BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perkembangan Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan manusia Indonesia

  seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana umumnya serta tindak pidana korupsi pada

  

  khususnya. Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak sosial negatif, dalam bentuk tindak pidana fenomenal adalah korupsi. Tindak pidana ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi

   masyarakat.

  Korupsi merupakan kata yang populer di masyarakat dan menjadi tema pembicaraan sehari-hari. Korupsi sudah terjadi sejak zaman dahulu dan merupakan suatu peristiwa universal yang dapat terjadi di seluruh dunia. Di Indonesia, tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat.

  Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.

  1

  Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapat perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya, hal ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh korupsi dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius karena dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial, ekonomi dan politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah budaya yang menjadi ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur.

  Meningkatnya tindak pidana korupsi akan membawa bencana tidak hanya terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan

  

  secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi, yaitu dampak dari tindak pidana korupsi ini, maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan jelas, dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum.

  Ditengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya 3 semakin meningkat, karena dalam kenyataan, adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.

  Pemberantasan korupsi bukanlah hal yang baru dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya aturan-aturan hukum mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi yang telah ada sebelum undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang berlaku saat ini. Diberlakukannya undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi dimaksudkan untuk menanggulangi dan memberantas korupsi baik oleh korupsi dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK di definisikan sebagai “serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

  Pemberantasan korupsi dapat dilakukan dengan berbagai cara dan langkah pertama yang dapat dilakukan untuk memberantas korupsi ialah dengan melakukan pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi tersebut. Dua aspek

  

  penting dalam pencegahan korupsi adalah Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan pelaporan gratifikasi. Masalah yang masih 4 Topo Santoso, Menguak Relevansi Ketentuan Gratifikasi Di Indonesia, muncul adalah rendahnya pelaporan gratifikasi dari seluruh total pegawai negeri dan penyelenggara negara yang ada serta penegakan hukumnya belum benar- benar diterapkan meskipun ketentuan tentang gratifikasi telah diatur di dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta diatur juga dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, bahkan juga diperkuat dalam beberapa kebijakan pemerintah.

  Pengaturan gratifikasi merupakan hal yang baru diatur di dalam undang- undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Terbentuknya peraturan tentang gratifikasi ini merupakan bentuk kesadaran bahwa gratifikasi dapat mempunyai dampak negatif dan dapat disalahgunakan, khusunya dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik. Gratifikasi diatur dalam Pasal 12B dan

  Pasal 12C Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun dengan unsur penyuapan. Gratifikasi acapkali digambarkan sebagai pemberian terhadap para pejabat negara (pegawai negeri atau penyelenggara negara), yang dikhawatirkan mempengaruhi keputusan atau kebijakan yang akan diambilnya.

  Pemberian sendiri sebenarnya sudah dilakukan oleh manusia sejak lama. Di Indonesia, kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat adalah pemberian tanda terima kasih atas jasa yang telah diberikan oleh petugas, baik dalam bentuk barang atau bahkan uang. Dalam undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang ada di Indonesia, pemberian hadiah kepada pegawai negeri bukanlah hal yang baru diatur, melainkan telah ada pengaturannya pertama sekali didalam KUHP yang kemudian dimuat ke dalam Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi dan terus berkembang hingga Undang-Undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang berlaku saat ini.

  Masyarakat Indonesia menganggap bahwa memberi hadiah merupakan hal yang lumrah. Meskipun dalam kebiasaan masyarakat kita yang menganut budaya timur memberi hadiah merupakan hal yang wajar dan lumrah dilakukan, namun hal ini dapat menjadi suatu kebiasaan yang bersifat negatif dan dapat mengarah menjadi potensi perbuatan korupsi di kemudian hari. Misalnya, pemberian uang atau pemberian dalam bentuk lain dianggap perlu dan harus diberikan untuk membuat birokrasi bekerja sebagaimana mestinya. Padahal birokrasi sudah

   seharusnya mampu menjalankan kinerja pelayanan publik secara berkompeten.

  Potensi korupsi inilah yang berusaha dicegah oleh undang-undang.

  Oleh karena itu, berapapun nilai gratifikasi yang diterima penyelenggara jabatan/kewenangan yang dimiliki, maka sebaiknya penyelenggara negara atau

  

  pegawai negeri tersebut segera melapor ke KPK untuk dianalisa lebih lanjut. Hal ini dikarenakan gratifikasi dapat diproses secara hukum apabila melibatkan pegawai negeri atau penyelenggara negara, karena berkaitan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya. Setelah menerima laporan, KPK akan melakukan serangkaian kegiatan pemeriksaan untuk menentukan apakah pemberian tersebut dapat dimiliki oleh si penerima gratifikasi atau tidak.

  Dan apabila si penerima gratifikasi tidak melaporkan pemberian yang diterimanya tersebut, maka si penerima dapat dikategorikan telah melakukan tindak pidana korupsi, yaitu suap. 5 Komisi Pemberantasan Korupsi, Indonesia Bersih Uang Pelicin, 2014,

  didownload pada Rabu, 6 ‎10 Desember ‎2014 pukul‏ 08:28:18 WIB.

  B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka disusun pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu:

  1. Bagaimana perkembangan gratifikasi sebagai tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia? 2. Bagaimana penerapan Pasal 12B dan Pasal 12C Undang-Undang No.

  31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi? 3. Bagaimana pengaturan gratifikasi di beberapa negara berdasarkan peraturan tentang pemberantasan korupsi yang berlaku?

  C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

  Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, maka tujuan yang hendak dicapai di dalam penulisan skripsi ini adalah:

  1. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan gratifikasi sebagai tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.

  2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan Pasal 12B dan Pasal 12C Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

  3. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan mengenai gratifikasi di negara lain berdasarkan peraturan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang berlaku.

2. Manfaat Penulisan

  Adapun manfaat penelitian ini terbagi atas dua yaitu secara teoritis dan secara praktis, yaitu:

  1. Secara Teoritis Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi, kontribusi pemikiran dan menambah pengetahuan pembaca dalam bidang pengetahuan ilmu hukum pidana pada umunya, dan mengenai gratifikasi sebagai tindak pidana korupsi sebagai khususnya. Sehingga kajian ilmiah bagi para mahasiswa maupun praktisi hukum dalam perkembangan hukum di Indonesia.

  2. Secara Praktis a.

  Sebagai pedoman dan masukan bagi penyelenggara negara atau pegawai negeri atau keluarganya dalam memahami gratifikasi sehingga diharapkan dapat mengambil tindakan sesegara mungkin untuk melapor apabila mengalaminya sehingga dapat mendukung pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

  b.

  Sebagai informasi bagi masyarakat terhadap akibat keberlakuan Pasal 12B dan Pasal 12C Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo.

  Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

  D. Keaslian Penulisan

  Karya ilmiah ini disusun berdasarkan literatur yang diperoleh dari perpustakaan dan dari media massa baik media cetak maupun elektronik.

  Berdasarkan informasi yang diperoleh dari penelusuran pada Arsip Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara/Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, belum terdapat judul yang sama dengan skripsi yang diangkat pada judul skripsi ini.

  Judul-judul yang ada tentang korupsi tidak ada yang menyentuh materi pokok dalam bahasan skripsi ini yaitu tentang “Perkembangan Gratifikasi sebagai Pidana Korupsi di Indonesia”. Oleh sebab itu skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan aturan-aturan ilmiah.

  E. Tinjauan Kepustakaan

  Pada penelitian ini dalam membahas permasalahannya akan diberikan batasan-batasan pengertian atau istilah. Pembatasan tersebut dilakukan untuk menghindari terjadinya multi tafsir maupun kerancuan defenisi dan diharapkan akan dapat membantu dalam menjawab pokok permasalahan usulan penelitian ini.

  Adapun pembatasan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana a. Pengertian tindak pidana

  Pembentuk undang-undang menggunakan perkataan strafbaarfeit untuk menyebutkan istilah tindak pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam bahasa Belanda, strafbaarfeit terdiri atas dua unsur pembentuk kata yaitu, “strafbaar” dan “feit”. Istilah “feit” dalam bahasa Belanda diartikan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan”. Sedangkan “strafbaar” memilik arti “dapat dihukum”. Secara harfiah, strafbaarfeit berarti sebagian

   kenyataan yang dapat dihukum.

  Menurut Simons, strafbaarfeit itu adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang

  

   a.

  Untuk adanya suatu strafbaarfeit disyaratkan bahwa di situ terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang- undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum; b.

  Agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum maka tindakan itu harus memenuhi unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan undang- undang;

7 P. A. F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung : Citra Aditya

  

Bakti, 1997, hal. 181, dikutip seperlunya. Menurut Lamintang, pengertian tindak pidana tersebut

tidak tepat, karena kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai c.

  Setiap strafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap suatu larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum atau onrechtmatige handeling. Adapun menurut Utrecht, strafbaarfeit diterjemahkan dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga disebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan atau doen-positif atau suatu kelalaian atau nalaten-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu).

  Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa hukum, yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum. Tindakan semua unsur yang disinggung oleh suatu ketentuan pidana dijadikan unsur yang mutlak dari peristiwa pidana. Hanya sebagian yang dapat dijadikan unsur-unsur mutlak dari peristiwa pidana yaitu, perilaku manusia yang bertentangan dengan hukum

   a.

  Dipenuhinya semua unsur dari delik seperti yang terdapat di dalam rumusan delik; b.

  Dapat dipertanggungjawabkannya si pelaku atas perbuatannya; c. Tindakan dari pelaku tersebut haruslah dilakukan dengan sengaja atau pun tidak dengan sengaja; d.

  Pelaku tersebut dapat dihukum.

b. Unsur-unsur tindak pidana

  Setiap tindak pidana yang terdapat didalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan kedalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua,

  

  yaitu: (1)

  Unsur subjektif Yang dimaksud dengan unsur subjektif ialah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Adapun unsur- unsur subjektif itu adalah: a.

  Kesengajaan atau ketidaksengajaan; b. Maksud pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP; Berbagai macam maksud seperti yang terdapat dalam kejahatan misalnya pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.

  d.

  Merencanakan terlebih dahulu, seperti yang terdapat dalam kejahatan menurut Pasal 340 KUHP; e.

  Perasaan takut seperti yang terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

  (2) Unsur objektif

  Yang dimaksud dengan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan. Adapun unsur-unsur objektif dari

  

  suatu tindak pidana itu ialah: a.

  Sifat melawan hukum; b. Kualitas dari si pelaku, misalnya seorang pegawai negeri yang melakukan kejahatan di dalam Pasal 415 KUHP; c.

  Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

2. Tinjauan umum tentang Korupsi

  Secara etimologi, korupsi berasal dari bahasa latin yaitu, corruptio atau

  

corruptus yang berarti merusak, tidak jujur, dapat disuap. Korupsi banyak

  dikaitkan dengan ketidakjujuran seseorang di bidang keuangan. Banyak istilah yang digunakan oleh negara-negara dalam memaknai kata korupsi, misalnya “gin

  

moung ” (Muangthai), yang berarti “makan bangsa”; “tanwu” (Cina), yang berarti

   Selanjutnya, istilah korupsi muncul dalam beberapa bahasa di Eropa seperti

  bahasa Inggris yaitu corruption dan corrupt, bahasa Perancis dengan kata

  

corruption , dan bahasa Belanda menggunakan kata corruptie yang selanjutnya

  

  menjadi kata “korupsi” dalam bahasa Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi bermakna penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.

  Secara harafiah, dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya arti

  

  korupsi memiliki arti yang sangat luas, yaitu: 1.

  Korupsi merupakan penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau 14 perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.

  Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No. 20 Tahun 2001) , Bandung : CV. Mandar Maju, 2009, hal 7. 15

  2. Korupsi : busuk; rusak; suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).

a. Pengertian tindak pidana korupsi menurut hukum positif

  Secara garis besar perbuatan terlarang dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkualifikasi dengan sebutan tindak pidana korupsi dan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Bentuk pokok dan yang paling familiar dari tindak pidana korupsi adalah apa yang diatur dalam

  pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-

   Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

  Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagian besar pengertian korupsi di dalam undang-undang tersebut dirujuk dari ketentuan yang terdapat di dalam KUHP. Di dalam Pasal 1 angka 1 Undang- Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK disebutkan bahwa, “Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.

  Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK tersebut, maka dapat dilihat bahwa di dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, defenisi korupsi telah dijelaskan dalam 13 Pasal. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, pengertian korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk atau jenis tindak pidana korupsi. Adapun ketigapuluh jenis/bentuk tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tujuh, yaitu: i) kerugian keuangan negara; ii) suap - menyuap; iii) penggelapan dalam jabatan; iv) pemerasan; v) perbuatan curang; vi) benturan

   kepentingan dalam pengadaan; dan vii) gratifikasi.

  Selain bentuk atau jenis tindak pidana korupsi yang disebutkan di atas masih terdapat tindak pidana lain yang berkaitan dengan tidak pidana korupsi

  

  yang juga tertuang di dalam undang-undang tersebut, yaitu: 1.

  Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi; Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar; 3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka; 4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu;

  5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu;

6. Saksi yang membuka identitas pelapor.

b. Subjek atau pelaku tindak pidana korupsi

  Pada dasarnya menurut ketentuan KUHP yang merupakan subjek tindak pidana adalah manusia. Namun selanjutnya asas umum “hanya manusia sebagai 18 Komisi Pemberantasan Korupsi, Buku Saku Memahami Gratifikasi (Buku saku), 2014, subjek tindak pidana” mengalami perkembangan dalam beberapa hukum positif di Indonesia. Demikian pula halnya dengan tindak pidana korupsi, perkembangan kualifikasi pelaku juga teradopsi dalam Undang- Undang No.31 Tahun 1999 jo.

  Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menganut bahwa subjek atau pelaku tindak pidana adalah setiap

   orang yakni perseorangan atau termasuk korporasi.

  (1) Setiap orang dan bentuk khususnya

  Dalam rumusan tindak pidana korupsi Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dikenal bentuk khusus dari orang perseorangan dalam sebutan

   sebagai “pegawai negeri” dan “pegawai negeri atau penyelenggara negara”.

  Namun dalam undang-undang tersebut hanya kualifikasi pegawai negeri yang a.

  Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Kepegawaian; b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP; c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; d.

  Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau e.

  Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

  Sedangkan kualifikasi penyelenggara negara tidak diatur dalam Undang- Undang No.31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hanya saja dalam penjelasan Pasal 5 ayat (2) undang-undang tersebut disebutkan bahwa “yang dimaksud dengan penyelenggara negara dalam Pasal ini adalah penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pengertian “penyelenggara negara” tersebut juga berlaku pula untuk pasal-pasal berikutnya dalam undang-undang ini”.

  Dalam pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, “Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan 1999 diuraikan jabatan-jabatan lain yang termasuk kualifikasi Penyelenggara Negara, yaitu meliputi: a.

  Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; b. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; c. Menteri; d. Gubernur; e. Hakim; f. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan g.

  Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

  (2) Korporasi

  Tindak pidana korupsi selain bisa dilakukan oleh orang perseorangan bisa juga dilakukan oleh korporasi. Menurut Utrech, korporasi adalah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri sebagai suatu personifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban tersendiri yang terpisah dari hak dan kewajiban anggota masing-masing.

  Sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.31 Tahun 1999

  

jo . Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

  Korupsi “korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 tersebut, korporasi terdiri dari dua kelompok subjek,

   1.

  Kumpulan orang yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Seperti, partai politik.

2. Kekayaan yang terorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Seperti, Yayasan dan koperasi.

  Selanjutnya dalam Pasal 20 ayat (1) undang-undang tersebut dikatakan bahwa jika tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi maupun pengurusnya. Yang mana dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “pengurus” adalah organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan. Sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.

c. Bentuk sanksi dalam tindak pidana korupsi

  Pada pokoknya jenis pidana yang diancamkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang termuat dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo.

  Undang-Undang 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah:

   1.

  Pidana pokok, dalam bentuk: a.

  Pidana mati; b. Pidana penjara; c. Pidana denda

  Pidana tambahan, dalam bentuk; a.

  Pidana tambahan dalam KUHP (Pasal 10 huruf b KUHP)

  a) Pencabutan hak-hak tertentu;

  b) Perampasan barang-barang tertentu;

c) Pengumuman putusan Hakim.

  b.

  Pidana tambahan dalam Pasal 18 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:

  a) Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang tidak bergerak; b) Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak- banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

  c) Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; d)

  Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

c. Pengertian Gratifikasi

  Dalam Kamus Hukum disebutkan bahwa gratifikasi dalam bahasa Belanda ialah, “Gratificatie” yang artinya hadiah uang; pemberian uang. Sedangkan dalam “Gratify” yang artinya memberi kebahagian, memuaskan. Black’s Law

24 Dictionary memberikan pengertian gratifikasi sebagai “a voluntarily given

  

reward or recompense for a service or benefit” yang dapat diartikan, sebagai

  sebuah pemberian yang diberikan atas diperolehnya suatu bantuan atau keuntungan. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, gratifikasi diartikan sebagai uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan.

  Dalam terminologi hukum, gratifikasi adalah setiap pemberian atau hadiah dalam arti luas meliputi pemberian uang, barang, tiket perjalanan, serba-serbi fasilitas lainnya yang diberikan karena ada hubungannya dengan jabatan, kekuasaan, dan kewenangan yang dimiliki seseorang untuk melakukan atau tidak

  

  melakukan suatu perbuatan. Hal ini sesuai dengan isi penjelasan pasal 12B ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan bahwa “yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma- cuma dan fasilitas lainnya. Gartifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik”.

  Gratifikasi adalah suatu perbuatan yang berpeluang menimbulkan penyalahgunaan dan penyelewengan kekuasaan karena ada iming-iming pemberian. Gratifikasi dapat diartikan positif atau negatif. Gratifikasi positif orang lain tanpa pamrih artinya pemberian dalam bentuk "tanda kasih" tanpa mengharapkan balasan apapun. Gratifikasi negatif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan tujuan pamrih, pemberian jenis ini yang telah membudaya dikalangan birokrat maupun pengusaha karena adanya interaksi kepentingan. Dengan demikian, secara perspektif gratifikasi tidak selalu mempunyai arti jelek namun harus dilihat dari kepentingan gratifikasi. Akan tetapi dalam praktik seseorang memberikan sesuatu tidak mungkin dapat dihindari tanpa adanya

   pamrih.

25 Agustina Wati Gubali, Analisis Pengaturan Gratifikasi Menurut Undang-Undang Di

  

Indonesia,

didownload Minggu, 15 Februari 2015, pukul 08:32:31 WIB.

  Secara umum, gratifikasi terbagi atas dua, yaitu gratifikasi legal dan gratifikasi illegal. Gratifikasi legal adalah yang apabila gratifikasi itu diterima oleh penyelenggara negara atau pegawai negeri, selama pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut sebagai penerima gratifikasi memenuhi unsur sebagaimana yang terkandung dalam Pasal 12C Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu, melaporkan gratifikasi tersebut kepada KPK . Sedangkan gratifikasi illegal ialah sebagaimana gratifikasi yang terkandung dalam pasal 12 B ayat (1) undang-undang tersebut, yaitu : “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya”.

  Jika dilihat dari rumusan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa suap khususnya pada seorang penyelenggara negara atau pegawai negeri adalah pada saat penyelenggara negara atau pegawai negeri tersebut melakukan tindakan menerima suatu gratifikasi atau pemberian hadiah dari pihak manapun sepanjang memenuhi beberapa unsur berikut: 1.

  Pegawai negeri atau penyelenggara negara; 2. Menerima gratifikasi; 3. Berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya;

4. Penerimaan gratifikasi tersebut tidak dilaporkan kepada KPK dalam

   jangka waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

  Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan metode atau jenis penelitian kepustakaan (library research) yang bersifat yuridis normatif, artinya mengacu kepada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan,

  

  yurisprudensi serta kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Penelitian hukum normatif disebut juga dengan penelitian hukum doktrinal karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya kepada peraturan-peraturan yang tertulis dan bahan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada diperpustakaan.

  Penelitian kepustakaan demikian dapat pula dikatakan sebagai lawan dari Metode menjawab permasalahan dalam skripsi ini digunakan penelitian hukum normatif . Penelitian hukum normatif yang dilakukan pada penulisan skripsi dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan hukum yang berkaitan tindak pidana korupsi umumnya dan gratifikasi khususnya.

2. Sumber Data

  Jenis data yang diperoleh adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh

  

  dari bahan pustaka. Data sekunder ini mengacu pada 3 bahan: a.

  Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat sehubungan dengan masalah. Bahan hukum primer ini terdiri dari seluruh peraturan 28 perundang-undangan dan ketentuan yang mengatur masalah perkembangan gratifikasi sebagai tindak pidana korupsi menurut undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

  b.

  Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer. Dalam hal ini, bahan hukum sekunder yang diperoleh dari buku, jurnal, artikel, dokumen yang diperoleh dari internet, serta hasil-hasil penelitian dan tulisan-tulisan dari kalangan ahli hukum.

  c.

  Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Misalnya, ensiklopedia dan kamus hukum.

   Metode Pengumpulan Data

  Metode penelitian yang digunakan dalam mengumpulkan data dan bahan bagi penelitian ini adalah bersifat yuridis normatif. Oleh karena itu, dengan perkataan lain penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya yang ada kaitannya dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam memperoleh data sekunder adalah dengan penggunaan studi dokumen atau bahan pustaka, serta media elektronik (internet).

4. Analisis Data

  Adapun metode anailisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode kualitatif. Analisis kualitatif lebih menekankan kepada kebenaran berdasarkan sumber-sumber hukum serta doktrin yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.

  Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan dengan melakukan penelitian yang bersifat deskriptif analitis yaitu dengan memberikan penjelasan mengenai tindak pidana korupsi, gratifikasi sebagai tindak pidana korupsi, dan bagaimana penerapan pasal yang mengatur tentang gratifikasi dalam undang- undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang berlaku saat ini.

G. Sistematika Penulisan

  Secara garis besar, skripsi ini dibagi menjadi lima Bab dengan beberapa sub-bab, dengan uraian singkat sistem penulisan sebagai berikut: Dalam bab pertama ini akan diuraikan mengenai latar belakang permasalahan, pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : PERKEMBANGAN GRATIFIKASI SEBAGAI TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG- UNDANG TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Dalam bab ini akan diuraikan mengenai perkembangan

  undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang berlaku di Indonesia, perkembangan pengaturan pemberian hadiah menurut undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, alasan mengenai gratifikasi korupsi, serta apa perbedaan antara tindak pidana suap dengan gratifikasi.

  BAB III : PENERAPAN PASAL 12B DAN PASAL 12C UNDANG -UNDANG NO. 31 TAHUN 1999 Jo. UNDANG-UNDANG No. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Dalam bab ini Penulis akan menguraikan mengenai akibat

  keberlakuan Pasal 12B dan Pasal 12C Undang-Undang 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bagaimana proses penegakan hukum yang dilakukan untuk menangani kasus gratifikasi serta contoh-contoh penerapan dari pasal- pasal tersebut.

  BAB IV : PENGATURAN GRATIFIKASI DI BEBERAPA NEGARA BERDASARKAN PERATURAN TENTANG PEMBERANTASAN KORUPSI YANG BERLAKU Bab ini membahas mengenai pengaturan gratifikasi di

  beberapa negara, yaitu India, Malaysia dan Singapura berdasarkan peraturan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi yang berlaku di masing-masing negara tersebut.

  BAB V : PENUTUP Bab ini adalah penutup dari penulisan penelitian yang

  menguraikan secara singkat mengenai kesimpulan dari keseluruhan penulisan serta saran yang Penulis anggap perlu untuk disampaikan agar dapat bermanfaat bagi para pembaca dalam mesmahami topik yang telah dibahas dalam penulisan ini.

Dokumen yang terkait

2. Apa saja kendala yang sering ditemui oleh para seniman jalanan ketika ingin membuat karya seni di dinding kosong ataupun rumah masyarakat setempat? - Komunikasi Seni Jalanan (Studi Analisis Unsur-unsur Komunikasi Seni Jalanan Oleh Komunitas Seniman Jal

0 0 20

BAB II TINJAUAN TEORITIS - Komunikasi Seni Jalanan (Studi Analisis Unsur-unsur Komunikasi Seni Jalanan Oleh Komunitas Seniman Jalanan di Jalan Adam Malik, Medan)

0 1 26

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah - Komunikasi Seni Jalanan (Studi Analisis Unsur-unsur Komunikasi Seni Jalanan Oleh Komunitas Seniman Jalanan di Jalan Adam Malik, Medan)

0 0 7

A. PROMOSI JABATAN - Pengaruh Promosi Jabatan dan Pemberian Insentif Terhadap Kinerja Karyawan (Studi Pada Bank Sumut Kantor Cabang Utama Medan)

0 1 10

2.1 Kinerja 2.1.1 Pengertian Kinerja - Pengaruh Promosi Jabatan dan Pemberian Insentif Terhadap Kinerja Karyawan (Studi Pada Bank Sumut Kantor Cabang Utama Medan)

0 0 27

1.1 Latar Belakang - Pengaruh Promosi Jabatan dan Pemberian Insentif Terhadap Kinerja Karyawan (Studi Pada Bank Sumut Kantor Cabang Utama Medan)

0 0 8

BAB II PENGATURAN INDUK PERUSAHAAN DAN ANAK PERUSAHAAN DI INDONESIA E. Sejarah Singkat Perusahaan Grup - Hubungan Induk Perusahaan Dan Anak Perusahaan Dalam Kaitannya Dengan Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Di Indonesia Menurut U

0 0 32

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Hubungan Induk Perusahaan Dan Anak Perusahaan Dalam Kaitannya Dengan Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Di Indonesia Menurut Uu No. 5 Tahun 1999

0 0 18

Hubungan Induk Perusahaan Dan Anak Perusahaan Dalam Kaitannya Dengan Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Di Indonesia Menurut Uu No. 5 Tahun 1999

0 0 11

BAB II PERKEMBANGAN GRATIFIKASI MENURUT UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA A. Perkembangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia - Perkembangan Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi Menurut

0 0 29