Draft RUU Penyelenggaraan Pemilu 2019 : Sebuah Catatan

(1)

Draft RUU Penyelenggaraan Pemilu 2019 : Sebuah Catatan

Oleh : Bambang EC Widodo

1

1. PENDAHULUAN

Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu telah disampaikan oleh pemerintah kepada DPR melalui surat presiden No R-66/Pres/10/2016 tanggal 20 Oktober 2016. RUU itu sendiri dinamakan sebagai RUU Penyelenggaraan Pemilihan Umum. RUU Penyelenggaraan Pemilu itu terdiri atas 543 pasal dan dibagi menjadi 6 buku yaitu : Buku Pertama berisi tentang Ketentuan Umum, Buku Kedua tentang Penyelenggara Pemilu, Buku Ketiga tentang Pelaksanaan Pemilu, Buku Keempat, tentang Pelanggaran Pemilu dan Sengketa Pemilu, Buku Kelima tentang Tindak Pidana Pemilu dan Buku Keenam tentang ketentuan Penutup.

RUU Penyelenggaraan Pemilu ini lumayan komprehensif menyatukan UU Penyelenggara Pemilu, UU Pileg dan UU Pilpres. Namun begitu masih kurang pengaturan mengenai UU Pilkada yang masih diatur secara terpisah. Sehingga UU ini bisa disebut sebagai UU Penyelenggaraan pemilu minus pilkada. Pemisahan ini melanggengkan perdebatan apakah pilkada itu regim pemilu atau bukan. Sumber persoalannya adalah pengaturan yang berbeda di dalam konstitusi UUD 1945. Pemilihan Umum yang diatur dalam pasal 22E UUD 1945 hanya menyebutkan bahwa pemilihan umum adalah untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta anggota DPRD. Sementara pasal 18 UUD 1945 hanya mengatur pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara demokratis tanpa jabatan Wakil Gubernur, Wakil Bupati dan Wakil Walikota.

1 Bambang Eka Cahya Widodo, Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Gedung E3 Ki Bagus Hadikusumo, Jl. Lingkar Barat, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, 55183, Indonesia, Telp +62274387656 ext 121, Fax : +62274387646, HP : +628118882269 email :


(2)

Meskipun tatacara penyelenggaraan pilkada sama dan serupa dengan tatacara pemilu lainnya, menjadi pertanyaan serius apakah pilkada itu regim pemilu atau bukan ? Penempatan dalam UU yang berbeda bisa jadi merupakan pandangan konstitusional yang menganggap pilkada adalah regim pemerintah daerah sementara regim pemilu hanya mengatur sesuai dengan ketentuan pasal 22E. Resikonya adalah pengaturan hal-hal teknis soal pemilu dan pilkada bisa bertentangan atau tidak singkron satu sama lain.

Ada beberapa persoalan yang akan dibahas dalam tulisan ini berdasarkan hasil poencermatan terhadap RUU yang diajukan Pemerintah kepada DPR. Antara lain soal sistem pemilihan umum legislatif yang digunakan, yaitu sistem proporsional terbuka terbatas (pasal 138 ), alokasi kursi 10. Total kursi DPR 560 kursi, alokasi kursi DPRD 3-12., Metode konversi suara menggunakan divisor Sainte Lague yang dimodifikasi, parlementary threshold, dan presidential threshold.

SISTEM PEMILU TERBUKA TERBATAS

Menurut ketentuan pasal 138 ayat (2) RUU Penyelenggaraan Pemilu, menyatakan bahwa “Pemilu untuk memilih anggota DPR,DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka terbatas.” Pada ayat (3) dijelaskan bahwa “sistem proporsional terbuka terbatas yang dimaksud pada ayat (2) merupakan sistem pemilu yang menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon yang terbuka dan daftar nomor urut calon yang terkait berdasarkan penetapan partai politik”.Ketentuan pasal 138 ayat 2 dan ayat 3 sebenarnya mengisyaratkan bahwa pemerintah menghendaki pemilu legislatif menggunakan sistem proporsional tertutup. Karena makna terbuka terbatas dalam ketentuan ayat (3) hanya pada aspek pencantuman nama calon dalam surat suara, tetapi tidak berpengaruh pada keterpilihan calon dalam pemilu.

Dengan sistem pemilu terbuka terbatas dimana daftar calon terbuka sementara keterpilihan calon ditentukan dengan nomor urut sesungguhnya menghilangkan makna terbuka. Karena perolehan suara calon tidak mempengaruhi keterpilihan. Sistem


(3)

tertanggal 23 Desember 2008 yang memutuskan pasal 214 UU No 10 tahun 2008 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat kecuali dimaknai bahwa penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Sistem proporsional terbuka diyakini mempunyai deviasi terkecil antara kehendak rakyat dengan kehendak partai. Sementara dalam sistem proporsional tertutup, deviasi itu membesar karena kehendak rakyat ditafsirkan oleh partai dengan menentukan keterpilihan kandidat berdasarkan nomor urut. Perdebatan tentang sistem terbuka atau tertutup ini mestinya sudah usai mengingat MK sudah memutuskan pada tahun 2008.

Sebenarnya partai politik sangat diuntungkan jika penentuan Caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak, dengan begitu semua Caleg dari nomor urut terkecil sampai nomor urut terbesar akan bekerja keras mendapatkan dukungan dari pemilih. Artinya partai politik secara langsung diuntungkan dengan banyak Caleg yang bekerja. Pemilu yang dilakukan dengan sistem proporsional terbuka akan mengandung sistem yang positif yaitu disamping daerah pemilihannya berdasarkan basis wilayah sehingga setiap daerah akan memiliki wakil baik itu daerah besar maupun daerah kecil, akan tetapi juga hubungan antara orang yang memilih dan dipilih menjadi lebih dekat. Hal ini dimungkinkan karena mereka yang terpilih akan menjaga kredibilitasnya di depan rakyat yang memilihnya sehingga anggota DPR akan sering mengunjungi daerah pemilihannya karena pada dasarnya pemilih mengenal wakil-wakil yang mereka pilih karena pemilih dapat memilih langsung nama orangnya; Dengan memilih nama orangnya langsung rakyat dapat menilai siapa yang benar-benar memperjuangkan pemilih dan daerahnya.

Pada dasarnya setiap pemenang Pemilu adalah berdasarkan suara terbanyak, demikian juga seseorang yang terpilih tentu dipilih dan mewakili daerah pemilihannya; Apabila pemenang Pemilu tidak didasarkan pada suara terbanyak serta yang terpilih tidak mewakili pemilih maupun daerah pemilihannya tentu hal ini akan merugikan hak konstitusional para warga negara yang ikut menjadi peserta Pemilu maupun merugikan hak konstitusional para pemilih apabila orang yang dipilihnya tidak mewakili daerahnya;


(4)

Konstitusionalitas sistem proporsional terbuka terbatas juga dapat dipersoalkan jika kita menggunakan pendekatan kedaulatan rakyat. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal ini menunjukkan bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, sehingga dalam berbagai kegiatan pemilihan umum, rakyat langsung memilih siapa yang dikehendakinya. Besarnya suara pilihan rakyat menunjukkan tingginya legitimasi politik yang diperoleh oleh para calon legislatif maupun eksekutif, sebaliknya rendahnya perolehan suara juga menunjukkan rendahnya legitimasi politik calon yang bersangkutan.

Prinsip kedaulatan rakyat merupakan prinsip konstitusi yang sangat mendasar yang dapat dipandang sebagai moralitas konstitusi yang memberi warna dan sifat pada keseluruhan undang-undang di bidang politik. Meskipun partai politik yang sehat diperlukan untuk system rekrutmen pimpinan politik tetapi partai politik tersebut tidak boleh sampai melanggar prinsip kedaulatan rakyat, sebagai prinsip konstitusi yang sangat mendasar dan tidak dapat dikesampingkan. Kedaulatan rakyat tidak hanya merupakan

basic norm tetapi juga moralitas konstitusi bagi semua kehidupan negara dan bangsa baik di bidang politik, sosial, ekonomi, dan hukum.

Sistem proporsional terbuka, memungkinkan rakyat memilih wakil-wakilnya yang diajukan oleh partai politik dalam Pemilu, sesuai dengan kehendak dan keinginannya. Harapannya wakil yang terpilih tersebut juga tidak hanya mementingkan kepentingan partai politik pengusungnya, tetapi mampu membawa aspirasi rakyat pemilih. Dengan sistem proporsional terbuka, rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif yang dipilih, maka akan lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak terpilih, yaitu calon yang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling banyak.

Sistem pemilu terbuka terbatas sebenarnya menghilangkan nilai-nilai yang sudah dibicarakan di atas. Menutup ruang bagi partisipasi secara lebih bermakna dari rakyat untuk menentukan wakil-wakilnya. Lebih dari itu, sistem proporsional terbuka terbatas,


(5)

politik. Di sisi yang lain partai politik sesungguhnya adalah infrastruktur penting dalam demokrasi elektoral yang bertanggung jawab mengusung calon pejabat baik eksekutif maupun legislatif.

Sebagai instrumen utama demokrasi, masalah demokratisasi partai politik telah menjadi keprihatinan banyak fihak Ketertutupan parpol dalam menjaring dan menyaring calon pejabat publik termasuk Presiden dan kepala daerah, semestinya menjadi perhatian pembuat UU. Para pembuat UU perlu sedikit memaksa parpol untuk lebih terbuka lagi dalam melakukan penjaringan dan penyaringan bakal caleg maupun bakal capres, termasuk bakal calon kepala daerah. Mungkin RUU Penyelenggaraan Pemilu yang sedang akan dibahas di DPR perlu mewajibkan partai politik melakukan semacam konvensi sebelum mengusung calon presiden ataupun calegnya. Sehingga masyarakat bisa menilai kualitas mereka dan terlibat dalam proses politik untuk melakukan seleksi awal calon calon yang akan dipasang di kertas suara.

Persoalan lain yang menuntut perhatian adalah alokasi kursi per dapil antara 3- 10 kursi, dan DPRD 3 -12 kursi. Jika pembuat Undang-undang tertarik untuk menyederhanakan sistem kepartaian, maka memperkecil district magnitude adalah cara yang cukup elegan untuk mengurangi jumlah partai yang berkompetisi dalam pemilu yang akan datang. Dengan besaran district magnitude yang besar (10) kursi perdapil, pada hakekatnya tidak sejalan dengan upaya memperkecil jumlah partai yang berkompetisi dalam pemilu. Sebab semakin besar besaran district magnitude semakin mudah partai-partai menengah dan kecil mendapatkan kursi dalam kompetisi dan kontestasi pemilu. Sebaliknya makin kecil besaran district magnitude secara teoritis akan mengurangi jumlah partai secara alamiah karena tidak kebagian kursi di parlemen. Saran yang bisa diberikan pada penyusunan alokasi kursi perdapil ini adalah dengan memperkecil dapil dan mengurangi jumlah kursi perdapil menjadi 3 -6 kursi saja. Dengan demikian akan seiring dengan niat untuk mengurangi jumlah partai politik di parlemen.


(6)

METODE KONVERSI SUARA SAINTE LAGUE YANG DIMODIFIKASI

Sepanjang sejarang pemilu dilaksanakan di Indonesia, sistem konversi suara yang digunakan adalah rumpun largest reminder atau sisa suara terbanyak. Adapun metode yang sering digunakan adalah quota Hare dengan rumus menghitung bilangan pembagi pemilih yang diperoleh dari suara sah di satu dapil dibagi dengan jumlah kursi yang diperebutkan. Dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu ini pemerintah menawarkan sesuatu yang baru yang merupakan rumpun metode highest average atau rata-rata tertinggi. Metode yang digunakan adalah Modified Sainte Lague, yaitu membagi suara sah parpol dengan bilangan pembagi 1.4;3;5;7 dst.. Hasil pembagian tersebut diurutkan dari yang tertinggi sampai yang terrendah


(7)

(8)

Penggunaan Modified Sainte Lague pada dasarnya tidak membawa perubahan yang terlalu signifikan di dalam pembagian alokasi kursi kecuali secara teoritik diyakini bahwa metode ini lebih menguntungkan partai-partai besar. Namun begitu proporsionalitas tetap terjaga..

Jika secara teoritik metode Modified Sainte Lague tidak cukup bermakna mengubah sistem pemilu kita, sebenarnya ada beberapa alternatif mengubah sistem pemilu yang dapat mengkombinasikan antara sistem proporsional dengan sistem mayoritas/pluralitas. Tawaran sistem yang sering didiskusikan adalah menggunakan sistem MMP (mix member proportionility). Sistem ini memadukan sistem proporsional daftar tertutup dengan sistem


(9)

proporsional. Contoh ada negara yang menerapkan 50% dengan sistem Mayoritas/pluralitas 50 % dengan sistem proporsional. Ada juga negara yang menggunakan komposis 40%:60%, atau 30%:70%. Secara teoritik makin besar kursi yg diperebutkan dengan sistem mayoritas akan menimbulkan distorsi kesenjangan perolehan suara dibanding kursi, sebaliknya makin besar kursi yang diperebutkan dgn sistem proporsional maka akan semakin baik proporsionalitas antara perolehan suara dibanding perolehan kursi.

Parlementari threshold 3,5% yang ditetapkan secara nasional tapi tidak berlaku ditingkat lokal sebenarnya tidak berbeda dengan sistem sebelumnya. PT 3,5% sejauh ini tidak mengurangi minat untuk membuat parpol baru dalam setiap pemilu. Artinya PT 3,5% tidak terlalu signifikan mengurangi jumlah partai politik yang berkompetisi di pemilu. Perlu dipertimbangkan menaikkan angka PT untuk mengurangi jumlah partai politik secara signifikan.

Presidential Threshold untuk mengusung Calon Presiden partai atau gabungan partai harus memilii kursi 20% atau suara 25% dari hasil pemilu sebelumnya. Bagi parpol baru bisa bergabung dengan parpol yang memenuhi syarat di atas. Pasal ini potensial digugat karena pemilu sebelumnya sudah digunakan untuk pencalonan presiden dan wapres tahun 2014, tidak ada dasar hukum kuat memberlakukan hasil pemilu sebelumnya sebagai syarat pencalonan capres dan cawapres. Esensi pemilu serentak adalah agar setiap parpol yang berkompetisi bisa mengusung capresnya sendiri sebagai motor penggerak kampanye untuk menarik gerbong legislatif. Sehingga parpol yang tidak memiliki calon Presiden sendiri akan kehilangan pemilih karena ditarik oleh parpol yang mempunyai calon presiden.

Demikian beberapa pemikiran terkait RUU Penyelenggaraan Pemilu yg sedang dibahas di DPR semoga bermanfaat.


(1)

Konstitusionalitas sistem proporsional terbuka terbatas juga dapat dipersoalkan jika kita menggunakan pendekatan kedaulatan rakyat. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal ini menunjukkan bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, sehingga dalam berbagai kegiatan pemilihan umum, rakyat langsung memilih siapa yang dikehendakinya. Besarnya suara pilihan rakyat menunjukkan tingginya legitimasi politik yang diperoleh oleh para calon legislatif maupun eksekutif, sebaliknya rendahnya perolehan suara juga menunjukkan rendahnya legitimasi politik calon yang bersangkutan.

Prinsip kedaulatan rakyat merupakan prinsip konstitusi yang sangat mendasar yang dapat dipandang sebagai moralitas konstitusi yang memberi warna dan sifat pada keseluruhan undang-undang di bidang politik. Meskipun partai politik yang sehat diperlukan untuk system rekrutmen pimpinan politik tetapi partai politik tersebut tidak boleh sampai melanggar prinsip kedaulatan rakyat, sebagai prinsip konstitusi yang sangat mendasar dan tidak dapat dikesampingkan. Kedaulatan rakyat tidak hanya merupakan basic norm tetapi juga moralitas konstitusi bagi semua kehidupan negara dan bangsa baik di bidang politik, sosial, ekonomi, dan hukum.

Sistem proporsional terbuka, memungkinkan rakyat memilih wakil-wakilnya yang diajukan oleh partai politik dalam Pemilu, sesuai dengan kehendak dan keinginannya. Harapannya wakil yang terpilih tersebut juga tidak hanya mementingkan kepentingan partai politik pengusungnya, tetapi mampu membawa aspirasi rakyat pemilih. Dengan sistem proporsional terbuka, rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif yang dipilih, maka akan lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak terpilih, yaitu calon yang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling banyak.


(2)

politik. Di sisi yang lain partai politik sesungguhnya adalah infrastruktur penting dalam demokrasi elektoral yang bertanggung jawab mengusung calon pejabat baik eksekutif maupun legislatif.

Sebagai instrumen utama demokrasi, masalah demokratisasi partai politik telah menjadi keprihatinan banyak fihak Ketertutupan parpol dalam menjaring dan menyaring calon pejabat publik termasuk Presiden dan kepala daerah, semestinya menjadi perhatian pembuat UU. Para pembuat UU perlu sedikit memaksa parpol untuk lebih terbuka lagi dalam melakukan penjaringan dan penyaringan bakal caleg maupun bakal capres, termasuk bakal calon kepala daerah. Mungkin RUU Penyelenggaraan Pemilu yang sedang akan dibahas di DPR perlu mewajibkan partai politik melakukan semacam konvensi sebelum mengusung calon presiden ataupun calegnya. Sehingga masyarakat bisa menilai kualitas mereka dan terlibat dalam proses politik untuk melakukan seleksi awal calon calon yang akan dipasang di kertas suara.

Persoalan lain yang menuntut perhatian adalah alokasi kursi per dapil antara 3- 10 kursi, dan DPRD 3 -12 kursi. Jika pembuat Undang-undang tertarik untuk menyederhanakan sistem kepartaian, maka memperkecil district magnitude adalah cara yang cukup elegan untuk mengurangi jumlah partai yang berkompetisi dalam pemilu yang akan datang. Dengan besaran district magnitude yang besar (10) kursi perdapil, pada hakekatnya tidak sejalan dengan upaya memperkecil jumlah partai yang berkompetisi dalam pemilu. Sebab semakin besar besaran district magnitude semakin mudah partai-partai menengah dan kecil mendapatkan kursi dalam kompetisi dan kontestasi pemilu. Sebaliknya makin kecil besaran district magnitude secara teoritis akan mengurangi jumlah partai secara alamiah karena tidak kebagian kursi di parlemen. Saran yang bisa diberikan pada penyusunan alokasi kursi perdapil ini adalah dengan memperkecil dapil dan mengurangi jumlah kursi perdapil menjadi 3 -6 kursi saja. Dengan demikian akan seiring dengan niat untuk mengurangi jumlah partai politik di parlemen.


(3)

METODE KONVERSI SUARA SAINTE LAGUE YANG DIMODIFIKASI

Sepanjang sejarang pemilu dilaksanakan di Indonesia, sistem konversi suara yang digunakan adalah rumpun largest reminder atau sisa suara terbanyak. Adapun metode yang sering digunakan adalah quota Hare dengan rumus menghitung bilangan pembagi pemilih yang diperoleh dari suara sah di satu dapil dibagi dengan jumlah kursi yang diperebutkan. Dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu ini pemerintah menawarkan sesuatu yang baru yang merupakan rumpun metode highest average atau rata-rata tertinggi. Metode yang digunakan adalah Modified Sainte Lague, yaitu membagi suara sah parpol dengan bilangan pembagi 1.4;3;5;7 dst.. Hasil pembagian tersebut diurutkan dari yang tertinggi sampai yang terrendah


(4)

(5)

Penggunaan Modified Sainte Lague pada dasarnya tidak membawa perubahan yang terlalu signifikan di dalam pembagian alokasi kursi kecuali secara teoritik diyakini bahwa metode ini lebih menguntungkan partai-partai besar. Namun begitu proporsionalitas tetap terjaga..

Jika secara teoritik metode Modified Sainte Lague tidak cukup bermakna mengubah sistem pemilu kita, sebenarnya ada beberapa alternatif mengubah sistem pemilu yang dapat mengkombinasikan antara sistem proporsional dengan sistem mayoritas/pluralitas. Tawaran sistem yang sering didiskusikan adalah menggunakan sistem MMP (mix member


(6)

proporsional. Contoh ada negara yang menerapkan 50% dengan sistem Mayoritas/pluralitas 50 % dengan sistem proporsional. Ada juga negara yang menggunakan komposis 40%:60%, atau 30%:70%. Secara teoritik makin besar kursi yg diperebutkan dengan sistem mayoritas akan menimbulkan distorsi kesenjangan perolehan suara dibanding kursi, sebaliknya makin besar kursi yang diperebutkan dgn sistem proporsional maka akan semakin baik proporsionalitas antara perolehan suara dibanding perolehan kursi.

Parlementari threshold 3,5% yang ditetapkan secara nasional tapi tidak berlaku ditingkat lokal sebenarnya tidak berbeda dengan sistem sebelumnya. PT 3,5% sejauh ini tidak mengurangi minat untuk membuat parpol baru dalam setiap pemilu. Artinya PT 3,5% tidak terlalu signifikan mengurangi jumlah partai politik yang berkompetisi di pemilu. Perlu dipertimbangkan menaikkan angka PT untuk mengurangi jumlah partai politik secara signifikan.

Presidential Threshold untuk mengusung Calon Presiden partai atau gabungan partai harus memilii kursi 20% atau suara 25% dari hasil pemilu sebelumnya. Bagi parpol baru bisa bergabung dengan parpol yang memenuhi syarat di atas. Pasal ini potensial digugat karena pemilu sebelumnya sudah digunakan untuk pencalonan presiden dan wapres tahun 2014, tidak ada dasar hukum kuat memberlakukan hasil pemilu sebelumnya sebagai syarat pencalonan capres dan cawapres. Esensi pemilu serentak adalah agar setiap parpol yang berkompetisi bisa mengusung capresnya sendiri sebagai motor penggerak kampanye untuk menarik gerbong legislatif. Sehingga parpol yang tidak memiliki calon Presiden sendiri akan kehilangan pemilih karena ditarik oleh parpol yang mempunyai calon presiden.

Demikian beberapa pemikiran terkait RUU Penyelenggaraan Pemilu yg sedang dibahas di DPR semoga bermanfaat.