Potensi Hutan Rakyat Mindi (Melia azedarach L.) Sebagai Sumber Benih: Variabilitas Genetik Pohon Induk, Morfologi Benih dan Pertumbuhan Bibit

POTENSI HUTAN RAKYAT MINDI (Melia azedarach L.) SEBAGAI
SUMBER BENIH: VARIABILITAS GENETIK POHON INDUK,
MORFOLOGI BENIH DAN PERTUMBUHAN BIBIT

LASWI IRMAYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Potensi Hutan Rakyat
Mindi (Melia azedarach L.) Sebagai Sumber Benih: Variabilitas Genetik Pohon
Induk, Morfologi Benih dan Pertumbuhan Bibit” adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Laswi Irmayanti
NIM. E451120021

RINGKASAN
LASWI IRMAYANTI. Potensi Hutan Rakyat Mindi (Melia azedarach L.)
Sebagai Sumber Benih: Variabilitas Genetik Pohon Induk, Morfologi Benih dan
Pertumbuhan Bibit. Dibimbing oleh ISKANDAR Z. SIREGAR dan PRIJANTO
PAMOENGKAS.
Mindi (Melia azedarach L.) merupakan salah satu jenis yang umum
ditemukan di hutan rakyat Jawa Barat. Salah satu faktor yang yang mempengaruhi
produktivitas hutan rakyat adalah benih yang berkualitas. Akan tetapi, informasi
tentang kualitas sumber benih di hutan rakyat saat ini masih kurang, baik mutu
fisik, genetik, maupun fisiologi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1)
menduga keragaman genetik di dalam dan antar populasi mindi di hutan rakyat
Jawa Barat, dan 2) menduga variabilitas dimensi buah mindi yang
dikumpulkan dari lima sumber benih yang berbeda, dan pertumbuhan bibit
mindi di persemaian pada tujuh media yang berbeda dari campuran top soil,
pasir, arang sekam, dan pupuk kandang berupa kotoran sapi.

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata alel yang teramati (Ne) sebesar 2.200,
PLP (percentage of polymorphic loci) sebesar 93.33%, dan keragaman genetik
dalam populasi (He) mindi sebesar 0.366. Keragaman genetik tertinggi adalah
populasi Padasari (He= 0.454) dan terendah adalah Babakan Rema (He= 0.220).
Rata-rata nilai perbedaan genetik antar populasi (Fst) didapatkan 0.303. Pada
analisis klaster menunjukkan adanya pengelompokan populasi mindi yang terbagi
menjadi 3 klaster. Klaster pertama terdiri atas Nagrak dan Padasari, klaster ke dua
Babakan Rema, Gambung dan Sukakarya, serta klaster ke tiga hanya populasi
Legok Huni. Klaster yang sama menunjukkan kekerabatan yang dekat.
Berdasarkan hasil penelitian, keragaman genetik populasi mindi tergolong pada
keragaman sedang, yang dapat dijadikan pertimbangan pada waktu seleksi dan
pembangunan sumber benih.
Variabilitas dimensi buah mindi secara spasial yang dikumpulkan dari lima
sumber benih berbeda, dan pertumbuhan bibit mindi di persemaian tergolong
sedang. Buah mindi dari Nagrak mempunyai ukuran, berat, dan seed set yang
paling tinggi, serta persentase, nilai dan kecepatan kecambah paling tinggi. Hasil
pengamatan pertumbuhan bibit mindi dari sumber benih dan media sapih berbeda
menunjukkan bahwa bibit dari Nagrak memiliki pertumbuhan lebih cepat. Media
sapih yang mengandung pupuk kandang berupa kotoran sapi memberikan
pertumbuhan paling cepat.


Kata kunci: hutan rakyat, mindi, sumber benih, pertumbuhan bibit, media sapih

SUMMARY
LASWI IRMAYANTI. Potential Mindi (Melia azedarach L.) Community
Forest as a Seed source: Genetic Variability Mother Tree, Fruit Morphology and
Seedling Growth. Supervised by ISKANDAR Z. SIREGAR and PRIJANTO
PAMOENGKAS.
Mindi (Melia azedarach L.) is mostly found in community forests of West
Java. One of the factors that affect productivity of mindi plantation is high quality
seed that is not easily available. Seed sources of mindi should be established
based on the status of genetic variation, preferably the one with high genetic
variation. However, information on the status of seed source quality is always
lacking. This research was aimed to: 1) estimate genetic variation within and
between populations of mindi in West Java community forests based on
microsatellites. and 2) determine baseline information on spatial variability of
mindi fruits collected from five seed sources, and seedling growths treated in
seven different growing media consisting mixtures of soil, rice husk, sand and
cattle manure. Six mindi populations were selected in the following villages:
Nagrak (Bogor), Babakan Rema (Kuningan), Padasari (Sumedang), Legok Huni

(Wanayasa), Sukakarya (Bogor) and Gambung (Bandung).
The results showed that average number of alleles (Ne) was 2.200, PLP
(percentage of polymorphic loci) was 93.33%, and the genetic diversity within
populations (He) was 0.366. The highest genetic diversity was found in Padasari
(He = 0.454), and the lowest one was in Babakan Rema (He = 0.220). The genetic
difference between populations (Fst) was 0.303. Cluster analysis showed three
groupings in which the first and second clusterconsisted of Nagrak and Padasari,
as well as Babakan Rema,Gambung and Sukakarya, respectively. On the other
hand Legok Huni was separated alone. The findings provided information on the
moderate status of genetic diversity that may be considered during the selection
and establishment of seed sources.
The dimensional variability of mindi fruits collected from different sources
of seed and their seedling growth in the nurseries are still relatively moderate.
Mindi fruits of Nagrak have the largest size, weight, and seed set and the highest
percentage of germination. The observations on the mindi seed growth from
different seed sources and seedling media show that the seeds of Nagrak have
faster growth. The seedling media containing manure provide the most rapid
growth.

Key words: community forest, mindi, seed source, seedling growth, growing

media

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

POTENSI HUTAN RAKYAT MINDI (Melia azedarach L.) SEBAGAI
SUMBER BENIH: VARIABILITAS GENETIK POHON INDUK,
MORFOLOGI BENIH DAN PERTUMBUHAN BIBIT

LASWI IRMAYANTI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains
pada
Program Studi Silvikultur Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Sri Wilarso Budi R, MS

Judul Tesis

Nama
NIM

: Potensi Hutan Rakyat Mindi (Melia azedarach L.) Sebagai
Sumber Benih: Variabilitas Genetik Pohon Induk, Morfologi
Benih dan Pertumbuhan Bibit
: Laswi Irmayanti

: E451120021

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Iskandar Z. Siregar, MForSc
Ketua

Dr Ir Prijanto Pamoengkas, MScFTrop
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Silvikultur Tropika

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Sri Wilarso Budi R, MS


Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 31 Desember 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmatNya hingga tesis yang berjudul
“Potensi Hutan Rakyat Mindi (Melia azedarach L.) Sebagai Sumber Benih:
Variabilitas Genetik Pohon Induk, Morfologi Benih dan Pertumbuhan Bibit”
dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada nabi besar
Muhammad SAW.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan
kepada Prof Dr Ir Iskandar Z. Siregar, MForSc dan Dr Ir Prijanto Pamoengkas,
MScFTrop selaku komisi pembimbing, atas arahan dan bimbingannya. Ucapan
terima kasih dan penghargaan juga kami sampaikan kepada Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan Beasiswa Unggulan Dikti
kepada penulis untuk tahun anggaran 2012-2014 (lampiran surat Dikti
No.2460/E4.4/2012). Terimakasih kepada Hastuti, SP, M.Si, Fadly Sonata Siregar,
A.Md, dan Alex Yungan S.Hut atas motivasi yang diberikan kepada penulis.

Terimakasih penulis sampaikan kepada Dr.Agus Astho Pramono dan Aam
Aminah, S.Hut, M.Si yang telah memberikan ide dan masukan-masukan dalam
penelitian. Kepada rekan-rekan di Laboratorium Genetik, Departemen Silvikultur
(Arniana Anwar, S.Hut; Asep Mulyadiana, S.Hut; Lily Novianty, S.Pd; Rajjitha
Handayani, SP; Jeprianto Manurung, S.Hut dan Arina Nur Faidah) terimakasih
atas bantuan dan dukungannya. Terimakasih kepada: Erekso Hadiwijoyo, S.Hut;
Asep Hendra Supriatna, S.Hut; Sri Susanti, S.Hut; Indra Alamsyah dan Adi
Setiadi (SVK’48) yang telah membantu penulis dalam pengumpulan sampel
penelitian di lapangan. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada
bapak, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala do’a dan kasih sayangnya.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu baik secara langsung maupun tidak langsung selama perencanaan dan
pelaksanaan penelitian, sampai tesis ini dapat diselesaikan. Semoga Allah
memberi balasan yang berlipat. Amiin.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Namun
penulis selalu berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis
dan para pembaca.

Bogor, Januari 2015
Laswi Irmayanti


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
DAFTAR TEBEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Alat dan Bahan
Prosedur
Analisis Data
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Variabilitas Genetik Pohon Induk
Variabilitas Dimensi Buah

Perkecambahan
Pertumbuhan Bibit
Potensi Sumber Benih Mindi di Hutan Rakyat Jawa Barat
4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi
vii
vii
vii
1
1
1
2
2
2
2
3
4
8
10
10
15
17
19
21
22
22
22
22
28
33

DAFTAR TABEL
2.1 Lokasi pengambilan sampel penelitian
2.2 Daftar alat dan bahan penelitian
2.3 Primer mikrosatelit mimba untuk amplifikasi silang mindi
2.4 Empat komponen bahan yang digunakan dalam reaksi PCR
2.5 Komposisi pembuatan gel poliakrilamid
2.6 Bahan pewarnaan gel poliakrilamid dan lama perendaman
3.1 Nilai parameter keragaman genetik dalam populasi mindi
3.2 Jarak genetik dan geografis populasi mindi di hutan rakyat Jawa Barat
3.3 Nilai pengujian struktur Hardy-Weinberg (HWE) berdasarkan uji G
3.4 Nilai indeks fiksasi setiap lokus pada mikrosatellit populasi mindi
3.5 Nilai pengujian struktur inbreeding berdasarkan uji X2
3.6 Nilai rata-rata panjang dan lebar buah mindi pada tiap lokasi
3.7 Nilai rata-rata massa buah mindi pada tiap lokasi
3.8 Rekapitulasi nilai GP, GV, dan GS benih mindi pada tiap lokasi
3.9 Analisis varians pengaruh media dan asal benih pada pertumbuhan mindi

3
4
5
6
6
6
12
12
14
15
15
16
16
18
19

DAFTAR GAMBAR
2.1 Peta lokasi pengambilan sampel penelitian
3
2.2 Perakitan kaca gel poliakrilamid
6
2.3 Pemilihan pohon induk untuk pengumpulan buah (Mulawarman et al. 2002) 7
2.4 Pengacakan unit percobaan
8
2.5 Cara skoring DNA mikrosatelit
9
2.6 Dendogram pengelompokan/klaster genetik
9
2.7 Tampilan struktur populasi (Purba 2012)
9
3.1 Frekuensi alel mindi di hutan rakyat Jawa Barat pada primer mimba
11
3.2 Korelasi jarak geografis dan jarak genetik populasi mindi
13
3.3 Dendogram mindi di hutan rakyat Jawa Barat
13
3.4 PCA mindi di hutan rakyat Jawa Barat
14
3.5 Tampilan struktur populasi mindi
15
3.6 Penampang dan bagian-bagian buah mindi
17
3.7 Sebaran seed set mindi pada tiap lokasi
17
3.8 Nilai persentase perkecambahan benih mindi dari awal pengamatan
18
3.9 Persentase perkecambahan benih mindi dari lima sumber benih
18
3.10 Pertambahan diameter dan tinggi bibit mindi dari sumber benih berbeda 20
3.11 Pengaruh media sapih pada pertambahan tinggi dan diameter bibit mindi 20

DAFTAR LAMPIRAN
1 Dokumentasi amplifikasi silang primer mimba ke mindi
2 Skoring alel pada tiap primer
3 Dokumentasi pengamatan pertumbuhan bibit mindi di persemaian

28
29
32

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Mindi (Melia azedarach L.) merupakan salah satu jenis alternatif
pengganti kayu berkualitas yang saat ini sudah mulai sulit ditemukan dan
berharga mahal karena permintaan pasar yang semakin meningkat (Syamsuwida
et al. 2012). Pada industri kerajinan meubel di Jepara, kayu mindi digunakan
sebagai salah satu pengganti kayu jati pada saat pasokannya berkurang. Daun,
akar, kulit, dan bunga mindi dapat dimanfaatkan sebagai obat-obatan dan pestisida
alami (Karyono & Hariatno 2001).
Pramono (2012) melaporkan bahwa mindi merupakan salah satu jenis
tanaman yang memiliki prospek bagus untuk dikembangkan di hutan rakyat.
Mindi mampu beradaptasi pada perbedaan kondisi lingkungan tumbuh yang
luas (Pramono et al. 2012). Hutan rakyat mindi merupakan salah satu tipe hutan
rakyat yang berkembang cukup baik dan menjanjikan khususnya di Jawa Barat
(Bramasto 2011). Salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas hutan
adalah penggunaan benih yang berkualitas. Namun, benih berkualitas masih sulit
didapatkan karena keterbatasan jumlah sumber benih.
Salah satu cara membangun sumber benih adalah membangun tegakan hutan
atau memanfaatkan tegakan yang sudah ada. Saat ini keberadaan hutan rakyat
dapat berfungsi sebagai alternatif pilihan sumber benih. Asal-usul sumber benih
merupakan salah satu penentu kualitas benih yang diharapkan mampu
menghasilkan bibit yang berkualitas pula. Akan tetapi, informasi tentang kualitas
sumber benih di hutan rakyat saat ini masih kurang. Pengembangan hutan rakyat
dengan jenis mindi, perlu ditunjang dengan penyediaan benih (seed procurement)
yang bermutu tinggi, baik kualitas fisik, fisiologi maupun genetik (Yulianti et al.
2011). Pada umumnya benih yang digunakan untuk hutan rakyat belum
memperhatikan hal tersebut.
Mutu genetik merupakan penampilan benih murni dari spesies tertentu
yang menunjukkan identitas genetik dari tanaman induknya (Sutopo 2011).
Yulianti et al. (2011) melaporkan bahwa keragaman genetik pohon induk mindi
dengan teknik RAPD sebesar 0,1712 dikategori keragaman genetik sedang.
Kemudian Rambey (2011) dengan teknik analisis mikrosatelit menyatakan bahwa
mindi di daerah Garut memiliki nilai keragaman genetik sebesar 0,373 yang
dikategorikan keragaman sedang.
Berkaitan dengan permasalahan di atas, perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut tentang variabilitas genetik pohon induk dari beberapa sumber benih. Selain
itu diperlukan juga penelitian kualitas benih melalui pengamatan variabilitas
dimensi buah secara spasial, dan pertumbuhan bibit mindi dari beberapa hutan
rakyat di Jawa Barat dan media yang berbeda.

Perumusan Masalah
Sumber benih hendaknya dibangun dengan mutu setinggi mungkin dan
keragaman genetik setinggi mungkin (Roshetko et al. 2004). Penelitian ini
dilaksanakan dalam rangka menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut:

2
1. Bagaimana variabilitas genetik (dalam dan antar populasi) tegakan mindi pada
Hutan Rakyat di Jawa Barat yang dapat dikembangkan menjadi sumber benih
dengan marka Mikrosatellit.
2. Bagaimana variabilitas dimensi buah mindi secara spasial yang dikumpulkan
dari sumber benih yang berbeda, dan pertumbuhan bibit mindi di persemaian
yang dihasilkan dari sumber benih dan media sapih berbeda.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menduga variabilitas genetik (dalam dan antar populasi) tegakan mindi pada
Hutan Rakyat di Jawa Barat yang dapat dikembangkan menjadi sumber benih
dengan marka Mikrosatellit.
2. Menduga variabilitas dimensi buah mindi secara spasial yang dikumpulkan
dari sumber benih yang berbeda, dan pertumbuhan bibit mindi di persemaian
yang dihasilkan dari sumber benih dan media sapih berbeda.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini yaitu:
1. Memberikan informasi variabilitas genetik (dalam dan antar populasi) tegakan
mindi pada Hutan Rakyat di Jawa Barat yang dapat dikembangkan menjadi
sumber benih dengan marka Mikrosatellit.
2. Memberikan informasi dimensi buah mindi secara spasial yang dikumpulkan
dari sumber benih yang berbeda, dan pertumbuhan bibit mindi di persemaian
yang dihasilkan dari sumber benih dan media sapih berbeda.

2 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli 2013-Agustus 2014. Pengambilan
sampel penelitian dilaksanakan pada enam hutan rakyat di Jawa Barat, yaitu di
Kabupaten Bogor (Sukaraja dan Megamendung), Sumedang, Kuningan,
Purwakarta dan Bandung, seperti disajikan pada Tabel 2.1 dan Gambar 2.1.
Kegiatan analisis keragaman genetik dilaksanakan di Laboratorium Genetik,
Departemen Silvikultur. Untuk kegiatan analisis variabilitas dimensi buah dan
pertumbuhan bibit dilaksanakan di persemaian Departemen Silvikultur, Fakultas
Kehutanan IPB.

3
Tabel 2.1 Lokasi pengambilan sampel penelitian (Yulianti et al. 2011)
No

Lokasi

Posisi Geografis

Ketinggian

(m dpl)
250

Kondisi Lapangan

1

Desa Nagrak, Kecamatan
Sukaraja, Kabupaten
Bogor

06o40’LS
106 o53’BT

2

Desa Babakan Rema,
Kecamatan Kuningan,
Kabupaten Kuningan

06o45’LS
108o20’BT

417

Berupa tegakan murni
mindi, jarak tanam 3x4 m

3

Desa Padasari, Kecamatan
Cimalaka, Kabupaten
Sumedang

06o47’LS
107o56’BT

490

Berupa tegakan
campuran, jarak tanam
tidak teratur

4

Desa Legok Huni,
Kecamatan Wanayasa.
Kabupaten Purwakarta

06o39’LS
107 o32’BT

617

Berupa tegakan murni
mindi, dengan tumpang
sari tanaman pertanian,
jarak tanam 3x5 m

5

Desa Sukakarya,
Kecamatan
Megamendung,
Kabupaten Bogor

06o42’LS
106 o54’BT

711

Berupa tegakan murni
mindi, dengan tumpang
sari tanaman pertanian,
tanaman mindi berada di
pematang sawah

6

Desa Gambung,
Kecamatan Pasirjambu,
Kabupaten Bandung

07o14’LS
107o51’BT

1 250

Berupa tegakan murni
mindi, digunakan sebagai
peneduh tanaman teh,
jarak tanam 4x5 m

Berupa tegakan murni
mindi, jarak tanam 4x5 m

Gambar 2.1 Peta lokasi pengambilan sampel penelitian, 1) Nagrak, 2) Sukakarya, 3)
Legok Huni, 4) Padasari, 5) Gambung, 6) Babakan Rema

Alat dan Bahan
Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman mindi
dari enam lokasi hutan rakyat mindi di Jawa Barat. Alat dan bahan yang
digunakan dalam penelitian ini terdiri atas peralatan dan bahan yang umum
digunakan untuk: 1) ekstraksi DNA, 2) elektroforesis, 3) PCR (Polymerase Chain
Reaction), 4) pengunduhan dan ekstraksi buah, 5) pengukuran dimensi buah

4
(Kuniyal et al. 2013), 6) pematahan dormansi, perkecambahan, dan pembibitan,
dan 7) pengukuran pertumbuhan bibit. Daftar alat dan bahan yang digunakan
dalam penelitian disajikan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Daftar alat dan bahan penelitian
No
1

Jenis Kegiatan
Ekstraksi DNA

2

Elektroforesis

3

PCR
(Polymerase Chain
Reaction)

4

Pengunduhan dan
ekstraksi buah
Pengukuran dimensi
buah
Pematahan dormansi,
perkecambahan, dan
pembibitan

Galah, tangga, plastik klip,
ember
kaliper, timbangan digital
Palu, bak kecambah, polybag,
cangkul, skop pasir

top soil, pasir, arang sekam,
pupuk kandang berupa
kotoran sapi.

Pengukuran
pertumbuhan bibit

Kaliper, penggaris

Bibit mindi

5
6

7

Alat
tube ukuran 1.5 ml, mortar,
pestel, mikropipet, tips, rak
tube,
vortex,
mesin
sentrifugasi,
waterbath,
desikator.
cetakan
gel
agarose,
erlenmeyer,
UV
transilluminator, cetakan gel
polyakrilamide, kamera
tube ukuran 0,2 ml, mesin
PCR AB Applied Biosystem
VeritiTMThermal Cycler

Bahan
daun mindi, kit DNA,
buffer ekstrak, PVP 2%,
chloroform,
isopropanol,
NaCl, etanol 95%, buffer
TE
Agarose, polyakrilamide,
buffer TBE 10x, buffer
TAE 1x, blue juice 10x,
EtBr, DNA ledder
DNA,
primer-primer
mikrosatellit, green go taq
master mix, nukleas free
water
Silika gel, pasir
Buah mindi

Prosedur
Sub Penelitian 1. Analisis Keragaman Genetik Pohon Induk
Ekstraksi DNA
Ekstraksi DNA dari daun dilakukan dengan metode CTAB (Cetyl Trimethyl
Ammonium Bromide) (Weising et al. 2005 dan Aritonang et al. 2007) yang telah
dimodifikasi, dan metode kit (protokol DNA Plant Mini Kit) dari Qiagen
(www.qiagen.com) dengan nomor katalog 6235. Langkah pertama dari metode
CTAB adalah sampel daun dipotong dengan ukuran 2 cm x 2 cm, kemudian
digerus dalam pestel yang bersih dengan penambahan 500 µl buffer ekstrak dan
100 µl PVP 1%. Campuran dimasukkan dalam tube berukuran 1.5 ml.
Langkah selanjutnya dilakukan proses inkubasi dalam waterbath selama 1
jam pada suhu 65 oC. Selama inkubasi setiap 15 menit tube diangkat dan dikocok.
Jika proses inkubasi telah selesai maka tube diangkat dan didinginkan ± 15 menit.
Untuk memurnikan DNA ditambahkan kloroform 500 µl, selanjutnya campuran
tersebut dikocok agar menjadi homogen dan disentrifugasi pada kecepatan 10.000
rpm selama 10 menit. Proses sentrifugasi dilakukan untuk memisahkan bahanbahan kimia atau fase organik dari fase air berupa supernatan. Supernatan
merupakan cairan yang mengandung DNA. Langkah selanjutnya fase air

5
dipisahkan dari fase organik dengan menggunakan mikropipet, kemudian fase air
dipindahkan ke dalam tube baru.
Langkah selanjutnya adalah penambahan isopropanol dingin 500 µl dan
NaCl 300 µl, lalu disimpan dalam freezer selama 1 jam. Hasil pengendapan
disentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit dan cairan dalam tube
dibuang. Kemudian dilakukan proses pencucian DNA dengan penambahan etanol
95% sebanyak 300 µl, lalu disentrifugasi, dan cairan dalam tube dibuang. Proses
tersebut dilakukan 2 kali. Pelet DNA yang ada di tube dikeringkan dengan cara
disimpan dalam desikator selama 15 menit dengan posisi tube terbalik agar silica
gel dalam desikator dapat menyerap cairan yang ada dalam tube.
Uji Kualitas DNA
Langkah pertama pada uji kualitas DNA yaitu menyiapkan gel agarose 1%
(0.33 g agarose dalam 33 ml buffer TAE). Untuk proses elektroforesis,
ditambahkan buffer TE 50 μl pada pellet DNA lalu disentrifugasi, dan diambil 3
μl DNA ditambahkan 2 μl BJ (Blue Juice) dan dielektroforesis selama 45 menit.
Hasil elektroforesis direndam dalam larutan EtBr (Etidium Bromida) selama 15
menit dan difoto pada UV transiluminator model TFX-20.LM (Aritonang et al.
2007).
Mikrosatellit
Mikrosatelit merupakan sekuen DNA yang bermotif pendek dan diulang
secara tandem dengan 2 sampai 5 unit nukleotida yang tersebar dan meliputi
seluruh genom, terutama pada organisme eukariotik (Azrai 2005). PCR
mikrosatellit diawali dengan pengenceran DNA. DNA hasil ekstraksi diencerkan
100 kali menggunakan aquabides. Perbandingan antara DNA dan aquabides yaitu
99 μl aquabides dan 1 μl DNA. Primer mikrosatelit untuk jenis mindi belum ada,
sehingga dalam penelitian ini menggunakan primer dari jenis lain yang satu famili
dengan mindi, yaitu mimba (Azadirachta indica). Primer mikrosatelit yang
digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Primer mikrosatelit mimba untuk amplifikasi silang mindi (Boonton et al.
2008)
No

Nama
Primer

1

Ai5

2

Ai11

3

Ai13

4

Ai14

5

Ai34

5’-GAAAGGAGGGTTTTCAAATCA-3’
5’-TCGGCCGAACACAATTTTA-3’
5’-GCATCAGTCAGCCATAGTGC-3’
5’-TTGAAAAATCCTGGCGAGTG-3’
5’-CCACAAACAAATGGGAAACC-3’

130–182

Suhu
anealing
(OC)
55

175–219

55

158–188

55

5’-GTCCACGCAAACAGAGACAC-3’
5’-TTGGCTTGGCTTTCTCTTTC-3’
5’-ATTTGTGTGTGCGTGCTAGG-3’
5’-CGAGGAACTGAGACTCCTGAA-3’

224–232

54

146–168

55

Urutan basa DNA
(5’ to 3’)

5’-CCCTTATTACAAAAGAAGAGGGAAG-3’

Panjang
Fragmen (bp)

Reaksi PCR mikrosatelit dilakukan dengan mesin PTC-100 Progammable
Thermal Cycler (MJ Research, Massachussetts, USA) dan AB Applied Biosystem

6
VeritiTMThermal Cycler (https://www.appliedbiosystem.com). Komposisi bahan
untuk reaksi PCR Mikrosatelit dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Elektroforesis mikrosatellit menggunakan gel vertikal poliakrilamid (Wang
et al. 2009), dengan komposisi gel seperti pada Tabel 2.5. Akrilamid, bisakrilamid,
TBE (1x), dan aquades dicampur dalam tabung erlemeyer dan dikocok selama 15
menit, kemudian pada menit ke 10 dimasukkan temed. Pada menit ke 14
dimasukkan APS, dan pada menit ke 15 larutan dimasukkan ke dalam pasangan
kaca akrilamid, kemudian ditunggu sampai larutan memadat menjadi gel (Gambar
2.2).
Tabel 2.4 Empat komponen bahan yang digunakan dalam reaksi PCR
No.
1
2
3
4

Nama Bahan
H 2O
Green Go Taq Master Mix
Primer F dan R
DNA encer

Sampel Reaksi
2.5 μl
7.5 μl
1.5 μl
2 μl

Tabel 2.5 Komposisi pembuatan gel poliakrilamid
Bahan
Akrilamid
Bisakrilamid
TBE (1x)
TEMED
APS
Aquades

Komposisi
5,7 gram
0,3 gram
10 ml
50 µl
500 µl
60 ml

Gambar 2.2 Perakitan kaca gel poliakrilamid
Tabel 2.6 Bahan pewarnaan gel akrilamid dan lama perendaman
Bak
1
2
3

4

Bahan larutan pewarna
Aquades 450 ml
Acetic acid (0,5%) 25 µl
Etanol 50 ml
Aquades 500 ml
Aquades 500 ml
Silbernitrat 0,5 gram
Formaldehyde 0,6 ml
Aquades 500 ml
NaOH 7,5 gram
Formaldehyde 1 ml

Lama perendaman gel
10-15 menit
5 menit
10-20 menit, setelah bak 3, bilas ke
bak 2 selama 10 detik

Sampai muncul pita DNA

7
Kegiatan elektroforesis dilakukan pada 350 V, 40 mA, 80 W selama 75
menit dengan buffer running TBE 1x. Pewarnaan gel dilakukan dengan
pewarnaan silver nitrate (Benbouza et al. 2006; Creste et al. 2001). Pewarnaan ini
terdiri atas empat bak perendaman. Secara berurutan bak satu sampai empat
tertera pada Tabel 2.6. Setelah pewarnaan selesai dilakukan dokumentasi gel
poliakrilamid.
Sub Penelitian 2
Variabilitas Dimensi Buah Secara Spasial dan Pertumbuhan Bibit
Dimensi Buah
Secara umum puncak musim buah mindi dijumpai pada bulan Februari
hingga April (Pramono 2012). Pengunduhan buah mindi dilaksanakan pada bulan
Februari 2014. Buah mindi diunduh pada pohon-pohon yang mempunyai fenotipa
baik untuk dijadikan sebagai pohon induk seperti disarankan oleh Mulawarman et
al. (2002) (Gambar 2.3). Buah diunduh berdasarkan lokasi (Tabel 2.1) dan nomor
pohon induk di lapangan. Semua buah yang sudah terkumpul dilakukan ekstraksi
buah sesuai Danu (2005). Total seluruh buah yang terkumpul yaitu 1 644 butir.
Setelah buah kering dilakukan pengukuran morfologi buah berupa panjang dan
lebar menggunakan kaliper, dan pengukuran massa buah dengan timbangan
digital (Kuniyal et al. 2013).
Pengukuran persentase pembentukan benih (seed set) dilakukan dengan
memecah buah pada potongan melintang dan membujur dengan palu, kemudian
dihitung jumlah ovul dan benih pada tiap buah. Pada masing-masing pohon induk
diambil sampel 5 buah, dan diulang 4 kali yang mengacu pada Khan et al. (1999).

Gambar 2.3 Pemilihan pohon induk untuk pengumpulan buah (Mulawarman et al. 2002)

Pematahan Dormansi, Perkecambahan, dan Pembibitan
Buah mindi tergolong buah batu (drupe). Pematahan dormansi buah mindi
dilakukan dengan metode mekanik, yaitu dengan meretakkan buah mindi (Danu
2005) menggunakan palu. Peretakan buah ini dimaksudkan ketika buah
dikecambahkan, air mampu masuk dalam benih. Langkah pertama dalam
pembibitan adalah penyemaian benih. Benih mindi dikecambahkan dengan media
pasir (Danu 2005; Mansur 2010; Sudomo & Santosa 2011). Pengamatan

8
perkecambahan dilaksanakan selama 3 bulan. Setelah semai mempunyai sepasang
daun dan relatif seragam dilakukan penyapihan (Sudomo & Santosa 2011).
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan petak terpisah (split
plot design) yang mengacu pada Mattjik dan Sumertajaya (2013), serta Gomez
dan Gomez (2007), dengan perlakuan perbedaan asal benih (faktor utama) dan
media penyapihan. Perlakuan media sapih yang digunakan dalam penelitian ini
terdiri atas 7 macam media (Danu 2005; Mansur 2010; Sudomo & Santosa 2011),
dan asal benih terdiri atas 3 lokasi. Pemilihan 3 lokasi ini didasarkan pada jumlah
semai yang cukup untuk semua perlakuan, yaitu dari Nagrak, Babakan Rema, dan
Padasari. Masing-masing unit percobaan diulang sebanyak 3 kali, sehingga total
unit percobaan ada 63 unit. Desain pengacakan unit percobaan disajikan pada
Gambar 2.4.
Pengamatan Pertumbuhan Bibit
Pengukuran variabel pertumbuhan bibit yang dilakukan meliputi tinggi dan
diameter (Setyaningsih 2007; Ditjen RLPS 2012). Pengukuran tinggi dan diameter
semai dilakukan setiap bulan sampai bibit berumur 4 bulan setelah penyapihan
yang mengacu pada Sudomo dan Santosa (2011).

Gambar 2.4 Pengacakan unit percobaan. A menunjukkan asal benih dan P perlakuan
media. A1: Nagrak, A2: Babakan Rema, A3: Padasari, P1: tanah, P2:
tanah + arang sekam (3:1), P3: tanah + pasir (3:2), P4: tanah + pupuk
kandang (3:1), P5: tanah + arang sekam + pasir (3:1:2), P6: tanah + arang
sekam + pupuk kandang (3:1:1), P7: tanah + pasir + pupuk kandang (3:2:1).

Analisis Data
Keragaman dalam Populasi
Foto DNA hasil PCR mikrosatelit dianalisis dengan melakukan skoring pola
pita yang muncul (Gambar 2.5). Hasil interpretasi foto kemudian dianalisis
menggunakan software POPGENE 32 versi 1.31 (Yeh & Yang 1999) dan NTSys
versi 2.0 (Rohlf 2008). Dari software tersebut akan ditampilkan beberapa
parameter untuk mengetahui keragaman dalam suatu populasi, yaitu nilai PLP
(Percentase Locus Polymorphic), Na (Observed number of alleles), Ne (Effective
number of alleles), dan He (Expected Hetegozity).
Keragaman antar Populasi
Data jarak genetik yang dihasilkan dari POPGENE akan digunakan untuk
analisis gerombol pada metode UPGMA (unweighted pair group with arithmatic
avarage) dalam NTsys versi 2.0 yang akan menghasilkan dendogram hubungan
kekerabatan (Hartati 2007), seperti disajikan pada Gambar 2.6. Populasi dalam
satu klaster menunjukkan kekerabatan yang dekat. Untuk analisis PCA (Principal

9
Coordinates Analysis) digunakan software GenAlex Ver 6.5 (Blyton & Nicola
2006).

Gambar 2.5 Cara skoring DNA mikrosatelit (foto pribadi)

klaster 1
klaster 2

Gambar 2.6 Dendogram pengelompokan/klaster genetik
Analisis struktur perbedaan antar populasi digunakan software structure
versi 2.3.3 (Evanno et al. 2005; Pritchard et al. 2010; Purba 2012; Dillon et al.
2013). Hasil analisis ditampilkan dalam bentuk grafik seperti disajikan pada
Gambar 2.7, warna yang sama menunjukkan bahwa populasi memiliki struktur
populasi yang sama.

Populasi

1

2

3

4

5

Gambar 2.7 Tampilan struktur populasi (Purba 2012)

Dimensi Buah, Perkecambahan dan Pertumbuhan Bibit
Persamaan untuk menghitung seed set mengacu pada Hansen dan Molau
(1994). Penentuan parameter mutu fisiologi benih menggunakan persamaan
Czabator, yaitu: GP (persentase kecambah), GV (nilai kecambah), dan GS

10
(kecepatan kecambah) (Caliskan 2014; Djavanshir & Pourbeik 1976; Gairola et
al. 2011).

keterangan:
GV (Germination Value)
MDG (Mean Daily Germination)
PV (Peak Value)
DGS (Daily Germination Speed)
N (Number of Seed)
GP (Germination Percentage)
T (Time)
GS (Germination Speed)

: nilai kecambah
: rata-rata perkecambahan harian
: nilai puncak kecambah
: kecepatan kecambah harian
: jumlah benih yang dikecambahkan
: persentase kecambah
: waktu yang dibutuhkan untuk berkecambah
: kecepatan kecambah

Analisis yang digunakan untuk menguji pengaruh perlakuan terhadap
variabel yang diamati adalah analisis sidik ragam (Mattjik & Sumertajaya 2013).
Apabila perlakuan berpengaruh nyata terhadap variabel yang diukur, maka
dilanjutkan uji jarak berganda (duncan’s multiple range test-DMRT) dengan
bantuan software SAS 9.0 (SAS Institute Inc 2006). Penyajian data berupa
boxplot menggunakan software Minitab 15 (Minitab Inc 2007).

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Variabilitas Genetik Pohon Induk
Amplifikasi Silang
Banyak penelitian terkait keragaman genetik yang menggunakan
mikrosatelit sebagai penanda genetik (Ng et al. 2009, Lemes et al. 2011, Mantello
et al. 2012, Zalapa et al. 2012, Dillon et al. 2013, Goetze et al. 2013). Namun
menurut Azrai (2005), mikrosatelit memiliki beberapa kelemahan, misalnya
mikrosatelit tidak tersedia pada semua jenis tanaman, sehingga untuk merancang
primer baru membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang cukup mahal.
Penggunaan primer mikrosatelit yang bukan merupakan primer asli dari
jenis yang di PCR disebut amplifikasi silang (cross-amplification). Amplifikasi
silang primer mikrosatellit mimba ke mindi dalam penelitian ini mengacu pada
Abaloso et al. (2009), Costa et al. (2013), Lemes et al. (2011), Thode et al. (2013),
Wang et al. (2013), dan Wee et al. (2013). Amplifikasi DNA merupakan proses
penggandaan DNA dimana basa penyusun DNA direplikasi dengan bantuan
primer. Primer merupakan potongan rantai DNA antara 18-24 nukleotida yang
didesain komplemen dengan DNA target dan menjadi batas multiplikasi segmen

11
DNA target (Aritonang et al. 2007). Hasil amplifikasi silang dari tujuh primer
mimba didapatkan lima primer yang polimorfik (Lampiran 1). Frekuensi alel pada
tiap primer disajikan pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1 menunjukkan bahwa primer Ai-5 dan Ai-11 terdiri atas 2 alel,
kemudian primer Ai-13, Ai-34 dan Ai-4 terdiri atas 3 alel. Pada alel ke tiga Ai-13
hanya terdapat alel dari populasi Nagrak, ini disebut private allele (Blyton &
Nicola 2006; Kwapata et al. 2013). Hasil skoring alel pada tiap primer disajikan
pada Lampiran 2.

Gambar 3.1 Frekuensi alel mindi di hutan rakyat Jawa Barat pada beberapa primer mimba,

Keragaman Genetik dalam Populasi
Kelebihan dari teknik mikrosatelit adalah bersifat polimorfik (Varshney et
al. 2007), dengan tingkat reproduksi yang tinggi, dan merupakan penanda
kodominan (Rajora dan Rahman 2001; Weising et al. 2005). Perez et al. (2005)
melaporkan mikrosatelit merupakan penanda genetik yang sangat baik untuk studi
keragaman genetik dalam berbagai tanaman.
Finkeldey (2005) menyatakan bahwa keragaman genetik merupakan perbedaan
gen yang terkandung dalam individu suatu populasi dan berhubungan dengan
kemampuan beradaptasi suatu individu dalam mengalami perubahan selama proses
perkembangan. Keragaman genetik dapat diwariskan kepada keturunannya dan
terjadi karena adanya rekombinasi genetik sebagai akibat adanya persilanganpersilangan dan adanya mutasi. Secara umum variasi genetik dapat diukur dengan
dua parameter, yaitu dalam populasi dan antar populasi.
Peubah yang digunakan untuk mencirikan variasi genetik dalam populasi
yaitu Presentase Lokus Polimorfik (PLP), dan rata-rata jumlah alel per lokus
(A/L), dan variasi genetik (He) (Finkeldey 2005). Nilai parameter keragaman
genetik dalam populasi mindi disajikan pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 menunjukkan rata-rata alel yang diamati sebasar 2.200, PLP
sebesar 93.33%, dan keragaman genetik dalam populasi (He) sebesar 0.3656. Nilai
keragaman genetik tersebut tergolong pada keragaman sedang. Hal ini sesuai
dengan Rambey (2011) yang menyatakan bahwa mindi di hutan rakyat Garut
memiliki nilai keragaman genetik sebesar 0,3730 dikategorikan pada keragaman
sedang.
Keragaman genetik mindi dengan teknik analisis RAPD sebesar 0.1712
dikategorikan dalam keragaman genetik sedang, dan populasi Babakan Rema
dilaporkan mempunyai keragaman genetik yang paling rendah diantara 5 populasi
lainnya (Yulianti et al. 2011). Hasil penelitian ini didapatkan bahwa dari 6

12
populasi yang diamati keragaman genetik tertinggi adalah populasi Padasari
(He=0.4537), dan terendah adalah Babakan Rema (He=0.2195).
Tabel 3.1 Nilai parameter keragaman genetik dalam populasi mindi di hutan
rakyat Jawa Barat
No
1
2
3
4
5
6

Populasi*
Nagrak
Babakan Rema
Padasari
Legok Huni
Sukakarya
Gambung
Rata-rata

N
20
20
20
20
20
20

Na
2.600
1.800
2.000
2.400
2.000
2.400
2.200

Ne
1.8032
1.4210
1.8519
1.8059
1.7595
1.6421
1.7139

PLP (%)
100
80
100
100
80
100
93.33

He
0.4127
0.2195
0.4537
0.3742
0.3840
0.3497
0.3656

*)

urutan lokasi berdasarkan ketinggian (rendah ke tinggi), N: jumlah individu, Na: jumlah alel yang teramati,
Ne: jumlah alel efektif, He: heterozigositas/keragaman genetik, PLP: Persentase Lokus Polimorfik

Tinggi rendahnya keragaman dalam populasi dapat dipengaruhi oleh pola
sebaran tanaman, khususnya di hutan rakyat yang umumnya tanaman tersebar
dengan jumlah yang terbatas (Hamid et al. 2008). Tegakan mindi di Babakan
rema merupakan areal yang berdekatan dengan perkebunan teh, sehingga tegakan
mindi di lahan masyarakat berasal dari area perkebunan yang hanya dikelola satu
pengelola (Yulianti 2011). Berbeda dengan tegakan mindi di Padasari yang
tersebar pada berbagai tipe dan pemilik lahan dengan sejarah penanaman
bervariasi, dan cenderung menghasilkan musim buah yang bervariasi, serta diduga
variasi genetiknya lebih tinggi (Pramono 2012). Selain itu, Pramono (2012) juga
melaporkan bahwa musim buah tegakan mindi di Babakan Rema tergolong
serentak. Musim buah yang serentak ini diduga karena populasi kuningan
mempunyai keragaman genetik yang rendah.
Keragaman Genetik antar Populasi
Peubah yang digunakan untuk mencirikan variasi genetik antar populasi
menurut Finkeldey (2005) yaitu pembagian variasi genetik (Fst atau Gst), jarak
genetik, dan analisis klaster/kelompok. Perbedaan genetik dari dua atau lebih
populasi pada umumnya dianalisis dengan sebuah matrik dimana elemenelemennya berupa jarak genetik dan pasangan kombinasi dari masing-masing
populasi (Finkeldey 2005). Jarak genetik mengukur perbedaan struktur genetik
antar populasi pada suatu lokus gen tertentu. Jarak genetik antar populasi mindi di
hutan rakyat disajikan pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Jarak genetik dan geografis populasi mindi di hutan rakyat Jawa Barat
Populasi*

Nagrak

Babakan
Rema
160.6

Padasari

Legok
Huni
71.9
89.1
46.6

Sukakarya

Gambung

Nagrak
116.8
4.1
123.8
Babakan Rema
0.6625
44.4
158.6
75.6
Padasari
0.0405
0.3702
114.6
50.6
Legok Huni
0.6275
0.3318
0.4317
70.2
71.5
Sukakarya
0.3353
0.2305
0.1453
0.2579
120.4
Gambung
0.4274
0.1388
0.2137
0.3892
0.2293
*)
angka di atas garis diagonal merupakan jarak geografis (km), dan bawah diagonal merupakan
jarak genetik antar lokasi

13
Tabel 3.2 menunjukkan bahwa jarak genetik terjauh adalah populasi
Nagrak dan Babakan Rema, sedangkan jarak genetik terdekat adalah Nagrak dan
Padasari. Sehingga Nagrak dan Babakan Rema mempunyai kekerabatan yang jauh,
sedangkan Nagrak dan Padasari mempunyai kekerabatan yang dekat. Gambar 3.2
memperlihatkan tidak ada korelasi antara jarak geografis dan jarak genetik, sesuai
yang dilaporkan oleh Yulianti (2011).
Selain dari jarak genetik, peubah lain yang dapat digunakan untuk
mencirikan variasi genetik antar populasi adalah analisis gerombol/kelompok atau
dendogram jarak genetik antar populasi. Berdasarkan analisis nilai jarak genetik
dihasilkan dendrogram jarak genetik antar populasi dan PCA yang dapat
digunakan untuk melihat kekerabatan antar populasi seperti disajikan pada
Gambar 3.3 dan 3.4. Gambar 3.3 dan 3.4 menunjukkan adanya pengelompokkan
populasi mindi, yaitu terdapat 3 kluster. Klaster pertama terdiri atas Nagrak dan
Padasari, klaster ke dua Babakan Rema, Gambung dan Sukakarya, serta klaster ke
tiga hanya populasi Legok Huni.

R2 = 0.000

Gambar 3.2 Korelasi jarak geografis dan jarak genetik populasi mindi

Gambar 3.3 Dendogram mindi di hutan rakyat Jawa Barat

Yulianti (2011) melaporkan bahwa mindi di Gambung, Sukakarya dan
Legok Huni merupakan bagian atau berdekatan dengan perkebunan teh yang ada
di daerah tersebut, sehingga kemungkinan sumber bibit mindi yang ada di lahan
masyarakat berawal dari area perkebunan. Oleh karena itu jarak genetik dari
populasi-populasi tersebut cukup dekat. Berbeda dengan populasi Nagrak dan

14
Padasari, dimana di daerah ini tidak terdapat perkebunan, sehingga mempunyai
struktur genetik yang cukup berbeda dengan populasi lainnya.

Gambar 3.4 PCA mindi di hutan rakyat Jawa Barat,
Struktur Hardy-Weinberg (HWE) setiap populasi dan lokus dapat diketahui
dengan uji log-ratio probabilitas (uji G) (Muller & Liu 1989). Hasil uji G
menunjukkan bahwa sebagian besar populasi di setiap lokus mengindikasikan
penyimpangan yang signifikan dari HWE. Penyimpangan ini bisa disebabkan oleh
sistem perkawinan yang tidak acak. Nilai pengujian struktur Hardy-Weinberg
(HWE) menggunakan log-ratio probabilitas (uji G) disajikan pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3

Nilai pengujian struktur Hardy-Weinberg (HWE) menggunakan log-ratio
probabilitas (uji G)

Lokus

Nagrak

AI_5
AI_11
AI_13
AI_34
AI_4

26.71***
26.71***
7.26*
0.16ns
26.71***

Babakan Rema

Padasari

Legok Huni

Sukakarya

Gambung

0.00ns
26.71***
26.71***
0.00ns
26.71***

26.71***
26.71***
26.71***
2.36ns
0.69ns

26.71***
0.16ns
0.16ns
4.88*
16.17**

3.06*
26.71***
26.71***
26.71***
14.37**

10.97***
26.71***
13.36***
0.05ns
0.33 ns

Tingkat signifikansi: non signifikan (ns), α = 0.05 (*), 0.01 (**), 0.001 (***)

Efek dari perkawinan yang tidak acak pada frekuensi genotipa dapat
diukur menggunakan perbandingan frekuensi heterozigositas harapan HWE, yang
diasumsikan kawin acak, dengan frekuensi heterozigositas yang diamati dalam
suatu populasi. Besaran tersebut disebut indeks fiksasi (Fis) (Hamilton 2009).
Hasil nilai indeks fiksasi setiap lokus disajikan pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4 memperlihatkan rata-rata nilai Fis pada semua lokus dan populasi
bernilai negatif dengan rata-rata -0.5168. Hal ini menunjukkan bahwa lokus gen
secara keseluruhan menunjukkan kelebihan heterozigot, dan semua populasi tidak
terjadi inbreeding. Hal ini sesuai yang dilaporkan oleh Syamsuwida (2012),
bahwa tingkat inbreeding tanaman mindi tergolong rendah. Berdasarkan hasil
pengujian struktur inbreeding (Tabel 3.5) menunjukkan bahwa sebagian besar
populasi menunjukkan penyimpangan inbreeding. Syamsuwida (2012) juga
melaporkan adanya fenomena assortative mating pada mindi, yaitu adanya
genotipa yang spesifik memilih perkawinan pada saat pembungaan sedikit
misalnya saat pembungaan awal (early flowering) atau pembungaan akhir (late
flowering) seperti yang dilaporkan oleh Fox (2003) dan Weis et al. (2005).

15
Populasi Padasari mempunyai nilai Fis paling tinggi (-0.6962), hal ini bisa
disebabkan oleh adanya efek Wahlund (Syamsuwida 2012). Menurut Isoda dan
Rimbawanto (2001), efek Wahlund merupakan skema yang dapat meningkatkan
heterosigositas. Namun menurut Isik dan Kaya (2010), kekurangan
heterozigositas pada jenis pinus (Pinus brutia) merupakan akibat dari efek
Wahlund, assortative mating, dan atau seleksi homozigot serta silang dalam.
Tabel 3.4 Nilai indeks fiksasi setiap lokus pada microsatellit populasi mindi
Lokus

Nagrak

AI_5

-1.0000

Babakan
Rema
-0.0256

-1.0000

Legok
Huni
-1.0000

AI_11

-1.0000

-1.0000

-1.0000

-0.0811

Padasari

Sukakarya

Gambung

Rata-rata

-0.3333

-0.6667

-.33760

-1.0000

-1.0000

-0.8468

AI_13

0.4425

0.0000

-1.0000

-0.0811

0.0000

-0.7391

-0.2296

AI_34

-0.0619

-0.0256

-0.2903

-0.3833

-1.0000

-0.0390

-0.3000

AI_4

-0.7738

-1.0000

-0.1905

-0.5152

-0.6514

-0.0884

-0.5366

Rata-rata

-0.4786

-0.41024

-0.6962

-0.41214

-0.59694

-0.50664

-0.5168

Tabel 3.5 Nilai pengujian struktur inbreeding menggunakan uji chi square (X2)
Lokus

Nagrak

Babakan Rema

Padasari

Legok Huni

Sukakarya

Gambung

AI_5

19.00***

0.00ns

19.00***

19.00***

1.96ns

8.26**

AI_11

19.00

***

19.00

***

19.00

***

0.09

ns

19.00

***

19.00***

AI_13

8.30*

19.00***

19.00***

0.09ns

19.00***

10.21**

AI_34

0.09ns

0.00ns

1.47ns

3.32ns

19.00***

0.03ns

AI_4

19.00***

19.00***

0.56ns

10.33*

12.09**

0.18ns

Tingkat signifikansi: non signifikan (ns), α = 0.05 (*), 0.01 (**), 0.001 (***)

Berdasarkan tampilan struktur populasi (Gambar 3.5), dapat dikatakan
hampir semua populasi mempunyai struktur yang sama. Hal ini menunjukkan
bahwa gen pool semua populasi mindi dalam penelitian diduga berasal dari satu
sumber.

Gambar 3.5 Tampilan struktur populasi mindi

Variabilitas Dimensi Buah
Ukuran Buah
Buah mindi merupakan jenis buah batu (drupe) (Orwa et al. 2009). Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata ukuran buah paling besar yaitu buah

16
yang berasal dari Nagrak dan Padasari. Ukuran panjang dan lebar buah mindi
pada tiap lokasi disajikan pada Tabel 3.6.
Secara umum Tabel 3.6 menunjukkan bahwa semakin tinggi tempat, maka
ukuran buah akan semakin kecil. Buah dari Sukakarya dan Gambung mempunyai
ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan lokasi lainnya. Dilihat dari
ketinggian tempat, kedua lokasi tersebut memiliki ketinggian yang lebih tinggi
(Tabel 2.1). Orwa et al. (2009) melaporkan bahwa mindi mampu beradaptasi pada
ketinggian 0-1 800 m dpl. Kecilnya ukuran buah mindi yang berasal dari
Sukakarya dan Gambung bisa disebabkan oleh adaptasi suhu yang rendah pada
ketinggian lokasi tersebut.
Tabel 3.6 Nilai rata-rata panjang dan lebar buah mindi pada tiap lokasi
Lokasi*
Nagrak
Babakan Rema
Padasari
Sukakarya
Gambung
*)

Panjang Buah
Mean**
Range
(cm)
(cm)
1.22 ± 0.17a
0.75-1.64
1.19 ± 0.13a
0.78-1.54
1.21 ± 0.19a
0.66-1.62
1.13 ± 0.19b
0.77-1.55
1.12 ± 0.13b
0.77-1.40

CV
(%)
13.93
10.92
15.70
16.81
11.61

Lebar Buah
Mean**
Range
(cm)
(cm)
0.74 ± 0.08a
0.55-0.96
0.70 ± 0.07b
0.52-0.93
0.73 ± 0.08a
0.44-0.94
0.70 ± 0.07b
0.47-0.85
0.70 ± 0.08b
0.47-0.85

CV
(%)
10.81
10.00
10.96
10.00
11.42

urutan lokasi berdasarkan ketinggian (rendah ke tinggi)
huruf di samping angka menunjukkan perbandingan nilai tengah berdasarkan uji Duncan pada α = 0.05

**)

Massa Buah
Rata-rata massa buah mindi pada tiap lokasi didapatkan 0.37-0.40 g. Hasil
pengukuran massa buah menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada tiap
lokasi. Jika massa buah tersebut dikonversi menjadi jumlah buah tiap kg, maka
akan didapatkan 2 500 - 2 700 butir. Menurut Danu (2005), jumlah buah mindi
kering sebanyak 1 286 butir kg-1. Sedangkan menurut Orwa et al. (2009), jumlah
buah mindi tiap kg 470 - 2 800 butir. Sehingga dapat dikatakan hasil pengukuran
massa buah mindi dalam studi ini masih dalam kisaran normal. Hasil pengukuran
menunjukkan bahwa buah paling berat yaitu buah yang berasal dari Nagrak
seperti disajikan pada Tabel 3.7.
Tabel 3.7 Nilai rata-rata massa buah mindi pada tiap lokasi
Lokasi*
Nagrak
Babakan Rema
Padasari
Sukakarya
Gambung

Kadar Air
(%)
15.40
15.41
15.45
15.47
15.34

Mean** (g)
0.40 ± 0.04a
0.37 ± 0.05a
0.37 ± 0.05a
0.38 ± 0.05a
0.37 ± 0.02a

Massa buah
Range (g)
0.34-0.47
0.31-0.47
0.31-0.46
0.35-0.46
0.35-0.39

CV (%)
10.95
12.37
14.37
12.82
4.82

*)

urutan lokasi berdasarkan urutan ketinggian (rendah ke tinggi)
huruf di samping angka menunjukkan perbandingan nilai tengah berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata
0.05
**)

Persentase pembentukan benih (seed set)
Seed set merupakan perbandingan ovul terhadap jumlah benih (Hansen &
Molau 1994). Informasi seed set dapat digunakan untuk memprediksi jumlah

17
benih yang ada pada tiap kg buah. Penampang melintang dan membujur buah
mindi disajikan pada Gambar 3.6. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ratarata seed set tertinggi yaitu pada buah yang berasal dari Nagrak dengan rata-rata
85.47 ± 15.09%. Sebaran seed set mindi pada tiap lokasi disajikan pada Gambar
3.7. Tabel 2 dan 3 menunjukkan bahwa nilai koefisien variasi (CV) pada dimensi
buah berkisar 4.82-14.73% yang dikategorikan keragaman sedang (Ginwal et al.
2005).
(a
)

(b
) membujur dan
Gambar 3.6 Penampang dan bagian-bagian buah mindi, (a) penampang
melintang (foto pribadi), (b) bagian-bagian buah mindi, ovl:ovul, cp:karpel,
exc:eksocarp, msc:mesocarp, end:endocarp (Syamsuwida et al. 2012)

Gambar 3.7 Sebaran seed set mindi pada tiap lokasi
Perkecambahan
Sutopo (2012) melaporkan bahwa persentase kecambah umumnya
digunakan sebagai parameter viabilitas benih. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa semua benih pada hari ke-112 tidak mengalami penambahan persentase
kecambah yang ditandai garis mulai mendatar (Gambar 3.8).
Gambar 3.8 menunjukkan bahwa benih dari Nagrak dan Padasari pada hari
ke-7 sudah mulai berkecambah, kemudian disusul benih dari Babakan Rema yang
berkecambah pada hari ke-14. Pengamatan sampai hari ke-56 baru menunjukkan
benih dari Sukakarya dan Gambung mulai berkecambah. Pada Tabel 3.6 terlihat
bahwa benih dari Sukakarya dan Gambung mempunyai ukuran yang lebih kecil.
Khan et al. (1999) dan Kuniyal et al. (2013) melaporkan bahwa benih dari buah
yang kecil dan ringan akan mempunyai laju perkecambahan yang lebih lama
dibandingkan dengan buah yang lebih besar dan berat.
Persentase kecambah menunjukkan jumlah kecambah normal yang
dihasilkan oleh benih pada kondisi lingkungan tertentu (Sutopo 2012). Dari lima
sumber benih, persentase perkecambahan tertinggi yaitu benih dari Nagrak,
mencapai 65.10% (Gambar 3.9).

18

persentase kecambah (%)

Gambar 3.8 Nilai persentase perkecambahan benih mindi dari awal sampai akhir pengamatan,

80
70
60
50
40
30
20
10
0
Nagrak

Babakan
Rema

Padasari

Sukakarya

Gambung

Asal benih

Gambar 3.9 Persentase perkecambahan benih mindi dari lima sumber benih
Tabel 3.8 Rekapitulasi nilai GP (persentase kecambah), GV (nilai kecambah), dan GS
(kecepatan kecambah) benih mindi pada tiap lokasi
Waktu Pengamatan

T50

T100

a

Asal Beniha
Nagrak
Babakan Rema
Padasari
Sukakarya
Gambung
Nagrak
Babakan Rema
Padasari
Sukakarya
Gambung

GP
(%)
22.15
8.81
8.08
1.55
2.00
63.09
29.41
33.00
27.91
27.00

Czabatorb
0.35
0.14
0.14
0.00
0.00
1.00
0.44
0.67
0.12
0.07

urutan lokasi berdasarkan urutan ketinggian (rendah ke tinggi),
Pourbeik 1976), c persamaan modifikasi (Caliskan 2014)

b

GV
Modifikasic
0.24
0.05
0.03
0.00
0.00
0.78
0.21
0.22
0.07
0.05

GS
0.40
0.16
0.14
0.03
0.04
0.60
0.28
0.32
0.27
0.26

persamaan Gzabator (Djavanshir &

Menurut Sutopo (2012), diduga bahwa benih yang berukuran besar dan
berat mengandung cadangan makanan lebih banyak dan embrionya lebih besar
dibandingkan dengan benih yang kecil. Khan et al. (1999) dan Kuniyal et al.

19
(2013) melaporkan bahwa benih dari buah yang kecil dan ringan akan memiliki
persentase perkecambahan yang rendah. Selain itu, Khan (2004) juga melaporkan
bahwa massa buah berkorelasi positif dengan persentase perkecambahan, semakin
berat suatu buah maka persentase perkecambahannya akan lebih tinggi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa benih dari Nagrak mempunyai GP,
GV dan GS yang paling tinggi diantara benih lainnya (Tabel 3.8). Jika dikaitkan
dengan ukuran buah (Tabel 3.6), maka secara umum ukuran buah berbanding
lurus dengan GP, GV dan GS. Semakin besar ukuran buah maka semakin besar
pula nilai GP, GV dan GS suatu benih.

Pertumbuhan Bibit Mindi
Hasil analisis varian menunjukkan bahwa media penyapihan berpengaruh
sangat nyata (α = 0.05) terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter bibit mindi.
Namun interaksi antara