Revolusi Mental dan Implikasinya dalam Pendidikan

2 Walaupun mengandung kata revolusi, yang mengisyaratkan adanya tindakan perubahan yang cepat dan menyeluruh, namun sesungguhnya revolusi mental adalah sebuah proses pendidikan, yang berwatak sebagai usaha sadar terencana, sistematis ke arah pencapaian tujuan pendidikan itu sendiri. Oleh karena itu sistem pendidikan nasional mempunyai peran strategis dalam menentukan keberhasilan proses revolusi itu sendiri. Lebih dari itu, proses pendidikan yang berlangsung dikelas-kelas pembelajaran juga harus menopang terjadinya proses revolusi mental di kalangan peserta didik itu sendiri. Pembelajaran macam apakah yang dapat menopang proses revolusi mental di kalangan peserta didik negeri ini? Tulisan ini hendak menyajikan salah satu pilar revolusi mental dalam proses pendidikan yaitu pengembangan kecakapan berargumen sebagai pilar pokok revolusi mental. Setelah bagian pendahuluan ini, tulisan akan dilanjutkan dengan membahas hakikat revolusi mental dan implikasinya bagi sistem pendidikan di negeri ini. Kemudian akan disajikan signifikansi hasil belajar kecakapan berargumen, pembelajaran untuk meningkatkan kualitas argumen, dan hasil penelitian di bidang pengembangan kecakapan berargumen. Tulisan akan diakhiri dengan simpulan dan saran.

B. Revolusi Mental dan Implikasinya dalam Pendidikan

Revolusi mental menurut Jokowidodo 2014 adalah upaya menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan nation building baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya Nusantara, bersahaja dan berkesinambungan. Sedang Benny Susetyo 2014 menyatakan bahwa revolusi mental bermakna revolusi kesadaran, suatu perubahan mendasar yang menyangkut kesadaran, cara berpikir, dan cara bertindak sebuah bangsa besar. Dua pandangan di atas mengisyaratkan bahwa aspek terpenting dalam revolusi mental sesungguhnya adalah perubahan paradigma dalam pengelolaan tata hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bangsa ini. Istilahparadigma yang merupakanterjemahandari kata dalamBahasaInggris “ paradigm ” pertama kali dikemukakanoleh Thomas Samuel Kuhn 1970dalambukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolutions , terbitan Chicago University Press. Dalam buku itu Kuhn menjelaskan tentang bagimana 3 perkembangan ilmu pengetahuan selama ini. Istilah paradigma sendiri oleh Kuhn dimaknai sebagai “ contoh-contoh nyata yang telah disepakatidari kegiatan ilmiahkeilmuan; yang mencakup dalil, teori, penerapan dan instrumentasi yang secara bersama-sama melahirkan model bagi tradisi-tradisi yang terpadu dalam penelitian ilmiahkeilmuan tertentu ”. Definisi Kuhn tadi menunjukkan bahwa paradigma hakikatnya adalah “sekumpulan prinsip dan tradisi yang telah disepakati sebagai pedoman dalam berolah ilmu ”. Paradigma mengadung pendekatan keilmuan, sudut pandang kelimuan, metode keilmuan maupun cara beripikir keilmuan tertentu. Dalam perkembangan kemudian istilah paradigma dipergunakan dengan pengertian yang amat beragam, mulai dari pengertian “baku” nya seperti tersebut di atas sampai ke sebatas aspek-aspek dari paradigma itu sendiri. Jadi istilah paradigma sering digunakan dalam arti cara berpikir, aliran pemikiran, sudut pandang atas suatu masalah, atau sekedar pendekatan terhadap permasalahan tertentu saja. Implikasi revolusi mental dalam bidang pendidikan, masih menurut Jokowidodo 2014, adalah bahwa sistem pendidikan harus diarahkan untuk membantu membangun identitas bangsa Indonesia yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral agama yang hidup di negara ini. Hal ini bisa dipahami karena bagi Jokowidodo revolusi mental diajukan sebagai upaya mencegah kegagalan bangsa Indonesia dalam memberantas praktik korupsi, intoleransi, keinginan cepat kaya secara instan, pelecehan hukum, dan sikap oportunis. Dengan demikian sebagai bagian dari tatakelola hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara maka sistem pendidikan negeri inipun harus melakukan pergeseran paradigma. Ke arah manakah pergeseran paradigma pendidikan itu harus diarahkan? Tampaknya hal itu tidak jauh dari apa yang dikemukakan oleh Reigeluth 1999 bahwa seiring peralihan era industri ke era informasi, maka berlangsung pula perubahan paradigmatis dalam pendidikanpembelajaran, yang ia sebut sebagai perubahan dari pendidikanpembelajaran yang bersifat Darwinian yaitu yang hanya “ memajukan yang paling siap ” menuju ke pendidikanpembelajaran yang lebih dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan kemanusiaan yaitu pendidikan yang “ memajukan semua ”. Pendidikan harus diarahkan bukan lagi sekedar sebagai proses 4 transfer pengetahuan dan peradaban dari satu generasi ke generasi berikutnya, melainkan harus diarahkan sebagai proses untuk memanusiakan manusia yang tengah menjadi itu agar menjadi manusia yang utuh perkembangan kepribadian dan intelektualitasnya. Pada tataran operasional pembelajaran di kelas maka perubahan paradigma itu harus menampak pada tergesernya praktik-praktik pembelajaran hafalan rote learning oleh praktik-praktik pembelajaran bermakna meaningfull learning . Pembelajaran tidak lagi hanya berkutat ke pengembangan aspek aspek berpikir tingkat rendah lower order thinking melainkan lebih fokus ke pengembangan aspek-aspek berpikir tingkat tinggi higher order thinking . Salah satu proses pembelajaran yang penting saat ini adalah pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis melalui, pengembangan kecakapan membangun argumen Marzano, 1998. Berpikir kritis adalah berpikir masuk akal dan reflektif yang terfokus untuk memutuskan apa yang akan dipercayai atau akan dilakukan Marzano,1988. Berpikir dapat disebut „masuk akal‟ jika pemikir berusahabekerja keras untuk menganalisa pendapat pendapat secara cermat, mencari bukti yang sahih, dan mencapai kesimpulan yang masuk akal. Kemampuan berpikir kritis secara taksonomik berada pada tingkatan hasil belajar yang tinggi, karena menunjuk pada hasil belajar yang lebih dari sekedar mengetahui dan memahami, melainkan sudah pada tahapan penerapan, analisa, sintesa dan bahkan evaluasi. Berpikir kritis itu sendiri menurut Paul dalam Marzano, 1988 dapat dibedakan menjadi dua yaitu yang berkarakter “ weak sense ” kurang peka perasaan dan “ strong sense ” peka perasaan. Perilaku berpikir kritis yang kurang peka perasaan terjadi ketika orang menggunakan ketrampilan menganalisa dan berargumentasi terutama untuk menyerang dan menjatuhkan orang lain yang tidak sepaham dengan dirinya. Sedang orang yang berpikir kritis peka perasaan adalah orang yang tidak dibutakan oleh sudut pandangnya sendiri dan sekaligus mampu menyadari pentingnya untuk mempertimbangkan sanggahan-sanggahan atas asumsi- asumsi dan gagasan-gagasannya sendiri. 5 Pendidikan seharusnya diarahkan untuk mengembangkan kecakapan berpikir kritis yang peka perasaan strong sense critical thinking . Hal itu bermakna bahwa pendidikan harus mengembangkan kecakapan pebelajar dalam melakukan analisis dan membangun argumen tentang masalah-masalah bersama secara berkeadaban.

C. Kecakapan Berargumen sebagai Hasil Belajar yang Signifikan