s )
S =
ɑt

ɑ =α

F

+

= (ɑ + b m)( st−s+m )

dengan
xt
: waktu
ɑt
: tren (nilai pemulusan keseluruhan)
bt
: slope
S
: panjang musiman
Ft+m : peramalan untuk m periode berikutnya

HASIL DAN PEMBAHASAN
Tipe – Tipe Curah Hujan di Indonesia
Curah hujan di Indonesia dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu tipe ekuatorial,
tipe monsun, dan tipe lokal. Wilayah dengan tipe hujan ekuatorial memiliki dua
puncak musim hujan maksimum (bimodial) yaitu pada bulan Maret dan Oktober.
Hal itu disebabkan wilayah ekuatorial dilewati oleh Inter-tropical Convergence
Zone (ITCZ). ITCZ berada pada wilayah ekuator dua kali dalam setahun sehingga
terjadi konvergensi. Wilayah yang memiliki tipe ekuatorial adalah Kalimantan dan
sebagian besar Sumatera (gambar 3). Tipe hujan monsun di Indonesia dicirikan
oleh adanya perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dengan musim
kemarau dalam satu tahun, tipe hujan ini terjadi di wilayah Indonesia bagian
selatan, seperti di ujung Pulau Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara
dan Maluku Selatan (gambar 3). Tipe curah hujan lokal dicirikan dengan besarnya
pengaruh kondisi setempat, yakni keberadaan pegunungan, lautan dan bentang
perairan lainnya, serta terjadinya pemanasan lokal yang intensif. Tipe curah hujan
ini banyak terjadi di Maluku, Papua, dan sebagian Sulawesi. Tipe curah hujan ini
hanya terjadi satu kali maksimum curah hujan bulanan dalam satu tahun, dan
tampak adanya beberapa bulan kering yang bertepatan dengan bertiupnya angin
Muson Barat (Tukidi 2010).

9

Gambar 3 Tipe hujan di Indonesia (Aldrian dan Susanto 2003)

Menurut Purwaningtyas (2009) koefisien korelasi antara kejadian El Niño
dan IOD terbesar terjadi pada bulan September Oktober November (SON) sebesar
0.466. Korelasi yang kuat tersebut menandakan bahwa keduanya saling berinteraksi
jika dihubungkan dengan Indonesia (Mihardja 2002). Wilayah yang mendapat
pengaruh keduanya adalah Jawa dan Kalimantan sedang bagian tengah Sumatera
dan Irian Jaya tidak mendapatkan pengaruh keduanya (Purwaningtyas 2009). Pada
tahun 1997 Indonesia mengalami kekeringan panjang. Puncak kekeringan terjadi
pada bulan September hingga November (Wang dan Weisberg 2000). Beradasarkan
gambar 4, pada bulan SON terlihat bahwa anomali curah hujan negatif di hampir
seluruh wilayah Indonesia, artinya jumlah curah hujan pada saat itu dibawah ratarata (kering). Warna merah menunjukkan semakin kering sedangkan warna biru
menunjukkan semakin basah. Curah hujan di Pulau Jawa pada SON 1997
khususnya daerah Semarang dan Surabaya mengalami penurunan sedangkan untuk
Sumatera Utara masih normal. Tiga wilayah tersebut dipilih menjadi lokasi
penelitian untuk melihat keragaman suhu virtual saat kejadian El Niño dan IOD
terjadi secara bersamaan di wilayah yang dipengaruhi dan tidak dipengaruhi oleh El
Niño dan IOD . Anomali curah hujan bulan September (gambar 4a) di Ahmad Yani
Semarang sekitar -50 hingga -100 mm, anomali curah hujan di Juanda dan Perak I
Surabaya sekitar 0 hingga -50 mm, sedangkan untuk anomali curah hujan di
Polonia Medan bernilai positif yaitu sekitar 0-100 mm. Anomali curah hujan di
Ahmad Yani semakin negatif, dari -50 hingga -100mm bertambah negatif menjadi 100 hingga -150 mm. Anomali curah hujan di Juanda dan Perak I Surabaya juga
bertambah negatif yaitu -50 hingga -100 mm. Penurunan curah hujan juga terjadi
di Polonia Medan yaitu -50 hingga 50 mm. Pada bulan November (gambar 4c)
terjadi peningkatan curah hujan sehingga anomalinya berada pada interval -50
hingga -100mm saja. Artinya pada bulan Oktober lebih kering dibandingkan
September dan November. Penurunan curah hujan di Polonia lebih sedikit
dibandingkan dengan ketiga stasiun lainnya.

10
Fenomena IOD dan El Niño

(a)

(b)

(c)
Gambar 4 Anomali curah hujan di Indonesia pada bulan September (a), Oktober
(b), November (c)
Fenomena IOD (Indian Ocean Dipole) terjadi di Samudera Hindia yang
terletak di bagian barat Pulau Sumatera (90° BT-110° BT dan 10° LS-ekuator) dan
bagian timur Benua Afrika (50° BT-70° BT dan 10° LS- 10° LU). Fenomena IOD
ditandai dengan perubahan Suhu Permukaan Laut (SPL) yang akan mempengaruhi
curah hujan di Indonesia. Menurut Saji, et al (1999) untuk menganalisis kejadian
IOD, terdapat suatu indeks yaitu selisih dari anomali SPL samudera Hindia bagian
barat dan bagian timur. Pada fase IOD positif (gambar 5a) pusat tekanan rendah
terjadi di pantai timur Afrika sehingga daerah konveksi akan bergerak menjauhi
Indonesia dan menyebabkan berkurangnya curah hujan di Indonesia. Fase IOD
negatif (gambar 5b) terjadi ketika SPL di Pantai Barat Sumatera naik dan SPL di

11
Pantai Timur Afrika mendingin sehingga terjadi pusat tekanan rendah di sekitar
Sumatera yang menyebabkan terbentuknya awan dan berpotensi hujan.
El Niño merupakan fenomena penyimpangan suhu permukaan laut yang
ditandai dengan meningkatnya Suhu Permukaan Laut (SPL) di Samudra Pasifik
bagian tengah dan timur (sekitar pantai Peru). Menurut Trenberth (1997), El Niño
dibagi menjadi 4 wilayah kejadian (gambar 5e) yaitu Niño1 (80º–90ºW dan 5º–
10ºS), Niño2 (80º–90ºW dan 0º–5ºS), Niño3 (90º–150ºW dan 5ºN–5ºS), Niño4
(150ºW–160ºE dan 5ºN–5ºS), Niño3.4 (120Wº–170ºW dan 5ºN–5ºS). Pada kondisi
normal (gambar 5c) pusat konveksi berada di bagian barat Samudera Pasifik namun
saat terjadi El Niño (gambar 5d) pusat konveksi bergeser ke bagian tengah dan
timur Samudera Pasifik. Pergeseran pusat konveksi ini mengakibatkan menurunnya
curah hujan di Indonesia sehingga terjadi kekeringan seperti pada tahun 1997.
Indeks yang digunakan dalam penenilitan ini terdiri dari tiga indeks yaitu
indek niño 3.4, indeks IOD, dan niño 3.4+IOD. Indeks ketiga digunakan untuk
mengetahui berapa besar pengaruhnya terhadap fluktuasi suhu virtual ketika
kekuatan kedua indeks ditambah. Berdasarkan ketiga indeks ini dapat diketahui
indeks mana yang berkontribusi paling besar terhadap fluktuasi suhu virtual.

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)
Gambar 5 Fenomena Dipole Mode (+) (a) dan Dipole Mode (-) (b) Struktur laut
Samudera Pasifik pada saat Normal (c) dan El Niño (d)
(Sumber:http://www.jamstec.go.jp
(a,b),
NOAA
2011
(c,d),
http://2.bp.blogspot.com/8D0V3ZqW_bo/Us_BoeQUUMI/AAAAAAAAAfo/
XQnVTZdh6e8/s1600/elnino+dan+lanina.gif (e) )

12
PSD (Power Spectral Density) adalah salah satu metode yang digunakan
untuk mengetahui periodesitas dari suatu data deret waktu. Menurut Behera dan
Yamagata (2001) periodesitas dari kejadian El Niño adalah 3-7 tahun. Menurut
Hermawan dan Lestari (2007) osilasi IOD sekitar 18-36 bulanan. Gambar 6
menunjukkan bahwa periodesitas dari kejadian El Niño adalah 60 bulanan (5
tahunan) sedangkan untuk kejadian IOD sekitar 36 bulanan (3 tahunan). Saat kedua
indeks ditambah maka periodesitasnya 60 bulanan mengikuti kejadian El Niño .
Artinya kejadian El Niño kuat akan berulang dalam selang waktu 5 tahunan dan
kejadian IOD akan berulang dalam waktu 3 tahunan. Energi spektral dari niño 3.4
sebesar 2.2x104 , indeks IOD sebesar 1.9x104 , energi spektral pada niño 3.4 + IOD
lebih kuat dibandingkan indeks yang lain yaitu sebesar 2.6x10 4. Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa ketika kedua indeks dijumlahkan maka kekuatannya
akan semakin besar sehingga akan memberikan dampak kekeringan yang lebih
parah dibandingkan dampak dari kejadian El Niño dan IOD yang terjadi secara
terpisah. Berdasarkan informasi periodesitas tersebut maka dapat dilakukan
prediksi kapan kejadian El Niño dan IOD terjadi secara bersamaan yang akan
mempengaruhi besarnya suhu virtual.

Gambar 6 Power Spectral Density (PSD) dari El Niño, IOD, El Niño+IOD

Analisis spektral lain yang digunakan untuk memperjelas osilasi dari kejadian
El Niño dan IOD adalah analisis wavelet. Kekuatan dari wavelet ditunjukkan
dengan warna biru hingga merah. Merah menunjukkan pada tahun tersebut terjadi
fenomena yang kuat. Hasil wavelet kejadian El Niño (gambar 7a) warna merah
dominan pada periode 5 tahunan dan terjadi paling kuat pada tahun 1997, pada
kejadian IOD (gambar 7b) warna merah dominan pada periode 3 tahunan di tahun
1996-1998, dan ketika El Niño +IOD (gambar 7c) warna merah cenderung dominan
pada tahun 1996-1998 sekitar 3-5 tahunan. Analisis spektral tersebut menunjukkan
pada tahun 1997 khususnya bulan Oktober kejadian El Niño dan IOD terjadi secara
bersamaan.

13

(a)

(b)

(c)
Gambar 7 Wavelet Niño 3.4 (a), IOD (b), Niño 3.4+IOD (c)

Suhu Virtual
Suhu merupakan energi kinetik rata-rata dari gerakan molekul-molekul.
Meskipun suhu virtual bukan suhu aktual namun suhu virtual diperoleh dari data
suhu rata-rata. Suhu virtual digunakan untuk menyatakan kandungan uap air
dimana parsel udara kering memiliki densitas yang sama dengan udara lembab pada
tekanan tertentu. Semakin banyak uap air yang ada di atmosfer maka suhu virtual
akan semakin tinggi, dan sebaliknya. Penentuan periodesitas suhu virtual tidak
menggunakan analisis PSD karena teknik ACF lebih tepat. Berdasarkan nilai ACF
maksimum (gambar 8) diketahui bahwa nilai korelasi diri dari suhu virtual Juanda
Surabaya akan berulang apada lag nyata 12, artinya periodesitas dari suhu virtual
adalah satu tahun. Nilai ACF maksimum suhu virtual di Ahmad Yani Semarang
(lampiran 1a) juga berulang pada lag nyata 12. Hal tersebut berlaku juga untuk nilai
ACF suhu virtual Perak Surabaya (lampiran 1b) dan Polonia Medan (lampiran 1c).
Periodesitas suhu virtual satu tahunan disebabkan oleh insolasi matahari terhadap
bumi. Penerimaan radiasi surya di permukaan bumi sangat bervariasi menurut
tempat dan waktu (Handoko 1994). Wilayah kajian berada di sebelah selatan
ekuator sehingga osilasi dari suhu adalah satu tahun.

14

Gambar 8 Autocorelation Function suhu virtual di Juanda Surabaya

Gambar 9 menunjukkan bahwa pada tahun 1997 suhu virtual di empat lokasi
berwarna biru, artinya suhu virtual melemah. Jika suhu virtual melemah/rendah
maka mengindikasikan uap air juga rendah. Suhu virtual cenderung berfluktuasi di
Juanda (gambar 9a), Perak (gambar 9b), Ahmad Yani (gambar 9c) namun suhu
virtual di Polonia (gambar 7d) cenderung konstan dari waktu ke waktu. Hal tersebut
karena Sumatera Utara merupakan salah satu wilayah yang tidak terpengaruh
kejadian El Niño maupun IOD. Hal itu disebabkan Sumatera Utara mengalami
puncak musim hujan pada bulan Maret dan Oktober dan tidak adanya perubahan
sirkulasi udara di atas wilayah tersebut selama El Niño berlangsung (Mulyana
2002). Selain itu juga dikarenakan di wilayah tersebut ketersediaan uap air masih
cukup yang berasal dari parameter OLR (Outgoing Longwave Radiation), Air
Mampu Curah (Precipitable Water) dan tutupan awan serta adanya mekanisme
transfer masa uap air tersebut ke arah bagian utara Sumatera yang diidentifikasikan
sebagai angin Monsun India (Harijono 2009). Menurut Nur’utami (2014) saat
terjadi El Niño dan IOD, kondisi sirkulasi Walker telihat jelas bahwa wilayah
Indonesia mengalami proses subsidensi dan wilayah Samudera Hindia-Pasifik
mengalami proses konveksi yang signifikan namun di Indonesia bagian Barat
(Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Kepulauan Riau) mengalami konveksi
sedangkan di wilayah Indonesia yang lainnya mengalami subsidensi.

15

(a)

(b)

(c)

(d)
Gambar 9 Wavelet suhu virtual di Juanda Surabaya (a), Perak I Surabaya (b),
Ahmad Yani Semarang (c), Polonia Medan (d)

Telekoneksi Kejadian El Niño , IOD dan Suhu Virtual
Telekoneksi dalam ilmu atmosfer merujuk pada anomali iklim yang saling
berhubungan pada jarak ribuan kilometer. Pertukaran dapat berupa massa, bahang,
momentum sudut, uap air (Wang dan Zhao 1987). Menurut Ashok et al (2003)
sebesar 35% kejadian IOD memiliki fase yang yang sama dengan kejadian El Niño.
Kejadian IOD positif dan El Niño terjadi secara bersamaan pada tahun 1997.
Kondisi IOD positif dan El Niño yang terjadi secara bersamaan mengakibatkan
penurunan curah hujan Indonesia hingga 200 mm/bulan karena perairan Indonesia
mengalami pendinginan secara menyeluruh sedangkan wilayah Samudera Hindia-

16
Pasifik mengalami penghangatan dan menyebabkan angin bergerak menuju
Samudera Hindia-Pasifik (Nur’utami β014).
Rata-rata varians menunjukkan nilai rata-rata dari sebaran deret waktu yang
dapat menunjukkan data yang menyimpang dari kondisi normalnya (ekstrim).
Berdasarkan gambar 10, dapat diketahui bahwa El Niño (gambar 10a), IOD
(gambar 10b), El Niño +IOD (gambar (a)
10c) memiliki pola rata-rata varians yang
sama yaitu naik pada tahun 1996 hingga 1998, puncaknya terjadi pada tahun 1997
tepatnya pada bulan Oktober saat indeks niño 3.4 sebesar 2.6 dan IOD pada indeks
2.4. Rata-rata varians suhu virtual di Juanda, Perak, Ahmad Yani, Polonia (gambar
10d,e,f,g) berbanding terbalik. Besarnya suhu virtual saat Oktober 1997 di
Surabaya dan Semarang sebesar 29°C sedangkan di Polonia sebesar 26°C. Hal
tersebut menunjukkan bahwa suhu virtual
(b) di Surabaya dan Semarang dipengaruhi
oleh kejadian El Niño dan IOD sedangkan suhu virtual di Sumatera Utara relatif
sama sepanjang tahun, termasuk saat 1997. Suhu virtual memiliki pola berkebalikan
dengan kedua kejadian karena pada saat terjadi IOD positif dan El Niño akan
menyebabkan bergesernya sistem sirkulasi zonal menuju Samudera Hindia bagian
barat dan Samudera Pasifik bagian tengah dan timur yang membawa uap air yang
ada di Indonesia. Proses dinamika aliran
(c) massa uap air ini mengalami anomali
mengakibatkan penurunan curah hujan (Harijono 2009).

(d)

(e)

(f)

(g)
Gambar 10 Rata-rata varians El Niño (a), IOD (b), IOD+El Niño (c), Suhu

17
Model Prediksi Box-Jenkins (ARIMA) dan Holt-Winters
Persamaan Regresi Berganda (Multivariate)
Peramalan merupakan bagian integral dari pengambilan keputusan
manajemen. Tujuannya adalah ketergantungan pada hal-hal yang belum pasti.
Peran peramalan begitu penting untuk mengambil kebijakan atas kejadian penting
khususnya penentuan kapan terjadi agar dapat melakukan mitigasi (Makridakis et al
1999).
Menurut Makridakis (1999) peramalan dibagi menjadi dua macam yaitu
kualitatif dan kuantitatif. Peramalan kualitatif bersifat subjektif karena hanya
berdasarkan pada pemikiran, pertimbangan dan pengetahuan dari sejumlah orang
yang terlatih secara khusus. Metode peramalan kuantitatif memiliki sifat objektif
berdasarkan pada keadaan aktual (data) yang diolah dengan menggunakan metodemetode tertentu. Peramalan yang bersifat kuantitatif dapat dilakukan dengan
menggunakan model regresi atau model deret waktu (time series). Peramalan
kuantitatif dapat diterapkan bila terdapat tiga kondisi yaitu tersedianya informasi
masa lalu, informasi tersebut dapat dikuantitatifkan dalam bentuk data numerik, dan
diasumsikan pola yang terjadi pada masa lalu akan terualng kembali pada masa
yang akan datang.
Asumsi yang dibuat adalah besarnya suhu virtual dipengaruhi oleh kejadian
El Niño dan IOD. Suhu virtual = f (El Niño, IOD). Hasil dari asumsi tersebut
diperoleh persamaan regresi berganda (tabel 2) suhu virtual dari masing-masing
lokasi. Independent variabel berupa indeks nino 3.4 (X1), indeks IOD (X2), dan
jumlah kedua indeks (X3) yang artinya kekuatan keduanya ditambahkan. Indeks El
Niño yang dipilih adalah SPL di zona Nino 3.4 karena anomali positif
mengindikasikan terjadinya El Niño dan kenaikan anomali SST Nino 3.4 diikuti
dengan melemahnya angin pasat (trade winds) yang mengakibatkan pergeseran
daerah konveksi pembentukan awan-awan hujan (Tenberth 1997). Nilai suhu
virtual dari hasil persamaan multivariate ini digunakan untuk peramalan. Data yang
digunakan dalam membuat model adalah 1096 minggu dari tanggal 3 Januari 1990
hingga 29 Desember 2010. Berdasarkan tabel 2, suhu virtual di Juanda dan Perak I
Surabaya lebih dipengaruhi oleh kejadian El Niño karena El Niño lebih
berpengaruh pada wilayah timur Indonesia (Purwaningtyas 2009). Persamaan
multivariat suhu virtual Ahmad Yani Semarang menunjukkan pengaruh IOD lebih
besar jika dibandingkan El Niño. Suhu virtual di Polonia Medan cenderung konstan
sepanjang tahun meskipun pada tahun tersebut terjadi El Niño ataupu IOD positif.
Hal tersebut terbukti dari koefisien masing-masing variabel X dan nilai intersep
yang tinggi yaitu 29.03.

18
Tabel 2 Kaitan Interaksi antara suhu virtual mingguan (Y) dengan indeks El Niño
(X1), IOD (X2), El Niño +IOD (X3) periode 1990 – 2010
Lokasi
Persamaan Regresi Berganda
Y=21.8489 + 2.5957 X1 – 0.1872 X2 + 0.2798 X3
Juanda Surabaya
Perak I Surabaya
Ahmad Yani
Semarang

Y=23.0134 + 2.0262 X1 + 0.0296 X2 + 0.2858 X3
Y=26. 8237 + 0.104 X1 + 0.4961 X2 + 0.3164 X3

Polonia Medan

Y=29.0370 - 0.6347 X1 - 0.0426 X2 - 0.1205 X3

Model Prediksi Box-Jenkins ARIMA
Langkah awal sebelum proses pendugaan model adalah pengecekan
kestasioneran data. Salah satu cara mengecek kestasioneran data adalah melihat
plot ACF dan PACF. Plot ACF dan PACF suhu virtual di Juanda Surabaya (gambar
11) menunjukkan bahwa data tidak stasioner sehingga harus dilakukan differencing.
Ketidakstasioneran juga terjadi di Perak I Surabaya (lampiran 2a,d), Ahmad Yani
Semarang (lampiran 2b,e), Polonia Medan (lampiran 2c,f).

(a)

Gambar 11

(b)
Autocorrelation Function (a) dan Partial Autocorrelation
Function (b) suhu virtual mingguan di Juanda Surabaya tanpa
pembeda (differencing)

19
Gambar 12 menunjukkan plot ACF dan PACF dari suhu virtual minguan di
Juanda setelah mengalami pembeda (differencing) dua kali. Berdasarkan plot
tersebut, nilai ACF yang nyata pada lag pertama. Plot PACF menurun secara
eksponensial sedangkan plot ACF cut off sehingga model sementara adalah MA(1)
atau ARIMA (0,2,1). Tahap kedua adalah penaksiran parameter. Pada tahap ini
yang dilakukan adalah coba-coba dan diuji dengan nilai Akaike’s Information
Criterion (AIC). AIC adalah kriteria kebaikan model (in sample). Model yang
memiliki nilai AIC dan BIC terkecil dipilih menjadi model terbaik (Akaike 1974
dalam Wijaya 2012). Model lain yang diuji adalah ARIMA (0,2,2), ARIMA
(0,2,3). Hasil uji diperoleh bahwa nilai AIC pada model ARIMA (0,2,1) sebesar
1.252448, model ARIMA (0,2,2) sebesar 1.251390 dan ARIMA (0,2,3) sebesar
1.253043, sehingga ditetapkan model yang digunakan adalah ARIMA (0,2,2).
Polt ACF dan PACF suhu virtual di Perak I Surabaya (lampiran 3a) setelah
mengalami pembeda menunjukkan bahwa nilai ACF yang nyata pada lag pertama
dan cut off sedangkan plot PACF menurun secara eksponensial, sehingga model
sementara adalah MA(1) atau ARIMA (0,2,1). Plot ACF suhu virtual di Ahmad
Yani Semarang (lampiran 3b) menunjukkan nilai ACF terjadi pada lag nyata tiga
dan cut off sedangkan PACF menurun secara eksponensial, sehingga model
sementara adalah MA(3) atau ARIMA (0,2,3). Plot ACF dan PACF suhu virtual di
Polonia Medan (lampiran 3c) menunjukkan nilai ACF terjadi pada lag nyata dua
dan cut off sedangkan PACF menurun secara eksponensial, sehingga model
sementara adalah MA(2) atau ARIMA (0,2,2).
Tahap penaksiran model prediksi suhu virtual di Perak I Surabaya diperoleh
dari nilai AIC pada model ARIMA (0,2,1) sebesar 0.897738, ARIMA (0,2,2)
sebesar 0.896175, ARIMA (0,2,3) sebesar 0.897578. Nilai AIC terkecil terdapat
pada model ARIMA (0,2,2) sehingga dipilih sebagai model prediksi suhu virtual di
Perak I Surabaya. Tahap penaksiran model prediksi suhu virtual di Ahmad Yani
Semarang diperoleh dari nilai AIC pada model ARIMA (0,2,3) sebesar 0.257527,
ARIMA (0,2,2) sebesar 0.259673, ARIMA (0,2,4) sebesar 0.247608. Nilai AIC
terkecil terdapat pada model ARIMA (0,2,3) sehingga dipilih sebagai model
prediksi suhu virtual di Ahmad Yani Semarang. Tahap penaksiran model prediksi
suhu virtual di Polonia Medan diperoleh dari nilai AIC pada model ARIMA (0,2,2)
sebesar -1.227745, ARIMA (0,2,1) sebesar -1.224301, ARIMA (0,2,3) sebesar 1.226665. Nilai AIC terkecil terdapat pada model ARIMA (0,2,2) sehingga dipilih
sebagai model prediksi suhu virtual di Polonia Medan.

20

Gambar 12 Autocorrelation Function (atas) dan Partial Autocorrelation Function
(bawah) suhu virtual mingguan di Juanda Surabaya dengan pembeda
(differencing) dua kali

Berdasarkan hasil analisis model dengan menggunakan metode BoxJenkins dan melalui proses identifikasi, penaksiran dan pengujian, maka diperoleh
persamaan model prediksi ARIMA (0,2,2) untuk Juanda, Perak, dan Poloniadalah
Zt = 2Zt -1 - Zt -2 + ɵ0 - ɵ1 ɑt-1 - ɵ2 ɑt-2 + ɑt
Persamaan model ARIMA (0,2,3) untuk Ahmad Yani adalah
Zt = 2Zt -1 - Zt -2 + ɵ0 - ɵ1ɑt-1 - ɵ2 ɑt-2 - ɵ3 ɑt-3 + ɑt
ɵ ɑ untuk setiap lokasi ( tabel 3). Prediksi
Persamaan model prediksi ARIMA
suhu virtual di Juanda, Perak, dan Polonia memiliki lag 2, artinya suhu virtual
minggu ketiga dapat diprediksi dari suhu virtual minggu kedua, dan seterusnya.
Prediksi suhu virtual di Ahmad Yani memiliki lag 3, artinya suhu virtual minggu
keempat dapat diprediksi dari suhu virtual suhu minggu ketiga.

Lokasi
Juanda (0,2,2)
Perak (0,2,2)
Ahmad Yani
(0,2,3)
Polonia (0,2,2)

Tabel 3 Persamaan ARIMA
Persamaan ARIMA
Zt = 2Zt -1 - Zt -2 + (3.79E-6) + 1.051ɑt-1 – 0.054 ɑt-2 + ɑt
Zt = 2Zt -1 - Zt -2 + (2.35E-6) + 1.057ɑt-1 – 0.059 ɑt-2 + ɑt
Zt = 2Zt -1 - Zt -2 + (5.51E-6) +1.267ɑt-1 – 0.126ɑt-2 – 0.143 ɑt-3 +
ɑt
Zt = 2Zt -1 - Zt -2 - (6.55E-7) + 1.072ɑt-1 – 0.075 ɑt-2 + ɑt

21
Model Prediksi Holt-Winters
Model prediksi Holt-Winters didasarkan pada pendekatan tren dan
musiman(seasonals). Tren dapat menunjukkan pembaharuan tren linear setiap
tersedia data observasi terbaru. Seasonals dapat menunjukkan pembaharuan
additive maupun multiple dengan baik. Tabel 4 menunjukkan persamaan prediksi
pada masing-masing lokasi. Persamaan prediksi Holt-Winters dipengaruhi oleh
nilai tren terakhir dari data (ɑ), slope terakhir terakhir dari data (b), dan seasonal
terakhir pada data musiman tertentu (S). Nilai S berubah-ubah sesuai dengan
periode yang ingin diprediksi, sedangkan nilai ɑ dan b tetap selama panjang data
yang digunakan untuk memprediksi sama.
Tabel 4 Persamaan Holt-Winters untuk peramalan Oktober 1997
Lokasi
Persamaan Holt-Winters
Juanda Surabaya
F + = (14430.369 + 100.372m)( st−s+m )
Perak I Surabaya
F + = (12987.58 + 82.507m)( st−s+m )
Ahmad Yani
F + = (6937.954 + 25.223m)( st−s+m
Polonia
F + = (−3803.505 + 9.272m)( st−s+m )
Validasi data dilakukan pada bulan Oktober 1997 karena pada bulan tersebut
puncak terjadinya El Niño dan IOD. Ketepatan peramalan dicari dengan
menghitung nilai MAPE. Nilai MAPE hasil prediksi dengan ARIMA dan HoltWinters di Juanda sebesar 3.38% dan -0.020%. Nilai MAPE hasil prediksi dengan
ARIMA dan Holt-Winters di Perak sebesar 3.20% dan 0.58%. Nilai MAPE hasil
prediksi dengan ARIMA dan Holt-Winters di Ahmad Yani sebesar 2.56% dan
2.080%. Nilai MAPE hasil prediksi dengan ARIMA dan Holt-Winters di Polonia
sebesar -1.30% dan 0.119%. Hasil validasi suhu virtual menggunakan ARIMA dan
Holt-Winters di empat lokasi (tabel 5-8) menunjukkan bahwa metode Holt-Winters
lebih tepat digunakan untuk peramalan dibandingkan dengan model ARIMA.
Validasi menggunakan metode Holt-Winters tidak membutuhkan data xt-1 untuk
memprediksi sedangkan untuk metode ARIMA informasi itu dibutuhkan karena
berkaitan dengan lag time. Model prediksi Holt-Winters hanya mempertimbangkan
aspek pola data yang terdapat dalam deret waktu, tidak harus memenuhi asumsi
deret waktu yaitu stasioneritas dan signifikasi. Sedangkan model prediksi BoxJenkins ARIMA harus memenuhi asumsi deret waktu dalam analisisnya.

22
Tabel 5

Validasi data suhu virtual mingguan di Stasiun Juanda Surabaya
menggunakan metode ARIMA dan Holt-Winters
Holt-Winters

Tanggal

Data
Aktual

01-10-97
28.95
08-10-97
29.56
15-10-97
29.26
22-10-97
29.54
29-10-97
29.50
MAPE

Tabel 6

Tanggal

Ramalan
28.79
29.16
29.29
29.59
30.01

Selisih AktualRamalan
0.16
0.40
-0.03
-0.05
-0.52
-0.020%

ARIMA(0,2,2)
Selisih
Ramalan
AktualRamalan
28.34
0.61
28.35
1.21
28.37
0.89
28.38
1.16
28.39

1.11
3.38%

Validasi data suhu virtual mingguan di Stasiun Perak Surabaya
menggunakan metode Holt-Winters dan ARIMA
Data
Aktual

01-10-97
29.25
08-10-97
29.83
15-10-97
29.55
22-10-97
29.77
29-10-97
29.61
MAPE

Holt-Winters
Selisih
AktualRamalan
Ramalan
28.93
0.322
29.23
0.601
29.37
0.179
29.64
0.131
29.99
-0.38
0.58%

ARIMA(0,2,2)
Ramalan
28.63
28.64
28.65
28.66
28.68
3.20%

Selisih
AktualRamalan
0.62
1.19
0.90
1.11
0.93

Tabel 7 Validasi data suhu virtual mingguan di Stasiun Ahmad Yani Semarang
menggunakan metode Holt-Winters dan ARIMA
Tanggal

Data
Aktual

01-10-97
29.61
08-10-97
29.99
15-10-97
29.82
22-10-97
29.84
29-10-97
29.43
MAPE

Holt-Winters
Selisih AktualRamalan
Ramalan
28.93
0.68
29.02
0.97
29.16
0.66
29.27
0.57
29.39
0

Dokumen yang terkait

Determination of The Rice Cropping Calendar based on ENSO (El Niño Southern Oscillation) and IOD (Indian Ocean Dipole) phenomena in Monsoon and Equatorial Regions

0 9 211

Pengaruh Indian Ocean Dipole (IOD) terhadap propagasi Madden Julian Oscillation (MJO)

3 27 31

Penetapan kalender tanam padi berdasarkan fenomena enso (El Niño Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole) di wilayah Monsunal dan Equatorial

0 11 404

Variabilitas arus, suhu dan angin di Perairan Barat Sumatera dan inter-relasinya dengan Indian Ocean Dipole Mode (IODM) dan El Nino Southern Oscillation (ENSO)

3 15 160

Pengaruh El Niño Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) terhadap Produktivitas Kelapa Sawit

1 2 56

Keragaman curah hujan indonesia saat fenomena indian ocean dipole (iod) dan el nino southern-oscillation (enso)

1 5 39

Pengaruh El Nino, La Nina Dan Indian Ocean Dipole.

0 0 1

Pengaruh Indian Ocean Dipole (IOD) dan El Nino Southern Osscillation (ENSO) Terhadap Variabilitas Upwelling Di Perairan Selatan Jawa.

0 1 1

this PDF file Variabilitas suhu laut pada kejadian IOD (Indian Ocean Dipole) di perairan barat Sumatera menggunakan data Argo Float | Adiwira | DEPIK Jurnal IlmuIlmu Perairan, Pesisir dan Perikanan 1 PB

0 0 14

PENGARUH IOD (INDIAN OCEAN DIPOLE) TERHADAP VARIABILITAS NILAI SERTA DISTRIBUSI SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-a PADA PERIODE UPWELLING DI PERAIRAN SEKITAR BUKIT BADUNG BALI Irfan Hafizhurrahman, Kunarso, Agus Anugroho Dwi Suryoputro)

0 0 11