Babatw Skipsi koreksi bab 1 2 dan

BAB I
PENDAHULUAN
Pernikahan adalah gambaran mengenai kasih Allah bagi manusia. Ketika
Allah menciptakan pernikahan yang pertama yaitu Adam dan Hawa, Tuhan berkata
bahwa tidak baik bagi seorang manusia untuk hidup sendiri (Kej.2:18). Perkawinan
merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia, karena perkawinan tidak
saja menyangkut pribadi kedua calon suami istri, tetapi juga menyangkut urusan
keluarga dan masyarakat. Proses membangun pernikahan yang intim dan bahagia
sering tidak semulus yang diinginkan banyak pasangan, kendala di dalam pernikahan
selalu ada. Keperbedaan janganlah dipandang sebagai sebuah masalah, melainkan suatu
keragamann yang saling melengkapi.
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan suatu hal yang religius di mana suatu hubungan
antara dua insan manusia yaitu laki – laki dan perempuan yang telah dewasa memiliki
hasrat untuk bersatu dan berjanji dalam ikatan yang suci sebagai suami isteri untuk
membentuk keluarga yang bahagia serta memperbanyak keturunan. “Pernikahan
melibatkan dua orang yang tidak sempurna dan menempatkan keduanya dalam
hubungan yang berkomitmen agar keduanya dapat bertumbuh bersama dengan aman
serta dewasa dalam menangani ketidaksempurnaan dan permasalahan.”1
Pernikahan adalah lembaga di bumi. “Ikatan pernikahan adalah ikatan yang
sementara dalam kehidupan di bumi (Mat.22:23-33).”2 Inisiatif Allah untuk membentuk

1 Dale Mathis, M. A. dan Susan Mathis, Menuju Pernikahan yang Sehat dan solid.
(Yogyakarta: Andi, 2010), 13.
2 Yakub B. Susabda, Pastoral Konseling, (Malang: Gandum Mas, 2003), 140.

1

2
lembaga pernikahan adalah supaya manusia menemukan penolong yang sepadan (Kej.2:18) dalam
mengerjakan pekerjaan yang sudah dipersiapkan Allah (Ef. 2:10), yaitu “untuk menjadi partner
Allah (2 Kor.6:1) dalam melahirkan anak-anak Allah, menaklukan dan mengerjakan bumi
(menyelesaikan rencan penciptaan Allah).”3
“Keluarga adalah sebuah proses ketika dua orang yang berlainan jenis menyatakan komitmen
untuk hidup bersama, untuk tujuan meneruskan keturunan, melahirkan anak, membesarkan,
menidiknya, dan selanjutnya menikahkan.”4
Adam dan Hawa memberi contoh hubungan yang paling mendalam dan paling intim
sebagai pasangan. Antara Adam dan Hawa ada keterbukaan yang dalam
di mana keduanya saling mengetahui keadaan masing-masing, dan Adam-Hawa tidak malu. Segala
kelebihan dan kekurangan boleh diketahui dan hal itu baik karena pasangannya menerima dirinya
sepenuhnya dan tetap mengasihi. Pasangan yang baru menikah akan menghadapi tekanan-tekanan
baru. Tekanan itu mungkin berasal dari dalam ataupun luar pernikahan, bisa juga dari masa lalu

yang sudah terpendam di dalam diri masing-masing. Menyesuaikan menyeimbangkan diri dengan
pasngannya merupakan suatu hal yang harus dilakukan agar tujuan pernikahan itu tercapai. Selain
itu ada beberapa faktor lainnya untuk menjalin hubungan yang abadi dan berkesan

diantaranya,” keinginan, penghargaan, komitmen, kepercayaan dan keyakinan yang sama.”5
Pasangan baru akan menemui banyak konflik di dalam rumah tangga yang dibangun, apalagi dasar
bangunan itu tidak sama (beda agama), akan terdapat konflik yang tidak terduga.
Setiap konflik menunjukkan adanya tuntutan dari masing-masing pihak untuk saling
mengerti, menyesuaikan diri satu dengan yang lain, memahami pasangan masing-masing, saling
3 Ibid., 13.
4 Elisa B. Surbakti, Konseling Praktis Mengatasi Berbagai Masalah, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup,
2008), 171.
5 David Stoop dan Jan Stoop A to Z Pranikah 11 hal yang Perlu Diketahui Sebelum Menikah (Yogyakarta:
Andi, 2002), 20.

3
mempercayai dan perlu pengorbanan dari masing-masing pihak. Pasangan yang berbahagia
menemukan cara mengatasi masalah mereka dengan sebuah langkah yang baik dan benar.
Terkadang pasangan yang baru menikah seringkali terlibat beda pendapat yang bisa saja
menimbulkan percekcokan, untuk menghindari hal tersebut perlu ada yang mengalah, kapan harus

dengan perkataan yang keras, kapan harus lembut, kapan harus diam. Pernikahan antar agama
dapat menimbulkan banyak masalah misalnya hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai, moral,
waktu, persahabatan, keuangan dan lain-lain. Karena perbedaan yang jelas diantara keduanya bisa
saja menimbulkan konflik yang berkepanjangan bahkan meluas jika pihak-pihak yang bersangkutan
tidak intropeksi diri atau saling mengalah, merendahkan diri, mendengarkan pendapat pasangannya.
Hal terburuk yang terjadi dari konflik itu adalah kekerasan kepada pasangannya, bahkan
kepada anak-anak di dalam rumah tangga baik secara psikis maupun fisik, bahkan sampai kepada
perceraian. “Smith menyebutkan kekerasan dalam rumah tangga sebagai kekerasan fisik, serangan
seksual dan kekerasan psikis kepada orang yang dikasihi”. 6 Kekerasan dalam rumah tangga tidak
diinginkan oleh semua pihak termasuk pasangan yang menikah beda agama.
Permasalahan itu bukan saja datang dari pasangannya, tetapi juga datang dari luar seperti
pihak keluarga besar yang banyak menunutut atau bahkan juga memusuhi, mengintimidasi dengan
berbagai macam cara, misalnya: mengejek atau mengolok-olok. Jika tahu kalau anaknya tetap di
dalam kondisi seperti itu (beda agama), tentunya orangtua mana yang ingin pernikahan anaknya
berada dalam kondisi yang berbeda, tentunya orangtua berharap agar keduanya satu iman.
Tentunya orangtua mengharapkan iman yang sama ketika menghadapi hari raya ataupun
persekutuan keluarga, ketemu keluarga besar di hari raya dan merayakan hari raya bersama-sama
keluarga besar. Masalah-masalah lain yang juga timbul di kemudian hari adalah pengakuan negara
atau pengakuan dari agama atas perkawinan tersebut, pengakuan negara atas anak yang dilahirkan,
pembagian harta warisan. Belum lagi berkembangnya gaya hidup kumpul kebo atau menjalin

6 Robin Smith, Living In Convenent with God and One Another (Geneva, Switzerland: World Council of
Chuches Family Education Office, 1990), 69.

4
hubungan suami- istri tanpa ikatan pernikahan yang dipicu akibat belum diterimanya pernikahan
beda agama oleh negara. Masalah lainnya yang timbul yaitu kepada iman anak , tentunya suamiistri berharap agar anaknya ikut iman dari orangtua.
Anak berada di dua persimpangan, kebingungan mana yang harus dipilih atau agama
apa yang baik atau benar. Apakah ketika anak memilih salah satu iman dari orang tuanya bisa
menjadi masalah kedepannya, terutama di lingkungan sekitar. Hal itu menjadi kekwatiran bagi
anak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan keluaraga yang berbeda Agama dan lingkungan
sekitar tempat ia bermain atau bersosialisasi.

Masalah lainnya yang bisa terjadi diantara pasangan tersebut adalah renggangnya
hubungan kedua pasangan, bahkan terjadi pisah ranjang atau pisah rumah sementara dan jika tidak
ada jalan tengah diantara keduanya, bisa saja kedua pasangan itu bercerai. Jalan ini tidak dapat
terelakkan lagi jika keduanya bersikukuh dengan pandangan masing-masing dan tak ada yang mau
mengalah. Maleakhi 2:16, berkata Tuhan membenci perceraian, apapun penyebabnya Tuhan tidak
menginginkan hal itu terjadi karena apapun yang terjadi ada tujuan dan maksud Tuhan di balik
semuanya itu. Jadi ketika menghadapi persoalan yang pelik pasangan yang Kristen harus
mempertahankan pernikahannya tersebut terkecuali pihak pasangannya yang menolak dan ingin

bercerai.
Tuhan menghendaki agar pasangan tersebut tetap didalam pernikahannya dan jangan
menceraikan orang yag tidak percaya tersebut. Yesus sendiri berkata, "Apa yang telah dipersatukan
Allah, tidak boleh di ceraikan manusia" (Mrk 10:9). Nasihat Yesus tersebut menunjukkan betapa
kokohnya ikatan dalam pernikahan Kristen. Itulah sebabnya, Alkitab memperingatkan setiap orang
agar teliti dalam menentukan pasangannya sebelum mengikrarkan janji sebab kekeliruan sekecil
apapun dalam menentukan pasangan dapat berakibat fatal dan penyesalan seumur hidup.
“Pernikahan menurut Kristen bukan merupakan kontrak hukum yang bisa dibatalkan,

5
melainkan komitmen seumur hidup, karena kekristenan tidak mengenal perceraian.”7 Dari hal-hal
yang telah diuraikan dalam latar belakang tersebut dapat dilihat bahwa mengingat di negara kita
hidup serta diakui berbagai macam agama dan kepercayaan, maka tidak mengherankan apabila kita
sering menjumpai atau mendengar adanya perkawinan antar orang-orang yang berbeda agama atau
kepercayaan.

Berdasarkan pengamatan sementara penulis mengindentifikasikan masalah yang terjadi
di Gereja Bethel Indonesia Pudakpayung sebagai berikut:
1. Pernikahan yang sering terjadi di antara jemaat Gereja bethel Indonesia yaitu sesama
anggota jemaat Gereja Bethel Indonesia Pudakpayung.

2. Jemaat Gereja Bethel Indonesia Pudakpayung bisa dibilang Gereja Keluarga karena
mayoritas jemaat di Pudakpayung masih ada hubungan kerabat.
3. Jemaat masih menggunakan sistem kekeluargaan dalam menyelesaikan suatu permasalahan
yang terjadi di dalam Gereja
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam skripsi ini adalah bagaimana pandangan Alkitab mengenai
pernikahan beda agama. Pertama, bagaimana aspek hukum pernikahan beda agama. Kedua,
pengaruh dari pernikahan beda agama terhadap pertunbuhan iman jemaat. Ketiga, sejauh mana
jemaat Gereja Bethel Indonesia Pudakpayung yang berbeda agama di dalam kerohaniannya
mengikut Tuhan apakah kendor, atau semakin tekun.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah, pertama untuk mendeskripsikan pernikahan beda
7 Surbakti, 183

6
agama. Kedua, aspek hukum dari pernikahan beda agama. Ketiga, pengaruh dari pernikahan beda
Agama terhadap pertumbuhan iman jemaat menikah beda agama.

D. Manfaat Penelitian
Penulis berharap melalui penulisan skripsi ini akan bermanfaat baik secara teoritis

maupun praktis bagi perkembangan teologi, bagi lembaga yang diteliti, peneliti dan pihak lain.
Pertama bagi perkembangan teologi, diharapkan dengan adanya kasus seperti ini
membuka wawasan terhadap gereja mengenai pernikahan yang kudus dan yang berkenan,
bagaimana Allah dapat dimuliakan melalui pernikahan beda agama.
Kedua, bagi lembaga yang diteliti yaitu Gereja Bethel Indonesia Pudakpayung,
diharapkan jemaat belajar dari pasangan yang menikah beda agama, agar mereka tidak mengulangi
kesalahan yang sama, bahwa pernikahan beda agama dapat menimbulkan konflik yang
berkepanjangan, dan dari sudut pandang Alkitab saja melarang pernikahan beda agama.
Ketiga, bagi peneliti yaitu belajar dan memahami akibat yang ditimbulkan dari
pernikahan beda agama, dan dari kesalahan orang lain belajar untuk menetapkan komitmen agar
mencari pasangan yang seimbang dan seiman.
Keempat bagi pihak lain atau pembaca, dengan penulisan ini para pembaca dapat
mengambil hikmah dan mengerti pengaruh dan bahayanya pernikahan beda agama bagi
kelangsungan rumah tangga kedepannya.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Penulisan ini tidak meluas atau melebar lebih jauh, penulis hanya membahas mengenai :

7
Pertama, Penelitian ini hanya membahas tentang pernikahan antara pasangan yang
menikah beda agama.

Kedua, Penelitian ini hanya mengukur sejauh mana pengaruh pernikahan beda agama
terhadap pertumbuhan iman jemaat, khususnya bagi jemaat Gereja Bethel Indonesia Pudakpayung
yang menikah dengan beda agama.
Ketiga, Penelitian ini hanya dilakukan kepada warga jemaat di Gereja Bethel Indonesia
Pudakpayung periode September 2013 hingga april 2014.
F. Sistematika Penulisan
Pada bagian ini untuk lebih mempermudah memahami dan mempelajari dalam
penulisan Skripsi ini, maka penulis mencoba menguraikan dalam lima bab secara singkat di bawah
ini:
Bab pertama, Pendahuluan yang mencakup: latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, sistematika penelitian.
Bab kedua, membahas kajian pustaka yang meliputi, kajian Alkitab, dampak yang timbul
dari pernikahan beda agama, kerangka berpikir, hipotesis.
Bab ketiga membahas tentang: metodologi penelitian yang meliputi: rancangan dan
ancangan penelitian, pendekatan penelitian, populasi dan sampling, sumber data, instrumen
penelitian, analisis data, interpretasi data.
Bab keempat, membahas tentang pembahasan hasil penelitian yakni, deskritif objek
penelitian, analisis data dan interpretasi data.
Bab kelima, bagian ini merupakan bab penutup yang berisikan: kesimpulan dan saran,
serta daftar pustaka dan lampiran-lampiran.


8

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pernikahan Beda Agama
Pernikahan merupakan hal yang penting dan sakral bagi sebagian orang yang
ingin menjalani hubungan lebih jauh lagi, yaitu jenjang pernikahan. Lembaga pernikahan
merupakan institusi manusia pertama yang ada di dunia. Hubungan cinta beda agama bisa
terjadi pada siapa saja. Ada yang merasa tidak terganggu oleh hal ini, tapi banyak juga yang
tidak setuju dan bahkan menentangnya. Alasannya bermacam-macam, ada yang berkata
nikah beda agama itu tidak baik bagi iman, bahkan ada yang percaya bahwa hal ini dosa.
Salah satu jalan tengah yang diambil oleh beberapa pasangan adalah pindah agama.
Allah menghendaki agar pernikahan itu dijalani oleh yang seiman agar iman
salah satu tidak akan menjadi gugur atau berbalik menjauhi Allah. Komitmen dalam
pernikahan Kristen sebuah perjanjian yang disahkan oleh Allah sendiri, berbeda dengan
pernikahan tradisional maupun modern, yang didasarkan pada budaya dan hukum.
Pernikahan yang didasarkan Alkitab akan mengubah komitmen pernikahan dari landasan
budaya dan hukum yang berpusat kepada Kristus.
Rasul Paulus di dalamnya suratnya kepada jemaat di Korintus menegaskan

pernikahan yang terjadi, dimana ada pasangan yang sudah menikah, tetapi pasangannya
bertobat dan mengikut Tuhan, Paulus mengingatkan bahayanya percabulan dan perzinahan
yang terjadi di kota Korintus.

9
1.

Dasar Alkitab
Rasul Paulus menekankan dan memperingati betapa pentingnya sebuah landasan
yang kokoh di dalam pernikahan. Artinya pernikahan yang dikehendaki Tuhan adalah
pernikahan yang kudus dan berkenan di mata Allah, pernikahan yang dimaksud adalah
pernikahan yang membangun mezbah yang suci dan bersekutu bersama anggota keluarga
dengan Allah sang pencipta. Dengan adanya perbedaan keyakinan maka mezbah akan
terputus.
Rasul Paulus menegaskan di suratnya pada Jemaat Korintus pada saat itu yang
mempunyai pandangan yang keliru mengenai hubungan seksual, “Jemaat Korintus dapat
membiarkan hubungan seks dengan seorang pelacur, namun meremehkan hubungan
perkawinan yang normal (1 Kor. 6:12-20).”8 Pernikahan itu menjadi masalah bagi Jemaat di
korintus pada saat itu, bukan bagi Paulus. Sehingga Paulus mengingatkan akan perilaku
jemaat Korintus yang salah.


1.1 Pasangan yang Beriman Menguduskan Pasangan Yang Tidak Beriman
(1 Kor 7:12-16)

Korintus merupakan bangunan dari kota Yunani kuno, yang telah dihancurkan
dan dibangun kembali oleh pemerintah Romawi. Kota ini letaknya sangat strategis untuk
mengontrol perdagangan, sebuah pusat perdagangan yang kaya dan kota kosmopolitan di
mana berkumpul orang –orang Yunani, Latin (Spanyol, Italia, Prancis), Siria, Asia, Mesir
dan Yahudi. Kota Korintus didominasi oleh kuil Afrodite (Dewi cinta), ribuan kuil
percabulan, sejumlah besar penduduk yang tidak menetap, dan aneka suku dan bangsa yang
ada.
8 Pfitzner, V. C. Kesatuan Dalam Kepelbagain Tafsiran Atas Surat 1Korintus, (Jakarta: PT BPK Gunung
Mulia, 2000), 107

10
Penduduk Korintus terdiri dari beberapa suku bangsa dan tingkatan sosial. Di
Korintus juga terdapat permasalahan seperti kasus inses (hubungan seksual antar anggota
keluarga dekat). Kasus ini sangat mengejutkan, sekalipun bagi orang-orang kafir yang
terkenal bejat di kota itu. Kebejatan iu semakin berakar. Namun tidak semua nya begitu,
ada orang-orang yang bertobat di kota Korintus walaupun berlatar belakang kafir atau
penyembah berhala. Rasul Paulus berkata didalam Pasal 7:10, ”Kepada orang-orang yang
telah kawin, aku-tidak, bukan aku, tetapi Tuhan-perintahkan, supaya seorang istri tidak
boleh menceraikan suaminya.”
Dalam ayat 12 ia berkata, ”Kepada orang lain aku, bukan Tuhan, katakan: kalau
ada seorang saudara beristrikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup
bersama-sama dengan dia, janganlah saudara itu menceraikan dia. Artinya ialah, “ peraturan
dalam hal orang yang sudah menikah telah ditentukan oleh Tuhan sendiri (Mat. 5: 31,32;
19:5-9; Mrk. 10:11; Luk. 16:18), sedang soal orang Kristen yang suami atau isterinya masih
kafir, belum ditentukan demikian.“9
Rasul Paulus coba katakan di dalam ayat yang ke 14 “Karena suami yang tidak
beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh
suaminya. Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak cemar, tetapi
sekarang mereka adalah anak-anak kudus.” Kata dikuduskan dalam bahasa yunani

 (Egiastai) dengan kata dasar (Agiazo) yang memiliki arti menguduskan,
menganggap kudus, mengkhususkan, tetapi dalam konteks 1Korintus 7:14 ini dapat
diterjemahkan yaitu menguduskan. Kata  ini memiliki analisa dalam kasus perfek
pasif indikatif orang ketiga tunggal, di mana dalam kasus perfek merupakan kala Yunani
yang menyatakan tindakan rampung atau sudah selesai.
Maksudnya menyatakan tindakan yang telah sepenuhnya rampung (selesai
9 J. Sidlow Baxter, Menggali Isi Alkitab Roma-Wahyu, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1996),
56

11
tercapai) dan akibatnya merupakan suatu keberadaan yang lanjut, tetapi tekanan utamanya
adalah pada keberadaan yang berlanjut sehingga dapat dikatakan kala perfek melibatkan
adanya suatu proses dan proses itu dilihat sebagai sesuatu yang telah mencapai
penyelesaian dan menghasilkan suatu akibat yaitu suatu keberadaan yang telah
terselesaikan, sehingga dapat disimpulkan kala perfek adalah kala tindakan di masa lampau
dan akibatnya masih ada sampai masa kini.
Orang ketiga tunggal adalah orang yang dibicarakan dalam bentuk tunggal
berarti satu orang sehingga dalam konteks 1 Korintus 7:14 orang ketiga tunggal adalah
suami atau istri yang tidak beriman dikuduskan oleh pasangannya yang beriman, sehingga
dapat ditafsirkan bahwa kata h`gi,astai yang memiliki kasus Perfek Pasif Indikatif Orang
ketiga dalam 1 Korintus 7:14 yaitu telah selesai dikuduskan, di mana seorang suami atau
istri yang tidak beriman telah selesai dikuduskan oleh suami atau istri yang beriman dan
proses pengudusan tersebut masih terus berlanjut, sehingga keturunannya yaitu anakanaknya juga mengalami pengudusan yang dimiliki orangtuanya.
Paulus menekankan secara khusus pada pasangan yang Kristen dari pernikahan
beda agama tersebut dimana dikatakan tak seorang kristenpun yang boleh berusaha atau
melakukan langkah-langkah unuk bercerai dengan alasan keagamaan. Pernikahan tetap
merupakan tatanan Allah yang baik bahkan dengan pasangan yang tidak percaya. Bahkan
pernikahan sekular antara dua non-kristen termasuk dalam tatanan ini. Perlu di ingat bahwa
situasi di ayat 12-16 adalah pasangan yang dulu sama-sama tidak Kristen tetapi kemudian
salah satu di antara mereka bertobat atau percaya dan mengikut Yesus.
Dengan kata lain, “perkawinan ini “sudah terlanjur” terjadi, bahkan memiliki
anak-anak (1 Kor.7:14b).”10 Paulus menjawab bahwa suami atau istri yang tidak percaya
dikuduskan melalui suami atau istri yang percaya. Tapi dalam hal pengudusan bukan berarti
10 Yakub Tir Handoko, Eksposisi 1korintus 7:12-14 Online: http://www.gkri-eksodus.org/imageupload/1korintus7ayat12-14, diakses,3 Desember 2013.

12
bahwa iman yang Kristen itu secara otomatis di pindahkan kepasangannya di dalam
pernikahan. “Iman harus selalu merupakan iman yang pribadi, tak seorangpun yang dapat
percaya untuk orang lain, tidak pula untuk istri atau suaminya.”11 Jika pasangan yang tidak
seiman itu bersedia untuk tetap mempertahankan pernikahan itu, maka orang yang beriman
itu tidak boleh menceraikan atau menolak orang yang tidak beriman itu. Karena
kesediaannya untuk tinggal bersama dengan orang yang tidak beriman itu mungkin akan
mengungkapkan kepadanya kekuatan kasih karunia Allah yang menyucikan melalui
pasangan yang beriman itu.
Pernikahan campuran harus diselamatkan bukan hanya untuk melestarikan
tatanan Allah, tetapi juga demi anak-anak. Pernikahan campuran adalah kesempatan yang
sudah tersedia untuk bersaksi bagi Kristus, dan kesaksian ini mungkin akan menyelamatkan
pasangan yang tidak percaya itu dengan membawanya pada iman. Setiap orang yang
menikah terpanggil untuk melayangkan kasih karunia Allah kepada pasangannya. Paulus
setuju dengan 1 Petrus 3:1,2,15: suami dapat dimenangkan tanpa kata-kata yang diucapkan
oleh istri mereka; dan bila mereka bersaksi dengan kata-kata, mereka harus melakukannya
dengan lemah lembut dan hormat, untuk memastikan bahwa pasangan mereka tidak
mempunyai alasan yang sah untuk menuduh atau mengeluh.
Konteks di atas berdasarkan keadaan pada jemaat di Kota Korintus. Keadaan
yang di Korintus dan saat ini masih relevan terjadi di Pudakpayung, khususnya jemaat
Gereja Bethel Indonesia Pudakpayung. Jemaat ada yang menikah seagama dalam hal ini
menikah secara muslim dan hidup sebagai orang muslim. Tetapi berjalannya pernikahan ibu
ini percaya kepada iman Kristen di mana ibu ini menyaksikan bahwa orang Kristen
hidupnya damai, tentrem, ada kasih sehingga membuat ibu ini bertanya-tanya dalam dirinya
kenapa orang Kristen itu cinta damai dan tidak mau mebalas perbuatan jahat, tentrem. Ibu
ini melihat hal itu yang membuatnya penasaran dan ingin mengetahui lebih dalam lagi,
11 V. C. Pfitzner, Kesatuan Dalam Kepelbagain Tafsiran Atas Surat 1Korintus, (Jakarta: PT BPK
Gunung Mulia, 2000), 117.

13
sehingga ibu ini mau belajar dan mengenal Tuhan lebih dekat lagi. Pendek cerita ibu ini
mau menjadi orang Kristen dan di baptis.
Iman ibu ini bertumbuh di dalam Tuhan, walaupun ibu ini merasa takut ketika ke
gereja, karena suami yang belum percaya (masih Muslim), ibu ini takut mendahului karena
suami adalah imam di dalam rumah tangga. Proses demi proses

di lalui sampai akhirnya

suaminya harus dirawat di rumah sakit karena harus menderita sakit yang parah, dalam rasa
sakit bapak ini meminta didoakan oleh pendeta dan akhirnya melalui mujiat yang terjadi
bapak ini memperoleh kesembuhan sehingga ia percaya kepada Tuhannya orang Kristen dan
tunduk menyembah kepadanya hingga sekarang. 1 Korintus 7:14, mengatakan suami atau
istri yang kudus menguduskan pasangannya dengan tetap beriman kepada Tuhan dan
berharap pasangannya kelak akan seiman dengannya. Itu tergantung iman dari pasangannya
dan terus berharap kepada Tuhan agar suatu kelak pasangannya mau percaya kepada Yesus
Kristus.
1.2 Terang dan Gelap Tidak Dapat Bersatu (2 Kor 6:14)
Rasul Paulus dalam 2 Korintus 6: 14 mengatakan “ Janganlah kamu merupakan
pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya, sebab persamaan
apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat
bersatu dengan gelap.” Bahasa Yunani untuk "menjadi pasangan yang tidak seimbang"
adalah  atau ετεροζυγεω – heterozugeô.
Kata  ini memiliki analisa Kini Aktif Partisif Nominatif jamak
maskulin, di mana dalam kasus partisif merupakan kala Yunani yang menyatakan tindakan
yang berlangsung terus-menerus, yang terjadi bersamaan waktunya dengan tindakan kata
kerja utama. Kini Aktif Partisif memiliki fungsi sebagai berikut :

14
1.

Dalam posisi Atributif (ada artikel di partisif, ada kata benda sepadan dalam hal kasus, jenis

2.

dan jumlah). Terjemahannya yang.
Dalam posisi Predikatif (tidak ada artikel dipartisif), terjemahannya selagi, sementara, sambil,

3.

pada saat.
Dalam posisi Substantif (ada artikel dipartisif, tidak ada kata benda sepadan), terjemahannya
pria yang, wanita yang, hal yang.
Dalam kasus ini diterjemahkan pria-pria yang merupakan pasangan yang tidak
seimbang.

Dari penggunaan kata bahasa Yunani ini timbullah arti "salah menjodohkan "

yang digunakan oleh beberapa terjemahan untuk teks kitab (Alkitab versi RSV. NEB,
"Jangan kamu berpasangan dengan orang-orang yang tidak percaya; mereka bukan pasangan
yang cocok bagimu").12 Dari terjemahan kata ini muncullah penafsiran yaitu, Paulus
memberikan peringatan yang menentang pernikahan antara orang-orang percaya dan orangorang yang tidak percaya. Paulus katakan, "Hentikan kebiasaanmu menjadi terikat secara
heterogen dengan orang-orang yang tidak percaya kepada Kristus". Prinsip ini mengacu
balik kepada Taurat yang diturunkan kepada Musa (bandingkan Im. 19:19, Ul 22:10).
Orang-orang Kristen adalah "ciptaan baru" ( 2 Kor 5:17); secara rohani orang
Kristen tidak boleh bersatu dengan orang yang belum percaya yang mati secara rohani (Ef.
2:1). Prinsip ini digunakan oleh Paulus untuk menekankan bahwa tidak boleh dan sungguh
bertentangan bila orang beriman merupakan pasangan yang tidak seimbang (menikah)
dengan orang yang tidak beriman kepada Yesus Kristus.
Paulus mengatakan ada banyak kesalahan besar di dalam Jemaat Korintus ini,
yaitu banyak orang Kristen menikah dengan orang yang tidak beriman kepada Kristus, dan
orang itu kemudian ditarik untuk tidak lagi menuruti Firman Tuhan dan bahkan beribadah
kepada ilah-ilah lain. Orang Kristen itu ditarik kepada hal-hal duniawi sehingga ia
meremehkan Firman Tuhan dan prinsrip-prinsip Kristiani yang lain. Ia seperti lembu dan
12 Manfred T. Brauch, Ucapan Paulus yang Sulit, (Malang : SAAT, 2003), 187

15
keledai yang merupakan pasangan tidak seimbang. Atau ia seperti lembu dan keledai yang
memakai kuk, ikatan atau pikulan di leher (sebagai lambang dari hukum) yang berbeda.
Pernikahan semacam ini seringkali melemahkan orang Kristen untuk tidak lagi setia kepada
keimanannya.
Firman Allah mengatakan orang Kristen adalah bait Allah, Paulus
mengemukakan hal itu kepada jemaat di Korintus, Paulus mengingatkan bahwa bait Allah
itu keramat atau kudus. Kiasan mengenai bait Allah itu melambangkan kesucian. Paulus
berkata,”Marilah kita menyucikan diri kita dari semua pencemaran jasmani dan rohani, dan
dengan demikian menyempurnakan kekudusan kita dalam takut akan Allah (2 Kor. 7:1). Ini
berarti bahwa orang Kristen berada dalam proses menuju kesucian. Artinya bahwa
kehidupan manusia itu terpisah dari yang jahat yang ditunjukkan melalui cara hidup yang
berbeda yang membuktikan tingkah laku moral yang sangat mulia dan pengabdian kepada
Allah ditunjukkan melalui penolakan terhadap semua campur tangan berhala (1 Kor. 10: 14;
2 Kor. 6:16).

Paulus prihatin kepada kehidupan jemaat Korintus, ketika hidup di dunia dan
dalam hubungan dengan orang yang tidak beriman, orang Kristen tidak memiliki persamaan
dengan kegelapan, kejahatan, ketidakbenaran, dan kebejatan yang menuntut kesetiaan dari
orang-orang yang belum di perdamaikan dengan Allah. Karena itu, orang percaya jangan
berhubungan intim dengan orang tidak percaya, sebab hubungan semacam itu dapat
merusakkan hubungan mereka dengan Kristus.
2

Pengertian Pernikahan
Pernikahan merupakan hal yang sangat penting dan sacral karena merupakan
suatu penghubung ikatan yang sangat dalam di antara para pihak yang terlibat di dalamnya,

16
yaitu suami dan istri dalam membentuk keluarga dan rumah tangganya. Oleh karena itu, tak
heran apabila perkawinan merupakan suatu tradisi yang sangat penting

di belahan bumi

manapun, bahkan begitu pentingnya masalah perkawinanpun banyak diatur dalam berbagai
aspek penghidupan, baol dari sisi agama, tradisi kemasyarakatan dan institusi Negara
sekalipun.
UU Perkawinan No.I th.1974 (UUP) ” perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.” 13
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2 disebutkan bahwa perkawinan adalah
pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Karena itu menikah adalah wajib menurut Islam,
untuk menjadi keluarga yang bahagia, taat dan tekun beribadah kepada Tuhan.
Selain rumusan pada dua peraturan tersebut, beberapa pakar hukum juga
memberikan pengertian tentang perkawinan. Subekti, mengatakan “Perkawinan adalah
pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam waktu yang
lama.”14 Sedangkan menurut R. Wirjono Prodjodikoro. Perkawinan adalah suatu hidup
bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syara-syarat yang
termasuk dalam hukum pernikahan.15 Jadi pernikahan adalah pertalian antara dua orang
yang berlainan jenis bersatu untuk waktu yang cukup lama.
2.1

Pengertian Pernikahan Menurut Islam

13 Djaja S Meliala, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Perkawinan, Nuansa Aulia,
Bandung, 2008, 1.

14 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa:[ t.th]), 25.
15 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Sumur Bandung)

17
Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.16 CLD (Counter Legal Draft), memberikan definisi sebagai berikut,
”Perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidzan) yang dilkakukan secara
sadar oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga yang
pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua pihak.”17 Hukum asal
pernikahan adalah mubah. Namun dmikian, dilihat dari keadaan dan situasinya, ”hukum
nikah dapat menjadi wajib, sunah, makruh bahkan menjadi haram.”18
Pernikahan menurut Sajuti Thalib ialah “suatu perjanjian yang suci, kuat dan
kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dan seorang permpuan
membentuk kelaraga yang kekal, santun-menyantuni, kasih-mengasihi, tentram dan
bahagia.”19
2.2

Pengertian Pernikahan Menurut Kristen Protestan
“Pernikahan adalah lembaga yang diteguhkan oleh Allah sebagai sebuah
hubungan permanen antara dua orang manusia yang berlainan jenis.”20 Alkitab berkata, “
Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan
istirinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej. 2:24). Artinya sejak semula rencana

16 Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum menuju Hukum Yang Berperspektif kesetaraan dan
keadilan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), 151.
17 Ibid, 151.
18 Ibid, 60

19 Idris Ramulya, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan
kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1996), 1.
20 Elisa B. Surbakti, Konseling Praktis Mngatasi Berbagai Masalah, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup,
2008), 245.

18
Allah tentang pernikahan adalah “satu orang laki-laki dan satu orang permpuan yang
menjadi “satu daging”, Yaitu bersatu secara jasmani dan rohani.21
Pernikahan kristen adalah ikatan dan persekutuan hidup yang menyeluruh
( total ) dari seorang pria (suami) dengan seorang wanita (istri) yang telah diteguhkan Allah dalam
pernikahan kudus; yang meliputi roh, jiwa dan tubuh; masa kini dan masa yang akan datang
( sampai salah seorang meninggal dunia ), dengan tujuan untuk membentuk secara bertanggung
jawab suatu rumah tangga kristiani yang kudus, harmonis, dan bahagia serta memuliakan dan
melayani Tuhan.22

Pernikahan atau perkawinan menurut Bonaventura ialah “penggabungan laki-laki
dan perempuan sebagai suami istri (maritalis), antara orang yang menurut hukum (legitmae)
dapat nikah.”23 Berdasar paparan tersebut pernikahan Kristen adalah bersatunya dua insan
kedalam pernikahan yang kudus dan hidup bersama-sama sampai maut memisahkan.
2.3 Pengertian Pernikahan Beda Agama
Pernikahan beda agama atau perkawinan antar agama dapat diartikan sebagai
perkawinan dua insan yang berbeda agama, kepercayaan atau faham-faham. Menurut Slamet
Abidin, “pernikahan beda agama adalah perkawinan antara dua orang yang berbeda agama
dan masing-masing tetap mempertahankan agama yang dianutnya.”24 Hilman Hadikusuma

21 Ibid., 24.
22 N. L. Tobing, Pernikahan Beda Agama,
https://www.facebook.com/kasihtuhantiadaduanya/posts/242204562598894, diakses 13 Desember 2013.

23 C. Groenen, OFM. Pustaka Teologi Perkawinan Sakramental Antropologi dan Sejarah Teologi,
Sistematik, Spiritualitas, Pastoral, (Yogyakarta :Kanisius, 1993), 224.
24 Slamet Abidin dan H. Aminudin, Fikih Muhakahat I, Pustaka Setri.

19
dalam bukunya “Hukum perkawinan Indonesia”, perkawinan beda agama terjadi apabila
seorang pria dengan seorang wanita yang berbeda agama yang dianutnya melakukan
pernikahan dengan tetap mempertahankan agamanya masing-masing, termasuk dalam
pengertian ini, walaupun agamanya satu kiblat namun berbeda dalam pelaksanaan upacaraupacara agama dan kepercayaannya.25
Pernikahan beda agama terjadi disebabkan karena gejala perkembangan zaman
yang semakin modern yang menyebabkan pelemahan terhadap nilai-nilai Agama.
Pernikahan beda agama tidak akan terjadi, jika ada pemahaman yang benar, dan dampak
pernikahan beda agama bagi kelangsungan hidup kedepannya. Hal ini perlu penangan yang
serius dari pemuka Agama dalam hal ini Pendeta, gereja dan yang paling utama adalah
orang tua, karena hidup bersama. Orang tua adalah pengajar atau guru di dalam keluarga,
orang tua memiliki peran yang vital dalam keluarga untuk menanamkan ajaran-ajaran
agama.
3. Tujuan Pernikahan

Manusia sebagai makhluk sosial tidak mungkin dapat hidup sendiri. Ia pasti
membutuhkan orang lain untuk berkomunikasi, melaksanakan tugas dan memenuhi segala
kebutuhannya. Selain itu manusia juga dikaruniai nafsu berupa kecenderungan tabiat kepada
sesuatu yang dirasa cocok. Kecenderungan ini merupakan satu bentuk ciptaan yang ada pada
diri manusia, sebagai urgensi kelangsungan hidupnya. Seperti makan, minum dan menikah.
Tujuan pernikahan bukanlah kebahagiaan seperti yang diangan-angankan banyak
muda-mudi sebelum menikah, melainkan pertumbuhan. “Kebahagiaan itu justru ditemukan
di tengah-tengah perjalanan (proses) pernikahan yang dilandasi cinta kasih Kristus.”26
25 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1990), 18.
26 Adolf Heuken, Persiapan Perkawinan, (Yogjakarta: Kanisius, 2006), 24-25.

20
Kalau tujuan kita menikah adalah bahagia, maka pasangan akan peralat pasangannya demi
mencapai kebahagiaan itu. Itu sebabnya, orang yang menikah dengan tujuan bahagia justru
menjadi yang paling tidak bahagia dalam pernikahannya. Bahkan, tujuan ini banyak
mengakibatkan perceraian, dengan alasan ia tidak merasa bahagia dengan pasangannya.
Heuken menyebutkan beberapa tujuan lain yang kuat sebagai landasan untuk menikah.
Pertama, demi keperluan psikologis, yakni supaya merasa tidak sendirian atau kesepian. Kedua,
demi kebutuhan biologis, yakni agar dapat memuaskan nafsu seks secara wajar. Ketiga,
demi rasa aman, yakni supaya memunyai status sosial dan dihargai masyarakat. Keempat,
agar memunyai anak. Ini semua bukan merupakan alasan atau tujuan yang kuat mengapa
seseorang menikah.27
4. Bentuk Pernikahan Beda Agama
Islam dengan tegas melarang seorang wanita Islam kawin dengan seorang pria
non-Muslim, baik musyrik maupun Ahlul kitab. Dan seorang pria Islam secara pasti
dilarang menikahi seorang wanita musyrik. Kedua bentuk perkawinan tersebut mutlak
diharamkan. Gereja sebagai lembaga Kristen juga melarang bentuk pernikahan semacam
itu, pada umumnya gereja tidak mau memberkati acara pernikahan tersebut.
Jadi agar pernikahan legal secara hukum dan agama, salah satu pihak mengalah,
yaitu menikah secara kesepakatan bersama (nikah secara Islam atau secara Kristen), atau
beberapa pasangan beda agama harus melakukan pernikahan di Singapura, Australia atau
Thailand, hal ini bagi yang punya uang.
5. Dasar Perundang-undangan
Pernikahan merupakan suatu hal yang religius di mana suatu hubungan antara
dua insan manusia yaitu, seorang laki-laki dengan seorang wanita yang telah dewasa dan
memilki hasrat untuk bersatu dan berjanji dalam ikatan suci sebagai suami-istri untuk
membentuk keluarga yang bahagia serta memperbanyak keturunan. Indonesia dikenal
27 Ibid, 18-19

21
dengan beraneka ragam budaya, adat-istiadat yang sudah tertanam sejak dahulu, serta agama
dan kepercayaan yang berbeda-beda. Tentunya memiliki aturan yang berbeda pula. Sama
halnya dengan pernikahan.
Dalam acara pernikahanpun setiap daerah berbeda-beda adat dan acaranya.
Budaya pernikahan yang beraneka ragam serta aturan di dalamnya tidak lepas dari pengaruh
agama dan para pemuka agama, dan lingkungan di mana masyarakat itu berada. Untuk
menyelaraskan aturan Hukum yang beraneka ragam tersebut, maka dibuatlah hukum
perkawinan nasional yang merupakan landasan hukum serta aturan pokok dalam perkawinan
di Indonesia, agar semua berjalan dengan tertib dan tidak menimbulkan kekisruhan.
5.1. UU No.1 Tahun 1974

Pernikahan di dalam UU No.1 Tahun 1974 diatur dalam pasal (1) yang
mengatakan, “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami/istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”28 Pernikahan beda agama pada dasarnya
dilarang oleh agama (tidak diperkenankan), karena menimbulkan banyak masalah, dan juga
akan mengganggu keimanan salah satu pasangan. Menurut UU No.1 Tahun 1974 tentang
pengaturan perkawinan, sistemnya tidak mengatur secara tegas bahkan tidak ada hukum
yang mengatur perkawinan beda agama.
UU No.1 Tahun 1974 hanya mengatur mengenai pernikahan campuran. Namun
di dalam kenyataannya sering terjadi untuk mudahnya pasangan tersebut kawin berdasarkan
agama salah satu pihak, dan kemudian setelah perkawinannya disahkan mereka kembali
kepada keyakinannya masing-masing. Di Indonesia perkawinan antar agama masih
merupakan suatu problem yang masih perlu dicarikan jalan keluarnya dengan sebaik28 Ibid , 1.

22
baiknya. Pengaturan mengenai pernikahan beda agama di berbagai Negara sangat beragam.
Disatu sisi ada yang memperbolehkan pernikahan beda agama, di sisi yang lain ada yang
melarang baik secara tegas maupun tidak. Fenomena pernikahan beda agama bukanlah hal
yang baru di Indonesia. Sementara seluruh agama yang diakui di Indonesia tidak
memperbolehkan adanya perkawinan yang dilakukan secara beda agama. UU No.1 Tahun
1974 pasal 2 sahnya pernikahan apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Hal ini sesuai dengan pasal 29 UUD 1945 yang berbunyi Negara berdasarkan atas
ketuhanan Yang Maha Esa, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agam dan kepercayaannya itu.
5.2. Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Peraturan pernikahan menurut Kompilasi hukum Islam pasal 2 menyatakan
perkawinan menurut hukum Islam yaitu “akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan
untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”29 Menurut pasal 4
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam. Artinya pernikahan yang
sah adalah pernikahan yang sesuai dengan kaidah hukum Islam yang berlaku. Ordinansi
perkawinan Kristen pasal 75 ayat (1) menyatakan bahwa “perkawinan seorang laki-laki
bukan Kristen dengan seorang wanita Kristen atas permohonan kedua suami-istri dapat
dilaksanakan dengan memperlakukan ketentuan-ketentuan ordinansi ini dan ketentuanketentuan peraturan penyelenggaraan Reglemen catatan sipil untuk orang-orang Indonesia

29 Djaja S. Meliala, Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang Perkawinan, (Bandung: Nuansa
Aulia, 2008), 82.

23
Kristen.”30 Apabila pernikahan tidak dilaksanakan menurut agamanya masing-masing
berarti pernikahan itu tidak sah.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 40 dan 44 jelas melarang perkawinan orang yang beragama
Islam dengan orang yang bukan agama Islam sebagaimana juga tercantum dalam Undang-Undang
Dasar 1945 pasal 20 ayat 2, bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya.
6. Faktor-faktor Pernikahan Beda Agama

Rasul Petrus mengingatkan orang-orang yang sedang mengambil keputusan
untuk menikah agar jangan memikul kuk yang sama dengan orang yang tidak percaya.
Orang-orang yang tidak percaya tidak melibatkan Tuhan dalammengambil keputusan. Jika
seseorang ingin menikah, jangan abaikan faktor seiman dengan pasangan, karena Allah
ingin menjadikan bagian dari hubungan dengan yang mau menikah. Dalam pandangan Allah
ada beberapa faktor penting yang menjadi fondasi yang kokoh untuk membangun suatu
hubungan yang abadi dan berkesan. “Faktor-faktor itu adalah keinginan, penghargaan,
komitmen, kepercayaan, dan keyakinan yang sama.”31 Selain itu ada beberapa faktor lagi
yang menentukan di dalam kelangsungan rumah tangga.
6.1 Faktor Penghambat

Agama masih menjadi salah satu faktor penghambat, banyak pasangan yang
kemudian putus oleh perbedaan agama. Yang tetap bersikukuh, dihadapkan pada dua pilihan
yaitu nikah beda agama, atau salah satu mengalah mengikut agama pasangannya. Dari segi
agama ada beberapa faktor menikah beda agama menjadi suatu paradigma

di dalam

masyarakat. Yang pertama, seperti pragmatisme atau hal kemudahan untuk melakukan
30 Ibid, 75.
31 Stoop, 20

24
praktik keagamaan bersama, kesamaan adat atau budaya yang terkait dengan agama, dan
perayaan hari raya dalam keluarga ke depan. Faktor yang kedua, lebih ideologis, yaitu faktor
pengajaran agama. Pada faktanya hampir setiap agama mengharamkan pernikahan beda
agama, bahkan ada gereja yang menolak menikahkan kedua pasangan tersebut.
“Agama Islam melarang pernikahan beda agama seperti yang tertulis di dalam
Al-Quran dalam surat al-Baqarah ayat 221.”32 Al-quran menunjukkan beberapa hal yang
dapat menghalangi pernikahan. Halangan tersebut bersifat mutlak, sehingga hukum maupun
para pemimpin agama Islam tidak dapat memberikan dispensasi.
Al-Quran melarang semua orang Islam untuk menikah dengan seorang penyembah berhala. Dalam
hal ini, ajaran agama memiliki peran amat penting dan merupakan faktor fundamental mengapa
masyarakat cenderung enggan untuk menikah beda agama. Pragmatisme masyarakat sedikit banyak
didasari atau dipengaruhi oleh larangan ajaran agama.
UU No.1 Tahun 1974 tenang perkawinan di Indonesia yang melarang pernikahan
beda agama pasal 2 dan Kompilasi Hukum Islam pasal 40 huruf c secara eksplisit melarang
terjadinya perkawinan antara laki-laki (muslim) dengan wanita non-muslim (baik Ahl alKitab maupun non Ahl al-Kitab). Pasal ini memberikan penjelasan bahwa wanita nonmuslim apapun agama yang dianutnya tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang beragama
Islam. dan pasal 44 menyatakan Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang pria yang tidak beragama Islam, menjadi penghambat pernikahan beda
agama dari segi hukum.
6.2 Faktor Pendukung

Perkawinan adalah suatu pilihan dan bukan kewajiban. Artinya, seseorang dalam
32 Alpura Hadiwardoyo, Perkawinan menurut Islam dan Katolik, Implikasinya Dalam kawin Campur,
(Yogyakarta:Kanisius, 1990), 55

25
menjalani kehidupan ini boleh memilih hidup berumah tangga ataupun hidup sendiri,
bahkan juga bebas memilih pasangan hidupnya kelak. Masalah terpenting

di sini adalah

kualitas kehidupannya.
Apabila seseorang berniat berumah tangga, maka hendaknya konsekuen dan
setia dengan pilihannya, melaksanakan segala tugas dan kewajibannya dengan sebaikbaiknya. Cinta tidak mengenal batas. Seringkali perbedaan agama pun tidak menjadi batas
antara dua orang yang sudah saling mencintai. Cinta terhadap pasangan merupakan salah
satu faktor terjalinnya suatu hubungan yang intim dan tak terpisahkan. Cinta di sini
bukanlah sekedar keinginan untuk menguasai, melainkan hasrat untuk membahagiakan
orang yang dicintainya.
Ketika cinta menjadi dasar segalanya, maka perbedaan apapun bukanlah sebuah
penghalang untuk melangsungkan perkawinan, meskipun harus dengan agama yang berbeda
dan dengan melalui proses yang panjang dan akan membawa berbagai dampak untuk kedua
belah pihak. Faktor pendukung lainnya adalah kondisi ekonomi keluarga yang mapan juga
memegang peranan penting. Salah satu pasangan memiliki kerja yang baik, bahkan
mempunyai kedudukan atau bisa dibilang kehidupannya sudah mapan baik dalam hal
materiil dan hal lainnya.
7.

Dampak-dampak Pernikahan Beda Agama
Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia dimana
orang belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial, dalam interaksi dengan
kelompoknya. Dalam keluarga yang sesungguhnya, komunikasi merupakan sesuatu yang
harus dibina, sehingga anggota keluarga merasakan ikatan yang dalam serta saling
membutuhkan. Pernikahan beda agama yang terjadi kemungkinan disebabkan karena
kontrol dalam keluarga yang kurang, kurangnya pemahaman tentang agama, dan kehidupan

26
yang bebas, tidak ada pengekang di dalam pergaulan. Dampak-dampak yang timbul
terhadap pasangan yang menikah yaitu, anak dari hasil pernikahan mengalami kebingungan
dalam memilih agama yang akan diikuti, kehidupan sosial

di dalam masyarakat, dalam

artian pandangan masyarakat mengenai pernikahan yang berbeda agama, tekanan psikologis
yang dialami pihak yang menikah beda agama, baik dari lingkungan keluarga maupun
lingkungan sekitar, apalagi jika di dalam komunitas itu mayoritas memeluk agama Islam.
7.1. Iman

“Pernikahan yang bahagia tidak hanya dilihat dari segi material (harta benda)
saja, melainkan kebahagiaan terletak pada materi kasih Tuhan.”33 Oleh sebab itu materi
kasih Tuhan itu harus diterima dan dimiliki, bahkan dihayati terus menerus lewat kasih dan
iman kepada Tuhan. Walaupun ada pasangan yang menikah beda agama, iman pasangan
yang percaya kepada Tuhan Yesus jangan menjadi kendur, tetapi terus bertumbuh melalui
hubungan yang intim dengan Tuhan.
7.1.1 Pilihan Iman Kepada Anak Ikut Ibu Atau Ayah

Pernikahan beda agama mengakibatkan dampak psikologis pada keluarga.
“Masalah iman anak dalam pernikahan beda agama menjadi rumit dan pelik karena kedua
orang tua, baik suami atau istri yang berbeda iman terikat oleh kewajiban

dan tanggung

jawab untuk mewartakan dan mewariskan imannya kepada anak melalui pendidikan.”34
33 M. Ndoen, Firman Hidup 52, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 52.
34 BR. Agung Prihartana, Pendidikan Iman Anak dalam keluarga Kawin Campur Beda Agama,
(Yogyakarta: Kanisius,2007), 39

27
Bagi anak, muncul keraguan atas agama atau keyakinan yang dianut.
Anak mau mengikuti salah satu agama dari orang tuanya (ayah atau ibunya) yang diyakini si anak,
namun karena orang tua mereka terikat satu perjanjian, mengakibatkan si anak mengikuti keyakinan
berdasarkan kesepakatan orang tua.
Sementara, orang tuapun sebenarnya merasakan tekanan psikologis, baik berupa
goncangan ringan maupun goncangan berat akibat perbedaan agama suami-istri. Sebagian
orang tua merasakan hilangnya tanggungjawab, baik sebagai kepala rumah tangga maupun
guru utama bagi anak-anaknya. Tanggungjawab orangtua dalam menanamkan nilainilai/ajaran agama (internalisasi sebuah keyakinan) kepada anak-anaknya. Ada sementara
keluarga, yang karena semata-mata untuk menjaga keutuhan rumah tangga, mereka harus
rela membuat perjanjian, dengan mengorbankan keinginan hati yang paling dalam, bahwa
sesungguhnya perkawinan beda agama tidaklah mereka kehendaki.
Perkawinan beda agama juga menghadapi kendala terbatasnya komunikasi di
antara orang tua, dan antara orang tua dengan anak, serta kurangnya kedekatan akibat terikat
perjanjian. Hal ini berakibat mudah hadirnya pihak ketiga dari keluarga dekat masingmasing pihak (ayah dan ibu) yang turut campur tangan dalam memberikan pendidikan
agama kepada anak. Bagi masyarakat yang akan menikah beda agama, perlu persiapan
mental dan memahami resiko-resiko yang akan dihadapi (resiko jangka pendek maupun
jangka panjang) seandainya ingin melakukan perkawinan beda agama.
“Kesatuan ayah dan ibu demikian pentingnya sebagai alas yang kuat dalam keluarga, sehingga
bilamana kesatuan ini kurang kuat dapat menyebabkan kegoncangan dalam keluarga dengan segala
akibatnya, baik secara khusus dalam keluarga, maupun dalam masyarakat.”35

35 Singgih D. Gunarsa, Psikologi Untuk Keluarga, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981), 23

28
7.1.2. Pengaruh Terhadap Kerohanian Pasangannya di Dalam Rumah Tangga
Pasangan yang berbeda agama masing-masing akan berharap dan yakin suatu
saat pasangannya akan berpindah agama. Perbedaan iman di dalam satu rumah tangga pasti
akan mempengaruhi peribadahan pasangan suami-istri untuk datang bersama-sama kehadirat
Tuhan.
Karena tidak mungkin keduanya dapat dipersatukan menyembah Tuhan yang
sama, bisa jadi memudarnya keintiman di dalam rumah tangga yang telah dibina. Awalanya
baik-baik saja perbedaan bukanlah suatu masalah, tetapi seiring dengan berjalannya waktu
perbedaan tersebut bisa jadi runtuh dalam membangun kokohnya rumah tangga.
8. Hukum

Mengenai sahnya perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaanya
yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UUP. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan
keputusannya sesuai dengan ajaran dari agama masing-masing. Namun, permasalahannya
apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut membolehkan untuk
dilakukannya perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran islam wanita tidak boleh
menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam [Al Baqarah (2):221]. Selain itu juga
dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang (I Korintus 6: 14-18). Indonesia
belum mengtur tentang pernikahan beda agama secara jelas, Undang-undang No.1 Tahun
1974 hanya mengatur pernikhan secara umum, (contoh: orang Kristen dengan Kristen, Islam
dengan Islam) dan pernikahan campuran antara penduduk pribumi dengan penduduk luar
(orang asing).

Hukum yang berlaku bagi keduanya adalah hukum di mana kedua pasangan

29
tersebut melangsungkan pernikahan. Orang asing harus tunduk kepada hukum yang berlaku
di mana keduanya melakukan pernikahan, jika keduanya melangsungkan pernikahan berarti
keduanyaharus tunduk kepada hukum Indonesia. Apabila perkawinan beda agama tersebut
dilakukan oleh orang yang beragama Islam dan Kristen, maka terjadi permasalahan
mengenai pencatatan perkawinan. Apakah di Kantor Urusan Agama (KUA) atau di Kantor
Catatan Sipil (KCS) oleh karena ketentuan pencatatan perka