Halaman | 235 adalah : a Sistem pengairan b Kondisi
kesuburan, c
jenis tanah
d Indeks
pertanaman IP, e Kondisi agroklimat, f Kondisi infrastuktur dasar dan g Produktivitas
dan lain-lain.
Tabel 1. Karakteristik Lahan Sawah di Kota Tasikmalaya
N o
Uraian Kondisi
Ekisting Ket
1
Sistem Pengairan
Irigasi t hujan Terpenuhi
2
Jenis Tanah Aluvial, latosol,
podhsolik kuning Sesuai
3
Kesuburan lahan
unsur hara makro Terpenuhi
4
Indeks Pertanaman
IP 2-3 PI minimal=
1
5
Kondisi Agroklimat
Tipe D3 Sesuai
7
Produktivitas 62 kwt
Syarat min 30 kw
Sumber: Dinas Pertanian Perikanan dan Kehutanan Kota Tasikmalaya 2015
Kesesuaian dengan Syarat dan Kriteria LP2B
Diantara berbagai faktor tersebut di atas yang sering kali menjadi kendala
dalam penyelenggaraan
usahatani di
Kota Tasikmalaya adalah kecukupan air untuk
tanaman pada lahan usahatani. Hal ini terjadi pada musim tanam gadu di lahan-lahan sawah
yang berada di bagian hilir dari saluran irigasi. Dengan demikian walaupun dalam klasifikasi
pengairan lahan sawah tersebut termasuk kategori lahan irigasi, namun sering mengalami
kekurangan air. Faktor penyebab utamanya karena debit air pada saluran irigasi yang
bersangkutan tidak mencukupi untuk mengairi seluruh lahan sawah di bagian hilir. Sedangkan
faktor teknis lain seperti yang telah disebutkan di atas, yang berkaitan dengan karakteristik
lahan sawah di Kota Tasikmalaya dapat memenuhi kriteria dan syarat Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011, untuk dijadikan lahan pertanian pangan berkelanjutan.
b. Faktor Ekonomis Skala Usahatani
Penguasaanlahan usahatani di Kota Tasikmalaya yang luasnya dibawah 1 hektar
jumlahnya cukup besar mencapai proporsi ± 93 persen. Kurang lebih 64 persen adalah satuan
lahan usahatani dibawah 0.50 ha; Kurang lebih 29 persen satuan usahatani yang luasnya antara
0.51-1,00 hektar; Sementara satuan lahan usahatani 1 hektar proporsinya hanya 7
persen. Usahatani yang tidak mencapai saka ekonomis, saat akan menjual hasil produksi
juga bermasalah, yaitu akan menanggung beban biaya penjualan marketing cost yang tinggi
per satuan produknya. Pada gilirannya harga produk hasil pertanian yang dihasilkan manjadi
kurang bersaing.
Gambar 2 Proporsi Satuan Usahatani Berdasarkan Luas Garapan di Kota
Tasikmalaya Tahun 2013
Petani kecil yang penguasaan lahan usahataninya sempit atau biasa disebut petani
gurem, akan mengalami hambatan dalam upaya mengalihkan sistem pengelolaan yang bersifat
subsisten ke pengelolaan usahatani yang
berorientasi komersial.
Kecilnya volume
produksi dari
setiap satuan
usahatani mendorong terbentuknya struktur pasar hasil
pertanian yang oligopsoni. Padahal struktur pasar yang oligopsoni melemahkan posisi tawar
menawar bargaining position petani di pasar hasil usahatani. Dalam posisi tawar petani yang
lemah petani hanya sebagai price taker bukan price maker sebagaimana yang diharapkan.
Selanjutnya, satuan lahan garapan usahatani yang terlalu kecil tidak akan mampu
menjamin kehidupan dan kesejahteraan petani dan keluarganya. Lahan usahatani yang tidak
layak secara ekonomis tidak memiliki insentif untuk dikelola dengan sungguh-sungguh oleh
petani. Pada gilirannya satuan lahan usahatani yang terlalu sempit akan lebih mudah beralih
fungsi, sementara pengelolanya beralih profesi
Kajian Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Di Kota Tasikmalaya
DJONI, SUPRIANTO DAN ERI CAHRIAL
Halaman | 236 ke usaha pertanian lain atau alih profesi keluar
sektor pertanian. Hal ini selaras seperti yang dikatakan Fadholi Hernanto 1984 yang
menyoroti pengelola lahan yang satuan luasnya dibawah sekala ekonomis banyak beralih
profesi sementara lahan usahataninya beralih fungsi.
Rentabilitas Usahatani
Petani akan
berusaha mencari
perpaduan dalam pemanfaatan sumberdaya yang mereka miliki agar mendatangkan
keuntungan finansial dari usahatani yang dijalankannya Soekartawi, 1995. Petani dalam
menjalankan usahataninya tentu berharap akan mendapatkan penerimaan yang lebih besar dari
biaya produksi yang telah dikeluarkan. Tetapi kenyataannya tidak selamanya sesuai dengan
harapan, bahkan tidak sedikit petani yang mengalami kerugian.
Kerugian yang dialami petani pada umumnya “kerugian yang tidak kentara”.
Biasanya petani kurang jeli memperhitungkan biaya-biaya yang mereka keluarkan. Petani
hampir tidak pernah menghitung curahan tenaga kerja diri dan keluarganya sebagai
komponen biaya uasahatani. Petani juga kadang-kadang tidak memperhitungkan harga
jual hasil produksinya yang berlaku di pasaran, karena hasil produksinya dikonsumsi untuk
keluarga.
Hasil analisis kelayakan finansial usahatani menunjukkan Revenue Cost Rotio
RC usahatani padi di Kota Tasikmalaya lebih besar dari satu RC 1; yaitu sebesar
1,23 untuk petani penyakap dan 1,51 untuk petani pemilik penggarap. Artinya pengelolaan
usahatani yang dilakukan dilihat dari rasio penerimaan dengan biaya usahatani adalah
layak. Namun demikian apabila dilihat secara nominal rata-rata pendapatan laba dari hasil
pengelolaan usahatani padi tersebut kurang layak.
Laba usahatani tanaman pangan yang dibawa kerumah take home payment pada luas
lahan setengah 0,5 hektar adalah Rp 2.221.250 untuk petani penggarap, dan Rp
3.976.250, untuk petani pemilik per musim, atau setara dengan Rp 740.417 per bulan untuk
petani penggarap; dan Rp 1.325.470 per bulan untuk petani pemilik.
Dalam kondisi seperti tersebut di atas, walaupun usahatani yang dijalankan adalah
layak dilihat dari rasio peneriman dengan biaya RC, namun dilihat dari nominal laba yang
diperoleh usahatani yang dijalankan tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan keluarga petani.
Dengan hanya mengelola usahatani padi sawah yang luasnya kurang dari setengah hektar,
penghasilan yang diperoleh petani masih dibawah upah minimum regional UMR Kota
Tasikmalaya. Sebagai catatan UMR Kota Tasikmalaya adalah Rp 1.800.000.
Dalam kondisi penerimaan usahatani tidak
dapat memenuhi
kebutuhan dasar
keluarga, petani masih memerlukan sumber pendapatan lain selain dari usahatani. Petani
terdorong untuk mencari pekerjaan lain sebagai sumber pendapatan tambahannya, dan tidak
tertutup kemungkinannya petani beralih profesi. Sementara lahan usahatani yang dikelolanya
kurang mendapatkan perhatian yang sungguh- sungguh, bahkan tidak sedikit akhirnya yang di
jual beralih status kepemilikan, yang pada gilirannnya berujung pada terjadinya alih fungsi
lahan usahatani ke penggunaan lain.
Rendahnya penerimaan revenue hasil pertanian dibandingkan dengan biaya produksi
cost of production sementara hasil di sektor non pertanian industri, sewa tanah, dan
tingginya harga tanah jika di jual tanah membuat banyak petani-petani yang mengalih
fungsikan lahannya ke bidang non pertanian. Tidak sedikit petani yang menjual lahan
pertaniannya kepada pemilik modal untuk kegiatan non pertanian. Selain itu karena
terdesak kebutuhan keluarga seperti untuk biaya pendidikan, kesehatan sering kali membuat
petani tidak mempunysi pilihan lain untuk menjual
sebagian atau
seluruh lahan
usahataninya. Penduduk yang bermata-pencaharian
pada bidang usaha yang terkait dengan sektor pertanian di Kota Tasikmalaya mencapai
proporsi lebih dari 40 persen. Sementara kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB
hanya
mencapai ±15
persen. Hal
ini menunjukan bahwa secara agregat curahan
sumberdaya dan tenaga kerja di sektor pertanian
Halaman | 237 mendapatkan kompensasi yang relative lebih
rendah dibandingkan dengan kompensasi yang diterima untuk curahan sumberdaya dan tenaga
kerja pada sektor lain.
c. Faktor Sosial