Kriminalisasi Gratifikasi Seks Sebagai Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

ABSTRACT

SEXUAL GRATUITIES CRIMINALIZATION AS CORRUPTION
CRIMINAL OFFENSE IN INDONESIA

By

Aristianto Husin

Sexual service is not aetually presented in eradication
regulation of corruption criminal offense.
Nowadays, it means that it has not been the regulation
oriegislation to confirm that the sexual
service (sexual gratuities) is a comrption criminal offense.
The problems in this thesis are about
the sexual gratuities criminalizatiorand the implementation
of reversal of the burden of sexual
gratuities ciminalization as a comrption criminal offense
in roouptio";fi;; court in
Indonesia.
This research is a juridical normative research by using

secondary and primary data used as a
supporting data' The research type is descriptive analyiis
that describes the research result and
the complete discussion, complei., .o-p..liensive,
*a ryrt.*uti"
used
yas law approach and the sexual gratuities criminalization in comrption crimina
offense that
had been done.

iil;;;proach

The research result shows that the criminalization is a
complicated problem because of the act
that can be criminalized, different value and norms in
the society, varied instrument choice
setting in social life, and the social change occurred in
the socieiy. This problem of sexual
gratuities climinalization to ciminalizemust be applied
in careful *uy, ,irr". it has relation to

the personal life of human being. Based on that
aci, ttr" sexual gratuiiies should be categorized
to be an offense arranged in law's regulation in Indonesiu.
it r ulptrutiorr;ith" reversal of the
Sexual Gratuities Prove Burden which actually uses the
Reversal of prove Burden based on
12 B UU No. 20 Year 2001- That the value which is
10 million or more is proved by the
"\rticle
gratuities receiver in which the value is less than
10 millions conducted by public prosecutor.

Finally the researcher suggests the Govemment and the
Parliament that sooner revise the
description and Article f 2 B verse (1) Legislation Number
20 year 2001 to give explanation or
legal certainty, so that the subject oit"*rut gratuities
can ue punished, then it is suggested to the
law enforcement officers to cooperate in proving the
sexual gratuities and focus on the proof by

overriding the report.

Key words : Criminalization, Sexual Gratuities,
Corruption

ABSTRAK

KRIMINALISASI GRATIFIKASI SEKS SEBAGAI
TINDAK PIDANA
KORUPSI DI INDONESIA
Oleh

Aristianto Husin
Pernberian pelayanan seks belum ada diatur
dalam regulasi pemberantasan tindak
pidana korupsi. Arrinya untuk saat ini
berum
yang menegaskan bahwa pemberian perayanan"d" o&;;; atau undang_undang
r"t, te.utifik*i ;.kt;:*r;k;
suatu tindak pidana korupsi. Permasalahan

dalam tesistlni mengenai kriminalisasi
gratifikasi seks dan penerapan pembalikan
b"b* 6bf;k ian gratifikasi seks
pidana koiupsi daram
piaura korupsi di
ffl;r**1*rtndak

p.*di#lir"ali

P.enelitian inilergolong penelitian yuridis normatif
menggunakan data sekunder dan
data primer digunakan-sebag_ai d{; penunjang.

Tip. p,fflili-ru adarah deskriptif
analisiq yaitu memaparkan hasil penelitian d]an p.rri.t"*,
secara rinci, lengkap,
komprehensif dan sistematis. Fendekatan masarah
yang
digunakan adarah
pendekatan perundang-undangan dan kasus

gratifrkasi ,.k 'dulurn tindak pidana
korupsi yang sudah terjadi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kriminalisasi
merupakan masalah yang
kompleks karena adanya perbedaan
.lenis perbuatan yuigi"p", dikriminalisasi,
perbedaan nilai dan norna dalam **y*utut,
uoJgurinvu pilihan instrumen
pengaturan kehidupan masyarakat, dan' perubahun
Joriui'yang

masyarakat Permasalahan perbuatan gratifikasi

terjadi

dalarn

seks ini untuk
menglcriminalisasikan perru ketr-ati-hatiarl kaiena

ini
menyangkut kehidupan
pribadi manusia. Berdasarkan hal tersebut
sudah ,;h;rryu gratifikasi seks
digolongkan

r-nenjadi
:r1tu- tindak pidana yang perlu diatur daram peraturan
qerundang-rg{angan di Indonesia. penerapan pembalikan Beban pembuktian
Gratifikasi Seksual t:Tyly-a aftan menggunakan'pembalikan
Beban pembuktian
menurut pasar 12 B UU No. 20 ranun ioot. Bahwa y*g
nituiny" r0 jrtu ;1",
Iebih dibuktikan oleh penerima gratifikasi aan yang;fidril
kurang dari r0 juta
dilakukan oleh penuntut umum.

Akhirnya penulis menyarankan kepada pemerintah
dan DpR hendaknya s€gera
merevisi penjelasan

tzB
iyat(l)
undang-u"oang
r.ilmor 20 Tahun 2001
fasat
untuk memberikan $al
keje.raryn atau i,epaslian mrir.,
peraku gratifikasi
selgua! dapat dijera! s:laqiutnya disarankan r,"puau
upu*i-iln"euk hukum untuk
s.aling bekerja sama dalam pemuut*tia,
$atifikasi *rc
6kus paaa pembuktian

ilir&

dengan bisa mengesampingkan pelaporai.

Kata Kmci: Kriminalisasi, Gratifikas, S?frr, Korupsi


lll

a*

KRIMINALISASI GRATIFIKASI SEKS SEBAGAI
TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
MAGISTERHUKUM

Pada
Program Pascasarjana Magister Hukum
Fakultas Hukum Universitas Lampung
Oleh
ARISTIANTO HUSIN
NPM 1222011005

PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER
HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG
2014

KRIMINALISASI GRATIFIKASI SEKS SEBAGAI
TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
(TESIS)

Oleh
ARISTIANTO HUSIN
NPM 1222011005

PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER
HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
2014

MENGESAHKA1Y
1. Tim Penguji

Ketua Tim Penguji : Ilr. Eddy Rifai, S.H., M.H.


Sekretaris,Penguji

: Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H.

Penguji

: I)r. Maroni, S.H., M.H.

Penguji

: Dr. Erna Dewi, S.H., M.II.

Anggota

:

Dr. Khaidir Anwar, S.8., M.Hum.

,opyandio S.H., ilI.H.

I 003

"109 198703

.r

Program Pascasarjana

Sudjarwo, M.S.
528 198103 I 002

4. Tanggal Lulus

U1-ian Tesis

: 13 Mei 2014

Judul Tesis

: KRIMINALISASI GRATIFIKASI SEKS SEBAGAI

TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

Nama Mahasiswa

:

Aristianto Husin

Nomor Pokok Mahasiswa :1222A11005

Program Kekhususan

Hukum Pidana

Program Studi

: Program Pascasarjana Magister Hukum

Pakultas

: Hukum

MENYETUJUI
Dosen Pembimbing

Pembimbing Utama,

Rifai, S.H., M.H.
19610912 198603 1 003

Pembimbing Pendamping,

Nfi*tt

Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H.

Nip 19550106 198003 2 001

MEIYGETAIIUI
Ketua Program Pascasarjana
Program Studi Magister
um Fakultas Hukum

ar, S.H., M.Hum.

LEMBAR PERTIYATAAI\T
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenamya bahwa:

t. Tesis dengan judul "Kriminalisasi Gratifikasi seks sebagai
Tindak pidana
Korupsi di Indonesia" adalah karya saya sendiri dan saya
tidak melakukan
perdiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain
dengan cara yang tidak
sesuai dengan tata etika ilmiah yang berlaku dalam
masyarakat akademik
atau yang disebut plagiarisme.
2.

Hak intelektual atas karya ilmiah

ini diserahkan

sepenuhnya kepada

Universitas Lampung.

Atas pernyataan ini, apabila di keinudian

hari ternyata ditemukan adanya

ketidakbenaran, saya bersedia menanggung akibat dan
sanksi yang diberikan
kepada say4 saya bersedia dan sanggup dituntut sesuai
dengan hukum yang
berlaku.

Bandar Lampung Mei 2014
Pernyataan,

I.llhristianto Husin
"''NPM 12220t1005

DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................
ABSTRAK ..........................................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN ...............................................................................
MOTO .................................................................................................................
PERSEMBAHAN ................................................................................................
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................
KATA PENGANTAR .........................................................................................

I.

i
iii
iv
vi
vii
viii
ix

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah….......................................................................

1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup..........................................................

5

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan .............................................................

5

D. Kerangka Teoretis dan Konseptual .........................................................

6

II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah Pengaturan Tindak Pidana Gratifikasi di Indonesia................... 10
B. Asas dan Kriteria Kriminalisasi .............................................................. 25
C. Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana ............................................ 35
D. Kajian Umum tentang Tindak Pidana ..................................................... 45
E. Fungsionalisasi Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan ...... 47
F. Kajian Umum tentang Korupsi .............................................................. 53
G. Penerapan Pembuktian Terbalik ............................................................ 58
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah................................................................................ 66
B. Sumber dan Jenis Data ............................................................................ 66
C. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data .......................................... 67
D. Analisis Data ........................................................................................... 68

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kriminalisasi Gratifikasi Seks sebagai Tindak Pidana Korupsi
Di Indonesia .............................................................................

69

B. Penerapan Sistem Pembalikan Beban Pembuktian Gratifikasi Seks
sebagai Tindak Pidana Korupsi dalam Peradilan Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia ................................................................................ 95

V. PENUTUP
A. Simpulan ................................................................................................. 113
B. Saran ........................................................................................................ 114
DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANMAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kepada Allah

swr

atas segala rahmaf

taufik

dan hidayah hingga penulis dapat merampungkan Tesis dengan judul
"Kriminalisasi Gratifikasi Seks sebagai Tindak Pidana Korupsi
Penelitian

ini

di

Indonesia',.

disusun dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk

memperoleh gelar Magiater Hukum dari Program Pascasarjana Fakultas
Hukum
Universitas Lampung.

Penulis menyadmi bahwa dalam Penelitian

ini masih terdapat kelernahan

yang

perlu diperkuat dan kekurangan yang perlu dilengkapi. Karena itu, dengan
rendah

hati penulis mengaharapkan masukan, koreksi dan saran untuk

memperkuat

kelemahan dan melengkapi kekurangan tersebut.

Dengan terselesaikannya Penelitian

ini, penulis murgucapkan terimakasih

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada

l.

Bapak

hof

dan

yth.

Dr. Ir. Sugeng p. Haryanto, M.s. selaku Rektor universitas

Lampung.
2. Bapak Dr. Heryandi, s.H., M.s. selaku Dekan Fakultas Hukum unila.
3.

Bapak Dr. Khaidir Anwar, s.H., M.Hum. seraku Ketua program dan Bapak

Dr. Eddy Rifai, s.H., M.H., selaku

sekretaris program pada program

Pascasarjana Program Magister Hukum Universias Lampung.

4. Bapak

Dr. Eddy Rifai, s.H., M.H. selaku panbimbing utama dan Ibu Dr.

Nikmah Rosidah, sJ{, M.H. selaku pembimbing pendamping penulis yang
sangat banyak membantu.

lx

5'

Dr' Maroni, s'H', M.H., dan Dr.
Erna Dewi, s.H., M.H.

seraku penguji atas

saftm yang membangun
unfuk kesempurnaan penelitian
ini.

6'

Bapak Dr' Dwi Haryono, M.S.,
Bapak A. Bustami, s.H.,
M.H., Bapak Harsono

Suciptq s'H" M'H., Bapak Dr.
Eng. Admi Syarif, Bapak
sariman, S.H. yang
telah memberikan izin dan dorongan
sernangat hingga penuris
dapat
menyelesaikan studi 52 ini.

7'

Baparq Ibu Dosen dan para
Karyawan-karyawati, staf program pascasarjana

yudi, Mbak Aswati,
Mas Nur, Iv1as Rohim, Mas Rohani,
Mas sapt4 Mas Yahya, cik Ita
atas segala kebaikan dan
bantuannya selama ini.
Magiste,r Hukum Mas

8.

9'

semua teman-ternanku angkatan
20rz/20r3 Kelas

A

program pascasarjana

Program studi Magister Hukum
universitas Lampung yang saya
cintai.

Keluarga tercinta Nyai Kati,

yai sopyan, Eyang Nurhayati,
Eyang Ansari,

Isteriku Renny ocktaviana, Anak-anakku
Muhamad Anfierd ArtavaHusin,
Arua Baser Artavq ponakanku Anita
Dwi Gita tvt. Fajar okta Boy Husin,
Dayyan dan Aidan, Re4 Dafi, uni
shas4 Rakq Biyan dan Adek
Bige, Adikadikku Nofi Fitria dan Adi chandr4
setia Afandi dan Anit4 Iko susanto
Husin,
Andre Prayoga dan yaya, Riri Asrur
dan Marrin, Taufik wijayadan
Evi terima
kasih atas semua kebersamaan serta
dorongan semangatnya.

I0' semua pihak yang tidak dapat disebutkan
satu persatq yang telah rnemberikan
bantuan dan dorongannya dalam penyelesaian
tesis ini.

semoga bantuan dan kebaikan yang terah diberikan
oreh semua pihak memperoreh
balasan dari

Allah

swr,

dan semoga karya ini dapat berman faatbagikita
semua.

BandarLampung, MeiZAl

xl

PERSEMBAHAN
Saya penembalrkan tesis

ini kepada:

'3' Kedua orang tua lvlama Kati dan papa sopyan Husrr, Mama Mernra
Nurhayati, Papa Mertua Ansari.

{'

Isteriku tencinta Renny ocktaviana dan Anak-anakku Muhammad
Anfield Artava Husin, Azura Basel Artava

.1. Segenap rekan-rekan di Lampung

,.. Almamater tercinta Universitas

vll

Lamptrng.

MOTO
"Perempuan dan lelaki yang berzinamaka
_deralah tiap-tiap seoftulg daripada
mereka 100 rotan danjanganlah belas kasihan
k puai kedua-duanla kerana
mencegatr l5amu unhrk (menjalankan) ue*u Allatr,;ita
tamu
ry
beriman kepada Allah dan hari attrirat dan heniaklatr (pelalaanaan)
hukuman mereka disaks_ikan sekumpulan daripada orang yang
beriman."

-

4*

Surah An-Nur: ayat 2

*Hindarilah

zina sebab ia menimbulkan enam kesan buruk, tiga di dunia
dan
tiga di aktlirat. yang di dunia, zina akan menghilangkan kigembiraan,
menyebabkan fakqdan mengurangi umur r"a*gm"'teturutan
di akhirat
nanti, zina menyebabkan pelakunyi diazab,ainisau secara
ketat dan kekal di
neraka."

Ifadis riwayat Baihaqi

vl

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Taqiungkarang, Lampung pada tangg
al 29 Desember
1977 sebagai putra pertama dari empat bersaudara pasangan papa
Sopyan
Husin dan Mama Kati.

Adapun pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh penulis
adalah
sebagai berikut:

1. Sekolah Dasar Negeri 6 Rajabasa selesai tahun 1990;

2. sekolah Laqiutan Tingkat pertama Negeri 2 Tanjungkarang selesai tahun
1993;

3. sekolah Menengah umum Negeri 2 Tanjungkarang selesai pada tahun
t996;

4. sl

Hukum Fakultas Hukum universitas Lampung selesai pada tahun

2400;

5.

Pada tahun 2012 penuris masuk sebagai mahasiswa pascasarjana
Magister Hukum Universitas Lampung.

vlil

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini telah berjalan dalam suatu koridor
kebijakan yang komprehensif dan preventif. Upaya pencegahan tindak pidana
korupsi menyentuh tahapan pemberian dalam arti yang luas (gratifikasi) dari
seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai
suatu

tindak

pidana

(suap).

Undang-undang

korupsi

saat

ini

telah

memperkenalkan istilah "gratifikasi" sebagai bagian dari pemberantasan tindak
pidana korupsi.

Gratifikasi yang merupakan suatu pemberian dalam arti luas kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara dapat berpotensi kearah suap apabila
berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban aparatur Negara,
namun dalam penegakan dan penerapan hukumnya cenderung menghadapi
hambatan/kendala. Oleh karena itu, pengaturan masalah gratifikasi sebagai upaya
penanggulangan atau pemberantasan korupsi yang merupakan bagian dari
kebijakan hukum pidana, memerlukan pengaturan yang bersifat komprehensif.

Pengertian Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B ayat (1) Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 yaitu pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian
uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,

2

fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar
negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa
sarana elektronik. Pengecualian Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 C
ayat (1): Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak
berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya di singkat dengan KPK).
Pasal 12B ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001, menyatakan bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan
dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, Pasal 12C
ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001, yang mengatur bahwa Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang
diterimanya kepada KPK.

Permasalahan timbul mengenai munculnya istilah gratifikasi seks yaitu suatu
pemberian dalam bentuk pelayanan seks atau gratifikasi tidak berupa uang.
Namun gratifikasi berupa kesenangan dan kenikmatan seks yang sering terjadi
dalam berbagai transaksi bisnis maupun politik, seperti contoh kasus pada kasus
suap impor daging dengan pelaku Ahmad Fattanah yang tertangkap tangan berdua
dengan seorang wanita bernama Maharani yang dicurigai sebagai gratifikasi seks
dari rekanan.

KPK akhirnya membebaskan Maharani karena dianggap tidak

3

terkait dengan kasus dugaan suap impor daging sapi.1 Pada bulan November 2013
terungkapnya kasus pembunuhan yang dilakukan oleh oknum anggota kepolisian
yang berawal dari kasus suap dan pelayanan seks dengan tujuan untuk
membebaskan suami korban dari jeratan hukum di Kendari Sulawesi Utara.2
Bulan April 2013 lalu, tersangka hakim Setyabudi Tedjocahyono diduga
menerima gratifikasi seksual dari Toto Hutagalung dalam penanganan kasus
korupsi bansos Pemkot Bandung.3 Melihat kasus tersebut, penegakan hukum
terkait gratifikasi seks terkendala dengan aturan perundang-undangan.

Memperhatikan defenisi yang telah dimuat dalam penjelasan Pasal 12B ayat (1),
bahwa pemberian berupa pelayanan seks belum ada diatur dalam regulasi
pemberantasan tindak pidana korupsi. Artinya untuk saat ini belum ada peraturan
atau undang-undang yang menegaskan bahwa perbuatan yang memberikan suatu
pelayanan seks (gratifikasi seks) merupakan suatu tindak pidana korupsi. Saat ini
hangat membicarakan istilah tersebut dengan berbagai pandangan.

Munculnya istilah gratifikasi seks dan wacana pengaturan perbuatan tersebut
dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang TIPIKOR)
merupakan suatu terobosan baru di dunia hukum pidana yang sifatnya suatu
pembaharuan peraturan atau undang-undang atas munculnya perbuatan-perbuatan
baru yang dapat mengarah ke dalam suatu perbuatan yang merupakan tindak
pidana. Penulis beranggapan bahwa gratifikasi seks dapat dikategorikan atau
dikriminalisasikan sebagai suatu bagian dari gratifikasi yang telah diatur dalam
1

http://www.tempo.co/read/news/2013, yang diakses pada tanggal 21 Januari 2014.
http://www.kendarinews.com/content/view/9867/259/#sthash.fr6dXkqF.dpuf, yang
pada 29 Januari 2014.
3
http://www.republika.co.id, yang diakses pada tanggal 29 Januari 2014.
2

diakses

4

Undang-Undang TIPIKOR saat ini sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal
12B ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, karena dalam penjelasan
disebutkan bahwa pemberian tersebut diartikan secara luas dan sifatnya fleksibel
atas perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Dalam penjelasan juga
disebutkan bahwa gratifikasi tersebut dapat berupa fasilitas-fasilitas lain, dalam
hal ini fasilitas tersebut dapat berupa pelayanan seks yang diberikan kepada
pejabat atau dapat juga berupa rabat (discount) dalam memuluskan perbuatannya.

Gratifikasi seks atau pemberian pelayanan seks tersebut kepada pejabat perlu
dilakukan penelitian lebih mendalam apakah gratifikasi seks tersebut dapat
berpengaruh terhadap kewajiban, keputusan pejabat negara yang bersangkutan,
namun hal ini telah banyak terjadi dan sering terjadi baik dikalangan masyarakat
maupun pejabat dan menjadi suatu rahasia umum. Ketika diangkat kepermukaan
atas wacana pemberian sanksi, hal ini dianggap tidak ada untuk menghilangkan
perbuatannya

dan

telah

menjadi

kebiasaan

dalam

kehidupan

masyarakat. Singapura misalnya, gratifikasi dalam bentuk jasa termasuk seks
sudah diatur dalam undang-undang, mengapa Indonesia tidak berani, seharusnya
gratifikasi seks juga bisa dicantumkan dalam undang-undang untuk menunjang
pembuktian sebuah kasus tindak pidana korupsi.

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, penulis mencoba menulis tesis
yang berjudul : “Kriminalisasi Gratifikasi Seks dalam Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia”.

5

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Bagaimanakah kriminalisasi gratifikasi seks sebagai tindak pidana
korupsi di Indonesia?
2. Apakah pembuktian terbalik dapat diterapkan terhadap gratifikasi seks
sebagai tindak pidana korupsi?

Ruang lingkup penelitian termasuk dalam kajian Hukum Pidana terutama
mengenai kriminalisasi gratifikasi seks sebagai tindak pidana korupsi baik
pemberi atau penerima gratifikasi seks juga terhadap pelaku yang
memberikan pelayanan seksnya.
normatif

Penelitian ini merupakan suatu kajian

terhadap kriminalisasi gratifikasi seks sebagai tindak pidana

korupsi di Indonesia.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah
a.

Untuk menganalisis kriminalisasi gratifikasi seks sebagai tindak pidana
korupsi.

b. Untuk menganalisis apakah pembuktian terbalik dapat diterapkan
terhadap gratifikasi seks sebagai tindak pidana korupsi.

6

2.

Kegunaan Penelitian

a.

Secara Teoretis diharapkan dapat menjadi bahan pengembangan ilmu
pengetahuan tentang kriminalisasi gratifikasi seks sebagai tindak pidana
korupsi di Indonesia.

b.

Secara Praktis diharapkan karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pemerintah
dan aparat penegak hukum dalam kriminalisasi gratifikasi seks sebagai
tindak pidana korupsi.

D. Kerangka Teoretis dan Konseptual

1.

Kerangka Teoretis

Teori-teori yang digunakan dalam menjawab permasalahan sesuai dengan
rumusan masalah di atas adalah sebagai berikut:
a.

Teori Kebijakan Kriminalisasi

Dua pokok pemikiran dalam kebijakan kriminalisasi dengan menggunakan sarana
penal (hukum Pidana), yaitu penentuan masalah:4
1) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan;
2) Sanksi apa yang sebaiknya dikenakan kepada si pelanggar.

Bertolak dari pokok pikiran di atas, Sudarto berpendapat bahwa dalam
menghadapi masalah sentral yang pertama (huruf a) di atas, maka perlu
diperhatikan beberapa hal, yaitu:5

4

Barda Nawawi Arief. Kebijakan Legislatif: Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan
Pidana Penjara. Undip, Semarang, 2000, hlm. 35
5
Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni, Bandung, 1983, hlm. 109.

7

1) Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan
nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata
materiil dan sprituil berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan hal tersebut,
maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan,
demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;
2) Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum
pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki”, yaitu perbuatan
yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau sprituil) atas warga
masyarakat;
3) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip “biaya dan
hasil” (cost benefit principle);
4) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan
sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).

Selain ketentuan di atas, perlu juga diperhatikan laporan dari hasil Simposium
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional yang diselenggarakan pada Agustus 1980
di Semarang yang merekomendasikan bahwa untuk menetapkan kebijakan
kriminalisasi perlu diperhatikan kriteria umum, yaitu:6
1) Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena
merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat
mendatangkan korban;
2) Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan
dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan
hukum, serta beban yang dipikul oleh korban, pelaku dan pelaku kejahatan itu
sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai;
3) Apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak
seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang
dimilikinya;
4) Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita
bangsa Indonesia, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.

6

Laporan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional. 1980. Semarang. www.bphn.com.
Diakses pada tanggal 26 Juli 2010

8

b.

Teori Kebijakan Hukum Pidana

Teori

kebijakan hukum pidana yang penulis gunakan adalah sebagaimana

pendapat dari A. Mulder7 bahwa garis kebijakan untuk menentukan:
1) seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau
diperbaharui;
2) apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
3) cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksana pidana
harus dilaksanakan.
Berdasarkan pendapat A. Mulder di atas maka dibutuhkan suatu pembaharuan
hukum dilihat dari sudut pendekatan kebijakan terkait dengan pengaturan
mengenai gratifikasi seks, sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief,8
bahwa:
1) Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada
hakekatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah
sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang
tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya).
2) Sebagai bagian dari kebijakan criminal, pembaruan hukum pidana pada
hakekatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat
(khusunya upaya penanggulangan kejahatan);
3) Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum
pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui
substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan
penegakan hukum.

2.

Konseptual

a.

Kriminalisasi merupakan tindakan atau penetapan penguasa mengenai
perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat atau golongan-golongan
masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidana menjadi
perbuatan pidana atau membuat suatu perbuatan menjadi perbuatan kriminal

7

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996, hlm. 28.
8
Ibid, hlm. 31-32.

9

dan karena itu dapat dipidana oleh pemerintah dengan cara kerja atas
namanya.9
b.

Pelaku menurut KUHP dirumuskan dalam Pasal 55 ayat (1) yaitu dipidana
sebagai tindak pidana: “Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan,
yang turut serta melakukan, dan mereka yang sengaja menganjurkan orang
lain supaya melakukan perbuatan”.

c.

Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengatur bahwa
gratifikasi dapat diartikan sebagai Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi
pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma,
dan fasilitas lainnya. Menurut penulis gratifikasi seks yaitu berupa pelayanan
seksual yang diberikan kepada pegawai negeri sipil atau pejabat negara
berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya
dalam kaitannya dengan kepentingan perorangan atau kelompok.

d.

Tindak Pidana adalah perbuatan yang melawan hukum, baik secara formal
maupun material.10

e.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Korupsi adalah “Setiap
orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian Negara”.

9

Soerjono Soekanto, Kriminologi: Suatu Pengantar, Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1981, hlm. 62.
10
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, 1996, hlm. 77.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah Pengaturan Tindak Pidana Gratifikasi di Indonesia

Berbicara mengenai korupsi, sama saja kita membicarakan semut di tengah lautan.
Menyinggung masalah korupsi berarti menyinggung pula masalah pelanggaran
dan kejahatan jabatan, latar belakangnya, faktor-faktor penyebabnya sampai pada
penanggulangannya. Hal-hal yang dikategorikan sebagai perbuatan korupsi pada
umumnya meliputi penggelapan uang, menerima atau meminta upeti, menerima
hadiah atau janji, ikut serta urusan pemborongan, dan sebagainya.

Tindak pidana korupsi suap berasal dari tindak pidana suap (omkoping) yang ada
didalam KUHP. KUHP sendiri membedakan antara 2 (dua) kelompok tindak
pidana suap, yakni tindak pidana menerima suap dan tindak pidana memberi suap.
Kelompok pertama disebut suap aktif (actieve omkoping), subyek hukumnya
adalah pemberi suap. Dimuat dan menjadi bagian dari kejahatan terhadap
penguasa umum (Bab VIII Buku II), yakni Pasal 209 dan Pasal 210.11

Pasal 209 KUHP
1.

11

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selamalamanya duapuluh tahun dan/atau denda setingi-tingginya tiga puluh juta
rupiah.
1e. Barang siapa memberi hadiah atau perjanjian kepada seorang pegawai
negeri, dengan maksud hendak membujuk dia, supaya dalam

Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT. Alumni, Bandung, 2008,
hlm. 169.

11

pekerjaannya ia berbuat atau mengalpakan sesuatu apa, yang
bertentangan dengan kewajibannya.
2e. Barang siapa memberi hadiah kepada seorang pegawai negeri oleh sebab
atau berhubungan dengan pegawai negeri itu sudah membuat atau
mengalpakan sesuatu apa dalam menjalankan pekerjaannya yang
bertentangan dengan kewajibannya.12

Pasal 210 KUHP
1.

2.

Dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya
dua puluh tahun dan/atau denda setingi-tingginya tiga puluh juta rupiah.
1e. Barangsiapa memberi hadiah atau perjanjian kepada hakim, dengan
maksud untuk mempengaruhi keputusan hakim itu tentang perkara yang
diserahkan kepada pertimbangannya.
2e. Barangsiapa memberi hadiah atau perjanjian kepada seseorang, yang
menurut peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi penasehat
untuk menghadiri pengaduan, dengan maksud untuk mempengaruhi
nasehat atau pendapat yang akan dimajukannya tentang perkara yang
diserahkan kepada pertimbangan pengadilan itu.
Jika hadiah atau perjanjian itu diberikan dengan maksud supaya hakim
menjatuhkan pidana dalam sesuatu perkara pidana, yang bersalah dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun dan/atau denda
setinggi-tingginya satu juta rupiah.13

Kelompok kedua yang disebut dengan suap pasif (passieve omkoping), subyek
hukumnya adalah pegawai negeri yang menerima suap. Dimuat dan menjadi
bagian dari kejahatan jabatan (Bab XVIII Buku II), yakni Pasal 418, Pasal 419,
dan Pasal 420. Jadi tindak pidana suap di dalam KUHP semuanya ada 5 (lima
pasal).14 Kejahatan jabatan yang dilakukan oleh pegawai negeri yang berupa
menerima hadiah atau janji (suap). Perumusannya terdapat dalam Pasal 418
KUHP.

12
13
14

R. Wiyono, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 1986, hlm. 19
Ibid, hlm. 20
Ibid

12

Pasal 418 KUHP
Pegawai negeri yang menerima hadiah atau perjanjian, sedang ia tahu atau patut
dapat menyangka, bahwa apa yang dihadiahkan atau dijanjikan itu berhubungan
dengan jabatan itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam
bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4.500,-15 Unsur-unsurnya sebagai
berikut:
a.

Yang menerima hadiah atau janji adalah pegawai negeri atau pejabat.

b.

Yang diketahui atau patut diduga itu diberikan karena kekuasaannya atau
kewenangannya yang berhubungan dengan jabatannya.

c.

Menurut orang yang memberi ada hubungannya dengan jabatannya.16

Orang yang memberi hadiah atau janji itu hanya mempunyai maksud untuk
memperoleh sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban pegawai negeri, hingga
para pemberi hadiah atau janji cukup terdapat dugaan bahwa yang dikehendaki
adalah bertentangan dengan kewajibannya, tetapi pegawai negeri itu harus
mengetahui, bahwa perbuatan itu dilakukan agar ia tidak akan melakukan sesuatu
atau ia akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.
Penyuap memberikan hadiah atau janji itu karena mengetahui atau menurut
pikirannya bahwa pegawai negeri itu mempunyai kekuasaan ataupun mempunyai
hak sehubungan dengan jabatan yang sedang diduduki pegawai negeri tersebut.17

15

Ibid, hlm. 22.
Victor M Situmorang, Tindak Pidana Pegawai Negeri Sipil, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hlm.
5-6.
17
M. Hamdan, Tindak Pidana Suap & Money Politics, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2005, hlm.
55-56.

16

13

Kejahatan jabatan yang dilakukan oleh pegawai negeri berupa menerima atau
janji. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 419 KUHP.
Pasal 419 KUHP
Dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun dihukum pegawai negeri:
1e. yang menerima pemberian atau perjanjian, sedang diketahuinya bahwa
pemberian atau perjanjian itu diberikan kepadanya untuk membujuknya
supaya dalam jabatannya melakukan atau mengalpakan sesuatu apa yang
berlawanan dengan kewajibannya;
2e. yang menerima pemberian, sedang diketahuinya, bahwa pemberian itu
diberikan kepadanya oleh karena atau berhubungan dengan apa yang telah
dilakukan atau dialpakan dalam jabatannya yang berlawanan dengan
kewajibannya.18 Unsur-unsurnya adalah:
1. a. Yang menerima hadiah/janji adalah pegawai negeri atau pejabat
b. Itu diberikan untuk menggerakkan dia untuk melakukan atau tidak
melakukan dalam jabatannya.
2. a. Yang menerima hadiah/janji adalah pegawai negeri
b. Bahwa itu diberikan sebagai akibat atau karena ia telah melakukan/tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya.

Penyuapan yang diatur dalam Pasal 418 tersebut ada hubungannya dengan
kekuasaan atau wewenang yang dimiliki oleh pegawai negeri. Penyuapan yang
diatur dalam Pasal 419 yaitu penyuapan mengenai hal untuk menggerakkan
pegawai negeri tersebut supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu, atau
sebagai akibat oleh karena pegawai negeri tersebut telah melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam perbuatannya yang bertentangan dengan kewajibannya,
sedangkan bagi orang yang menyuap juga dikenakan pidana.19 Kejahatan jabatan
yang dilakukan oleh Hakim, Penasehat Hukum, yang berupa menerima hadiah
atau janji. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 420.

18
19

Ibid, hlm. 23.
Ibid, hlm. 24.

14

Pasal 420 KUHP
1.

2.

Dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun dihukum:
1e. hakim yang menerima pemberian atau perjanjian, sedang diketahuinya,
bahwa pemberian atau perjanjian itu diberikan kepadanya untuk
mempengaruhi keputusan suatu perkara yang diserahkan kepada
pertimbangannya;
2e. barangsiapa yang menurut peraturan undang-undang ditunjuk sebagai
pembicara atau penasehat untuk menghadiri sidang pengadilan yang
menerima atau perjanjian, sedang ia tahu bahwa hadiah atau perjanjian
itu diberikan kepadanya untuk mempengaruhi pertimbangan atau
pendapatnya tentang perkara yang harus diputuskan oleh pengadilan itu.
Jika pemberian atau perjanjian itu diterima dengan keinsyafan, bahwa
pemberian atau perjanjian itu diberikan kepadanya supaya mendapatkan suatu
penghukuman dalam perkara pidana maka sitersalah dihukum penjara
selama-lamanya dua belas tahun.
Adapun unsurnya terdiri dari: 1. a. Hakim b. Menerima hadiah atau janji.
Yang dimaksud dengan hadiah atau janji adalah telah dirumuskan dalam
yurisprudensi, bahwa hadiah itu segala sesuatu yang mempunyai nilai. Noyon
berpendapat “hadiah adalah segala sesuatu yang dapat dipindah tangankan
dan juga mempunyai nilai, yang absolut tidak bernilai tidak dapat dikatakan
pemberian atau janji”. c. Padahal diketahui bahwa itu diberikan, dan d. Untuk
mempengaruhi putusan perkara 2. a. Penasehat hukum b. Menerima hadiah
atau janji c. Padahal diketahui bahwa itu diberikan, dan d. Untuk
mempengaruhi nasihat terhadap perkara yang harus diputus oleh pengadilan
itu.20

Tindak pidana korupsi baru dapat terjadi apabila dua belah pihak, yaitu pihak
orang luar yang menyuap atau menjanjikan sesuatu dengan mempengaruhinya
demi untuk mendapatkan keuntungan disatu segi dan disegi lain adalah pegawai
pegawai negeri atau pejabat yang mempunyai jabatan atau kedudukan yang juga
ingin atau terangsang untuk hidup mewah, dan tindakan dari perbuatan kedua
belah pihak tersebut menimbulkan:
1.

20

Ada pihak-pihak yang memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau badan.

Victor M Situmorang, Op.Cit, hlm. 60-61.

15

2.

Menimbulkan kerugian keuangan atau perekonomian negara atau keuangan
suatu badan yang menerima bantuan dari negara atau badan hukum lain yang
menggunakan modal/kelonggaran dari negara atau masyarakat.21

Usaha pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi adalah dengan
memperbaharui peraturan perundang-undangan yang mendasarinya. Tidaklah
cukup lengkap kiranya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang
memberantas tindak pidana korupsi, hal itu secara konkrit ditunjukkan dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999. Salah satu hal pokok yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah bahwa diantara Pasal 12 dan Pasal
13 disisipkan Pasal baru yakni Pasal 12 A, Pasal 12 B dan Pasal 12 C. Dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 untuk pertama kali diperkenalkan satu
tindak pidana korupsi yang baru yang sebelumnya sudah ada terselip dalam pasalpasal tindak pidana korupsi suap yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tapi tidak ada
disebutkan dengan rinci dan jelas. Tindak pidana korupsi menerima gratifikasi
sebagaimana dimuat dalam Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
dirumuskan sebagai berikut:
1.

21

Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya dengan ketentuan:
a. Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih
pembukiaannya bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap
dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dibuktikan oleh penuntut
umum:
Ibid, hlm. 7.

16

2.

Pidana bagi Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun,
dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Gratifikasi kepada pegawai negeri telah dijelaskan dalam penjelasan Pasal 12B
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang menyatakan “yang dimaksud
dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas yakni meliputi
pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan
fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam maupun di luar
negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa
sarana elektronik.22

Landasan pengaturan mengenai gratifikasi ini dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 adalah:
1.

Landasan Filosofis

Penjelasan umum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 disebutkan
bahwa maksud diadakannya penyisipan Pasal 12 B dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 adalah untuk menghilangkan rasa kekurangadilan bagi
pelaku tindak pidana korupsi dalam hal nilai yang dikorup relatif kecil. 23 Dalam
Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi berbunyi: “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara
22

Darwan Prinst, pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2002, hlm. 57.
23
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta,
2005, hlm. 107.

17

negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan
yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.” Ditilik secara hukum,
sebenarnya tidak ada masalah dengan gratifikasi. Tindakan ini hanyalah sekadar
suatu perbuatan seseorang memberikan hadiah atau hibah kepada orang lain.
Tentu saja hal tersebut diperbolehkan. Namun, seiring perkembangan waktu,
budaya, dan pola hidup, pemberian yang acap disebut gratifikasi mulai mengalami
dualisme makna.

2.

Landasan Sosiologis

Praktik korupsi pada masa sekarang mengalami perkembangan dengan munculnya
praktik-praktik baru yang berusaha memanfaatkan celah atau kelemahan berbagai
peraturan perundang-undangan yang ada. Pemberian hadiah seringkali kita anggap
hanyalah sebagai suatu ucapan terima kasih atau ucapan selamat kepada seorang
pejabat.

Pemberian hadiah sebagai suatu perbuatan atau tindakan seseorang yang
memberikan sesuatu (uang atau benda) kepada orang lain tentu saja hal tersebut
diperbolehkan. Namun jika pemberian tersebut dengan harapan untuk dapat
mempengaruhi keputusan atau kebijakan dari pejabat yang diberi hadiah, maka
pemberian itu tidak hanya sekedar ucapan selamat atau tanda terima kasih, akan
tetapi sebagai suatu usaha untuk memperoleh keuntungan dari pejabat atau
pemeriksa yang akan mempengaruhi integritas, independensi dan objektivitasnya,
adalah sebagai suatu tindakan yang tidak dibenarkan dan hal ini termasuk dalam
pengertian gratifikasi. Black’s Law Dictionary memberikan pengertian Gratifikasi
atau Gratification adalah sebagai “a voluntarily given reward or recompense for a

18

service or benefit” yang dapat diartikan gratifikasi adalah “sebuah pemberian
yang diberikan atas diperolehnya suatu bantuan atau keuntungan”.24
Gratifikasi dapat diartikan positif atau negatif. Gratifikasi positif adalah
pemberian hadiah dilakukan dengan niat yang tulus dari seseorang kepada orang
lain tanpa pamrih artinya pemberian dalam bentuk "tanda kasih" tanpa
mengharapkan balasan apapun. Gratifikasi negatif adalah pemberian hadiah
dilakukan dengan tujuan pamrih, pemberian jenis ini yang telah membudaya
dikalangan birokrat maupun pengusaha karena adanya interaksi kepentingan.
Dengan demikian secara perspektif gratifikasi tidak selalu mempunyai arti jelek,
namun harus dilihat dari kepentingan gratifikasi. Akan tetapi dalam praktik
seseorang memberikan sesuatu tidak mungkin dapat dihindari tanpa adanya
pamrih.

Gratifikasi kepada kalangan birokrat di negara-negara maju, dilarang keras dan
kepada pelaku diberikan sanksi cukup berat, karena akan mempengaruhi pejabat
birokrat dalam menjalankan tugas dan pengambilan keputusan yang dapat
menimbulkan ketidakseimbangan dalam pelayanan publik, bahkan di kalangan
privat pun larangan juga diberikan, contoh pimpinan stasiun televisi swasta
melarang dengan tegas reporter atau wartawannya menerima uang atau barang
dalam bentuk apa pun dari siapapun dalam menjalankan tugas pemberitaan. Oleh
karena itu gratifikasi harus dilarang bagi birokrat dengan disertai sanksi yang
berat (denda uang atau pidana kurungan atau penjara) bagi yang melanggar dan
harus dikenakan kepada kedua pihak (pemberi dan penerima).
24

Ibid

19

Contoh pemberian yang dapat digolongkan sebagai gratifikasi, antara lain:
a.

Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah
dibantu;

b.

Hadiah atau sumbangan dari rekanan yang diterima pejabat pada saat
perkawinan anaknya;

c.

Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat/pegawai negeri atau keluarganya
untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma;

d.

Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat/pegawai negeri untuk
pembelian barang atau jasa dari rekanan;

e.

Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat/pegawai
negeri;

f.

Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari
rekanan;

g.

Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat/pegawai negeri pada saat
kunjungan kerja;

h.

Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat/pegawai negeri pada saat hari
raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya.

Berdasarkan contoh di atas, maka pemberian yang dapat dikategorikan sebagai
gratifikasi adalah pemberian atau janji yang mempunyai kaitan dengan hubungan
kerja atau kedinasan dan/atau semata-mata karena keterkaitan dengan jabatan atau
kedudukan pejabat/pegawai negeri dengan sipemberi. Melihat kondisi tersebut
yang nyata dalam masyarakat, dan telah menjadi masalah sosial, maka dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ini, belum diatur mengenai gratifikasi

20

tersebut. Dimana dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 pengaturan
mengenai gratifikasi belum ada.

3.

Landasan Yuridis

Negara Republik Indonesia pada saat dinyatakan dalam keadaan perang atas dasar
Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 jo Undang-Undang Nomor 79 Tahun
1957, dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi telah dikeluarkan
Peraturan Penguasa perang Pusat/Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April
1958 No prt/peperpu/013/1958 serta peraturan-peraturan pelaksanaannya dan
Peraturan Penguasa Perang pusat /Kepala Staf Angkatan laut tanggal 17 April
1958 Nomor prt/Z/I/7.25 Oleh karena peraturan penguasa perang pusat tersebut
hanya berlaku untuk sementara, maka pemerintah Republik Indonesia
menganggap bahwa peraturan penguasa perang pusat yang dimaksud perlu diganti
dengan peraturan perundang-undangan yang berbentuk undang-undang. Dengan
adanya keadaan yang mendesak dan perlunya diatur dengan segera tindak pidana
korupsi, maka atas dasar Pasal 96 Ayat (1) UUDS 1950, penggantian peraturan
penguasa perang pusat tersebut ditatapkan dengan peraturan perundang-undangan
yang berbentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang, yaitu dengan
Perpu No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan
Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian atas dasar Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana
Korupsi.26

25

Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis,Praktik dan
Masalahnya, PT. Alumni, Bandung, 2007, hlm.11.
26
R. Wiyono, Op.Cit, 2005, hlm. 3

21

Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 dalam penerapannya ternyata masih
belum mencapai hasil seperti yang diharapkan sehingga terpaksa diganti lagi
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi. Setelah lebih dari dua dasawarsa berlaku, ternyata UndangUndang Nomor 7 Tahun 1971 tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, apalagi dengan terjadinya
praktek-praktek

korupsi,

kolusi

dan

nepotisme

yang

melibatkan

para

penyelenggara Negara dengan para pengusaha.

Berdasarkan hal tersebut, sudah sewajarnya jika kemudian MPR sebagai Lembaga
Tertinggi Negara itu menetapkan Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN yang antara lain menetapkan
agar diatur lebih lanjut dengan undang-undang tentang upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi yang dilakukan dengan tegas, dengan melaksanakan secara
konsisten Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Atas dasar TAP MPR No XI
/MPR/1998 ini, kemudian ditetapkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang mulai berlaku sejak tanggal 16
Agustus 1999, dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 No. 140.27 Adapun Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun,
kemudian diadakan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tersebut dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

27

Ibid

22

Tindak Pidana Korupsi dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
ahun 2001 Nomor 134 yang mulai berlaku tanggal 21 November 2001.

Alasan diadakannya perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dapat
diketahui dari konsideran butir b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yaitu:
1.

Untuk lebih menjamin kepastian hukum;

2.

Menghindari keragaman penafsiran hukum;

3.

Memberikan perlindungan terhadap hak-hak social dan ekonomi masyarakat;

4.

Perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi

Perubahan pasal-pasal mengenai tindak pidana korupsi penyuapan, yaitu
Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 menentukan bahwa
Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 rumusannya diubah dengan tidak
mengacu pada pasal-pasal dalam KUHP, tetapi langsung menyebutkan unsurunsur yang terdapat dalam masing-masing pasal KUHP yang diacu.28 Ketentuan
yang masing-masing terdapat dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,
pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, semula-sebelum Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 adalah ketentuan-ketentuan yang mengaitkan dengan mencantumkan
Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal
418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, Pasal 435 KUHP . Dikatakan
tidak mengacu lagi pada pasal-pasal KUHP, karena dalam Pasal 43 B UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 sendiri telah ditentukan bahwa Pasal 209, Pasal
210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419,
28

Ibid, hlm. 4.

23

Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, Pasal 435 KUHP dinyatakan sudah tidak berlaku
lagi.

Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa di
antara Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 disisipkan
pasal baru yaitu Pasal 12A, Pasal 12B, dan Pasal 12C.29 Pasal 12 B dan Pasal 12
C adalah mengatur tentang Gratifikasi. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001, sebagai bagian dari upaya pemberantasan korupsi, gratifika