Bahan alas naskah lontar 2

Bahan alas naskah lontar, bambu, dan kayu

A. Lontar
Lontar adalah alas naskah yang dibuat dari daun tal kata lontar berasal dari
kata ron artinya daun dan tal artinya nama sebuah pohon. Karena proses artikulasi
bunyi kata rontal menjadi lontar. Tradisi lontar di Bali dan Lombok, hingga saat ini
masih berlangsung. Tradisi lontar juga ditemukan di Kerinci, dan disebut sebagai
kelopak belung. Kegiatan macaan di Banyuwangi, Jawa Timur, disebut juga lontaran,
yaitu membaca lontar. Alas yang hampir menyerupai lontar adalah daun nipah, tradisi
alas daun nipah ditemukan ditemukan di jawa barat, Sunda.
Kertas Lontar adalah kertas yang terbuat dari daun lontar.Pada masa dahulu,
media yang dipakai untuk kegiatan tulis-menulis di Jawa adalah daun lontar (Borasus
flabellifer) atau daun nipah (Nipa fruticans WURMB). Setelah muncul Kertas Jawa
atau Kertas Daluwang serta kertas impor, penggunaan kertas ini ternyata tidak serta
merta punah dan masih dijumpai di beberapa tempat hingga Abad ke-20 di Jawa,
Madura dan Bali, dan dikawasan ini banyak dijumpai naskah-naskah kuno yang
menggunakan daun lontar sebagai alat tulis. Kualitas naskah yang dihasilkan berbedabeda tergantung pada mutu bahan, cara pengerjaan dan perawatannya.
Mengenai jenis daun lontar yang digunakan sebagai bahan tulis, seorang
sejarahwan Belanda, Van Der Molen menunjuk pada pendapat seorang ahli sejarah,
Rumpius bahwa ada tiga jenis daun lontar yakni Lontarus domestica, Lontarus
silvestris dan Lontarus silvestris altera. Lontarus domestica lebih banyak

dipergunakan karena daunnya lebih lunak. Alat yang digunakan adalah sejenis pisau
yang ditorehkan (pisau pangot dalam bahasa Sunda) atau kalam (pena) yang
dicelupkan dengan tinta yang hitam pekat serta warnanya tidak luntur. Sementara
menurut Friederich, seorang pembantu Museum KBG dimasa Hindia Belanda (kini
Museum Nasional, Jakarta) yang dianggap seorang ahli tulisan kuno, huruf yang
digunakan adalah huruf Kawi dengan jenis Kawi-Kwadraat (aksara Kawi tegak) dan
Kawi curcief (aksara Kawi yang condong) seperti naskah yang ditemukan di lereng
Gunung Merbabu di Kedu, Jawa Tengah. Sebagai catatan, beebrapa sejarahwan juga
mengklasifikasi bahwa huruf Bali merupakan varian dari huruf Kawi seperti, huruf

Sunda Kuno dan beberapa variannya, yang juga dikatakan oleh seorang sejarahwan
Belanda, Brandes.
Cukup banyak naskah Nusantara kuno yang menggunakan daun lontar, dan menurut
Friederich antara lain berisi ajaran Hindu-Buddha. Di antara naskah itu ada yang
menggunakan candrasangkala sebagai identitas yang menunjukkan tahun saka dengan
contoh naskah ber-kolofon : panca (5) warna (4) catur (4) bhumi (1) yang berarti 1445
saka atau 1523/1524 Masehi. Sebuah naskah tua dengan kolofon 1256 Saka atau
1334/5 Masehi adalah Arjunawiwaha yang merupakan naskah tertua yang ditemukan
di daerah Jawa Barat.
Contoh naskah lain yang menggunakan daun nipah adalah Kunjarakarna yang

disimpan di Universitas Leiden dengan kode Lor. 2266, kemudian Bujangga Manik
yang disimpand di Perpustakaan Bodleian di Oxford, Inggris, Carita Parahyangan
dengan Aksara Sunda Kuno dan Siksakanda ng Karesian yang berkolofon nora catur
sagara wulan (1440 saka atau 1518 Masehi) yang disimpan di Museum Nasional,
Jakarta.
Catatan De-Clerq yang dilansir oleh Van der Molen juga menuliskan bahwa bahan
nipah menjadi media tulis di Nusantara pada abad ke-20 dengan berita In het
binnenland van Zuid-Sumatera dienden ze vroeger )en mischien nog wel) om er
minnerbireven op to griffen.
Mengenai data literatur, kata yang dewasa ini digunakan di Bali untuk menunjukkan
daun palma sebagai bahan tulis adalah ental atau lontar (bentuk metathesis dari rontal,
yang berarti daun pohon tal yang diduga dari bahasa Jawa), dalam puisi, kata-kata
seperti siwala, sawala, suwala, suwalapattra, sewalapattra, siwalan, semuanya dipakai
dalam arti surat, tetapi juga menunjuk pada daun pohon tal.
Proses pembuatan lontar
1. Di pulau Bali, daun-daun lontar sebagai alat tulis masih dibuat sampai sekarang.
Pertama-tama daun-daun pohon siwalan dipetik dari pohon. Pemetikan biasa
dilakukan pada bulan Maret/April atau September/Oktober karena daun-daun pada
masa ini sudah tua. Kemudian daun-daun dipotong secara kasar dan dijemur


menggunakan panas matahari. Proses ini membuat warna daun yang semula hijau
menjadi kekuningan.
2. Lalu daun-daun direndam di dalam air yang mengalir selama beberapa hari dan
kemudian digosok bersih dengan serbet atau serabut kelapa.
3. Setelah daun-daun dijemur kembali, tapi sekarang kadang-kala daun-daun sudah
dipotong dan diikat. Lalu lidinya juga dipotong dan dibuang.
4. Setelah kering daun-daun lalu direbus dalam sebuah kuali besar dicampur dengan
beberapa ramuan. Tujuannya ialah membersihkan daun-daun dari sisa kotoran dan
melestarikan struktur daun supaya tetap bagus.
5. Setelah direbus selama kurang lebih 8 jam, daun-daun diangkat dan dijemur
kembali di atas tanah. Lalu pada sore hari daun-daun diambil dan tanah di bawah
dedaunan dibasahi dengan air kemudian daun-daun ditaruh kembali supaya
lembap dan menjadi lurus. Lalu keesokan harinya diambil dan dibersihkan dengan
sebuah lap.
6. Lalu daun-daun ditumpuk dan dipres pada sebuah alat yang di Bali disebut
sebagai pamlagbagan. Alat ini merupakan penjepit kayu yang berukuran sangat
besar. Daun-daun ini dipres selama kurang lebih enam bulan. Namun setiap dua
minggu diangkat dan dibersihkan.
7. Setelah itu daun-daun dipotong lagi sesuai ukuran yang diminta dan diberi tiga
lubang: di ujung kiri, tengah, dan ujung kanan. Jarak dari lubang tengah ke ujung

kiri harus lebih pendek daripada ke ujung kanan. Hal ini dimaksudkan sebagai
penanda pada saat penulisan nanti.
8. Tepi-tepi lontar juga dicat, biasanya dengan cat warna merah. Lontar sekarang
siap ditulisi dan disebut dengan istilah pepesan dalam bahasa Bali dan sebuah
lembar lontar disebut sebagai lempir.

B. Bambu

Bambu juga merupakan bahan naskah yang ditemukan di Palembang. Jenis
pohon bambu yang digunakan sebagai bahan naskah adalah bambu betung (bambu
besar) atau nama Latinnya Dendrocalamus Asper BACKER. Nama daerahnya antara
lain: trieng betong (Aceh), pering betung )lampung), awi betung (Sunda), dan deling
betung (Jawa). Bambu betungtermasuk pohon suku Giganthochloa Dendrocalamus,
cirinya merupakan pohon bambu yang sangat tegak, kuat, merumpun, dan tingginya
bisa mencapai 30 meter, batangnya tidak tumbuh berjejalan dan buku-bukunya sangat
jelas.
Bambu yang akan digunakan sebagai bahan naskah harus direndam dalam air
lebih dahulu untuk waktu yang cukup lama, sehingga membuat bambu menjadi
berwarna hitam. Setelah itu, dijemur baru siap untuk ditoreh atau ditulisi. Naskah
bambu dikenal oleh masyarakat Palembang maupun Sumatra Selatan sebagai

gelumpai. Bentuknya ada yang berupa satu ruas bambu bulat, ada juga yang terdiri
atas sejumlah kepingan bilah bambu.
Penggunaan bambu sebagai alat tulis terutama ditemukan di Sumatra di antara
orang-orang Batak, Lampung, dan Rejang. Bambu dibelah menjadi lembaran dan
dirangkaikan seperti daun palem, atau dibiarkan dalam bentuk tabung, dan teksnya
ditoreh dengan pisau tajam.

Proses pembuatannya.
1. Pembuatan bambu sebagai naskah di Indonesia ada dua, pertama dengan membuat
berbentuk batang-batangan yang kemudian dibentuk seperti persegi panjang, yang
kedua dengan membuat berbatang-batang menyerupai tabung.
2. Pada proses pertama bambu dipotong ruas dari atas kebawah dengan
menggunakan pisau.
3. Setelah dipotong bagian-bagianya, kemudian daging dalam batang dipotong dan
membuat permukanan dalam bambu menjadi datar, sehingga permukaan dalam
dan luar dan dalam bambu memliki datar yang sama.
4. Selanjutnya bambu direndam kedalam air, bertujuan untuk membuat warna bambu
menjadi agak kegelapan.
5. Setelah itu dijemur untuk mengeringkan kadar air yang ada pada bambu.
6. Selanjutnya alas naskah dari bambu siap digunakan.


C. Kulit kayu
Tradisi alas naskah kulit kayu terdapat di daerah Batak. Contohnya ialah Pustaha,yaitu
semacam buku dari kulit kayu yang dilipat-lipat seperti akordeon yang isinya do’a
petunjuk membuat obat tradisional dan cara menolak hal-hal yang jahat (Poda),dan
mantra. Pustha ini ditulis menggunakan aksara Batak. Secara fisik pustha terdiri dari
lampak (sampul) dan laklak (kulit kayu sebagai media penulisannya).
Selain di Batak, kulit kayu sebagai alas naskah juga digunakan untuk menulis naskahnaskah huruf rencong, di kerinci. Kulit kayu juga merupakan bahan mentah untuk kertas
yang disebut sebagai kertas Cirebon. Di Batak, selain alas naskah dari kulit kayu
ditemukan juga alas naskah dari bambu. Dalam katalog-katalog yang memuat daftar
naskah-naskah yang dihasilkan oleh tradisi tulis di Nusantara, seringkali ditemukan
naskah yang dideskripsikan menggunakan kulit kayu sebagai bahannya, dalam hal ini
kulit kayu merupakan satu media yang sangat populer pada masanya. Di Batak dikenal
dengan istilah Pustaha untuk naskah yang terbuat dari kulit kayu yang dilipat- lipat seperti
akordeon dan pada tradisi naskah-naskah Melayu dan di Jawa dikenal istilah daluang baik
dalam bentuk gulungan (roll) ataupun buku (codex). Menurut Soetikna (1939),
Wirasutisna (1941), Noorduyn (1965), Pigeaud (1967), Ekadjati (1994), dan Teygeler
(1995), yang dimaksud dengan Daluang adalah sejenis kertas yang terbuat dari kulit kayu
pohon Papermulberry „Broussonetia papyryfera Vent’ yang pembuatannya dilakukan
secara tradisional dengan teknologi serta peralatan yang sederhana, yaitu dengan cara

ditumbuk, diperam, dan dijemur di terik matahari.

Daftar Pustaka

Susena, Danang, 2004. DIKTAT Pengantar Filologi. Padang : Jurusan Sastra
Indonesia.
www. Bahan pembuat lontar.com
www. Bahan pembuat bambu.com

TELAAH NASKAH
lontar, bambu, dan kayu
Laporan bacaan Kelompok Semester Genap 2014

Oleh:
Roby Joi Ekovani 1210723011
Kommi Putra Juli.P 1210723009
Nadia Istiqomah 1210723008

JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2014