Perkembangan Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

(1)

PERKEMBANGAN GRATIFIKASI SEBAGAI TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

SKRIPSI

O l e h

RIZKI A. HARAHAP 110200094

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERKEMBANGAN GRATIFIKASI SEBAGAI TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Universitas Sumatera Utara

O l e h :

RIZKI A. HARAHAP 110200094

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. H. M. Hamdan, SH. MH NIP. 19570326198601001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Syafruddin Hasibuan, SH. MH. DFM

NIP. 196305111989031001 NIP. 197404012002121001

Dr. Mahmud Mulyadi, SH. M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena

atas berkat dan karuniaNya Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini adalah merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi

untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara.

Adapun judul skripsi adalah “Perkembangan Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda Burhanuddin Harahap dan Ibunda Elida Safni Siregar, yang dengan semangat menginginkan kami semua anak-anaknya menjadi orang yang berhasil.

Terima kasih atas kasih sayang, doa-doa dan perhatian serta dukungan dan

didikan yang telah diberikan kepada Penulis dengan penuh keikhlasan .

Selain itu, melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima

kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian

skripsi ini, yaitu:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH. MH. DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Dosen


(4)

Pembimbing I Penulis. Berkat partisipasi dan dukungan serta arahan

beliau, Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Dr. OK Saidin SH. M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. M. Hamdan, SH. MH., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH. M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II Penulis yang telah banya meluangkan waktu untuk membimbing,

memberi masukan dan mengarahkan Penulis hingga terselesaikannya

skripsi ini

7. Ibu Afrita SH. M.Hum., selaku Dosen Wali yang telah membimbing penulis selama masa perkuliahan.

8. Kakak dan adik-adikku yang sangat kusayangi, Nidia Safitri Harahap, S. Fil., Annisa Ramadhani Harahap, dan Mufti Halim Harahap yang selalu memberikan dukungannya kepada penulis selama masa perkuliahan

hingga terselesaikannya skripsi ini.

9. Uda tersayang, Zulfan Abdul Aziz Sinaga beserta keluaraga, terima kasih atas seluruh dukungannya selama ini baik moril maupun materil,

juga masukan-masukan yang telah diberikan kepada Penulis dalam

penyelesaian skripsi ini.

10.Teman-teman seperjuangan selama masa perkuliahan, Mei, Yanti, Lena, adik-adik kos tersayang, Dhini Rifqah, Chindy Mathe, Cindi Bio, dan Ika Pratiwi. Dan seluruh teman-teman stambuk 2011 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang tidak dapat disebutkan satu persatu,


(5)

terima kasih atas dukungan dan motivasinya kepada Penulis dalam

penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tak luput dari kekurangan

dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan

hati Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan

skripsi ini.

Medan, Juni 2015

Penulis


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI………..…iv

ABSTRAKSI………vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………...………....1

B. Perumusan Masalah………...…...6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………...……...7

D. Keaslian Penulisan…….………..………..……....9

E. Tinjauan Kepustakaan..………....10

1. Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana….….….10 2. Tinjauan Umum Tentang Korupsi………..……...14

3. Pengertian Gratifikasi………...………..22

F. Metode Penelitian………..………...…………..…..25

G. Sistematika Penulisan………...……....28

BAB II PERKEMBANGAN GRATIFIKASI MENURUT UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA A. Perkembangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia………..………..31

B. Perkembangan Pengaturan Pemberian Hadiah Menurut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.…...41


(7)

C. Alasan Gratifikasi Diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun

1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi………..……….54

D. Perbedaan Tindak Pidana Suap dan Gratifikasi…………..….60

BAB III PENERAPAN PASAL 12B DAN PASAL 12C UNDANG-UNDANG NO. 31 TAHUN 1999 Jo. UNDANG-UNDANG-UNDANG-UNDANG NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Akibat Kebelakuan Pasal 12B dan Pasal 12C Undang-Undang

No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi……….65

B. Proses Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana

Gratifikasi……...………..70

C. Contoh Penerapan Pasal 12B dan Pasal 12C Undang-Undang

No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi……….86

BAB IV PENGATURAN GRATIFIKASI DI BEBERAPA NEGARA BERDASARKAN PERATURAN TENTANG PEMBERAN- TASAN KORUPSI YANG BERLAKU

A. Pengaturan Gratifikasi di India………..…..96

B. Pengaturan Gratifikasi di Malaysia………...……...98


(8)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………..………..108

B. Saran………..…111


(9)

Abstraksi

* Mahasiswa ** Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II

Pemberian hadiah merupakan hal yang lumrah terjadi di masyarakat sebagai bentuk solidaritas antar warga masyarakat. Hal yang awalnya dianggap lumrah ini, semakin lama semakin bergeser kearah yang memicu munculnya perbuatan koruptif jika dilakukan dilingkungan birokrasi, karena cenderung dilakukan atas dasar kepentingan dan adanya pamrih. Untuk mencegah perbuatan koruptif tersebut, pemberian hadiah kepada para pegawai negeri atau penyelenggara negara pun mulai dilarang, bahkan dianggap sebagai perbuatan korupsi yang apabila dilakukan dapat dijatuhi hukuman. Melihat pergeseran perkembangan praktik pemberian hadiah kepada para pejabat tersebut, maka diangkat skripsi dengan judul Perkembangan Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Metode penulisan dalam pembuatan skripsi ini dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif yang berasal dari sumber buku-buku kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang dibahas didalam skripsi ini dan memperoleh informasi dari data sekunder. Larangan pemberian hadiah kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebenarnya telah diatur sejak lama dalam hukum positif di Indonesia. Hanya saja pada dasarnya larangan tersebut ialah dalam bentuk suap. Dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, aturan mengenai larangan pemberian hadiah pertama sekali termuat dalam Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Namun istilah gratifikasi baru dipakai dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang terbaru yaitu, Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Dalam undang-undang ini, tidak semua pemberian yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara dapat dikategorikan sebagai gratifikasi. Untuk dapat dimasukkan sebagai suatu tindak pidana gratifikasi, maka haruslah terpenuhi unsur-unsur tertentu. Dalam hal pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi namun melaporkannya kepada KPK, maka penerima gratifikasi yang melapor tersebut akan dibebaskan dari jeratan hukum. Hal ini mengakibatkan setiap pemberian yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara harus dilaporkan tanpa memandang nilai dari gratifikasi tersebut sehingga tentu akan menyulitkan pegawai negeri atau penyelenggara negara. Untuk itu, seharusnya diberi batasan nilai terhadap gratifikasi yang perlu dilaporkan. Sehingga aturan hukum mengenai gratifikasi dapat diterapkan secara lebih efektif dan dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana ini pun dapat dilakukan dengan efisien oleh para aparat penegak hukum.

* Rizki A. Harahap

** Syafruddin Hasibuan, SH. MH. DFM. ** Dr. Mahmud Mulyadi, SH. M.Hum.


(10)

Abstraksi

* Mahasiswa ** Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II

Pemberian hadiah merupakan hal yang lumrah terjadi di masyarakat sebagai bentuk solidaritas antar warga masyarakat. Hal yang awalnya dianggap lumrah ini, semakin lama semakin bergeser kearah yang memicu munculnya perbuatan koruptif jika dilakukan dilingkungan birokrasi, karena cenderung dilakukan atas dasar kepentingan dan adanya pamrih. Untuk mencegah perbuatan koruptif tersebut, pemberian hadiah kepada para pegawai negeri atau penyelenggara negara pun mulai dilarang, bahkan dianggap sebagai perbuatan korupsi yang apabila dilakukan dapat dijatuhi hukuman. Melihat pergeseran perkembangan praktik pemberian hadiah kepada para pejabat tersebut, maka diangkat skripsi dengan judul Perkembangan Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Metode penulisan dalam pembuatan skripsi ini dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif yang berasal dari sumber buku-buku kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang dibahas didalam skripsi ini dan memperoleh informasi dari data sekunder. Larangan pemberian hadiah kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebenarnya telah diatur sejak lama dalam hukum positif di Indonesia. Hanya saja pada dasarnya larangan tersebut ialah dalam bentuk suap. Dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, aturan mengenai larangan pemberian hadiah pertama sekali termuat dalam Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Namun istilah gratifikasi baru dipakai dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang terbaru yaitu, Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Dalam undang-undang ini, tidak semua pemberian yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara dapat dikategorikan sebagai gratifikasi. Untuk dapat dimasukkan sebagai suatu tindak pidana gratifikasi, maka haruslah terpenuhi unsur-unsur tertentu. Dalam hal pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi namun melaporkannya kepada KPK, maka penerima gratifikasi yang melapor tersebut akan dibebaskan dari jeratan hukum. Hal ini mengakibatkan setiap pemberian yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara harus dilaporkan tanpa memandang nilai dari gratifikasi tersebut sehingga tentu akan menyulitkan pegawai negeri atau penyelenggara negara. Untuk itu, seharusnya diberi batasan nilai terhadap gratifikasi yang perlu dilaporkan. Sehingga aturan hukum mengenai gratifikasi dapat diterapkan secara lebih efektif dan dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana ini pun dapat dilakukan dengan efisien oleh para aparat penegak hukum.

* Rizki A. Harahap

** Syafruddin Hasibuan, SH. MH. DFM. ** Dr. Mahmud Mulyadi, SH. M.Hum.


(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan manusia Indonesia

seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera,

dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk

mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera tersebut,

perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana umumnya serta tindak pidana korupsi pada

khususnya.1 Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan

masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial

masyarakat yang memiliki dampak sosial negatif, dalam bentuk tindak pidana

yang meresahkan masyarakat. Salah satu tindak pidana yang dapat dikatakan

fenomenal adalah korupsi. Tindak pidana ini tidak hanya merugikan keuangan

negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi

masyarakat.2

1

Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 3 Tahun 1971, LN. No. 19 Tahun 1971, TLN. No. 2958, Penjelasan umum.

2

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi Edisi Kedua, Jakarta : Sinar Grafika, 2012, hal 1.

Korupsi merupakan kata yang populer di masyarakat dan menjadi tema

pembicaraan sehari-hari. Korupsi sudah terjadi sejak zaman dahulu dan

merupakan suatu peristiwa universal yang dapat terjadi di seluruh dunia. Di

Indonesia, tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat.

Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus

yang terjadi maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin


(12)

Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapat perhatian yang lebih

dibandingkan dengan tindak pidana lainnya, hal ini dapat dimaklumi mengingat

dampak negatif yang ditimbulkan oleh korupsi dapat menyentuh berbagai bidang

kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius karena dapat membahayakan

stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial,

ekonomi dan politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas

karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah budaya yang menjadi

ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur.

Meningkatnya tindak pidana korupsi akan membawa bencana tidak hanya

terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa

dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis

juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi

masyarakat dan karena itu semua, maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat

digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar

biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan

secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.3

Ditengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi

masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya Menyadari kompleksnya

permasalahan korupsi serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi, yaitu dampak

dari tindak pidana korupsi ini, maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan

sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh

melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan jelas, dengan melibatkan

semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat

penegak hukum.

3

Undang-Undang Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002 LN. No. 137 Tahun 2002, TLN No. 4250, Penjelasan umum. (Selanjutnya Penulis akan menyebut dengan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK).


(13)

semakin meningkat, karena dalam kenyataan, adanya perbuatan korupsi telah

menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat

berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya

pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan

diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan

masyarakat.

Pemberantasan korupsi bukanlah hal yang baru dilakukan oleh pemerintah

Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya aturan-aturan hukum mengenai

pemberantasan tindak pidana korupsi yang telah ada sebelum undang-undang

tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang berlaku saat ini.

Diberlakukannya undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi

dimaksudkan untuk menanggulangi dan memberantas korupsi baik oleh

pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat. Pemberantasan tindak pidana

korupsi dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK

di definisikan sebagai “serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas

tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan,

penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan, dengan peran serta

masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Pemberantasan korupsi dapat dilakukan dengan berbagai cara dan langkah

pertama yang dapat dilakukan untuk memberantas korupsi ialah dengan

melakukan pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi tersebut. Dua aspek

penting dalam pencegahan korupsi4

4

Topo Santoso, Menguak Relevansi Ketentuan Gratifikasi Di Indonesia,

adalah Laporan Harta Kekayaan

Penyelenggara Negara (LHKPN) dan pelaporan gratifikasi. Masalah yang masih

2015 pukul 17:00:05 WIB.


(14)

muncul adalah rendahnya pelaporan gratifikasi dari seluruh total pegawai negeri

dan penyelenggara negara yang ada serta penegakan hukumnya belum

benar-benar diterapkan meskipun ketentuan tentang gratifikasi telah diatur di dalam

Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta diatur juga

dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, bahkan juga diperkuat

dalam beberapa kebijakan pemerintah.

Pengaturan gratifikasi merupakan hal yang baru diatur di dalam

undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Terbentuknya

peraturan tentang gratifikasi ini merupakan bentuk kesadaran bahwa gratifikasi

dapat mempunyai dampak negatif dan dapat disalahgunakan, khusunya dalam

rangka penyelenggaraan pelayanan publik. Gratifikasi diatur dalam Pasal 12B dan

Pasal 12C Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Unsur gratifikasi berbeda

dengan unsur penyuapan. Gratifikasi acapkali digambarkan sebagai pemberian

terhadap para pejabat negara (pegawai negeri atau penyelenggara negara), yang

dikhawatirkan mempengaruhi keputusan atau kebijakan yang akan diambilnya.

Pemberian sendiri sebenarnya sudah dilakukan oleh manusia sejak lama.

Di Indonesia, kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat adalah pemberian

tanda terima kasih atas jasa yang telah diberikan oleh petugas, baik dalam bentuk

barang atau bahkan uang. Dalam undang-undang tentang pemberantasan tindak

pidana korupsi yang ada di Indonesia, pemberian hadiah kepada pegawai negeri

bukanlah hal yang baru diatur, melainkan telah ada pengaturannya pertama sekali

didalam KUHP yang kemudian dimuat ke dalam Undang-Undang No. 24 Prp


(15)

Korupsi dan terus berkembang hingga Undang-Undang tentang pemberantasan

tindak pidana korupsi yang berlaku saat ini.

Masyarakat Indonesia menganggap bahwa memberi hadiah merupakan hal

yang lumrah. Meskipun dalam kebiasaan masyarakat kita yang menganut budaya

timur memberi hadiah merupakan hal yang wajar dan lumrah dilakukan, namun

hal ini dapat menjadi suatu kebiasaan yang bersifat negatif dan dapat mengarah

menjadi potensi perbuatan korupsi di kemudian hari. Misalnya, pemberian uang

atau pemberian dalam bentuk lain dianggap perlu dan harus diberikan untuk

membuat birokrasi bekerja sebagaimana mestinya. Padahal birokrasi sudah

seharusnya mampu menjalankan kinerja pelayanan publik secara berkompeten.5

Oleh karena itu, berapapun nilai gratifikasi yang diterima penyelenggara

negara atau pegawai negeri, bila pemberian itu patut diduga berkaitan dengan

jabatan/kewenangan yang dimiliki, maka sebaiknya penyelenggara negara atau

pegawai negeri tersebut segera melapor ke KPK untuk dianalisa lebih lanjut. Potensi korupsi inilah yang berusaha dicegah oleh undang-undang.

6

5

Komisi Pemberantasan Korupsi, Indonesia Bersih Uang Pelicin, 2014,

Hal

ini dikarenakan gratifikasi dapat diproses secara hukum apabila melibatkan

pegawai negeri atau penyelenggara negara, karena berkaitan dengan jabatannya

dan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya. Setelah menerima laporan,

KPK akan melakukan serangkaian kegiatan pemeriksaan untuk menentukan

apakah pemberian tersebut dapat dimiliki oleh si penerima gratifikasi atau tidak.

Dan apabila si penerima gratifikasi tidak melaporkan pemberian yang diterimanya

tersebut, maka si penerima dapat dikategorikan telah melakukan tindak pidana

korupsi, yaitu suap.

didownload pada Rabu, ‎10 Desember ‎2014 pukul‏ 08:28:18 WIB.

6

Komisi Pemberantasan Korupsi, “Tanya-Jawab Gratifikasi

Selasa, 4 November 2014, pukul 16:25:33 WIB.


(16)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka disusun

pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu:

1. Bagaimana perkembangan gratifikasi sebagai tindak pidana korupsi

menurut Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi di Indonesia?

2. Bagaimana penerapan Pasal 12B dan Pasal 12C Undang-Undang No.

31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

3. Bagaimana pengaturan gratifikasi di beberapa negara berdasarkan

peraturan tentang pemberantasan korupsi yang berlaku?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, maka tujuan yang

hendak dicapai di dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan gratifikasi sebagai tindak

pidana korupsi menurut Undang-Undang tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.

2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan Pasal 12B dan Pasal 12C

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20


(17)

3. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan mengenai gratifikasi di

negara lain berdasarkan peraturan tentang pemberantasan tindak

pidana korupsi yang berlaku.

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penelitian ini terbagi atas dua yaitu secara teoritis dan

secara praktis, yaitu:

1. Secara Teoritis

Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi, kontribusi

pemikiran dan menambah pengetahuan pembaca dalam bidang

pengetahuan ilmu hukum pidana pada umunya, dan mengenai

gratifikasi sebagai tindak pidana korupsi sebagai khususnya. Sehingga

diharapkan skripsi ini dapat memperkaya perbendaharaan dan menjadi

kajian ilmiah bagi para mahasiswa maupun praktisi hukum dalam

perkembangan hukum di Indonesia.

2. Secara Praktis

a. Sebagai pedoman dan masukan bagi penyelenggara negara atau

pegawai negeri atau keluarganya dalam memahami gratifikasi

sehingga diharapkan dapat mengambil tindakan sesegara mungkin

untuk melapor apabila mengalaminya sehingga dapat mendukung

pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

b. Sebagai informasi bagi masyarakat terhadap akibat keberlakuan

Pasal 12B dan Pasal 12C Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan


(18)

D. Keaslian Penulisan

Karya ilmiah ini disusun berdasarkan literatur yang diperoleh dari

perpustakaan dan dari media massa baik media cetak maupun elektronik.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari penelusuran pada Arsip Perpustakaan

Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara/Pusat

Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

belum terdapat judul yang sama dengan skripsi yang diangkat pada judul skripsi

ini.

Judul-judul yang ada tentang korupsi tidak ada yang menyentuh materi

pokok dalam bahasan skripsi ini yaitu tentang “Perkembangan Gratifikasi sebagai

Tindak Pidana Korupsi menurut Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi di Indonesia”. Oleh sebab itu skripsi ini dapat

dipertanggungjawabkan sesuai dengan aturan-aturan ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

Pada penelitian ini dalam membahas permasalahannya akan diberikan

batasan-batasan pengertian atau istilah. Pembatasan tersebut dilakukan untuk

menghindari terjadinya multi tafsir maupun kerancuan defenisi dan diharapkan

akan dapat membantu dalam menjawab pokok permasalahan usulan penelitian ini.


(19)

1. Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana a. Pengertian tindak pidana

Pembentuk undang-undang menggunakan perkataan strafbaarfeit untuk

menyebutkan istilah tindak pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP). Dalam bahasa Belanda, strafbaarfeit terdiri atas dua unsur

pembentuk kata yaitu, “strafbaar” dan “feit”. Istilah “feit” dalam bahasa Belanda

diartikan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan”. Sedangkan “strafbaar

memilik arti “dapat dihukum”. Secara harfiah, strafbaarfeit berarti sebagian

kenyataan yang dapat dihukum.7

Menurut Simons, strafbaarfeit itu adalah tindakan melanggar hukum yang

telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang

dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang

telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.8 Alasannya ialah: 9

a. Untuk adanya suatu strafbaarfeit disyaratkan bahwa di situ terdapat

suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh

undang-undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban seperti

itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum;

b. Agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum maka tindakan itu harus

memenuhi unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan

undang-undang;

7

P. A. F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997, hal. 181, dikutip seperlunya. Menurut Lamintang, pengertian tindak pidana tersebut tidak tepat, karena kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakannya..

8

Ibid, hal. 185.

9


(20)

c. Setiap strafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap suatu larangan atau

kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan

suatu tindakan melawan hukum atau onrechtmatige handeling.

Adapun menurut Utrecht, strafbaarfeit diterjemahkan dengan istilah

peristiwa pidana yang sering juga disebut delik, karena peristiwa itu suatu

perbuatan atau doen-positif atau suatu kelalaian atau nalaten-negatif, maupun

akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu).

Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa hukum, yaitu peristiwa

kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum. Tindakan semua

unsur yang disinggung oleh suatu ketentuan pidana dijadikan unsur yang mutlak

dari peristiwa pidana. Hanya sebagian yang dapat dijadikan unsur-unsur mutlak

dari peristiwa pidana yaitu, perilaku manusia yang bertentangan dengan hukum

(unsur melawan hukum).10 Syarat-syarat pokok dari suatu delik itu adalah:11

a. Dipenuhinya semua unsur dari delik seperti yang terdapat di dalam

rumusan delik;

b. Dapat dipertanggungjawabkannya si pelaku atas perbuatannya;

c. Tindakan dari pelaku tersebut haruslah dilakukan dengan sengaja atau

pun tidak dengan sengaja;

d. Pelaku tersebut dapat dihukum.

10

Evi Hartanti, op cit, hal 6.

11


(21)

b. Unsur-unsur tindak pidana

Setiap tindak pidana yang terdapat didalam KUHP pada umumnya dapat

dijabarkan kedalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua,

yaitu:12

(1) Unsur subjektif

Yang dimaksud dengan unsur subjektif ialah unsur-unsur yang melekat

pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, termasuk ke

dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Adapun

unsur-unsur subjektif itu adalah:

a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan;

b. Maksud pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud

dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

c. Berbagai macam maksud seperti yang terdapat dalam kejahatan

misalnya pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.

d. Merencanakan terlebih dahulu, seperti yang terdapat dalam kejahatan

menurut Pasal 340 KUHP;

e. Perasaan takut seperti yang terdapat dalam rumusan tindak pidana

menurut Pasal 308 KUHP.

(2) Unsur objektif

Yang dimaksud dengan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada

hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana

tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan. Adapun unsur-unsur objektif dari

suatu tindak pidana itu ialah:13

12

Ibid, hal. 193.

13


(22)

a. Sifat melawan hukum;

b. Kualitas dari si pelaku, misalnya seorang pegawai negeri yang

melakukan kejahatan di dalam Pasal 415 KUHP;

c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab

dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

2. Tinjauan umum tentang Korupsi

Secara etimologi, korupsi berasal dari bahasa latin yaitu, corruptio atau

corruptus yang berarti merusak, tidak jujur, dapat disuap. Korupsi banyak

dikaitkan dengan ketidakjujuran seseorang di bidang keuangan. Banyak istilah

yang digunakan oleh negara-negara dalam memaknai kata korupsi, misalnya “gin

moung” (Muangthai), yang berarti “makan bangsa”; “tanwu” (Cina), yang berarti

“keserakahan bernoda”; “oshoku” (Jepang), yang berarti “kerja kotor”.14

Selanjutnya, istilah korupsi muncul dalam beberapa bahasa di Eropa seperti

bahasa Inggris yaitu corruption dan corrupt, bahasa Perancis dengan kata

corruption, dan bahasa Belanda menggunakan kata corruptie yang selanjutnya

menjadi kata “korupsi” dalam bahasa Indonesia.15

Secara harafiah, dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya arti

korupsi memiliki arti yang sangat luas, yaitu:

Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI), korupsi bermakna penyelewengan atau penggelapan (uang

negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.

16

1. Korupsi merupakan penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau

perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.

14

Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No. 20 Tahun 2001), Bandung : CV. Mandar Maju, 2009, hal 7.

15

Juni Sjafrien Jahja, Say No To Korupsi! - Mengenal, Mencegah, & Memberantas Korupsi di Indonesia, Jakarta : Visimedia, 2012, hal 8.

16


(23)

2. Korupsi : busuk; rusak; suka memakai barang atau uang yang

dipercayakan kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk

kepentingan pribadi).

a. Pengertian tindak pidana korupsi menurut hukum positif

Secara garis besar perbuatan terlarang dalam Undang-Undang No.31

Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi terkualifikasi dengan sebutan tindak pidana korupsi dan

tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Bentuk pokok dan

yang paling familiar dari tindak pidana korupsi adalah apa yang diatur dalam

pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.17

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 30 Tahun

2002 tentang KPK tersebut, maka dapat dilihat bahwa di dalam Undang-Undang Pengertian korupsi sebenarnya telah dimuat secara tegas di dalam

Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sebagian besar pengertian korupsi di dalam undang-undang tersebut dirujuk dari

ketentuan yang terdapat di dalam KUHP. Di dalam Pasal 1 angka 1

Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK disebutkan bahwa, “Tindak pidana

korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi”.

17

Guse Prayudi, Tindak Pidana Korupsi Dipandang dalam Berbagai Aspek, Yogyakarta : Pustaka Pena, 2010, hal 6.


(24)

No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, defenisi korupsi telah dijelaskan dalam 13

Pasal. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, pengertian korupsi dirumuskan ke dalam

tiga puluh bentuk atau jenis tindak pidana korupsi. Adapun ketigapuluh

jenis/bentuk tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan

menjadi tujuh, yaitu: i) kerugian keuangan negara; ii) suap - menyuap; iii)

penggelapan dalam jabatan; iv) pemerasan; v) perbuatan curang; vi) benturan

kepentingan dalam pengadaan; dan vii) gratifikasi.18

Selain bentuk atau jenis tindak pidana korupsi yang disebutkan di atas

masih terdapat tindak pidana lain yang berkaitan dengan tidak pidana korupsi

yang juga tertuang di dalam undang-undang tersebut, yaitu: 19

1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi;

2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar;

3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka;

4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi

keterangan palsu;

5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberi keterangan atau

memberi keterangan palsu;

6. Saksi yang membuka identitas pelapor.

b. Subjek atau pelaku tindak pidana korupsi

Pada dasarnya menurut ketentuan KUHP yang merupakan subjek tindak

pidana adalah manusia. Namun selanjutnya asas umum “hanya manusia sebagai

18

Komisi Pemberantasan Korupsi, Buku Saku Memahami Gratifikasi (Buku saku), 2014,

hal iii.‎14 November ‎2014 pukul‏ 16:36:18 WIB.

19

Komisi Pemberantasan Korupsi,, Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi


(25)

subjek tindak pidana” mengalami perkembangan dalam beberapa hukum positif di

Indonesia. Demikian pula halnya dengan tindak pidana korupsi, perkembangan

kualifikasi pelaku juga teradopsi dalam Undang- Undang No.31 Tahun 1999 jo.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang menganut bahwa subjek atau pelaku tindak pidana adalah setiap

orang yakni perseorangan atau termasuk korporasi.20

(1) Setiap orang dan bentuk khususnya

Dalam rumusan tindak pidana korupsi Undang- Undang No. 31 Tahun

1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi dikenal bentuk khusus dari orang perseorangan dalam sebutan

sebagai “pegawai negeri” dan “pegawai negeri atau penyelenggara negara”.21

a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang

Kepegawaian;

Namun dalam undang-undang tersebut hanya kualifikasi pegawai negeri yang

diberikan pengertiannya, yakni menurut Pasal 1 angka 2, pegawai negeri meliputi:

b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP;

c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau

daerah;

d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang

menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau

e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang

mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

Sedangkan kualifikasi penyelenggara negara tidak diatur dalam Undang-

Undang No.31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang

20

Guse Prayudi, op cit, hal 13.

21


(26)

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hanya saja dalam penjelasan Pasal 5 ayat

(2) undang-undang tersebut disebutkan bahwa “yang dimaksud dengan

penyelenggara negara dalam Pasal ini adalah penyelenggara sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan

Nepotisme. Pengertian “penyelenggara negara” tersebut juga berlaku pula untuk

pasal-pasal berikutnya dalam undang-undang ini”.

Dalam pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, “Penyelenggara

Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau

yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan

penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku”. Lebih lanjut, dalam penjelasan Pasal 1 angka (2) UU No. 28 tahun

1999 diuraikan jabatan-jabatan lain yang termasuk kualifikasi Penyelenggara

Negara, yaitu meliputi:

a. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;

b. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;

c. Menteri;

d. Gubernur;

e. Hakim;

f. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku; dan

g. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan

penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan


(27)

(2) Korporasi

Tindak pidana korupsi selain bisa dilakukan oleh orang perseorangan bisa

juga dilakukan oleh korporasi. Menurut Utrech, korporasi adalah suatu gabungan

orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu subjek

hukum tersendiri sebagai suatu personifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang

beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban tersendiri yang terpisah dari hak

dan kewajiban anggota masing-masing.

Sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.31 Tahun 1999

jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi “korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi

baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”. Berdasarkan

ketentuan Pasal 1 angka 1 tersebut, korporasi terdiri dari dua kelompok subjek,

yaitu:22

1. Kumpulan orang yang terorganisasi baik merupakan badan hukum

maupun bukan badan hukum. Seperti, partai politik.

2. Kekayaan yang terorganisir baik merupakan badan hukum maupun

bukan badan hukum. Seperti, Yayasan dan koperasi.

Selanjutnya dalam Pasal 20 ayat (1) undang-undang tersebut dikatakan

bahwa jika tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi

maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi maupun

pengurusnya. Yang mana dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang

dimaksud dengan “pengurus” adalah organ korporasi yang menjalankan

kepengurusan korporasi yang bersangkutan. Sesuai dengan anggaran dasar,

termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut

22


(28)

memutuskan kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak

pidana korupsi.

c. Bentuk sanksi dalam tindak pidana korupsi

Pada pokoknya jenis pidana yang diancamkan terhadap pelaku tindak

pidana korupsi yang termuat dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo.

Undang-Undang 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

adalah:23

1. Pidana pokok, dalam bentuk:

a. Pidana mati;

b. Pidana penjara;

c. Pidana denda

2. Pidana tambahan, dalam bentuk;

a. Pidana tambahan dalam KUHP (Pasal 10 huruf b KUHP)

a) Pencabutan hak-hak tertentu;

b) Perampasan barang-barang tertentu;

c) Pengumuman putusan Hakim.

b. Pidana tambahan dalam Pasal 18 Undang-Undang No.31 Tahun

1999 jo. Undang-Undang 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi:

a) Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak

berwujud atau barang tidak bergerak;

23


(29)

b) Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya

sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak

pidana korupsi;

c) Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu

paling lama 1 (satu) tahun;

d) Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau

penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang

telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

c. Pengertian Gratifikasi

Dalam Kamus Hukum disebutkan bahwa gratifikasi dalam bahasa Belanda

ialah, “Gratificatie” yang artinya hadiah uang; pemberian uang. Sedangkan dalam

bahasa Inggris, “Gratification” yang artinya kepuasan; kegembiraan atau

Gratify” yang artinya memberi kebahagian, memuaskan. Black’s Law

Dictionary24

Dalam terminologi hukum, gratifikasi adalah setiap pemberian atau hadiah

dalam arti luas meliputi pemberian uang, barang, tiket perjalanan, serba-serbi

fasilitas lainnya yang diberikan karena ada hubungannya dengan jabatan,

kekuasaan, dan kewenangan yang dimiliki seseorang untuk melakukan atau tidak memberikan pengertian gratifikasi sebagai “a voluntarily given

reward or recompense for a service or benefit” yang dapat diartikan, sebagai

sebuah pemberian yang diberikan atas diperolehnya suatu bantuan atau

keuntungan. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, gratifikasi

diartikan sebagai uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan.

24

Kopertis, “Gratifikasi”,


(30)

melakukan suatu perbuatan.25

Gratifikasi adalah suatu perbuatan yang berpeluang menimbulkan

penyalahgunaan dan penyelewengan kekuasaan karena ada iming-iming

pemberian. Gratifikasi dapat diartikan positif atau negatif. Gratifikasi positif

adalah pemberian hadiah dilakukan dengan niat yang tulus dari seseorang kepada

orang lain tanpa pamrih artinya pemberian dalam bentuk "tanda kasih" tanpa

mengharapkan balasan apapun. Gratifikasi negatif adalah pemberian hadiah

dilakukan dengan tujuan pamrih, pemberian jenis ini yang telah membudaya

dikalangan birokrat maupun pengusaha karena adanya interaksi kepentingan.

Dengan demikian, secara perspektif gratifikasi tidak selalu mempunyai arti jelek

namun harus dilihat dari kepentingan gratifikasi. Akan tetapi dalam praktik

seseorang memberikan sesuatu tidak mungkin dapat dihindari tanpa adanya

pamrih.

Hal ini sesuai dengan isi penjelasan pasal 12B ayat

(1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan bahwa “yang

dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas,

yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa

bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan

cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Gartifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri

maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik

atau tanpa sarana elektronik”.

26

25

Agustina Wati Gubali, Analisis Pengaturan Gratifikasi Menurut Undang-Undang Di

Indonesia,

didownload Minggu, 15 Februari 2015, pukul 08:32:31 WIB.

26


(31)

Secara umum, gratifikasi terbagi atas dua, yaitu gratifikasi legal dan

gratifikasi illegal. Gratifikasi legal adalah yang apabila gratifikasi itu diterima

oleh penyelenggara negara atau pegawai negeri, selama pegawai negeri atau

penyelenggara negara tersebut sebagai penerima gratifikasi memenuhi unsur

sebagaimana yang terkandung dalam Pasal 12C Undang-Undang No. 31 Tahun

1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi yaitu, melaporkan gratifikasi tersebut kepada KPK . Sedangkan

gratifikasi illegal ialah sebagaimana gratifikasi yang terkandung dalam pasal 12 B

ayat (1) undang-undang tersebut, yaitu : “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri

atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan

dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya”.

Jika dilihat dari rumusan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

suatu gratifikasi atau pemberian hadiah berubah menjadi suatu perbuatan pidana

suap khususnya pada seorang penyelenggara negara atau pegawai negeri adalah

pada saat penyelenggara negara atau pegawai negeri tersebut melakukan tindakan

menerima suatu gratifikasi atau pemberian hadiah dari pihak manapun sepanjang

memenuhi beberapa unsur berikut:

1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara;

2. Menerima gratifikasi;

3. Berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajibannya

atau tugasnya;

4. Penerimaan gratifikasi tersebut tidak dilaporkan kepada KPK dalam

jangka waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi. 27

27


(32)

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan metode atau jenis penelitian

kepustakaan (library research) yang bersifat yuridis normatif, artinya mengacu

kepada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan,

yurisprudensi serta kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat.28

2. Sumber Data

Penelitian

hukum normatif disebut juga dengan penelitian hukum doktrinal karena penelitian

ini dilakukan atau ditujukan hanya kepada peraturan-peraturan yang tertulis dan

bahan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian

kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak

dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada diperpustakaan.

Penelitian kepustakaan demikian dapat pula dikatakan sebagai lawan dari

penelitian empiris (penelitian lapangan).

Metode menjawab permasalahan dalam skripsi ini digunakan penelitian

hukum normatif . Penelitian hukum normatif yang dilakukan pada penulisan

skripsi dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan hukum yang berkaitan tindak

pidana korupsi umumnya dan gratifikasi khususnya.

Jenis data yang diperoleh adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh

dari bahan pustaka. Data sekunder ini mengacu pada 3 bahan:29

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat sehubungan

dengan masalah. Bahan hukum primer ini terdiri dari seluruh peraturan

perundang-undangan dan ketentuan yang mengatur masalah

28

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di dalam Penelitian Hukum, Jakarta : 1979, hal 18.

29


(33)

perkembangan gratifikasi sebagai tindak pidana korupsi menurut

undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di

Indonesia.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan

mengenai bahan hukum primer. Dalam hal ini, bahan hukum sekunder

yang diperoleh dari buku, jurnal, artikel, dokumen yang diperoleh dari

internet, serta hasil-hasil penelitian dan tulisan-tulisan dari kalangan

ahli hukum.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Misalnya,

ensiklopedia dan kamus hukum.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode penelitian yang digunakan dalam mengumpulkan data dan bahan

bagi penelitian ini adalah bersifat yuridis normatif. Oleh karena itu, dengan

perkataan lain penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan dan

peraturan lainnya yang ada kaitannya dengan pokok permasalahan dalam

penelitian ini. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam memperoleh data

sekunder adalah dengan penggunaan studi dokumen atau bahan pustaka, serta

media elektronik (internet).

4. Analisis Data

Adapun metode anailisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

adalah metode kualitatif. Analisis kualitatif lebih menekankan kepada kebenaran


(34)

disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk

mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.

Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan dengan melakukan

penelitian yang bersifat deskriptif analitis yaitu dengan memberikan penjelasan

mengenai tindak pidana korupsi, gratifikasi sebagai tindak pidana korupsi, dan

bagaimana penerapan pasal yang mengatur tentang gratifikasi dalam

undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang berlaku saat ini.

G. Sistematika Penulisan

Secara garis besar, skripsi ini dibagi menjadi lima Bab dengan beberapa

sub-bab, dengan uraian singkat sistem penulisan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab pertama ini akan diuraikan mengenai latar

belakang permasalahan, pokok permasalahan, tujuan dan

manfaat penulisan, keaslian penelitian, tinjauan

kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : PERKEMBANGAN GRATIFIKASI SEBAGAI TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG- UNDANG TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai perkembangan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang berlaku di Indonesia, perkembangan pengaturan pemberian hadiah menurut undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, alasan mengenai gratifikasi diatur dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana


(35)

korupsi, serta apa perbedaan antara tindak pidana suap dengan gratifikasi.

BAB III : PENERAPAN PASAL 12B DAN PASAL 12C UNDANG -UNDANG NO. 31 TAHUN 1999 Jo.

UNDANG-UNDANG No. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Dalam bab ini Penulis akan menguraikan mengenai akibat

keberlakuan Pasal 12B dan Pasal 12C Undang-Undang 31

Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bagaimana

proses penegakan hukum yang dilakukan untuk menangani

kasus gratifikasi serta contoh-contoh penerapan dari

pasal-pasal tersebut.

BAB IV : PENGATURAN GRATIFIKASI DI BEBERAPA NEGARA BERDASARKAN PERATURAN TENTANG PEMBERANTASAN KORUPSI YANG BERLAKU

Bab ini membahas mengenai pengaturan gratifikasi di

beberapa negara, yaitu India, Malaysia dan Singapura

berdasarkan peraturan mengenai pemberantasan tindak

pidana korupsi yang berlaku di masing-masing negara

tersebut.

BAB V : PENUTUP

Bab ini adalah penutup dari penulisan penelitian yang

menguraikan secara singkat mengenai kesimpulan dari

keseluruhan penulisan serta saran yang Penulis anggap


(36)

pembaca dalam mesmahami topik yang telah dibahas dalam


(37)

BAB II

PERKEMBANGAN GRATIFIKASI MENURUT UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

A. Perkembangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Di Indonesia, langkah-langkah pembentukan hukum positif guna

menghadapi masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan

sejarah dan melalui masa perubahan peraturan perundang-undangan.

peraturan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi silih berganti.

Peraturan-peraturan yang baru ditujukan untuk memperbaiki dan menambah Peraturan-peraturan yang

terdahulu. Namun demikian, tindak pidana korupsi dalam segala bentuknya tetap

saja masih tidak bisa dihindari. Adapun undang-undang mengenai pemberantasan

tindak pidana korupsi yang pernah diberlakukan di Indonesia ialah

1. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957 tanggal 9 April 1957

Berdasarkan peraturan inilah istilah korupsi sebagai istilah yuridis untuk

pertama kali digunakan. Batasan mengenai pengertian korupsi menurut peraturan

ini ialah “Perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian

negara”. Adapun rumusan korupsi menurut peraturan ini ialah:30

1. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga baik untuk

kepentingan sendiri, kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan

30


(38)

suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian

keuangan atau perekonomian negara.

2. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima

gaji atau upah dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan

negara atau daerah, yang dengan mempergunakan kesempatan atau

kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan

langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan atau

material baginya.

2. Peraturan pemberantasan korupsi penguasa perang pusat (Angkatan Darat dan Laut)

Sebelum tahun 1960, yakni sebelum diundangkannya Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan,

Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, telah ada peraturan

pemberantasan korupsi yang diberlakukan yaitu, Peraturan Penguasa Pusat Kepala

Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 No. Prt/Peperpu/013/1958 dan

Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.I./I/7

tertanggal 17 April 1958.31

Dalam konsiderans peraturan-peraturan tersebut, khususnya pada butir a

disebutkan, “Bahwa untuk perkara-perkara pidana yang menyangkut keuangan

negara atau daerah yang mempergunakan modal dan atau

kelonggaran-kelonggaran lainnya dari masyarakat misalnya bank, koperasi, wakaf, dan

lain-lain atau yang bersangkutan dengan kedudukan si pembuat pidana, perlu diadakan

31


(39)

tambahan beberapa aturan pidana pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan yang

dapat memberantas perbuatan-perbuatan yang disebut korupsi”.32

Dari pernyataan tersebut dapatlah ditarik kesimpulan bahwa, pembuat

peraturan masih berusaha memperbaiki dan menambah peraturan yang terdahulu

agar lebih efektif dalam memberantas korupsi. Kemudian yang menjadi fokus dari

peraturan ini adalah bentuk khusus dari perbuatan korupsi, yaitu yang menyangkut

keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal

dan kelonggaran yang lain dari masyarakat. Selain itu juga dapat diambil

kesimpulan bahwa KUHP saja tidaklah cukup untuk menampung segala masalah

yang timbul berhubung dengan perbuatan yang merugikan keuangan negara.33

Adapun rumusan korupsi dalam peraturan-peraturan tersebut

dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu:34

1. Perbuatan korupsi pidana, yaitu:

a. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan sesuatu

kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang

lain atau sesuatu badan yang secara langsung atau tidak langsung

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara atau daerah

dan badan hukum lain, yang mempergunakan modal atau

kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat.

b. Perbuatan dengan atau karena melakukan sesuatu kejahatan atau

pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

badan, serta yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau

kedudukan.

32

Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia - Masalah dan Pemecahannya, Jakarta : Gramedia Pustaka, 1991, hal. 36.

33

Ibid, hal. 37.

34


(40)

c. Kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam pasal 209, 210, 418,

419, dan 420 KUHP.

2. Perbuatan korupsi lainnya, yaitu:

a. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan

perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain

atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung

merugikan keuangan negara atau daerah atau merugikan keuangan

suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau

daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan

kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat.

b. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan

perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain

atau suatu badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan

jabatan dan kedudukan.

Dalam perbuatan korupsi lainnya, unsur perbuatan melawan hukum

dimaknai dengan perbuatan tercela sebagaimana onrechtmatige daad yang

tercantum dalam pasal 1365 KUHPerdata.35

3. Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi

Peraturan ini ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 6 Juni 1960.

Berlakunya undang-undang ini dengan tegas mencabut peraturan-peraturan

tentang korupsi yang berlaku sebelumnya yang bersifat sementara. Sejak saat itu

pula, tidak ada lagi pembagian rumusan korupsi yang dikenal hanya “tindak

35


(41)

pidana korupsi”, yang pengertiannya sama dengan “perbuatan korupsi pidana”.36

Hal ini dikarenakan para pembuat undang-undang saat itu memandang tidak perlu

lagi ada peraturan tentang korupsi yang bukan pidana, karena hal-hal tersebut

membuka kemungkinan bagi pemerintah untuk menggugat secara perdata melalui

Pasal 1365 KUHPerdata.37

Hal yang baru dalam undang-undang ini ialah ditariknya beberapa pasal

dari KUHP yang dijadikan sebagai tindak pidana korupsi, yang diancam dengan

hukuman yang lebih berat. Selain itu, hal-hal baru lainnya yang diatur dalam

undang-undang ini yang belum ada dalam peraturan sebelumnya ialah:38

1. Delik percobaan dan delik pemufakatan;

2. Kerugian keuangan negara atau perekonomian negara;

3. Ada delik pemberian hadiah atau janji kepada pegawai negeri; dan

4. Rumusan pegawai negeri diperluas.

4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-undang ini mulai diberlakukan pada tanggal 29 Maret 1971.

Dalam konsiderans dinyatakan bahwa undang-undang ini diciptakan dengan

pertimbangan:

a. Perbuatan-perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan atau

perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional.

b. Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan,

Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi berhubung

dengan perkembangan masyarakat kurang mencukupi untuk dapat

36

K. Wantjik Saleh, op cit, hal. 25.

37

Andi Hamzah, op cit, hal. 48.

38


(42)

mencapai hasil yang diharapkan dan oleh karenanya undang-undang

tersebut perlu diganti.

Adapun hal-hal baru yang diatur dalam undang-undang ini ialah, perluasan

rumusan tindak pidana korupsi, perluasan pengertian pegawai negeri, dan adanya

ketentuan-ketentuan untuk mempermudah pembuktian dan mempercepat prosedur

(penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi) dan Hukum

Acara yang berlaku. Delik korupsi dalam undang-undang ini dirumuskan dalam

enam kelompok, yaitu:39

1. Tindak pidana korupsi dirumuskan normatif;

2. Tindak pidana korupsi dalam KUHP yang diangkat menjadi delik

korupsi;

3. Tindak pidana korupsi dilakukan subjek non-pegawai negeri;

4. Tindak pidana korupsi karena tidak melapor;

5. Tindak pidana korupsi percobaan; dan

6. Tindak pidana korupsi pemufakatan.

5. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Konsiderans undang-undang ini menyatakan bahwa, tindak pidana korupsi

sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat

pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan

masyarakat yang adil dan makmur. Selain itu, akibat tindak pidana korupsi yang

terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,

juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang

39


(43)

menuntut efisiensi yang tinggi. Atas pertimbangan itulah kehadiran

Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan

perkembangan kebutuhan hukum dan masyarakat, sehingga harus diganti dengan

undang-undang yang baru agar lebih efektif dalam mencegah dan memberantas

tindak pidana korupsi.

Adapun hal-hal baru yang diatur dalam peraturan ini ialah:40

1. Diakuinya korporasi sebagai subjek hukum dalam tindak pidana

korupsi.

2. Sifat melawan hukum diperluas maknanya, tidak hanya melawan

hukum formil tapi juga melawan hukum materil.

3. Adanya ketentuan mengenai ancaman pidana minimum khusus.

4. Adanya ancaman hukuman pidana mati atau pidana seumur hidup.

5. Adanya ancaman hukuman pidana kumulatif antara pidana penjara dan

pidana denda.

6. Adanya pengaturan tentang peradilan in absentia.

7. Memuat pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi.

8. Adanya pengaturan mengenai peran serta masyarakat untuk

membernatas tindak pidana korupsi dalam bentuk hak mencari,

memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan tindak pidana

korupsi dan memberikan penghargaan kepada mereka yang telah

berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau

pengungkapan tindak pidana korupsi.

40

Mahrus Ali, Asas, Teori & Praktek Hukum Pidana Korupsi, Yogyakarta : UII Press, 2013, hal. 26, dikutip seperlunya.


(44)

6. Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pada dasarnya undang-undang ini merupakan perubahan atau penambahan

terhadap beberapa ketentuan dalam undang-undang yang sebelumnya. Terdapat

dua alasan mengapa undang-undang sebelumnya harus dirubah sebagaimana yang

termuat dalam konsiderans, yaitu:

1. Tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak

hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan

pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara

luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai

kejahatan luar biasa.

2. Jaminan kepastian hukum, menghindari keragaman penafisran hukum

dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi

masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak

pidana korupsi merupakan hal penting untuk diwujudkan.

Adapun beberapa perubahan penting dan mendasar dalam undang-undang

ini ialah:41

1. Terjadi perubahan redaksi penjelasan Pasal 2 ayat (2) mengenai

keadaan tertentu.

2. Perluasan alat bukti.

3. Pada rumusan Pasal 2, Pasal 5 sampai Pasal 12 Undang-Undang ini,

rumusan pasal-pasal tersebut tidak mengacu pada pasal-pasal dalam

41


(45)

KUHP tetapi langsung menyantumkan unsur-unsur yang terdapat

dalam KUHP.

4. Penghapusan dan menyatakan tidak berlaku Pasal 209, 210, 387, 388,

415, 416, 417, 418, 420, 423, 425, dan Pasal 435 KUHP pada saat

mulai berlakunya undang-undang ini.

5. Adanya delik baru mengenai pemberian hadiah, yaitu gratifikasi.

6. Memberikan kewenangan untuk melaksanakan perampasan harta

benda yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana yang

dinyatakan dalam pasal 38 ayat (1).

B. Perkembangan Pengaturan Pemberian Hadiah Menurut Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Mengenai praktik pemberian hadiah kepada pejabat publik, dari awal di

Indonesia sudah ada aturan mengenai larangan terhadap penerimaan hadiah atau

bentuk pemberian lainnya meskipun tidak tegas menyebut gratifikasi. Pada

mulanya aturan tersebut terdapat di dalam KUHP yang kemudian aturan-aturan

tersebut diadopsi ke dalam undang-undang tentang pemberantasan korupsi di

Indonesia khususnya pada PERPU No 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan,

Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Sesuai dengan

perkembangan undang-undang mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi di


(46)

1. Pemberian hadiah menurut Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi

Pengaturan mengenai pemberian hadiah dalam peraturan ini

keseluruhannya diadopsi dari KUHP. Dalam undang-undang ini, pemberian

hadiah kepada pejabat publik (pegawai negeri/penyelenggara negara) diatur dalam

Pasal 1 tentang hal-hal yang termasuk tindak pidana korupsi. Secara spesifik, pada

Pasal 1 huruf c lah diatur tentang pasal-pasal yang diadopsi dari KUHP tersebut,

yang berbunyi : “kejahatan-kejahatan tercantum dalam Pasal 17 sampai Pasal 21

peraturan ini dan dalam Pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425

dan 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 huruf c tersebut, pasal-pasal yang mengatur

tentang pemberian hadiah, khususnya kepada pegawai negeri ialah: Pasal 209,

Pasal 418 dan Pasal 419 KUHP, serta Pasal 17 Undang-Undang No. 24 Prp Tahun

1960 tersebut. Namun perlu diketahui bahwa, pemberian hadiah yang diatur disini

termasuk kedalam kategori suap.

a. Pasal 209 KUHP

Pasal 209 ke-1:

“Barangsiapa memberi hadiah atau janji kepada kepada seorang pegawai

negeri dengan maksud hendak membujuk dia supaya berbuat sesuatu

dalam jabatannya atau mengalpakan sesuatu yang bertentangan dengan

kewajiban-nya.”


(47)

“Barangsiapa memberi hadiah kepada seorang pegawai negeri karena

pegawai negeri itu dalam jabatannya sudah mengalpakan sesuatu yang

berlawanan dengan kewajibannya.”

Yang diancam dalam Pasal ini ialah perbuatan memberi hadiah atau

perjanjian kepada seorang pegawai negeri itu supaya berbuat sesuatu atau

mengalpakan sesuatu yang berlawanan dengan kewajibannya atau pegawai negeri

yang sudah mengalpakan sesuatu yang berlawanan dengan kewajibannya.42

Pemberian hadiah menurut pasal ini dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:43

1. Sebelum si pegawai negeri melakukan apa yang dikehendaki oleh

orang yang memberi hadiah;

2. Setelah si pegawai negeri melakukan apa yang dikehendaki oleh orang

yang memberi hadiah.

Adapun unsur terpenting dari pasal ini adalah:44

1. Bahwa pemberi harus mengetahui bahwa ia berhadapan dengan

pegawai negeri.

2. Memakai alat yang berupa hadiah atau janji.

3. Maksud pemberian hadiah atau janji itu harus membujuk supaya

pegawai negeri itu berbuat atau mengalpakan sesuatu yang

berhubungan dengan kewajibannya

Menurut Hoge Raad pada tanggal 24 November 1890, pasal ini dapat juga

diperlakukan seandainya hadiah itu tidak diterima. Hakim Mahkamah Agung

dalam pertimbangannya yang termuat dalam Putusan Mahkamah Agung RI

tanggal 22 Juni 1956 Nomor 145 L/Kr/1955 menyatakan : “Pasal 209 KUHP tidak

42

R. Sugandhi, KUHP Dan Penjelasannya, Surabaya : Usaha Nasional, 1981, hal. 228.

43

M. Hamdan, Tindak Pidana Suap & Money Politics, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2005, hal. 51.

44


(48)

mensyaratkan bahwa pemberian itu harus diterima dan maksud dari Pasal 209

KUHP itu ialah menetapkan sebagai suatu kejahatan tersendiri, suatu percobaan

yang dapat dihukum untuk menyuap.45 Jadi tidak menjadi syarat apakah “sesuatu”

tersebut diterima atau ditolak oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Disamping itu juga tidak disyaratkan bahwa penerimaan “sesuatu” tersebut pada

saat pegawai negeri atau penyelenggara negara sedang melakukan tugas jabatan

atau dinasnya”.46

b. Pasal 418 KUHP

“Pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatan itu, …”

Yang diancam hukuman menurut Pasal ini ialah pegawai negeri yang

menerima hadiah atau janji, sedangkan ia tahu atau patut menduga bahwa apa

yang dihadiahkan atau dijanjikan itu berhubungan dengan kekuasaan atau hak

karena jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang menghadiahkan atau

menjanjikan sesuatu itu ada hubungannya dengan jabatan pegawai negeri

tersebut.47

c. Pasal 419 KUHP

Pasal 419 ke-1 :

“Yang menerima hadiah atau kesanggupan padahal diketahuinya

bahwa itu diberikan untuk menggerakkan dia supaya melakukan

45

Afid Burhanuddin, “Delik Korupsi Dalam Undang-Undang”,

46

Komisi Pemberantasan Korupsi, Indonesia Bersih Uang Pelicin, op cit.

47


(49)

atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan

dengan kewajibannya.”

Pasal 419 ke-2 :

“Yang menerima hadiah padahal diketahui bahwa itu diberikan

sebagai akibat atau karena ia telah melakukan sesuatu atau tidak

melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan

kewajibannya.”

Adapun unsur dari pasal ini ialah:48

1. Dilakukan oleh pegawai negeri;

2. Menerima hadiah atau janji;

3. Mengetahui hadiah atau janji itu diberikan kepadanya untuk

membujuknya supaya ia melakukan atau tidak melakukan sesuatu

dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Pasal 419 ini terbagi dalam dua bagian, yaitu:49

1. Penerimaan hadiah atau janji oleh si pegawai negeri sebelum ia

melakukan sebagaimana yang dikehendaki oleh si pemberi (Sub 1).

2. Penerimaan hadiah atau janji oleh si pegawai negeri setelah ia

melakukan sebagaimana yang dikehendaki oleh si pemberi (Sub 2).

Adapun sanksi yang dijatuhkan terhadap tindak pidana-tindak pidana

diatas, berdasarkan Pasal 16 Peraturan ini ialah:

1. penjara selama-lamanya dua belas tahun dan/atau denda

setinggi-tingginya satu juta rupiah.

2. Segala harta-benda yang diperoleh dari korupsi itu dirampas.

48

M. Hamdan, op cit, hal 57.

49


(50)

3. Si terhukum dapat juga diwajibkan membayar uang pengganti yang

jumlahnya sama dengan harta-benda yang diperoleh dari korupsi.

d. Pasal 17 Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960

“Barangsiapa memberi hadiah atau janji kepada seorang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah atau yang menerima gaji atau upah dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat, dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yag melekat pada jabatan atau kedudukannya atau yang oleh sipemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun dan/atau denda setinggi-tingginya satu juta rupiah.”

Adapun yang menjadi alasan dimuatnya Pasal ini ialah sebagaimana yang

termuat dalam penjelasan Pasal 1 Undang-Undang ini, yaitu : “Dalam KUHP,

tidak ada ancaman hukuman bagi orang-orang yang memberi hadiah kepada

pegawai yang dimaksud dalam Pasal 418 KUHP, juga tidak diancam dengan

hukuman orang-orang yang memberi hadiah kepada orang yang menerima gaji

atau upah dari keuangan negara atau daerah atau kepada seorang yang menerima

gaji atau upah dari suatu Badan yang menerima bantuan keuangan negara atau

daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan

kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat. Untuk mengisi kekosongan ini maka

Pasal 17 diadakan”.

2. Pemberian hadiah menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Dalam peraturan ini, pemberian hadiah sama pengaturannya dengan

undang-undang yang berlaku sebelumnya. Hal ini dikarenakan delik-delik korupsi


(51)

sebelumnya. Mengenai pemberian hadiah, dalam undang-undang ini terdapat

beberapa perubahan dari undang-undang sebelumnya. Adapun perubahan serta

penambahan tersebut ialah:

a. Rumusan Pasal 17 Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 diadopsi

kedalam undang-undang ini. Ketentuan Pasal 17 tersebut menjadi

Pasal 1 sub d dalam undang-undang ini.

b. Adanya ketentuaan yang mengatur tentang wajib lapor bagi pegawai

negeri yang menerima pemberian sesuai Pasal 418, 419, dan 420

KUHP, yang termuat dalam Pasal 1 sub e dalam undang-undang ini.

Adapun bunyi dari Pasal 1 sub e tersebut ialah :

“Barang siapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang

sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya,

seperti yang tersebut dalam Pasal-Pasal 418, 419 dan 420 KUHP tidak

melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.”

Dalam penjelasan Pasal 1 sub e tersebut, dapat dilihat bahwa, ketentuan

dalam sub e ini dimaksudkan untuk memidanakan seseorang yang tidak

melaporkan pemberian atau janji yang diperolehnya dengan melakukan tindak

pidana-tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 418, 419, 420 KUHP. Apabila

tidak semua unsur dari tindak pidana tersebut dipenuhi dan pelaporan itu misalnya

dilakukan dengan tujuan semata-mata agar supaya diketahui tentang peristiwa

penyuapan, maka ada kemungkinan bahwa si penerima itu dapat dilepaskan dari

penuntutan berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas. Hal demikian tidak berarti

bahwa tiap pelaporan tentang penerimaan pemberian/janji itu membebaskan

terdakwa dari kemungkinan penuntutan apabila semua unsur dari tindak pidana


(52)

Adapun mengenai sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak

pidana tersebut ialah sebagaimana yang termuat di dalam Pasal 28

Undang-Undang ini, yaitu:

“Barangsiapa melakukan tindak pidana korupsi yang dimaksud Pasal 1

ayat (1) sub a, b, c, d, e dan ayat (2) Undang-undang ini, dihukum

dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya

20 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya 30 (tiga puluh) juta rupiah.

Selain dari pada itu dapat dijatuhkan juga hukuman tambahan tersebut

dapat Pasal 34 sub a, b, dan c Undang-undang ini.”50

3. Pemberian hadiah menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pemberian hadiah menurut undang ini juga sama dengan

undang-undang sebelumnya. Hanya saja, dalam undang-undang-undang-undang yang baru ini pasal-pasal

yang diadopsi dari KUHP lebih diurai dengan pasal-pasal sendiri tidak seperti

undang-undang sebelumnya yang mengelompokkannya kedalam satu sub Pasal.

Misalnya, Pasal 209 KUHP, dalam undang-undang ini Pasal 209 KUHP diadopsi

kedalam satu Pasal tersendiri, yaitu pasal 5. Demikian pula halnya dengan pasal

50

Dalam pasal 34 ini diatur mengenai hukuman tambahan yang dapat dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana, yaitu:

“Selain ketentuan-ketentuan Pidana yang dimaksud dalam KUHP maka sebagai hukuman tambahan adalah:

a. perampasan barang-barang tetap maupun tak tetap yang berujud dan yang tak berujud, dengan mana atau mengenai mana tindak pidana itu dilakukan atau yang seluruhnya atau sebagian diperolehnya dengan tindak pidana korupsi itu, begitu pula harga lawan barang-barang yang menggantikan barang-barang-barang-barang itu, baik apakah barang-barang-barang-barang atau harga lawan itu kepunyaan si terhukum ataupun bukan;

b. Perampasan barang-barang tetap maupun tak tetap yang berujud dan tak berujud yangtermaksud perusahaan si terhukum, dimana tindak pidana korupsi itu dilakukan begitu pula harga lawan barang-barang yang menggantikan barang-barang itu, baik apakah barang-barang atau harga lawan itu kepunyaan si terhukum ataupun bukan,akan tetapi tindak pidananya bersangkutan dengan barang-barang yang dapat dirampas menurut ketentuan tersebut sub a pasal ini.

c. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta-benda yang diperoleh dari korupsi.


(53)

lainnya. Pasal 418 KUHP dalam undang-undang ini diadopsi menjadi Pasal 11

dalam undang-undang ini dan untuk Pasal 419 KUHP menjadi Pasal 12. Begitu

pula halnya dengan sanksi pidana yang dijatuhkan, telah ditentukan

masing-masing di dalam Pasal-Pasal tersebut.

Adapun hal lain yang berbeda mengenai pemberian hadiah yang terdapat

dalam undang-undang ini ialah, tidak ada lagi aturan mengenai wajib lapor bagi

pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 1 sub e undang-undang sebelumnya.

4. Pemberian hadiah menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Berbeda dengan undang-undang sebelumnya, undang-undang ini mulai

menggunakan kata gratifikasi. Dalam rumusan Pasal 17 Undang-Undang No. 24

Prp Tahun 1960 dapat ditarik pemahaman bahwa, Pasal tersebut tidak mengatur

larangan menerima hadiah bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara, akan

tetapi mengatur larangan memberi hadiah. Hal ini menunjukkan, meskipun tidak

tegas menggunakan kata gratifikasi, namun larangan mengenai pemberian hadiah

kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara telah diatur sejak lama dalam

hukum positif di Indonesia. Dalam undang-undang ini gratifikasi diatur di dalam

Pasal 12B, yang berbunyi :

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;


(54)

b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Untuk memahami benar mengenai kejahatan ini, perlu diketahui mengenai

dua ketentuan yang memuat :51

1. Tentang pengertian tindak pidana korupsi gratifikasi menurut Pasal

12B ayat (1), ialah gratifikasi (pemberian) pada pegawai negeri

dianggap menerima suap adalah apabila berhubungan dengan

jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya.

2. Tentang pengertian gratifikasi dan macam-macamnya yang

ditempatkan pada penjelasan Pasal 12B, yang merumuskan:

“yang dimaksud dengan “gratifikasi” adalah pemberian dalam arti

luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount),

komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas

penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan

fasilitas lainnya.”

Berdasarkan ketentuan diatas dapatlah ditarik kesimpulan :52

1. Bahwa ternyata pengertian gratifikasi ini sama dengan pengertian suap

pasif, khususnya pegawai negeri yang menerima suap berupa

pemberian-pemberian dalam arti luas yang terdiri dari macam-macam;

benda, jasa, fasilitas dan lain sebagainya.

51

Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung : PT Alumni, 2008, hal. 263.

52


(1)

Lamintang, P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997.

Marpaung, Leden, Tindak Pidana Korupsi – Masalah dan Pemecahannya (Bagian Kedua), Jakarta : Sinar Grafika, 1992.

, Tindak Pidana Korupsi - Pemberantasan dan Pencegahan (Revisi Keempat), Jakarta : Djambatan, 2009.

Prayudi, Guse, Tindak Pidana Korupsi Dipandang dalam Berbagai Aspek, Yogyakarta : Pustaka Pena, 2010.

Prodjohamidjojo, Martiman, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No. 20 Tahun 2001), Bandung : CV. Mandar Maju, 2009. Sjafrien Jahja, Juni, Say No To Korupsi! – Mengenal, Mencegah & Memberantas

Korupsi di Indonesia, Jakarta : Visimedia, 2012.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di dalam Penelitian Hukum, Jakarta : 1979.

Syamsuddin, Aziz, Tindak Pidana Khusus, Jakarta : Sinar Grafika, 2011. Wantjik, K. Saleh, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1977.

, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta : Ghalia Indonesia 1983.

Wijaya, Firman, Delik Penyalahgunaan Jabatan dan Suap Dalam Praktek, Jakarta : Penaku, 2011.

Yahya, M. Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP – Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali Edisi Kedua, Jakarta : Sinar Grafika, 2009.

, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP – Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Jakarta : Sinar Grafika, 2010.


(2)

B. Peraturan Perundang-Undangan

R. Sugandhi, KUHP Dan Penjelasannya, Surabaya : Usaha Nasional, 1981.

Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. UU No. 8 Tahun 1981. LN No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3209.

, Undang-Undang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 24 Prp Tahun 1960. LN No. 72 Tahun 1960, TLN No. 2011.

, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 3 Tahun 1971. LN No. 19 Tahun 1971, TLN No. 2958.

, Undang-Undang Tindak Pidana Suap. UU No. 11 Tahun 1980. LN No. 58 Tahun 1980, TLN No. 3178.

, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 31 Tahun 1999. LN No. 140 Tahun 1999, TLN No. 3874.

,

, Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 30 Tahun 2002. LN No. 137 Tahun 2002, TLN No. 4250.

Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 20 Tahun 2001. LN No. 134 Tahun 2001, TLN No. 4150.

C. Internet

Komisi Pemberantasan Korupsi, “Tanya - Jawab Gratifikasi”


(3)

Komisi Pemberantasan Korupsi, “Apa Beda Korupsi dan Gratifikasi dalam Kasus

RudiRubiandini”

Komisi Pemberantasan Korupsi, “Buku Saku Memahami Gratifikasi”,

16:36:18 WIB.

Komisi Pemberantasan Korupsi, “Indonesia Bersih Uang Pelicin pukul 08:28:18 WIB.

Hukum Online “Perbedaan antara suap dan gratifikasi”, 13:16:54WIB.

Wati Gubali, Agustina, “Analisis Pengaturan Gratifikasi Menurut Undang-Undang Di Indonesia”

Eprints Walisongo, Bab IV-Analisis Undang-Undang No.20/2001 Tentang Penghapusan Pidana Bagi Pejabat Negara Penerima Gratifikasi Yang Melaporkan Diri Kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kpk)

Didownload pada Minggu 15 Februari 2015, pukul 08:32:31 WIB.

didownload Minggu 15 Februari 2015 pukul 8.37.20.

Kopertis, “Gratifikasi” WIB.


(4)

Afid Burhanuddin, “Delik Korupsi Dalam Undang-Undang”, pukul 17:03:51 WIB.

Santoso Topo, “Menguak Relevansi Ketentuan Gratifikasi Di Indonesia”, Diakses pada Selasa 17 Maret 2015, pukul 17:00:00 WIB.

Unila, BAB II,

Asrul, “Standarisasi Nilai Gratifikasi Demi Profesionalisme Birokrasi Dalam Good Governance Dan Pemberantasan Korupsi”, Universitas Hasanuddin, 2014,

Diakses pada Selasa, 17 Maret 2015 pukul 17:00:35 WIB.

pada Selasa, 17 Maret 2015, pukul 17:15:20 WIB.

Komisi Pemberantasan Korupsi, Konflik Kepentingan

21:09:45 WIB.

Basrifan Arief Bakti, Pemberantasan Korupsi di Singapura, Komisi Pemberantasan Korupsi, Terima Gratifikasi, Mantan Pejabat Pertahanan

Singapura Diadili, pukul 18:03:21 WIB.


(5)

Kabar 24, GRATIFIKASI SEKS: Mantan Pejabat Singapura Kena 6 Bulan Bui, 18:09:00 WIB.

MEasia Magazine, Sexual Gratification “Gaya Baru Menjerat Pejabat”,

Detik News, Hukum Anti Gratifikasi Ala Singapura

Antara News, Gitar Metallica Untuk Jokowi Dinyatakan Sebagai Gratifikasi, diakses Selasa, 5 Mei 2015, Pukul 16:13:15 WIB.

WIB.

Komisi Pemberantasan Korupsi, Wali Kota Semarang Serahkan 35 Parsel Lebaran Senilai Rp. 10,7 Juta Ke KPK, diakses Sabtu, 9 Mei 2015, Pukul 17:31:00 WIB.

VOA, Indonesia di Peringkat 107 Indeks Persepsi Korupsi, www.voaindonesia. Com /content/ indonesia-peringkat-ke-107-indekspersepsikorupsi

/2543860.html

Septiana Dwiputrianti, Memahami Strategi Pemberantasan Korupsi Di Indonesia, , diakses Kamis, 14 Mei 2015 Pukul 12:04:13 WIB.


(6)

uption_in_the_Case_of_Indonesia_

Peringkat Korupsi Negara Anggota ASEAN

, diakses Kamis, 14 Mei 2015 Pukul 12:31:23 WIB.

11:01:00 WIB.


Dokumen yang terkait

Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang

3 71 102

Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pemberantasan Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Di Semarang)

0 34 179

GRATIFIKASI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 3 18

PENEGAKAN...HUKUM....PIDANA…TERHADAP ..TINDAK.. .PIDANA GRATIFIKASI. MENURUT. UNDANG.UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 JO UNDANG .UNDANG .NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 5 21

ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PADA UNDANG UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI DAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI

0 8 59

Undang Undang Nomor 31 Republik Indonesia Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 0 1

Undang-Undang Nomor 31 Republik Indonesia Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 0 29

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI MELALUI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

0 0 15

BAB II PERKEMBANGAN GRATIFIKASI MENURUT UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA A. Perkembangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia - Perkembangan Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi Menurut

0 0 29

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perkembangan Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

0 0 26