2. Aspek Immaterial Menentukan Modernisasi
Biasanya diterima asumsi bahwa agama dianggap sebagai unsur yang
paling sukar dan paling lambat berubah atau terpengaruh oleh
kebudayaan lain, bila dibandingkan dengan unsur-unsur lain seperti:
sistem organisasi kemasyarakatan, sistem
pengetahuan, bahasa,
kesenian, ikatan-ikatan
yang ditimbulkan oleh sistem mata
pencaharian, sistem teknologi dan peralatan. Tetapi sejarah kehidupan
bangsa kita yang panjang tidak sepenuhnya dapat disesuaikan dengan
asumsi tersebut. Berbagai agama datang dan berkembang secara
bergelombang ke
Indonesia, mengganti agama yang lama dan
menanamkan ajaran-ajaran agama yang baru secara silih berganti, tetapi
dalam kenyataannya sistem mata- pencaharian hidup dan sistem
teknologi dan peralatan yang dikatakan sebagai unsur yang paling
mudah, ternyata yang paling sedikit mengalami perubahan sejak pra-Hindu
sampai kepada masa sekarang. Pengalaman sejarah itu justru
menunjukkan agama berubah lebih cepat, ia berubah lebih dahulu
sebelum yang lain-lain menglami perubahan.
Pandangan Snouck Hurgronje berikut juga bertentangan dengan
kenyataan sejarah bangsa kita bahwa tiap-tiap periode sejarah kebudayaan
sesuatu bangsa, memaksa kepada orang beragama untuk meninjau
kembali isi dari kekayaan aqidah dan agamanya. Pandangan itu secara
implisit bermakna bahwa proses peninjauan kembali isi ajaran-ajaran
agama oleh para penganutnya sifatnya reaktif karena adanya perubahan
periode kebudayaan di mana agama itu hidup. Ini juga bertentangan
dengan pengalaman
sejarah kebudayaan pada umumnya yang
menunjukkan bahwa pemahaman baru terhadap ajaran agama justru
menumbuhkan periode baru dalam kebudayaan bangsa-bangsa.
Sejarah membuktikan bahwa pemikiran agama sangat berpengaruh
bagi perkembangan aspek material kehidupan di dunia ini, baik politik,
ekonomi, sosial, maupun budaya. Atau dengan kata lain, ada hubungan yang
sangat signifikan antara kemajuan dalam bidang pemikiran immaterial
dan kemajuan dalam bidang material. Hal tersebut telah menjadi perhatian
sosiolog Max Weber 1864-1924 dalam bukunya The Protestant Ethic
and the Spirit of Capitalism. Dalam buku tersebut dirumuskan pertanyaan:
Why capitalist industrialisation became a society-wide system in Europe and
not in the other places?. Jawabannya adalah pemikiran agama mempunyai
pengaruh yang sangat besar bagi diterimanya sistem industri kapitalis.
Dia menjelaskan industri modern berkembang di Eropa setelah
tersebarnya dan diterimanya teologi Protestan dari Jean Calvin 1509-1564.
Calvin sangat menekankan peranan rasio akal dalam pemahaman agama,
dan karenanya para pendukungnya bersikap rasional dalam kehidupan di
dunia ini. Max Weber berkesimpulan bahwa penganut Calivinisme bekerja
keras, menabung uang, dan hidup ekonomis.
Dalam Islam, pemikiran agama juga terus-menerus
mengalami pembaharuan untuk memberi makna
terhadap perubahan
dan perkembangan dalam kehidupan di
dunia ini, dalam setiap manifestasinya. Akan tetapi pembaharuan Islam di era
modern masih belum berhasil secara optimal dan terasa kurang efektif;
sebagai konsekuensinya di bidang materi, umat Islam juga masih
tertinggal dari peradaban Barat. Memang beberapa negara Islam telah
dapat mengikuti perkembangan teknologi modern, tapi karena belum
didukung oleh pemikiran agama yang mampu menopangnya maka hasilnya
masih jauh dari memuaskan. Tony Barnett 1995: vii benar bahwa:
the main problems in the Third World are not, by and large, the
absence of technical specialists -
countries such as …Pakistan have
2
these aplenty; …. The main problems are sociological and
political problems, the contexts within which apparently ‘technical’
decisions are taken. Dengan kata lain, kemampuan teknis
di dunia Islam belum dapat memberikan kontribusi yang positif
bagi kemajuan material secara luas karena belum ada kondisi yang
kondusif dalam aspek immaterial, seperti pemikiran agama.
3. Unsur Rasio dan Tradisi dalam Modernisasi