Jurnal Filsafat Vol.20, Nomor 3, Desember 2010
254 anak.
3
Setiap keluarga batih dalam keluarga besar tidak dibolehkan membuat uma sendiri, karena mereka ini masih masuk dalam
sebuah uma atau keluarga besar. Sebuah keluarga batih hanya diperbolehkan membangun rumah sendiri di perkampungan kebun
atau sawah, tetapi bukan dalam sebuah paraingu Kapita, 1976: 109. Dari hasil observasi dan wawancara diperoleh informasi
bahwa di paraingu di Rende Praiyawang telah disediakan tanah yang telah diratakan di samping perkampungan yang ada. Kawasan
tersebut direncanakan sebagai pelebaran Praiyawang bagi keluarga- keluarga batihinti yang baru.
4
Yang menarik adalah konsekuensi ketika istri telah berpindah ke kabihu suamike uma pihak kabihu suami, yakni
ketika belis telah dibayar lunas, maka putuslah garis kekerabatan sang istri tersebut dengan keluarganya yang dahulu. Garis
kekerabatan sang istri menjadi mengikuti garis kekerabatan dari sang suami. Saudara-saudara sang istri adalah yang satu kabihu
dengan suaminya, dan bukan lagi saudara-saudara yang ada di kabihu-nya dahulu ketika masih gadis. Kondisi inilah yang
kemudian mengarahkan pada sistem perjodohan di Sumba Timur. Oleh karena itu, perkawinan yang dianggap ideal adalah
menyambung kembali dan menegaskan kembali garis keturunan tadi dengan mengawinkan anak laki-laki saudara perempuan dengan
seorang anak perempuan saudara laki-laki sehingga posisi yera kabihu pemberi istri dan layia kabihu penerima istri semakin
diperkuat. Atau dengan kata lain, seorang laki-laki dengan seorang perempuan anak tuya atau paman dari garis ibu kabihu pemberi
wanita. Hal ini dikarenakan hubungan darah yang dilihat dari garis ibu akan selalu tetap terjaga. Kemurnian darah akan selalu dinilai
dari kedudukan keluarga ibu dalam masyarakat.
E. Konsep Komunitas dalam Masyarakat Sumba Timur
Kehidupan masyarakat di daerah Sumba Timur yang sangat kuat ikatan adatnya mengarahkan pada sebuah konsep sosialitas dan
kolektivitas yang begitu jelas. Tidak sekedar sebuah konsep yang abstrak, namun konsep sosialitas dan kolektivitas ini begitu nyata
dalam keseharian masyarakat Sumba Timur. Adanya konsep seperti marapu, kabihu, paraingu, serta yera-layia, misalnya menunjukkan
betapa komunitas menempati posisi yang penting dalam
3
Ibid.
4
Ibid.
Lailiy Muthmainnah dan Sonjoruri Budiani Trisakti, ...
255 menentukan bagaimana kehidupan individu dibangun. Setiap
individu memandang dirinya merupakan bagian dari kelompok sosial atau komunitas yang hal ini kemudian tercermin dalam
kehidupan mereka dalam sebuah kabihu ataupun paraingu. Keberadaan individu lain dalam komunitas menjadi sangat penting,
sebab eksistensi dirinya baru sungguh-sungguh dia rasakan ada ketika terlibat dalam keseluruhan hidup sosial. Dalam kebersamaan
dengan anggota yang lain dalam komunitas, seorang individu menjadi lebih bermakna.
Dalam sudut pandang masyarakat Sumba Timur, seorang pribadi bukan tidak memiliki hak, mereka tetap memilikinya, hanya
konsep hak ini bukan konsep hak yang tercerabut begitu rupa dari lingkungan sosial tempat mereka hidup dan berkehidupan. Hak
dalam konsep masyarakat Sumba Timur bukanlah sesuatu yang mandiri, karenanya ketika terjadi benturan antara hak individu
dengan kepentingan kolektivitas sosial masyarakat, maka yang akan lebih diutamakan adalah keharmonisan dari sisi kolektivitas atau
kabihu. Tanpa kabihu individu tidak akan ada artinya. Dengan model berpikir yang seperti ini maka keteraturan dalam kehidupan
kolektif akan dapat dijaga. Semua konsep ini mengarahkan pada keyakinan bahwa kabihu merupakan penentu norma perilaku dari
tiap individu dan bukan sebaliknya. Setiap tindakan individu haruslah mengarah pada upaya terpenuhinya aturan atau norma
dalam kabihu. Dengan ketaatan ini pula diharapkan kerjasama antar warga suku akan terjamin serta isolasi pribadi dapat dihindari,
sehingga kemungkinan terjadinya konflik dapat diminimalisir Fernandez SVD, 1990: 24-25.
F. Konsep Komunitas dalam Sistem Kekerabatan yang Terbangun dari Sistem Perkawinan Adat